Anda di halaman 1dari 18

HEPATITIS IMBAS OBAT

OLEH:
dr. Titis Indriyati
NIP. 19720722 200604 2 008

PUSKEMAS MABU’UN
TABALONG
KALIMANTAN SELATAN
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................... i
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 3
2.1. Definisi Hepatitis Imbas Obat................................................................. 3
2.2. Epidemiologi Hepatitis Imbas Obat........................................................ 3
2.3. Etiologi Hepatitis Imbas Obat................................................................. 4
2.4. Gejala Klinis Hepatitis Imbas Obat......................................................... 4
2.5. Mekanisme Hepatitis Imbas Obat........................................................... 5
2.5.1. Hepatotoksisitas Obat Anti Tuberkulosis...................................... 5
2.5.2. Hepatotoksisitas Obat Kemoterapi................................................ 6
2.5.3. Hepatotoksisitas Obat Anti Inflamasi Non Steroid....................... 8
2.5.4. Hepatotoksisitas Obat Antiretroviral............................................. 9
2.6. Diagnosis Hepatitis Imbas Obat.............................................................. 10
2.7. Penatalaksanaan Hepatitis Imbas Obat................................................... 12
2.7.1. Terapi Utama................................................................................. 12
2.7.2. Terapi Suportif.............................................................................. 13
2.7.3. Transplantasi Hati......................................................................... 13
2.8. Prognosis Hepatitis Imbas Obat.............................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 16

i
BAB 1
PENDAHULUAN

Sebagian besar obat masuk melalui saluran cerna, dan hati berperan sentral
dalam memetabolisme beberapa obat.1 Hepatotoksisitas merupakan kerusakan
hati yang diakibatkan oleh xenobotic (benda asing) dan hepatitis imbas obat
merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap obat yang
diberikan, karena hati merupakan pusat disposisi metabolik dari semua obat dan
bahan asing yang memasuki tubuh. Kerusakan hati dapat diakibatkan melalui
inhalasi, pencernaan, dan pemberian secara parenteral sejumlah obat-obatan dan
zat kimia. Zat kimia ini meliputi toksin industri (co, carbon tetraklorida,
trikloroetilen, dan fosfor kuning), dan racun bicyclic octapeptide tahan panas dari
beberapa spesies Amanita dan Galerina (keracunan jamur hepatotoksik), dan
lebih sering oleh obat-obatan. Lebih dari 900 obat, toksin, dan herbal dilaporkan
mengakibatkan kerusakan hati, dan obat-obatan ini mencakup sekitar 20-40% dari
semua penyebab gagal hati fulminan.2
Metabolisme obat-obatan terjadi di mikrosom sel hati. Obat yang telah larut
dalam air tentu tidak lagi memerlukan metabolism di hati. Sebagian obat bersifat
lipofilik sehingga mampu menembus membran sel usus. Obat kemudian diubah
dan diekskresikan ke dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatik ini
melibatkan jalur oksidatif utama, enzim yang terlibat adalah sitokrom C reduktase
dan sitokrom P450.2
Reaksi tersebut sebagian idiosinkratik pada dosis terapoetik yang
dianjurkan, dari 1 tiap 10.000 pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan pola
yang konsisten untuk setiap obat. Sebagian lagi tergantung pada dosis obat.
Hepatotoksisitas imbas obat merupakan alasan paling sering penarikan obat dari
pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk lebih dari 50% kasus gagal
hati akut. Di Amerika Serikat, sekitar 2.000 kasus gagal hati akut dan 50%nya
diakibatkan oleh obat (39% Asetaminofen, 13% merupakan reaksi idiosinkrasi
karena obat lainnya). Kira-kira 2-5% yang dirawat dengan keluhan ikterik dan
10% kasus hepatitis akut diakibatkan oleh obat-obatan. Sekitar 75% reaksi

