Anda di halaman 1dari 120

ANALISIS STATUS KERAWANAN PANGAN DAN KUALITAS

DIET PADA WANITA HIPERTENSI DI PERDESAAN

DIAJENG ROCHMA ISLAMI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018

i
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ― Analisis Status


Kerawanan Pangan dan Kualitas Diet Pada Wanita Hipertensi di Perdesaan adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2018

Diajeng Rochma Islami


NIM I151160071

iii
RINGKASAN
DIAJENG ROCHMA ISLAMI. Analisis Status Kerawanan Pangan dan Kualitas
Diet Pada Wanita Hipertensi di Perdesaan. Dibimbing oleh IKEU TANZIHA dan
DRAJAT MARTIANTO.

Penyakit Tidak Menular (PTM) masih menjadi masalah yang serius baik
di dunia maupun di Indonesia. Salah satu faktor risiko penyakit kardiovasular
adalah hipertensi yang masih banyak terjadi pada wanita di perdesaan. Hal ini
menjadi perhatian tersendiri, karena kemiskinan (sebagian besar terjadi pada
masyarakat perdesaan) dengan risiko akses makanan yang terbatas ternyata
mempunyai risiko hipertensi. Dimensi kemiskinan merupakan gambaran akses
terhadap pangan pada individu menjadi terbatas. Terdapat hubungan antara
paparan kronis dari stres psikososial yang berkontribusi terhadap perkembangan
hipertensi. Di sela perkembangan tersebut, individu mulai mengubah keragaman
dan kualitas diet yang dikonsumsi. Berdasarkan hal tersebut, maka analisis status
kerawanan pangan melalui kualitas diet dan mental emosional menjadi perhatian
tersendiri untuk dibahas. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis status
kerawanan pangan dan kualitas diet pada wanita hipertensi di perdesaan.
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan subjek 143
wanita (71 normal dan 72 hipertensi) di desa Pondokbungur, Kabupaten
Purwakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2017. Responden
tergabung dalam penelitian induk berjudul “Healthy Diet Indicator, Diet Lemak
dan Garam, Profil Lipid, dan Risiko Hipertensi pada Wanita Sunda dan
Minangkabau di Daerah Perdesaan” yang mendapatkan bantuan dana hibah oleh
Neys-van Hoogstraten Foundation (NHF). Kriteria inklusi berupa subjek
merupakan wanita dewasa hipertensi dan normal yang juga ikut serta dalam induk
penelitian, berusia 35-55 tahun, asli atau sudah lama tinggal di daerah penelitian,
untuk hipertensi dalam kategori ≥140/90 mmHg dalam dua kali pengukuran, dan
bersedia menjadi responden wawancara sekaligus melakukan pemeriksaan
kesehatan.
Variabel independen adalah kualitas diet berdasarkan DASH like diet,
status gangguan mental emosional, dan status rawan pangan sedangkan variabel
dependen adalah status hipertensi. Pengukuran hipertensi sebagai skrining di
lapangan menggunakan automatic blood pressure monitor dari Omron.
Pengumpulan data diet pangan akan menggunakan bantuan Buku Foto Makanan
yang digunakan oleh Survei Diet Total Kementerian Kesehatan tahun 2014.
Kualitas diet diperoleh dengan metode multiple recall 2x24 jam, sedangkan
gangguan mental emosional menggunakan kuesioner SRQ yang dikembangkan
oleh WHO (1994). Status rawan pangan dengan pembentukan dummy variabel
dari kuesioner FIES yang dikembangkan oleh FAO (2015). Analisis data
menggunakan uji Chi-Square, Chi-Square multi table, Regresi Logistik dan uji
beda Mann-Whitney. Analisis data dan pengolahan lainnya menggunakan
perangkat program computer Microsoft Excel 2010, Software R, dan Software
Statistical Program For Social Science (SPPS) versi 16.
Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan antara kerawanan pangan tingkat
berat dengan status hipertensi (p=0.044, p<0.05). Hal ini memberikan arti bahwa
responden yang merasakan kesulitan dalam akses terhadap pangan tingkat berat

iv
(severe) lebih beresiko mengalami hipertensi sebanyak 4.138 kali lipat
dibandingkan orang yang tidak kesulitan akses pangan.
Analisis hubungan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status
kerawanan pangan dengan status kualitas diet berdasarkan DASH Like Diet
(p>0.05). Begitu pula tidak ada hubungan antara status kualitas diet dengan
hipertensi pada populasi penelitian. Hubungan antara rawan pangan, gangguan
mental emosional dan hipertensi juga kemudian dianalisis. Hasil menunjukkan
bahwa ada hubungan antara kelompok rawan pangan tingkat sedang dengan status
mental emosional (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa responden yang
mengalami kesulitan akses pangan tingkat sedang memiliki resiko 4.435 kali
untuk memiliki gangguan mental emosional dibandingkan mereka yang tidak
merasakan kesulitan akses pangan tingkat sedang. Hal ini diduga karena adanya
proses adaptasi atau resistensi pada kelompok tingkat rawan pangan berat, namun
dalam masa alarm reaction pada kelompok rawan pangan tingkat sedang.
Berdasarkan penelusuran lebih lanjut, diketahui bahwa responden yang
mengalami hipertensi telah melakukan perubahan pola makan, sehingga tidak
adanya perbedaan asupan zat gizi terjadi karena adanya perubahan pola hidup
yang telah dilakukan oleh responden yang menderita hipertensi, yang mana
beberapa diantaranya berkaitan dengan perubahan diet. Perubahan gaya hidup
yang dilakukan di antaranya berupa mencari informasi mengenai hipertensi,
mengonsumsi obat anti hipertensi, lebih rutin berolahraga, menurunkan berat
badan dengan mengurangi makan, mengurangi rokok, mengurangi ikan asin,
mengurangi garam, dan mengurangi vetsin. Pola makan di perdesaan ditandai
dengan tidak adanya perbedaan asupan zat gizi juga diduga karena adanya
perubahan urbanisasi pola hidup sehingga pola makan cenderung mulai homogen.
Selain itu, kelemahan penelitian ini intake asupan natrium hanya berasal dari
makanan, belum merupakan garam tambahan seperti penggunaan garam meja.
Pada penelitian ini, umur dapat menjadi variabel pencetus terjadinya hipertensi
karena berbeda signifikan terhadap kejadian hipertensi antar kelompok normal
dan hipertensi (p=0.001 p<0.05).
Berdasarkan temuan pada penelitian di atas, maka perlu dilakukan
penelitian selanjutnya untuk mengetahui aspek akses pangan yang memengaruhi
terjadinya kerawanan pangan pada wanita diperdesaan yang akhirnya
berhubungan dengan hipertensi. Perhatian terhadap kriteria responden telah
melakukan perubahan diet atau belum dan juga menggunakan alat ukut kesehatan
mental yang lain agar bisa dilakukan perbandingan. Selain itu, pengukuran
terhadap asupan natrium pada garam tambahan seperti garam meja, kecap, dan
bumbu lainnya juga perlu diperhatikan. Desain penelitian kohort atau case control
terhadap hubungan rawan pangan dengan hipertensi dapat menjadi perhatian
untuk penelitian selanjutnya. Pengembangan variabel yang lebih luas juga bisa
menjadi perhatian pada penelitian selanjutnya mengingat dimensi kerawanan
pangan yang sangat luas, tidak hanya aksesibilitas, namun juga terdapat dimensi
ketersediaan, utilitas, dan stabilitas.

Kata kunci: DASH, gangguan mental emosional, hipertensi, kualitas diet, rawan
pangan

v
SUMMARY
DIAJENG ROCHMA ISLAMI. Analysis of Food Insecurity Status and Diet
Quality Among Hypertensive Women in Rural Areas. Supervised by IKEU
TANZIHA dan DRAJAT MARTIANTO.

Non-communicable diseases (PTM) are still a serious problem both in the


world and in Indonesia. One of the risk factors for cardiovascular disease is
hypertension which is still common in women in rural areas. This is of particular
concern, because poverty (mostly in rural communities) with the risk of access to
limited food has a risk of hypertension. The dimension of poverty is a picture of
limited access to food for individuals. Globally, food insecurity that occurs in
individuals has the same proccess, namely hunger. There is a relationship between
chronic exposure to psychosocial stress that contributes to the development of
hypertension. Interrupted by these developments, individuals begin to change the
diversity and quality of the diet consumed. The purpose of this study was to
analyze food insecurity status and diet quality in hypertensive women in rural
areas.
This study was a cross sectional study with 143 women (71 normal and 72
hypertension) in Pondokbungur village, Purwakarta district. This research was
conducted in December 2017. Respondents joined in the study entitled "Indicators
of Healthy Diet, Fat and Salt Diet, Lipid Profile, and Risk of Hypertension in
Sundanese and Minangkabau Women in Rural Areas" who received funding
assistance by the Neys-van Hoogstraten Foundation (NHF). The inclusion criteria
were subjects from hypertensive and normal adult women who also participated in
the study, aged 35-55 years old, native or long lived in the study area, for
hypertension in the category of ≥140/90 mmHg, and being respondent medical
examination.
The independent variables were the quality of DASH-based diets such as
diet, mental disturbance status, and food insecurity status while the dependent
variable was hypertension status. Measurement of hypertension as a screening in
the field using an automatic blood pressure monitor from Omron. Food dietary
data collection will use the help of Food Photo Books made by the Ministry of
Health's Total Diet Survey in 2014. The quality of the diet was obtained by 2x24
hours multiple recall method, while the emotional mental disorder used the SRQ
questionnaire developed by WHO (1994). Food insecurity status by forming a
variable dummy from FIES questions developed by FAO (2015). Data analysis
used Chi-Square, Chi-Square multi-table test, Logistic Regression and Mann-
Whitney difference test. Data analysis and other processing using a computer
program tool Microsoft Excel 2010, Software R, and Statistical Program For
Social Science Software (SPPS) version 16.
The result showed there was a relationship between the level of severe
food insecurity and hypertension status (p=0.044, p<0.05). It means that
respondents who were in the level of severe were more at risk of hypertension as
much as 4.138 times compared to people who do not have severety to access food.
This result was then analyzed the relationship between food insecurity, diet
quality, and hypertension, as well as the relationship between food insecurity,
emotional mentality, and hypertension.

vi
Relationship analysis showed there was no correlation between food
insecurity status and diet quality status based on DASH Like Diet (p≥0.05). There
was also no correlation between the quality status of diet and hypertension in the
study population. The relationship between food insecurity, mental emotional
disorders and hypertension was also analyzed. The results showed that there was a
relationship between moderate food insecurity status group with emotional mental
status (p <0.05). This showed that respondents who have difficulty accessing it
were 4,435 times to have a mental emotional disorder compared to those who
cannot access it in moderate level. This is due to the process of adaptation or
increase in the level of hunger, however this group were at alarm reaction stage as
the proccess of stress coping.
Based on this research, it was found that respondents who experienced
hypertension had made a change in diet, so that there was no difference in nutrient
intake due to changes in lifestyle that had been done by respondents who suffered
from hypertension, some of which were related to changes in diet. Lifestyle
changes were include seeking information about hypertension, taking anti-
hypertensive drugs, exercising more routinely, losing weight by reducing food,
reducing cigarettes, reducing salted fish, reducing salt, and reducing blood
glucose. Dietary patterns in rural areas are characterized by no differences in
nutrient intake also allegedly due to changes in urbanization of lifestyle, so that
eating patterns tend to start homogeneous. In addition, the weakness of this study
intake of sodium only comes from food, not added from additional salt yet such as
the use of table salt. In this study, age can be a precipitating variable for
hypertension because it was significantly different from the incidence of
hypertension between normal and hypertensive groups (p=0.001, p<0.05).
Based on the findings of the study above, it is necessary to conduct further
research to find out aspects of food access that affect the occurrence of food
insecurity in rural women who eventually relate to hypertension. Following up on
the weaknesses in this study, the researcher suggested to pay attention to the
criteria of respondents who had made dietary changes or not and also used other
mental health measuring devices so that comparisons could be made. In addition,
measurements of sodium intake in added salts such as table salt, soy sauce, and
other seasonings also need to be considered. The design of a cohort or case control
study on the relationship between food insecurity and hypertension can be a
concern for further research. Wider development of variables can also be a
concern in subsequent studies, given the very broad dimension of food insecurity,
not only accessibility, but also the dimensions of availability, utility, and stability.

Keywords: DASH, dietary quality, food insecurity, hypertension, mental


emotional disorders

vii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB

viii
ANALISIS STATUS KERAWANAN PANGAN DAN KUALITAS
DIET PADA WANITA HIPERTENSI DI PERDESAAN

DIAJENG ROCHMA ISLAMI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Magister Ilmu Gizi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018

ix
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS

x
Scanned by CamScanner
Judul : Analisis Status Kerawanan Pangan dan Kualitas Diet Pada
Wanita Hipertensi di Perdesaan
Nama Mahasiswa : Diajeng Rochma Islami
NIM : I151160071

Disetujui oleh,

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ikeu Tanziha, MS Dr Ir Drajat Martianto, MS


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Gizi

Dr Rimbawan Prof Dr Anas Miftah Fauzi, MEng

Tanggal ujian : 19 Oktober 2018 Tanggal lulus :

xi
PRAKATA

Segala Puji ke hadirat Allah SWT atas rahmat, nikmat, dan taufikNya
sehingga dapat diselesaikannya tesis yang berjudul ― Analisis Status Kerawanan
Pangan dan Kualitas Diet Pada Wanita Hipertensi di Perdesaan. Tesis ini
diajukan sebagai bagian dari tugas akhir dalam rangka menyelesaikan studi di
Program Magister Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor. Selama proses penyelesaian tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak.
Penelitian ini tidak terlepas dari kontribusi dari komisi
pembimbing tesis Prof Dr Ir Ikeu Tanziha, MS, dan Dr Ir Drajat Martianto, MS,
yang telah menyediakan waktu, masukan, dan motivasi untuk memperkaya tulisan
tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Rimbawan selaku
Kepala Prodi yang telah memberikan saran perbaikan pada tesis ini.
Terima kasih kepada Food and Agriculture Organization (FAO),
khususnya Lina Rospita, MSc yang telah memberikan waktu, masukan, dan
bantuannya untuk kelancaran tesis saya dalam hal penggunaan alat ukur FIES.
Terima kasih kami sampaikan kepada Tim Peneliti “Healthy Diet Indicator, Diet
Lemak dan Garam, Profil Lipid, dan Risiko Hipertensi pada Wanita Sunda dan
Minangkabau di Daerah Perdesaan” yang telah memberikan kesempatan untuk
bekerjasama dan Neys-van Hoogstraten Foundation (NHF) atas bantuan dana
hibah dalam induk penelitian tersebut. Penulis juga berterima kasih kepada pihak
terkait lainnya yang selama proses penelitian telah membantu dalam mempelajari
program aplikasi R, Fachrouzi Iskandar, dan juga para enumerator yang telah
membantu di lapangan. Terima kasih juga kepada rekan Netta Meridianti Putri,
SGz, Pramita Ariawati Putri, MSi, dan Tina Purnawati, MGizi atas diskusi dan
motivasi selama penulisan tesis ini. Staf Sekretariat Pasca Gizi Mba Sarifah dan
Mba Aning atas bantuan administrasi selama proses tesis.
Secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada Ibunda Nurul Hidayati
dan Ayahanda Aminudin Afandhi, yang selalu memotivasi dan mendoakan setiap
waktu untuk segala hasil yang terbaik dalam penyelesaian sekolah magister ini.
Terima kasih kepada saudara kandung tersayang Ratih Rachma Islami, Amrizal
Karim Amrulloh, dan Qotrunnada Nafi’ Islami atas dukungannya untuk
menyelesaikan tesis. Kawan pascasarjana IPB (Netta, Hanna, Baiq, Tyas, Nila,
Zakia, Aprin, Emi, Sabila, Ernis, Elita), kawan ketika kuliah sarjana (Friska,
Windri, Ratih), kawan-kawan di organisasi dalam kampus, BSC dan Bindes, serta
luar kampus, TH dan BL, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, mereka yang
memberikan semangat dan dukungan sedari awal hingga terselesaikannya karya
ilmiah ini.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Oktober 2018

