u
B
uku ini ditulis berawal dari berbagai pertanyaan masyarakat
tentang makan. Bolehkah makan sate kelelawar? Rica-rica
landak/sambal goring tokek dan cacing? Biawak asam manis?
Gulai kuda? Tupai goring tepung? Kalajengking goring? Dan lain sebagainya.
Alasan yang dikemukakan dalam menyantap makanan tersebut pun
bermacam-macam. Ada yang memang sengaja dikreasi untuk mendapatkan
sensasi rasa yang baru, ada yang sekedar coba-coba, namun ada juga yang
beralasan demi pengobatan.
Dalam hal makanan ini sudah semestinya umat Islam sensitive terhadap
status halal dan haramnya, seperti disebutkan dalam al Quran surat ‘Abasa
[80] ayat 24: “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya”.
Juga dalam hadits yang diriwayatkan dari khalifah Abu Bakar r.a: “Setiap
daging yang tumbuh dari barang yangharam maka neraka yang lebih berhak
(melumatkannya).” (HR Abu Ya’la). Rasulullah saw juga bersabda: “Setiap
tubuh yang berkembang dari yang haram, maka neraka lebih utama Umat
Islam saat ini mengalami kemunduran berpikir dan lemah dalam keterikatan
mereka kepada hukum Allah. Hal ini terjadi sejak khilafah Islam diruntuhkan
tahun 1924 M, semenjak itu kaum muslimin selalu dijauhkan oleh barat dari
Islam. Sangat berbeda dengan generasi teladan umat ini, yaitu generasi para
shahabat, tabi’in dan tabiut tabi’I yang sangat menjaga diri mereka untuk
selalu terikat dngan hukum-hukum Allah SWT. Sebagai teladan bagi kita
adalah khalifah Abu Bakar yang pernah mengorek kerongkongannya untuk
memuntahkan makanan setelah diketahui makanan yang beliau makan
tersebut tidak jelas asal-usulnya (syubhat).
1
Telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah r.a berkata: Abu Bakar
punya seorang pelayan yang suka memberikan upeti kepadanya. Dia suka
makan dari upeti tersebut. Suatu ketika pelayan itu datang dengan membawa
makanan, Abu Bakar kemudian makan makanan tersebut. Pelayan itu
berkata, “Tahukah engkau apa ini?” Abu Bakar berkata, “Apa itu?” Pelayan
itu berkata, “Saya pernah meramal nasib seseorang pada masa jahiliyah,
sedangkan saya tidak tahu tentang ilmu ramalan, namun saya menipu orang
itu. Lalu orang itu menemuiku dan memberikan apa yang engkau makan
tadi”. Abu Bakar segera memasukan tangannya ke kerongkongan beliau
untuk memuntahkan makanan tadi. Imam Ahmad meriwayatkan dalam
kitabnya Az Zuhd dari Ibnu Sirin dia berkata: saya tidak pernah mendengar
dan tahu seorangpun yang memuntahkan makanan dari apa yang dia makan
(karena syubhat) selain Abu Bakar. (Imam as Suyuti, Tarikh Khulafa’, 2005)
Penentuan halal atau haram suatu makanan adalah sesuatu yang sangat
obyektif dalam Islam, penentuannya jauh dari unsur perasan atau sekedar
prasangka manusia tentang baik dan buruk. Standar untuk menentukan jenis
makanan yang boleh (halal) dan tidak (haram) adalah berdasarkan ‘standar
alam semesta’ dari Dzat Yang Mahatahu segalanya melalui hukum syar’i yang
berlandaskan al Quran dan Sunnah.
Sesungguhnya apa yang telah dihalalkan oleh Allah begitubanyak
jumlahnya dan yang diharamkan-Nya untuk kita sangatlah sedikit. Tapi
manusia yang tidak mau taat tetap mencari-cari alasan untuk tetap
memakannya demi memenuhi tuntutan hawa nafsunya. Nau’udzubiLlah
Risalah kecil ini merupakan suatu bentuk pengamalan surah ‘Abasa ayat
24 dan hadits riwayat Abu Ya’la di atas untuk kita semua.
4
4. An Nathihah adalah hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan
lainnya.
5. Akala as Sabu’u adalah hewan yang mati karena diterkam binatang
buas.
