REPUBLIK INDONESIA
SISI BALIK COVER
DEPAN
Daftar Isi
Modul Inti 1. Manajemen Respon Gizi Pada Masa Tanggap Darurat Bencana 18
Modul Inti 2. Koordinasi Penanganan Gizi Pada Masa Tanggap Darurat Bencana 30
I. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini membahas tentang kebijakan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan,
strategi penanggulangan krisis kesehatan, dan penanganan gizi dalam penanggulangan bencana.
Kebijakan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan membahas tentang peraturan perundang-
undangan terkait penanggulangan bencana dan kaitannya dengan penanganan gizi dalam situasi
bencana. Salah satu peraturan yang menjadi dasar adalah Peraturan Menteri Kesehatan nomor 75
tahun 2019 Tentang penanggulangan Krisis Kesehatan.
Dalam peraturan diatas, salah satu strategi penanggulangan krisis kesehatan adalah mekanisme
koordinasi klaster kesehatan. Dalam mekanisme koordinasi tersebut, sub klaster gizi merupakan
bagian dari klaster kesehatan. Mata pelatihan ini juga membahas tentang tiga fase penanganan gizi
dalam penanggulangan bencana yaitu prabencana, tanggap darurat dan pasca bencana.
A. Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu memahami kebijakan penanganan krisis
kesehatan.
B. Indikator Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu:
1. Menjelaskan kebijakan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan
2. Menjelaskan strategi penanggulangan krisis kesehatan
3. Menjelaskan penanganan gizi dalam penanggulangan bencana
IV. Metode
Metode yang digunakan pada materi ini adalah:
1. Ceramah interaktif
2. Curah pendapat
Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau
antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Gangguan pada layanan dasar dan kondisi kehidupan yang disebabkan oleh kejadian bencana
seperti terganggunya akses terhadap makanan, layanan kesehatan, air bersih dan sanitasi, dapat
meningkatkan risiko kesakitan dan kematian secara signifikan pada balita dengan masalah gizi
serta pada kelompok rentan lainnya yang terdampak.
Penanggulangan bencana bertujuan untuk:
a. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;
b. Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh; menghargai budaya lokal; membangun partisipasi dan
kemitraan publik serta swasta; mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan
kedermawanan; dan
c. Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
UU 24 Tahun 2007 membagi penanganan bencana kedalam tiga tahap yang terdiri dari
prabencana, tanggap darurat dan pascabencana. Pada tahap prabencana, kegiatan
penyelenggaraan penanggulangan becana terdiri dari kegiatan yang dilakukan pada situasi tidak
terjadi bencana dan pada situasi terdapat potensi bencana. Contoh kegiatan penanggulangan
bencana pada tahap prabencana dalam situasi tidak terjadi bencana antara lain perencanaan
penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pelatihan dan penyusunan standar
teknis. Pada situasi terdapat potensi bencana, kegiatan penanggulangan bencana termasuk
kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana.
Diatur dalam UU bahwa pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana merupakan tanggung
jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan tidak menutup sumber dana
lain dari masyarakat. Pengelolaan dana bantuan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah
(PP)nomor 2 tahun 2008. Pada masa tanggap darurat BNPB menggunakan Dana Siap Pakai yang
diatur dalam peraturan Kepala BNPB no 2 tahun 2018.
Disebutkan bahwa Krisis Kesehatan adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengakibatkan timbulnya korban jiwa, korban luka/sakit, pengungsian, dan/atau adanya potensi
bahaya yang berdampak pada kesehatan masyarakat yang membutuhkan respon cepat di luar
kebiasaan normal dan kapasitas kesehatan tidak memadai. Penanggulangan Krisis Kesehatan
adalah serangkaian upaya yang meliputi kegiatan prakrisis kesehatan, tanggap darurat Krisis
Kesehatan, dan pascakrisis kesehatan.
Penanggulangan pada tahap prakrisis kesehatan ditujukan untuk peningkatan sumber daya
kesehatan, pengelolaan ancaman terjadinya Krisis Kesehatan, dan pengurangan kerentanan.
Kelompok rentan yang harus diperhatikan menurut PMK 75 tahun 2019 antara lain bayi, balita,
ibu hamil, ibu menyusui, lansia, disabilitas, pengungsi dengan penyakit kronis yang memerlukan
pengobatan berkesinambungan.
Penanggulangan pada tahap prakrisis kesehatan meliputi upaya pencegahan dan mitigasi,
dan kesiapsiagaan. Upaya pencegahan dan mitigasi pada tahap prakrisis kesehatan meliputi
kegiatan:
a. kajian risiko Krisis Kesehatan;
b. menyusun, mensosialisasikan dan menerapkan kebijakan atau standar Penanggulangan
Krisis Kesehatan;
c. mengembangkan sistem informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan;
Penanggulangan pada tahap tanggap darurat Krisis Kesehatan ditujukan untuk merespon
seluruh kondisi kedaruratan secara cepat dan tepat guna menyelamatkan nyawa, mencegah
kecacatan lebih lanjut, dan memastikan program kesehatan berjalan dengan terpenuhinya
standar minimal pelayanan kesehatan. Kebijakan yang mengatur standar minimal pelayanan
kesehatan adalah PMK nomor 4 tahun 2019 tentang standar teknis pelayanan kesehatan.
Termasuk didalamnya pelayanan kesehatan bagi penduduk terdampak krisis kesehatan akibat
bencana dan/atau berpotensi bencana.
Penanggulangan Krisis Kesehatan dilaksanakan secara berjenjang oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kementerian Kesehatan sesuai dengan tugas
dan fungsinya.
Penanggulangan Krisis Kesehatan pada tahap tanggap darurat Krisis Kesehatan harus didahului
dengan penetapan status keadaan darurat Krisis Kesehatan. Penetapan status keadaan darurat
Krisis Kesehatan dilakukan oleh:
a. Menteri untuk status keadaan darurat Krisis Kesehatan tingkat nasional;
b. kepala dinas kesehatan provinsi untuk status keadaan darurat Krisis Kesehatan tingkat
provinsi; atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota untuk status keadaan darurat Krisis
Kesehatan tingkat kabupaten/kota.
Dalam hal Presiden, Gubernur, atau Bupati/Walikota menetapkan status keadaan darurat Bencana,
kegiatan Penanggulangan Krisis Kesehatan pada tahap tanggap darurat dapat dilaksanakan
tanpa penetapan status keadaan darurat Krisis Kesehatan.
Penanganan gizi merupakan bagian dari klaster kesehatan yang disebut dengan mekanisme
sub klaster gizi. Sub klaster gizi di koordinir oleh Kementerian Kesehatan dan dines kesehatan
di masing-masing wilayah. Penjelasan mengenai Klaster penanggulangan bencana, klaster
kesehatan dan sub klaster gizi dijelaskan sebagai berikut.
Pendekatan klaster ditujukan untuk memastikan bahwa dukungan internasional sejalan dengan
struktur organisasi nasional dan daerah serta untuk memfasilitasi hubungan yang erat antara
lembaga pemerintah, masyarakat, internasional, dan pemangku kepentingan lainnya. Pendekatan
klaster juga merupakan upaya untuk memastikan dukungan nasional sejalan dengan struktur
organisasi daerah.
Pada klaster nasional, penanggung jawab bidang kesehatan adalah klaster kesehatan dalam hal
ini Kementerian Kesehatan sebagai koordinator. Pelayanan gizi merupakan bagian dari kegiatan
pelayanan kesehatan dalam penanggulangan bencana. Oleh karena itu, di dalam pendekatan
koordinasi klaster di Indonesia, koordinasi kegiatan gizi bencana merupakan tugas dari sub-
klaster gizi yang berada dibawah naungan Klaster Kesehatan. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana adalah merupakan koordinator lintas klaster di tingkat nasional. Kegiatan utama klaster
penanggulangan bencana beserta koordinatornya disebutkan pada tabel dibawah ini.
2. Klaster kesehatan
Penanggulangan Krisis Kesehatan dilakukan dengan sistem klaster. Sistem klaster
diimplementasikan melalui pembentukan Klaster Kesehatan pada tingkat pusat dan tingkat
daerah yang bertujuan untuk meningkatkan koordinasi, kolaborasi, dan integrasi dalam
Penanggulangan Krisis Kesehatan. Klaster Kesehatan merupakan bagian integral dari klaster
penanggulangan Bencana.
Klaster Kesehatan Nasional dibentuk oleh Menteri dan dikoordinasikan oleh Kepala Pusat yang
menangani bidang krisis kesehatan. Klaster kesehatan Provinsi dibentuk dan dikoordinasikan
oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Klaster Kesehatan Kabupaten/Kota dibentuk dan
dikoordinasikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Sub klaster gizi adalah bagian dari mekanisme koordinasi klaster kesehatan dalam
penanggulangan bencana dan krisis kesehatan. Pendekatan klaster adalah pendekatan
koordinatif yang menyatukan semua pihak terkait baik pemerintah maupun non-pemerintah
dalam upaya penanggulangan bencana. Koordinator sub klaster gizi adalah penanggung jawab
gizi di Kemenkes dan Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota, yang ditunjuk oleh pejabat
yang berwenang pada masing-masing tingkatan.
Mekanisme koordinasi sub klaster gizi juga bertujuan untuk memastikan agar koordinasi
penanganan gizi yang dilakukan oleh pemerintah dan mitra sesuai dengan prioritas pemerintah
daerah terdampak.
Sub klaster gizi diaktifkan oleh Koordinator Klaster Kesehatan di masing-masing tingkatan
sebagai berikut:
a. Pada keadaan darurat bencana tingkat Kabupaten/ Kota, Sub Klaster Gizi diaktifkan oleh
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
b. Pada keadaan darurat bencana tingkat Provinsi, sub klaster gizi diaktifkan oleh Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi.
c. Pada bencana atau krisis kesehatan tingkat nasional, sub klaster gizi diaktifkan oleh Pusat
Krisis Kesehatan.
Sub klaster gizi dapat diaktifkan pada setiap tingkatan pemerintahan untuk memfasilitasi
koordinasi vertikal antara Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional. Setelah sub klaster gizi
diaktifkan, koordinator sub klaster gizi perlu menginformasikan aktivasi sub klaster gizi kepada
para mitra sub klaster gizi di masing-masing tingkatan. Idealnya sub klaster gizi telah dibentuk
pada masa kesiapsiagaan untuk kemudian diaktifkan segera setelah ada peringatan dini bencana
atau krisis kesehatan.
Untuk mendukung pengelolaan sub klaster gizi diwilayah terdampak, Kemenkes dan Dinkes
dapat melakukan mobilisasi Tim Gerak Cepat (TGC) Gizi. Tim tersebut dibentuk oleh Kemenkes,
Dinkes Provinsi dan Dinkes Kabupaten/ Kota merupakan bagian dari sub klaster gizi yang dapat
dimobilisasi secara cepat guna mendukung upaya penanganan gizi di wilayah terdampak. TGC
Gizi bertugas untuk memberikan dukungan teknis/ pendampingan kepada Dinkes terdampak di
dalam mengelola kegiatan penanganan gizi pada situasi bencana, termasuk dukungan koordinasi
maupun intervensi teknis. TGC Gizi dapat dimobilisasi untuk bencana tingkat Provinsi maupun
tingkat Kabupaten/Kota berdasarkan kebutuhan dan arahan dari Pusat Krisis Kesehatan.
TGC Gizi dapat dimobilisasi ke lokasi bencana segera setelah terjadinya bencana atau sejak fase
siaga darurat. Dinkes Provinsi bertugas untuk memfasilitasi mobilisasi TGC Gizi pada bencana
tingkat Kabupaten/Kota. Kemenkes bertugas untuk memfasilitasi mobilisasi TGC Gizi pada
bencana tingkat Provinsi atau Kabupaten.
Aspek gizi juga telah dipertimbangkan didalam strategi pennguatan pelaksanaan penyaluran
bantuan sosial dan subsidi yang terintegrasi dan tepat sasaran. Diantaranya melalui
pengembangan variasi bantuan pangan dan sistim perlindungan sosial adaptif untuk menjamin
asupan gizi bagi ibu hamil, anak usia dibawah dua tahun dan perbaikan gizi anak usia sekolah
dari keluarga penerima bantuan sosial baik disituasi normal dan pada situasi darurat.
