Natrium hidroksida (NaOH), juga dikenal sebagai soda kaustik, soda api, atau sodium
hidroksida, adalah sejenis basa logam kaustik. Ia digunakan di berbagai macam bidang
industri, kebanyakan digunakan sebagai basa dalam proses produksi bubur kayu dan
kertas, tekstil, air minum, regulasi pH, dan sintesis organik sabun dan deterjen.
2. Titanium dioksida
Sifat fisik
Titanium dioksida adalah oksida titanium sederhana yang diekstraksi dari mineral alami,
yaitu ilmenit, rutile, dan anatase. Ketika dimurnikan dari bentuk mineral alaminya,
titanium dioksida berwarna putih bubuk. Senyawa ini terutama digunakan sebagai pigmen
dalam cat, dan juga merupakan bahan umum dalam tinta, tabir surya, dan pewarna
makanan.
Titanium dioksida memiliki rumus kimia TiO2. Senyawa ini tidak benar-benar terjadi
secara alami dalam bentuk murni. Sebaliknya, biasanya ditemukan dalam kombinasi
dengan senyawa lain, seperti batuan beku. Misalnya, dalam bentuk rutil, biasanya
ditemukan dalam kristal kuarsa. Mineral rutil yang terbentuk secara alami dapat
mengandung hingga 10% besi serta sejumlah besar niobium dan tantalum.
Fungsi/kegunaan
Permintaan ekonomi untuk titanium dioksida terutama didasarkan pada sifat-sifatnya
sebagai pigmen dan penghambat UV. Senyawa ini diekstraksi dan diproses sebagai bahan
untuk berbagai produk. Titanium dioksida dimanfaatkan secara luas untuk berbagai
keperluan seperti cat, pelindung sinar matahari, dan pewarna makanan. Apabila digunakan
sebagai pigmen, senyawa ini disebut putih titanium, Pigment White 6 (PW6), atau CI
77891.
Produk Dengan Titanium Dioksida Titanium dioksida adalah bahan kimia anorganik yang
sangat stabil dan tidak reaktif, bahkan pada suhu tinggi. Ini berarti dapat digunakan dalam
pembuatan berbagai produk, mulai dari cat dan bahan tambahan makanan hingga keramik,
perekat, dan bahkan pasta gigi. Dalam produk ini, digunakan baik sebagai salah satu bahan
utama, sebagai prekursor, atau sebagai katalis.
Proses pengolahannya.
Titanium dioksida pertama kali diproduksi secara massal sebagai pigmen pada tahun 1916.
Sumber mineral yang paling umum adalah ilmenit. Pasir mineral rutil juga dapat diolah
untuk menghasilkan bentuk senyawa yang murni. Metode pembuatan yang paling umum
digunakan adalah proses klorida, yang digunakan untuk memisahkan titanium dari
bijihnya:
TiO2 + C → Ti + CO2
Ti + 2Cl2 → TiCl4
Proses sulfat juga digunakan oleh beberapa pabrik pengolahan untuk menghasilkan
pigmen dalam bentuk kristal. Proses yang sama juga dapat mengekstraksi senyawa dan
menghasilkan bentuk anatase dari titanium dioksida. Anatase adalah bentuk mineral
metastabil dari TiO2, biasanya digunakan dalam kertas untuk membuat warna lebih putih.
Beberapa langkah diperlukan untuk proses sulfat pembuatan titanium dioksida:
1. Bijih titanium, biasanya ilmenit, dilarutkan dalam asam sulfat untuk membentuk titanil
sulfat (TiOSO4)
2. Titanil sulfat kemudian mengalami hidrolisis, menghasilkan material tidak larut dan
terhidrasi dari TiO2
3. TiO2 padat dipanaskan dalam kalsiner untuk menguapkan air apa pun dan menguraikan
banyak asam sulfat
4. Setelah didinginkan, produk padat kemudian dibentuk menjadi kristal putih
Pabrik pengolahan yang menggunakan proses sulfat untuk pembuatan TiO2 membutuhkan
konsentrat mineral ilmenit. Jika ini tidak tersedia, sumber titanium lain yang sesuai dapat
diolah terlebih dahulu. Besi pertama kali diekstraksi dari ilmenit dengan mengolahnya
dengan asam sulfat. Ini menghasilkan mineral rutil, yang diproses lebih lanjut berdasarkan
tujuan penggunaan seperti zat tingkat pigmen. Ilmenit juga dapat diproses menggunakan
proses Becher. Proses ini melibatkan pengoksidasi mineral untuk memisahkan komponen
besi.
