Anda di halaman 1dari 3

Tiga candi serangkai[sunting | sunting sumber]

Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa
penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi
Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.[19] Awalnya diduga
hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan
berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini.
Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya
dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang dari ketiga
candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan
ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya
keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses
ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.[13]
Selain Candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan
purbakala lainnya, di antaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang
menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan
purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak
di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di
sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut Candi Banon.
Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan cukup baik
yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit
ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca
Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.
Danau purba[sunting | sunting sumber]

Borobudur di tengah kehijauan


alam dataran Kedu. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah danau purba.

Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit
dengan ketinggian 265 m (869 ft) dari permukaan laut dan 15 m (49 ft) di atas dasar danau purba
yang telah mengering.[20] Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di
kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi
atau bahkan di tengah danau. Pada tahun 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu
Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah
danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas permukaan
danau.[14] Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah), utpala (teratai biru),
ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha.
sering kali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk
singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai
bunga teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan
ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian
menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga
melambangkan kelopak bunga teratai.[20] Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa
dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog. pada daratan di sekitar monumen ini
telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada
masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan
bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini.[21] Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen
dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di
lingkungan sekitar Borobudur,[20] yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan
danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar
bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13
dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil dalam mengubah bentang alam
dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danau nya. Salah satu gunung berapi paling
aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah
aktif sejak masa Pleistosen.[22]

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Pembangunan[sunting | sunting sumber]
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916–1919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa
jayanya

Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa
kegunaannya.[23] Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis
aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan
pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800
masehi.[23] Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan
wangsa Syailendra di Jawa Tengah,[24] yang kala itu menguasai tahta Kerajaan Medang.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar
dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.[25][26]
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama
Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana
yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin
awalnya beragama Hindu Siwa.[25] Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan
Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama
Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di
perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6,2 mi) sebelah timur dari Borobudur.[27] Candi
Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi
di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M,
dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar
tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris
Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.
[28]
Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan
desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi
Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan
dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.[28] Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog,
bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai
konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai
pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.[29] Akan tetapi diduga terdapat persaingan
antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan
wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran
pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.[30] Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara
Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai
Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa
Syailendra,[30] akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan
yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam
pembangunan Candi Siwa di Prambanan.[31]
Borobudur diterlantarkan[sunting | sunting sumber]

Meletusnya Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama


diterlantarkannya Borobudur

Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah dan
debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu
benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini
masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi
menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu
kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak
dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi
beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.[6]
[20]
Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam
naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya
"Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini
mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad
ke-15.[6]
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai
bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan
kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan
nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa),
monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada
Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709.[6] Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur"
dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad
Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan putra
mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757.[32] Meskipun terdapat
tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang
mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa
berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari
kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian
dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga
dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi
dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin

Anda mungkin juga menyukai