Kesemuannya itu adalah bangkai kecuali jika sempat menyembelihnya
sebelum mati. (lihat Tafsir Al Qur’an Al Azhim 3/22 oleh Imam Ibn Katsir).
Dari ayat tersebut (al Baqarah: 173, al An’am: 145 dan al Maidah: 3)
ditegaskan secara umum bahwa jenis bangkai adalah haram, kecuali bangkai
ikan dan belalang. Karena keduanya dikhususkan dari keumuman tentang
bangkai berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Umar berkata: “Dihalalkan untuk kalian dua bangkai dan dua
darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedangkan dua darah
yaitu hati dan limpa.” (HR. Imam Ahmad dan Daruquthni)
Rasulullah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda:
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Al Arba’ah)
2. Darah
“Atau darah yang mengalir” (lihat QS al An’am *6+: 145). Dikatakan oleh
Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair, diceritakan bahwa orang-orang jahiliyah
dahulu apabila seorang di antara mereka lapar, maka dia mengambil sebilah
alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk
memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan
dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah Allah mengharamkan
darah pada umat ini. (lihat Tafsir Ibn Katsir 3/23-24)
Sekalipun secara umum darah adalah haram, namun ada pengecualian
yaitu terhadap hati dan limpa sebagaimana hadits riwayat Ibnu Umar di atas.
Demikian pula sisa-sisa darah yag menempel pada daging atau leher setelah
disembelih. Semuanya itu hukumnya halal.
Syaikh al Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Pendapat yang benar, bahwa
darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang megalir. Adapun sisa
darah yang menempel pada daging, maka itu tidak ada satupun dari
kalangan ulama yang mengharamkannya”. (dinukil dari al Mulakhas al Fiqhi
2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih al Fauzan).
3. Daging Babi
5
Allah SWT berfirman: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah” (TQS al
Maidah [5]:3)
Penyebutan daging babi pada ayat di atas dalam pemahaman ushul fiqih
adalah penyebutan sebagian untuk keseluruhan (itlaqqul juz’i wa iradatul
kulli).
Sebagai contoh firman Allah: “Berdirilah di malam hari, kecuali sedikit
(daripadanya)” (TQS al Muzzammil [73]:3). Yang dimaksud berdiri dalam ayat
ini adalah penyebutan bagian dari shalat, dan dimaksudkan untuk
menyebutkan keseluruhannya, bukan sekedar berdiri saja. hal ini merupakan
pembahasan Majaz (figurative language; bahasa kias) yaitu “itlaqqul juz’i wa
iradatul kulli” (menyebut bagian tertentu dengan maksud keseluruhan). (lihat
Syaikh Abdul Qadim Zallum, Nizham al Hukmi fil Islam, hal 254-255, juga
Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqh Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’i, hal.
269).
Oleh karena itu, daging babi, dan seluruh bagian tubuhnya yang lain
bahkan miyaknya atau segala sesuatu yang diolah darinya adalah haram. Baik
babi peliharaan maupun liar, jantan maupun betina.
4. Sembelihan untuk Selain Allah
Adalah setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah
hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhluk-Nya
disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya apabila seorang
tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung,
taghut, berhala dan lain sebagainya. Termasuk binatang yang disembelih
untuk sesajian maka hukum sembelihan tersebut adalah haram. Dalilnya
adalah Qur’an surah al Baqarah 173, al An’am 145 dan al Maidah 3 yang
sudah disebutkan di atas.
Keempat benda yang telah disebutkan tadi adalah haram berdasarkan
ayat-ayat al Qur’an. Sedangkan benda-benda yang diharamkan berdasarkan
as Sunnah (hadits) adalah sebagai berikut:
5. Binatang Buas Bertaring
Binatang buas bertaring adalah haram berdasarkan hadits dari Abu
Hurairah, dari Nabi SAW bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring
adalah haram dimakan.” (HR. Muslim)
6
Menurut pendapat Iman Ibnu Abdil Barr dalam at Tamhid (1/125) dan
Ibnu Qayyim al Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in hadits ini adalah hadits
mutawatir (2/118-119). Adz dzînâb adalah binatang yang memiliki taring atau
kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa, anjing, macan
tutul, harimau, beruang, kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan.”
(lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam al Baghawi).
Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam at Tamhid (1/127): “Saya
tidak mengetahui persilangan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin
bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada
manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulamapun yang
membolehkan untuk memakannya. Demikian pula anjing, gajah dan seluruh
binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya).
Dan hujjahnya adalah sabda Nabi SAW bukan mendapat orang…”
Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk
binatang buas yang haram ataukah tidak? Pendapat yang rajih bahwa
musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi’i
berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Abi Ammar berkata: “Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang
musang, apakah ia termasuk hewan buruan?” Jawabnya: “Ya”. Lalu aku
bertanya: Apakah boleh dimakan? Beliau menjawab: “Ya”. Aku bertanya lagi:
“Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah?” Jawabnya: “Ya”. (HR. Abu
Dawud, Tirmidzi dan an Nasa’i) dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, al Hakim, al Baihaqi, Ibnu Qayyim serta Ibnu Hajar
dalam at Talkhis Habir (1/1507)
Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di
atas? Imam Ibnu Qayyim menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/120)
bahwa tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah
termasuk kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi
urf (kebiasan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh al Allamah Mubarakfuri
dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al
Albani dalam at Ta’liqat ar Radhiyah (3-28).
6. Burung yang Berkuku Tajam
Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang dari setiap hewan buas
yang bertaring dan berkuku tajam” (HR. Muslim)
7
Imam al Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): “Demikian juga
setiap burung yang berkuku tajam seperti burung rajawali, elang dan
sejenisnya.” Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shalih Muslim (13/72-73):
“dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzhab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad,
Dawud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas
yang bertaring dan burung yang berkuku tajam”.
7. Khimar Ahliyyah (Keledai Jinak)
Hal ini berdasarkan hadits: dari Jabir berkata: “Rasulullah melarang pada
perang Khaibar dari (memakan) daging khimar dan memperbolehkan daging
kuda”. (HR. Bukhari dan Muslim) dalam riwayat lain disebutkan: “Pada
perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, baghal dan khimar. Lalu
Rasulullah melarang dari baghal dan khimar dan tidak melarang dari kuda”.
(HR. Abu Dawud, an Nasa’i, Ahmad, Ibnu Hibban, Baihaqi, Daruquthni dan
al Baghawi dalam Syarh Sunnah).
Dalam hadits di atas terdapat dua masalah. Pertama: Haramnya keledai
jinak (khimar ahliyyah). Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan
sahabat, tabi’in dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih
dan jelas seperti di atas. Adapun keledai liar, maka hukumnya halal dengan
kesepakatan ulama. (lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani).
Kedua: Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi’i,
Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritas ulama salaf berdasarkan hadits-
hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan dengan
sanadnya yang sesuai syarat Bukhari-Muslim dari Atha’ bahwa beliau berkata
kepada Ibnu Juraij: “Salafmu biasa memakannya (daging kuda)”. Ibnu Juraij
berkata: “Apakah sahabat Rasulullah?” Jawabnya: “Ya”. (Subulus Salam
(4/146-147) oleh Imam as Shan’ani).
8. Al Jalalah
Dari Ibnu Umar berkata: “Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk
dinaiki”. (HR. Abu Dawud). Dalam riwayat lain disebutkan: “Rasulullah
melarang dari memakan jalalah dan susunya”. (HR. Abu DAwud, Tirmidzi,
dan Ibnu Majah).
Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Rasulullah
melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya”.
(HR. Ahmad) dan dihasankan al Hafidz dalam Fath al Bari (9/648).
8
Maksud al Jalalah yaitu setiap hewan, baik hewan berkaki empat maupun
berkaki dua yang makanan pokoknya adalah kotoran, seperti kotoran
manusia/hewan dan sejenisnya. (Fath al Bari (9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam
Mushannaf (5/147) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung
ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (sanadnya shahih sebagaimana
dikatakan al Hafidz dalam Fath al Bari (9/648).
Al Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: “Menghukumi
suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila
hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini
tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram dimakan seperti ayam dan
sejenisnya…”
Hukum jalalah haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas
Syafi’iyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq al
‘Ied dari para fuqaha serta dishahihkan oleh Abu Ishaq al Marwazi, al Qaffal,
al Juwaini, al Baghawi dan al Ghazali. (Fath al Bari (9/648) oleh Ibnu Hajar).
Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan
susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat
keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, secara yakin dan
tidak ada batas waktu tertentu. Al Hafidz Ibnu Hajar (Fath al Bari, 9/648)
menjelaskan: “Ukuran waktu bolehnya memakan hewan jalalah yaitu apabila
bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang
suci menurut pendapat yang benar.” Pendapat ini dikuatkan oleh Imam
Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan al Albani dalam at Ta’liqat ar
Radhiyyah (3/32).
9. Hewan yang Diperintahkan Agama Supaya Dibunuh
Dari ‘Aisyah berkata: “Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik
(jahat/berbahaya) yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun
haram yaitu ular, tikus, anjing hitam, burung gagak, burung elang.” (HR.
Muslim dan Bukhari dengan lafal “kalajengking” gantinya “ular”).
Imam Ibnu Hazm mengatakan dalam al Muhalla (6/73-74): “Setiap
binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW supaya dibunuh maka tidak
ada sembelihan baginya, karena Rasulullah SAW melarang dari menyia-
nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang boleh dimakan untuk
kesia-siaan.” (lihat juga al Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan al
Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi).
9
“Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi SAW memerintahkan supaya
membunuh tokek/cicak.” (HR Bukhari dan Muslim). Imam Ibnu Abdil Barr
berkata dalam at Tamhid (6/129): “Tokek/cicak telah disepakati keharaman
memakannya”.
10. Hewan yang Dilarang Untuk Dibunuh
“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah SAW melarang membunuh empat
hewan: semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad”. (HR. Ahmad, Abu
Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban) dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar
dalam at Talkhis 4/916. Imam Syafi’i dan para sahabatnya mengatakan:
“Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena
seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya.” (lihat
al Majmu’ (9/23) oleh Nawawi)
Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ulama’
sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, maka ia disepakati
keharamannya. (lihat Subulus Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Fâidhul
Qadir 6/414 oleh al Munawi).
Hewan lainnya yang dilarang membunuhnya, yang berarti haram
memakannya adalah katak dan kelelawar. “Dari Abdurrahman bin Utsman al
Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah SAW
tentang kodok/katak yang dijadikan obat, lalu beliau melarang
membunuhnya”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Hakim dan Baihaqi)
Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan
beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzhab Syafi’i. Al
Abdari menukil dari Abu Bakar ash Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas
bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak (lihat pula al
Majmu’ (9/35) oleh Syaikh asy Syanqithi, Adhwanul Bayan (1/59) oleh Adzim
Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh al Bassam)
Telah terdapat dalil-dalil khusus yang melarang membunuh kelelawar.
Dari larangan untuk membunuh ini diistinbath kesimpulan hukum syar’i
mengenai haramnya memakan kelelawar.
Imam Syihabudin asy Syafi’i (w. 808 H) dalam kitabnya at Tibyan li Mâ
Yuhallal wa Yuharram min al Hayawan hal. 87 mengatakan kelelawar
menurut pendapat masyhur dalalm madzhab Syafi’i adalah haram. Imam
10
Nawawi dalam al Majmu’ Syarah Muhadzdzab (9/22) juga menegaskan
haramnya kelelawar menurut madzhab Syafi’i.
Dalilnya adalah hadits bahwa Nabi SAW melarang membunuh kelelawar
(nahâ rasulullah ‘an qatli al khathâthîf) (HR. Abu Dawud, dalam kitabnya al
Marasîl dari jalur ‘Ubad bin Ishaq dari ayahnya) (lihat Imam Asy Syaukani,
Nailul Authar, hal. 1686, Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2000).
Menurut Imam Syihabuddin asy Syafi’i dalam at Tibyan li Mâ Yuhallal wa
Yuharram min al Hayawan hal. 85, bahwa dalam bahasa Arab, kelelawar (al
Khuffâsy) mempunyai empat nama, yaitu: khuffâsy, khusyâf, khuthâf dan
wathwâth. Dengan demikian, hadits Nabi SAW di atas berarti melarang kita
membunuh kelelawar (Arab: khathâthîf, jamak dari khuthâf).