1
idiosinkrasi mengakibatkan transplantasi hati atau kematian. Sedangkan data
mengenai insidens secara internasional belum diketahui.2
Gambaran klinis hepatotoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis
dengan penyakit hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Jadi penting untuk
mempertimbangkan anamnesis pasien ikterik atau gangguan fungsi hati mengenai
paparan bahan kimia yang dipergunakan di tempat kerja atau di rumah, obat-
obatan yang dipergunakan baik yang menggunakan resep dokter, obat yang dibeli
secara bebas, obat herbal, maupun obat-obatan yang diberikan melalui
pengobatan alternatif.2

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Hepatitis Imbas Obat


Hepatitis imbas obat atau dikenal juga sebagai “drug-induced
hepatotoxicity, drug induced liver injury, hepatic failure due to drugs,
hepatic failure due to herb, drug hepatotoxicity, drug toxicity, dan drug-
related hepatitoxicity”, berarti keadaan inflamasi yang terjadi jika kita
mengkonsumsi bahan kimia beracun, obat, atau jamur beracun tertentu.2

2.2. Epidemiologi Hepatitis Imbas Obat


Perkembangan dunia kedokteran, yang antara lain diwarnai dengan
makin banyaknya jenis obat, meningkatkan harapan kesembuhan dari
berbagai penyakit. Akan tetapi, perkembangan ini juga membawa dampak
tersendiri, seperti makin meningkatnya risiko dan angka kejadian efek
samping obat. Meskipun efek samping obat dapat terjadi pada semua sistem
organ tubuh, hati merupakan organ yang paling rentan karena sebagian
besar obat menjalani metabolisme parsial maupun komplet serta eliminasi
melalui hati.3
Berbagai survei di dunia menunjukkan bahwa frekuensi DILI sebagai
penyebab penyakit hati akut maupun kronik relatif rendah. Insidens
hepatotoksisitas imbas obat dilaporkan sebesar 1:10.000 sampai 1:100.000
pasien.3 Hepatotoksisitas imbas obat merupakan alasan paling sering
penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk
lebih dari 50% kasus gagal hati akut. Di Amerika Serikat, sekitar 2.000
kasus gagal hati akut dan 50%nya diakibatkan oleh obat (39%
Asetaminofen, sisanya merupakan reaksi idiosinkrasi karena obat lainnya).
Kira-kira 2-5% yang dirawat dengan keluhan ikterik dan 10% kasus
hepatitis akut diakibatkan oleh obat-obatan. Sekitar 75% reaksi idiosinkrasi
mengakibatkan transplantasi hati atau kematian.2 Meskipun demikian,
insidens DILI yang sebenarnya sulit diketahui. Jumlah aktual dapat jauh
lebih besar karena sistem pelaporan yang belum memadai, kesulitan

3
mendeteksi atau mendiagnosis, dan kurangnya observasi terhadap pasien-
pasien yang mengalami DILI.3

2.3. Etiologi Hepatitis Imbas Obat


Tabel 2.1. Pola Jejas Hati dan Obat-Obat Penyebab3

Hepatoselular Campuran Kolestatik


(Peningkatan ALT) (Peningkatan ALP dan (Peningkatan ALP dan
ALT) Bilirubin Total)
Akarbose (dm) Amitriptilin (antidperesi) Amoksisilin-asam klavulanat
Asetaminofen/parasetamol (nsa) Trazodon (antidepresi) Eritromisin (antibiotik)
NSAID Azatioprin (kemo) Steroid anabolik
Alopurinol (asam urat) Kaptopril (acein) Klorpromazin (skizo)
Amiodaron (jantung) Enalapril (acein) Klopidogrel (antiplatelet)
Bupropion (antidepresi) Verapamil (ccb) Kontrasepsi oral
Fluoksetin (antidepresi) Karbamazepin (kejang) Estrogen
Paroksetin (antidepresi) Fenobarbital (kejang) Irbesartan (arb)
Trazodon (antidepresi) Fenitoin (kejang) Mirtazapin (antidepresi)
Sertralin (antidpresi) Klindamisin (antibiotik) Antidepresan trisiklik
HAART (highly active Nitrofurantoin (antibiotik) Fenotiazin (skizo)
antiretroviral therapy) Sulfonamid (antibiotik) Terbinafin (anti jamur)
Herbal: kava kava, germander Trimetoprim-sulfametoksazol
Isoniazid (oat) Siproheptadin (antihistamin)
Pirazinamid (oat) Flutamid (kanker)
Rifampin (oat)
Ketokonazol (anti jamur)
Lisinopril (ace in)
Losartan (arb)
Metotreksat (kemo)
Omeprazol (ppi)
Risperidon (skizo)
Statin (kolestrol)
Tetrasiklin (antibiotik)
Trovafloksasin (antibiotik)
Asam valproat (kejang)

