Anda di halaman 1dari 12

Gajah Mada

 Halaman
 Pembicaraan
 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Lihat riwayat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Gajah Mada

Ilustrasi Gajah Mada, sketsa ini didasari dari gambaran lama oleh M.
Yamin

Mahapatih Majapahit ke-4

Masa jabatan

ca. 1331[1] – ca. 1364

Penguasa monarki Tribhuwana Wijayatunggadewi

Hayam Wuruk

Pendahulu Arya Tadah (Mpu Krewes)

Pengganti Gajah Enggon

Patih Daha/Kediri

Masa jabatan

1321 – 1334

Penguasa monarki Jayanegara

Tribhuwana Wijayatunggadewi

Patih Kahuripan
Masa jabatan

1319 – 1321

Penguasa monarki Jayanegara

Informasi pribadi

Lahir Sekitar 1290-an

Meninggal 1364
 Majapahit

Kebangsaan  Majapahit

Agama Syaiwa[2] atau Siwa-Buddha[Catatan 1]

Karier militer

Pihak  Majapahit

Pertempuran/perang Pemberontakan Ra Kuti

Pemberontakan Keta dan Sadeng

Perang Bedahulu

Perang Bubat

Padompo[Catatan 2]

Gajah Mada (lahir ca. 1290 – wafat ca. 1364), dikenal dengan nama


lain Jirnnodhara[3] adalah seorang panglima perang dan mahapatih yang merupakan tokoh
yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit.[4][5][6] Menurut berbagai
sumber mitologi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya
tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa
pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih.[4] Ia
menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian
sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak
kejayaannya.[7]
Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di
dalam Pararaton.[8] Ia menyatakan tidak akan memakan palapa sebelum berhasil
menyatukan Nusantara. Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit
catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh
Gajah Mada, saat ini masih kontroversial. [9] Banyak masyarakat Indonesia masa sekarang
yang menganggapnya sebagai pahlawan dan simbol nasionalisme Indonesia[10] dan
persatuan Nusantara.[11]

Penggambaran rupa[sunting | sunting sumber]


Penggambaran Gajah Mada sebagai arca, kanan ke kiri:

 Arca Brajanata, di Museum Nasional Indonesia, No.5136/310d.


 Arca Bima, No.2776/286b.

Penggambaran rupa Gajah Mada yang populer di media sebenarnya adalah imajinasi
dari Mohammad Yamin, di bukunya yang berjudul "Gajah Mada: Pahlawan Persatuan
Nusantara", terbit pertama kali tahun 1945. Pada suatu hari di tahun 1940-an, Yamin
mengunjungi Trowulan untuk melihat lokasi bekas kerajaan Majapahit. Ia menemukan
pecahan terakota, salah satunya celengan berupa wajah seorang pria berwajah gempal dan
berambut ikal. Berdasar air muka wajah celengan itu, Yamin menafsirkan seperti itulah wajah
Gajah Mada sang pemersatu Nusantara. Yamin kemudian meminta seniman Henk
Ngantung membuat lukisan seperti terakota tersebut. Hasil lukisan lalu dipampang sebagai
sampul muka buku karya Yamin. Banyak orang yang menentang pendapat Yamin, karena
mustahil wajah tokoh sebesar Gajah Mada dipampangkan di celengan. Hal semacam itu
adalah penghinaan karena biasanya para pemuka negara pada zaman Hindu Buddha,
termasuk Majapahit, diarcakan. Beberapa orang bahkan yakin bahwa wajah yang disangka
Gajah Mada itu tidak lain adalah wajah Yamin sendiri. [12]
Ada pula gambaran lain soal sosok Gajah Mada, berbeda dari yang diilustrasikan M. Yamin,
yakni hasil penelitian arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar. Dia
mengilustrasikan Gajah Mada selayaknya sosok Bima dalam pewayangan, yakni berkumis
melintang.[13] Dalam media populer, Gajah Mada kebanyakan ditampilkan bertelanjang dada,
memakai kain sarung, dan menggunakan senjata berupa keris. Meskipun ini mungkin benar
dalam tugas sipil, pakaian lapangannya mungkin berbeda: Seorang patih Sunda
menerangkan, seperti yang tertulis dalam kidung Sundayana, bahwa Gajah Mada
mengenakan karambalangan (lapis logam di depan dada—breastplate) berhias timbul dari
emas, bersenjata tombak berlapis emas, dan perisai penuh dengan hiasan dari intan berlian.
[14][15][16]

Baju zirah yang mungkin dipakai Gajah Mada, kiri ke kanan:

 Baju besi dari sebuah patung candi di Singasari.