Diajeng Rochma Islami


I151160071

xii
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv


DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xv
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan 3
Hipotesis 3
Manfaat 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Hipertensi 4
Kerawanan Pangan dan Gizi 7
Kualitas Diet 12
Stres 21
Keterkaitan Kerawanan Pangan dan Gizi dengan Hipertensi 23
Keterkaitan Stres dengan Hipertensi 26
3 KERANGKA PEMIKIRAN 30
4 METODE 32
Desain, Tempat dan Waktu 32
Jumlah dan Teknik Penarikan Sampel 32
Tahapan Penelitian 33
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 35
Pengolahan dan Analisis Data 36
Definisi Operasional 39
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 40
Keadaan Umum Lokasi 40
Hipertensi 41
Kerawanan Pangan 44
Kualitas Diet 52
Hubungan Status Kerawanan Pangan dan Hipertensi 54
Hubungan Rawan Pangan, Kualitas Diet, dan Hipertensi 56
Hubungan Rawan Pangan, Gangguan Mental Emosional, dan
Hipertensi 62
6 SIMPULAN DAN SARAN 66
Simpulan 66
Saran 67
DAFTAR PUSTAKA 68
LAMPIRAN 77
RIWAYAT HIDUP 104

xiii
DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi tekanan darah orang dewasa 5


2 Kriteria penilaian DASH Like Diet 13
3 Beberapa penelitian terkait diet DASH dan PTM 15
4 Beberapa penelitian terkait kerawanan pangan dan peyakit tidak menular 25
5 Beberapa penelitian terkait stres dan tekanan darah dengan
menggunakan SRQ 27
6 Variabel dan cara pengumpulan 35
7 Pengkategorian variabel penelitian 36
8 Sebaran individu menurut status tekanan darah 42
9 Perbedaan karakteristik sosio-ekonomi menurut status hipertens 42
10 Hubungan umur dengan status hipertensi 43
11 Item Parameter dan Fit Statistic data penelitian 45
12 Matriks Korelasi Residual populasi penelitian 47
13 Nilai raw score populasi penelitian 48
14 Sebaran data menurut karakteristik sosio-ekonomi 51
15 Aturan zat gizi DASH Like Diet 53
16 Sebaran jumlah responden menurut kualitas diet 54
17 Sebaran status kerawanan pangan 54
18 Hubungan kerawanan pangan dengan hipertensi 55
19 Item pertanyaan FIES 55
20 Perbedaan asupan zat gizi berdasarkan kategori rawan pangan berat 57
21 Hubungan status kerawanan pangan dengan kualitas diet 57
22 Hubungan kualitas diet dengan status hipertensi 57
23 Hubungan kualitas diet dan hipertensi berdasarkan kelompok umur 58
24 Uji beda asupan gizi DASH Like Diet berdasarkan kategori hipertensi 58
25 Sebaran subjek hipertensi menurut perubahan gaya hidup 58
26 Jumlah responden hipertensi yang melakukan perubahan asupan diet 59
27 Uji beda asupan gizi DASH Like Diet berdasarkan kategori hipertensi
yang belum dan sudah melakukan perubahan diet 59
28 Hubungan status rawan pangan berat dengan kejadian hipertensi pada
kelompok yang belum melakukan perubahan diet 60
29 Perbedaan asupan zat gizi berdasarkan kategori rawan pangan berat 61
30 Sebaran individu menurut status gangguan mental emosional 62
31 Sebaran status rawan pangan berdasarkan kategori status gangguan
mental emosional 63
32 Hubungan status kerawanan pangan dengan status gangguan mental
Emosional 63
33 Hubungan gangguan mental emosional dengan status hipertensi 65
34 Hubungan gangguan mental emosional dan hipertensi berdasarkan
kelompok umur 65
35 Daftar pertanyaan SRQ berdasarkan kategori hipertensi 65

xiv
DAFTAR GAMBAR

1 Determinan dan konsekuensi kerawanan pangan pada tingkat individu 9


2 Kerangka pemikiran analisis status kerawanan pangan dan kualitas diet
pada wanita hipertensi di perdesaan 31
3 Tahapan pengambilan subjek penelitian analisis status kerawanan pangan
dan kualitas diet pada wanita hipertensi di perdesaan 35
4 Peta Desa Pondokbungur, Kecamatan Pondoksalam, Kabupaten Purwakarta 41
5 Equating plot penerimaan pertanyaan FIES di Purwakarta 49

DAFTAR LAMPIRAN

1 Ethical Clearance 79
2 Kuesioner Food Insecurity Experience Scale (FIES) 80
3 Kuesioner Self Reporting Questionnaire (SRQ) 82
4 Kuesioner Food Recall 83
5 Hasil keluaran olah data aplikasi R 85
6 Hasil uji beda karakteristik sosial ekonomi dengan hipertensi 88
7 Hasil uji hubungan umur dengan hipertensi 89
8 Hasil uji hubungan kerawanan pangan dengan hipertensi 90
9 Hasil uji beda asupan zat gizi berdasarkan kategori rawan pangan berat 91
10 Hasil uji hubungan status kerawanan pangan dengan kualitas diet 92
11 Hasil uji hubungan kualitas diet dengan hipertensi 93
12 Hubungan kualitas diet dan hipertensi berdasarkan kelompok umur 94
13 Hasil uji beda asupan zat gizi komponen DASH Like Diet berdasarkan
status hipertensi 95
14 Hasil uji hubungan status kerawanan pangan dengan status gangguan
mental emosional 96
15 Hasil uji hubungan status gangguan mental emosional dengan hipertensi 97
16 Hasil uji hubungan gangguan mental emosional dan hipertensi berdasarkan
kelompok umur 98
17 Hasil uji beda komponen pertanyaan SRQ berdasarkan hipertensi 100
18 Hasil uji hubungan rawan pangan berat dengan kualitas diet
(kelompok hipertensi belum melakukan perubahan diet) 101
19 Uji beda asupan zat gizi kelompok rawan pangan berat dengan kelompok
tidak rawan pangan berat (kelompok hipertensi belum melakukan
perubahan diet) 102

xv
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit Tidak Menular (PTM) masih menjadi masalah yang serius baik
di dunia maupun di Indonesia. WHO memperkirakan PTM akan menyebabkan
73% kematian dan 60% morbiditas di dunia pada tahun 2020. Proporsi kematian
yang disebabkan oleh PTM di Indonesia cenderung meningkat dari 42% tahun
1995 mencapai 60% di tahun 2007 (WHO 2011). Penyakit kardiovaskular sebagai
salah satu PTM, mempunyai proporsi penyebab kematian paling tinggi di
Indonesia. Berdasarkan Non-Communicable Disease (NCD) Country Profiles oleh
WHO (2014), PTM di Indonesia menyumbang 71% angka kematian, terutama
penyakit kardiovaskular yang berperan 37% dari seluruh angka kematian. Hasil
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8.3%
penduduk menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27.5% pada tahun 2004.
Berdasarkan Riskesdas (2013), prevalensi hipertensi pada perempuan lebih tinggi
(28.8%) dibandingkan pada laki-laki (22.8%).
Data Survei Diet Total (2014) menunjukkan bahwa proporsi penduduk
dengan kuintil kepemilikan menengah ke atas merupakan penduduk yang paling
banyak mengonsumsi gula (5.2%) dan garam (20.6%) melebihi angka anjuran
Permenkes nomor 30 tahun 2013 dibandingkan dengan kategori penduduk
menengah ke bawah dan terbawah, sedangkan penduduk kepemilikan teratas
paling banyak mengonsumsi lemak (35.8%) melebihi angka anjuran. Hal ini
membuktikan bahwa sosio-ekonomi memengaruhi akses seseorang terhadap
makanan sehingga meningkatkan risiko terjadinya PTM pada penduduk
menengah ke atas. Berdasarkan Riskesdas 2013, kejadian hipertensi baik melalui
pengukuran atau wawancara, masih banyak terjadi di perkotaan daripada
perdesaan, begitu pula bahwa kejadian hipertensi masih banyak terjadi pada
masyarakat dengan indeks kepemilikan menengah ke atas. Namun secara global,
terdapat fakta kontradiksi dengan hal ini. Berdasarkan Laporan Non-
Communicable Disease yang dikeluarkan oleh WHO (2014), 82% penyakit tidak
menular terjadi pada negara dengan pendapatan menengah dan bawah, yaitu 37%
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Indrawati et al. (2009) mengolah data
Riskesdas 2007, mengungkapkan bahwa prevalensi hipertensi sebesar 68.5%
terjadi pada masyarakat miskin dan sangat miskin di Indonesia. Beberapa hal di
atas menunjukkan kontradiksi satu sama lain dengan pernyataan bahwa keadaan
sosio-ekonomi sangat berpengaruh terhadap hipertensi baik pada perkotaan atau
perdesaan, keadaan miskin atau menengah ke atas.
Food Research and Action Center (2017) menyatakan bahwa kondisi
kemiskinan, kerawanan pangan, asupan gizi yang buruk dapat berdampak pada
kesehatan tubuh. Hal ini terjadi bukan hanya karena kondisi kemiskinan pada saat
itu, namun juga karena keterbatasan akses fasilitas pelayanan kesehatan oleh
masyarakat miskin dan pola hidup yang buruk seperti kebiasaan merokok. Selain
itu, kondisi kemiskinan yang terjadi sejak masa kanak-kanak cenderung akan
mengalami kerawanan pangan, paparan terhadap hal-hal yang tidak sehat seperti
asap rokok, makanan yang tidak sehat, buruknya pertumbuhan, asma, kesulitan
belajar, rendahnya pendidikan dan masalah emosional, sehingga
2

Dimensi kemiskinan merupakan gambaran akses terhadap pangan pada


individu menjadi terbatas. Aksesibilitas terhadap pangan merupakan salah satu
pilar ketahanan pangan (FAO 2000), sehingga masyarakat dengan keadaan sosio-
ekonomi menengah ke bawah memiliki risiko kerawanan pangan. Secara global,
kerawanan pangan yang terjadi pada individu memiliki proses berkelanjutan yang
sama yaitu kelaparan. Kejadian kerawanan pangan yang ditandai oleh kelaparan
ini dimulai dari adanya rasa khawatir akan tidak adanya ketersediaan makanan
(FAO 2016). Walker dan Kawachi (2012) menyatakan bahwa rumah tangga yang
memiliki keterbatasan terhadap akses pangan akan merespon untuk mengonsumsi
makanan dengan densitas energi tinggi, kurang bergizi, murah, yang berdampak
pada menurunnya asupan zat gizi mikro. Selain itu, adanya kerawanan pangan
juga memicu gangguan kesehatan seperti hipertensi. Spruill (2010) menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara paparan kronis dari stres psikososial yang
berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi.
Setelah melalui rasa psikologis berupa rasa khawatir akan ketersediaan
makanan, individu mulai mengubah keragaman dan kualitas diet yang
dikonsumsi. Makanan dengan kualitas gizi yang rendah ini biasanya memiliki
karakteristik karbohidrat sederhana, gula tambahan, tinggi lemak dan natrium
(Seligman and Schillinger 2010). Makanan dengan kualitas diet yang rendah,
dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan, salah satunya hipertensi.
Berdasarkan JNC (2006), rekomendasi diet untuk penderita hipertensi adalah yang
sesuai dengan diet Dietary Approach to Stop Hypertension (DASH), yaitu
memperhatikan makanan rendah lemak jenuh, lemak total, karbohidrat,
kolesterol, natrium, tinggi potassium, kalsium, magnesium, dan serat.
Beberapa penelitian baik kohort, uji potong lintang, systematic review,
maupun eksperimental telah membuktikan bahwa terdapat pengaruh skor DASH
yang berhubungan dengan perubahan tekanan darah dan penyakit kardiovaskular
(Fung et al. 2008; Ridhwan et al. 2012; Harrington et al. 2013; Saneei et al.
2014). Rahadiyanti et al. (2015) mengembangkan skoring untuk DASH Like Diet
yang disesuaikan di Indonesia, yaitu pengukuran kualitas diet ini dilihat dari
sembilan komponen zat gizi, yaitu karbohidrat, protein, lemak total, lemak jenuh,
serat, natrium, kalium, rasio natrium:kalium, kalsium, dan magnesium. Sistem
skoring atau penilaian yang berdasarkan DASH akan memudahkan pemantauan
terhadap kualitas diet penderita hipertensi.
Beberapa fakta tersebut merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi
melalui penurunan kualitas diet, dan hal ini dimungkinkan dapat terjadi pada
individu yang mengalami kerawanan pangan. Allen et al. (2017) melalui
systematic review membahas tren faktor risiko terjadinya penyakit tidak menular
di negara berkembang. Penelitian ini mengungkap bahwa masyarakat dengan
sosio-ekonomi yang rendah di beberapa negara cenderung untuk mengonsumsi
alkohol, merokok, dan rendah mengonsumsi buah dan sayur. Lipoeto et al. (2004)
menjelaskan bahwa keterjangkauan akses makanan merupakan salah satu
penyebab masyarakat mengonsumsi makanan tinggi lemak dan energi di daerah
Padang, Sumatera Barat. Pada negara berkembang dan negara industri baru di
dunia, kerawanan pangan dalam konteks globalisasi market pangan, memengaruhi
masyarakat dengan pendapatan rendah untuk mengonsumsi makanan padat energi
dan rendah gizi karena lebih mudah didapat dan terjangkau, sehingga
3

mengakibatkan penduduk Amerika berisiko menderita penyakit tidak menular


(Seligman and Schillinger 2010).
Kejadian kerawanan pangan pada individu yang mengalami hipertensi,
merupakan hal yang menarik untuk dibahas dan menjadi sorotan penting bahwa
masyarakat rawan pangan juga memiliki risiko untuk menderita PTM. Laporan
Badan Pusat Statistik pada bulan Maret tahun 2017, menyatakan bahwa persentase
penduduk miskin masih lebih tinggi di perdesaan (13.93%) daripada di perkotaan
(7.72%), hal ini menandakan bahwa penduduk di desa memiliki risiko lebih rawan
pangan dari segi akses ekonomi daripada perkotaan. Tanziha et al. (2005)
mengungkapkan bahwa individu yang mengalami kelaparan sebagian besar adalah
ibu rumah tangga, yaitu kelompok umur proporsi terbesar yang mengalami
kelaparan adalah kelompok usia dewasa. Kejadian kelaparan yang melanda wanita
dewasa merupakan hal yang perlu diangkat, karena wanita adalah pelaku utama
dari sistem kehidupan tingkat rumah tangga. Hal ini menjadikan penelitian pada
status kesehatan wanita dewasa menjadi menarik untuk dilakukan.
Kualitas diet dan stres atau gangguan mental emosional menjadi hal yang
diduga dapat memengaruhi status tekanan darah dan memicu hipertensi pada
wanita dewasa di perdesaan. Begitu pula dengan kerawanan pangan yang diduga
dapat menjadi penyebab tidak langsung pada proses terjadinya hipertensi. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status kerawanan pangan
dan kualitas diet pada wanita hipertensi di perdesaan.

Perumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan antara karakteristik sosio ekonomi dengan kejadian


hipertensi pada wanita di perdesaan?
2. Bagaimana hubungan antara rawan pangan dengan kejadian hipertensi pada
wanita di perdesaan?
3. Bagaimana hubungan rawan pangan, kualitas diet, dan kejadian hipertensi
pada wanita di perdesaan?
4. Bagaimana hubungan rawan pangan, status gangguan mental emosional, dan
kejadian hipertensi pada wanita di perdesaan?

Tujuan

Tujuan Umum
Menganalisis status kerawanan pangan dan kualitas diet pada wanita
hipertensi di perdesaan.

Tujuan Khusus
1. Menganalisis hubungan antara karakteristik sosio ekonomi dengan kejadian
hipertensi pada wanita di perdesaan
2. Menganalisis hubungan antara rawan pangan dengan kejadian hipertensi pada
wanita di perdesaan
3. Menganalisis hubungan rawan pangan, kualitas diet, dan kejadian hipertensi
pada wanita di perdesaan
4

4. Menganalisis hubungan rawan pangan, status gangguan mental emosional, dan


kejadian hipertensi pada wanita di perdesaan

Hipotesis

1. Ada hubungan antara rawan pangan dengan kejadian hipertensi pada wanita di
perdesaan
2. Ada hubungan antara rawan pangan dengan kualitas diet dan kejadian
hipertensi pada wanita di perdesaan
3. Ada hubungan antara rawan pangan dengan gangguan mental emosional dan
kejadian hipertensi pada wanita di perdesaan

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran bagi penelitian


selanjutnya tentang wanita penderita hipertensi di perdesaan untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat dan menjamin pengentasan kelaparan pada kelompok
sasaran tersebut. Selain itu, informasi kerawanan pangan yang terjadi pada
penderita hipertensi juga dapat menjadi salah satu scientific based dalam
pengembangan penyusunan kebijakan intervensi untuk mencegah penyakit tidak
menular terhadap kelompok rawan pangan.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Hipertensi

Tekanan darah merupakan hasil dari kekuatan dorongan darah yang kuat
dari dinding pembuluh darah arteri (JNC 2003) sehingga darah dapat mengalir ke
seluruh tubuh. Ketika tekanan darah cenderung naik beberapa kali, maka
dikatakan tekanan darah tinggi (JNC 2003).
Tekanan darah tinggi biasa disebut juga dengan hipertensi. Hipertensi
adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik lebih dari 90 mmHg dengan dua kali pengukuran yaitu mempunyai
selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat atau tenang (Kemenkes
2014). Hipertensi merupakan hal yang berbahaya karena menyebabkan kerja
jantung semakin keras dan berperan dalam kejadian aterosklerosis (pengerasan
pembuluh darah arteri). Hipertensi juga meningkatkan risiko terjadinya penyakit
jantung dan stroke. Hipertensi juga dapat menyebabkan komplikasi lain seperti
gagal jantung kongestif, penyakit ginjal, hingga kebutaan (JNC 2003).
Beberapa organisasi di dunia mengklasifikasikan hipertensi dengan nama
dan batasan yang berbeda. Kementerian Kesehatan (2014) menggunakan kategori
hipertensi menurut Joint National Committee ke tujuh pada tahun 2003 seperti
yang tertera pada Tabel 1. Meskipun hipertensi diklasifikasikan berdasarkan
tingkat tekanan darah, namun gejala dapat muncul kapan saja. Hipertensi
merupakan sillent killer dengan gejala yang timbul dapat berbeda-beda di tiap
5

individu, seperti sakit kepala, vertigo, jantung berdebar, mudah lelah, penglihatan
kabur, tinnitus, dan mimisan (Kemenkes 2014). Pengawasan pada orang dewasa
sering kali difokuskan pada hipertensi sistolik, sehingga peningkatan tekanan
darah cenderung lebih memperhatikan tatalaksana penurunan hipertensi sistolik.
Tabel 1 Klasifikasi tekanan darah orang dewasa
Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah
Darah Sistol/TDS (mmHg) Diastiol/TDD (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Tingkat 1 140-159 90-99
Hipertensi Tingkat 2 ≥ 160 ≥100
Sumber: Kemenkes 2014; JNC 2004.
Hipertensi dibagi berdasarkan bentuk hipertensinya, yaitu hipertensi
diastolik, hipertensi campuran (sistol dan diastol), dan hipertensi sistolik. Jenis
hipertensi yang lain adalah hipertensi pumolnal yang terjadi karena penurunan
toleransi dalam aktivitas dan gagal jantung kanan, dan juga hipertensi pada
kehamilan seperti preeklampsia-eklampsia, hipertensi kronik, dan hipertensi
gestasional. Penyebab hipertensi dalam kehamilan sebenarnya belum jelas. Ada
yang mengatakan bahwa hal tersebut diakibatkan oleh kelainan pembuluh darah,
ada yang mengatakan karena faktor diet, tetapi ada juga yang mengatakan
disebabkan faktor keturunan, dan lain sebagainya (Kemenkes 2014).
Berdasarkan penyebab, hipertensi dibagi menjadi dua kategori, yaitu
hipertensi primer atau hipertensi esensial dan hipertensi sekunder atau hipertensi
non esensial. Hipertensi primer merupakan hipertensi idiopatik atau penyebabnya
tidak diketahui dan paling sering ditemukan pada 90% penderita hipertensi,
sedangkan 10% sisanya biasanya adalah hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder
merupakan hasil dari adanya penyakit lain yang diderita oleh seseorang seperti
penyakit ginjal, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung koroner, dan
sebagainya. Meskipun hipertensi primer tidak diketahui penyebabnya, namun
beberapa faktor tetap menjadi pemicu risiko munculnya hipertensi (Ibekwe 2015).
Penyebab hipertensi juga dapat dibedakan menurut faktor yang tidak dapat
diubah dan dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah merupakan faktor yang
menjadi bawaan dan karakteristik individu dan tidak dapat diubah, oleh karena itu
faktor ini tidak dapat dikontrol atau sedikit hal yang bisa dilakukan. Beberapa
faktor yang tidak dapat diubah diantaranya adalah umur, jenis kelamin, riwayat
keluarga, genetik, dan sebagainya. Beberapa genetik berkaitan dengan hipertensi,
yaitu lebih banyak berhubungan dengan ginjal atau kontrol tekanan darah neuro-
endokrin. Evaluasi terhadap 2.5 juta genotype polymorphisms telah menemukan
gen CYP17A1, CYP1A2, FGF5, SH2B3, MTHFR, ZNF652, PLCD3 pada
individu yang hipertensi, tepatnya pada penduduk asli Eropa dan Asia (Newton-
Cheh et al. 2009). Faktor yang dapat diubah merupakan faktor yang timbul karena
karakteristik atau peranan lingkungan yang memengaruhi pola hidup seseorang
sehingga berkontribusi terhadap kesehatan. Faktor yang dapat diubah ini berupa
obesitas, kelebihan asupan garam, rendahnya aktivitas fisik atau olahraga, tinggi
asupan lemak, merokok, konsumsi alkohol, dan sebagainya (Ibekwe 2015).
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 dan 2013, diketahui bahwa
prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan jenis kelamin yang paling tinggi
6

berturut-turut adalah perempuan. Hipertensi yang terjadi dapat menyebabkan


komplikasi berupa PTM seperti jantung koroner, gagal ginjal, dan stroke. Data
Riskesdas tahun 2007 dan 2013 juga menunjukkan peningkatan prevalensi stroke,
yaitu pada tahun 2007 sebesar 8.3% menjadi 12.1% di tahun 2013, hal ini
menandakan bahwa terjadi peningkatan sebesar 3.8%.
Kemenkes (2014) menyarankan beberapa cara untuk merubah gaya hidup
sehari dengan membatasi asupan garam tidak lebih dari ¼ - ½ sendok teh (6
gram/hari), menurunkan berat badan, menghindari minuman berkafein, rokok, dan
minuman beralkohol. Olah raga juga dianjurkan bagi penderita hipertensi, dapat
berupa jalan, lari, jogging, bersepeda selama 20-25 menit dengan frekuensi 3-5 x
per minggu. Penting juga untuk cukup istirahat (6-8 jam) dan mengendalikan
stres. Gula, garam, dan minyak merupakan bahan makanan yang meningkatkan
risiko hipertensi dan menjadi determinan asupan makanan yang kuat bagi kejadian
PTM. Pemerintah melalui Permenkes Nomor 30 Tahun 2013 telah menetapkan
pesan kesehatan untuk pangan olahan dan pangan siap saji, yaitu konsumsi gula
lebih dari 50 gram, natrium lebih dari 2000 miligram (mg), atau lemak total lebih
dari 67 gram per orang per hari akan berisiko hipertensi, stroke, diabetes, dan
serangan jantung.
JNC (2006) menyebutkan beberapa perubahan pola hidup dalam
pencegahan dan tatalaksana hipertensi yaitu berhenti merokok, menjaga berat
badan tetap normal, mengurangi asupan natrium, olahraga teratur, membatasi
konsumsi alkohol, konsumsi obat sesuai anjuran tenaga medis, dan menjalankan
prinsip diet Dietary Approach to Stop Hypertension (DASH). Karakteristik diet
DASH adalah konsumsi makanan rendah lemak jenuh, rendah lemak total, rendah
kolesterol, dan tinggi buah, sayuran, serta susu rendah lemak. Selain itu, juga
tinggi potassium, kalsium, dan magnesium, protein, dan serat. Konsumsi rendah
garam dan natrium juga dapat mengurangi tekanan darah (JNC 2003).
Tekanan darah merupakan hasil dari volume darah yang dipompa oleh
tiap-tiap ventrikel per menit sehingga dapat menyebabkan aliran darah ke seluruh
tubuh. Maka dari itu, peranan diameter pada pembuluh darah akan menpengaruhi
aliran darah. Ketika diameter berkurang (seperti pada aterosklerosis), maka
tekanan darah meningkat. Sebaliknya, ketika diameter meningkat (seperti saat
pemberian obat vasodilator), maka tekanan darah akan menurun (Raymond and
Couch 2011).
Tubuh memiliki beberapa cara untuk menjaga homostatik tekanan darah.
Regulator utama adalah sympathic nervous system (SNS) untuk kontrol jangka
pendek ginjal untuk kontrol jangka panjang. Ketika tekanan darah menurun, SNS
akan mensekresi norepineprin, sebuah vasokonstriktor, yang bekerja pda arteri
kecil dan arteriola untuk meningkatkan resistensi perifer dan meningkatkan
tekanan darah. Kondisi yaitu adanya stimulasi yang berlebihan pada SNS (seperti
pada gangguan tidur atau gangguan adrenal tertentu) maka akan meningkatkan
tekanan darah (Khayat et al. 2009). Ginjal meregulasi tekanan darah dengan
mengontrol volume cairan ekstra-selular dan sekresi renin yang mengaktivasi
sistem renin-angiotensin (RAS). Tekanan darah yang abnormal biasanya terjadi
karena beberapa faktor. Pada beberapa kasus hipertensi, resistensi perifer
meningkat. Resistensi ini akan mendorong ventrikel kiri jantung untuk
meningkatkan kerja jantung memompa darah. Sejalan dengan waktu, hipertropi
ventrikel kiri dan gagal jantung dapat berkembang (Raymond and Couch 2011).
7

Beberapa jenis gen yang berhubungan dengan gen ras, termasuk


angiotensin-converting enzyme (ACE) dan angio-tensinogen juga memiliki
hubungan (Norton et al. 2010). Peningkatan produksi pada beberapa protein ini
akan meningkatkan produksi angiotensin II, sebuah mediator primer RAS yang
akan meningkatkan tekanan darah. Angiotensin II juga akan merangsang
inflamasi skala rendah pada dinding pembuluh darah, yang mana predisposisi
hipertensi terjadi (Savioa and Schiffrin, 2007).
Hipertensi juga dapat terjadi karena adanya faktor risiko penyakit
kardiovaskular termasuk obesitas sentral (intra-abdominal), resistensi insulin,
tingginya trigliserida, dan rendahnya kolesterol HDL. Adanya tiga atau lebih
faktor risiko akan meningkatkan risiko sindrom metabolik. Masih belum jelas
apakah satu atau beberapa faktor risiko ini saling memengaruhi satu sama lain
atau semuanya terjadi secara bersama-sama dan berkelanjutan. Akumulasi sintesis
lemak viseral meningkatkan jumlah angio-tensinogen yang akan mengaktivasi
RAS dan meningkatkan tekanan darah (Mathieu et al. 2009). Angio-tensinogen
juga merupakan mediator utama RAS yang meningkatkan pengembangan
disfungsi adiposit yang besar, yaitu akan meningkatkan produksi leptin dan
mengurangi jumlah adiponektin. Tingginya leptin dan rendahnya jumlah sirkulasi
adiponektin akan mengaktifkan SNS yang merupakan komponen kunci terjadinya
respon hipertensi (Despres 2006).