2.4. Gejala Klinis Hepatitis Imbas Obat5


Gambaran klinik hepatotoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara
klinik dengan penyakit hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain.
- Nyeri perut - Sakit kepala
- Urin gelap - Ikterik
- Diare - Kehilangan nafsu makan
- Kelelahan - Mual dan muntah
- Demam - Tinja berwarna putih atau tanah liat
- Ruam

4
2.5. Mekanisme Hepatitis Imbas Obat
Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein
transport pada membrane kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme
apoptosis hepatosit imbas asam empedu dimana terjadi penumpukan asam-
asam empedu di dalam hati karena gangguan transpor pada kanalikuli yang
menghasilkan translokasi Fassitoplasmik ke membran plasma, dimana
reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu
kematian sel melalui apoptosis. Disamping itu banyak reaksi hepatoselular
melibatkan sistem sitokrom P-450 yang mengandung heme yang
menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat membuat ikatan
kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak
punya peran. Kompleks enzim-obat ini bermigrasi ke permukaan sel di
dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran
serangan sitolitik sel T, merangsang respons imun multifaset yang
melibatkan sel-sel T sitotoksik dan berbagai sitokin. Obat-obat tertentu
menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan
enzim-enzim rantai respirasi. Metabolitmetabolit toksis yang dikeluarkan
dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu.1

2.5.1.Hepatotoksisitas Obat Anti Tuberkulosis


Obat anti tuberkulosis terdiri dari rifampisin, isoniazid, pirazinamid,
dan ethambutol/streptomycin, dan tiga obat yang disebut pertama bersifat
hepatotoksik. Faktor-faktor risiko hepatotoksisitas yang pernah dilaporkan
adalah usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, konsumsi tinggi
alkohol, mempunyai dasar penyakit hati, carrier hepatitis B, prevalensi
hepatitis viral yang meningkat di negara sedang berkembang, hipoalbumin
dan tuberkulosis lanjut, dan pemakaian obat yang tidak sesuai aturan serta
status asetilatornya. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan
HLA-DR2 dengan tuberkulosis paru pada berbagai populasi dan keterkaitan
varian gen NRAMP1 dengan kerentanan terhadap tuberkulosis, sedangkan
risiko hepatotoksisitas imbas obat tuberkulosis berkaitan juga dengan tidak
adanya HLA-DQA1*0102 dan adanya HLA-DQB1*0201 di samping usia
lanjut, albumin serum <3,5 gram/dl dan tingkat penyakit yang moderat atau

5
tingkat lanjut berat. Dengan demikian risiko hepatotoksisitas pada pasien
dengan obat anti tuberkulosis dipengaruhi faktor-faktor klinik dan genetik.
Pada pasien tuberkulosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko
hepatotoksisitas terhadap obat anti tuberkulosis lima dan empat kali lipat.
Sementara pasien tuberkulosis dengan karier HBsAg positif dan
HBeAg-negatif yang inaktif dapat diberikan obat standar jangka pendek
isoniazid, rifampin, etambutol dan/atau pirazinamid dengan syarat
pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10%
pasien tuberkulosis yang mendapatkan isoniazid mengalami kenaikan kadar
aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang
nampaknya menunjukkan respons adaptif terhadap metabolit toksik obat.
Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan kadar
aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya
sekitar satu persen yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral yang
mana 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul
beberapa bulan kemudian.1