Tentang Tumbuh-tumbuhan
Umumnya semua tumbuhan adalah halal selagi ia tidak beracun atau
memabukkan (daun ganja dan sejenisnya). Diperbolehkan untuk memakan
tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan telah dijelaskan seperti terdapat dalam
al Qur’an surat al An’am *6+ ayat 141: “Dan Dialah yang menjadikan kebun-
kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-
11
tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya
(yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di
hari memetik hasilnya” (TQS al An’am *6+:141)
Bahan Tambahan Makanan (Zat Additif)
Terdiri dari berbagai unsur, seperti lemak dan minyak, bahan pengemulsi,
bahan pen-stabil dan rennet.
a. Lemak dan Minyak
Lemak dan minyak mempunyai berbagai kegunaan dalam pemrosesan
makanan. Malah kehadiran lemak dalam makanan membuat masakan
menjadi lebih sedap. Perkataan shortening adalah suatu istilah komersil yang
digunakan untuk menjelaskan jenis-jenis minyak atau lemak. Bahan ini
banyak digunakan dalam biskuit, pie, pizza, pudding dan krim.
Sumber bagi minyak kebanyakan datang dari tumbuh-tumbuhan,
sedangan lemak umumnya diambil dari hewan. Oleh karena itu perlu
dipastikan dari mana bahan shortening ini berasal. Jika berasal dari jenis-jenis
hewan yang diharamkan maka minyaknya juga haram digunakan.
b. Bahan Pengemulsi
Pengemulsi digunakan untuk menggumpalkan globul lemak yang tersebar
di dalam air atau tetesan air yang tersebar di dalam lemak. Makanan yang
membutuhkan pengemulsi ini antara lain mayonnaise, es krim, coklat dan
margarin. Tanpa bahan pengemulsi ini, maka akan muncul dua lapisan yang
tidak saling menyatu dalam makanan tersebut. Bahan yang dijadikan
pengemulsi adalah lesitin, disgliserida dan monogliserida.
Sumber pembuatan bahan pengemulsi dapat bersumber dari tumbuhan
atau hewan. Namun yang sering digunakan sebagai emulsi adalah lesitin.
Bahan ini biasanya diambil dari kuning telur atau kacang kedelai. Oleh
karenanya itu tidak masalah. Tetapi pengemulsi yang terbuat dari mono atau
digliserida, maka harus diketahui sumbernya, karena biasanya diambil dari
hewan.
c. Bahan Pen-stabil dan Pemekat
Bahan-bahan ini antara lain adalah kanji, dekstrin, pectin, amilosa, gelatin,
karagen dan turunan protein. Bahan-bahan ini memberikan kestabilan dan
12
kepekatan pada makanan termasuk pembentukan gel seperti agar-agar.
Maka yang memerlukan bahan-bahan ini antara lain pie, pudding, minuman
susu coklat, jeli dan dressing salad. Dalam kelompok makan ini sumber
gelatin perlu untuk diberikan perhatian lebih.
Sumber gelatin bisa dari hewan atau tumbuhan. Gelatin diperoleh dari
pemanasan kalogen (diambil dari tulang dan tendon hewan) dalam air. Oleh
karena itu konsumen perlu berhati-hati dalam membeli makanan yang
mempunyai kandungan gelatin pada labelnya.
d. Rennet
Rennet atau rennin adalah sejenis enzim protein yang digunakan dalam
pembuatan keju. Rennin berfungsi untuk menggumpalkan susu dan
membantu pembentukan perisa dan tekstur dalam pembuatan keju. Sumber
rennet adalah dari perut anak lembu atau mikroba seperti Mucor miehei atau
Mucor pusillus. Kaum muslim perlu memastikan sumber rennet yang
digunakan supaya status halalnya diketahui.
13
yang memabukkan’ (khamr), meski demikian bahan bakunya tetap tidak
haram.
Sabda Rasulullah SAW, “Minuman yang banyaknya memabukkan, maka
sedikitnya tetap haram.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi). Hadits ini
menunjukan bahwa meskipun seseorang mengonsumsi minuman yang
memabukkan meski hanya sedikit maka ia telah terjatuh pada tindakan
haram. Permasalalahannya bukan terletak pada mabuk tidaknya pelaku
setelah meminumnya, tetapi kepada dzatnya itu sendiri yang memang
berstatus haram dikonsumsi.