Kerawanan Pangan dan Gizi

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan,


masyarakat rawan pangan adalah masyarakat di suatu wilayah yang memiliki
ketidakmampuan untuk memperoleh Pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup
sehat dan aktif, termasuk di dalamnya masyarakat miskin, masyarakat yang
terkena bencana, dan/atau masyarakat yang berada di kondisi geografis yang tidak
terjangkau akses pangan. Ketidakmampuan seseorang untuk memperoleh pangan
yang cukup ini menggambarkan bahwa masyarakat rawan pangan terjadi karena
kondisi mereka yang tidak tahan pangan. Undang-Undang tersebut juga
menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Dimensi ketahanan pangan mencakup keseluruhan konsep dari hulu
hingga hilir, yaitu hilir berarti suatu pangan bisa tersajikan hingga tingkat
konsumen. Ketidakterjangkauan akses pangan sebagai salah satu faktor risiko
terjadinya rawan pangan berdasarkan Undang-Undang nomor 18 tersebut,
menyebabkan masyarakat akan membentuk karakter pola konsumsi tersendiri,
sehingga berpengaruh terhadap pemenuhan gizi seimbang mereka. Konsep ini
dikembangkan oleh Food and Agriculture (FAO 2000) dengan istilah Ketahanan
Pangan dan Gizi. Terdapat empat pilar yang membangun ketahanan pangan dan
gizi di suatu wilayah, yaitu: 1) Ketersediaan; 2) Aksesibilitas atau
Keterjangkauan; 3) Utilitas atau Pemanfaatan; dan 4) Stabilitas. Ukuran pilar ini
merupakan ukuran yang bersifat kontinyu, yaitu bila terjadi penurunan di salah
satu pilar, maka pilar lainnya akan mengikuti.
8

Ketersediaan tercapai bila makanan tersedia dan mencukupi kebutuhan


seseorang. Akses merupakan pilar yaitu saat rumah tangga dan semua individu
dalam rumah tangga memiliki sumber daya yang cukup untuk mendapatkan
makanan yang bergizi sesuai dengan kebutuhan mereka, baik akses dalam segi
ekonomi, fisik, dan sosial. Utilisasi atau pemanfaatan yang tercukupi
menitikberatkan pada perspektif biologis sejauh mana seseorang dapat
memanfaatkan makanan dalam lingkungan dan sosial untuk mendapatkan
makanan yang bergizi dan aman demi memenuhi kebutuhan gizi tubuh dan
menghindari masalah kesehatan (FAO 2000).
FAO menggambarkan dimensi ketahanan pangan adalah upaya untuk
mengentaskan masalah kelaparan dan masalah gizi. Pengawasan terhadap
masyarakat yang mengalami kelaparan menjadi salah satu kegiatan yang penting
untuk mengetahui secara pasti siapa yang mengawalami kerawanan pangan.
Beberapa alat ukur ketahanan pangan telah ada sejak beberapa tahun lalu dan
berkembang di setiap negara dengan poin kritis bahwa dimensi kelaparan terjadi
di semua latarbelakang budaya (Coates et al 2006). Parameter kelaparan muncul
pada United States Household Food Security Survey Module (HFSS-M) sebagai
pertanyaan yang dapat melengkapi laporan ketahanan pangan di suatu daerah.
HFSS-M berkembang menjadi Household Food Insecurity Access Scale (HFIAS)
dan Escala Latinoamericana y Caribeña de Seguridad Alimentaria (ELCSA)
sebagai modul ketahanan pangan untuk memonitor kerawanan pangan pada
tingkat rumah tangga yang melibatkan dimensi aksesibilitas dan sebagai ukuran
agar dapat bersifat comparable atau dapat dibandingkan antar negara (Ballard et
al. 2013).
Pemantauan terhadap pengentasan kelaparan semakin menjadi perhatian
sejak disadari oleh seluruh dunia bahwa pangan adalah hak setiap manusia.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs)
memuat pengentasan kelaparan sebagai salah satu tujuan hingga tahun 2030
dengan tagline “No one left behind”. Dalam rangka memantau perkembangan
pengentasan kelaparan ini, maka FAO mengolah data pengukuran kerawanan
pangan terkait kelaparan dan membuktikan bahwa setiap individu mengalami
proses pengalaman kelaparan yang sama, yaitu dimulai dari rasa khawatir bahwa
tidak tersedianya bahan pangan yang cukup untuk dikonsumsi, lalu terjadi
perubahan kualitas dan keberagaman diet. Setelah proses tersebut, bila kerawanan
pangan tetap terjadi pada individu, maka individu akan mengurangi kuantitas
porsi dan frekuensi makan, hingga tidak makan sama sekali selama sehari atau
bahkan beberapa hari.
FAO membentuk The Voice of Hunger (VoH) sebagai badan yang
bertugas untuk memantau kejadian kelaparan di dunia termasuk dalam kaitannya
dengan perkembangan kemajuan SDGs. Food Insecurity and Experience Scale
(FIES) kemudian muncul sebagai alat ukur kerawanan pangan pada individu
dengan fokus pada dimensi keterjangkauan atau aksesibilitas pangan seseorang.
FIES akhirnya menjadi alat ukur atau indikator yang digunakan oleh SDGs untuk
melihat sejauh mana pengentasan kelaparan di dunia dilaksanakan. FIES
berpatokan pada kerawanan pangan yang terjadi pada individu, namun hasil akhir
tetap dalam populasi sehingga menggambarkan populasi mana yang perlu
mendapatkan perhatian ketika individunya terpapar oleh kerawanan pangan.
9

Gambar 1 menggambarkan determinan dan konsekuensi kerawanan pangan dalam


level individu (Campbell 1990; Ballard 2013).

DETERMINAN FOOD (IN)SECURITY


KERAWANAN PANGAN
AKSESIBILITAS
TERHADAP PANGAN STATUS GIZI KONSEKUEN
INDIKATOR (gizi kurang dan SI TERHADAP
Pengukuran gizi lebih) KESEHATAN
kemiskinan/pendapatan;
pendidikan; ketersediaan INDIKATOR Fisik, mental,
INDIKATOR
pangan; akses lahan, air dan
bersih/sanitasi, pelayanan Food Insecurity and kesejahteraan
Antropometri,
kesehatan, dan program Experience Scale sosial
indikator klinis,
masyarakat dan biokimia
Pengukuran konsumsi
makanan

Sumber: Campbell 1990; FAO 2013


Gambar 1 Determinan dan konsekuensi kerawanan pangan pada tingkat individu

Asumsi mendasar dikembangkannya FIES dan skala ketahanan pangan


yang serupa lainnya agar bisa bersifat comparable adalah bahwa tingkat
keparahan kondisi kerawanan pangan rumah tangga atau individu dapat dianalisis
sebagai sesuatu yang bersifat laten. Sifat laten ini tidak dapat diamati secara
langsung, namun ukurannya dapat disimpulkan dari bukti yang dapat diamati
melalui penerapan model pengukuran berdasarkan Item Response Theory (IRT),
seperangkat metode yang berakar pada statistik dengan penerapan luas terhadap
masalah pengukuran di ranah ilmu pengetahuan manusia dan sosial. Terdapat
beberapa hal yang dapat diambil dalam penerapan model IRT dalam pengukuran
kerawanan pangan, yaitu: 1) tingkat keparahan kondisi kerawanan pangan dari
responden terkait dengan masing-masing pengalaman dapat disatukan pada skala
satu dimensi yang sama; dan bahwa 2) tingkat keparahan kondisi kerawanan
pangan yang tinggi dari responden akan meningkatkan probabilitas terjadinya
pengalaman kelaparan yang terkait dengan kerawanan pangan.
US HFFSM dan ELCSA menggunakan klasifikasi skor baku untuk
memantau situasi ketahanan pangan pada populasi tertentu dari waktu ke waktu.
Namun, cara ini akan bermasalah bila dilakukan perbandingan lintas negara,
karena tidak ada yang memastikan bahwa nilai baku yang sama akan sesuai
dengan tingkat keparahan yang sama di berbagai negara, meskipun menggunakan
kuesioner yang sama. Hal ini dikarenakan setiap negara berbeda dalam bahasa,
budaya, dan pengaturan mata pencaharian yang hampir pasti memengaruhi cara
pertanyaan tertentu dan berbeda pemahaman terkait kondisi yang dialami. FIES
merupakan sistem pengukuran pertama yang menghasilkan tindakan yang dapat
diperbandingkan secara fomal dengan jenis komponen yang dapat dilakukan di
berbagai negara. Secara ringkas, dibandingkan indikator ketahanan pangan
lainnya, indikator berbasis pengalaman ini mempunyai kelebihan tersendiri karena
bersifat analitis, administrasi yang mudah, dan murah. Indikator FIES juga lebih
tepat untuk membandingkan lintas negara. Selain memungkinkan perhitungan
tingkat prevalensi dalam suatu populasi, FIES juga akan menghasilkan ukuran
10

tingkat kerawanan pangan untuk setiap responden dalam sebuah survei (FAO
2016).
Food Insecurity and Experience Scale Survey Module (FIES-SM) terdiri
dari delapan pertanyaan dengan respon sederhana berbentuk dikotomi (ya atau
tidak) (FAO 2016). Selain itu, untuk melihat seberapa besar reliabilitas FIES di
suatu wilayah, jawaban “tidak tahu” atau “tidak ada respon” tetap diberlakukan
(Ballard 2013). Responden akan ditanya seputar periode tertentu saat mereka
merasa cemas atau khawatir akan ketidakmampuan memperoleh makanan yang
cukup, rumah tangga mereka kehabisan makanan, atau mereka telah mengubah
kuantitas atau kualitas makanan yang dikonsumsi karena keterbatasan uang atau
sumber daya lainnya untuk memperoleh makanan. FIES merupakan alat ukur
yang fleksibel terhadap pertanyaan periode tertentu dan unit sasaran baik individu
maupun rumah tangga tergantung pada tujuan survei. Versi yang telah dicoba
aplikasikan bersamaan dengan survei Gallup World Poll (GWP), ditujukan
kepada unit individu dengan periode waktu 12 bulan. Hal ini dikarenakan GWP
dilakukan pada bulan yang beragam di negara yang berbeda-beda, sehingga bila
dilakukan dengan periode jangka pendek, maka hasilnya akan lemah untuk dapat
dikomparasikan antar negara karena adanya interaksi musim kerawanan pangan
dan musim saat pengambilan data dilakukan.
Delapan pertanyaan FIES merupakan satu kesatuan yang bersifat kontinyu,
yaitu setiap pertanyaan menggambarkan proses terjadinya kelaparan sebagai suatu
indikator terjadinya kerawanan pangan tingkat individu. Pertanyaan pertama
melambangkan kekhawatiran (worried), pertanyaan kedua tentang perubahan
makanan yang sehat dan bergizi (kualitas) (healthy), pertanyaan ketiga tentang
penurunan jenis makanan atau keberagaman (fewfoods), pertanyaan keempat
tentang penurunan frekuensi makan (skipped), pertanyaan kelima tentang
penurunan porsi makan (ateless), pertanyaan keenam tentang keadaan makanan di
tingkat rumah tangga yang habis (ranout), pertanyaan ketujuh tentang keadaan
lapar dan tidak makan (hungry), pertanyaan terakhir mengenai tidak makan sama
sekali dalam sehari atau lebih (whlday).
Rasch model merupakan bentuk statistika dalam IRT untuk
menggambarkan dasar teoritis yang menghubungkan data FIES-SM dengan
tingkat kerawanan pangan. Pengembangan melalui Rasch model adalah prasyarat
untuk validitas dan reliabilitas pengukuran yang didapatkan melalui FIES.
Tahapan ini penting sebagai tahap pertama dalam protokol analisis dengan tujuan
untuk menilai kualitas data dari masing-masing negara atau wilayah (terutama
mengenai seberapa baik hasil data yang diperoleh dari FIES-SM mencerminkan
asumsi pengukuran yang valid dari sifat laten uni-dimensional dalam model
logistik parameter tunggal). Selain itu, tahap ini juga untuk memperkirakan
parameter dari responden itu sendiri.
Kasus dengan respon yang tidak terisi (missing responses) perlu
dikeluarkan dari analisis. Adanya sejumlah respon yang hilang dan tidak
proporsional dapat mengindikasikan bahwa pertanyaan sulit dipahami atau
dijawab atau terlalu sensitif untuk responden. Tingkat keparahan di setiap
pertanyaan dapat diperkirakan dari tanggapan terhadap delapan pertanyaan FIES
yang bersifat dikotomi dengan menggunakan metode conditional maximum
likelihood (CML) dalam model IRT (Rasch Model) yang terdapat pada software
R. Metode estimasi alternatif yang didasarkan pada marginal maximum likelihood
11

(MML) akan menghasilkan estimasi parameter tiap pertanyaan yang hampir sama
di semua negara atau wilayah, seperti metode joint maximum likelihood (JML)
yaitu estimasi JML disesuaikan dengan bias yang diketahui di setiap pertanyaan.
Software R digunakan untuk memfasilitasi akses teknologi di suatu wilayah
karena berbasis terbuka untuk umum (open access).
Nilai mentah 0-8 dari FIES adalah bersifat ordinal, dengan tingkatan
kontinyu pada setiap pertanyaannya yang bertingkat. Adanya sifat ordinal ini,
maka nilai FIES dapat diklasifikasikan tingkat kerawanan pangannya. Pertanyaan
dari setiap FIES bersifat berdiri sendiri, namun tidak bisa dibedakan antar wilayah
begitu saja, contohnya raw score 3 di wilayah A dengan raw score 5 di wilayah
B. Nilai raw score FIES tidak bersifat interval, sehingga raw score tidak bisa
dihitung nilai rata-rata atau model regresi linier nya. Maka dari itu, penaksiran
nilai parameter kerawanan pangan menggunakan maxmimum likelihood
estimation dari data raw score FIES subjek yang diambil dari populasi. Max
likelihood sensitif terhadap data ekstrim, sehingga nilai hasil statistik sangat
terpengaruh dengan adanya data ekstrem. Oleh karena itu, pada hasil raw score
yang tidak memiliki nilai 0 sama sekali atau terdapat nilai 0 dengan populasi
sebagian besar kasus raw score nya adalah 0, maka hasil taksiran nilai parameter
FIES akan sulit untuk membentuk parameter tingkat keparahannya.
Terdapat 3 karakter elemen pengukuran kerawanan pangan pada tingkat
responden dalam FIES, diantaranya 1) Respondent Severity Parameter dalam
VoH global metric; 2) nilai probabilitas moderate or severe food insecurity (0
hingga mendekati 1); dan 3) probalibitas severe food insecurity. Untuk
menghasilkan nilai kategori yang dapat dibandingkan antar negara, maka harus
ada pembanding kategori, hal ini dengan menggunakan respondent severity
parameter VoH secara global, yang menjadi acuan linierisasi data dan memiliki
transformasi. Karena adanya kemungkinan level tingkat keparahan yang tidak
sama antar negara, maka respondent severity parameter dimasukkan dalam VoH
global standard metric, sehingga akan ditemukan nilai yang dapat menjadi
representasi tingkat keparahan yang sama di semua negara. Selain terdapat
respondent severity parameter VoH secara global sebagai elemen linier untuk
semua negara, pengukuran tingkat kerawanan pangan FIES juga menghasilkan
data kerawanan pangan moderate or severe dan severe. Data tingkat kerawanan
pangan ini juga mengukur besar pengukuran eror. Data ini bisa diartikan sebagai
proporsi orang dari suatu populasi yang direpresentasikan sebagai subjek yang
benar-benar mengalami kerawanan pangan melebihi ambang batas nilai yang ada.
Nilai data FIES pada akhirnya diperoleh dengan perbandingan tingkat standar
keparahan VoH Global, sehingga antar negara dapat dibandingkan.
Uji reliabilitas diperlukan setelah mendapatkan data dari lapangan untuk
memastikan bahwa FIES dapat diterima dengan baik di populasi yang menjadi
sasaran. Bila nilai reliabilitas >0.7, maka memiliki arti bahwa hasil dari
pengambilan data dengan pertanyaan FIES dapat diolah lebih lanjut, karena
masyarakat yang menjadi responden dapat menerima maksud dari pertanyaan
yang diajukan. Salah satu hasil luaran dari pengolahan data FIES yang lainnya
berupa gambar plot yang memastikan keandalan tiap pertanyaan FIES dalam
lapangan. Hasil luaran prevalensi dari pengolahan data mentah pertanyaan FIES
merupakan prevalensi untuk populasi, tidak menggambarkan seorang individu
tersebut rawan pangan atau tahan pangan. Meskipun dasar pengambilan data alat
12

ukur ini adalah individu dengan mengumpulkan data kelaparan individu, namun
hasil yang didapatkan menggambarkan populasi penelitian secara keseluruhan
yang telah mempertimbangkan nilai standar global, sehingga nilai tersebut dapat
dibandingkan (comparable) dengan negara lain.

