Anda di halaman 1dari 3

Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton.

[8]
Ia menyatakan tidak akan istirahat atau menikmati kesenangan sebelum berhasil
menyatukan Nusantara.[9]:363-364 Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit
catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah
Mada, saat ini masih kontroversial.[10] Banyak masyarakat Indonesia masa sekarang yang
menganggapnya sebagai pahlawan dan simbol nasionalisme Indonesia[11] dan persatuan Nusantara.
[12]

Penggambaran rupa[sunting | sunting sumber]

Penggambaran Gajah Mada sebagai arca, kanan ke kiri:

 Arca Brajanata, di Museum Nasional Indonesia, No.5136/310d.


 Arca Bima, No.2776/286b.
Penggambaran rupa Gajah Mada yang populer di media sebenarnya adalah imajinasi
dari Mohammad Yamin, di bukunya yang berjudul "Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara",
terbit pertama kali tahun 1945. Pada suatu hari di tahun 1940-an, Yamin mengunjungi Trowulan
untuk melihat lokasi bekas kerajaan Majapahit. Ia menemukan pecahan terakota, salah satunya
celengan berupa wajah seorang pria berwajah gempal dan berambut ikal. Berdasar bentuk muka
wajah celengan itu, Yamin menafsirkan seperti itulah wajah Gajah Mada sang pemersatu
Nusantara. Yamin kemudian meminta seniman Henk Ngantung membuat lukisan seperti terakota
tersebut. Hasil lukisan lalu dipampang sebagai sampul muka buku karya Yamin. Banyak orang yang
menentang pendapat Yamin, karena mustahil wajah tokoh sebesar Gajah Mada dipampangkan di
celengan. Hal semacam itu adalah penghinaan karena biasanya para pemuka negara pada zaman
Hindu Buddha, termasuk Majapahit, diarcakan. Beberapa orang bahkan yakin bahwa wajah yang
disangka Gajah Mada itu tidak lain adalah wajah Yamin sendiri.[13]
Ada pula gambaran lain soal sosok Gajah Mada, berbeda dari yang diilustrasikan M. Yamin, yakni
hasil penelitian arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar. Dia mengilustrasikan Gajah
Mada selayaknya sosok Bima dalam pewayangan, yakni berkumis melintang.[14] Dalam media
populer, Gajah Mada kebanyakan ditampilkan bertelanjang dada, memakai kain sarung, dan
menggunakan senjata berupa keris. Meskipun ini mungkin benar dalam tugas sipil, pakaian
lapangannya mungkin berbeda: Seorang patih Sunda menerangkan, seperti yang tertulis dalam
kidung Sundayana, bahwa Gajah Mada mengenakan karambalangan (lapis logam di depan dada—
breastplate) berhias timbul dari emas, bersenjata tombak berlapis emas, dan perisai penuh dengan
hiasan dari intan berlian.[15][16]

Baju zirah yang mungkin dipakai Gajah Mada, kiri ke kanan:

 Sebuah kuiras yang dipersembahkan oleh seorang brahmana, digambarkan di candi Borobudur.
 Pakaian perang atau baju besi dari sebuah patung candi di Singasari.
 Patung dewa memegang sebuah kuiras, dari Nganjuk, Jawa Timur, pada masa sebelumnya (abad ke-
10 sampai ke-11).

Menurut Munandar, pada awalnya Gajah Mada diarcakan sebagai tokoh Brajanata dalam cerita
panji, dan sebagai Bima dalam cerita Mahabharata pada masa kemudian. Pada awalnya Gajah
Mada tidak langsung diarcakan sebagai tokoh Bima, ia diarcakan sebagai tokoh Brajanata karena
kisah Panji lebih dulu dikenal daripada kegiatan pembuatan arca-arca Bima yang agaknya mulai
berlangsung pada pertengahan abad ke-15. Pemuliaan Gajah Mada pada tahap pertama bersifat
profan—adalah dalam bentuk pengarcaannya sebagai Brajanata, namun selanjutnya terjadi
pemuliaan Gajah Mada dalam tahap kedua yang lebih bersifat sakral, yaitu disetarakan dengan
Bima sebagai salah satu aspek Siwa.[17] Pada arca yang terdapat di Museum Nasional, arca tersebut
digambarkan berbadan tegap, kumis melintang, rambut ikal berombak, di bagian puncak kepala
terdapat ikatan rambut dengan pita membentuk seperti topi tekes. Ia mengenakan busana dan
perhiasan gelang dan kelat lengan atas berupa ular sebagaimana Bima.[18]

Anda mungkin juga menyukai