 Patung dewa memegang sebuah kuiras, dari Nganjuk, Jawa Timur, pada masa sebelumnya (abad
ke-10 sampai ke-11).

Menurut Munandar, pada awalnya Gajah Mada diarcakan sebagai tokoh Brajanata
dalam cerita panji, dan sebagai Bima dalam cerita Mahabharata pada masa kemudian. Pada
awalnya Gajah Mada tidak langsung diarcakan sebagai tokoh Bima, ia diarcakan sebagai
tokoh Brajanata karena kisah Panji lebih dulu dikenal daripada kegiatan pembuatan arca-
arca Bima yang agaknya mulai berlangsung pada pertengahan abad ke-15. Pemuliaan Gajah
Mada pada tahap pertama bersifat profan—adalah dalam bentuk pengarcaannya sebagai
Brajanata, namun selanjutnya terjadi pemuliaan Gajah Mada dalam tahap kedua yang lebih
bersifat sakral, yaitu disetarakan dengan Bima sebagai salah satu aspek Siva. [17] Pada arca
yang terdapat di Museum Nasional, arca tersebut digambarkan berbadan tegap, kumis
melintang, rambut ikal berombak, di bagian puncak kepala terdapat ikatan rambut dengan
pita membentuk seperti topi tekes. Ia mengenakan busana dan perhiasan gelang dan kelat
lengan atas berupa ular sebagaimana Bima. [18]
Arca Bima dibuat pada masa akhir Majapahit dalam pertengahan abad ke-15. Ciri-cirinya
adalah: a) Memakai mahkota supit urang (rambutnya dibentuk 2 lengkungan di puncak
kepala seperti jepitan udang), b) Berkumis melintang, c) Berbadan tegap, d) Memakai
kain poleng (hitam-putih), e) Lingganya selalu digambarkan menonjol. [19] Pada arca Bima
yang tersimpan di Museum Nasional, beliau digambarkan berdiri tegak dengan kedua tangan
disamping tubuhnya, tangan kanan memegang gadha, lingganya digambarkan menonjol
menyingkan selendang yang menjuntai di antara 2 kaki, memakai upawita ular, mahkota
supit urang, wajah sangar, kumis tebal melintang, rambut di atas dahinya digambarkan ikal
membentuk seperti jamang (hiasan dahi).[20] Adanya kesamaan antara arca Brajanata sebagai
perwujudan Gajah Mada dengan arca Bima bukanlah suatu kebetulan, melainkan terdapat
konsepsi yang mendasarinya: Konsepsi itu berkembang seiring dengan semakin jauhnya
jarak peristiwa sejarah dengan para pemujanya pada masa yang lebih kemudian. [21]

Arti nama[sunting | sunting sumber]


Kata "Gajah" mengacu kepada hewan yang besar yang disegani hewan lainnya, dalam
mitologi Hindu dipercaya sebagai wahana (hewan tunggangan) dari dewa Indra. Gajah juga
dihubungkan dengan Ganesa, dewa berkepala gajah berbadan manusia,
putra Siwa dan Parwati. Adapun kata "Mada" dalam bahasa Jawa kuno artinya mabuk, bisa
dibayangkan jika seekor gajah sedang mabuk, ia akan berjalan seenaknya, beringas,
menerabas segala rintangan. Maka apabila dihubungkan dengan tokoh Gajah Mada, nama
itu dapat ditafsirkan dalam 2 sifat, yaitu:[22]

1. Ia menganggap dirinya sebagai wahana raja, pelaksana perintah-perintah raja,


sebagaimana gajah Airawata menjadi wahana dewa Indra.
2. Ia adalah orang yang seakan-akan mabuk dan beringas apabila menghadapi
berbagai rintangan yang akan menghambat kemajuan kerajaan. Sungguh
merupakan pilihan nama yang tepat dan agaknya nama itu telah dipikirkan
masak-masak maknanya sebelum dipakai untuk nama dirinya. [22]
Dalam prasasti Gajah Mada diketahui julukan lain beliau, yaitu Rakryan Mapatih Jirnnodhara.
Mungkin nama itu hanya sekadar gelaran bagi Gajah Mada, tetapi dapat pula dipandang
sebagai nama resminya. Arti kata Jirnnodhara adalah "pembangun sesuatu yang baru" atau
"pemugar sesuatu yang telah runtuh/rusak". Dalam pengertian harfiah Gajah Mada adalah
pembangun caitya bagi Kertanegara yang semula belum ada. Dalam pengertian kiasan ia
dapat dipandang sebagai pemugar dan penerus gagasan Kertanegara dalam
konsep Dwipantara Mandala.[23]

