Anda di halaman 1dari 42

0PENGARUH PENYULUHAN MOBILISASI PASCA SPINAL

ANESTESI TERHADAP PERCEPATAN FUNGSI MOTORIK


EKSTREMITAS BAWAH PASIEN POST SECTIO CAESARIA

PROPOSAL

PENELITIAN

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Akhir Dalam Rangka


Menyelesaikan Pendidikan Program Studi Diploma IV
Sarjana Terapan Keperawatan Anestesiologi

Disusun Oleh:

ADZAN BIMA LAKSONO PUTRO SADEWO


NIM. 02202104003

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN (ITS)
PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2022
LEMBAR PERSETUJUAN

PROPOSAL

PENELITIAN

PENGARUH PENYULUHAN MOBILISASI PASCA SPINAL


ANESTESI TERHADAP PERCEPATAN FUNGSI MOTORIK
EKSTREMITAS BAWAH PASIEN POST SECTIO CAESARIA

Telah disetujui untuk dapat dipertahankan dihadapan Tim penguji Karya Ilmiah
Pogram Studi Sarjana Terapan Keperawatan Anestesiologi
Institut Teknologi Sains dan Kesehatan
PKU Muhammadiyah Surakarta

DISUSUN OLEH:

ADZAN BIMA LAKSONO PUTRO SADEWO


NIM. 02202104003

Pada :
Hari :
Tanggal :

Mengetahui

Pembimbing I : Ika Kusuma Wardani, S. Kep.,Ns., M.Kep ( )


NIDN: 0606078902

Pembimbing II : Nurul Istiqomah, S. Kep., Ns., M.Kep ( )


NIDN: 0618109203
LEMBAR PENGESAHAN

PENGARUH PENYULUHAN MOBILISASI PASCA SPINAL ANESTESI


TERHADAP PERCEPATAN FUNGSI MOTORIK EKSTREMITAS BAWAH
PASIEN POST SECTIO CAESARIA

DISUSUN OLEH:

ADZAN BIMA LAKSONO PUTRO SADEWO


NIM. 02202104003

Proposal penelitian ini diseminarkan dan diujikan


pada tanggal : …………………….

Susunan Tim Penguji :


No. Nama Jabatan dalam tim Tanda Tangan

1. _________________ Penguji 1 ……………………..


NIDN

2. _________________ Penguji 2 …………………….


NIDN

3. _________________ Penguji 3 ……………………..


NIDN

Mengetahui,

Fakultas Ilmu Kesehatan Sarjana Terapan Keperawatan Anestesiologi


Dekan, Ka. Prodi,

Cemy Nur Fitria, S.Kep,Ns.,M.Kep. Sulastri, S.Kep.,Ns.,M.Kep.


NIDN. 0623087703 NIDN. 0604118403
SURAT PERNYATAAN
KEASLIAN PROPOSAL

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa


Proposal dengan judul :

PENGARUH PENYULUHAN MOBILISASI PASCA SPINAL ANESTESI


TERHADAP PERCEPATAN FUNGSI MOTORIK EKSTREMITAS
BAWAH PASIEN POST SC

Merupakan karya saya sendiri (ASLI) dan isi dalam tugas akhir ini tidak terdapat
karya yang pernah diajukan oleh orang lain atau kelompok lain untuk memperoleh
gelar akademis di suatu Institusi Pendidikan, dan sepanjang pengetahuan saya
juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis dan atau diterbitkan
oleh orang lain atau kelompok lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, ……………………

Peneliti
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan proposal ini dengan judul

“Pengaruh Penyuluhan Mobilisasi Pasca Spinal Anestesi Terhadap

Percepatan Fungsi Motorik Ekstremitas Bawah Pasien Post Sectio

Caesaria”.

Penulisan proposal ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat

untuk mencapai gelar Sarjana Terapan Keperawatan Anestesiologi Institut

Teknologi Sains dan Kesehatan PKU Muhammadiyah Surakarta. Proposal ini

terwujud atas bimbingan, pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak yang tidak

bisa penulis sebutkan satu persatu dan pada kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih pada :

1. selaku Direktur PKU Muhammadiyah.

2. selaku Direktur RS. Citra Sari Husada Intan Barokah Karawang yang telah

memberikan kesempatan waktu dan tempat untuk melakukan penelitian.

3. selaku Ketua Jurusan Keperawatan Anestesiologi Institut Teknologi Sains dan

Kesehatan PKU Muhammadiyah.

4. selaku Ketua Program Studi Sarjana Terapan Keperawatan Anestesiologi ITS

PKU Muhammadiyah.

5. selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan masukan dan arahan

selama penyusunan proposal ini.


6. selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan masukan dan arahan

selama penyusunan proposal ini.

7. Istri dan Orang Tua serta Keluarga yang memberikan bantuan serta dukungan

baik secara moril maupun materil.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas

segala kebaikan pada semua pihak yang telah membantu. Penulis berharap

proposal ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya

bagi ilmu keperawatan anestesi.