Kualitas Diet

Penentuan kualitas diet seseorang dapat dilihat dari kesesuaian konsumsi


makanan sehari-hari dengan ketentuan diet yang direkomendasikan (Cole and Fox
2008). Laporan Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa sebanyak 53.1% penduduk
usia ≥10 tahun mengonsumsi makanan/minuman manis ≥1 kali sehari, serta
40.7% diantaranya mengonsumsi makanan berlemak ≥1 kali sehari. Konsumsi
sayur dan buah dari 96.9% penduduk usia 20-24 tahun kurang dari 5 porsi per hari
dalam seminggu. Laporan Survei Diet Total (SDT) (2014) mengungkapkan bahwa
secara nasional, sebanyak 4.8%, 18.3% dan 26.5% penduduk mengonsumsi gula,
natrium dan lemak melebihi pesan Permenkes Nomor 30 tahun 2013.
Laporan SDT juga menyebutkan angka kematian akibat penyakit diabetes
melitus meningkat dari 1.1% menjadi 2.1%, hipertensi dari 7.6% menjadi 9.5%,
dan stroke dari 8.3% menjadi 12.1%. Prevalensi berat badan rendah
(underweight), prevalensi pendek dan prevalensi gizi lebih di tahun 2013
cenderung tidak berubah dibandingkan dengan tahun 2007. Masalah gizi lebih
sangat berkaitan dengan kejadian PTM, sehingga peningkatan angka kematian
akibat PTM diduga berhubungan erat dengan pola konsumsi pangan (bahan
makanan dan minuman) yang mencakup jumlah, mutu dan keamanan. Salah satu
faktor risiko yang dapat diperbaiki atau dimodifikasi adalah kualitas diet yang
rendah (WHO 2002). Identifikasi faktor risiko PTM merupakan kunci utama
untuk pengendalian epidemik global dari penyakit tersebut sebagai upaya
pencegahan primer.
Kualitas diet penting bagi kesehatan. Pedoman gizi seimbang biasanya
merekomendasikan peningkatan keragaman makanan dalam kelompok makanan
dan dapat menjamin kecukupan zat gizi mikro (WHO and FAO 1996). Kualitas
diet dapat juga diukur berdasarkan kepatuhan dalam pedoman gizi seimbang atau
rekomendasi untuk kesehatan seperti pencegahan penyakit kronis yang
berhubungan dengan makanan yang diformulasikan oleh WHO (WHO and FAO
2003).
Salah satu jenis penyakit tidak menular yang berkembang di Indonesia
adalah hipertensi atau tekanan darah tinggi. Berdasarkan JNC (2004), faktor gaya
hidup yang dapat dimodifikasi untuk pencegahan dan penyakit tidak menular
adalah berupa penurunan berat badan hingga mencapai berat badan normal,
mengurangi makanan bersodium tinggi, menjaga aktivitas fisik secara teratur,
mengonsumsi alkohol secukupnya, dan menerapkan pola konsumsi diet Dietary
Approach to Stop Hypertension (DASH).
Pola makan diet DASH memiliki ciri-ciri kaya buah dan sayur, produk
olahan susu rendah lemak, rendah lemak jenuh dan rendah lemak total (JNC
2004). US HHS (2006), menentukan asupan zat gizi rekomendasi yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan diet DASH, yang terdiri dari lemak total, lemak
jenuh, protein, karbohidrat, kolesterol, natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan
serat. Adanya kebutuhan akan perbaikan diet pada penderita hipertensi, maka
13

beberapa peneliti di luar negeri mengembangkan sistem skor DASH, seperti


Indeks DASH Dixon, Fung, Mellen, dan Gunther (Miller et al. 2013).
Fung et al. (2008) melalui sebuah studi kohort mengenai pengembangan
skor diet DASH mengungkapkan bahwa skor DASH berhubungan dengan
rendahnya kejadian penyakit kardiovaskular dan stroke pada wanita usia dewasa
menengah selama 24 tahun. Harrington et al. (2013) melalui studi cross sectional
pada 2 047 laki-laki dan wanita dewasa juga menyatakan bahwa tingginya skor
DASH dapat menurunkan tekanan darah pada tingkat populasi. Sanaei et al.
(2014) melalui studi systematic review dan meta analisis pada studi RCT yang
mengevaluasi efek DASH terhadap tekanan darah menyatakan bahwa diet DASH
memberikan manfaat penurunan pada tekanan darah sistol dan diastol pada orang
dewasa. Keterkaitan antara kualitas diet DASH dengan hipertensi dan penyakit
tidak menular lebih dijelaskan pada Tabel 3.
Pola diet DASH di Indonesia telah dikembangkan dan diujicobakan
dengan eksperimental oleh Harahap (2009) dinamakan DASH-I untuk penelitian
terhadap subjek prahipertensi yang kegemukan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa DASHI dan konseling berperan terhadap penurunan berat badan dan
tekanan darah. Kamal (2012) melalui disertasi dengan pengembangan pola diet
DASHI menjadi DASHI-J untuk subjek laki-laki prahipertensi di Jakarta,
mengungkap bahwa DASHI-J dan mempunyai peran penting pada penurunan
berat badan, indeks massa tubuh, tekanan darah sistol dan diastol. Ridhwan et al.
(2012) melakukan studi efikasi modifikasi diet DASH untuk masyarakat
Indonesia, dengan hasil diet DASH dapat menurunkan berat badan dan tekanan
darah pada orang dewasa hipertensi yang kelebihan berat badan. Dewifianita et al.
(2017) melalui penelitian eksperimental mengungkap bahwa adanya pengaruh
pemberian konseling diet DASH terhadap perubahan tekanan darah.
Adanya sistem skoring atau penilaian berdasarkan DASH akan
memudahkan pemantauan terhadap kualitas makanan penderita hipertensi yang
sudah sesuai ketentuan diet yang direkomendasikan. Ridhwan et al. (2012)
mengembangkan pola diet DASH yang dimodifikasi untuk Indonesia terdiri dari 2
– 5,5 porsi nasi; 3 – 4 porsi sayur; 5 – 6 porsi buah; 2 – 3 porsi ikan; 4 – 5 porsi
tempe atau tahu; 1 porsi susu; dan 1 kapsul suplemen antioksidan (vitamin A, C,
E, Se, dan Zn) setiap hari. DASH diet modifikasi ini dapat menurunkan tekanan
sistolik sebesar 9.2 mmHg dan diastolik 7.6 mmHg setelah 2 bulan intervensi. Hal
ini menunjukkan bahwa DASH diet yang dimodifikasi di Indonesia dapat
menurunkan tekanan darah pada orang dewasa. Namun, penerapan DASH diet
yang dimodifikasi di Indonesia masih belum dapat diterapkan secara luas oleh
masyarakat. Hal ini disebabkan konsumsi buah dan susu masyarakat Indonesia
masih tergolong rendah. Selain itu, terdapat anjuran konsumsi suplemen
antioksidan setiap hari.
Di Indonesia, Rahadiyanti et al. (2015) dalam penelitiannya tentang
keterkaitan asupan makan DASH Like Diet dengan pencegahan risiko hipertensi
pada wanita prediabetes, mengembangkan juga penilaian kualitas diet melalui
skoring yang bernama DASH Like Diet dengan sembilan komponen zat gizi, yaitu
karbohidrat, protein, lemak total, lemak jenuh, serat, natrium, kalium, rasio
natrium:kalium, kalsium, dan magnesium. Komponen ini telah disesuaikan
dengan sasaran zat gizi sehari pada diet DASH oleh JNC (2006), yaitu lemak
14

total, lemak jenuh, protein, karbohidrat, kolesterol, natrium, kalium, kalsium,


magnesium dan serat (Tabel 2).
Tabel 2 Kriteria penilaian DASH Like Diet
Skor 1 = Skor 0.5 = Skor 0 =
Zat gizi
Baik Sedang Buruk
Karbohidrat (% total energi) <55 ≥55 s.d <65 ≥65
Protein (% total energi) >18 >16.50 s.d =18 <16.50
Lemak (% total energi) <27 ≥27 s.d <32 ≥32
Lemak jenuh (% total energi) <6 ≥6% s.d <11 ≥11
Serat (g) >25 >16.26 s.d =25 ≤16.26
≥2.300 s.d
Natrium (mg) <2.300 ≥2.684
<2.684
Rasio Na:K <0.49 ≥0.49 s.d <0.84 ≥0.84
Kalsium (mg) >800 >544.62 s.d ≤800 ≤544.62
Magnesium (mg) >270 >179.30 s.d ≤270 ≤179.30
Sumber: Rahadiyanti et al. 2015.
Berdasarkan penelitian tersebut, subjek penelitian dikategorikan
memenuhi asupan makan DASH Like Diet jika skor total lebih dari atau sama
dengan 4.5. Skor total asupan DASH Like Diet didapatkan dari penjumlahan zat
gizi karbohidrat, protein, lemak total, lemak jenuh, serat, natrium (Na), rasio
natrium kalium (Na:K), kalsium (Ca), dan magnesium (Mg). Pedoman asupan
makan menggunakan DASH diet dan AKG Indonesia tahun 2004.
15

Tabel 3 Beberapa penelitian terkait diet DASH dan PTM

Desain
No Judul Peneliti Sasaran Kesimpulan
Penelitian
1 The Mediterranean and Fung TT, Hu Cross 1 432 kasus insiden kanker Kepatuhan terhadap diet DASH
Dietary Approaches to FB, Wu K, sectional kolon pada perempuan dan (yang melibatkan asupan biji-
Stop Hypertension Chiuve SE, 1 032 pada laki-laki bijian, buah, dan sayuran dalam
(DASH) diets and Fuchs CS, jumlah yang lebih tinggi;
colorectal cancer Giovannucci E jumlah susu rendah lemak
(2010) dalam jumlah sedikit, dan
jumlah yang lebih rendah dari
daging merah atau olahan, dan
minuman pemanis) dikaitkan
dengan risiko kanker kolorektal
yang lebih rendah
2 Adherence to a DASH- Fung TF, Chiuve Kohort- 88 517 wanita umur 34 to 59 Kepatuhan diet DASH
style diet and risk of E, McCullough prospektif tahun tanpa riwayat penyakit dikaitkan dengan risiko CHD
coronary heart disease ML, Rexrode kardiovaskular atau diabetes dan stroke yang lebih rendah di
and stroke in women KM, Logroscino pada tahun 1 980 antara wanita paruh baya
GL, Hu FB selama 24 tahun selama masa
(2008) tindak lanjut
3 Low-carbohydrate Fung TT, Hu Cross 86 621 wanita dalam masa Diet tinggi buah dan sayuran,
diets, dietary FB, Hankinson sectional tindak lanjut Nurses’ Health seperti yang ditunjukkan oleh
approaches to stop SE, Willett WC, Study dari tahun 1980 hingga DASH, dikaitkan dengan risiko
hypertension-style diets, Holmes MD 2006 kanker payudara yang lebih
and the risk of (2011) rendah. Selain itu, diet tinggi
postmenopausal breast protein nabati dan lemak serta
cancer karbohidrat yang moderat
dikaitkan dengan risiko kanker
yang lebih rendah

15
16

16
Tabel 3 Beberapa penelitian terkait diet DASH dan PTM (lanjutan)
Desain
No Judul Peneliti Sasaran Kesimpulan
Penelitian
4 DASH diet score and Harrington JM, Cross Laki-laki dan wanita berumur Ketaatan terhadap diet setara
distribution of blood Fitzgerald AP, sectional 47–73 tahun (n = 2 047) DASH dapat mengurangi
pressure in middle-aged Kearny PM, tekanan darah pada tingkat
men and women McCarthy VJC, populasi. Kebijakan publik yang
Madden J, mempromosikan pola makan
Browne G, sehat DASH dapat memberi
Dolan E, Perry J dampak signifikan pada
(2013) kesehatan penduduk dengan
mengurangi tekanan darah rata-
rata pada populasi
5 Effects of Dietary Salehi- Meta analisis Pubmed, ISI web of science, Diet seperti DASH dapat secara
Approaches to Stop Abargouei A, and EMBASE dengan studi signifikan melindungi risiko
Hypertension (DASH)- Maghsoudi Z, kohort tentang pola diet CVD, CHD, stroke, dan HF
style diet on fatal or Shirani F, DASH dengan penyakit masing-masing sebesar 20%,
nonfatal cardiovascular Azadbakht L kardiovaskular, penyakit 21%, 19%, dan 29%.
disease incidence: a (2012) jantung, gagal jantung stroke Selanjutnya, ada hubungan
systematic review and linier terbalik yang signifikan
meta-analysis on antara kepatuhan terhadap diet
observational DASH, CVD, CHD, stroke, dan
prospective studies risiko HF
6 Influence of Dietary Saneei P, Systematic PubMed, ISI Web of Science, Hasilnya menunjukkan efek
Approaches to Stop Abargouei AS, review Scopus dan Google scholar pengurangan yang
Hypertension (DASH) Esmaillzadeh A, database pada studi RCT menguntungkan dari diet seperti
diet on blood pressure: Azadbakt L yang mengevaluasi diet DASH DASH pada kedua tekanan
a systematic review and (2014) terhadap tekanan darah yang darah sistolik dan diastolik
meta-analysis on terpublikasikan hingga Juni pada orang dewasa
randomized controlled 2013
trials

15
17

Tabel 3 Beberapa penelitian terkait diet DASH dan PTM (lanjutan)