Lahirnya Gajah Mada[sunting | sunting sumber]


“Pada tahun saka 1213/1291 M, Bulan Jyesta, pada waktu itu saat wafatnya Paduka Bhatara yang
dimakamkan di Siwabudha…Rakryan Mapatih Mpu Mada, yang seolah-olah sebagai yoni bagi
Bhatara Sapta Prabhu, dengan yang terutama di antaranya ialah Sri Tribhuwanottunggadewi
Maharajasa Jayawisnuwarddhani, cucu-cucu putra dan putri paduka Bhatara Sri
Krtanagarajnaneuwarabraja Namabhiseka pada waktu itu saat Rakryan Mapatih Jirnnodhara
membuat caitya bagi para brahmana tertinggi Siwa dan Buddha yang mengikuti wafatnya paduka
Bhatara dan sang Mahawrddhamantri (Mpu Raganatha) yang gugur di kaki Bhatara.” ”
Demikian bunyi Prasasti Gajah Mada yang bertarikh 1273 saka atau tahun 1351. Sebagai
mahamantri terkemuka, Gajah Mada dapat mengeluarkan prasastinya sendiri dan berhak
memberi titah membangun bangunan suci (caitya) untuk tokoh yang sudah meninggal.
Prasasti itu memberitakan pembangunan caitya bagi Kertanagara. Raja terakhir Singhasari
itu gugur di istananya bersama patihnya, Mpu Raganatha dan para brahmana Siva dan
Buddha, akibat serangan tentara Jayakatwang dari Kediri.
Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, agaknya Gajah Mada memiliki
alasan khusus mengapa memilih membangunkan caitya bagi Kertanagara daripada tokoh-
tokoh pendahulu lainnya. Padahal, selama era Majapahit yang dipandang penting
tentunya Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit. kemungkinan besar bangunan
suci yang didirikan atas perintah Gajah Mada adalah Candi Singhasari di Malang. Pasalnya,
Prasasti Gajah Mada ditemukan di halaman Candi Singhasari. Bangunan candi lain yang
dihubungkan dengan Kertanagara, yaitu Candi Jawi di Pasuruan. Candi ini sangat mungkin
didirikan tidak lama setelah tewasnya Kertanagara di Kedaton Singhasari. [24]
Menurut Agus, berdasarkan data prasasti, karya sastra, dan tinggalan arkeologis, ada dua
alasan mengapa Gajah Mada memuliakan Kertanagara hingga mendirikan candi baginya.
Pertama, Gajah Mada mencari legitimasi untuk membuktikan Sumpah Palapa. Dia berupaya
keras agar wilayah Nusantara mengakui kejayaan Majapahit. Kertanagara adalah raja yang
memiliki wawasan politik luas. Dengan wawasan Dwipantara Mandala, dia memperhatikan
daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa. Dengan demikian Gajah Mada seakan meneruskan
politik pengembangan mandala hingga seluruh Dwipantara (Nusantara) yang awalnya telah
dirintis oleh Kertanegara.
Kedua, dalam masa Jawa Kuno, candi atau caitya pen-dharma-an tokoh selalu dibangun
oleh kerabat atau keturunan langsung tokoh itu, seperti Candi Sumberjati bagi Raden Wijaya
dibangun tahun 1321 pada masa Jayanegara; dan Candi Bhayalango bagi Rajapatmi Gayatri
dibangun tahun 1362 oleh cucunya, Hayam Wuruk. Atas alasan itu, Gajah Mada masih
keturunan dari Raja Kertanagara. Setidaknya Gajah Mada masih punya hubungan darah
dengan Kertanagara.
Ayah Gajah Mada mungkin sekali bernama Gajah Pagon yang mengiringi Raden Wijaya
ketika berperang melawan pengikut Jayakatwang dari Kediri. Gajah Pagon tidak mungkin
orang biasa, bahkan sangat mungkin anak dari salah satu selir Kertanagara karena dalam
kitab Pararaton, nama Gajah Pagon disebut secara khusus. Ketika itu, Raden Wijaya begitu
mengkhawatirkan Gajah Pagon yang terluka dan dititipkan kepada seorang kepala desa
Pandakan. Menurutnya, sangat mungkin Gajah Pagon selamat kemudian menikah dengan
putri kepala desa Pandakan dan akhirnya memiliki anak, yaitu Gajah Mada yang mengabdi
pada Majapahit.[24]
Gajah Mada mungkin memiliki eyang yang sama dengan Tribhuwana Tunggadewi. Bedanya
Gajah Mada cucu dari istri selir, sedangkan Tribhuwana adalah cucu dari istri resmi
Kertanagara. Dengan demikian, tidak mengherankan dan dapat dipahami mengapa Gajah
Mada sangat menghormati Kertanagara karena Raja itu adalah eyangnya sendiri. Hanya
keturunan Kertanegara saja yang akan dengan senang hati membangun caitya berupa Candi
Singasari untuk mengenang kebesaran leluhurnya itu. Bahkan konsepsi Dwipantra Mandala
dari Kertanagara mungkin menginspirasi dan mendorong Gajah Mada dalam mencetuskan
Sumpah Palapa.[24]