3. Nacl
Nama IUPAC : Natrium Klorida
Rumus kimia : NaCl
Berat Molekul : 58,44 g mol−1
Bentuk : padatan
Densitas : 0.940 g/Cm3
Boiling Point : 1413°C
Melting Point : 801°C
Warna : Putih
(MSDS NaCl)
Produk kristal kering dari Rotary Dryer dan Cyclone selanjutnya akan
didistribusikan menggunakan Screw Conveyor (J-311) menuju Elevator (J-312) yang akan
membawa kristal kering menuju Ball Mill (C-310) untuk menghancurkan dan
menghaluskan kristal-kristal NaCl agar memiliki ukuran yang lebih kecil. Kristal-kristal
halus selanjutnya dipilah menggunakan Screener (H-320) dengan ukuran 100 mesh.
Kristal NaCl yang tidak lolos dari Screener akan direcycle kembali ke Ball Mill untuk
kembali dihaluskan sedangkan kristal NaCl yang lolos dari Screener dan memiliki ukuran
100 mesh akan dibawa menuju Silo Penyimpanan Produk (F-330) yang selanjutnya akan
melalui proses packaging dan pengiriman ke konsumen.
4. Aluminium Klorida
Padatan kristal putih atau kuning muda (atau padatan amorf tergantung pada
metode produksinya)
aroma atau baunya seperti HCl
hidroskopis
titik leleh 190 °C pada tekanan 2,5 atm
menyublim pada suhu 181,2 °C
massa jenis (density) 2,44 g/cm3 pada suhu 25 °C
terurai dalam air dan menghasilkan panas
larut dalam HCl
larut dalam banyak pelarut organik, termasuk etanol absolute (etanol dengan
tingkat kemurnian tinggi), kloroform, karbon tetraklorida dan eter
sedikit larut dalam benzena.
Aluminium klorida dapat bereaksi dengan kalsium dan magnesium hidrida dalam
tetrahidrofuran membentuk tetrahidro aluminat, Ca(AlH4)2.
Aluminium klorida bereaksi dengan hidrida logam alkali dalam eter membentuk
aluminium hidrida.
Persamaan reaksinya :
AlCl3 + 3LiH → AlH3 + 3LiCl
Dalam HCl dingin dan encer, Aluminium klorida dapat mengalami reaksi hidrolisis
membentuk aluminium klorida heksahidrat, AlCl3⋅6H2O.
Aluminium klorida bereaksi hebat dengan air, menghasilkan aluminum hidroksida
dan gas HCl.
AlCl3 + H2O → Al(OH)3 + HCl(g)
Aluminium klorida merupakan zat kimia korotif. Selain itu, penggunaannya harus
berhati-hati karena reaksi Aluminium klorida dengan zat lain berlangsung
eksotermik. Reaksi eksotermik yang hebat dapat terjadi jika dicampur dengan air
atau alkena.
Aplikasi komersial aluminium klorida sangat yang luas. Beberapa kegunaan dari
aluminium klorida sebagai berikut.
Pembuatan alumunium klorida dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan proses
kalsinasidan proses klorinasi. Pada masing-masing proses memiliki keunggulan
masing-masing sehingga pemilihan proses menyesuaikan proses mana yang paling
ekonomis dan yang paling aman.Adapun perbandingannya dapat dilihat pada
Tabel 4. Berdasarkan ketiga aspek tersebut, maka dipilih proses asidifikasi
larutan alkali silikat dengan pertimbangan dari segi teknis yaitu kondisi operasi
atmosferis yang berlangsung pada suhu 90 –91℃ dengan tekanan 1 atm sehingga
lebih mudah dalam pengontrolan reaksi, desain peralatan lebih murah serta
kemurnian produk yang dihasilkan lebih tinggi. Selain itu dari segi ekonomi,
bahan baku yang digunakan lebih murah jika dibandingkan dengan dua proses yang
lainnya. Sedangkan berdasarkan segi lingkungan, limbah yang dihasilkan berbentuk
garam, sehingga lebih mudah dalam penanggulangannya.