Surakarta, Januari 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Operasi Sectio Caearea merupakan tindakan pembedahan yang bertujuan
melahirkan bayi dengan membuka dinding perut dan rahim ibu (Mulyawati
dkk, 2011). Data WHO Global Survey on Maternal and Perinatal Health di 23
negara, pada tahun 2019 kenaikan tingkat kelahiran caesar tanpa indikasi medis
berkisar 0,01%–2,10%, bahkan di China mencapai 11,6%. Pada Provinsi Jawa
Tengah persalinan dengan Sectio Caesarea (SC) pada tahun 2015 sebesar
11,8% (Profil Dinas Kesehatan, 2015). Persalinan dengan cara operasi caesaria
(SC) dilakukan bila usia ibu lebih dari 35 tahun, anemia pada ibu, adanya
tekanan darah tinggi, kondisi kesehatan tersebut akan sangat mempengaruhi
kondisi pada saat persalinan (Fatimah dan Ulfa, 2020).
Operasi Sectio Caearea tentunya harus dengan metode anastesi yang
tepat. Salah satu metode anestesi dalam operasi SC yaitu dengan spinal
anastesi. Anastesi regional direkomendasikan pada operasi SC daripada
anastesi umum, anastesi umum mempunyai banyak resiko maternal dan janin
(Wilson & Christopher 2016). Spinal atau Sub Arachnoid Block (SAB)
merupakan salah satu tehnik anestesi regional dengan cara penyuntikan obat
anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid di regio vertebra Lumbalis 2-3,
Lumbalis 3-4, Lumbalis 4-5 menggunakan tehnik (midline/median atau
paramedian) dengan jarum spinal yang sangat kecil dengan tujuan untuk
mendapatkan ketinggian blok atau analgesi setinggi dermatom tertentu dan
relaksasi otot rangka (Mangku & Senapathi, 2011). Spinal anestesi adalah
menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah
antara vertebra lumbalis L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5 (Majid, 2011). Spinal
Anastesi banyak manfaat yaitu kemudahan dalam melakukan prosedur,
kemungkinan kegagalan yang rendah, kesadaran pasien, rasa sakit yang
berkurang setelah operasi, asupan analgesik yang lebih rendah setelah operasi,
pemulangan dini, dan menghindari kemungkinan risiko anestesi umum dan
intubasi (Ortiz and Rajagopalan, 2016).
Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang
menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh
dan pada umumnya dilakukan dengan membuat sayatan pada bagian tubuh
yang akan ditangani lalu dilakukan tindakan perbaikan dan diakhiri dengan
penutupan dan penjaitan luka (Apriansyah, Romadoni,& Andrianovita, 2015).
Menurut World Health Organization (WHO) (2013), jumlah pasien
dengan tindakan operasi mencapai angka peningkatan yang sangat signifikan.
Pada tahun 2011 terdapat 140 juta pasien di seluruh rumah sakit di dunia, pada
tahun 2012 di Indonesia tindakan operasi mencapai 1,2 juta jiwa dan di
perkirakan 32% diantaranya merupakan tindakan bedah spinal anestesi
(Kemenkes RI, 2013). Sedangkan di Jawa Barat terdapat 10.503 kasus bedah
efektif yang dilakukan selama tahun 2015 (Dinkes Jawa Timur, 2015).
Perubahan mobilisasi akan mempengaruhi metabolisme endokrin,
resorpsi kalsium dan fungsi gastrointestinal. Sistem endokrin menghasilkan
hormon, mempertahankan dan meregulasi fungsi vital seperti: 1) berespon
pada stress dan cedera, 2) pertumbuhan dan perkembangan, 3) reproduksi, 4)
mempertahankan lingkungan internal, serta 5) produksi pembentukan dan
penyimpanan energi. Imobilisasi mengganggu fungsi metabolisme normal
seperti: menurunkan laju metabolisme, mengganggu metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein, dan menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti
nafsu makan dan peristaltik berkurang. Namun demikian pada proses infeksi
klien yang imobilisasi mengalami peningkatan BMR karena demam dan
penyembuhan luka membutuhkan oksigen (Potter & Perry, 2013).
Dampak imobilisasi pada sistem musluloskeletal adalah gangguan
permanen atau temporer atau ketidakmampuan yang permanen. Dan
imobilisasi kehilangan daya tahan, menurunnya massa dan kekuatan otot, dan
instabilitas sendi menyebabkan klien beresiko mengalami cedera. Hal ini
dapat terjadi dalam beberapa hari bedrest, menunjukkan bahwa pasien kritis
terpasang ventilator dapat kehilangan hingga kelemahan otot perifer 25 %
dalam waktu 4 hari dan kehilangan 18 % berat badannya. Hilangnya massa
otot-otot rangka sangat tinggi dalam 2-3 minggu pertama imobilisasi selama
perawatan intensif (Potter & Perry, 2013).
Salah satu teknik anestesi regional yang pada umumnya dianggap
sebagai salah satu teknik yang paling dapat diandalkan adalah anestesi spinal.
Anastesi spinal atau disebut juga blok subarachnoid merupakan teknik
anastesi yang cukup popular, yaitu dengan memasukkan obat anastesi lokal ke
ruang subarachnoid lumbal untuk menghasilkan atau menimbulkan hilangnya
aktifitas sensoris dan blok fungsi motorik. Anestesi spinal biasanya digunakan
pada pasien bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rectum
perineum, bedah obstetric ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah.
Anestesi spinal adalah pilihan utama untuk kebanyakan pasien pembedahan.
Keuntungan anestesi spinal untuk pembedahan adalah mudah, blok yang
mantap, dan kinerja nya cepat (Sarwono, 20181).
Tindakan spinal anestesi merupakan suatu tindakan untuk menegakkan
diagnosis ataupun untuk kesembuhan suatu penyakit, cidera atau cacat serta
untuk mengobati penyakit ketika dengan obat sederhana tidak bisa sembuh.
Pembedahan merupakan tindakan invasif dengan membuat sayatan pada
tubuh yang mengalami masalah kemudian dilakukan perbaikan dan kemudian
luka dijahit. Indikasi dari tindakan pembedahan yaitu untuk mendiagnosa,
mengobati penyakit, rekonstruktif dan juga paliatif. Pembedahan juga bisa
dilakukan sesuai tingkat urgensinya yaitu darurat atau elektif (Sjamsuhidayat,
2013).
Metode latihan mobilisasi yang belum sesuai dengan standar
pelaksanaan dan kurang tersosialisasi dengan pasien dan keluarga selama
perawatan post operasi, komplikasi operasi yang tidak dapat dihindari adanya
nyeri pasca operasi yang diakibatkan adanya luka insisi dan penyembuhan
luka yang memanjang. Keluhan lain yang dirasakan adalah adanya distensi
abdomen akibat aktifitas usus belum optimal yang disebabkan manipulasi
organ abdomen selama prosedur bedah dan penambahan hari perawatan pasien
di rumah sakit.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Penyuluhan Mobilisasi
Pasca Spinal Anestesi Terhadap Percepatan Fungsi Motorik Ekstremitas
Bawah Pasien Post Sectio Caesaria”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut maka rumusan
penelitian pada penelitian ini yaitu "Apakah terdapat pengaruh penyuluhan
mobilisasi pasca spinal anestesi terhadap percepatan fungsi motorik
ekstremitas bawah pasien post SC?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis pengaruh penyuluhan mobilisasi pasca spinal anestesi
terhadap percepatan fungsi motorik ekstremitas bawah pasien post SC.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan gambaran fungsi motorik ekstremitas bawah pasien
post SC sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan.
b. Mengananalisis percepatan fungsi motorik ekstremitas bawah pasien
post SC sebelum dan setelah dilakukan penyuluhan.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Sebagai sarana bagi penulis untuk dapat meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan mengenai mobilisasi pasien pasca anestesi spinal dan sebagai
kesempatan bagi penulis untuk menerapkan ilmu yang diperoleh selama
pendidikan di ITS PKU Muhammadiyah Surakarta.
2. Bagi Institusi
Hasil penelitian ini dapat menjadi evidance based yang diintegrasikan
dalam wahana pembelajaran keperawatan anestesi sehingga informasi ini
dapat dikembangkan dalam praktek belajar lapangan.
3. Bagi Pelayanan
Hasil ini dapat berguna sebagai bahan masukan bagi perawat di Rumah
Sakit tentang mobilisasi pasien pasca anastesi spinal dan dapat
menerapkan mobilisasi pasien pasca anestesi spinal yang baik dan benar
dalam rangka menurunkan angka komplikasi pasien post SC.

E. Keaslian Penelitian
Beberapa keaslian penelitian yang digunakan sebagai acuan dalam
penelitian ini antara lain :
No Keaslian Penelitian
1 Nama Peneliti / Tahun : Amalia, Pangesti, Prayogi / 2017
Judul : Pengaruh Penyuluhan Kesehatan
Tentang Mobilisasi Dini Terhadap
Pasien Pasca Spinal Anestesi di RSUD
Kota Yogyakarta
Desain dan Variabel Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian
quasy eksperiment. Sampel penelitian
ini berjumlah 40 responden, terdiri dari
20 kelompok perlakuan dan 20
kelompok kontrol. Kelompok perlakuan
dilakukan penyuluhan dengan cara
verbal, demonstrasi dan leaflet,
kelompok kontrol hanya diberikan
leaflet. Uji yang digunakan adalah uji
Chi-Square.
Hasil : Responden kelompok perlakuan lebih
banyak mobilisasi dini dalam kategori
baik yaitu 15 responden (37,5%),
sedangkan pada kelompok kontrol lebih
banyak dalam kategori kurang yaitu 12
responden (30,0%).
Persamaan : Penyuluhan mobilisasi terhadap pasien
pasca spinal anestesi
Perbedaan : Penyuluhan untuk percepatan motorik
ekstremitas bawah pasien post SC
2 Nama Peneliti / Tahun : Tuti Herawati / 2018
Judul : Pengetahuan mobilisasi pada pasien
pasca operasi di Ruang Gelatik dan
Rajawali di RSAU dr. M. Salamun
Desain dan Variabel Penelitian : Metode penelitian yang digunakan
yaitu deskriptif kuantitatif.
Pengumpulan data dilakukan
menggunakan kuisioner, dengan
sampel accidental sampling. Analisa
data dimulai dengan mengumpulkan
data, uji validitas, penelitian,
mengelompokan data, kemudian
melakukan pengolahan data
Hasil : Hasil penelitian didapatkan bahwa
kurangnya pengetahuan tentang
mobilisasi pada pasien pasca operasi
sebanyak (47%) sebagian lagi
menunjukan cukup sebanyak (42%)
dan baik hamya (11%)
Persamaan : Mobilisasi terhadap pasien pasca
operasi
Perbedaan : Penyuluhan untuk percepatan motorik
ekstremitas bawah pasien post SC
3 Nama Peneliti / Tahun Intan Meyty Megawati Tongkukut /
2015
Judul Pengaruh Penyuluhan Tentang
Mobilisasi Dini Terhadap Peningkatan
Pengetahuan Ibu Post Sectio Caesarea
Desain dan Variabel Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah
quasi experiment menggunakan desain
one-group pretest-post test yang
dilakukan terhadap 30 responden yang
ditentukan secara Accidental sampling,
metode penelitian ini memiliki 1
kelompok eksperimen. Pengumpulan
data diperoleh daengan
menggunakan kuesioner. Analisa data
menggunakan uji statistik paired
simple t test dengan
kemaknaan α = 0,05.
Hasil Hasil uji statistik dengan menggunakan
uji t dependen diperoleh hasil signifikansi
sebesar 0,000 atau p value < α yaitu 0,000
< 0,05. Hasil perhitungan nilai t hitung
12.092 > dari t
tabel 2,045. Berdasarkan hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa hipotesis
penelitian diterima.
Persamaan Penyuluhan mobilisasi terhadap pasien
post SC
Perbedaan Penyuluhan untuk percepatan motorik
ekstremitas bawah pasien post SC