14
Dalam hadits lain dari Anas RA, Rasulullah SAW member keringanan
(rukhsah) kepada Zubair bin al Awwam dan Abdurrahman bin ‘Auf untuk
memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal. (Muttafaq’alaih)
(Lihat Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, 1/623). Hadits ini
membolehkan berobat dengan benda yang haram (dimanfaatkan), sebab
sutera haram dipakai oleh laki-laki, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits
lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Turmudzi.
Dari hal tersebut di atas, Syaikh Taqiyuddin an Nabhani mengompromikan
(jama’) kedua hadits yang bertentangan. Menurut beliau, sabda Nabi SAW
untuk tidak berobat degan yang haram tidak otomatis menunjukkan
keharaman, tetapi sekedar tuntutan (thalab) untuk meninggalkan perbuatan.
Sedangkan dua hadits di atas yang membolehkan berobat dengan benda
najis dan haram, oleh Imam an Nabhani dijadikan qarinah (indikasi) yang
memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya tuntutan tersebut
adalah tuntutan (thalab) yag tidak tegas (ghairu jazim), sehingga hukum
syara’ yang di-istimbath adalah makruh, bukan haram (Taqiyuddin an
Nabhani, asy Syakhshiyah al Islamiyah, 3/110).
Dengan demikian berobat dengan sesuatu yang najis dan haram,
hukumnya adalah makruh. Wallahu a’lam.
16
Dalilnya adalah prinsip dasar hukum syariah (kaidah ushul) yang
menyatakan: “Al ashlu fi al asy-yaa al ibaahah maa lam yarid dalil al-tahrim”
(Hukum asal benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang
mengharamkan).
Dalam hal ini bentuk olahan apapun dari tupai atau bajing (as sanjâb)
maka hukumnya halal.
Asam Manis Biawak
Daging biawak (lahm al Dhab) hukumnya halal. Dalilnya adalah hadits
Rasulullah SAW dari Ibnu Umar RA berkata: Ada beberapa orang sahabat
Nabi SAW di antaranya Sa’ad, mereka sedang berkumpul makan daging, tiba-
tiba salah satu isteri Nabi SAW berseru: Itu daging dhab. Maka mereka
langsun berhenti makan. Maka Nabi SAW bersabda: “Makanlah karena itu
halal”. Atau “Tidak apa tetapi bukan makananku”. (HR. Bukhari dan
Muslim). Dengan dalil ini, maka jelaslah bahwa biawak boleh dijadikan
olahan makanan, hanya saja Rasulullah SAW tidak suka memakannya.
Gulai kuda
Daging kuda (lahm al khayl) hukumnya halal. Dalilnya telah disebutkan di
atas. Selain itu di antara para ulama yang menghalalkan daging kuda adalah
Zaid bin Tsabit ra., Imam asy Syafi’i, dua sahabat Imam Abu Hanifah (yaitu
Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin al Hasan), Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam Ishaq serta jumhur ulama salah dan halaf (Subulus Salam (4/146-147)
oleh Imam as Shan’ani).
Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Asma bint Abu Bakar,
dia berkata, “Kami menyembelih seekor kuda pada masa Rasulullah SAW, lalu
kami memakannya.” (Muttafaq’alayh). Dalam satu riwayat ada tambahan,
“… sedang kami di Madinah.” (Subulus salam,4/78). Kedua dalil ini dengan
jelas telah menghalalkan makan daging kuda. Jadi gulai kuda juga boleh.
Rica-rica landak
Mengenai landak (al qunfudz) ini, terdapat khilafiyah. Menurut Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad, hukumnya haram, berdasarkan sebuah hadits
yang mengharamkannya. Sedang menurut Imam Malik dan Ibnu Abi Laila,
hukumnya halal (Imam ash Sha’ani, Subulus Salam 4/77)
17
Mereka yang mengharamkan landak berhujjah dengan hadits dari ‘Isa bin
Namîlah al Fazari dari bapaknya, ia berkata, “Saya pernah di sisi Ibnu Umar
lalu dia ditanya hukum makan landak. Lalu Ibnu Umar membaca ayat “Qul lâ
ajidu fîmâ… (surat al An’am 145). Maka berkatalah seorang kakek (syaikh) d
sisi Ibnu Umar: aku telah mendengar Abu Hurairah berkata: “Pernah disebut
landak di sisi Nabi SAW maka beliau mengatakan: “Sesungguhnya ia (landak)
adalah satu keburukan di antara keburukan-keburukan (khabîts min al
khabâits)”. Maka berkata Ibnu Umar, “Jika itu dikatakan Rasulullah SAW,
maka hukum landak adalah seperti beliau katakan”. (HR. Ahmad dan Abu
Dawud). (Imam asy Syaukani, Nailul Authar, hal. 1681 dan Imam ash Sha’ani,
Subulus Salam 4/77)
Namun menurut Imam Ibnu Hajar al Asqalani dalam Bulughul Maram,
seperti dikutip Imam ash Shan’ani, “Sanadnya lemah”. (Subulus Salam 4/77).