Proses pembuatan Precipitated silica ini dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :
a.Persiapan Bahan Baku
Bahan baku asam sulfat 98% dialirkan ke dalam mixeruntuk diencerkan hingga
konsentrasinya mencapai 5%. Agar reaksi berlangsung sempurna, digunakan asam
sulfat berlebih 10%. Selanjutnya hasil dari pengenceran ini dipompa menuju heater
untuk memanaskan suhuasam sulfat tersebut menjadi 90 ℃ sesuai kondisi operasi
reaktor. Sodium silikat dari tangki penyimpanan juga dipanaskan pada heater
sebelum dialirkan ke reaktor.
b.Pembentukan Produk
Pada tahap ini, asam sulfat yang sudah diencerkan akan direaksikan dengan
sodium silikat pada sebuah reaktor CSTR. Reaktor bekerja pada suhu 90 oC dan
tekanan 1 atm. Reaksi yang terjadi adalah reaksi eksotermis, maka diperlukan coil
pendingin untuk menjaga suhu operasi tetap pada batas yang diinginkan. Pada
reaktor digunakan pengaduk untuk mempercepat terjadinya reaksi.
c.Pemurnian Produk
Produk yang dihasilkan dari reaktor ini akan didinginkan terlebih dahulu dalam
cooler sebelum dialirkan ke thickener. Thickener digunakan untuk mengurangi jumlah
liquid sebelum dialirkan ke rotary drum vacuum filter.Cake yang dihasilkan akan
dialirkan ke rotary dryer untuk dikeringkan, sedangkan filtrat yang dihasilkan akan
dialirkan menuju WTP. Rotary dryer digunakan untuk mengurangi kadar air pada
cake menjadi maksimum 10% dengan media pemanas steam. Selanjutnya cake yang
sudah kering akan diangkut dengan cooling conveyor untuk didinginkan
sebelum menuju ke ball mill. Produk dihancurkan hingga ukuran produk menjadi
325 mesh/44 mikron. Setelah itu, produk diayak menggunakan vibrating screen
untuk memisahkan produk yang ukurannya sudah memenuhi spesifikasi dengan
yang belum memenuhi spesifikasi. Produk yang belum memenuhi spesifikasi akan
dikembalikan lagi ke ball mill, sedangkan untuk produk yang ukurannya telah
memenuhi spesifikasi akan masuk ke dalam gudang produk dan di-packingdengan
ukuran 50 kg/karung.
5. Asam sitrat
Asam sitrat mempunya sifat kimia maupun sifat fisik, berikut sifat-sifat yang dimiliki oleh
asam sitrat (Othmer, 1987):
A. Sifat Kimia
1. Kontak langsung (paparan) terhadap asam sitrat kering atau larutan dapat menyebabkan
iritasi kulit dan mata.
2. Mampu mengikat ion-ion logam sehingga dapat digunakan sebagai pengawet dan
penghilang kesadahan dalam air.
3. Pada pemanasan 175℃ , asam sitrat berubah menjadi aconitic acid. Aconitic acid jika
ditambah dengan hydrogen berubah menjadi tricarballylic acid.
4. Pada pemanasan 175℃ , asam sitrat jika dieliminasi dengan oksigen dan
menghilangkan karbondioksida berubah menjadi acetonedicarboxylic acid.
Acetonedicarboxylic acid jika diuapkan karbondioksidanya berubah menjadi acetone.
5. Pada pemanasan 175℃ , asam sitrat jika dihilangkan karbondioksida berubah menjadi
itaconic acid.
6. Larutan asam sitrat bila dicampur dengan asam sulfat atau oksidasi dengan larutan
potassium permanganate menghasilkan asam acetonedicarboxylic.
7. Pada suhu 35℃ , jika asam sitrat dioksidasi dengan potassium permanganate
menghasilkan asam oksalat.
8. Asam sitrat terdekomposisi menjadi asam oksalat dan asam asetat jika dibakar dengan
potassium hydroxide atau dioksidasi dengan asam nitrit.
B. Sifat Fisik
Pada dasarnya proses fermentasi ini terbagi menjadi dua macamyaitu surface fermentation
(fermentasi permukaan) dan submerged atau deep submerged fermentation (fermentasi
biakan celup/dalam). Namun pada masingmasing metode dapat dikembangkan lagi
berdasarkan mikroorganisme yang digunakan :
Kebutuhan energy untuk “surface fermentation” tidak banyak Karena proses aerasi
menggunakan peralatan yang sederhana yaitu berupa kipas yang menghasilkan udara dan
digerakkan oleh motor elekrtik, energy yang dibutuhkan 1,3 – 2,6 MJ/m3.
(Kirk Ohmer,“Encyclopedia of Chemical Engineering”, Vol. 6, hal 157)