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Mobilisasi Dini Pasca Operasi


Operasi atau pembedahan merupakan tindakan invasif dengan membuka
bagian tubuh untuk perbaikan. Pembedahan biasanya dilakukan dengan
memberikan anestesi untuk mengurangi keluhan nyeri akibat tindakan yang
dilakukan, menjaga tanda-tanda vital agar tetap stabil, dan juga untuk
mendukung keberhasilan pembedahan (Sjamsuhidajat dan Wim De Jong,
2012).
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Puspitasari HA, Sumarsih
T, (2011) menunjukan bahwa faktor yang mempengaruhi proses
penyembuhan luka pada pasien post operasi 75% dipengaruhi oleh mobilisasi,
75% personal hygiene dan 47% dipengaruhi oleh nutrisi.

1. Pengertian Mobilisasi Dini Pasca Operasi


Mobilisasi pasca operasi adalah suatu pergerakan perubahan posisi
atau adanya kegiatan yang dilakukan setelah beberapa jam menjalani
operasi (Sudiharjani, 2012). Contoh sederhana ketika badan terlalu banyak
tidur yang dirasakan adalah badan menjadi sakit semua, sedangkan kita
tidak melakukan aktivitas yang berat. Contoh yang lain adalah ketika kita
memposisikan tubuh dalam posisi yang sama dan dalam waktu yang lama
tentu akan menjadikan tubuh kram atau bahasa jawanya gringingen.
Secara sederhana dilakukan mobilisasi dini adalah sebagai cara
merilekskan tubuh setelah tindakan pembedahan operasi, yang tentunya
dilakukan dengan rentang gerak yang sederhana (tidak membutuhkan
energi yang banyak).
Mobilisasi setelah operasi yaitu proses aktivitas yang dilakukan
setelah operasi dimulai dari latihan ringan diatas tempat tidur sampai
dengan bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan
ke luar kamar (Brunner & Suddarth, 2015). Menurut Carpenito (2013),
Mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi
fisiologis karena hal itu esensial untuk mempertahankan kemandirian.
Konsep mobilisasi dini sebenarnya adalah untuk mencegah komplikasi
paska operasi. Dari Kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
mobilisasi dini adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini
mungkin dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan
fungsi fisiologis.
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk
bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Hidayat, 2012).
Mobilisasi dini juga didefenisikan sebagai suatu pergerakan, posisi
atau adanya kegiatan yang dilakukan pasien setelah beberapa jam post/
pasca operasi.

2. Tujuan Mobilisasi Dini Post Operasi


Beberapa tujuan dari mobilisasi menurut Susan J. Garrison (2014),
antara lain:
a. Mempertahankan fungsi tubuh
b. Memperlancar peredaran darah
c. Membantu pernafasan menjadi lebih baik
d. Mempertahankan tonus otot
e. Memperlancar eliminasi alvi dan urine
f. Mempercepat proses penutupan jahitan operasi
g. Mengembalikan aktivitas tertentu, sehingga pasien dapat kembali
normal dan atau dapat memenuhi kebutuhan gerak harian.
h. Memberikan kesempatan perawat dan pasien berinteraksi atau
berkomunikasi.

3. Macam-Macam Mobilisasi
Menuruit Priharjo, 2013, mobilisasi dibagi menjadi dua yakni :
a. Mobilisasi secara pasif
Mobilisasi dimana pasien dalam menggerakkan tubuhnya dengan
cara dibantu dengan orang lain secara total atau keseluruhan.
b. Mobilisasi secara aktif
Mobilisasi dimana pasien dalam menggerakkan tubuh dilakukan
secara mandiri tanpa bantuan dari orang lain.

4. Rentang Gerak Dalam Mobilisasi


Menurut Carpenito (2013) dalam mobilisasi terdapat tiga rentang
gerak yaitu :
a. Rentang gerak pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-
otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif
misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
b. Rentang gerak aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi
dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya
berbaring pasien menggerakkan kakinya.
c. Rentang gerak fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan
melakukan aktifitas yang diperlukan.

5. Manfaat Mobilisasi Dini


Menurut Mochtar (2015), manfaat mobilisasi pasca spinal anestesi
adalah :
a. Penderita merasa lebih sehat dan kuat dengan early ambulation.
Dengan bergerak, otot-otot perut dan panggul akan kembali normal
sehingga otot perutnya menjadi kuat kembali dan dapat mengurangi
rasa sakit dengan demikian anak merasa sehat dan membantu
memperoleh kekuatan, mempercepat kesembuhan, terutama
penutupan luka jahitan. Faal usus dan kandung kencing lebih baik.
Dengan bergerak akan merangsang peristaltic usus kembali normal.
Aktifitas ini juga membantu mempercepat organ-organ tubuh bekerja
seperti semula.
b. Mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli, dengan mobilisasi
sirkulasi darah normal/lancar sehingga resiko terjadinya trombosis dan
tromboemboli dapat dihindarkan.

6. Kerugian Bila Tidak Melakukan Mobilisasi


Berikut beberapa kerugian bila tidak melakukan mobilisasi post
operasi menurut Brunner & Suddart (2012) antara lain :
a. Penyembuhan luka menjadi lama
b. Menambah rasa sakit
c. Badan menjadi pegal dan kaku
d. Kulit menjadi lecet dan luka
e. Memperlama perawatan dirumah sakit

7. Indikasi Dilakukannya Mobilisasi Dini Post Operasi


Latihan mobilisasi menurut Brunner & Suddart (2012) biasanya diberikan
pada pasien dengan :
a. Fraktur extremitas bawah yang telah diindikasikan untuk latihan
mobilisasi.
b. Post pengobatan kompresi lumbal,
c. Pasien pasca serangan stroke dengan kerusakan mobilitas fisik, serta
d. Pasien post operasi yang memerlukan latihan mobilisasi, seperti
kolostomi atau laparostomi.

8. Kontraindikasi Dilakukannya Mobilisasi Dini


Pada kasus tertentu istirahat di tempat tidur diperlukan dalam periode
tidak terlalu lama seperti pada pada kasus infark Miokard akut, Disritmia
jantung, atau syok sepsis, kontraindikasi lain dapat di temukan pada
kelemahan umum dengan tingkat energi yang kurang (Brunner & Suddart,
2012).

9. Pedoman Pelaksanaan Mobilisasi


Penilaian tolerasi aktifitas sangat penting terutama pada klien dengan
gangguan kardiovaskuler atau jantung atau pada klien dengan immobiliasi
yang lama akibat kelumpuhan. Hal tersebut biasanya dikaji pada waktu
sebelum melakukan mobilisasi, saat mobilisasi dan setelah mobilisasi.
Tanda-tanda yang dapat di kaji pada intoleransi aktifitas antara lain :
a. Denyut nadi frekuensinya mengalami peningkatan, irama tidak teratur.
b. Tekanan darah biasanya terjadi penurunan tekanan sistol/hipotensi
orthostatic.
c. Pernafasan terjadi peningkatan frekuensi, pernafasan cepat dangkal.
d. Warna kulit dan suhu tubuh terjadi penurunan.
e. Kecepatan dan posisi tubuh.disini akan mengalami kecepatan aktifitas
dan ketidak stabilan posisi tubuh.
f. Adanya keluhan pusing atau kelemahan luar biasa.
g. Status emosi labil (Gordon, 2016).