Sebuah arca dari Museum Trowulan. Mohammad Yamin menggunakan arca tanah liat ini sebagai dasaran
penggambaran rupa Gajah Mada.

Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal kehidupannya,
kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang kariernya naik saat
menjadi Bekel (kepala pasukan) Bhayangkara (pengawal Raja) pada masa Prabu
Jayanagara (1309–1328). Terdapat sumber yang mengatakan bahwa Gajah Mada bernama
lahir Mada,[25] sedangkan nama Gajah Mada[26] kemungkinan merupakan nama sejak menjabat
sebagai patih.[27]
Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara berhasil
menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309–1328) ke desa Badander dan memadamkan
pemberontakan Ra Kuti (salah seorang Dharmaputra, pegawai istana yang diistimewakan
sejak masa Raden Wijaya). Sebagai balas jasa, dalam
pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca[28] disebutkan bahwa Jayanagara
mengangkat Gajah Mada menjadi patih Kahuripan (1319). Dua tahun kemudian, dia
menggantikan Arya Tilam yang mangkat sebagai patih di Daha / Kediri. Pengangkatan ini
membuatnya kemudian masuk ke strata sosial elitis istana Majapahit pada saat itu. Selain itu,
Gajah Mada digambarkan pula sebagai "seorang yang mengesankan, berbicara dengan
tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat". [29][30]
Pasca Jayanagara mangkat, Arya Tadah yang merupakan Mahapatih
Amangkubhumi mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada Ibusuri Gayatri yang
menggantikan kedudukan Jayanegara dan menunjuk Patih Gajah Mada dari Daha/Kediri.
Gajah Mada sebagai Patih Daha sendiri tak langsung menyetujuinya, tetapi ia ingin membuat
jasa terlebih dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu
sedang memberontak.
Tribuwana Wijayatunggadewi yang menjadi Rani Kahuripan menjadi pelaksana tugas
pemerintahan Majapahit. Bahkan setelah Gayatri meninggal pada 1331, Tribhuwana
Wijayatunggadewi tetap sebagai Maharani dari kerajaan Majapahit.
Setelah Keta dan Sadeng dapat ditaklukan oleh Gajah Mada, barulah pada tahun 1334,
Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi secara resmi menggantikan Arya
Tadah (Mpu Krewes) yang sudah sepuh, sakit-sakitan, dan meminta pensiun sejak
tahun 1329.
Sumpah Palapa[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Sumpah Palapa
Ketika pengangkatannya sebagai Mahapatih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka
(1334 M) Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berisi bahwa ia tidak akan
menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) sebelum
berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam
teks Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai berikut[31]


Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus
kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring
Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa ”
bila dialih-bahasakan mempunyai arti:[31]