Selaras dengan kebijakan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan dalam PMK 75 tahun
2019, Penanganan gizi dalam penanggulangan bencana dilakukan pada tahap pra bencana,
tanggap darurat dan pasca bencana. Kegiatan kunci pada setiap tahapan dapat dilihat pada
gambar berikut:
Gambar 3.Sistim Penaganan Gizi pada Bencana. Dimodifikasi dari The Management of Nitrition in Major Emergencies; WHO, 2000. p75-77
a. Dalam situasi tidak terjadi bencana kegiatan yang perlu dilakukan meliputi
1) Analisis dan pengurangan Risiko Masalah Gizi
2) Sosialisasi dan orientasi termasuk Pelatihan teknis terkait materi gizi
3) Pengadaan Sarana dan Prasarana Standar Penanganan Gizi
4) Surveilans gizi
2. Tanggap Darurat
Respon gizi pada masa tanggap darurat dilaksanakan mengikuti pedoman pelaksanaan respon
gizi pada masa tanggap darurat, Kemenkes RI, 2020. Kegiatan respon gizi pada masa tanggap
darurat terdiri dari
a. Kajian Dampak Bencana dan analisis kebutuhan gizi
b. Perencanaan respon gizi
c. Intervensi respon gizi & mobilisasi sumberdaya
d. Monitoring & evaluasi
e. Koordinasi
f. Komunikasi Risiko dan Pelibatan Masyarakat
g. Manajemen logistik
h. Surveilans gizi
3. Paskabencana
Kegiatan penanganan gizi paskabencana meliputi:
a. Bimbingan teknis pascabencana
b. Pengumpulan data dan perkembangan status gizi korban bencana
c. Analisis kebutuhan gizi pascabencana
d. Surveilans gizi
VIII. Rangkuman
Modul dasar 1 membahas tentang kebijakan penanganan gizi dalam penanggulangan bencana
disampaikan melalui kegiatan ceramah interaktif dan curah pendapat. Ceramah interaktif
menyampaikan materi pokok 1) kebijakan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan
yang memuat mengenai kebijakan penanggulangan bencana dan kebijakan penanggulangan
krisis kesehatan; 2) Strategi penanggulangan krisis kesehatan yang membahas tentang klaster
IX. Referensi
1. UU No 24 Th 2007 tentang bencana
2. UU No 36 Th 2009 tentang kesehatan
3. UU No. 23 tahun 2013 tentang pemerintahan daerah
4. PP No 2 Th 2018 tentang SPM
5. PERMENDAGRI No 101 Th 2018 tentang penerapan SPM
6. PERMENKES 4 TAHUN 2019 tentang standar teknis pelayanan kesehatan
7. Pedoman penanganan gizi dalam penanggulangan bencana. Kemenkes RI 2018.
X. Lampiran
A. Daftar istilah
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan
kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat, dan rehabilitasi.
I. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini membahas tentang risiko bencana terkait gizi dan manajemen respon gizi. Respon
gizi pada situasi bencana menjadi sangat penting untuk dilakukan mengingat masalah-masalah gizi
yang terdapat di wilayah rawan bencana. Manajemen respon gizi dilakukan berdasarkan Pedoman
Pelaksanaan Respon Gizi pada Masa Tanggap Darurat Kemenkes RI 2020. Setelah membahas
risiko bencana terkait gizi, modul ini menyajikan kerangka manajemen respon gizi yang digunakan
dalam perdoman tersebut. Bagian-bagiannya akan dibahas lebih lanjut pada mata pelatihan inti
lainnya.
IV. Metode
Metode yang digunakan pada materi ini adalah:
1. Ceramah interaktif
2. Curah pendapat
3. Diskusi kelompok(IHB 1&2)
Kekurangan gizi terdiri dari (1) gizi kurang atau wasting yang ditandai dengan terlalu kurus dan
diukur melalui perbandingan berat badan terhadap panjang/tinggi badan; (2) pendek atau stunting
yang ditandai dengan terlalu pendek untuk usianya dan dapat diukur melalui perbandingan tinggi
badan terhadap umur; (3) berat badan kurang yang diukur melalui berat badan terhadap umur.
Kelebihan gizi atau yang biasa disebut dengan kegemukan atau obesitas diukur dengan indeks
masa tubuh (IMT) dan rasio pinggang dan pinggul. Kelebihan gizi berkaitan dengan penyakit tidak
menular seperti stroke, diabetes, dan jantung.
Kekurangan gizi mikro yaitu kekurangan vitamin dan mineral penting -. Kekurangan - gizi mikro
dapat ditandai secara klinis atau sub-klinis seperti buta senja karena kekurangan vitamin A atau
dengan melakukan pengujian biokimia seperti anemia karena kekurangan zat besi.
Masalah gizi, baik itu kekurangan maupun kelebihan akan memberikan dampak tidak hanya bagi
individu itu sendiri, tapi juga bagi generasi selanjutnya bahkan bagi Negara. Dampak yang timbul
tidak hanya dalam jangka waktu dekat tapi juga dalam jangka waktu yang lama. Berikut ini beberapa
dampak yang muncul berdasarkan bentuk-bentuk malnutrisi, yaitu:
a. Pada ibu hamil
1. Anemia
2. Kurang energi kronis
3. Kekurangan kalsium, vitamin D, dan folat - dapat memengaruhi perkembangan janin
4. Kematian
b. Balita:
1. Gangguan pertumbuhan
2. Sistem kekebalan tubuh melemah (kekurangan vitamin A
3. Infeksi
4. Kematian
5. Biaya ekonomi
c. Remaja putri
1) Kekurangan Zat Besi - anemia, berimplikasi pada kemampuan belajar remaja (terutama
remaja putri)
Situasi bencana membuat kelompok rentan seperti ibu hamil, bayi, anak-anak dan lanjut usia mudah
terserang penyakit dan mengalami malnutrisi. Akses terhadap layanan kesehatan dan pangan
menjadi semakin berkurang. Air bersih menjadi sangat langka akibat terbatasnya persediaan dan
banyaknya jumlah orang yang membutuhkan serta sarana sanitasi yang terbatas. Dalam keadaan
yang seperti ini risiko dan penularan penyakit dapat meningkat.
Respon gizi berperan penting di dalam penanganan bencana dan krisis kesehatan untuk
mempertahankan status gizi masyarakat dan mencegah risiko kesakitan dan kematian akibat
kekurangan gizi, khususnya pada kelompok rentan. Manajemen respon gizi (pada masa tanggap
darurat bencana) dilakukan berdasarkan alur penanganan gizi pada masa tanggap darurat pada
gambar berikut
5. Koordinasi
Mekanisme koordinasi penanganan gizi bertujuan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
kegiatan di antara mitra/instansi yang bergerak di dalam penanganan gizi serta untuk meningkatkan
efektivitas respon gizi. Koordinasi penanganan gizi dilakukan melalui mekanisme sub klaster gizi.
Mekanisme koordinasi sub klaster gizi bertujuan untuk memastikan agar koordinasi penanganan
gizi yang dilakukan oleh pemerintah dan mitra sesuai dengan prioritas pemerintah daerah
terdampak. Beberapa kegiatan kunci koordinasi penanganan gizi antara lain, pelaksanaan
pertemuan koordinasi sub klaster gizi, koordinasi lintas sektor dengan klaster terkait serta
pembentukan kelompok kerja (Pokja) untuk setiap intervensi gizi yang diperlukan.
Intervensi gizi sensitf adalah berbagai penanganan bencana diluar sektor kesehatan yang
diperlukan untuk mendukung kesehatan kelompok dan pemenuhan gizi kelompok rentan.
Misalnya memastikan ketersediaan air bersih di dapur umum dan dapur PMBA serta penyediaan
ruang ramah ibu dan anak di pengungsian.
7. Manajemen logistik
Pada situasi bencana, sering dihadapi tantangan keterbatasan transportasi, keterbatasan obat
dan perbekalan kesehatan, penyimpanan dan pergudangan serta akses ke wilayah sasaran. Oleh
karena itu diperlukan perencanan logistik gizi, penyediaan, penyimpanan dan pendistribusian
obat dan perbekalan kesehatan yang diperlukan, serta pencatatan dan pelaporan yang memadai.
Manajemen logistik gizi dalam situasi bencana bertujuan untuk memastikan ketersediaan alat dan
bahan agar intervensi gizi yang dibutuhkan dapat terlaksana.
Manajemen logistik gizi merupakan bagian dari manajemen logistik, obat dan perbekalan
kesehatan. Tim logistik sub klaster gizi harus berkoordinasi dan bekerjasama dengan tim logistik
klaster kesehatan dalam setiap tahapan kegiatan. Fungsi manajemen logistik gizi pada situasi
bencana dilakukan oleh staf/tim yang ditunjuk oleh penanggung jawab gizi didukung oleh mitra
sub klaster gizi (apabila ada).
8. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi krisis
kesehatan dan bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna. Kegiatan kesiapsiagaan respon gizi perlu dilakukan pada masa prabencana untuk
meningkatkan kemampuan instansi/daerah/masyarakat dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
kunci manajemen respon gizi yang disebutkan pada poin 1-7 diatas.
Respon gizi pada masa pandemi/epidemi COVID-19 dan penyakit menular lainnya perlu
memperhatikan upaya pembatasan transmisi penyakit. Pelaku respon gizi perlu memperhatikan
anjuran pemerintah seperti 5M yaitu Memakai Masker, Mencuci Tangan Pakai Sabun, Menjaga
Jarak, Menghindari Kerumunan, dan Mengurangi Mobilitas. Pada masa pendemi/epidemi
COVID-19, penanganan gizi dapat dilakukan mengacu pada Pedoman Pelayanan Gizi Pada Masa
Tanggap Darurat COVID-19 untuk tenaga kesehatan.
VIII. Rangkuman
Modul inti 1 membahas tentang manajemen respon gizi pada masa tanggap darurat disampaikan
melalui ceramah interaktif, curah pendapat dan diskusi kelompok (IHB 1&2). Ceramah interaktif
menyampaikan materi pokok 1) risko bencana terkait gizi yang terdiri dari masalah-masalah gizi
akibat bencana dan kelompok rentan; 2) manajemen respon gizi yang memuat kajian dampak
bencana, perencanaan respon gizi, intervensi dan mobilisasi sumberdaya, monitoring & evaluasi,
koordinasi, komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat, manajemen logistik, dan kesiapsiagaan.
X. Lampiran
A. Penugasan Mata Pelatihan Inti 1. Manajemen respon gizi pada masa tanggap darurat
1. Tujuan penugasan
Pada akhir diskusi kelompok, peserta mampu menjelaskan manajemen respon gizi pada masa
tanggap darurat bencana
2. Metode penugasan
Diskusi kelompok
3. Bahan Penugasan
a. Flip Chart
b. ATK
c. Lembar siklus respon gizi pada masa tanggap darurat
d. Lembar Kasus
e. Panduan Diskusi Kelompok
1) Penduduk
a. Kec. Bukit Raya
Jumlah penduduk kecamatan adalah 15.783 jiwa, dengan persentase penduduk terancam
sebesar 45%. Perkiraan penduduk yang mengungsi ada 80% dari penduduk terancam.
b. Kec. Punai
Jumlah penduduk 8.452 jiwa, dengan persentase penduduk terancam sebesar 30%.
Perkiraan penduduk yang mengungsi ada 65%.
c. Kec. Senarai
Jumlah penduduk 12.662 jiwa, dengan persentase penduduk terancam sebesar 40%.
Perkiraan penduduk yang mengungsi ada 85% dari penduduk terancam.
2) Status Gizi
Berdasarkan data laporan rutin terakhir pada Kabupaten Z, diperoleh informasi status gizi
sebagai berikut:
Data Nilai
Prevalensi anemia pada ibu hamil 46,8%
Cakupan ASI Eksklusif 20%
Prevalensi balita mengonsumsi susu formula 3%
Prevalensi balita mengalami anemia 57%
Prevalensi balita gizi kurang 14,6%
Prevalensi balita gizi buruk 3,6%
• Prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk di Kecamatan terdampak pada tabel di bawah ini:
3) Fasilitas Umum
• Sarana jalan menuju lokasi tidak dapat dilalui oleh kendaraan karena tergenang dan
tertimbun longsor.
• Aliran listrik ke daerah bencana terputus sama sekali. Beberapa tempat seperti kantor
pemerintahan dan rumah penduduk menggunakan genset.
• Fasilitas PDAM di daerah bencana terputus, demikian pula sarana air bersih penduduk
yang umumnya sumur gali banyak yang terkubur.
• Sarana komunikasi yang berfungsi adalah radio komunikasi dengan menggunakan Rig
dan HT.
5) Ekonomi
• Dari sektor ekonomi diperkirakan bencana banjir bandang mempunyai dampak lumpuhnya
pasar penduduk selama 2 minggu akibat tergenangnya pasar kecamatan Bukit Raya dan
beberapa toko/warung.
• Dampak bencana juga diperkirakan akan berpengaruh terhadap rusaknya lingkungan
berupa persawahan 100 ha dan perkebunan 3.800 ha.
6) Pemerintahan
• Dampak bencana yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap pemerintahan dengan
tergenangnya kantor Kecamatan Bukit Raya dan Kecamatan Punai.
I. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini membahas tentang peran pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan tanggap
bencana, dan pertemuan koordinasi penanganan gizi. Koordinasi penanganan gizi pada masa
tanggap darurat dilakukan melalui mekanisme sub klaster gizi yang merupakan sub materi pokok
pada modul dasar 1. Modul ini akan membahas operasionalisasi dari sub klaster gizi dalam melalui
pertemuan sub klaster gizi dan pelaksanaan koordinasi lintas sektor terkait penanganan gizi pada
masa tanggap darurat.
IV. Metode
Metode yang digunakan pada materi ini adalah:
1. Ceramah interaktif
2. Curah pendapat
3. Simulasi(IHB 1-3)
1. Pemerintah
Komando penanganan bencana oleh pemerintah dilakukan melalui Sistem Komando Penanganan
Darurat Bencana (SKPDB) dan melalui Koordinasi Klaster Penanggulangan Bencana. Mekanisme
klaster dan SKPDB saling melengkapi dan bukan menggantikan yang satu dengan yang lainnya.