2.5.2.Hepatotoksisitas Obat Kemoterapi


Jejas hati yang timbul selama kemoterapi kanker tidak selalu
disebabkan oleh kemoterapi itu sendiri. Klinisi harus memperhatikan faktor-
faktor lain lain seperti reaksi terhadap antibiotik, analgesik, anti emetik atau
obat lainnya. Problem-problem medis yang sudah ada sebelumnya, tumor,
imunosupresi, virus hepatitis dan infeksi lain, dan defisiensi nutrisi atau
nutrisi parenteral total, semuanya mungkin mempengaruhi kerentanan
hospes terhadap terjadinya jejas hati. Sebagian besar reaksi hepatotoksisitas
obat bersifat idiosinkratik, melalui mekanisme imunologik atau variasi pada
respons metabolik hospes. Siklofosfamid, suatu alkylating agent, diubah
oleh sistem sitokrom P-450 di hati menjadi 4-hydroxycyclophosphamide.
Meskipun mengalami metabolisme di hati siklofosfamid dapat diberikan
pada keadaan enzim hati dan atau bilirubin yang meningkat. Melfalan
dengan cepat dihidrolisis dalam plasma dan sekitar 15% diekskresi tanpa
perubahan dalam urin.

6
Pada dosis yang dianjurkan tidak bersifat hepatotoksisitas hanya
menimbulkan abnormalitas tes fungsi hati sementara pada dosis tinggi pada
transplantasi sumsum tulang otolog. Klorambusil berhubungan dengan
kerusakan hati. Busulfan, kelas alkilsulfonat, cepat hilang dari darah dan
diekskresikan lewat urin. Metabolisme lewat hati tidak begitu penting
sehingga pada dosis standar tidak menimbulkan hepatotoksisitas. Cytosine
Arabinoside (Ara-C) efek hepatotoksisitasnya belum jelas. 5-FU tidak
menimbulkan kerusakan hati bila diberikan secara per oral dan jarang
dilaporkan menimbulkan hepatotoksisitas pada pemberian intravena. Akan
tetapi berbeda bila diberikan secara intraarterial dengan pompa infus untuk
terapi metastasis hepar karena kanker kolorektal dimana terjadi
hepatotoksisitas berupa jejas hepatoselular dengan peningkatan
aminotransferase, fosfatase alkali, dan bilirubin serum, atau terjadinya
striktur duktus biliaris intrahepatik atau ekstrahepatik dengan peningkatan
bilirubin dan fosfatase alkali. 6-Mercaptopurine (6-MP) bersifat
hepatotoksik terutama bila dosis melebihi dosis yang biasa digunakan (dosis
dewasa 2 mg/ kg) dan dapat berupa hepatoselular atau kholestatik.
Perbedaan rute obat oral atau parenteral tidak merubah sifat
hepatotoksisitasnya. Azatioprin (AZ) memiliki sifat hepatotoksisitas
meskipun jarang terjadi.
Hepatotoksisitas berupa peningkatan kadar bilirubin serum dan
fosfatase alkali dengan peningkatan sedang kadar aminotransferase dan
secara histologik berupa kholestasis dengan nekrosis parenkhim hati yang
bervariasi. 6-thioguanine dikenal menyebabkan penyakit oklusi vena.
Metotreksat (MTX) pada dosis standar diekskresi tanpa perubahan melalui
urin. Pada dosis tinggi sebagian dimetabolisir oleh hati menjadi 7-
hydroxymethotrexate. Pada terapi pemeliharaan leukemia akut anak-anak,
methotrexate dapat menimbulkan fibrosis dan sirosis hati. Pada pemakaian
dosis tinggi, MTX meningkatkan aminotransferase dan lactate
dehydrogenase (LDH). Pasien artritis rematoid atau psoriasis dengan MTX
dosis kumulatif kurang dari 2 gram mempunyai insidensi hepatotoksisitas
yang rendah meskipun durasi terapinya lama, 28-48 bulan. Dengan