Ia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata
bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila
telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa ”
Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, sumpah Gajah
Mada itu menimbulkan kegemparan. Para petinggi kerajaan seperti Ra Kembar, Ra Banyak,
Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng merespons dengan negatif. Tindakan mereka membuat
Gajah Mada sangat marah karena ditertawakan. Hal ini diperkuat juga oleh Muhammad
Yamin dalam Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara. Gajah Mada pun meninggalkan
paseban dan terus pergi menghadap Batara Kahuripan, Tribhuana Tunggadewi. Dia sangat
berkecil hati karena dapat rintangan dari Kembar, walaupun Arya Tadah membantu sekuat
tenaga.
Arya Tadah memang pernah berjanji akan memberi bantuan dalam segala kesulitan kepada
Gajah Mada. Namun, menurut Slamet Muljana, Arya Tadah sebenarnya juga ikut
menertawakan program politik Gajah Mada itu karena pada hakikatnya, Arya Tadah alias
Empu Krewes tidak rela melihat Gajah Mada menjadi patih amangkubumi sebagai
penggantinya. Pengepungan Sadeng dan Keta di Jawa Timur terjadi pada tahun 1331.
Ketika itu yang menjadi mahapatih adalah Arya Tadah. Dia menjanjikan kepada Gajah Mada,
sepulang dari penaklukkan Sadeng dia akan diangkat menjadi patih, bukan mahapatih.
Alangkah kecewanya Gajah Mada, karena Kembar mendahuluinya mengepung Sadeng.
Untuk menghindari sengketa antara Gajah Mada dan Kembar, Rani Tribhuana Tunggadewi
datang sendiri ke Sadeng membawa tentara Majapahit. Kemenangan atas Sadeng tercatat
atas nama Sang Rani sendiri. Semua peserta penaklukan Sadeng dinaikkan pangkatnya.
Gajah Mada mendapat gelar angabehi, dan Kembar dinaikkan sebagai bekel araraman. Saat
itu, Gajah Mada sendiri telah menjadi patih Daha.
Gajah Mada melaksanakan politik penyatuan Nusantara selama 21 tahun, yakni antara tahun
1336 sampai 1357. Isi program politik ialah menundukkan negara-negara di luar wilayah
Majapahit, terutama negara-negara di seberang lautan, yakni Gurun (Lombok), Seram,
Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatra Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda,
Palembang (Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura). Bahkan, dalam
kitab Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 nama-nama negara yang disebutkan jauh lebih
banyak daripada yang dinyatakan dalam sumpah Nusantara.
Invasi[sunting | sunting sumber]
Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya, Gajah Mada memang
hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Dibantu oleh Laksamana Nala, Gajah Mada
memulai kampanye penaklukannya dengan menggunakan pasukan laut ke
daerah Swarnnabhumi (Sumatra) tahun 1339,
pulau Bintan, Tumasik (sekarang Singapura), Semenanjung Malaya, kemudian pada
tahun 1343 bersama dengan Arya Damar menaklukan Bedahulu (di Bali) dan kemudian
penaklukan Lombok, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit,
Kotalingga
(Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, S
edu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei,
dan Malano.
Pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350–1389) yang menggantikan
Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada terus melakukan penaklukan ke wilayah timur sampai
tahun 1357 seperti Logajah, Gurun,
Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Buton, Ban
ggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan
(Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.
Dilema[sunting | sunting sumber]
Terdapat dua wilayah di Pulau Jawa yang terbebas dari invasi Majapahit yakni Pulau
Madura dan Kerajaan Sunda karena kedua wilayah ini mempunyai keterkaitan erat
dengan Nararya Sanggramawijaya atau secara umum disebut dengan Raden Wijaya pendiri
Kerajaan Majapahit (Lihat: Prasasti Kudadu 1294 [32] dan Pararaton Lempengan VIII,
Lempengan X s.d. Lempengan XII[33] dan Invasi Yuan-Mongol ke Jawa pada tahun 1293)
sebagaimana diriwayatkan pula dalam Kidung Panji Wijayakrama.

Perang Bubat[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Perang Bubat
Dalam Kidung Sunda[34] diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam
Wuruk mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi Dyah Pitaloka
Citraresmi putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak
Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk
melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk,
memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan
Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak
seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi
tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayah dan seluruh
rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu langkah-langkah diplomasi
Hayam Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena dipandang lebih
menginginkan pencapaiannya dengan jalan melakukan invasi militer padahal hal ini tidak
boleh dilakukan.
Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam
Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana,
serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura"
yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat
pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih;
hanya saja ia memerintah dari Madakaripura. [35]

Akhir hidup[sunting | sunting sumber]


