LANDASAN TEORI
2.1 Aksesibilitas
kemudahan mengenai cara lokasi tataguna lahan berinteraksi satu sama lain dan
mudah atau susahnya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan transportasi.
(Black, 1981).
Pernyataan mudah atau susah merupakan hal yang sangat subyektif dan
kualitatif. Mudah bagi sesorang belum tentu mudah bagi orang lain, begitu juga
dengan pernyataan susah. Oleh karena itu diperlukan kinerja kuantitatif (terukur)
kedua tempat tersebut tinggi. Sebaliknya, jika kedua tempat sangat berjauhan,
aksesibilitas antara keduanya rendah. Jadi, tataguna lahan yang berbeda pasti
memiliki aksesibilitas yang berbeda pula karena aktivitas tataguna lahan tersebut
tersebar dalam ruang secara tidak merata (heterogen). Akan tetapi peruntukan
lahan tertentu seperti bandara, lokasinya tidak bias sembarangan dan biasanya
II-1
terletak jauh di luar kota (karena ada batasan dari segi keamanan, pengembangan
selalu rendah karena letaknya jauh di luar kota. Namun meskipun letaknya jauh,
merupakan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan jarak dalam menyatakan
aksesibilitas. Dapat disimpulkan bahwa suatu tempat yang berjarak jauh belum
tentu dapat dikatakan mempunyai aksesibilitas rendah atau suatu tempat yang
berjarak dekat mempunyai aksesibilitas tinggi karena terdapat factor lain dalam
tataguna lahan mungkin ada di satu atau dua lokasi saja dalam suatu kota seperti
rumah sakit dan bandara. Dari sisi jaringan transportasi, kualitas pelayanan
transportasi pasti juga berbeda – beda, sistem jaringan transportasi di suatu daerah
mungkin lebih baik dibandingkan dengan daerah lainnya dari segi kuantitas
angkutan umum biasanya lebih baik di pusat pertokoan dan beberapa jalan utama
II-2
Skema sederhana memperlihatkan kaitan antara berbagai hal yang
1981).
antar tata guna lahan tersebut mempunyai kondisi baik, maka aksesibilitas
tinggi. Sebaliknya, jika aktivitas tersebut saling terpisah jauh dan hubungan
Menurut Hartati Sukirman, dkk (1999: 28), sarana pendidikan adalah suatu
sarana penunjang bagi proses pembelajaran baik yang bergerak maupun yang
efektif, dan efisien, termasuk di dalamnya barang habis pakai maupun yang
tidak habis pakai. Selain itu Dirjen Dikdasmen Depdikbud (1997: 134),
pendidikan.
II-4
benda bergerak maupun tidak bergerak yang mendukung proses pencapaian
materi pada proses pembelajaran di sekolah secara lebih efektif dan efisien
sehingga kualitas pendidikan menjadi lebih baik dan tujuan pendidikan dapat
tercapai.
secara langsung dengan proses pembelajaran, antara lain: perabotan, buku, alat
tulis, dan sebagainya. Apabila kita berbicara tentang sarana pendidikan, maka
erat kaitannya dengan prasarana pendidikan, yaitu segala sesuatu yang tidak
dan lain-lain.
II-5
menunjang pencapaian tujuan pendidikan merupakan pengertian dari
prasarana pendidikan.
Kondisi sarana dan prasarana pendidikan dapat dilihat baik buruknya baik
secara kualitas maupun kuantitas dapat ditinjau dari berfungsi tidaknya sarana
Depdikbud (1997: 7), bahwa fungsi sarana pendidikan yang berupa alat
siswa untuk bisa lebih memahami tentang konsep pelajaran yang dijelaskan
oleh guru.
dan prasarana pendidikan mempunyai fungsi, antara lain: (a) sebagai alat yang
II-6
c. Ruang Lingkup Sarana dan Prasarana Pendidikan
yaitu:
1) Sarana fisik sekolah meliputi: (a) bangunan sekolah, yang terdiri dari
ruang kelas, ruang guru, ruang kepala sekolah, ruang tata usaha, dan
lain-lain; (b) perabot sekolah, meliputi: kursi, meja belajar, meja kerja,
buku induk siswa, buku rapor, alat tulis, dan alat kantor lainnya.