10. Tahap-tahap Mobilisasi Dini


Menurut Kasdu (2013) mobilisasi dini dilakukan secara bertahap
berikut ini akan dijelaskan tahap mobilisasi dini antara lain :
a. Setelah operasi, pada 6 jam pertama pasien harus tirah baring dahulu.
Mobilisasi dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan,
tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki,
mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan
menggeser kaki
b. Setelah 6-10 jam, pasien diharuskan untuk dapat miring kekiri dan
kekanan mencegah trombosis dan trombo emboli
c. Setelah 24 jam pasien dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk
duduk
d. Setelah pasien dapat duduk, dianjurkan pasien belajar berjalan.
Kebanyakan dari pasien masih mempunyai kekhawatiran kalau tubuh
digerakkan pada posisi tertentu pasca operasi akan mempengaruhi
luka operasi yang masih belum sembuh yang baru saja selesai dikerjakan.
Padahal tidak sepenuhnya masalah ini perlu dikhawatirkan, bahkan justru
hampir semua jenis operasi membutuhkan mobilisasi atau pergerakan
badan sedini mungkin. Asalkan rasa nyeri dapat ditahan dan keseimbangan
tubuh tidak lagi menjadi gangguan, dengan bergerak, masa pemulihan
untuk mencapai level kondisi seperti pra pembedahan dapat dipersingkat.
Dan tentu ini akan mengurangi waktu rawat di rumah sakit, menekan
pembiayaan serta juga dapat mengurangi stress psikis.
Dengan bergerak, hal ini akan mencegah kekakuan otot dan sendi
sehingga juga mengurangi nyeri, menjamin kelancaran peredaran darah,
memperbaiki pengaturan metabolisme tubuh, mengembalikan kerja
fisiologis organ-organ vital yang pada akhirnya justru akan mempercepat
penyembuhan luka. Menggerakkan badan atau melatih kembali otot-otot
dan sendi pasca operasi di sisi lain akan memperbugar pikiran dan
mengurangi dampak negatif dari beban psikologis yang tentu saja
berpengaruh baik juga terhadap pemulihan fisik. Pengaruh latihan pasca
pembedahan terhadap masa pulih ini, juga telah dibuktikan melalui
penelitian penelitian ilmiah. Mobilisasi sudah dapat dilakukan sejak 8 jam
setelah pembedahan, tentu setelah pasien sadar atau anggota gerak tubuh
dapat digerakkan kembali setelah dilakukan pembiusan regional.
Pada saat awal, pergerakan fisik bisa dilakukan di atas tempat tidur
dengan menggerakkan tangan dan kaki yang bisa ditekuk atau diluruskan,
mengkontraksikan otot-otot dalam keadaan statis maupun dinamis
termasuk juga menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri atau ke kanan.
Pada 12 sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan
sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase
selanjutnya duduk di atas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau
ditempatkan di lantai sambil digerak-gerakan. Di hari kedua pasca operasi,
rata-rata untuk pasien yang dirawat di kamar atau bangsal dan tidak ada
hambatan fisik untuk berjalan, semestinya memang sudah bisa berdiri dan
berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya berjalan sendiri ke
toilet atau kamar mandi dengan posisi infus yang tetap terjaga.
Bergerak pasca operasi selain dihambat oleh rasa nyeri terutama di
sekitar luka operasi, bisa juga oleh beberapa selang yang berhubungan
dengan tubuh, seperti; infus, cateter, pipa nasogastrik (NGT = nasogastric
tube), drainage tube, kabel monitor dan lain-lain. Perangkat ini pastilah
berhubungan dengan jenis operasi yang dijalani. Namun paling tidak
dokter bedah akan mengintruksikan susternya untuk membuka atau
melepas perangkat itu tahap demi tahap seiring dengan perhitungan masa
mobilisasi ini. Untuk operasi di daerah kepala, seperti trepanasi, operasi
terhadap tulang wajah, kasus THT, mata dan lain-lain, setelah sadar baik,
sudah harus bisa menggerakkan bagian badan lainnya. Akan diperhatikan
masalah jalan nafas dan kemampuan mengkonsumsi makanan jika daerah
operasinya di sekitar rongga mulut, hidung dan leher. Terhadap operasi
yang dikerjakan di daerah dada, perhatian utama pada pemulihan terhadap
kemampuan otot-otot dada untuk tetap menjamin pergerakan menghirup
dan mengeluarkan nafas. Untuk operasi di perut, jika tidak ada perangkat
tambahan yang menyertai pasca operasi, tidak ada alasan untuk berlama-
lama berbaring di tempat tidur. Perlu diperhatikan kapan diit makanan
mulai diberikan, terutama untuk jenis operasi yang menyentuh saluran
pencernaan. Yang luka operasinya berada di areal punggung, misalnya
pada pemasangan fiksasi pada tulang belakang, kemampuan untuk duduk
sedini mungkin akan menjadi target dokter bedahnya. Sedangkan operasi
yang melibatkan saluran kemih dengan pemasangan cateter dan atau pipa
drainage sudah akan memberikan keleluasaan untuk bergerak sejak dua
kali 24 jam pasca operasi. Apalagi operasi yang hanya memperbaiki
anggota gerak, seperti operasi patah tulang, sudah menjadi kewajiban
pasien untuk menggerakkan otot dan persendian di sekitar areal luka
operasinya secepat mungkin.

11. Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi


Menurut Hidayat (2012) mobilisasi seseorang dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain:
a. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan
mobilisasi seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau
kebiasaan sehari-hari.
b. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilisasi dapat juga dipengaruhi oleh
kebudayaan. Sebagai contoh orang yang memiliki budaya sering
berjalan jauh memiliki kemampuan mobilisasi yang kuat, sebaliknya
ada orang yag mengalami gangguan mobilisasi (sakit), karena adat dan
budaya dilarang untuk melakukan mobilisasi.
c. Proses penyakit/cedera
Proses penyakit dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi
karena dapat mempengaruhi fungsi sistem tubuh.
d. Tingkat Energi
Energi adalah sumber untuk melakukan mobilisasi. Agar
seseorang dapat melakukan mobilisasi dengan baik dibutuhkan energi
yang cukup.

B. Ekstremitas Bawah
Ekstremitas bawah terdiri dari tulang pelvis, femur, tibia, fibula, tarsal,
metatarsal, dan tulang-tulang phalangs.
Berikut ini adalah gambar bagian-bagian ekstremitas bawah:

Gambar 2.1 Bagian-bagian ekstremitas bawah (Syaifudin, 2011)


1. Pelvis
Pelvis terdiri atas sepasang tulang panggul (hip bone) yang
merupakan tulang pipih. Masing-masing tulang pinggul terdiri atas 3
bagian utama yaitu ilium, pubis dan ischium. Ilium terletak di bagian
superior dan membentuk artikulasi dengan vertebra sakrum, ischium
terletak di bagian inferior-posterior, dan pubis terletak di bagian inferior-
anterior-medial. Bagian ujung ilium disebut sebagai puncak iliac (iliac
crest). Pertemuan antara pubis dari pinggul kiri dan pinggul kanan disebut
simfisis pubis. Terdapat suatu cekungan di bagian pertemuan ilium-
ischium-pubis disebut acetabulum, fungsinya adalah untuk artikulasi
dengan tulang femur.