Tersebut pada tahun saka angin 8 utama (1285). Baginda menuju Simping demi pemindahan candi
makam... Sekembalinya dari Simping segera masuk ke pura. Terpaku mendengar Adimenteri Gajah
Mada gering. Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran ke Jawa. Di Pulau Bali serta Kota
Sadeng memusnahkan musuh. ”
Begitulah bunyi pemberitaan dalam Kakawin Nagarakretagama pupuh 70 bait 1–3 dikutip
Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Raja Majapahit Rajasanegara
atau Hayam Wuruk yang sedang melakukan perjalanan upacara keagamaan
ke Simping (Blitar) dikejutkan dengan berita Gajah Mada sakit. Dia segera kembali ke ibu
kota Majapahit.
Meski perannya di Kerajaan Majapahit begitu melegenda, akhir riwayat Gajah Mada hingga
kini masih belum jelas. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Gajah
Mada Biografi Politik menulis, ada berbagai sumber yang mencoba menjelaskan akhir hidup
Gajah Mada. Sumber pertama adalah Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu
Prapanca itu mengisahkan akhir hidup Gajah Mada dengan kematiannya yang wajar pada
tahun 1286 Saka (1364 M). Dari cerita-cerita rakyat Jawa Timur, Gajah Mada dikisahkan
menarik diri setelah Peristiwa Bubat dan memilih hidup sebagai pertapa di Madakaripura di
pedalaman Probolinggo selatan, wilayah kaki pegunungan Bromo-Semeru. Di wilayah
Probolinggo ini memang terdapat air terjun bernama Madakaripura yang airnya jatuh dari
tebing yang tinggi. Di balik air terjun yang mengguyur bak tirai itu terdapat deretan ceruk dan
satu goa yang cukup menjorok dalam dan dipercaya dulu Gajah Mada menjadi pertapa
dengan menarik diri dari dunia ramai sebagai wanaprastha (menyepi tinggal di hutan) hingga
akhir hayatnya.
Adapun Kidung Sunda menyebutkan bahwa Gajah Mada tidak meninggal. Kidung ini
membeberkan bahwa Gajah Mada moksa dalam pakaian kebesaran bak Dewa Visnu. Dia
moksa di halaman kepatihan kembali ke khayangan. Namun, Agus Aris Munandar
menyatakan bahwa akhir kehidupan Gajah Mada lenyap dalam uraian ketidakpastian karena
dia malu dengan pecahnya tragedi Bubat. Selanjutnya, menurut Agus, bisa ditafsirkan bahwa
Gajah Mada memang sakit dan meninggal di Kota Majapahit atau di area Karsyan yang tak
jauh dari sana. Itu sebagaimana dengan keterangan kembalinya Rajasanagara ke ibu kota
Majapahit dalam Nagarakretagama, segera setelah mendengar sang patih sakit.
Absennya Gajah Mada dalam politik Majapahit meninggalkan luka bagi sang raja. Hayam
Wuruk sangat bersedih. Bahkan dikisahkan raja itu begitu putus asa. Dia langsung menemui
ibunya, kedua adik, dan kedua iparnya untuk membicarakan pengganti kedudukan
sang Mahapatih Amangkubhumi. Namun, "Baginda berpegang teguh, Adimenteri Gadjah
Mada tak akan diganti,” tulis Nagarakretagama pupuh 71 bait 3.[36]
Hayam Wuruk pun mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti
Gajah Mada. Karena tidak ada satu pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada,
Hayam Wuruk kemudian memilih empat Mahamantri Agung dibawah pimpinan Mpu Nala
Tanding untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.
Namun hal itu tidak berlangsung lama. Mereka pun digantikan oleh dua orang mentri yaitu
Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat
Gajah Enggon sebagai Mahapatih Amangkubhumi menggantikan posisi Gajah Mada.

Penghormatan[sunting | sunting sumber]

Lukisan kontemporer Gajah Mada karya I Nyoman Astika.

Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat terkenal di
masyarakat Indonesia pada umumnya. Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin
antara lain Sukarno dan Mohammad Yamin sering menyebut sumpah Gajah Mada sebagai
inspirasi dan "bukti" bahwa bangsa ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas
dan budaya yang berbeda-beda. Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi
bagi revolusi nasional Indonesia untuk usaha kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta adalah universitas negeri yang dinamakan menurut
namanya. Satelit telekomunikasi Indonesia yang pertama dinamakan Satelit Palapa, yang
menonjolkan perannya sebagai pemersatu telekomunikasi rakyat Indonesia. Banyak kota di
Indonesia memiliki jalan yang bernama Gajah Mada, namun menarik diperhatikan bahwa
tidak demikian halnya dengan kota-kota di Jawa Barat.
Buku-buku fiksi kesejarahan dan sandiwara radio sampai sekarang masih sering
menceritakan Gajah Mada dan perjuangannya memperluas kekuasaan Majapahit di
Nusantara dengan Sumpah Palapa-nya, demikian pula dengan karya seni patung, lukisan,
dan lain-lainnya.

