Anda di halaman 1dari 3

Arsitektur[sunting | sunting sumber]

Borobudur dilihat dari pelataran

sudut barat laut Denah Borobudur membentuk Mandala, lambang

alam semesta dalam kosmologi Buddha. Model Borobudur

Lorong koridor dengan galeri dinding berukir relief


Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak pencapaian
keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami gagasan
dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga merupakan kelanjutan
unsur lokal; struktur megalitik punden berundak atau piramida bertingkat yang ditemukan dari
periode prasejarah Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan leluhur asli Indonesia dan
perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.[3]
Konsep rancang bangun[sunting | sunting sumber]
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk
pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran
konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha
aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara
jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu konsep
alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.[56] Bagaikan sebuah kitab,
Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk
mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 meter (404 ft)
pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur
sangkar dan tiga teras teratas berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.[36] Kaki
tersembunyi ini terdapat relief yang 160 di antaranya adalah berkisah tentang Karmawibhangga.
Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat
adegan dalam gambar relief.[57] Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk
pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa
penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen.[57] Teori lain mengajukan bahwa
penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu
Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata kota.[36] Apapun alasan penambahan kaki ini,
penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan
alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai
oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang
diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup
struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi.
Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat
melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi
kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.[5]
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief
oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari
empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212
panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri
dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam
antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung
Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya
terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar
langkan.[5] Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan
peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah
dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya
dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan
ukiran relief.
Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima hingga
ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak
berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini
melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan
bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72
dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa
besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras
lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras
terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas
stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung
Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan.
Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas
menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada
tetapi tak terlihat.[butuh rujukan]
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna
dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos
tanpa lubang-lubang.[butuh rujukan] Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung
Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang
disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui penelitian lebih lanjut
tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu
merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung
yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian
arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini.
Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu
kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna di mana jiwa manusia sudah tidak
terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.

Anda mungkin juga menyukai