Mekanisme SKPDB mengatur rantai komando penanganan darurat bencana berdasarkan tingkatan
bencana. Sementara itu, mekanisme klaster membantu perangkat SKPDB dalam mengkoordinir
mobilisasi sumberdaya dan pihak-pihak yang terlibat dalam respon bencana berdasarkan sektor
kerja.
SKPDB diaktifkan berdasarkan penetapan status keadaan darurat bencana yang ditetapkan oleh
pemerintah atau pemerintah daerah terdampak. Status keadaan darurat tingkat nasional ditetapkan
oleh presiden, status keadaan darurat tingkat provinsi ditetapkan oleh gubernur, sedangkan status
keadaan darurat tingkat kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota. Mekanisme SPDB dapat
dipelajari lebih lanjut pada Perka BNPB no 3 tahun 2016.
Peran Khusus pemerintah dalam mekanisme klaster penanggulangan bencana adalah sebagai
koordinator klaster dengan pembagian tugas sebagai berikut. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah merupakan badan pemerintah yang memiliki
peran untuk mengkoordinir upaya tanggap darurat. Mereka didukung kementerian dan lembaga
terkait termasuk TNI dan POLRI baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, bergantung
Masing-masing berkontribusi dalam penanganan dampak bencana yang terjadi dengan sumber
daya yang mereka miliki. Keterlibatan masing-masing pihak dapat berbeda-beda dari satu
kejadian bencana dengan kejadian bencana lainnya. Hal ini bergantung pada skala bencana,
tahapan respon, dan sumber daya yang dibutuhkan dalam kegiatan tanggap bencana. Beberapa
organisasi/instansi yang berperan dalam Pencarian dan Penyelamatan biasanya hanya terlibat di
masa awal terjadinya bencana. Namun, organisasi/instansi yang memberikan dukungan pemulihan
mata pencaharian para penyintas biasanya terlibat hingga akhir masa transisi ke pemulihan.
LSM bersifat independen, berkomitmen terhadap kepentingan dan nilai tertentu. Kepentingan dan
nilai ini mendorong prioritas operasional kelompok dan membentuk sumber daya yang mereka
berikan.Setiap LSM dapat berperan dalam satu atau lebih sektor penanggulangan bencana,
bergantung kapasitas sumber daya dan pengalaman yang mereka miliki. Misalnya, LSM A hanya
mendukung penyediaan makanan, sedangkan LSM B menyediakan dukungan pangan, gizi serta
dukungan hunian bagi para penyintas.
LSM juga terdiri dari organsiasi profesi contohnya Persatuan Alhi Gizi (PERSAGI) dan Asosiasi Ibu
Menyusui Indonesia (AIMI) yang juga dapat terlibat dalam penanganan bencana bidang gizi. LSM
juga dapat terdiri dari organisasi berbasis keagaamaan.
Khususnya LSM yang berada pada lokasi bencana seringkali menjadi salah satu kelompok yang
memberikan dukungan pertama kepada para penyintas. Biasanya mereka miliki informasi awal
tentang dampak bencana serta memiliki pemahaman tentang lokasi dan kondisi sosial budaya
masyarakat terdampak.
Pada situasi bencana, organisasi-organisasi Badan PBB berperan dalam mendukung pemerintah
pada sektor-sektor penanganan bencana yang relevan sesuai dengan mandat dari masing-masing
organisasi.Organisasi Badan PBB ini berkerja sama dengan kementerian/lembaga yang terkait.
UNICEF misalnya, berperan untuk membantu penanganan bencana pada sektor Gizi, Air Bersih
dan Sanitasi, serta Pendidikan.
Badan PBB, mitra pembangunan termasuk negara-negara donor bermitra dengan LSM nasional
untuk melakukan respon gizi. Peran lembaga internasional dan lembaga non-pemerintah dalam
penanggulangan bencana secara umum diatur dalam PP nomor 23 tahun 2008.
Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan pendukung layanan kemanusiaan dari Pemerintah
Indonesia. PMI bekerja berkoordinasi dengan BNPB dan BPBD dalam aktivitas penanganan darurat
bencana. PMI memiliki staf dan relawan terlatih di bidang tanggap bencana di seluruh Indonesia
Keterlibatan lembaga usaha merupakan salah satu dari 3 pillar penanganan bencana di Indonesia.
Keterlibatan lembaga usaha dalam penanganan becana dapat berupa bantuan tunai maupun non-
tunai. Lembaga usaha dapat terlibat dalam setiap sektor penanggulangan bencana seperti pada
sektor bantuan pangan, telekomunikasi, transportasi, infrastruktur, pemulihan mata pencaharian,
hunian dan lain sebagainya bergantung pada kapasitas dan sumberdaya yang dimiliki. Peran
lembaga usaha dalam penanganan bencana diatur dalam Perka BNPB nomor 12 tahun 2014.
Peran institusi pendidikan universitas dan politeknik kesehatan respon gizi antara lain yaitu
menyediakan dukungan teknis dan SDM untuk mendukung pelaksanaan kajian dampak dan
analisa kebutuhan, pemetaan sasaran, pelaksanaan penapisan, pemantauan dan evaluasi, serta
berbagai pelaksanaan kegiatan intervensi. Dukungan yang diberikan bergantung pada kapasitas
masing-masing institusi.
Relawan memberikan dukungan dan kontribusi untuk tanggap bencana secara individu dan
kelompok. Relawan dapat berasal dari berbagai pihak yang terlibat mulai dari instansi pemerintah,
organisasi masyrakat dan LSM, perguruan tinggi dan dunia usaha.
Peran relawan dari berbagai kalangan sangat penting pada situasi bencana namun dapat
menimbulkan beban apabila tidak terorganisir dan disalurkan sesuai dengan kompetensinya.
Host: Terdapat sejumlah kelompok relawan terorganisir yang terkemuka di indonesia, seperti:
Relawan Satgana di bawah PMI, Tagana (Unit Kesiapsiagaan Siaga Bencana) di bawah naungan
Kementerian Sosial, DASIPENA di bawah bimbingan Kementerian Kesehatan, dan lain sebagainya.
Peran relawan dalam penanganan bencana diatur dalam Perka BNPB nomor 17 tahun 2011.
Sebelum pertemuan sub klaster gizi dilakukan, lokasi secretariat sub klaster gizi perlu ditetapkan
sebagai pusat koordinasi sub klaster. Sekretariat sub klaster gizi merupakan ruangan pada
bangunan atau tenda yang memenuhi syarat keamanan yang ditetapkan sebagai pusat koordinasi
dan pertukaran informasi terkait dengan respon gizi. Idealnya sekretariat sub klaster gizi di wilayah
bencana terletak berdekatan dengan sekretariat klaster kesehatan. Setelah lokasi sekretariat
ditetapkan, koordinator sub klaster gizi di masing-masing tingkatan perlu menginformasikan lokasi
yang menjadi pusat koordinasi dan pertukaran informasi tersebut kepada para mitra sub klaster
gizi dan klaster kesehatan.
Setelah pertemuan selesai, perlu dipastikan akan notulensi pertemuan Sub Klaster Gizi dan
rencana tindak lanjut dibagikan kepada peserta pertemuan serta mitra terkait. Dokumen tersebut
perlu di dokumentasikan di platform yang disepakati (misalnya: situs web/google drive1) dan dapat
diakses oleh para mitra sub klaster gizi.
Pertemuan Koordinasi Kelompok Kerja (Pokja). Pokja merupakan mekanisme koordinasi teknis
penanganan gizi di bawah Sub Klaster Gizi. Berdasarkan kebutuhan, Pokja dapat dibentuk untuk
setiap komponen intervensi gizi, yaitu Pokja PMBA, Pokja Pencegahan dan Penanganan Gizi Buruk
dan Pokja Suplementasi Gizi. Koordinator Pokja merupakan anggota sub klaster gizi yang dipilih
berdasarkan kesepakatan para pertemuan sub klaster gizi.
Koordinasi lintas sektor pada situasi bencana dilakukan diantaranya melalui pertemuan koordinasi
lintas sektor atau pertemuan lintas klaster. Pertemuan lintas sektor atau lintas klaster dipimpin oleh
pemerintah daerah/ BPBD di wilayah terdampak.
Pertemuan lintas sektor merupakan wadah untuk mendapatkan dukungan teknis maupun kebijakan
dari pemerintah daerah maupun sektor terkait, terhadap permasalahan gizi yang terkait dengan
sektor lain.
Melalui mekanisme klaster kesehatan, koordinator Sub Klaster gizi dan mitra perlu memastikan
agar permasalahan dan tantangan yang dihadapi di dalam upaya penanganan gizi dibahas pada
pertemuan koordinasi klaster kesehatan dan pertemuan koordinasi lintas sektor.
IX. Referensi
1. Pedoman Pelaksanaan Respon Gizi Pada Masa Tanggap Darurat, Direktorat Gizi, Kementerian
Kesehatan RI: 2020
2. Peraturan BNPB nomor 03 tahun 2016, tentang Sistem Komando Penanganan Darurat Bencana
(SKPDB)
3. Pedoman Penanganan Gizi dalam Penanggulangan Bencana, Direktorat Gizi, Kementerian
Kesehatan RI: 2018
I. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini membahas tentang jenis dan tahapan kajian dampak bencana, tahapan manajemen
informasi subklaster gizi dan kajian dampak bencana. Pelaksanaan kajian dampak bencana berperan
sebagai dasar penyusunan analisis kebutuhan dan rencana respon gizi. Manajemen informasi
sub klaster gizi merupakan sebuah proses pengelolaan data dan informasi yang didapatkan dari
kegiatan kajian dampak untuk menghasilkan produk informasi dalam rangka mendukung kegiatan
respon gizi.
IV. Metode
Metode yang digunakan pada materi ini adalah:
1. Ceramah interaktif
2. Diskusi Kelompok (IHB 2&3)
3. Simulasi(IHB 2&3)
Penapisan perlu dilaksanakan segera setelah bencana untuk mengidentifikasi jumlah dan
sebaran balita gizi kurang dan gizi buruk sehingga dapat segera ditangani mengingat tingginya
risiko kesakitan dan kematian pada balita gizi kurang dan gizi buruk pada situasi bencana.
Apabila situasi memungkinkan, penapisan pada kelompok rentan lainnya (Lansia, Penderita
Penyakit Kronik) juga perlu dilakukan.
Untuk merencanakan pelaksanaan penapisan, maka lokasi daerah terdampak dan lokasi
-lokasi pengungsian perlu diidentifikasi terlebih dahulu. Identifikasi lokasi pengungsian dapat
dilaksanakan melalui kunjungan lapangan atau melalui daftar lokasi pengungsian yang dimiliki
oleh pemerintah daerah, BPBD atau klaster perlindungan dan pengungsian. Penanggung jawab
gizi di masing-masing wilayah perlu memeriksa ketersediaan pita LiLA & antropometri kit.
Apabila jumlah yang tersedia tidak mencukupi untuk dapat melaksanakan penapisan secara
cepat, maka penanggung jawab program gizi perlu segera menginformasikan kebutuhan kepada
Dinkes/ Kemenkes secara berjenjang. Dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) pelaksana
penapisan antara lain dapat diperoleh dari koordinator relawan Posko PDB yang dikelola oleh
BNPB/BPBD, atau melalui dukungan mitra sub klaster gizi dan relawan.
Perlu dipastikan agar SDM yang akan terlibat telah dilatih untuk melaksanakan penapisan.
Pelaksanaan penapisan dilakukan berdasarkan petunjuk teknis pelaksanaan penapisan dan
surveilans gizi. Balita gizi kurang dan gizi buruk yang ditemukan segera dirujuk ke fasilitas
kesehatan yang ditentukan.
Kajian multi sektor merupakan kajian lanjutan dari pelaksanaan RHA dan dilaksanakan segera
setelah situasi memungkinkan, idealnya pada minggu pertama kejadian bencana (hari ke 3-7
setelah bencana.
Sub klaster gizi bertugas untuk memastikan agar sektor gizi dapat terwakili didalam kajian multi
sektor, langkah-langkah berikut perlu dilakukan:
a. Berkoordinasi dengan pemerintah daerah/BPBD/ BNPB (koordinator kajian multi sektor)
untuk dapat dilibatkan dalam perencanaan kajian multi sektor.
b. Mengirimkan perangkat kajian gizi kepada koordinator pelaksana kajian multi sektor.
Berdasarkan tingkatan status kedaruratan (Kabupaten/ Kota, Provinsi atau Nasional), penanggung
jawab gizi/ koordinator sub klaster gizi pada tingkatan tersebut menugaskan SDM yang terlatih
dalam kajian gizi untuk dapat mendukung proses pelaksanaan kajian multi sektor.
Teknis pelaksanaan manajemen informasi sub klaster gizi dilakukan oleh tenaga pelaksana
yang ditunjuk oleh koordinator sub klaster gizi dengan dukungan dari TGC Gizi, Tim Data dan
Informasi Klaster Kesehatan serta mitra yang kompeten. Tim Data dan Informasi di sub klaster
gizi kabupaten/kota, provinsi dan nasional memberikan informasi terkait upaya respon gizi pada
Tim Data dan Informasi Klaster Kesehatan Nasional.