7
demikian pemakaian MTX dosis rendah jangka panjang dapat menimbulkan
fibrosis/sirosis, sementara dosis tinggi menyebabkan perubahan tes fungsi
hati. Gemcitabine sering menyebabkan kenaikan transaminase sementara
tetapi tidak bermakna. Mitoxantrone mempunyai insidensi toksisitas serius
lebih rendah dibanding obat-obat kanker antrasiklin yang lain, dan hanya
menimbulkan kenaikan kadar AST dan ALT sementara saja. Insidensi
disfungsi hati karena pemakain bleomycin sangat rendah.
Hepatotoksisitas mitomycin belum jelas, tetapi ditemukan dalam
konsentrasi tinggi dalam empedu. Paclitaxel dan docetaxel sebagian besar
diekskresi melalui hati dan perlu hati-hati pada pasien dengan gangguan
fungsi hati. Etoposide tidak menimbulkan hepatotoksisitas pada dosis
standar meskipun diekskresikan terutama dalam empedu. Cisplatin jarang
menyebabkan hepatotoksisitas pada dosis standar tetapi kadang-kadang
dijumpai kenaikan AST Pada dosis tinggi menimbulkan kenaikan AST dan
ALT. Procarbazine dikenal dapat menyebabkan hepatitis granulomatosa.
Hydroxyurea dapat menimbulkan toksisitas hati dan pernah dilaporkan
sebagai penyebab peliosis hepatis.1

2.5.3.Hepatotoksisitas Obat Anti Inflamasi Non Steroid


Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan salah satu obat
yang sering diresepkan meskipun penggunaannya tidak selalu tepat sasaran.
Risiko epidemiologik hepatotoksisitas golongan obat ini rendah (1-8 kasus
per 100000 pasien pengguna OAINS). Hepatotoksisitas karena OAINS
dapat terjadi kapan saja setelah obat diminum, tetapi efek samping berat
sangat sering terjadi dalam 6-12 minggu dari awal pengobatan. Ada dua
pola klinis utama hepatotoksisitas karena OAINS. Pertama, adalah hepatitis
akut dengan ikterus, demam, mual, transaminase naik sangat tinggi dan
kadang-kadang dijumpai eosinofilia. Pola yang lain adalah dengan
gambaran serologik (Anti Nuclear Factor -positif) dan histologik (inflamasi
periportal dengan infiltrasi plasma dan limfosit dan fibrosis yang meluas ke
dalam lobul hepatik) dari hepatitis kronik aktif. Tes fungsi hati dapat
kembali normal dalam 4-8 minggu sejak penghentian obat penyebab. Dua

8
mekanisme utama bertanggung jawab atas jejas hati oleh OAINS, yaitu
hipersensitivitas dan aberasi metabolik.
Meskipun masih perlu diteliti lebih lanjut, faktor-faktor risiko
hepatotoksisitas idiosinkratik imbas OAINS meliputi wanita, umur > 50
tahun dan penyakit otoimun yang mendasari. Faktor risiko lain adalah
paparan obat lain yang juga bersifat hepatotoksik pada saat bersamaan.
Reaksi hipersensitivitas sering mengalami titer anti-nuclear factor atau
antibodi anti-smooth muscle yang bermakna, limfadenopati dan eosinofilia.
Aberasi metabolik dapat terjadi karena polimorfisme genetik yang dapat
merubah kerentanan terhadap bermacam-macam obat. Pasien yang
mengalami hepatotoksisitas imbas OAINS harus dianjurkan untuk tidak
minum lagi OAINS selamanya. Parasetamol merupakan obat pilihan untuk
analgesik sedangkan aspirin dapat digunakan sebagai pengganti OAINS,
karena toksisitas OAINS berhubungan dengan struktur molekular cincin
diphenylamine yang tidak dimiliki aspirin.1