Gambar 2.2 Bagian-bagian pelvis (Syaifudin, 2011)


a. Perbedaan bentuk panggul wanita dan pria
a. Pada wanita, dinding pelvis spurium dangkal, SIAS menghadap ke
ventral. Pada pria, dinding pelvis spurium tajam / curam, SIAS
menghadap ke medial.
b. Pada wanita, apertura pelvis superior berbentuk oval. Pada pria,
apertura pelvis superior berbentuk heart-shaped, lengkung, dengan
promontorium os sacrum menonjol ke anterior.
c. Pada wanita, pelvis verum merupakan segmen pendek suatu kerucut
panjang. Pada pria, pelvis verum merupakan segmen panjang suatu
kerucut pendek.
d. Pada wanita, ukuran-ukuran diameter rongga panggul lebih besar
(perbedaan sampai sebesar 0.5-1.5 cm) dibandingkan ukuran-
ukuran diameter rongga panggul pria.
e. Pada wanita, apertura pelvis inferior berbentuk bundar, diameter
lebih besar. Pada pria, apertura pelvis inferior berbentuk lonjong
dan kecil.
f. Pada wanita, angulus subpubicus adalah sudut lebar / besar. Pada
pria, angulus subpubicus merupakan sudut tajam / kecil (Syaifudin,
2011).
b. Tulang panggul pada wanita
Setiap wanita mempunyai anatomi panggul yang unik dan
berbeda satu sama lain. Panggul terdiri atas bagian keras panggul
(dibentuk oleh tulang) dan bagian lunak panggul (dibentuk otot,
jaringan dan ligamen) (Syaifudin, 2011).
Fungsi bagian keras panggul wanita adalah sebagai berikut:
a. Panggul besar untuk menyangga isi abdomen.
b. Panggul kecil untuk membentuk jalan lahir dan tempat alat
genetalia.
Sedangkan fungsi bagian lunak panggul wanita adalah sebagai berikut:
a. Membentuk lapisan dalan jalan lahir.
b. Menyangga alat genetalia agar tetap dalam posisi normal saat
hamil maupun nifas.
c. Saat persalinan, berperan dalam proses kelahiran dari kala uri
Ruang panggul terbagi menjadi dua yaitu:
1) Panggul besar (pelvis mayor)
Panggul besar adalah bagian panggul yang terletak di atas linea
terminalis (false pelvis). Panggul besar berfungsi mendukung
isi perut dan menggambarkan keadaan panggul kecil.
2) Panggul kecil (pelvis minor)
Panggul kecil adalah bagian panggul yang terletak di bawah
linea terminalis (true pelvis). Panggul kecil ini merupakan
wadah alat kandungan dan menentukan bentuk jalan lahir serta
penting dalam persalinan.
Panggul terdiri dari bagian yang keras dibentuk oleh tulang dan
bagian yang lunak dibentuk oleh otot-otot dan ligamen.
1) Bagian panggul yang keras
Bagian keras dari panggul wanita terbentuk oleh tulang
panggul. Tulang panggul merupakan sebuah corong, bagian atas
yang lebar disebut panggul besar, sedangkan bagian bawah untuk
menentukan bentuk jalan lahir.
Tulang panggul terdiri atas:
1) Tulang pangkal paha (os coccae)
2) Tulang kelangkang (os sacrum)
3) Tulang tungging (os coxcigys)
4) Tulang pangkal paha (os coccae)
Tulang pangkal paha ada 2 buah. Tulang pangkal paha terdiri
dari 3 buah tulang yang berhubungan dengan yang lainnya pada
acetabulum. Tulang tersebut adalah tulang usus (os ilium), tulang
duduk (os ischium) dan tulang kemaluan (os pubis).
1) Tulang usus (os ilium)
Tulang usus merupakan tulang terbesar panggul yang
membentuk bagian atas dan belakang panggul. Batas atas yang
tebal disebut crista illiaka. Ujung depan maupun belakang dari
crista illiaka menonjol disebut spina iliaka anterior superior dan
spina iliaka posterior superior. Tonjolan tulang di bawah spina
illiaka anterior superior disebut spina illiaka anterior inferior
dan sebelah bawah spina illiaka posterior superior terdapat
spina illiaka posterior inferior. Di bawah spina illiaka posterior
inferior terdapat tekik atau cekungan yang disebut incisura
iskhiadika major. Garis yang membatasi panggul besar dan
panggul kecil disebut linea inominata atau linea terminalis.
2) Tulang duduk (os ischium)
Tulang duduk terletak di sebelah bawah tulang usus, pinggir
belakangnya berduri disebut spina iskhiadika. Di bawah spina
iskhiadika terdapat incisura ischiadika minor. Bagian pinggir
bawah tulang duduk sangat tebal, yang dapat mendukung berat
badan pada saat duduk, disebut tuber iskhiadikum. Tuber
iskhiadikum merupakan ukuran melintang dari pintu atas
panggul.
3) Tulang kemaluan (os pubis)
Tulang kemaluan terletak di sebelah bawah dan depan
dari tulang usus yang disebut dengan tulang duduk. Tulang ini
membatasi sebuah lubang yang terdapat dalam tulang panggul,
lubang ini disebut foramen obtoratorium. Ramus superior ossis
pubis merupakan tulang kemaluan yang berhubungan dengan
tulang usus. Sedang yang berhubungan dengan tulang duduk
disebut ramus inferior ossis pubis. Ramus inferior kiri dan
kanan membentuk arkus pubis. Arkus pubis normal akan
membentuk sudut 90- 100 derajat.
4) Tulang kelangkang (os sacrum)
Tulang kelangkang ada 1 buah. Tulang kelangkang
merupakan tulang yang berbentuk segitiga yang melebar di atas
dan meruncing ke bawah. Tulang kelangkang terletak di
sebelah belakang antara kedua tulang pangkal paha. Tulang
kelangkang terdiri dari 5 ruas tulang senyawa. Kiri dan kanan
dari garis tampak 5 buah lubang yang disebut foramen sacralia
anterior. Crista sacralis merupakan deretan cuat-cuat duri yang
terdapat di garis tengah tulang kelangkang. Bagian atas dari
sakrum yang berhubungan dengan 5 ruas tulang pinggang dan
menonjol ke depan disebut promontorium. Jarak antara
promontorium dan pinggir atas simfisis merupakan ukuran
muka belakang dari pintu atas panggul. Ke samping tulang
kelangkang berhubungan dengan tulang pangkal paha melalui
articulasio sacro illiaca. Ke bawah tulang kelangkang
berhubungan dengan tulang tungging.
5) Tulang tungging (os coxcigis)
Tulang tungging ada 1 buah. Tulang tungging berbentuk
segitiga dan terdiri dari 3-5 ruas, tulang yang bersatu. Pada saat
persalinan, ujung tulang tungging dapat ditolak sedikit ke
belakang, sehingga ukuran pintu bawah panggul bertambah
besar.
2. Femur
Femur merupakan tulang betis, yang di bagian proksimal
berartikulasi dengan pelvis dan dibagian distal berartikulasi dengan tibia
melalui condyles. Di daerah proksimal terdapat prosesus yang disebut
trochanter mayor dan trochanter minor, dihubungkan oleh garis
intertrochanteric. Di bagian distal anterior terdapat condyle lateral dan
condyle medial untuk artikulasi dengan tibia, serta permukaan untuk
tulang patella. Di bagian distal posterior terdapat fossa intercondylar.
Femur pada ujung bagian atasnya memiliki caput, collum, trochanter
major dan trochanter minor. Bagian caput merupakan lebih kurang dua
pertiga bola dan berartikulasi dengan acetabulum dari os coxae
membentuk articulatio coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan kecil
yang disebut fovea capitis, yaitu tempat perlekatan ligamentum dari caput.
Sebagian suplai darah untuk caput femoris dihantarkan sepanjang ligamen
ini dan memasuki tulang pada fovea.
Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur,
berjalan ke bawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang
125 derajat (pada wanita sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang
femur. Besarnya sudut ini perlu diingat karena dapat dirubah oleh
penyakit.
Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar pada batas
leher dan batang. Yang menghubungkan dua trochanter ini adalah linea
intertrochanterica di depan dan crista intertrochanterica yang mencolok di
bagian belakang, dan padanya terdapat tuberculum quadratum.
Bagian batang femur umumnya menampakkan kecembungan ke
depan. Ia licin dan bulat pada permukaan anteriornya, namun pada bagian
posteriornya terdapat rabung, linea aspera. Tepian linea aspera melebar ke
atas dan ke bawah.Tepian medial berlanjut ke bawah sebagai crista
supracondylaris medialis menuju tuberculum adductorum pada condylus
medialis.Tepian lateral menyatu ke bawah dengan crista supracondylaris
lateralis. Pada permukaan posterior batang femur, di bawah trochanter
major terdapat tuberositas glutealis, yang ke bawah berhubungan dengan
linea aspera. Bagian batang melebar ke arah ujung distal dan membentuk
daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya, disebut fascia poplitea.
Ujung bawah femur memiliki condylus medialis dan lateralis, yang di
bagian posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan
anterior condylus dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua
condylus ikut membentuk articulatio genu. Di atas condylus terdapat
epicondylus lateralis dan medialis. Tuberculum adductorium berhubungan
langsung dengan epicondylus medialis.
Gambar 2.3 Bagian-bagian femur (Syaifudin, 2011)
3. Tibia
Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari
tungkai bawah dan terletak medial dari fibula atau tulang betis, tibia
adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung.
Ujung atasnya sangat melebar sehingga menciptakan permukaan
yang sangat luas untuk menahan berat badan. Bagian ini mempunyai dua
masa yang menonjol yang disebut kondilus medialis dan kondilus lateralis.
Kondil-kondil ini merupakan bagian yang paling atas dan paling pinggir
dari tulang. Permukaan superiornya memperlihatkan dua daratan
permukaan persendian untuk femur dalam formasi sendi lutut. Permukaan-
permukaan tersebut halus dan diatas permukaan yang datar terdapat tulang
rawan semilunar (setengah bulan) yang membuat permukaan persendian
lebih dalam untuk penerimaan kondil femur. Di antara kedua kondilus
terdapat daerah kasar yang menjadi tempat pelekatan ligament dan tulang
rawan sendi lutut.
Kondil lateral memperlihatkan posterior sebuah faset untuk
persendian dengan kepala fibula pada sendi tibio fibuler superior. Kondil-
kondil ini di sebelah belakang di pisahkan oleh lekukan popliteum.
Tuberkel dari tibia ada di sebelah depan tepat dibawah kondil-kondil ini.
Bagian depan memberi kaitaan kepada tendon patella, yaitu tendon dari
insersi otot ekstensor kwardisep. Bagian bawah dari Tuberkel itu adalah
subkutaneus dan sewaktu berlutut menyangga berat badan.
Batang dalan irisan melintang bentuknya segitiga, sisi anteriornya
paling menjulang dan sepertiga sebelah tengah terletak subkutan. Bagian
ini membentuk Krista tibia. Permukaan medial adalah subcutaneous pada
hampir seluruh panjangnya dan merupakan daerah berguna darimana dapat
diambil serpihan tulang untuk transplantasi (bone graft). Permukaan
posterior ditandai oleh garis soleal untuk linea poplitea, yaitu garis
meninggi di atas tulang yang kuata dan berjalan ke bawah dan medial.
Ujung bawah masuk dalam formasi persendian mata kaki. Tulangnya
sedikit melebar dan kebawah sebelah medial menjulang menjadi maleolus
medial dan maleolus tibiae. Sebelah depan tibia halus dan tendon-tendon
menjulur di atasnya ke arah kaki.
Permukaan lateral dari ujung bawah bersendi dengan fibula pada
persendian tibio fibuler inferior. Tibia membuat sendi dengan tiga tulang
yaitu femur, fibula dan talus.