1. Perencanaan
Rencana manajemen informasi dan surveilans gizi dibuat oleh staf yang ditunjuk oleh
penanggung jawab gizi/ koordinator sub klaster gizi. Rencana manajemen informasi dan
surveilans gizi mencakup pembuatan alur penyampaian informasi, daftar sumber data, sistem
pengarsipan, daftar pembagian tugas, daftar jenis produk informasi yang akan dibuat, jadwal
dan frekuensi pelaporan, serta metode penyebaran yang akan digunakan. Contoh rencana
manajemen informasi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
1 Daftar Kontak
2 Peta Sasaran
3 Peta Kesenjangan
4 Informasi 4W
2. Pengumpulan data
Sumber data terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data
yang diperoleh secara langsung (dari tangan pertama), sementara data sekunder adalah data
yang diperoleh dari sumber yang sudah ada.
PELATIHAN GIZI BENCANA
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
51
Contoh data primer adalah data yang diperoleh dari responden melalui kuesioner, kelompok
fokus, dan panel, atau juga data hasil wawancara dengan narasumber.
Contoh data sekunder misalnya catatan atau dokumentasi, laporan rutin, laporan pemerintah,
hasil survei, dan lain sebagainya. Sumber data kajian dampak yaitu sumber subjek dari tempat
mana data bisa didapatkan. Jika memakai kuisioner atau wawancara didalam pengumpulan
datanya, maka sumber data itu dari responden, yakni orang yang menjawab pertanyaan, yaitu
tertulis ataupun lisan. Sumber data berbentuk responden ini digunakan didalam kajian.
Data dan sumber data kajian dampak bencana bidang gizi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Selalu tinjau perangkat/kuisioner dan rencana yang sudah ada atau digunakan di masa lalu
dan pertimbangkan bagaimana memanfaatkannya sebaik mungkin. Luangkan waktu untuk
mengadaptasi alat Pengkajian berdasarkan hasil dari data sekunder, kerangka kerja yang
disesuaikan, dan konteksnya. Terjemahkan dengan cermat, lakukan uji lapangan, dan perbaiki
dengan semestinya.
Batasi jumlah pertanyaan yang akan ditanyakan di tingkat lapangan dan jangan mengumpulkan
informasi yang tersedia dari sumber lain, atau yang tidak dapat disusun dan dianalisis dalam
jangka waktu yang diinginkan. Jangan mencari lebih detail dari yang diperlukan.
Pastikan bahwa prioritas yang diungkapkan oleh populasi dan diidentifikasi oleh tim penilai
ditangkap secara sistematis dan konsisten; keduanya dilihat.
a. Pertimbangkan volume data. Saat unit pengukuran semakin kecil (mis. Pada tingkat RT atau
individu) volume data menjadi lebih besar.
b. Pertimbangkan masalah perlindungan data / privasi
3. Analisis
Pengertian analisis situasi gizi adalah kegiatan pengamatan terhadap kondisi gizi masyarakat
yang bertujuan agar pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan dan program-program
dapat terarah kepada perbaikan gizi masyarakat.
Analisis situasi gizi bertujuan untuk menyediakan informasi secara berkesinambungan tentang
keadaan gizi masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Lima tujuan khusus dilakukannya analisis situasi gizi adalah:
a. Memberikan gambaran tentang keadaan pangan dan gizi penduduk terutama golongan
penduduk berisiko tinggi terhadap kerawanan pangan dan gizi. ◊ Sehingga diketahui sifat
Saat melakukan analisis gizi, perlu memahami hubungan sebab akibat langsung dan yang
mendasar terhadap status gizi. Berdasarkan framework UNICEF, faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap masalah gizi dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Berdasarkan kerangka konseptual UNICEF diatas, terdapat 3 tingkatan yang menjadi faktor
penyebab malnutrisi, yaitu:
a. Penyebab langsung, terdiri dari asupan makanan yang tidak memadai dan penyakit.
b. Penyebab tidak langsung, terdiri dari kerawanan pangan rumah tangga, pola asuh dalam
perawatan dan pemberian makanan, dan lingkungan rumah yang tidak sehat dan layanan
kesehatan yang tidak memadai
c. Akar masalah, akses rumah tangga terhadap kuantitas dan kualitas sumber daya yang
memadai seperti tanah, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan teknologi; keuangan yang
tidak memadai; dan konteks sosiokultural, ekonomi, dan politik.
Identifikasi dengan jelas kesenjangan informasi / pengkajian kebutuhan lebih lanjut. Referensi
format Laporan RHA gizi dapat dilihat pada lampiran.
5. Diseminasi
Strategi diseminasi harus memberikan detail, format, dan saluran yang berbeda untuk audiens
yang berbeda dalam serangkaian laporan, catatan, atau briefing. Berikut ini adalah beberapa
hal yang dapat dipertimbangkan di dalam merencanakan diseminasi hasil laporan pengkajian
kebutuhan.
a. Gunakan pertemuan rutin klaster kesehatan dan sub klaster gizi
b. Dalam lingkungan yang tidak aman, hasil kajian mungkin mengandung informasi sensitif
yang tidak dapat dibagikan secara public
c. Ingat, kurang berbagi informasi dapat menyebabkan pemrograman yang tidak efisien dan
tidak terencana, kemungkinan terjadinya duplikasi pengkajian ataupun kelelahan (fatigue)
di antara penduduk yang terkena dampak
d. Media informasi yang efektif di masyarakat (toa masjid, broadcast pesan singkat kader,
papan informasi di pengungsian, dll)
VIII. Rangkuman
Modul inti 3 membahas tentang kajian dampak bencana disampaikan melalui kegiatan ceramah
interaktif, diskusi kelompok dan simulasi. Ceramah interaktif menyampaikan materi pokok 1)
jenis dan tahapan kajian dampak bencana memuat analisis data prabencana dan penilaian
kebutuhan awal, RHA gizi, penapisan ibu hamil dan balita, kajian multi sektor dan survei cepat
gizi; 2) Tahapan manajemen informasi subklaster gizi terdiri dariperencanaan, pengumpulan data,
pengolahan dan penyajian data, analisis dan pemanfaatan data, dan penyebaran & dokumentasi
produk informasi; dan 3)Kajian dampak bencana memuat perencanaan, pengumpulan data,
analisis, pelaporan dan diseminasi.
IX. Referensi
1. Pedoman Pelaksanaan Respon Gizi Pada Masa Tanggap Darurat, Direktorat Gizi, Kementerian
Kesehatan RI: 2020
2. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku
Saku Petugas lapangan penanggulangan krisis kesehatan. Jakarta, 2020.
X. Lampiran
2. Metode penugasan
Diskusi kelompok
3. Bahan Latihan
a. Flip Chart
b. Lembar Kasus
c. Peta Kabupaten Z
5. Langkah-langkah penugasan
a. Fasilitator membagi peserta kedalam kelompok
b. Fasilitator meminta kelompok untuk membuat:
1) Estimasi jumlah sasaran gizi di lokasi terdampak
2) Minta kelompok membuat peta estimasi jumlah sasaran gizi yang mungkin
terdampak bencana
c. Berikan waktu 40 menit bagi kelompok untuk melakukan analisis tersebut
d. Fasilitator meminta kelompok mempresentasikan hasil diskusi dengan waktu 5 menit
per kelompok.
e. Fasilitator memberikan klarifikasi terhadap jawaban apabila di perlukan dan memberikan
rangkuman terhadap langkah-langkah analisis situasi.
6. Tujuan penugasan
Pada akhir penugasan, peserta mampu melakukan kajian dampak bencana
7. Metode penugasan
Diskusi kelompok
8. Bahan penugasan
d. ATK
e. Flip Chart
f. Lembar Kasus
g. Post it besar
h. Metaplan
i. Panduan diskusi kelompok
Lembar Kasus Mata Pelatihan Inti 3
1) Penduduk
a. Kec. Bukit Raya
Jumlah penduduk kecamatan adalah 15.783 jiwa, dengan persentase penduduk
terdampak banjir dan mengungsi sebesar 45%.
b. Kec. Punai
Jumlah penduduk 8.452 jiwa, dengan persentase penduduk terdampak banjir sebesar
30%.
c. Kec. Senarai
Jumlah penduduk 12.662 jiwa, dengan persentase penduduk terdampak banjir sebesar
40%.
• Rasio Laki-laki dan perempuan 47% (L) : 53% (P)
• Balita : 13%
2) Status Gizi
Berdasarkan data laporan rutin terakhir pada Kabupaten Z, diperoleh informasi status gizi
sebagai berikut
Data Nilai
Prevalensi anemia pada ibu hamil 46,8%
Cakupan ASI Eksklusif 20%
Prevalensi balita mengonsumsi susu formula 3%
Prevalensi balita mengalami anemia 57%
Prevalensi balita gizi kurang 14,6%
Prevalensi balita gizi buruk 3,6%
• Prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk di Kecamatan terdampak pada tabel di bawah
ini:
Peta Kabupaten Z
I. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini membahas tentang penyusunan rencana respon gizi yang terdiri dari rencana
intervensi gizi dan rencana monitoring respons gizi. Rencana respon gizi disusun berdasarkan
kajian dampak dan analisa kebutuhan gizi dan dapat diperbaharui secara berkala seiring dengan
ketersediaan hasil kajian terbaru. Penyusunan rencana respon terdiri dari analisis situasi, serta
penyusunan rencana intervensi untuk setiap komponen penanganan gizi yang diikuti oleh
identifikasi sumber daya untuk setiap komponen intervensi.
IV. Metode
Metode yang digunakan pada materi ini adalah:
1. Ceramah interaktif
2. Curah pendapat
3. Diskusi Kelompok (IHB 1)
4. Simulasi (IHB 1&2)
Rencana respon gizi dibuat oleh sub klaster gizi melibatkan mitra subklaster gizi dan dipimpin
oleh koordinator sub klaster. Rencana respon gizi merupakan bagian dari rencana operasi
klaster kesehatan. Penyusunan rencana respon gizi dapat dilakukan berdasarkan rencana
kontinjensi kesehatan dan gizi yang dikembangkan pada masa prabencana. Perlu dipastikan
agar rencana respon gizi diperbaharui berdasarkan perbaharuan analisis situasi, kemajuan
pelaksanaan serta tantangan yang dihadapi pada pelaksanaan respon gizi. Rencana intervensi
gizi terdiri dari perencanaan pada masing-masing komponen intervensi gizi yaitu PMBA,
Pencegahan dan Penanganan Gizi Kurang dan Gizi Buruk, Suplementasi Gizi, Dukungan Gizi
pada kelompok rentan lainnya, dan komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat.
a. Mekanisme Pengelolaan Donasi Produk Pengganti ASI, Botol Dan Dot Bayi Yang
Tidak Terkontrol
Penggunaan produk-produk pengganti ASI, botol dan dot pada situasi bencana dapat
meningkatkan risiko kesakitan dan kematian pada bayi dan anak karena terbatasnya air
bersih serta kondisi lingkungan yang kotor.
Segera setelah terjadinya bencana, penanggung jawab program gizi perlu memastikan
agar kebijakan terkait donasi produk pengganti ASI, botol dan dot bayi untuk di sebarkan
kepada Instansi terkait diantaranya Dinkes, Puskesmas, Klaster Perlindungan dan
Pengungsian (Kemensos/Dinsos), Klaster Logistik (BPBD), mitra sub klaster gizi termasuk
LSM dan organisasi profesi.
Contoh surat edaran kebijakan donasi susu formula pada situasi bencana dapat dilihat
pada lampiran
Untuk mencegah donasi produk pengganti ASI, botol, dan dot bayi yang tidak terkontrol,
mekanisme pengelolaan donasi tersebut perlu disepakati bersama dengan pihak yang
terkait termasuk pengelolaan donasi di tingkat masyarakat, donasi yang diberikan oleh
pemerintah, donasi yang diberikan oleh publik
Koordinator dan mitra sub klaster gizi memastikan adanya sosialisasi dan kerjasama
dengan instansi/ organisasi sebagai berikut:
1) BPBD & Dinsos untuk bersama-sama melakukan pengawasan donasi pada alur pasok
bantuan.
2) Dinsos, sebagai koordinator perlindungan dan pengungsian, untuk bersama-sama
melakukan pengawasan donasi di masyarakat/pengungsian.
3) Tagana, sebagai pelaksana dapur umum, untuk bersama-sama melakukan promosi
menyusui dan pengelolaan donasi melalui dapur umum.
3) Rencana Kerja Gugus Tugas. Dalam membuat rencana kerja, perlu diperhatikan bahwa
penanganan donasi membutuhkan (i) Pendanaan (ii) keahlian (iii) sumber daya manusia
(iv) waktu (v) peralatan (vi) materi/pedoman (vii) menentukan opsi tempat pembuangan
yang tersedia.
4) Pembentukan Tim Lapangan. Tim Lapangan terdiri dari berbagai instansi yang ditunjuk
untuk melakukan pengawasan, mengumpulkan donasi dan menyimpannya sebelum
digunakan untuk keperluan lain atau dimusnahkan. Tim Lapangan ini dipimpin Dinas
Kesehatan setempat yang akan menjadi narahubung dan bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa terdapat pencatatan tentang asal donasi, jenis, jumlah, dll. Laporan
mingguan perlu dibuat dan disampaikan kepada Gugus Tugas.