2.5.4.Hepatotoksisitas Obat Antiretroviral


Obat-obat antiretroviral yang biasa digunakan untuk penanganan
penyakit AIDS juga sering menimbulkan jejas pada hati dan diistilahkan
sebagai antiretroviral drug-related liver injury (ARLI). ARLI didefinisikan
sebagai peningkatan enzim-enzim hati dalam serum, dengan ditandai kadar
ALT yang lebih tinggi dari AST. Pada pasien yang sebelum terapi kadar
ALT dan AST normal, maka peningkatan 5 kali lipat termasuk sedang dan
bila 10 kali lipat termasuk berat. Bagi yang sebelum terapi kadar ALT dan
AST abnormal, maka peningkatan 3,5 kali lipat termasuk kategori sedang,
sedangkan 5 kali lipat kategori berat. Insidensi ARLI setelah pemakaian
HAART berada pada rentang 2-18% and manifestasi ARLI lebih berat pada
pasien HIV dengan koinfeksi virus hepatitis B atau C. Kebiasaan minum
alkohol meningkatkan risiko ARLI. Mekanisme terjadinya ARLI dapat
melalui proses metabolik yang dimediasi hospes (intrinsik dan idiosinkrasi),
hipersensitivitas, toksisitas mitokondrial dan rekonstitusi imun.1

2.6. Diagnosis Hepatitis Imbas Obat

9
Riwayat pemakaian obat-obat atau substansi hepatotoksik lain harus
dapat diungkapkan. Onset umumnya cepat, malaise, dan ikterus, serta dapat
terjadi gagal hati akut yang berat terutama bila pasien masih mengkonsumsi
obat tersebut setelah onset hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosit lebih
dominan maka kadar aminotransferase dapat meningkat hingga paling tidak
5 kali batas atas normal, sedangkan kenaikan fosfatase alkali dan bilirubin
menonjol pada kolestasis. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul
dalam beberapa hari atau minggu sejak mulai minum obat dan mungkin
terus berkembang bahkan sesudah obat penyebab dihentikan
pemakaiannya.1

Tabel 2.2. Definisi hepatotoksiksitas menurut WHO Adverse Drug


Reaction Terminology
Definisi Hepatotoksisitas menurut WHO Nilai Laboratorium
Grade 1 (ringan) <2,5 kali ULN (ALT 51-125 IU/L)
Grade 2 (sedang) 2,5-5 kali ULN (ALT 126-250 IU/L)
Grade 3 (berat) 5-10 kali ULN (ALT 251-500 IU/L)
Grade 4 (sangat berat) >10 kali ULN (ALT >500 IU/L)
Keterangan : ALT = Alanine Aminotransferase; ULN = Upper Limit of
Normal
Sumber : World Health Organitzation, 1992. International Monitoring of
Adverse Reactions to Drugs: Adverse Reaction Terminology. Uppsala:
WHO Collaborating Center for International Drug Monitoring.

Tabel 2.3. Kriteria hepatotoksiksitas menurut Common Toxicity Criteria


Grade 0 1 2 3 4
>BAN-2,5 >2,5-5,0 x >5,0-20,0
ALP DBN >20 x BAN
x BAN BAN x BAN
1-1,5 x >1,5-3,0 x >3,0-10 x
Bilirubin DBN >10 x BAN
BAN BAN BAN

10
Bilirubin yang berkaitan
dengan graft-versushost
≥2-<3 ≥3-<6
disease (GVHD) untuk ≥6-<15 mg ≥15 mg
Normal mg /100 mg /100
studi transplantasi sumsum /100 ml /100ml
ml ml
tulang, jika disebutkan
khusus dalam protokol
>BAN-2,5 >2,5-5,0 x >5,0-20,0
GGT DBN >20 x BAN
x BAN BAN x BAN
Hepatomegali Tidak ada - - Ada -
Catatan: Derajat hepatomegali hanya untuk efek samping berat berkaitan dengan pengobatan
termasuk penyakit oklusi vena
<BBN-3,0 ≥ 2-<3
Hipoalbuminemuia DBN <2 g/dl -
g/dl g/dl
Ensefalopati/
Disfungsi/gagal hati (klinis) Normal - - Asteriksis
koma
Aliran Aliran
Aliran vena porta Normal - vena porta vena porta -
menurun retrogad
>BAN-2,5 >2,5-5,0 x >5,0-20,0
SGOT (AST) DBN >20 x BAN
x BAN BAN x BAN
>BAN-2,5 >2,5-5,0 x >5,0-20,0
SGPT (ALT) DBN >20 x BAN
x BAN BAN x BAN
Mengancam
Problem hepatik lainnya Tidak ada Ringan Sedang Berat
nyawa/cacat
Keterangan : DBN = Dalam Batas Normal; BAN = Batas Atas Normal; BBN =
Batas Bawah Normal
Sumber : King, P.D., Perry, M.C., 2001. Hepatotoxicity of Chemotherapy. The
Oncologist 6:162-176.