Gambar 2.4 Bagian-bagian tibia (Syaifudin, 2011)


4. Fibula
Fibula merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih lateral
dibanding dengan tibia. Di bagian proksimal, fibula berartikulasi dengan
tibia. Sedangkan di bagian distal, fibula membentuk malleolus lateral dan
facies untuk artikulasi dengan tulang-tulang tarsal (Syaifudin, 2011).
5. Tarsal
Tarsal merupakan 7 tulang yang membentuk artikulasi dengan fibula
dan tibia di proksimal dan dengan metatarsal di distal. Terdapat 7 tulang
tarsal, yaitu calcaneus, talus, cuboid, navicular, dan cuneiform (1, 2, 3).
Calcaneus berperan sebagai tulang penyanggah berdiri.

Gambar 2.5 Bagian-bagian tarsal (Syaifudin, 2011)


6. Metatarsal
Metatarsal merupakan 5 tulang yang berartikulasi dengan tarsal di
proksimal dan dengan tulang phalangs di distal. Khusus di tulang
metatarsal 1 (ibu jari) terdapat 2 tulang sesamoid (Syaifudin, 2011).
7. Phalangs
Phalangs merupakan tulang jari-jari kaki. Terdapat 2 tulang phalangs
di ibu jari dan 3 phalangs di masing-masing jari sisanya. Karena tidak ada
sendi pelana di ibu jari kaki, menyebabkan jari tersebut tidak sefleksibel
ibu jari tangan.

C. Kerangka Teori
Pasien Post
Sectio Caesaria

Faktor-faktor mobilisasi :
- Gaya hidup
Penyuluhan Mobilisasi - Kebudayaan
Dini post SC - Proses penyakit/cedera
- Tingkat energi

1. Pengertian mobilisasi
2. Tujuan mobilisasi
3. Rentang gerak dalam Fraktur Ekstremitas Bawah
mobilisasi 1. Pelvis
4. Indikasi mobilisasi 2. Femur
5. Kontra indikasi 3. Tibia
mobilisasi 4. Fibula
6. Kerugian tidak 5. Tarsal
dilakukan mobilisasi 6. Metatarsal
7. Tahap-tahap 7. Phalangs
mobilisasi

- 6 jam pertama  Pasien tirah baring


- 6-10 jam  Miring kanan dan kiri
- 24 jam  Belajar duduk
- Setelah duduk kemudian belajar
berdiri

Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian


Sumber : Brunner & Suddarth (2015), Syaifudin (2011), Hidayat (2012),
Kasdu (2013)

D. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi tentang hubungan
atau kaitan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diamati
atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2014).
Kerangka konsep pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.2 di bawah
ini.
Variabel bebas (independent) Variabel terikat (dependent)

Percepatan fungsi Percepatan fungsi


motorik motorik
Pemberian
ekstremitas bawah ekstremitas bawah
penyuluhan
sebelum sesudah
mobilisasi
penyuluhan penyuluhan
mobilisasi mobilisasi

Bagan 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

E. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru
didasarkan pada teori (Sugiyono, 2014)
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Ada pengaruh penyuluhan mobilisasi pasca spinal anestesi terhadap
percepatan fungsi motorik ekstremitas bawah pasien post SC (Ha).
2. Tidak ada pengaruh penyuluhan mobilisasi pasca spinal anestesi terhadap
percepatan fungsi motorik ekstremitas bawah pasien post SC (Ho).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian


Pada penelitian ini, penulis melakukan penelitian kuantitatif dengan
menggunakan metode pre-experimental design tipe one group pretest-
pascatest (tes awal – tes akhir kelompok tunggal). Arikunto (2013:124)
mengatakan, bahwa one group pretest-pascatest design adalah kegiatan
penelitian yang memberikan tes awal (pretest) sebelum diberikan perlakuan,
setelah diberikan perlakuan barulah memberikan tes akhir (pascatest). Setelah
melihat pengertian tersebut dapat ditarik simpulan bahwa hasil perlakuan
dapat diketahui lebih akurat karena dapat membandingkan dengan keadaan
sebelum diberikan perlakuan. Penggunaan desain ini disesuaikan dengan
tujuan yang hendak dicapai, yaitu untuk mengetahui pengaruh penyuluhan
mobilisasi pasca spinal anestesi terhadap percepatan fungsi motorik
ekstremitas bawah pasien post SC sebelum dan sesudah dan sesudah diberikan
perlakuan.
Rancangan one group pretest-pascatest design ini terdiri atas satu
kelompok yang telah ditentukan. Di dalam rancangan ini dilakukan tes
sebanyak dua kali, yaitu sebelum diberi perlakuan disebut prates dan sesudah
perlakuan disebut pascates. Adapun pola penelitian metode one group pretest-
pascatest design menurut Sugiyono (2013:75) sebagai berikut:

O1 X O 2

Gambar 3.1 Desain Penelitian


Keterangan :
O1 = nilai prates (sebelum perlakuan)
X = Penyuluhan mobilisasi
O2 = nilai pascates (setelah diberi perlakuan)
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini akan dilakukan di RS Citra Sari Husada Intan
Barokah Karawang pada bulan Februari – Maret 2022.

C. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling


1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang akan diteliti,
dapat berupa orang, benda, gejala, atau wilayah yang ingin diketahui oleh
peneliti (Notoatmodjo, 2014). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien
post sectio caesaria menggunakan spinal anastesi di RS Citra Sari Husada
Intan Barokah Karawang.
2. Sampel
Sampel adalah sebuah bagian dari jumlah populasi yang diambil
dengan cara tertentu yang m5ewakili karakteristik tertentu jelas, lengkap,
serta dapat mewakili suatu populasi (Notoatmodjo, 2014). Teknik
pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode non
probability sampling dengan teknik puposive sampling. Non Probability
Sampling adalah teknik sampling yang memberi peluang atau kesempatan
tidak sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi
sampel. Pemilihan elemen-elemen sampel didasarkan pada kebijaksanaan
peneliti sendiri. Pada prosedur ini, masing-masing elemen tidak diketahui
apakah berkesempatan menjadi elamen-elemen sampel atau tidak.
Sugiyono (2012) menyatakan bahwa sampling purposive adalah teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Pemilihan sekelompok
subjek dalam purposive sampling, didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang
dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi
yang sudah diketahui sebelumnya. Dengan kata lain unit sampel yang
dihubungi disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang diterapkan
berdasarkan tujuan penelitian. Penentuan sampling juga berdasarkan
kriteria yang masuk dalam penelitian atau sesuai dengan kriteria yang
diharapkan. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
a. Pasien post sectio caesaria
b. Pasien post operasi hari pertama (bukan hari ke nol)
c. Pasien yang mengalami gangguan mobilisasi
Kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah:
a. Pasien dengan gangguan mobilisasi yang parah atau penyembuhan
dalam waktu yang lama
b. Pasien tidak bersedia menjadi responden
c. Pasien dengan open bedah syaraf
Sampel pada penelitian ini adalah pasien post operasi sectio caesria
menggunakan spinal anastesi di RS Citra Sari Husada Intan Barokah
Karawang. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik penarikan sampel
yang bukan berdasarkan strata, random, atau daerah tetapi didasarkan atas
adanya beberapa pertimbangan yaitu kriteria sampel (Arikunto, 2012). Jika
besar populasi < 1000, maka sampel bisa diambil :
N
n= 2
1+ N (d )

D. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah ukuran atau karakteristik yang dimiliki oleh
anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok
lain. Variabel adalah gejala yang bervariasi, dan gejala merupakan objek
penelitian. Jadi, variabel adalah objek penelitian yang bervariasi. Konstruk
adalah konsep yang dibuat atau digunakan dengan sengaja dan dengan
kesadaran penuh untuk tujuan ilmiah tertentu (misalnya untuk diteliti/
dipelajari) (Notoatmodjo, 2014). Dalam penelitian ini terdiri dari variabel
terikat dan variabel bebas:
1. Variabel Independen
Variabel-variabel ini sering disebut sebagai variabel stimulus,
prediktor, anteseden. Dalam bahasa Indonesia sering disebut variabel
bebas. Pengertian variabel bebas (bebas) menurut Sugiyono (2016)
“Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau merupakan
penyebab berubahnya atau timbulnya variabel terikat (terikat)”. Dalam
penelitian ini variabel bebas (independen) adalah penyuluhan mobilisasi
pasca spinal anestesi.
2. Variabel Dependen
Variabel-variabel ini sering disebut sebagai variabel keluaran,
kriteria, konsekuensi. Dalam bahasa Indonesia sering disebut variabel
terikat. Variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang
dipengaruhi atau menjadi akibat dari variabel bebas (Sugiyono, 2016).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah percepatan fungsi motorik
ekstremitas bawah.

E. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan pada karakteristik
yang diamati dan sesuatu yang didefinisikan, sehingga memungkinkan peneliti
untuk melakukan pengamatan atau pengukuran yang cermat terhadap suatu
objek atau fenomena. Dalam definisi operasional dirumuskan kepentingan
akurasi, komunikasi, komunikasi, dan replikasi (Nursalam, 2016).
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Definisi Skala
No Variabel Alat ukur Hasil ukur
operasional ukur
1 Variabel
Independen
Mobilisasi post Pergerakan yang Kuesioner 1 : Dilakukan Ordinal
SC dilakukan sedini 0 : Tidak
mungkin di dilakukan
tempat tidur
dengan melatih
bagian-bagian
tubuh untuk
melakukan
peregangan,
miring kanan
miring kiri,
belajar duduk dan
belajar berjalan.
2. Variabel
Dependen
Ekstremitas Ekstremitas Observasi 1 : Cepat Ordinal
bawah bawah terdiri dari sembuh
tulang pelvis, 0 : Tidak
femur, tibia,
fibula, tarsal,
metatarsal, dan
tulang-tulang
phalangs.

F. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan alat
pengumpulan data berupa kuesioner. Kuesioner disusun sendiri oleh peneliti
dengan berpedoman pada tinjauan pustaka dan kerangka penelitian. Kuesioner
penelitian ini terdiri dari :
1. Pelaksanaan Mobilisasi Dini
Bagian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pelaksanaan mobilisasi
dini. Pelaksanaan mobilisasi dini dibagi menjadi mobilisasi dini 6, 12, 18
dan 24. Pengisian lembar observasi dengan memberikan tanda checklist
(√) pada kolom “Ya” jika ibu melakukan mobilisasi dini dan pada kolom
“Tidak” jika ibu tidak melakukan mobilisasi dini.
2. Ekstremitas Bawah
Bagian ini bertujuan untuk mengidentifikasi percepatan fungsi
motorik ekstremitas bawah pasien post SC. Pelaksanaan mobilisasi pada
ekstremitas bawah dilaksanakan pada bagian pelvis, femur, tibia, fibula,
tarsal, metatarsal dan phalangs. Pengisian lembar observasi dengan
memberikan tanda checklist (√) pada kolom “Ya” jika cepat sembuh dan
pada kolom “Tidak” jika belum sembuh.

G. Teknik Pengumpulan Data


Proses pengumpulan data penelitian ini dimulai dengan mengurus surat
permohonan izin pelaksanaan penelitian dari instansi pendidikan Institut
Teknologi Sains dan Kesehatan (ITS) PKU Muhammadiyah Surakarta,
kemudian surat tersebut diajukan kepada Direktur RS Citra Sari Husada Intan
Barokah Karawang melalui Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan,
peneliti mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian ke Kepala
Bidang Keperawatan dan Kepala Bidang Pelayanan Medis. Setelah
mendapatkan izin pelaksanaan penelitian, peneliti mulai melaksanakan
penelitian di Ruang Recovery Room IBS dan Lt 2 Ruang Mawar (Perawatan
Post SC Kebidanan) RS Citra Sari Husada Intan Barokah Karawang. Peneliti
menjumpai responden.
Peneliti melakukan pengumpulan data sekali dalam 2 hari selama bulan
Februari – Maret 2022 pada pasien yang dirawat pada hari kedua setelah
seksio sesaria. Sebelum mengisi kuesioner, peneliti terlebih dahulu
memperkenalkan diri dan menjelaskan pada calon responden tentang tujuan
dan manfaat penelitian. Tidak semua pasien pascasalin dengan seksio sesaria
yang dijumpai peneliti bersedia menjadi responden. Alasan ketidaksediaan ibu
pascasalin dengan seksio sesaria tersebut menjadi responden sebagian besar
adalah karena tidak ingin d9iganggu karena rasa nyeri pasca operasi masih
menggangu kenyamanan pasien dan rasa takut akan pertanyaan-pertanyaan
yang akan diajukan oleh peneliti. Ibu pascasalin dengan seksio sesaria yang
bersedia menjadi responden diminta untuk menandatangani lembar
persetujuan (informed consent). Kuesioner diisi oleh peneliti. Peneliti
membacakan isi kuesioner dan responden menjawab. Waktu pengisian
kuesioner sekitar 15 menit. Setelah data terkumpul semua dengan lengkap
maka dilakukan analisa data.