5) Pembentukan tim pengawas harian. Tim pengawas harian adalah tim yang berasal
dari petugas/ relawan, tokoh dan masyarakat yang bertugas atau berada di posko
pengungsian. Tim ini dipimpin oleh koordinator posko yang akan mengawasi semua
bentuk bantuan susu atau hasil olahannya dan melaporkan ke Tim Lapangan setiap
donasi tersebut yang masuk.
6) Penyortiran. Donasi kemungkinan terdiri dari berbagai jenis produk pengganti ASI,
dengan beragam tanggal kedaluwarsa. Tim Lapangan bertugas memisahkan berbagai
bantuan produk pengganti ASI yang telah dikumpulkan, dan memilah menjadi yang
‘Sesuai’ dan ’Tidak Sesuai’. Bila ’Sesuai’ berarti bahwa donasi dapat digunakan sesuai
perencanaan dan kesepakatan awal. Sedangkan untuk donasi yang ‘Tidak Sesuai’
adalah produk dengan tanggal kedaluwarsa kurang dari 6 bulan ke depan, produk
telah terbuka, atau produk dengan label tidak menggunakan bahasa Indonesia dan
tidak dimengerti.
7) Penggunaan Kembali. Strategi untuk menggunakan kembali donasi berupa susu formula
dan produk susu yang tidak diinginkan termasuk: Mengembalikan ke pemberi bantuan/
donatur (dengan pihak donatur menanggung biaya pengembalian) Menggunakan
kembali produk pengganti ASI seperti susu: a) Sebagai bahan campuran makanan
untuk program pemberian makanan tambahan di posyandu maupun untuk Pemberian
Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah (PMTAS). Produk dapat digunakan sebagai
bahan campuran makanan seperti bubur kacang hijau, roti, pudding, biskuit dan kue. b)
Pencampuran susu untuk pembuatan makanan tambahan bayi/anak di atas enam bulan
harus dilakukan di luar tempat pengungsian, jauh dari lokasi distribusi logistik dan tidak
8) Susu formula, botol, dan dot bayi dan yang ditemukan diberikan kepada Dinas
Kesehatan setempat untuk diatur penggunaannya.
Memastikan bahwa donasi produk pengganti ASI yang dikumpulkan tidak hilang dicuri
selama penyortiran atau diambil dari lokasi TPA (kaleng berisi susu formula yang belum
dibuka tidak boleh dibuang ke lokasi TPA). Pemusnahan agar barang donasi tidak digunakan
lagi (imobilisasi) misalnya dengan melubangi botol, atau membuat makanan tidak bisa
digunakan, adalah yang terbaik untuk dilakukan. Dibutuhkan pengawasan ketat untuk
memastikan bahwa barang yang sudah dibuang tidak dapat digunakan kembali. Mitra sub
klaster gizi yang menemukan pelanggaran donasi ASI, dot dan botol perlu melaporkan
pelanggaran kepada koordinator sub klaster gizi. Koordinator sub klaster gizi atau staf
yang ditunjuk bertugas untuk melaporkan segera berkala pelanggaran yang ditemukan
kepada Gugus Tugas Pengelolaan Donasi Produk Pengganti ASI.
Pada situasi bencana, ketersediaan MPASI dengan aneka ragam jenis bahan pangan yang
sesuai bagi bayi dan anak usia 6-23 bulan menjadi sangat terbatas. Penyelenggaraan
Dapur PMBA bertujuan untuk memastikan agar bayi dan anak, khususnya yang berusia
6-23 bulan mendapatkan makanan dengan tekstur dan kecukupan gizi yang sesuai dengan
usia.
Selain menyediakan makanan bayi dan anak, penyelenggaraan dapur PMBA juga dapat
dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan diseminasi informasi tentang pemberian
makan bayi dan anak yang tepat, termasuk memberikan dukungan/konseling agar ibu
dapat terus menyusui di lokasi bencana.
Penyelenggaraan dapur PMBA pada situasi bencana adalah bagian dari dapur umum.
Logistik pangan dan bahan bakar/gas dipasok oleh dapur umum yang menjadi tanggung
jawab Kemensos/Dinsos, dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Tagana. Peran Sub
klaster gizi dalam penylenggaraan
Peran dari penanggung jawab gizi dan mitra pelaku gizi adalah untuk memastikan agar
RRIA tersedia di pengungsian-pengungsian dan dapat diakses oleh ibu hamil dan menyusui
agar dapat melakukan praktik PMBA dengan aman dan nyaman.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan RRIA terkait pelayanan gizi antara
lain:
1) Pastikan lokasi RRIA terletak di lokasi yang aman dan di daerah yang tenang jauh
dari kebisingan dan bau yang berlebihan, seperti di dekat pasar, tempat pembuangan
sampah dan jalan utama.
2) Pastikan ukuran ruangan yang sesuai, berdasarkan perkiraan jumlah ibu di area
tersebut. Jika area yang terkena dampak situasi darurat besar, perkirakan jumlah total
lokasi yang dibutuhkan sehingga ibu dan anak hanya perlu berjalan kaki seminimal
mungkin untuk mencapai lokasi RRIA.
3) Pastikan ruangan yang nyaman untuk menyusui, memiliki ruang bersekat atau tenda
individu untuk menyusui. Sediakan alas atau kursi untuk ibu yang sedang menyusui.
Jika ibu sedang duduk di alas lantai, sediakan bantal atau barang lain agar ibu bisa
mengistirahatkan punggungnya agar menyusui lebih nyaman. Bantal atau kain yang
digulung juga berguna untuk membantu ibu menggendong bayi agar nyaman saat
menyusui.
4) Pastikan para ibu memiliki akses yang mudah ke air bersih dan makanan selama berada
di RRIA. Dalam keadaan di mana ibu mengalami malnutrisi dan dehidrasi, pemberian
makanan tambahan bagi ibu menyusui di ruang tersebut dapat diindikasikan sebagai
layanan terpadu melalui RRIA. Idealnya, jamban dan tempat cuci tangan mudah
dijangkau oleh tenda atau bagian dari tenda itu sendiri.
5) Libatkan tenaga kesehatan, anggota masyarakat atau orang lain yang dilatih dalam
konseling menyusui dan PMBA untuk mendukung ibu di dalam RRIA.
6) Menggunakan RRIA untuk mengidentifikasi dan merujuk ibu atau bayi dengan gizi
buruk dan/atau masalah PMBA untuk mendapatkan bantuan segera.
7) Apabila pemberian makanan pengganti ASI dilakukan di RRIA, pastikan dukungan
disediakan di area tenda yang terpisah dan berbeda dari area tempat dukungan untuk
menyusui diberikan.
8) Berkoordinasi dengan program lainnya seperti program dukungan pendidikan anak
usia dini dan dukungan psikososial agar kegiatan yang dilakukan di RRIA dapat saling
melengkapi serta menyelaraskan jadwal pelaksanaan kegiatan.
Pokja PMBA hanya diaktifkan apabila diperlukan. Pokja PMBA diaktifkan oleh penanggung
jawab program gizi Kemenkes/Dinkes atau sub klaster gizi pada masing- masing tingkatan.
Aktivasi Pokja PMBA mencakup penunjukan koordinator, identifikasi anggota Pokja serta
pelaksanaan koordinasi rutin.
Contoh kerangka acuan Pokja PMBA dapat dilihat pada lampiran.
Standar dan indikator kunci penanganan gizi buruk dan gizi kurang berdasarkan piagam
kemanusian (SPHERE standard) adalah sebagai berikut:
Standar 1 Kasus gizi kurang ditangani (berdasarkan standar bantuan kemanusiaan SPHERE):
a. Lebih dari 90 persen dari penduduk sasaran berada dalam jangkauan/radius sekitar
1 hari perjalanan (termasuk waktu untuk melakukan pengobatan) dari lokasi program
untuk memudahkan pemberian makanan siap saji, dan jarak lokasi tidak lebih dari 1
jam berjalan kaki untuk pemberian makanan tambahan.
b. Cakupan > 50 persen di daerah pedesaan, > 70 persen di daerah perkotaan, dan > 90
persen di dalam lokasi pengungsian.
Standar 2 Kasus Gizi buruk ditangani (berdasarkan standar bantuan kemanusiaan SPHERE):
a. Lebih dari 90 persen dari sasaran penduduk berada dalam jangkauan tidak lebih dari
1 hari perjalanan (termasuk waktu untuk melakukan pengobatan) dari lokasi program.
b. Cakupan > 50 persen di daerah pedesaan, > 70 persen di daerah perkotaan, dan > 90
persen di tempat pengungsian.
Alur pencegahan dan penanganan gizi kurang dan gizi buruk dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.
Berdasarkan hasil penapisan, balita gizi buruk ditangani mengacu pada Pedoman
Pencegahan dan Tata laksana Gizi Buruk pada Balita, Kemenkes 2019 dan Buku Saku
Pencegahan dan Tatalaksana Gizi Buruk pada Balita di Layanan Rawat Jalan bagi Tenaga
Kesehatan, Kemenkes 2020.
Balita gizi buruk adalah balita usia 0-59 bulan ditandai oleh satu atau lebih tanda berikut: i)
edema, minimal pada kedua punggung kaki; ii) BB/ PB atau BB/TB kurang dari - 3 standar
deviasi; iii) lingkar lengan atas (LiLA) < 11,5 cm (pada balita usia 6-59 bulan).
Tatalaksana gizi buruk terdiri dari rawat jalan dan rawat inap. Khusus bayi gizi buruk usia 0-6
bulan dan balita >= 6 bulan dengan berat badan dibawah 4 kg, harus dilakukan rawat inap
di fasilitas kesehatan rujukan (rumah sakit).
f. Pelacakan Aktif dan Deteksi Dini Kasus Kekurangan Gizi pada Balita oleh Masyarakat
Pelibatan masyarakat dalam deteksi dini kasus kekurangan gizi bertujuan untuk menemukan
balita gizi kurang atau buruk serta yang memiliki potensi masalah gizi, melalui penapisan
masal di lokasi pengungsian dan daerah terdampak lainnya. Pelibatan masyarakat untuk
deteksi dini perlu dilakukan segera setelah terjadinya bencana agar bayi dan balita yang
memiliki potensi kurang gizi dan yang mengalami kurang gizi dapat dirujuk dan ditangani
segera.
3. Suplementasi gizi
Penyusunan kegiatan pokok intervensi suplementasi gizi dilakukan berdasarkan analisis
situasi untuk mencegah risiko kekurangan gizi mikro akibat terhentinya pelayanan gizi.
Pada situasi bencana, pemenuhan zat gizi mikro pada anak balita, ibu hamil dan ibu nifas,
serta balita dengan penyakit infeksi tertentu, berperan penting untuk melindungi gizi dan
kesehatan ibu, bayi dan anak. Tujuan dari dukungan kepada kelompok tersebut adalah
untuk memberikan perlindungan dari berbagai masalah kekurangan zat gizi mikro yang
mungkin timbul sebagai dampak bencana.
Alur intervensi dan kegiatan kunci suplementasi gizi pada situasi bencana dapat dilihat
pada gambar berikut ini.
Distribusi MT Ibu Hamil dan Balita pada tiga hari pertama kejadian bencana diberikan
secara menyeluruh, yaitu kepada seluruh balita 6-59 bulan dan seluruh Ibu Hamil.
Setelah itu, diharapkan pemenuhan kebutuhan ibu hamil dan baduta dapat dipenuhi
dari olahan pangan lokal melalui dapur umum dan dapur PMBA.
Distribusi MT Ibu Hamil dan Balita pada sasaran prioritas dilakukan setelah dapur umum
dan dapur PMBA berjalan. Pemberian MT diberikan sesuai dengan indikasi status gizi
sasaran yang diperoleh melalui penapisan: Pada Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (LiLA
< 23,5 cm) dan pada balita gizi kurang usia 6-59 bulan (LiLA diantara 11,5 cm sampai
kurang dari 12,5 cm)
c. Suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) Bagi Ibu Hamil dan Remaja Putri
Sasaran pemberian TTD adalah seluruh ibu hamil dan remaja putri untuk mencegah
anemia dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Ibu hamil perlu diberikan
1 TTD setiap hari selama minimum 90 hari (90 tablet) selama masa kehamilan sedangkan
Remaja putri perlu diberikan 1 TTD setiap minggu sepanjang tahun (52 tablet).
Pemberian TTD pada ibu hamil dengan malaria berisiko memperburuk kondisi anemia.
Oleh karena itu, pemberian TTD pada ibu hamil di daerah endemis malaria perlu
berkoordinasi dengan penanggung jawab program Pencegahan Penanggulangan
Penyakit (P2P).
Melibatkan anak penyandang disabilitas dalam upaya kesiapsiagaan sangat penting untuk
mengurangi risiko dan membangun ketangguhan pada anak penyandang disabilitas dan
keluarganya dalam menghadapi bencana, tetapi juga untuk membangun kapasitas, sumber
daya dan kemampuan respon dan pemulihan bencana yang inklusif. Oleh karena itu, sangat
penting untuk melibatkan anak-anak dan remaja, termasuk penyandang disabilitas dalam
setiap tahapan penanggulangan bencana. Apabila mereka belum dilibatkan pada masa
kesiapsiagaan, maka mereka perlu dilibatkan di dalam setiap tahapan respon.