Berdasarkan International Consensus Criteria, maka diagnosis


hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan:
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai onset reaksi
nyata adalah “sugestif” (5-90 hari dari awal minum obat) atau
“compatible” (<5 hari atau >90 hari sejak mulai minum obat dan tidak
>15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoselular dan tidak >30
hari dari penghentian obat untuk reaksi kolestatik) dengan
hepatotoksisitas obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah “sangat sugestif”
(penurunan enzim hati paling tidak 50% dari kadar di atas batas atas
normal dalam 8 hari) atau “sugestif” (penurunan kadar enzim hati paling
tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoselular dan 180 hari untuk
reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah dieksklusi dengan pemeriksaan
yang teliti, termasuk biopsi hati pada tiap kasus.

11
4. Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama
(paling tidak kenaikkan 2 kali lipat enzim hati).
Dikatakan reaksi “drug-related” jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi
atau jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respons positif pada
pemaparan ulang obat.1

2.7. Penatalaksanaan Hepatitis Imbas Obat


2.7.1.Terapi Utama
Tata laksana DILI yang paling penting adalah segera menghentikan
obat yang dicurigai sebagai penyebab. Pada sebagian besar kasus, jejas hati
akan menyembuh sendiri setelah obat dihentikan. Akan tetapi, apabila DILI
bermanifestasi sebagai hepatitis autoimun dan penyembuhan tidak terjadi
dengan penghentian obat, kortikosteroid sering digunakan sebagai terapi
meskipun bukti ilmiahnya masih kontroversial.
Overdosis asetaminofen harus ditangani segera dengan pemberian N-
asetilsistein (NAC). Untuk orang dewasa yang menelan asetaminofen
kurang dari 24 jam sebelum ke rumah sakit, dosis awal NAC sebesar 140
mg/ kgBB harus diberikan, dilanjutkan 70 mg/kgBB setiap 4 jam, sebanyak
17 dosis, dimulai 4 jam setelah dosis awal diberikan.
Asam ursodeoksikolat dapat diberikan pada DILI tipe kolestatik
dengan dosis 20-30 mg/ kgBB/hari dalam dua dosis terbagi. Apabila timbul
rasa gatal yang hebat, dapat diberikan kolestiramin, tetapi obat ini harus
diberikan pada waktu yang berbeda dengan saat pemberian asam
ursodeoksikolat dan obat-obat lain karena kolestiramin akan mengikat dan
menghalangi penyerapan obat lain. Kolestiramin disarankan diberikan pada
pagi hari ketika terjadi regenerasi maksimal biliary pool.3
Pada pasien dengan hepatotoksiksitas terhadap obat anti tuberkulosis
maka yang dilakukan pada keadaan ini adalah :
 Bila klinik (+) (ikterik (+), gejala mual/muntah (+)) → OAT dihentikan.
 Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan:
- Bilirubin > 2 → OAT dihentikan
- SGOT, SGPT ≥ 5 kali : OAT dihentikan
- SGOT, SGPT ≥ 3 kali, gejala (+) : OAT dihentikan

12
- SGOT, SGPT ≥ 3 kali, gejala (-) → teruskan pengobatan dengan
pengawasan
 Panduan OAT yang dianjurkan:
-
Hentikan OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
-
Monitor klinis dan laboratorium. Bila klinis dan
laboratorium normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka
tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300
mg)
-
Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium saat
INH dosis penuh, bila klinik dan laboratorium normal, tambahkan
rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat
badan) sehingga paduan obat menjadi RHES
-
Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi.6

2.7.2.Terapi Suportif
Pasien dengan gejala yang berat membutuhkan untuk menerima pengobatan
suportif di rumah sakit, antara lain cairan intravena dan obat-obatan untuk
menghilangkan mual dan muntah.2