Desain
No Judul Peneliti Sasaran Kesimpulan
Penelitian
7 Diet quality as assessed Schwingshackl Rujukan Studi yang publikasi pada 15 Diet yang mendapat nilai tinggi
by the healthy eating L, Bogensberger literatur untuk Mei 2017 pada PubMed, pada HEI, AHEI, dan DASH
index, alternate healthy B, Hoffmann G studi kohort Scopus, and Embase. dikaitkan dengan penurunan
eating index, dietary (2017) prospektif yang signifikan dalam risiko
diet quality as assessed semua penyebab kematian,
by the healthy eating penyakit kardiovaskular,
index, alternate healthy kanker, diabetes tipe 2, dan
eating index, dietary penyakit neurodegeneratif
approaches to stop masing-masing sebesar 22%,
hypertension score, and 22%, 16%, 18 %, dan 15%.
health outcomes: an Selain itu, makanan berkualitas
updated systematic tinggi berbanding terbalik
review and meta- dengan angka kematian dan
analysis of cohort kematian akibat kanker di
studies antara penderita kanker yang
selamat
8 Effects of the Dietary Siervo M, Lara systematic Medline, Embase and Scopus Diet DASH meningkatkan
Approach to Stop J, Chowdhury S, review dan hingga Desember 2013 faktor risiko kardiovaskular dan
Hypertension (DASH) Ashor A, meta analisis tampaknya memiliki efek
diet on cardiovascular menguntungkan yang lebih
Oggioni C,
risk factors: a besar pada subjek dengan
systematic review and Mathers JC peningkatan risiko
meta-analysis (2015) kardiometabolik. Diet DASH
adalah strategi nutrisi yang
efektif untuk mencegah CVD
9 The effect of Dietary Soltani S, systematic PubMed, EMBASE, Scopus Diet DASH adalah pilihan tepat
Approaches to Stop Chitsazi MJ, review dan and Google scholar hingga untuk manajemen berat badan
Hypertension (DASH) Salehi- meta analisis Desember 2015 terutama untuk mengurangi

17
18

Tabel 3 Beberapa penelitian terkait diet DASH dan PTM (lanjutan)

18
Desain
No Judul Peneliti Sasaran Kesimpulan
Penelitian
diet on weight and body Abargouei A dari RCT berat badan pada peserta
composition in adults: a (2017) obesitas dan berat badan
systematic review and berlebih
meta-analysis of
randomized controlled
clinical trials
19

Lemak
Meskipun lemak tidak langsung berhubungan dengan tekanan darah,
namun lemak memiliki hubungan yang kuat dengan risiko penyakit
kardiovaskular. Vegan diketahui lebih sedikit yang menderita hipertensi daripada
mereka yang omnivora meskipun asupan garam antar keduanya tidak berbeda
signifikan. Diet vegan diketahui lebih tinggi lemak tidak jenuh ganda, rendah
lemak total, rendah lemak jenuh dan kolesterol. Lemak tidak jenuh ganda (PUFA)
merupakan prekusor prostaglandin yang memiliki fungsi memengaruhi ekskresi
natrium pada ginjal dan merelaksasi otot pembuluh darah jantung. Selain itu,
faktor lain selain asupan lemak, tingginya kadar kalium juga dapat menurunkan
tekanan darah pada vegan (Raymond and Couch 2011).

Protein
Sebuah penelitian OmniHeart Trial meneliti tentang pengaruh tiga versi
DASH pada tekanan darah dan serum lipid. Pada penelitian tersebut termasuk diet
DASH dengan versi tinggi protein (25% energi berasal dari protein, yaitu hampir
setengahnya berasal dari protein nabati) dan diet DASH dengan tinggi lemak tidak
jenuh (31% kalori berasal dari lemak tidak jenuh, hampir seluruhnya lemak tidak
jenuh tunggal (MUFA)). Meskipun tiap diet tersebut dapat menurunkan tekanan
darah sistol, subtitusi beberapa karbohidrat (sekitar 10% dari total kalori) pada
diet DASH baik protein atau MUFA sama-sama baik untuk menurukan tekanan
darah dan kolesterol darah (Appel et al. 2006; Miller et al. 2006).

Penurunan Berat Badan


Terdapat hubungan yang kuat antara IMT dengan hipertensi baik pada
laki-laki maupun perempuan pada seluruh ras atau kelompok etnik dan pada
hampir semua kelompok umur. Risiko terjadinya peningkatan tekanan darah pada
kelompok berat badan berlebih dua hingga enam kali lebih berisiko daripada
kelompok berat badan normal (JNC 2004). Sekitar 30% atau lebih kejadian
hipertensi terjadi pada indivisu yang obesitas pada sebuah studi populasi (AHA
2010). Peningkatan berat badan pada usia dewasa bertanggungjawab terhadap
seberapa besar peningkatan tekanan darah yang sejalan dengan masa penuaan.
Mathieu et al. (2009) mengungkapkan adanya hubungan antara perubahan
fisiologis dengan lemak berlebih pada tubuh dan tekanan darah akibat reaksi
berlebih pada sistem SNS dan RAS serta inflamasi pembuluh darah. Lemak
viseral secara spesifik merangsang inflamasi vaskular dengan menginduksi
pengeluaran sitokin, faktor transkripsi pro inflamasi, dan adesi molekul (Savioa
and Schiffrin 2007). Inflamasi terjadi pada pembuluh darah individu dengan
terjadinya kenaikan tekanan darah; namun kejadian hipertensi maish belum jelas.
Penurunan berat badan, aktivitas fisik, dan diet Mediteranian sangat bermanfaat.
Semua penelitian clinical trials pada penurunan berat badan dan tekanan
darah mendukung efikasi dari berat badan dan tekanan darah yang menurun.
Penurunan tekanan darah yang signifikan dapat terjadi pada partisipan yang
kehilangan berat badan dan juga mengonsumsi obat antihipertensi. Penemuan ini
memperlihatkan bahwa adanya sinergitas antara penurunan berat badan dan terapi
obat. Oleh karena itu, intervensi untuk mencegah kenaikan berat badan sangat
dianjurkan dan dibutuhkan pada usia pertengahan. Selain itu, hal ini menandakan
20

bahwa IMT direkomendasikan sebagai alat skrining pada orang dewasa sebagai
faktor risiko kesehatan di masa depan (Raymond and Couch 2011).

Natrium
Telah banyak bukti beragam yang mendukung bahwa penurunan tekanan
darah dan risiko penyakit kardiovaskular dapat terjadi dengan penurunan asupan
natrium atau sodium (Raymond and Couch 2011). Terdapat respon individu yang
beragam terhadap asupan natrium. Beberapa orang dengan hipertensi
menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah terjadi karena asupan garam yang
berkurang, yaitu kelompok ini disebut salt-sensitive hypertension. Salt-resistant
hypertension ditujukan kepada kelompok individu yang tekanan darahnya tidak
berkurang signifikan meskipun asupan garam telah dikurangi. Pada umumnya,
individu yang sensitif terhadap pengaruh garam lebih cenderung pada individu
berkulit hitam, obesitas, usia menengah atau lebih, terutama dengan komplikasi
diabetes, penyakit gagal ginjal, atau hipertensi itu sendiri (Raymond and Couch
2011).

Kalsium
Mierlo et al. (2006) menyatakan bahwa suplementasi kalsium
dibandingkan dengan asupan olahan susu berhubungan dengan risiko penurunan
tekanan darah. Dickinson et al. (2006) juga menyebutkan bahwa kalsium
memberikan pengaruh terhadap pasien hipertensi baik pada sistol maupun diastol.
Asupan kalsium yang rendah akan meningkatkan konsentrasi kalsium intraselular.
Kejadian ini mengakibatkan peningkatan 1,25-vitamin D3 dan hormon paratiroid
sehingga menyebabkan influks kalsium ke dalam sel otot halus dan resistensi
vaskular (Kris-Etherton et al. 2009). Mekanisme yang lain menunjukkan bahwa
peptida yang berasal dari protein susu, terutama pada produk fermentasi, memiliki
fungsi sebagai ACEs, sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Percobaan
DASH menemukan bahwa konsumsi buah, sayur, dan serat tinggi dalam 8
minggu; 3 porsi susu olahan rendah lemak per hari; rendah lemak total dan lemak
jenuh dapat menurunkan tekanan darah sistol dan diastol sebesar 5.5 dan 3 mm
Hg lebih tinggi daripada kelompok diet kontrol. Diet buah dan sayur tanpa adanya
produk susu olahan hanya dapat menurunkan sekitar setengah dari hasil diet
DASH (Raymond and Couch 2011).

Magnesium
Magnesium merupakan pro inhibitor kontraksi otot halus pembuluh darah
dan mempunyai peranan terhadap regulasi vasodilator tekanan darah. Sointia dan
Touyz (2007) menjelaskan bahwa asupan magnesium berkorelasi terhadap
penurunan tekanan darah. Komponen diet DASH memiliki pola kaya akan
magnesium, termasuk sayur berdaun hijau, kacang-kacangan, dan serealia. Secara
keseluruhan, makanan yang kaya sumber magnesium lebih diutamakan daripada
penggunaan suplementasi magnesium baik untuk mencegah atau mengontrol
tekaan darah (ADA 2009).

Kalium
Respon asupan tinggi kalium terhadap penurunan tekanan darah seringkali
tergantung respon individu. Pengaruh kalium lebih terlihat pada individu yang
memiliki tekanan darah sangat tinggi pada kelompok kulit hitam dibandingkan
21

dengan warna kulit putih, dan pada kelompok yang mengonsumsi natrium
berlebihan. Adanya pola diet DASH yang mengutamakan asupan sayur dan buah
menyebabkan kebuthan kalium pada seseorang dapat terpenuhi sesuai dengan
rekomendasi. Namun pada beberapa individu dengan kondisi klinis adanya
gangguan pada eksresi kalium, asupan kalium sebaiknya rendah untuk mencegah
hiperkalemia (Raymond and Couch 2011).

Stres

Kementerian Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor


854/MENKES/SK/IX/2009 menyebutkan bahwa stres adalah reaksi tubuh berupa
serangkaian respons yang bertujuan untuk mengurangi dampak. Stres merupakan
ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional,
dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat memengaruhi kesehatan fisik
manusia tersebut. Stres adalah persepsi, baik nyata maupun imajinasi, persepsi
terhadap stres sebenarnya berasal dari rasa takut atau marah. Perasaan ini dapat
diekspresikan dalam sikap tidak sabar, frustasi, iri, tidak ramah, depresi, bimbang,
cemas, rasa bersalah, khawatir, atau apati (NSC 2004).
Stres dapat dibagi dua yaitu stres baik/positif/eustres dan stres
buruk/negatif/distres. Stres baik disebut sebagai stres positif merupakan situasi
atau kondisi apapun yang dapat memotivasi atau memberikan inspirasi, misalnya:
promosi jabatan. Sedangkan stres buruk/negatif/distres adalah stres yang membuat
marah, tegang, bingung, cemas, merasa bersalah, atau kewalahan. Distres dapat
dibagi menjadi dua bentuk yaitu stres akut dan stres kronik. Stres akut muncul
cukup kuat, tetapi menghilang dengan cepat, seperti stres mencari lahan parkir di
tempat kerja, terburu-buru mencari nomor telepon, dan terlambat datang ke rapat.
Sedangkan stres kronik munculnya tidak terlalu kuat, tetapi dapat bertahan sampai
berhari-hari sampai berbulan-bulan, contoh stres kronik antara lain masalah
keuangan dan kejenuhan kerja. Stres kronik yang berulang kali dapat
memengaruhi kesehatan dan produktivitas seseorang (NSC 2004).
Keputusan Menteri Kesehatan RI tersebut juga menjelaskan bahwa stresor
adalah pengalaman traumatik yang luar biasa yang dapat meliputi ancaman serius
terhadap keamanan atau integritas fisik dari individu atau orang-orang yang
dicintainya atau perubahan yang mendadak yang tidak biasa dan perubahan yang
mengancam kedudukan sosial dan/atau jaringan relasi dari yang bersangkutan,
seperti kedukaan yang bertubi-tubi atau kebakaran. Risiko terjadinya gangguan ini
makin bertambah apabila ada kelelahan fisik atau faktor organik lainnya, misalnya
lanjut usia.
Respon tubuh terhadap stres menimbulkan respons adaptasi dan
memperbaiki keseimbangan yang terdiri atas:
1. Respons neurotransmiter terhadap stres
Stresor mengaktifkan sistim noradrenergik pada otak (khusunya pada
locusserelus) dan menyebabkan pengeluaran katekolamin dari sistim saraf
otonomik. Selain noradrenergik, stresor juga mengaktivasi sistem serotonergik
di otak dengan peningkatan ambilan kembali seronin. Juga terjadi peningkatan
dopaminergik pada mesoprefrontal. Akibat peningkatan sistem saraf otonom
adalah meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah.
2. Respon endokrin terhadap stres
22

Respon terhadap stres corticotropin-releasing factor (CRF) sebagai


neurotransmiter, disekresikan dari hipotalamus ke sistim portal hipose-pituitari.
CRF pada pituitari anterior memicu pelepasan hormon adrenokortikotropik
(ACTH). ACTH yang dilepas ini menstimulasi sintesis dan pelepasan
glukokortikoid yang mempunyai banyak efek dalam tubuh, tetapi perananya
dapat disimpulkan secara singkat adalah meningkatkan penggunaan energi,
meningkatkan aktivitas kardiovaskuler sebagai respon flight atau fight, dan
menghambat fungsi seperti pertumbuhan, reproduksi dan imunitas.
3. Respon imun terhadap stres
Respons terhadap stres juga penghambatan pada fungsi imun oleh
glukokortikoid. Akan tetapi penghambatan ini dapat merupakan kompensasi
dari aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) untuk meredakan efek fisiologis
lain dari stres. Stres dapat meningkatkan aktivitas imun melalui berbagai jalan.
CRF sendiri dapat menstimulasi pelepasan norefineprin melalui reseptor CRF
yang berada di locus seruleus yang mengaktivasi sistem saraf simpatis,
keduanya secara sentral dan periferal dan meningkatkan pelepasan efineprin
dari medula adrenal. Adanya hubungan yang langsung neuron norefineprin
yang bersinap pada target sel imun, sehingga ketika berhadapan dengan stresor
juga terjadi aktivitas imun yang sangat besar, termasuk pelepasan faktor imun
humoral (sitokin) seperti interleukin-1 (IL-a) dan IL-6. Sitokin ini sendiri dapat
melepaskan CRF, yang secara teori menyebabkan peningkatan efek
glukokortikoid dan membatasi aktivitas imun.
Keputusan Menteri Kesehatan tersebut juga menjelaskan gejala stres
bersifat bervariasi, tergantung dengan beratnya stresor dan waktu. Gejala stres
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Gejala fisik, antara lain: jantung berdebar-debar, lebih cepat, tidak teratur;
pernafasan lebih cepat dan pendek; berkeringat; muka merah; otot-otot tegang;
nafsu makan berubah; sulit tidur; gugup; sakit kepala; tangan dan kaki lemas;
gangguan pencernaan; sering buang air kecil; dada sesak; rasa sakit/nyeri yang
tidak jelas; susah buang air besar atau sebaliknya diare; kesemutan; dan nyeri
pada ulu hati
2. Gejala mental, antara lain: merasa tertekan; menarik diri; bingung; kehilangan
kesadaran; depresi; kecemasan tak bisa rileks; kemarahan; kekecewaan;
overaktif dan agresif.
Tingkat stres merupakan hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang
dialami seseorang. Tingkatan stres pada penelitian ini diukur dengan
menggunakan Self Reporting Questionnaire (SRQ) oleh WHO, yang terdiri dari
20 pertanyaan. Di Indonesia sudah dilakukan uji validasi terhadap SRQ, yaitu
pada tahun 1995 yang dilakukan oleh Hartono, seorang peneliti Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan. Beliau melakukan uji validasi terhadap
penggunaan SRQ dengan nilai batas pisah 5/6, pada penelitian tersebut
sensitivitas SRQ 88% dan spesifisitas 81% yang kemudian digunakan pada
Riskesdas 2007. Di dalam Riskesdas ditetapkan 5/6 sebagai nilai batas pisah,
artinya responden menjawab = 6 jawaban ”ya” dari 20 pertanyaan yang diajukan
maka responden tersebut diindikasikan mengalami gangguan mental emosional
distres (stres negatif) yang memiliki potensi adanya gangguan jiwa apabila
diperiksa lebih lanjut oleh psikiater. Pada Riskesdas, SRQ yang digunakan adalah
23

murni 20 butir pertanyaan. SRQ-20 terdiri dari pertanyaan mengenai gejala yang
lebih mengarah kepada neurosis.