Penyusunan kegiatan pokok intervensi dukungan Gizi bagi kelompok rentan dilakukan
berdasarkan analisis situasi untuk memastikan adanya akses bagi kelompok rentan,
termasuk disabilitas, terhadap asupan gizi yang berkualitas. Dukungan gizi bagi pengungsi
penderita penyakit kronis dilakukan melalui kerjasama dengan program/sub klaster
pelayanan kesehatan untuk memastikan agar penderita penyakit mendapatkan asupan gizi
sesuai kebutuhannya. Alur intervensi dan kegiatan kunci dukungan gizi pada kelompok
rentan lainnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini
Berdasarkan penyusunan menu bagi kelompok rentan, sub klaster gizi dan mitra
memastikan agar dapur umum dapat menyiapkan makanan yang sesuai AKG serta
memperhatikan lima kunci keamanan makanan, yaitu:
1) Terjaga kebersihannya (cuci tangan pakai sabun dan air mengalir, peralatan makan
sebelum digunakan disiram menggunakan air panas);
2) Pisahkan makanan mentah dan makanan yang sudah dimasak;
3) Gunakan makanan segar dan masak sampai matang (daging, ayam, telur dan ikan);
4) Simpan makanan dalam suhu yang tepat sesuai dengan jenis makanannya; dan
5) Gunakan air bersih yang aman.
Memastikan agar kelompok disabilitas dan kelompok rentan lainnya memiliki akses
terhadap makanan yang disediakan oleh dapur umum. Apabila bantuan khusus
diperlukan bagi korban bencana dengan disabilitas, sampaikan informasi tersebut
kepada Klaster Perlindungan dan Pengungsian/Dinsos setempat.
Pengawasan bantuan makanan dan minuman dilakukan di jalur pasok bantuan berkerja
sama dengan klaster logistik (BNPB/BPBD) mencakup:
1) Pemisahan tempat penyimpanan bantuan bahan makanan antara bahan makanan
umum dan makanan khusus bayi dan anak;
2) Jenis-jenis bahan makanan yang diwaspadai termasuk makanan dalam kemasan,
produk pengganti ASI, botol dan dot bayi serta makanan kemasan; dan
3) Bantuan makanan produk dalam negeri dan luar negeri harus diteliti nomor
registrasi (MD/ML), tanggal kadaluarsa, sertifikasi halal, aturan cara penyiapan dan
target penerima manfaat.
Pelibatan masyarakat merupakan menjadi bagian integral dari setiap respon sejak awal
bencana untuk memastikan kualitas, efektivitas dan ketepatan waktu respon gizi melalui
keterlibatan dari masyarakat. Alur komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat dapat dilihat
pada gambar berikut.
Kaji cepat risiko dapat dilakukan secara terkoordinir bersama dengan klaster kesehatan
maupun secara terintegrasi dengan klaster lainnya seperti klaster perlindungan dan
pengungsian.
Kaji cepat komunikasi risiko bertujuan untuk mengidentifikasi saluran komunikasi yang
sesuai serta informasi yang dibutuhkan oleh populasi terdampak khususnya kelompok
sasaran gizi. Aspek-aspek yang perlu dikaji adalah:
1) Kanal informasi yang paling tepat dan tersedia untuk menyampaikan pesan kepada
kelompok sasaran gizi (radio, TV, kegiatan sosial, dll);
PELATIHAN GIZI BENCANA
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
91
2) Persepsi audiens terhadap pesan yang ingin disampaikan, misalnya persepsi Ibu
hamil dan menyusui terhadap praktik pemberian ASI dan perilaku hidup bersih dan
sehat; dan
3) Kelompok/orang yang berpengaruh di masyarakat seperti misalnya tokoh agama,
tokoh masyarakat maupun organisasi masyarakat yang memiliki perhatian khusus
pada isu gizi untuk dapat dilibatkan dalam diseminasi pesan kunci.
Koordinator sub klaster gizi dan mitra perlu memastikan agar pesan komunikasi risko
disebarkan melalui kanal informasi yang ramah bagi penyandang disabilitas, setidaknya
dalam dua format berbeda (misalnya, brosur, audio pengumuman. Material komunikasi,
informasi dan edukasi yang dikembangkan juga perlu memberikan gambaran positif
tentang anak-anak dan perempuan penyandang disabilitas pada kelompok sasaran gizi
(misalnya, Ibu hamil penyandang disabilitas atau penyandang disabilitas Ibu menyusui).
Pesan-pesan yang perlu dikembangkan dan disampaikan kepada populasi terdampak
mencakup informasi terkait risiko terkait gizi yang mungkin timbul akibat bencana
serta informasi terkait akses terhadap bantuan. Beberapa pesan kunci yang perlu
dikembangkan dan disampaikan antara lain adalah:
Pesan Kunci Terkait PMBA & Menyusui:
1) Tetap memberikan ASI pada situasi bencana;
2) Pemberian susu formula botol, dot bayi dan produk-produk pengganti ASI pada
situasi bencana dapat menimbulkan risiko diare akibat keterbatasan air besih.
Diare pada situasi bencana beresiko meningkatkan risiko kematian akibat layanan
kesehatan yang terbatas;
3) Dapur umum perlu memperhatikan pemenuhan gizi bagi kelompok rentan; dan
Pesan Kunci Terkait Pencegahan dan Penanganan Gizi Kurang dan Gizi Buruk pada
Balita:
1) Risiko kesakitan dan kematian balita dengan gizi buruk meningkat secara signifikan
(11x) pada situasi bencana.
2) Kelompok rentan perlu mendapatkan asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan
dan usia
3) Balita gizi kurang dan gizi buruk yang ditemukan perlu segera dirujuk ke fasilitas
kesehatan
c. Pelibatan Masyarakat
Koordinator sub klaster gizi memastikan agar pelibatan masyarakat dilakukan pada
Koordinator sub klaster gizi dan mitra memastikan agar kelompok rentan dilibatkan
di dalam perencanaan kegiatan serta melibatkan perwakilan dari masing-masing
kelompok, baik laki-laki maupun perempuan. Perwakilan dari sub klaster gizi untuk
terlibat di dalam kelompok kerja pelibatan masyarakat (apabila dibentuk) di masing-
masing wilayah untuk memastikan agar pelibatan masyarakat dilakukan secara
terkoordinir dan terstruktur bersama dengan organisasi dan instansi yang terlibat di
dalam penanggulangan bencana.
Keluaran Intervensi Pencegahan dan Penanganan Gizi Kurang dan Gizi Buruk:
Perlindungan Jiwa melalui pencegahan dan tatalaksana balita gizi kurang dan gizi buruk yang
berkualitas
Indikator Keluaran:
• Cakupan Balita Gizi Kurang
• Cakupan Balita Gizi Buruk
1.1 Pemberian Vitamin A pada Balita dan Ibu Jumlah Bayi (6-11 bulan), Balita (12-59 bulan)
Nifas untuk peningkatan daya tahan yang diberikan Vitamin A
tubuh serta pencegahan campak dan
diare Jumlah Ibu Nifas yang mendapatkan Vitamin A
Indikator Keluaran:
• Jumlah kegiatan Kerjasama, koordinasi yang dilakukan untuk mendukung pemenuhan gizi
lansia, penderita penyakit dan penyandang disabilitas
Indikator Keluaran:
• Jumlah sasaran yang menerima pesan komunikasi risiko
Keluaran Jangka Pendek 2: Pesan kunci respon gizi di sebarluaskan kepada kelompok sasaran
IX. Referensi
1. Pedoman Pelaksanaan Respon Gizi Pada Masa Tanggap Darurat, Direktorat Gizi, Kementerian
Kesehatan RI: 2020
2. Pedoman Penanganan Gizi dalam Penanggulangan Bencana, Direktorat Gizi, Kementerian
Kesehatan RI: 2018
3. SNI 7937:2013. Layanan Kemanusiaan dalam bencana
4. Pedoman Penatalaksanaan Pemberian Tablet Tambah Darah, Kementerian Kesehatan RI:
2015
5. Panduan Manajemen Terintegrasi Suplementasi Vitamin A, Kementerian Kesehatan RI: 2016
6. Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Pada Remaja Putri dan Wanita Usia
Subur (WUS), Kementerian Kesehatan RI: 2018
7. Pedoman Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita, Kementerian Kesehatan RI:
2019
8. Buku Saku Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita di Layanan Rawat Jalan bagi
Tenaga Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI: 2020
9. Pedoman Pemberian Makan pada Bayi dan Anak, Kementerian Kesehatan RI: 2020
10. Pedoman Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) Ibu Hamil Pada Masa Pandemi Covid 19
bagi Tenaga Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI: 2020
11. Pedoman Pencegahan dan Tata Laksana Balita Gizi Buruk pada Masa Pandemi Covid 19,
Kementerian Kesehatan RI, 2020
12. Buku Saku Tahap Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Bagi Kader, kemenkes RI,
2019
13. Pedoman Komunikasi Risiko Untuk Penanggulangan Krisis Kesehatan, Kemenkes RI, 2021
14. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Pemberdayaan
Masyarakat Bidang Kesehatan
X. Lampiran
A. Penugasan Mata Pelatihan Inti 4. Rencana Intervensi dan monitoring respon gizi
1. Tujuan
Setelah menyelesaikan penugasan ini, peserta mampu menyusun rencana respon gizi.
2. Metode penugasan
Diskusi kelompok
3. Bahan penugasan
a. ATK
b. Flipchart
A. Analisis Situasi
• Bagaimana status gizi sebelum bencana?
• Bagaimana dampak bencana terhadap pelayanan gizi?
• Berapa estimasi jumlah kelompok sasaran gizi dan kelompok rentan (berdasarakan
gender)yang membutuhkan dukungan? Diwilayah mana lokasinya (per wilayah
administratif dan per pengungsiaan apabila informas sudah tersedia)
• Wilayah mana yang prioritas untuk didukung?
• Intervensi prioritas yang perlu disiapkan?
B. Kegiatan Pokok Intervensi
Tuliskan kegiatan pokok yang akan dilakukan dan prioritasnya untuk masing-masing
komponen intervensi dibawah ini
• Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA)
• Pencegahan dan penanganan gizi kurang dan gizi buruk
• Suplementasi gizi
• Dukungan kelompok rentan lainnya
• Komunikasi Risiko dan Pelibatan Masyarakat
• Kajian dampak bencana lanjutan
C. Analisis Kebutuhan Sumberdaya (SDM, Obat dan Perbekalan Kesehatan, Anggaran)->
Lihat Form Analisis Kebutuhan Respon Gizi
• Apasaja sumberdaya yang dibutuhkan dan berapa jumlahnya untuk masing komponen
intervensi?
• Apasaja Sumberdaya yang tersedia?
• Apasaja sumberdaya yang TIDAK tersedia?
• Bagaimana kesenjangan sumberdaya akan dipenuhi?
D. Koordinasi Sub Klaster Gizi
Jelaskan:
• Bagaimana koordinasi sub klaster gizi akan dilakukan?
• Siapa yang akan dilibatkan?
• Kapan/seberapa sering akan dilakukan?
• Dimana lokasinya pertemuan akan dilakukan?
• Ditingkatan wilayah mana koordinasi sub klaster gizi akan dilakukan?
• Bagaimana informasi dari sub klaster gizi akan disampaikan ke klaster kesehatan?
• Dengan siapa saja dan mengenai apa koordinasi lintas sektor akan dilakukan?
• Bagaimana hasil pertemuan akan disebarkan?
E. Rencana monitoring
• Apa saja indikator yang akan dilaporkan untuk setiap komponen intervensi?
• Seberapa sering monitoring akan dilakukan?
• Siapa saja yang akan terlibat didalam monitoring?