2) Media pendidikan meliputi: (a) perangkat keras atau hardware, yaitu
segala jenis alat penampilan elektronik untuk menyampaikan pesan-
pesan dalam kegiatan pembelajaran, meliputi: OHP, tape recorder,
televisi, komputer, dan lain sebagainya; (b) perangkat lunak atau
software, yaitu segala jenis atau materi pelajaran yang disampaikan
melalui alat penampil dalam kegiatan pembelajaran.
3) Alat peraga meliputi: (a) alat peraga yang dipergunakan dalam kegiatan
pembelajaran sebagai sarana penjelas dan memvisualisasikan konsep,
ide atau pengertian tertentu yang terdiri dari: gambar-gambar anatomi,
II-7
rangka badan, diagram, globe, peta, dan lain sebagainya; (b) alat
praktek yaitu alat yang berfungsi sebagai sarana untuk berlatih
mencapai keterampilan tertentu.
4) Perbukuan sekolah meliputi macam-macam buku yang dipergunakan
dalam proses pembelajaran.
Sedangkan sarana pendidikan dapat dikelomokan menjadi tiga jenis yaitu alat
B. Pendidikan Inklusif
dengan pendidikan inklusif. Dalam The Salamanca Statement and Framework for
linguistik atau kondisi lain mereka. Hal ini termasuk anak cacat/berkelainan dan
anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari populasi terpencil dan
pengembara, anak dari linguistik, etnik dan budaya minoritas dan anak-anak dari
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
II-9
di kelas reguler bersama anak anak seusianya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
kondisi siswa baik keberagaman secara fisik maupun mentalnya. Dengan kondisi
Pada dasarnya kita sebagai manusia diciptakan dengan derajat yang sama
kesehatan mental yang berbeda. Namun kita diciptakan sama ke dalam suatu
masyarakat. Kita sadari bahwa kita hidup pada suatu lingkungan yang inklusif,
maka kita harus siap untuk mengubah dan menyesuaikan dengan sistem yang ada.
Sekolah inklusif menurut Sari Rudiyati (2011: 5), adalah sekolah yang
sosial, emosional, linguistik, etnik, budaya atauu kondisi lain mereka. Adapun
II-10
yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta
didik
Pendidikan inklusif menawarkan jaminan akses dan kualitas bagi para siswa
yang memiliki kebutuhan khusus. Salah satu tujuan utamanya adalah mendidik
II-11
Proses pendidikan inklusif di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak tahun
para tunanetra sebagai kelompok penekan. Hal ini dibuktikan dengan adanya
Sekolah Luar Biasa (SLB). Namun Ednis Firdaus (2010) mengemukakan pada
masa itu SLB untuk tunanetra hanya memberikan layanan pendidikan hingga
tingkat SLTP, setelah itu para tunanetra diberi latihan kejuruan dalam bidang
tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat yang mengatur bahwa anak
kegagalan yang terjadi pada pendidikan integrasi yang hampir mati, maka pada
pendidikan inklusif.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007) dalam Sari Rudiyati (2011:
II-12
di sekolah inklusif di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai model, yaitu: (a)
Kelas reguler “Full inclusion”; (b) Kelas reguler dengan cluster; (c) Kelas reguler
dengan pull out; (d) Kelas reguler dengan cluster dan pull out; (e) Kelas khusus
dengan berbagai pengintegrasian; dan (f) Kelas khusus penuh. Berikut adalah
II-13
Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar dan mendapat layanan
bimbingan dari Guru Khusus/Guru Pembimbing Khusus di dalam kelas khusus
yang ada pada sekolah reguler/inklusif.
II-14