Beliau menerangkan sebab kelemahannya adalah identitas kakek yang tidak
diketahui (majhûl). Sehingga pendapat yang tepat (shahih), adalah halal
(Imam an Nawawi, al Majmu’ Syarah Muhadzdzab, 8/16). Yaitu kembali
kepada kaidah hukum asal benda yang halal selama tidak ada dalil
pengharamannya.
Sedangkan hadits keharaman landak di atas diragukan keshahihannya.
Dalam keadaan yang demikian berlaku kaidah “al yaqînu lâ yuzâlu bi asy
syakk”. (Sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang
diragukan). (Imam as Suyuthi, al Asybah wa an Nazha’ir, hal. 37).
Kesimpulannya adalah rica-rica landak halal.
18
Rasulullah SAW secara umum melarang memakan hasil penjualan barang
yang haram dimakan.
“Dan sesungguhnya Allah, apabila mengharamkan suatu kaum untuk
memakan sesuatu, maka haram pula bagi mereka hasil penjualannya.” (HR.
Ahmad dan Abu Dawud)
Syaikh Taqiyuddin an Nabhani menyebutkan sebuah kaidah syara’: “Kullu
mâ hurrimâ ‘ala al ‘ibâd fabay’uhu harâm” (Segala sesuatu yang diharamkan
atas hamba, maka memperjualbelikannya adalah haram juga). (Imam an
Nabhani, asy Syakhshiyyah al Islamiyyah, 2/288).
Imam Syaukani mengatakan: “Sesungguhnya setiap yang diharamkan
Allah kepada hamba, maka menjualnya pun haram, disebabkan haramnya
hasil penjualannya. Tidak keluar dari (kaidah) kuliyyah tersebut, kecuali
sesuatu yang telah dikhususkan dengan dalil.” (Nailul Authar, 5/221). Jika
terdapat dalil yang men-taqyid (membatasi) dari kemutlakan hadits tersebut
maka hanya yang di-taqyid itu sajalah yang boleh. Sebagaimana taqyid dalam
persoalan ini adalah hadits berikut:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang hasil penjualan anjing kecuali
anjing buruan.” (HR. an Nasa’i)
Karena itu pula berkaitan dengan hadits yang diriwayatkan an Nasa’i dari
Jabir tersebut beliau Imam Syaukani menganggap sebagai bentuk taqyid dari
dalil mutlak, yakni benda yang diharamkan tidak boleh diperjualbelikan
kecuali anjing buruan. (Nailul Authar, 5/222)
Lebih jauh khalifah Umar berkata: “Tidak halal berdagang sesuatu yang
tidak dihalalkan memakan dan meminumnya.” (Al Bayhaqi, 6/14).
Oleh karenanya tidak boleh seorang muslim menjual benda haram dan
najis serta barang yang membawa pada sesuatu yang diharamkan.
Contohnya, tidak boleh memperjualbelikan minuman keras, daging babi,
bangkai hewan-hewan yang diharamkan (baik secara utuh maupun bagian-
bagiannya; kulit, kuku tulang dll), narkoba atau anggur kepada seseorang
untuk dijadikan minuman keras; atau memperjualbelikan patung dan barang
yang diharamkan dibuat seperti gambar makhluk bernyawa yang dilukis oleh
tangan (seperti manusia dan hewan). Juga membuka restoran atau warung
makan yang menjual masakan ekstrim (extreme culinar) yang diharamkan.
WaLlahu a’lam bi ash shawab.
19