A B C D E F G H I J
Item Jumlah Kebutuhan Satuan Ketersediaan Kesenjangan Harga Frekuensi Satuan Total
Kegiatan/SDM/O Sasaran (Estimasi) (kolom C -E) Satuan (RP) (2) (F x G x
bat dan H)
Pebekalan
Kesehatan
A. PMBA
Contoh: dapur
pmba
…
B. Pencegahan
dan
Penanganan
Gizi Kurang dan
Gizi Buruk
Contoh: Pita LiLa
…
C. Suplementasi
Gizi
Contoh: MT
balita
…
C. Dukungan
kelompok
rentan
…
…
Intervensi PMBA
Obat dan Perbekalan
Komponen Estimasi
Kegiatan Kesehatan yang Sumber
Perhitungan kebutuhan
Diperlukan
Sosialisasi,
pemantauan dan • Berdasarkan
• Media KIE bahaya
pelaporan donasi estimasi jumlah
susu formula dalam
produk pengganti ASI, pengungsian/desa
situasi bencana
botol dan dot bayi terdampak
yang tidak terkontrol
• Dinkes,
• Jumlah dan
Kemenkes,
sebaran ibu hamil
Mitra
• Bahan Makanan dan baduta
(BUMN/CSR)
• Kapasitas Dapur , Organisasi
• Alat Saji MPASI
Penyelenggaraan Profesi
PMBA/MP-ASI
Dapur PMBA (Persagi,
• Alat masak (Jumlah orang
yang akan dilayani AIMI)
• Bahan bakar dan frekuensi
• Instansi
pemberian
terkait
makanan perhari)
(misalnya
Dinsos untuk
• Kit Konseling: PMBA), dana
Boneka, model cadangan
payudara, gelas pemerintah
kecil, spuit 1 cc pusat,
provinsi,
• Kit Relaktasi: Spuit kabupaten,
20 cc, NGT fr 5 40 kota
cm
• Jumlah Konselor • Permintaan
Dukungan konseling • Formulir kajian survei PMBA & menyusui berjenjang
PMBA dan menyusui PMBA yang akan melalui
dimobilisasi Dinkes
• Lembar balik/Kartu
Konseling PMBA
• Antrophometri Kit,
termasuk pita LiLA
• Tabel z-score
• Formulir pencatatan
hasil penapisan
Penapisan balita gizi
kurang dan gizi buruk • SOP Deteksi Dini dan • Estimasi jumlah dan
Rujukan Balita Gizi sebaran balita • Dinkes,
Buruk Atau yang Kemenkes,
Beresiko Gizi Buruk Mitra
(BUMN/CSR)
• SOP Penetapan dan , Organisasi
Klasifikasi Balita gizi Profesi
buruk di fasilitas (Persagi,
Pelayanan Kesehatan AIMI)
• Formulir pasien,
formulir rujukan,
formulir pencatatan
dan pelaporan.
• Kartu MTBS
• Bahan untuk
membuat F-100 atau
formula untuk gizi
buruk lainnya
termasuk Ready to
Use Therapeutic • Berdasarkan
Tata Laksana Gizi Food (RUTF) sesuai estimasi jumlah
Buruk Rawat Jalan dengan pedoman. balita gizi buruk
(kurang lebih 80%
• Home economic set dari estimasi jumlah
(alat untuk mengolah balita gizi buruk )
dan F-100 seperti
gelas ukur, kompor,
panci, sendok
makan, piring,
mangkok, gelas dan
penutupnya dan lain-
lain)
• Formulir pasien,
formulir rujukan,
formulir pencatatan
dan pelaporan.
Suplementasi Gizi
Estimasi Pengungsi
Proporsi
Kelompok Total Total Laki-laki Perempuan
Penduduk
45% 40% 60%
Balita 15% 2367 1065 426 639
Baduta 5% 789 355 142 213
Lansia 8% 1263 568 227 341
Ibu Hamil 3% 473 213 85 128
Ibu Nifas 2% 316 142 57 85
Penderita penyakit
kronik/Penyakit Tidak
4% 631 284 114 170
Menular (Diabetes,
Jantung, Hipertensi)
Remaja putri 3% 473 213 85 128
Penyandang
2% 316 142 57 85
Disabilitas
Total 6628 2982 1193 1789
b. Punai
Estimasi Pengungsi
Proporsi
Kelompok Total Total Laki-laki Perempuan
Penduduk
30% 45% 55%
Balita 17% 1437 647 259 388
Baduta 4% 338 152 61 91
Lansia 11% 930 418 167 251
Ibu Hamil 3% 254 114 46 68
Ibu Nifas 3% 254 114 46 68
Penderita penyakit
kronik/Penyakit Tidak
2% 169 76 30 46
Menular (Diabetes,
Jantung, Hipertensi)
Remaja putri 5% 423 190 76 114
Penyandang
3% 254 114 46 68
Disabilitas
Total 4057 1825 731 1094
Estimasi Pengungsi
Proporsi
Kelompok Total Total Laki-laki Perempuan
Penduduk
40% 47% 53%
2) Hasil Penapisan
3) Situasi
Pertemuan sub klaster gizi tingkat kabupaten baru saja dilakukan. Informasi penting dari
pertemuan tersebut sebagai berikut:
1. Adanya keterbatasan air bersih untuk penyelenggaraan dapur PMBA.
2. Kapasitas Dapur PMBA baru mencukupi untuk 2000 balita (1000 di Bukit Raya, 500 di Punai
dan 500 di Senarai).
3. Ditemukan donasi susu formula yang tidak terkontrol di 22 pengungsian.
4. Konselor menyusui terlatih yang tersedia di kabupaten Z hanya dapat memenuhi kebutuhan
untuk di 12 penngungsian.
PELATIHAN GIZI BENCANA
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
109
5. Suplementasi vitamin A telah dilakukan dua bulan yang lalu.
6. Stok PMT ibu hamil dan balita telah disalurkan kepada pengungsi. Sisa stok PMT yang tersedia
mencukupi untuk diberikan kepada 500 balita dan 200 ibu hamil.
7. Stok TTD untuk ibu hamil, remaja putri tersedia 3.000 tablet
8. Banyak dari ibu berhenti memberikan ASI kepada baduta akibat susu formula yang diberikan
secara gratis.
9. Stok obat dan perbekalan kesehatan untuk penanganan gizi buruk hanya tersedia 50% dari
kebutuhan.
10. Tim Asuhan Gizi (TAG) terlatih di Kabupaten Z hanya dapat memenuhi 30% dari kebutuhan.
11. Sebagian besar fasilitas kesehatan untuk penanganan gizi buruk di wilayah bencana tidak
dapat beroperasi.
12. Masyarakat mengkhawatirkan terjadinya banjir susulan.
13. Gudang penyimpanan di Dinas Kesehatan dan Puskesmas tidak dapat digunakan karena
tergenang.
14. Beberapa mitra subklaster gizi baru saja tiba di posko sub klaster gizi dan menunggu instruksi
wilayah kerja. Sumberdaya yang dimiliki oleh para mitra merupakan sumberdaya baru yang
belum dimobilisasi ke wilayah terdampak. Sumberdaya yang mereka miliki sebagai berikut:
a. Yayasan Sayonara
i. Dapur PMBA: 1 unit dengan kapasitas 100 orang perhari
ii. Konselor Menyusui: 10 orang
b. Yayasan Sayur Mayur
i. Dapur PMBA : 2 unit @ kapasitas 100 orang perhari
ii. SDM terlatih tata laksana gizi buruk : 10 orang
c. Yayasan silumba-lumba
i. Suplementasi TTD untuk 100 remaja putri dan 100 ibu hamil
d. Universitas ABCD
i. Suplementasi vitamin A untuk 200 balita
ii. Ahli gizi : 10 orang
I. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini membahas tentang pendekatan kesiapsiagaan bencana; dan rencana
Kesiapsiagaan gizi. Rencana kesiapsiagaan gizi merupakan bagian dari rencana penanggulangan
kedaruratan krisis kesehatan yang merupakan acuan bagi pelaksanaan krisis kesehatan dalam
keadaan darurat.
IV. Metode
Metode yang digunakan pada materi ini adalah:
1. Ceramah interaktif
2. Curah pendapat
3. Latihan (IHB 2)
Penanganan gizi pada masa prabencana terdiri dari dua bagian yaitu penanganan pada
situasi tidak terjadi bencana dan pada situas terdapat potensi bencana. Kegiatan-kegiatannya
mencakup dibawah ini.
e. Dalam situasi tidak terjadi bencana kegiatan yang perlu dilakukan meliputi
1) Analisis dan pengurangan Risiko Masalah Gizi
2) Sosialisasi dan orientasi termasuk Pelatihan teknis terkait materi gizi
3) Pengadaan Sarana dan Prasarana Standar Penanganan Gizi
4) Surveilans gizi
VIII. Rangkuman
Modul inti 5 membahas tentang rencana kesiapsiagaan gizi melalui ceramah interaktif, curat
pendapat dan simulasi. Ceramah interaktif menyampaikan materi pokok 1) Pendekatan
kesiapsiagaan bencana; dan 2) Rencana kesiapsiagaan gizi. Di akhir materi, diharapkan peserta
dapat Menyusun rencana kesiapsiagaan gizi yang memuat upaya kesiapsiagaan respon gizi
berdasarkan materi pelatihan gizi bencana.
IX. Referensi
1. PMK 75 tahun 2019 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan
2. Pedoman Pelaksanaan Respon Gizi Pada Masa Tanggap Darurat, Direktorat Gizi, Kementerian
Kesehatan RI: 2020
X. Lampiran
A. Penugasan Mata Pelatihan Inti 5. Rencana kesiapsiagaan gizi
2. Metode : Latihan
3. Bahan penugasan
a. ATK
b. Flip Chart
c. Laptop
d. Hasil penugasan Modul Pelatihan Inti 3 & 4
e. Format rencana kesiapsiagaan gizi
5. Langkah-langkah
a. Bagi peserta ke dalam kelompok
b. Fasilitator meminta kelompok untuk melihat kembali analisis analisis situasi dan rencana
kesiapsiagaan respon gizi yang telah dibuat sebelumnya pada diskusi kelompok mata
pelatihan inti 3 dan 4.
c. Berdasarkan situasi dan rencana respon yang telah dibuat pada mata pelatihan inti 3
dan 4, Fasilitator meminta kelompok untuk mengidentifikasi upaya-upaya yang perlu
dilakukan (upaya kesiapsiagaan) oleh dinas kesehatan dan mitra sub klaster gizi untuk
pada tahap prabencana untuk mengurangi risiko bencana terhadap layanan gizi
d. Fasilitator membacakan pertanyaan berikut untuk memperjelas intruksi “Seandainya
kita mundur sebelum kejadian bencana terjadi, upaya-upaya apa saja yang harus anda
lakukan pada tahap prabencana untuk mengurangi risiko krisis kesehatan terkait gizi?”
e. Bagikan lembar format rencana kesiapsiagaan kepada kelompok. Minta kelompok
untuk membuat memasukan upaya kesiapsiagaan yang diidentifikasi kedalam format
rencana kesiapsiagaan respon gizi.
f. Berikan waktu 45 menit bagi kelompok untuk membuat rencana kesiapsiagaan respon
gizi.
g. Fasilitator mendampingi kelompok dalam proses diskusi dan memberikan klarifikasi
yang diperlukan di setiap kelompok.
h. Kelompok mempresentasikan hasil penugasan penyusunan rencana kesiapsiagaan
respon gizi
i. Fasilitator memberikan rangkuman terhadap langkah-langkah penyusunan rencana
kesiapsiagaan gizi.
Tujuan
Setelah melakukan simulasi, peserta mampu melakukan manajemen respon gizi pada masa tanggap
darurat
Petunjuk:
1. Fasilitator membagi peserta kedalam 4 kelompok Latihan (maksimal).
2. Fasilitator meminta setiap peserta untuk melakukan praktik manajemen respon gizi berdasarkan
kasus yang diberikan untuk dijadikan satu rencana respon gizi (rencana intervensi dan monitoring
respon gizi) dengan langkah langkah sebagai berikut:
a. Lakukan pertemuan subklaster gizi (lihat panduan simulasi mata pelatihan inti 2). Waktu
penugasan 2 JPL (90 menit).
b. Lakukan kajian dampak bencana (lihat panduan simulasi mata pelatihan inti 3). Waktu
penugasan 2 JPL (90 menit).
c. Buatlah rencana intervensi dan monitoring untuk setiap intervensi gizi (lihat panduan simulasi
mata pelatihan inti 4). Waktu penugasan 3 JPL (135 menit).
3. Faslitator melakukan evaluasi simulasi serta memberikan umpan balik untuk setiap penugasan
pada simulasi.
Waktu:
7 JPL x 45 Menit = 315 menit
Simulasi Mata Pelatihan Inti 2. Melakukan Pertemuan Koordinasi Subklaster Gizi
1. Tujuan
Pada akhir kegiatan simulasi, peserta diharapkan mampu untuk melakukan pertemuan koordinasi
subklaster gizi.
2. Bahan Latihan
a. Flip Chart
b. Area/ruang pertemuan
c. Lembar kasus
d. Lembar peran
e. Agenda pertemuan sub klaster gizi
f. Form Siapa melakukan apa dimana kapa (4W)
Lembar Kasus
• Telah terjadi gempa 7,2 SR di Provinsi Sanubari yang berdampak terhadap 3 kabupaten/kota.
• Gubernur telah menetapkan status tanggap darurat selama 14 hari.
• Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat dari daerah setempat dan dari luar daerah
mulai menyelenggarakan penanganan darurat bencana, termasuk respon gizi.
• Koordinasi klaster kesehatan dan subklaster gizi telah diaktifkan oleh pemerintah setempat.
• Pertemuan subklaster gizi akan segera dilakukan. Salah satu agenda yang akan dibahas adalah
analisis situasi dan persiapan kajian dampak bencana.
• Profil provinsi Sanubari sebagai berikut
Provinsi Sanubari adalah provinsi dengan status gizi yang tidak terlalu baik. Meskipun tidak ada data
pasti mengenai situasi di tiga kabupaten/kota terdampak. Banyak dari mereka tinggal di daerah yang
sulit dijangkau sehingga jumlah pastinya tidak diketahui.