H. Teknik Analisa Data


Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, peneliti melakukan
pengolahan data atau analisa data. Analisa data dilakukan melalui beberapa
tahapan. Pertama editing, yaitu mengecek atau mengoreksi data yang telah
dikumpulkan. Tujuannya untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang
terdapat pada pencatatan di lapangan dan bersifat mengoreksi. Kedua coding,
yaitu pemberian kode-kode pada tiap-tiap data yang termasuk dalam kategori
yang sama. Ketiga tabulasi yaitu membuat tabel-tabel yang berisikan data
yang telah diberi kode, sesuai dengan analisis yang dibutuhkan. Langkah
selanjutnya yaitu pengolahan data. Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan komputerisasi. Keempat cleansing (pembersihan data) yaitu
data yang telah di tabulasi, diperiksa kembali kelengkapan dan kebenarannya
(Hidayat, 2007).
Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Analisa Univariat
Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsiskan
karakteristik setiap variable penelitian (Notoadmojo, 2012). Karakteristik
responden dalam penelitian ini yaitu: Usia, jenis kelamin, mobilisasi,
ekstremitas bawah.
2. Analisa Bivariat
Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi (Notoadmojo,2012). Dalam penelitian ini
analissi bivariate dilakukan untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan
dengan kualitas tidur pasien pre operasi. Uji statistik yang digunakan
adalah Spearman. Uji Spearman merupakan korelasi non parametric yang
bertujuan untuk menguji pengaruh mobilisasi pasca spinal anestesi
terhadap percepatan fungsi motorik ekstremitas bawah pasien post SC. Uji
spearman rank memiliki syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Data ordinal
b. Data berdistribusi tidak normal
c. Data tidak berpasangan
Untuk mengetahui pengaruh mobilisasi pasca spinal anestesi terhadap
percepatan fungsi motorik ekstremitas bawah pasien post SC digunakan
signifikansi α (0,05):
a. Apabila p ≤ 0,05 = H0 ditolak, berarti ada hubungan antara tingkat
kecemasan dengan kualitas tidur pasien pre operasi
b. Apabila p ≥ 0,05 H0 = diterima atau gagal menolak, Ha, berarti tidak
ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pasien
pre operasi.
I. Jalannya Penelitian
Jenis data merupakan data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari
responden dengan cara membagi kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan
dengan tiga tahap sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan
a. Mengajukan permintaan ke Institut Teknologi Sains dan Kesehatan
PKU Muhammadiyah Surakarta untuk pembuatan Ijin Studi
Pendahuluan ke RS Citra Sari Husada Intan Barokah Karawang.
b. Mengajukan ijin studi pendahuluan ke ruang Kepala Bidang
Keperawatan dan Kepala Bidang Pelayanan Medis RS Citra Sari
Husada Intan Barokah Karawang dengan memberikan penjelasan,
maksud, dan tujuan penelitian.
c. Melakukan studi pendahuluan dengan tujuan mencari permasalahan
yang muncul pada pasien pasca spinal anestesi untuk mengetahui
tingkat kesembuhan ekstremitas bawah.
d. Mengumpulkan data-data tentang pasien post operasi, populasi dan
sampel penelitian yang akan digunakan untuk penelitian, membuat
proposal penelitian, mengikuti Ujian Proposal, mengajukan uji
kelayakan etik ke Institut Teknologi Sains dan Kesehatan PKU
Muhammadiyah Surakarta.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Setelah mendapatkan izin peneliti, peneliti melakukan pengumpulan
data tentang pasien post SC yang akan dilakukan tindakan operasi
dengan anestesi spinal di ruang Bedah RS Citra Sari Husada Intan
Barokah Karawang.
b. Setelah mendapatkan data. Lalu peneliti pengambilan sampel dengan
teknik purposive sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.
c. Setelah jumlah pasien post operasi tersebut, Peneliti memberikan
penjelasan kepada calon responden tentang maksud dan tujuan dari
penelitian. Peneliti juga menjelaskan syarat-syarat yang bisa dijadikan
sebagai responden.
d. Apabila calon responden bersedia menjadi responden, maka
dipersilahkan untuk menanda tangani informed consent, dan apabila
calon responden tidak bersedia menjadi responden maka peneliti tetap
menghormati Keputusan tersebut.
e. Peneliti membagikan kuesioner kepada responden yang telah
menandatangani informed concent kemudian responden mengisi
kuesioner.
f. Setelah kuesioner diisi oleh responden maka kuesioner tersebut
dikumpulkan kembali kepada peneliti pada saat itu juga.
g. Setelah kuesioner terkumpul peneliti memeriksa kelengkapan data dan
jawaban dari kuesioner yang diisi oleh responden.
3. Tahap Penyelesaian
a. Pengolahan data dengan program computer SPSS, dan setelah
dilakukan analisa data maka disusunlah laporan hasil penelitian.
b. Melakukan konsultasi kepada pembimbing tentang hasil penelitian dan
pembahasan dan Menyusun laporan akhir.

J. Etika Penelitian
Menurut Notoatmodjo (2012), dalam melaksanakan sebuah penelitian
ada beberapa prinsip etis atau etik penelitian yang harus diperhatikan yaitu
sebagai berikut:
1. Informed Consent (Lembar Persetujuan)
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang sebelumnya
diberi penjelasan tentang tujuan penelitian untuk menandatangani informed
consent tersebut. Lembar informed consent ditandatangani oleh pasien yang
bersedia menjadi responden penelitian saat berada di ruang penerimaan
pasien yaitu di ruang IBS RS Citra Sari Husada Intan Barokah Karawang.

2. Anonymity (Kerahasiaan Identitas)


Kerahasiaan identitas responden dijaga oleh peneliti dan hanya
digunakan untuk kepentingan peneliti, identitas penelitian hanya diketahui
oleh peneliti dan tidak disebarluaskan. Kerahasiaan identitas ini antara lain
hanya menuliskan inisial nama pada data yang digunakan dan
dipublikasikan, tidak mempublikasikan alamat lengkap responden.
3. Confidentiality (Kerahasiaan informasi)
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya
kelompok data tertentu yang dilaporkan sebagai hasil penelitian. Data yang
dilaporkan hanya inisial.
4. Respect for Person (Menghormati)
Peneliti selalu menjaga dan menghormati harkat dan martabat
responden adalah manusia sebagai makhluk bio, psiko, sosial, dan spiritual.
Peneliti memberikan kebebasan pada responden untuk memilih menjadi
responden atau berhak untuk menolak menjadi responden sehingga dalam
penelitian ini tidak ada unsur paksaan.
5. Beneficience (Berbuat baik)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan
memerlukan pencegahan dan kesalahan atau kejahatan, penghapusan
kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang
lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan terjadi konflik antara
prinsip ini dengan otonomi.
6. Justice (Keadilan)
Penelitian ini tidak deskriminatif dalam memperlakukan responden,
Peneliti menjamin hak responden, yaitu menjamin kerahasiaan responden,
menghentikan penelitian jika ternyata dalam proses penelitian membuat
responden tidak nyaman, dan memberikan kesempatan kepada responden
penelitian untuk mengajukan pertanyaan tentang penelitian.
7. Veracity (Kejujuran)
Penelitian ini memuat kewajiban untuk mengatakan keujuran atau hal
yang sebenarnya atau tidak ada unsur membohongi orang lain baik subjek
penelitian atau pihak lain yang terkait.

Anda mungkin juga menyukai