2.7.3.Transplantasi Hati
Ketika fungsi hati sangat menurun (drug induced fulminant hepatic injury),
transplantasi hati mungkin satu-satunya pilihan terapi. Terapi awal untuk
transplantasi hati penting untuk disadari. Kriteria yang umumnya
dipergunakan untuk transplantasi hati adalah kriteria Kings College.
Kriteria Kings College untuk transplantasi hati pada kasus toksisitas
asetaminofen:
-
pH darah kurang dari 7,3 (tanpa melihat grade ensefalopati)
-
Prothrombin time (PT) lebih besar dari 100 detik atau INR > 7,7
-
Konsentrasi serum kreatinin lebih besar dari 3,4 mg/dL pada pasien
dengan ensefalopati derajat III atau IV
Pengukuran laktat serum pada 4 dan 12 jam pertama juga membantu
detifikasi awal pasien yang memerlukan transplantasi hati.

13
Kriteria Kings College untuk transplantasi hati pada kasus hepatotoksisitas
imbas obat yang lain:
- PT > 100 detik (tanpa memandang derajat ensefalopati) atau
- 3 dari kriteria di bawah ini:
1. Usia < 10 tahun dan > 40 tahun.
2. Etiologi Non-A/Non-B hepatitis, halotan hepatitis, atau reaksi obat
idiosinkrasi
3. Durasi ikterik lebih dari 7 hari sebelum onset ensefalopati.
4. PT lebih besar dari 50 detik.
5. Konsentrasi bilirubin serum lebih besar dari 17 mg/dL.2

2.8. Prognosis Hepatitis Imbas Obat


Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang jejas tipe
hepatoselular mengikuti “hukum Hy”. Hukum ini dipopulerkan oleh Hyman
Zimmerman, seorang hepatolog yang tertarik pada DILI. Hukum Hy
menyebutkan bahwa 10% pasien DILI mengalami ikterus dan, dari jumlah
tersebut, 10% akan meninggal karena DILI. Angka fatalitas kasus (case
fatality rates) pasien gagal hati fulminan imbas obat terlapor sangat tinggi
(sekitar 75%) untuk obat-obat selain asetaminofen. Sebaliknya, angka
fatalitas kasus gagal hati fulminan yang disebabkan asetaminofen jauh lebih
rendah, kurang lebih 25%.
Proses apoptosis dan nekrosis tersebut dapat tercetus melalui berbagai
mekanisme. Pada sebagian besar kasus, DILI diawali dengan bioaktivasi
obat menjadi metabolit reaktif yang mampu berinteraksi dengan
makromolekul seluler, seperti protein, lemak, dan asam nukleat. Hal ini
menyebabkan disfungsi protein, peroksidasi lipid, kerusakan DNA, dan stres
oksidatif. Selain itu, metabolit reaktif ini dapat mencetuskan gangguan pada
gradien ionik dan penyimpanan kalsium intraseluler, menyebabkan
terjadinya disfungsi mitokondria dan gangguan produksi energi. Gangguan
fungsi seluler ini pada akhirnya dapat menyebabkan kematian sel dan gagal
hati.3 Kejadian Gagal Hati akut ini ditentukan oleh etiologinya, derajat
ensefalopati hepatik, dan komplikasi seperti infeksi. Prognosis gagal hati

14
akut untuk reaksi idiosinkratik obat buruk dengan angka mortalitas lebih
dari 80%.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Bayupurnama, P. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Dalam: Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid II Ed 6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014.

15
2. Tendean, M. 2012. Hepatitis Imbas Obat. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana.
3. Loho IM, Hasan I. 2014. Drug Induced Liver Injury Tantangan dalam
Diagnosis. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI. Jakarta.
4. Astuti, R. 2014. Pengobatan Tuberkulosis pada Pasien Hepatotoksisitas
Imbas Obat. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
5. PPHI (INA ASL). Artikel Umum: Hepatitis Imas Obat (HIO) / Drug Induced
Liver Injury (DILI). 23 Juli 2013. Diunduh http://pphi-online.org/alpha/?
p=806. Februari 2018.
6. PDPI. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia,
2006. Alvaible URL: http://www.klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf.

16

Anda mungkin juga menyukai