Budaya populer[sunting | sunting sumber]


 Gajah Mada memiliki kampanye untuk peradaban Melayu dalam paket ekspansi
game Age of Empires II, Rise of the Rajas. Kampanye tersebut berkisar pada
berdirinya kerajaan Majapahit dengan invasi Mongol, penaklukan Nusantara
setelah Sumpah Palapa dan Tragedi Bubat yang menyebabkan kejatuhannya.
Beliau juga muncul di Age of Empires II Definitive Edition.[37]
 Gajah Mada muncul dalam paket ekspansi Brave New World untuk video game
PC Sid Meier's Civilization V sebagai pemimpin peradaban Indonesia.[38]
 Sinetron berjudul Gajah Mada pernah ditayangkan di MNCTV pada tahun 2013.
 Gajah Mada juga disebut sebagai Perdana Menteri Majapahit dalam
anime Joukamachi no Dandelion.[39]
 Novel seri Gajah Mada oleh Langit Kresna Hariadi yang diterbitkan pada tahun
2004.[40]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]


 Prasasti Gajah Mada
 Nagarakretagama
 Hindu di Indonesia
 Agama Hindu di Asia Tenggara
 Universitas Gajah Mada
 Dewi Andong Sari

Catatan[sunting | sunting sumber]
1. ^ Pengarcaan Gajah Mada sebagai Brajanata dan Bima menunjukkan bahwa ia adalah pemuja
Siwa, tetapi agama Majapahit sendiri adalah campuran (sinkretisme) Hindu-Buddha, juga dikenal
sebagai Siwa-Buddha.
2. ^ Sangat mungkin Gajah Mada masih berperan di Majapahit setelah peristiwa Bubat. Munandar
menafsirkan bahwa beliau memimpin sendiri serangan ke Dompo bersama laksamana
Wiramandalika Mpu Nala. Tafsir tentang peranan Gajah Mada dalam Padompo dapat dilihat di
karya sastra koleksi Kesultanan Bima berjudul "Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa",
hanya saja nama Gajah Mada tidak disebut secara langsung melainkan diibaratkan dengan Bima.
Uraian kisahnya pun telah dilingkupi dengan berbagai mitos, legenda, dongeng, dan juga peristiwa
sejarah sezaman ketika naskah itu pertama kali digubah dalam abad ke-17 dan 19. Lihat Munandar,
2010: 99–100.