Keterkaitan Kerawanan Pangan dan Gizi dengan Hipertensi

Sifat kerawanan pangan dan gizi yang bersifat kontinyu dimulai dari
ketersediaan lalu akses atau kertejangkauan hingga utilisasi atau pemanfaatan,
akan merujuk kepada status gizi seseorang (FAO 2000). Hal ini menunjukkan
bahwa jika salah satu pilar terganggu pada kondisi individu atau rumah tangga,
maka akan berpengaruh terhadap status gizi dan kesehatan pelaku tersebut.
Keterjangkauan seringkali berhubungan dengan bagaimana individu dapat
memperoleh kebutuhan makanannya baik dari segi ekonomi, sosial, dan fisik.
Perubahan yang terjadi di masa kerawanan pangan pada individu maupun rumah
tangga, akan memengaruhi keberagaman dan kualitas diet seseorang, hal ini yang
berkaitan dengan utilisasi. Pilar utilisasi merupakan pilar yang menunjukkan
bagaimana seseorang dapat memanfaatkan bahan makanan untuk memenuhi
kebutuhan gizi. Campbell et al. (2009) mengungkapkan bahwa wanita usia subur
memiliki risiko yang lebih besar terhadap defisiensi vitamin A di dalam keluarga
yang lebih banyak menghabiskan pengeluaran pangannya untuk nasi dan rendah
sayur atau buah serta pangan hewani.
Paradigma “belum makan kalau belum makan nasi” di Indonesia sangat
dikenal di banyak wilayah. Pemenuhan kebutuhan makanan seseorang yang
berasal dari individu yang sering merasakan kelaparan memungkinkan akan
cenderung lebih tinggi energi dan rendah serat. Hal ini tercermin dalam Indrawati
et al. (2009) mengolah data Riskesdas 2007, mengungkapkan bahwa prevalensi
hipertensi sebesar 68.5% terjadi pada masyarakat miskin dan sangat miskin di
Indonesia.
Gowda et al. (2012) mengungkap bahwa kerawanan pangan berhubungan
dengan peningkatan inflamasi yang berkaitan dengan penyakit kronis. Kejadian
ini juga disebabkan adanya respon imun yang menjadi mediator potensial
terhadap terjadinya inflamasi. Inflamasi yang terjadi secara kronik akan
menyebabkan penyakit kronis yang bisa terjadi kapan saja karena adanya riwayat
tersebut. Irving et al. (2014) juga mengungkap bahwa terdapat hubungan positif
antara kerawanan pangan dan hipertensi setelah dikoreksi dengan keadaan sosio-
ekonomi dan karakteristik lainnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Calhoun (2013), keadaan
rawan pangan rumah tangga berhubungan erat dengan status kesehatan karena
keterbatasan akses pangan, selain itu juga berdasarkan pengukuran kualitatif,
adanya gejala emosi dan fisik dirasakan oleh individu yang termasuk dalam rawan
pangan yang akan memberikan dampak negatif dalam kualitas hidupnya.
Tatalaksana rasa kepanikan dan kekhawatiran yang terus menerus dalam kondisi
rawan pangan dan tantangan rumah tangga lainnya memberikan dampak pada
kualitas dan kuantitas asupan makan (Kirkpatrick dan Tarasuk, 2008), sehingga
dapat berpengaruh pada status kesehatan. Castillo et al. (2012) membagi
kerawanan pangan menjadi dua jenis kategori yaitu tahan pangan yang rendah dan
tahan pangan yang sangat rendah. Kelompok dengan kondisi ketahanan pangan
yang rendah memiliki karakteristik akses makanan yang tidak teratur, binge-
eating saat makanan tersedia, konsumsi makanan berdensitas tinggi berlebihan,
24

obesitas, dan terdapat penderita diabetes tipe 2. Jenis kelompok rawan pangan ini
terjadi di daerah miskin di wilayah maju seperti Amerika Serikat. Keadaan jenis
kelompok tahan pangan yang sangat rendah sangat berbeda daripada kelompok
ketahanan pangan rendah, yaitu dapat menyebabkan status gizi kurang dan
kelaparan. Kelompok ini bisa biasa ditemukan di negara berkembang, baik di
perkotaan maupun di perdesaan. Hal ini menandakan bahwa tidak keadaan sosio-
ekonomi seperti pendapatan dan kemiskinan mempengaruhi status kesehatan.
Pada negara berkembang, terjadinya kerawanan pangan seringkali disebabkan
oleh adanya bencana alam dan perubahan iklim yang berdampak pada
ketersediaan makanan.
25

Tabel 4 Beberapa penelitian terkait kerawanan pangan dan peyakit tidak menular
No Judul Peneliti Keterangan
1 Food insecurity and Mendy VL, Ada hubungan antara kondisi rawan pangan dengan tekanan darah tinggi,
cardiovascular disease risk et al. (2018) diabetes, obesitas, konsumsi sayur dan buah, rendahnya aktivitas fisik, dan status
factors among Mississippi merokok pada populasi dewasa Mississippi. Hal ini dikaitkan dengan penelitian
adults Mello et al. (2010) bahwa populasi rawan pangan cenderung lebih tinggi
mengonsumsi jus dan rendahnya kebiasaan untuk mengurangi penggunaan lemak
atau minyak, serta rawan pangan berhubungan dengan kualitas diet.
2 Food insecurity and dietary Hanson KL Ada hubungan terbalik antara kerawanan pangan dengan kualitas diet pada
quality in US adults and and Connor populasi dewasa.
children: a systematic review LM (2014)
3 Food insecurity is associated Seligman et Pola makan yang ada pada populasi dewasa yang rawan pangan seperti tinggi
with chronic disease among al. (2018) natrium dan rendah kalium seperti pada makanan olahan dapat menjadi pemicu
low-income NHANES berkembangnya hipertensi. Diduga terdapat dua mekanisme resiko
participants berkembangnya diabetes pada kondisi rawan pangan, pertama karena adanya
hubungan antara akses ekonomi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan
pengetahuan pasien tentang asupan makan yang lebih sehat dan terjangkau.
4 Food Insecurity, Chronic Gregory CA Secara umum, rendahnya ketahanan pangan berhubungan dengan berkembangnya
Disease, and Health Among and penyakit kronik. Perbedaan status kerawanan pangan di setiap rumah tangga
Working-Age Adults Coleman- menandakan untuk bahwa adanya potensi perbedaan status ekonomi dan
Jensen A pendapatan.
(2017)
5 Association of Household Weigel Populasi wanita yang rawan pangan dengan anak cenderung untuk memiliki
Food Insecurity with the MM, et al. kesehatan mental yang buruk dengan gejala stres, depresi, kecemasan, dan stres
Mental and Physical Health of (2016) psikologis. Namun tidak berhubungan dengan hipertensi, hal ini diduga karena
Low-Income Urban ada beberapa faktor yang tidak terlaporkan dalam penelitian seperti perbedaan
Ecuadorian Women with status gizi, umur, cara coping strategy stres, dan sebagainya.
Children

25
26

Keterkaitan Stres dengan Hipertensi

Berdasarkan KMK RI Nomor 854/MENKES/SK/IX/2009, dampak negatif


stres antara lain: 1) sikap agresif, frustasi, gugup, kejenuhan, bosan, dan kesepian;
2) alkoholik, merokok, makan berlebihan, penyimpangan seks; 3) daya pikir
lemah, tidak mampu membuat keputusan, tidak konsentrasi; 4) peningkatan
tekanan darah, denyut jantung dan gula darah (Depkes 2009). Stres psikologis
merupakan tanda seseorang mengalami suatu kondisi yang memerlukan adaptasi.
Dalam batas wajar stres akan menimbulkan dampak positif bagi mental seseorang,
tetapi stres yang berkepanjangan akan merusak mekanisme fungsional tubuh.
Mekanisme yang mendasarinya adalah adanya perubahan aksis hipothalamo
pituitary adrenal (HPA) yang dipicu oleh stres kronik. Seperti yang telah
diketahui, stres menyebabkan pengeluaran hormon adrenalin, yang bila terus
menerus diproduksi akan mengaktivasi perubahan aksis HPA. Perubahan ini
menyebabkan meningkatnya tekanan darah, meskipun ada beberapa pendapat
yang menyatakan hal ini belum pasti (Idaiani dan Wahyuni 2015).
Weigel MM et al. (2016) dalam penelitiannya mengenai hubungan
kerawanan pangan rumah tangga dan kesehatan fisik pada wanita dengan anak
perdesaan menyatakan kondisi rawan pangan pada rumah tangga dapat membuat
stres terjadi terutama pada wanita yang tinggal dengan anak. Seperti pada
beberapa rumah tangga yang memiliki keterbatasan, wanita sering didorong untuk
mengambil keputusan yang sulit mengenai apakah mereka akan menggunakan
sumberdaya mereka pada pangan atau kebutuhan non pangan. Hal seperti ini
dapat memicu frustasi, kecemasan, dan depresi, sehingga ibu akan mengorbankan
kualiats pangan dan keberagaman pangan untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga yang lainnya. Selanjutnya, kondisi rawan pangan dapat berubah menjadi
lebih parah dan mengakibatkan ibu akan melewatkan jam makan dan mengurangi
porsi makanan demi melindungi anak terhindar dari kelaparan. Hal seperti ini
dapat mengganggu status kesehatan ibu (Coleman-Jensen et al. 2015; IMHO
2011; Ivers LC 2015).
Penelitian Weigel MM et al. (2016) tersebut menggunakan alat ukur
kesehatan mental Mental Health Inventory (MHI-5) untuk mengukur kesehatan
mental secara umum. Russel et al. (2016) melalui alat ukur HRQoL untuk
mengukur domain fisik dan mental juga menunjukkan bahwa rawan pangan dan
kualitas diet yang rendah berhubungan dengan kualitas kehidupan populasi
dewasa. Beberapa penelitian dengan menggunakan alat ukur SRQ untuk melihat
insiden stres pada hipertensi telah ada di Indonesia, beberapa di antaranya
dijelaskan lebih detail pada Tabel 5.
27

Tabel 5 Beberapa penelitian terkait stres dan tekanan darah dengan menggunakan SRQ
Desain
No Judul Peneliti Sasaran Kesimpulan
Penelitian
1 Hubungan Stres dengan Saputri (2010) Cross Analisis lanjutan Riskesdas Ada hubungan yang bermakna
Hipertensi Pada sectional 2007 antara stres dengan hipertensi
Penduduk di Indonesia setelah dikontrol oleh variabel
Tahun 2007 lain yaitu umur, status
(Analisis Data perkawinan, tingkat pendidikan,
Riskesdas 2007) IMT, DM dan pengerluaran
perkapita serta dikontrol pula
oleh adanya interaksi umur dan
stres yang berinteraksi negatif
(antagonism), yaitu umur
mengurangi efek dari stres
terhadap terjadinya hipertensi.
Dengan proporsi hipertensi
yang disebabkan adanya
interaksi tersebut sebesar 3.2%.
2 Hubungan Gangguan Idaiani dan Cross Analisis lanjutan Riskesdas Meskipun ada hubungan antara
Mental Emosional Wahyuni (2016) sectional 2013 stres atau gangguan mental
dengan Hipertensi pada emosional terhadap hipertensi
Penduduk Indonesia yang dinilai melalui pengukuran
tekanan darah serta sedang
mengomsumsi obat anti
hipertensi, tetapi hubungannya
sangat kecil yaitu OR
mendekati 1. Hal ini
mengarahkan bahwa
kemungkinan stres kronik yang
lebih berperan terhadap

27
28

28
Tabel 5 Beberapa penelitian terkait stres dan tekanan darah dengan menggunakan SRQ (lanjutan)
Desain
No Judul Peneliti Sasaran Kesimpulan
Penelitian
terjadinya hipertensi.
3 Penyimpangan Pola Isfandari (2016) Cross Analisis lanjutan Riskesdas Prevalensi stres emosional lebih
Prevalensi Hipertensi di sectional 2013 banyak pada perempuan
Indonesia – Penyusulan daripada laki-laki dan stres
oleh Perempuan pada berkontribusi terhadap tekanan
Usia 28 Tahun: darah tinggi
Masukan untuk
Perbaikan Pelayanan
Kesehatan
4 Prevalensi Hipertensi Rahajeng dan Kasus-kontrol Analisis lanjutan Riskesdas Kelompok yang mengalami
dan Determinannya di Tuminah (2009) 2007 yang berumur 18 tahun stres mempunyai proporsi lebih
Indonesia ke atas tinggi (11.7%) pada kelompok
hipertensi dibandingkan pada
kontrol (10.0%)
5 Pola Makan dan Malonda NSH, Kasus-kontrol Lansia umur 60-65 di Stres tidak berhubungan
Konsumsi Alkohol Dinarti LK, Kotamadya Tomohon siginikan dengan hipertensi.
sebagai Faktor Risiko Pangastuti R
Hipertensi Pada Lansia (2012)
6 Perbedaan Laju Rahajeng E, Kohort- Studi ini merupakan bagian Mereka yang mengonsumsi
Kecepatan Terjadinya Kristanti D, prospektif dari Studi Kohort Penyakit natrium tinggi dan mengalami
Hipertensi Menurut Kusumawardani Tidak Menular yang dilakukan stres juga ditemukan lebih cepat
Konsumsi Natrium N (2016) di Kecamatan Bogor Tengah, mengalami hipertensi (Hazard
[Studi Kohort Kota Bogor Provinsi Jawa Rate 300 per 1000 orang per
Prospektif di Kota Barat, Indonesia. Populasi tahun), dibandingkan yang tidak
Bogor, Jawa Barat, studi 5890 orang dewasa stres (Hazard Rate 94 per 1000
Indonesia] berusia 25 tahun ke atas orang per tahun).
7 Determinan Obesitas Riyadina W, Kohor- Analisis lanjut dari subset data Perempuan pasca-menopause
pada Perempuan Pasca- Kodim N, prospektif penelitian kohor prospektif yang obese memiliki persentase
29

Tabel 5 Beberapa penelitian terkait stres dan tekanan darah dengan menggunakan SRQ (lanjutan)
Desain
No Judul Peneliti Sasaran Kesimpulan
Penelitian
Menopause di Kota Madanijah S Studi Kohor Faktor Risiko lebih tinggi mengalami
Bogor Tahun 2014 (2017) PTM periode pemantauan 2 hipertensi tidak terkendali, DM
tahun dan PJK, tetapi tidak untuk
faktor stres.
8 Faktor Risiko Dominan Ghani et al. Cross Analisis Lanjutan Riskesdas Faktor risiko penyakit jantung
Penyakit Jantung (2016) sectional 2013 koroner adalah hipertensi,
Koroner di Indonesia gangguan mental emosional,
diabetes melitus, stroke, usia
≥40 tahun, kebiasaan merokok,
perempuan, tingkat pendidikan
rendah, obesitas sentral, dan
tingkat sosial ekonomi rendah
dengan ORadjusted berkisar
dari 1.30 hingga 10.09.
9 Faktor yang Sihombing Cross Analisis Lanjutan Riskesdas Faktor risiko hipertensi pada
Berhubungan dengan (2017) sectional 2013 yang berumur 18 tahun penduduk DM adalah kelompok
Hipertensi pada atau lebih yang terpilih umur 45 tahun atau lebih,
Penduduk Indonesia sebagai subjek biomedis gangguan mental emosional,
yang Menderita obesitas sentral,
Diabetes Melitus (Data hiperkolesterolemia dan
Riskesdas 2013) obesitas umum.