Walaupun demikian, ini hanya perkiraan yang mungkin tidak menggambarkan seluruh situasi di provinsi
ini, terutama untuk daerah terpencil dan sulit dijangkau. Salah satu contohnya adalah Sudarto yang
berusia 6 bulan. Dia menderita gizi buruk, dengan berat hanya 3,4 kg. Keluarganya tinggal di Desa
Javita yang terletak di kabupaten Saliwa yang terpencil dan sulit dijangkau. Akses terhadap air bersih
juga salah satu kendala yang dihadapi di provinsi ini.
Dalam 2 tahun terakhir ini, terjadi kenaikan harga bahan-bahan pokok. Kenaikan harga makanan ini
memaksa keluarga, termasuk ibu hamil dan anak-anak, khususnya balita, mengkonsumi makanan lebih
dengan kualitas gizi yang sangat minim. Dengan berbagai situasi yang melanda provinsi Sanubari,
beberapa bayi dilahirkan dengan berat 1,2 kg saat lahir.
Data terakhir menunjukkan bahwa hanya 20 persen ibu mempraktikkan pemberian ASI eksklusif di
Provinsi Sanubari. Banyak anak menderita stunting dan gizi kurang/buruk. Selain itu, tantangan utama
adalah tidak ada yang tahu secara pasti situasi sebenarnya, karena banyaknya daerah yang tidak
terjangkau.
Demografi
#Balita (0-59 #Baduta (0-23
Kabupaten/Kota Populasi % populasi #Lansia #Ibu Hamil #Bayi (0-5 bulan)
bulan) bulan)
Ambara 7,784,400 49.90% 155,688 272,454 334,729 171,257 62,275
Saliwa 4,914,000 31.50% 98,280 171,990 211,302 108,108 39,312
Rawang 2,901,600 18.60% 58,032 101,556 124,769 63,835 23,213
Total 15,600,000 100% 312,000 546,000 670,800 343,200 124,800
Pendidikan
• Hanya seperempat perempuan (24%) berusia 15-24 tahun yang melek huruf.
Kesehatan
• Rasio dokter per 1000 penduduk adalah 0,03.
• Diantara anak-anak berusia 6-59 bulan, 21% menerima kapsul vitamin A sebanyak satu kali dan
hanya 9% anak menerima kapsul vitamin A sebanyak dua kali dalam setahun.
• 46% anak di bawah usia satu tahun telah menerima vaksinasi campak.
• Masih terdapat penularan kasus COVID-19
• Merupakan wilayah Endemik malaria
Gizi
• Berdasarkan data laporan rutin terakhir, diperoleh data status gizi di Provinsi Sanubari sebagai
berikut:
Data Nilai
Cakupan ASI Ekslusif 20%
Prevalensi Anemia pada balita 57%
Prevalensi Anemia pada wanita hamil 46,8%
Prevalensi Anemia pada usia reproduksi 44,4%
Prevalensi Gizi Kurang 19%
Prevalensi Gizi Buruk 6.3%
• Berdasarkan data laporan rutin terakhir dari kabupaten/kota terdampak, diperoleh data status
gizi Per kabupaten/kota sebagai berikut:
Ketahanan Pangan
• Provinsi Sanubari merupakan wilayah dengan kerawanan pangan tinggi akibat banjir yang sering
terjadi. Hal in menyebabkan 20% dari populasi mengalami kerawanan pangan tingkat sedang.
Berdasarkan kajian, keluarga hanya dapat mengkonsumsi protein hewani satu kali seminggu.
Sementara gagal panen telah terjadi dan menyebabkan keluarga lebih sering mengkonsumsi
karbohidrat saja sebagai makanan utama.
Lembar Peran
4. PERSAGI:
• Memiliki konselor yang siap dimobilisasi ke pengungsian-pengungsian akan tetapi tidak
mencukupi karena sebagian besar konselor juga terdampak
7. Media:
• Siap membantu diseminasi pesan kunci komunikasi risiko terkait pelayanan gizi kepada
masyarakat
• Siap membantu pelaksanaan kaji cepat komunikasi risiko
“ -------------------------------------------------------------------------------
1. Pembukaan
2. Analisis Situasi Terkini
3. Update dari peserta pertemuan (siapa melakukan apa dimana)
4. Pembahasan kendala dan kesenjangan apabila ada
5. Rencana tindak lanjut
6. Penutupan
1. Tujuan
Pada akhir kegiatan simulasi, peserta mampu untuk melakukan kajian dampak bencana
2. Bahan penugasan
a. ATK
b. Flipchart
c. Lembar Kasus
d. Lembar Hasil RHA Gizi
e. Lembar siapa melakukan apa dimana (4W)
4. Langkah-langkah
a. Fasilitator menjelaskan dan membagikan lembar kasus dan lembar hasil RHA Gizi
b. Fasilitator menjelaskan instruksi latihan yang terdiri dari:
1) Minta peserta membuat peta sasaran gizi provinsi Sanubari berdasarkan data laporan hasil
RHA.
2) Minta peserta melakukan analisis situasi paskabencana berdasarkan hasil RHA
3) Minta peserta membuat pertanyaan terkait gizi untuk dimasukan kedalam kajian multi sektor
(pendataan dan kajian pengungsian terpadu)
4) Minta peserta membuat rencana survei cepat gizi berdasarkan kesenjangan informasi
c. Berikan waktu 45 menit bagi kelompok untuk melakukan tugas tersebut. Minta anggota kelompok
untuk berbagi tugas.
d. Fasilitator meminta kelompok mempresentasikan hasil diskusi dengan waktu 7 menit per
kelompok.
e. Fasilitator memberikan klarifikasi jawaban apabila di perlukan dan memberikan rangkuman.
Lembar Kasus
• Saat ini kita berada pada hari ke tiga paska kejadian gempa 7,2 SR di Provinsi Sanubari yang
berdampak terhadap 3 kabupaten/kota.
• Anda adalah Tim Gerak Cepat Gizi yang ditugaskan untuk membantu penanggung jawab gizi
provinsi sanubari dalam mengelola respon gizi.
• Tim reaksi cepat dan Tim Klaster kesehatan Provinsi Sanubari telah melakukan kaji cepat termasuk
Rapid Health Assessment (RHA). Rangkuman hasil RHA telah tersedia (lihat rangkuman di bagian
selanjutnya).
• Saat ini, klaster perlindungan dan pengungsian (Dinsos) sedang merencanakan kajian multi sektor
(pendataan dan kajian pengungsian terpadu) dan meminta masukan pertanyaan terkait gizi kepada
subklaster gizi.
a. Buat peta sasaran gizi provinsi sanubari berdasarkan data laporan hasil RHA Gizi.
b. Lakukan analisis situasi pascabencana berdasarkan hasil RHA.
c. Buat pertanyaan terkait gizi untuk dimasukan kedalam kajian multi sektor (pendataan dan kajian
pengungsian terpadu).
d. Buat rencana survei cepat gizi berdasarkan kesenjangan informasi.
PELATIHAN GIZI BENCANA
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
125
Lembar Hasil RHA Gizi
Gempa mengakibatkan banyak kerusakan dan korban jiwa. Ribuan keluarga kehilangan rumah,
kehilangan akses terhadap layanan, dan mencari perlindungan di daerah yang lebih aman. Diperkirakan
1,5 juta jiwa terkena dampak, termasuk 7.800 balita. Lebih dari 20.000 orang saat ini tinggal di kamp-
kamp pengungsi dan sebagian besar di pemukiman informal mendadak.
Perkiraan awal menunjukkan sekitar 80.000 orang telah meninggalkan daerah yang terkena dampak.
Sekitar 50% Fasilitas kesehatan di wilayah terdampak rusak dan tidak dapat berfungsi.
Kebutuhan prioritas yaitu air bersih, sanitasi dan kebersihan, kesehatan dan gizi, pemulihan infrastruktur
dan layanan publik, tempat tinggal, perlindungan, makanan, logistik dan pemulihan ekonomi.
Banyak pusat-pusat pengungsian tidak memiliki tempat berlindung yang layak, akses terbatas ke Mandi,
Cuci, Kakus (MCK) dan air dengan penerangan yang tidak baik, sehingga menyebabkan berbagai
persoalan terkait keamanan dan perlindungan. Kondisi sanitasi telah memburuk secara signifikan
sejak dimulainya bencana, dengan diare dan infeksi kulit meningkat serta peningkatan risiko penyakit
menular dan malaria.
Penduduk sangat terkejut, hidup dalam ketakutan yang terus-menerus akibat gempa susulan yang
berkelanjutan. Kondisi kehidupan pun sulit dengan sejumlah besar masyarakat hidup bersama di ruang-
ruang kecil, di tenda sementara dengan akses air yang terbatas dan hampir tidak ada akses ke MCK.
1. Tujuan
Setelah mengikuti simulasi ini peserta diharapkan dapat membuat rencana respon gizi.
2. Metode : simulasi
3. Bahan
a. ATK
b. Flipchart
c. Hasil analisis situasi paska bencana yang telah dibuat pada diskusi kelompok mata pelatihan Inti
d. Skenario dan Instruksi Latihan
e. Format rencana respon gizi
f. Format analisis kebutuhan
c. Berikan waktu 60 menit bagi kelompok untuk melakukan tugas tersebut. Minta anggota
kelompok untuk berbagi tugas.
d. Fasilitator meminta kelompok mempresentasikan hasil diskusi dengan waktu 10 menit per
kelompok.
e. Fasilitator memberikan klarifikasi jawaban apabila di perlukan dan memberikan rangkuman.
Lembar Kasus
• Suplementasi vitamin A di Provinsi Sanubari dijadwalkan di bulan depan. Di laporkan juga bahwa
Provinsi Sanubari merupakan wilayah endemik malaria.
• Saat ini kita berada pada hari ke lima paska kejadian gempa. Anda adalah Tim Gerak Cepat
Gizi yang ditugaskan untuk membantu penanggung jawab gizi provinsi sanubari dalam mengelola
respon gizi.
• Pusat Krisis Kesehatan meminta Anda (TGC) untuk membuat rencana intervensi dan monitoring
respons gizi di Provinsi Sanubari.
• Hasil sementara kaji cepat multi sektor menginformasikan hal-hal berikut:
o Baru 60% fasilitas kesehatan yang beroperasi pada wilayah terdampak, hanya beberapa
diantaranya yang memiliki fasilitas rawat inap untuk penanganan anak gizi kurang dan gizi
buruk. Selain itu, tenaga kesehatan yang terlatih penanganan gizi buruk terpadu pada balita
F. Analisis Situasi
• Bagaimana status gizi sebelum bencana?
• Bagaimana dampak bencana terhadap pelayanan gizi?
• Berapa estimasi jumlah kelompok sasaran gizi dan kelompok rentan (berdasarakan gender)
yang membutuhkan dukungan? Diwilayah mana lokasinya (per wilayah administratif dan per
pengungsiaan apabila informas sudah tersedia)
• Wilayah mana yang prioritas untuk didukung?
• Intervensi prioritas yang perlu disiapkan?
G. Kegiatan Pokok Intervensi
Tuliskan kegiatan pokok yang akan dilakukan dan prioritasnya untuk masing-masing komponen
intervensi dibawah ini
• Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA)
• Pencegahan dan penanganan gizi kurang dan gizi buruk
• Suplementasi gizi
• Dukungan kelompok rentan lainnya
• Komunikasi Risiko dan Pelibatan Masyarakat
• Kajian dampak bencana lanjutan
H. Analisis Kebutuhan Sumberdaya (SDM, Obat dan Perbekalan Kesehatan, Anggaran)-> Lihat
Form Analisis Kebutuhan Respon Gizi
• Apasaja sumberdaya yang dibutuhkan dan berapa jumlahnya untuk masing komponen
intervensi?
• Apasaja Sumberdaya yang tersedia?
• Apasaja sumberdaya yang TIDAK tersedia?
• Bagaimana kesenjangan sumberdaya akan dipenuhi?
I. Koordinasi Sub Klaster Gizi
Jelaskan:
• Bagaimana koordinasi sub klaster gizi akan dilakukan?
• Siapa yang akan dilibatkan?
• Kapan/seberapa sering akan dilakukan?
• Dimana lokasinya pertemuan akan dilakukan?
• Ditingkatan wilayah mana koordinasi sub klaster gizi akan dilakukan?
• Bagaimana informasi dari sub klaster gizi akan disampaikan ke klaster kesehatan?
• Dengan siapa saja dan mengenai apa koordinasi lintas sektor akan dilakukan?
• Bagaimana hasil pertemuan akan disebarkan?
J. Rencana monitoring
• Apa saja indikator yang akan dilaporkan untuk setiap komponen intervensi?
• Seberapa sering monitoring akan dilakukan?
• Siapa saja yang akan terlibat didalam monitoring?
A B C D E F G H I J
Harg
Item Kegiatan/SDM/Obat Jumlah Kebutuhan Kesenjangan Satuan Total
Satuan Ketersediaan Satuan Frekuensi
dan Pebekalan Kesehatan Sasaran (Estimasi) (kolom C -E) (2) (F x G x H)
(RP)
A. PMBA
Contoh: dapur pmba
…
B. Pencegahan dan Pen-
anganan Gizi Kurang dan
Gizi Buruk
Contoh: Pita LiLa
…
C. Suplementasi Gizi
Contoh: MT balita
…
C. Dukungan kelompok
rentan
…
…