Kepustakaan[sunting | sunting sumber]
1. ^ Pigeaud, 1960: 83
2. ^ Munandar, 2010: 127
3. ^ Munandar, 2010: 77
4. ^ Lompat ke:a b Pigeaud, Theodore Gauthier Th. (1975). Javanese and Balinese manuscripts and
some codices written in related idioms spoken in Java and Bali: descriptive catalogue, with
examples of Javanese script, introductory chapters, a general index of names and subjects.
Steiner. ISBN 3515019642, 9783515019644  Periksa nilai: invalid character  |isbn= (bantuan).
5. ^ Pogadaev, V. A., 2001, Gajah Mada: The Greatest Commander of Indonesia. Historical Lexicon.
XIV –XVI Century. Vol. 1. h.245-253, Мoscow: Znanie.
6. ^ C. C. Berg. Het rijk van de vijfvoudige Buddha (Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse
Akademie van Wetenschappen, Afd. Letterkunde, vol. 69, no. 1) Ansterdam: N.V. Noord-
Hollandsche Uitgevers Maatschappij, 1962; cited in M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia
Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford University Press, 1993
7. ^ J.L.A. Brandes, 1902, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara,
Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de
puri te Tjakranagara op Lombok.
8. ^ Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai
Pustaka.
9. ^ Gunawan, Restu (2005).  Muhammad Yamin dan cita-cita persatuan Indonesia. University of
Michigan Press.
10. ^ Memory of Majapahit: Gajah Mada
11. ^ Yamin, Muhammad (1945). Gadjah Mada, pahlawan persatoean Noesantara. Balai
Poestaka. ISBN 9789794073230. Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan) ISBN 979-
666-195-0 Diarsipkan 2015-04-05 di Wayback Machine.
12. ^ Oktorino, Nino (2020).  Hikayat Majapahit - Kebangkitan dan Keruntuhan Kerajaan Terbesar di
Nusantara. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 128–129.
13. ^ Darmajati, Danu (29 Desember 2015). "Sejarawan: Wajah Gajah Mada Karya M Yamin Pertama
Ada Tahun 1945". Diakses tanggal 14 Agustus 2019.
14. ^ Berg, Kindung Sundāyana (Kidung Sunda C), Soerakarta, Drukkerij “De Bliksem”, 1928.
15. ^ Nugroho, Irawan Djoko (2011).  Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-
602-9346-00-8.
16. ^ Nugroho, Irawan Djoko (6 August 2018). "Baju Baja Emas Gajah Mada".  Nusantara Review.
Diakses tanggal  14 August 2019.
17. ^ Munandar, 2010: 121
18. ^ Munandar, 2010: 116-117
19. ^ Munandar, 2010: 116
20. ^ Munandar, 2010: 118
21. ^ Munandar, 2010: 116
22. ^ Lompat ke:a b Munandar, 2010: 12-13
23. ^ Munandar, 2010: 77
24. ^ Lompat ke:a b c Agus Aris Munandar, "Gajah Mada, Biografi Politik"
25. ^ Lihat: Lempengan Tembaga Batur, Prasasti Bendasari dan Prasasti Prapancasarapura
26. ^ Lihat: Prasasti Kediri I, Prasasti Singasari dan Prasasti Walandit
27. ^ R. S. Subalidinata, Sumarti Suprayitno, Anung Tedjo Wirawan Sejarah dan perkembangan cerita
murwakala dan ruwatan dari sumber-sumber sastra Jawa, University of Michigan Press (1985)
28. ^ Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama diitemukan pertama kali saat penyerangan di Puri
Cakranegara, Lombok (1894), dengan teks dalam huruf Bali. Pada bulan Juli 1978, ditemukan
kembali di beberapa tempat di Bali yaitu: di Amlapura (Karang Asem), di Geria Pidada, di Klungkung
dan dua naskah lagi di Geria Carik Sideman.
29. ^ Kern, Hendrik (1918). H. Kern: deel. De Nāgarakṛtāgama, slot. Spraakkunst van het
Oudjavaansch. M. Nijhoff.
30. ^ Robson, Stuart O. (1995).  Désawarnana (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca. Leiden: KITLV
Press.
31. ^ Lompat ke:a b Mangkudimedja, R.M., 1979, Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana
HP. Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
32. ^ Prasasti Kudadu dibuat oleh Narrya Sanggramawijaya pada bulan Bhadrapada tahun Saka 1216
(sekitar Agustus s.d. September 1294 Masehi)
33. ^ BRANDES, J.L.A. - Pararaton (Ken Arok): het boek der Koningen van tumapěl en Majapahit.
Tekst,vert.& comm.bew.d.N.J.Krom. Batavia 1920
34. ^ C.C. (1927) Kidung Sunda.">Berg, C.C. 1927. Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en
aanteekeningen. ‘s Grav., BKI.
35. ^ Lihat: pupuh 12 dan 19 dari Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama
36. ^ Risa Herdahita Putri. "Misteri Kematian Gajah Mada". Historia. Diakses tanggal  21 April 2020.
37. ^ JawaPos.com (22 Desember 2016). "Wow, Ada Kerajaan Majapahit dan Gajah Mada di Game
Age of Empire, Cobain Yuk!". JawaPos.com. Diakses tanggal  6 Oktober  2019.
38. ^ "Gajah Mada dan Majapahit hadir di game Civilization V".  merdeka.com  (dalam bahasa Inggris).
Diakses tanggal  6 Oktober  2019.
39. ^ "Tak Disangka, 13 Anime Ini Punya Unsur Indonesia di Dalamnya".  IDN Times. Diakses
tanggal 21 April  2020.
40. ^ "Gajah Mada Series by Langit Kresna Hariadi".  www.goodreads.com. Diakses tanggal 2021-03-
08.

Pustaka[sunting | sunting sumber]
 (Indonesia) Munandar, Agus Aris (2010). Gajah Mada: Biografi Politik. Jakarta:
Komunitas Bambu. ISBN 979-3731-72-9.
 (Inggris) Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1960). Java in the 14th Century: A
Study in Cultural History, Volume III: Translations (edisi ke-3 (revisi)). The Hague:
Martinus Nijhoff. ISBN 978-94-011-8772-5.
 (Indonesia) Yamin, Muhammad (1945). Gadjah Mada, Pahlawan Persatoean
Noesantara. Balai Poestaka. ISBN 9794073237.
sembunyi
Pengawasan otoritas 
 ISNI 
o 1

Umum  VIAF 
o 1

 WorldCat

erpustakaan  Amerika Serikat

nasional  Belanda

 Faceted Application of Subject Terminology

Lain-lain  SUDOC (Prancis) 


o 1
Kategori: 
 Kematian 1364
 Kerajaan Majapahit
 Tokoh Jawa Timur
 Tokoh Jawa
 Halaman ini terakhir diubah pada 15 Agustus 2022, pukul 21.37.
 Teks tersedia di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa; ketentuan tambahan mungkin berlaku.
Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.

Anda mungkin juga menyukai