29
30

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Preuss et al. (2000) menjelaskan bahwa ketahanan pangan dan gizi


memiliki empat pilar utama, yaitu ketersediaan, keterjangkauan atau akses, utilitas
dan keberlanjutan. Akses pangan merupakan hal yang sangat penting untuk
menggambarkan bagaimana seseorang dapat memenuhi kebutuhan pangan yang
bisa diambil dari segi sosio-ekonomi. Beberapa diantaranya adalah status
pendidikan dan pengeluaran pangan. Pendidikan merupakan faktor penting
individu untuk proses penguatan ketahanan pangan seseorang (FAO, IFAD, WFP,
2015). Perkiraan proporsi pengeluaran pangan menjadi ukuran yang penting
karena penduduk miskin cenderung untuk membelanjakan pengeluarannya pada
pangan (Smith et al. 2006).
Proses yang terjadi setelah aksesibilitas terganggu pada pilar ketahanan
pangan dan gizi, maka selanjutnya adalah dimensi utilitas, yang menggambarkan
perilaku individu dalam penggunaan pangan yang ada untuk dapat dimanfaatkan
tubuh. Dimensi ini dapat diukur dalam bentuk tingkat kecukupan gizi, baik gizi
makro dan mikro. Kualitas diet merupakan pengukuran yang akan
menggambarkan hubungan antara asupan makanan yang beragam dengan risiko
suatu penyakit (Kant 1996). Kualitas diet juga semakin sering sering digunakan
untuk meneliti hubungan epidemiologi antara asupan makanan dengan status
kesehatan terkait dengan gizi (Wirt dan Collins 2009). Pengukuran kualitas diet
saat ini telah berkembang dengan bermunculannya beberapa indeks penilaian
yang digunakan pada beberapa penelitian.
Pada dimensi penurunan kualitas yang terjadi dalam proses kerawanan
pangan, akan ada kecenderungan strategi individu untuk membatasi variasi jenis
makanan sehingga mengakibatkan zat gizi yang dikonsumsi menjadi kurang
berkualitas dan kurang beragam. Hal ini lah yang akan menjadi titik yaitu pada
wanita hipertensi dengan status kerawanan pangan yang berbeda akan memiliki
tingkat kecukupan gizi makro atau mikro yang berbeda pula. Salah satu
pengukuran kualitas diet yang berkaitan dengan hipertensi adalah skor DASH
(Fung et al. 2008). Beberapa penelitian membuktikan bahwa perbaikan pada
tekanan darah manusia dapat terjadi saat pola konsumsi menggambarkan pola diet
DASH. Adanya zat gizi pemicu hipertensi yang bersifat defisiensi atau melebihi
kebutuhan tubuh individu rawan pangan akan menjadi fenomena yang menarik
untuk dibahas.
Setelah tingkat penurunan kualitas dan keberagaman diet makanan yang
bisa menjadi titik poin terjadinya hipertensi, bila kerawanan pangan individu tidak
diatasi, maka individu akan masuk ke dalam tingkat kerawanan yang lebih parah
yaitu kelaparan akibat penurunan jumlah dan frekuensi makan hingga tidak makan
seharian atau lebih dari satu hari. Hal ini yang bisa memungkinkan fenomena
hipertensi pada individu rawan pangan dapat terjadi, karena mereka melalui
proses riwayat pola makan dengan kualitas diet yang rendah pada periode
sebelumnya. Selain konsumsi makanan, beberapa hal yang dapat menjadi pemicu
adanya hipertensi bagi kelompok rawan pangan adalah riwayat penyakit individu,
riwayat penyakit keluarga, umur, aktivitas fisik, penggunaan estrogen dan
kebiasaan merokok (Kemenkes 2014).
31

Spruill (2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara paparan kronis


dari stres psikososial yang berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi.
Beberapa diantaranya adalah stres karena pekerjaan, kesendirian, dan rendahnya
status sosio-ekonomi. Jones (2017) dengan analisis global 149 negara,
menyatakan bahwa rawan pangan berhubungan dengan kesehatan mental yang
buruk dan keadaan stres psikososial. Penggunaan alat ukur FIES juga
memasukkan variabel kecemasan sebagai pengalaman awal dari kerawanan
pangan (FAO 2013). Berdasarkan penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009)
bahwa penderita hipertensi lebih banyak terjadi pada kelompok yang stres
emosional daripada yang tidak. Kerangka pikir telah dijabarkan dalam Gambar 2.

Karakteristik Sosio-ekonomi

Status Kemiskinan Umur Lama Pengetahuan


Pendidikan
Status Kerawanan
Pangan

Status Kualitas
Gangguan Diet
Mental
Emosional

Hipertensi

Gambar 2 Kerangka pemikiran analisis status kerawanan pangan dan kualitas diet
pada wanita hipertensi di perdesaan
32

4 METODE

Desain, Tempat dan Waktu

Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional, yaitu


pengamatan terhadap variabel yang diduga menjadi faktor dan terpengaruh
dilakukan sekaligus pada waktu yang bersamaan, seperti penggunaan recall untuk
menangkap kejadian 2 hari pola makan, SRQ yang bersifat sementara, serta
pertanyaan-pertanyaan yang hanya menggambarkan saat di lapangan (bukan yang
menggali sebelum terjadinya hipertensi pada subjek). Populasi dalam keadaan
sehari-hari sering kali memiliki tekanan darah yang beragam atau heterogen,
maka dari itu agar semua sifat dapat terwakili maka populasi terlebih dahulu
dibagi menjadi beberapa strata (stratified), berupa hipertensi, prahipertensi, dan
normal. Subjek yang digunakan adalah responden dengan tekanan darah
hipertensi dan normal. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2017.
Responden tergabung dalam penelitian induk berjudul “Healthy Diet Indicator,
Diet Lemak dan Garam, Profil Lipid, dan Risiko Hipertensi pada Wanita Sunda
dan Minangkabau di Daerah Perdesaan” yang mendapatkan bantuan dana hibah
oleh Neys-van Hoogstraten Foundation (NHF). Lokasi penelitian ini berada di
perdesaan yang ada di Kabupaten Purwakarta, tepatnya di Desa Pondok Bungur,
Kecamatan Pondok Salam, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia.
Kabupaten Purwakarta merupakan daerah yang menjaga bentukan bangunan khas
Sunda. Pemilihan Kecamatan dan Desa yang digunakan dalam penelitian
diperoleh berdasarkan diskusi singkat dengan struktur pemerintah setempat untuk
memastikan bahwa daerah penelitian dapat menjadi representasi dari suku Sunda
yang memang memiliki pola makan asin.

Jumlah dan Teknik Penarikan Subjek

Kriteria inklusi berupa subjek merupakan wanita dewasa hipertensi dan


normal yang juga ikut serta dalam induk penelitian, berusia 35-55 tahun, asli atau
sudah lama tinggal di daerah penelitian, untuk hipertensi dalam kategori ≥140/90
mmHg dalam dua kali pengukuran, dan bersedia menjadi responden wawancara
sekaligus melakukan pemeriksaan kesehatan. Kriteria eksklusi meliputi wanita
dengan lingkar lengan yang di luar kemampuan alat hipertensi untuk mengukur
(terlalu gemuk), tekanan darah sistol >165, wanita hamil, dan sedang menjalani
hari khusus saat pengukuran seperti berpuasa. Seluruh wanita yang berusia 35-55
tahun merupakan kerangka sampel penelitian. Data kerangka sampel didapatkan
dari Kartu Tanda Penduduk yang dimiliki oleh masing-masing calon sampel.
Calon sampel dalam populasi dibagi menjadi tiga kelompok tekanan darah, yaitu
tekanan darah normal, pre-hipertensi, dan hipertensi. Penelitian ini menggunakan
kelompok hipertensi dan normal untuk melihat adanya perbedaan antara dua
kelompok tekanan darah yang berlawanan dan menghindari adanya bias.
Pengkategorian hipertensi apabila rata-rata dari dua kali pengukuran tersebut
masuk dalam kategori hipertensi menurut The Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure (2003) yaitu ≥140/90 mmHg. Apabila sistol sudah
33

memasuki di atas ≥140 mmHg, maka dimasukkan dalam kelompok hipertensi.


Setelah skrining pada kerangka subjek dilakukan, maka akan didapatkan calon
responden dan kembali dilakukan skrining tekanan darah kedua pada waktu yang
berbeda. Skrining kedua dilakukan kembali untuk menghindari bias pengukuran
hipertensi sementara saat skrining awal.
Perhitungan jumlah minimum responden menggunakan basis pendekatan
prevalensi kejadian pada satu kelompok, yaitu hipertensi. Berdasarkan rumus
perhitungan Lwanga and Lemeshow (1991), maka jumlah responden untuk kedua
populasi ditentukan berdasarkan prevalensi kejadian hipertensi. Laporan Riset
Kesehatan Dasar tahun 2013 menjelaskan bahwa prevalensi hipertensi usia
dewasa ≥ 18 tahun di Jawa Barat adalah 29,4% (Kemenkes 2013). Selang
kepercayaan yang digunakan 90% dengan presisi mutlak 10%.

Keterangan:
n1 = jumlah subjek atau responden hipertensi
n2 = jumlah subjek atau responden normal
Z = nilai z tabel
P = proporsi subyek hipertensi
d = presisi mutlak (tingkat ketepatan yang dikehendaki)

Total penelitian ini menggunakan 143 subjek (71 normal dan 72


hipertensi) yang merupakan penyaringan dari 150 subjek penelitian induk (75
normal dan 75 hipertensi). Terdapat empat subjek tidak mengikuti tes kesehatan
dan tiga orang secara otomatis dianggap missing data saat olah data FIES, karena
subjek menjawab “tidak tahu” sedangkan pengolahan data FIES mengharuskan
data dikotomi “ya/tidak”.

Tahapan Penelitian

Lembar persetujuan etik penelitian ini bersamaan dengan pengajuan etik


induk penelitian. Sebelum pengambilan data dilakukan di lapangan, diadakan
rekrutmen enumerator yang sesuai dengan kompetensi gizi. Hal ini dilakukan
untuk mengontrol data di lapangan. Pemilihan responden diambil secara quota
sampling, artinya teknik pengambilan subjek berdasarkan jumlah tertentu, secara
proporsional dari masing-masing sub-populasi atau teknik untuk menentukan
34

subjek dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota)
yang diinginkan.
Skrining diawali dengan pengukuran tekanan darah. Pengukuran tekanan
darah dilakukan minimal dua kali dalam satu waktu dan memberikan saran
kepada calon sampel untuk mengatur nafasnya dengan duduk istirahat sesaat, hal
ini dilakukan sebagai upaya menghindari adanya bias hipertensi sesaat. Setelah
dilakukan pengukuran tekanan darah, tahap skrining selanjutnya adalah
memastikan bahwa calon sampel bersedia untuk diwawancarai dan melakukan tes
kesehatan sesuai prosedur penelitian.
Total sampel sebelum jadwal tes kesehatan yang terdata adalah 150
sampel, dengan rincian 75 normal dan 75 hipertensi. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan kesehatan lalu tereduksi, sehingga total sampel menjadi 73 normal
dan 73 hipertensi. Skrining kembali dilakukan dengan meninjau jawaban
pertanyaan FIES oleh subjek, sehingga didapatkan 71 normal dan 72 hipertensi.
Skema pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 3. Pada tahap skrining
pertama terdapat 159 subjek dengan peukuran pertama terdeteksi sebagai calon
hipertensi dengan tekanan dara ≥140/90. Lalu dipilih 75 hipertensi dengan
mengeluarkan responden dengan tekanan darah >165 karena diduga akan
mempengaruhi hasil. Setelah itu dilakukan pengukuran kedua, bila ada responden
di luar kriteria peneliti atau tidak bersedia, maka langsung mengukur kembali
wanita yang memiliki tekanan darah ≥165 namun dipastikan kembali ≥140/90,
serta wanita yang belum datang saat pengukuran pertama berlangsung, maka
diukur saat pengukuran kedua dan dalam keadaan tenang. Sebanyak 35 orang dari
75 calon sampel hipertensi di awal pengukuran harus diganti pada pengukuran
kedua.
Pengukuran hipertensi sebagai skrining di lapangan menggunakan
automatic blood pressure monitor dari Omron. Skrining pertama dilakukan di
awal penelitian untuk mengetahui populasi hipertensi dan non hipertensi. Lalu
skrining kedua dilakukan untuk memastikan bahwa calon responden tidak
menderita hipertensi dan non hipertensi sementara, sehingga skrining dilakukan
lebih dari satu waktu. Pengumpulan data diet pangan akan menggunakan bantuan
Buku Foto Makanan yang digunakan oleh Survei Diet Total Kementerian
Kesehatan tahun 2014. Pengolahan dan analisis data dilakukan oleh peneliti.
35

Pemilihan Desa

Sampling frame

Tahap Skrining
Wanita usia 35-55 tahun berdasarkan 2 kali pengukuran tekanan darah.
Kelompok Normal = 75 orang
Kelompok Hipertensi = 75 orang

Tahap Wawancara
Kelompok Normal = 75 orang
Kelompok Hipertensi = 75 orang

Tahap Tes Kesehatan


Kelompok Normal = 73 orang
Kelompok Hipertensi = 73 orang

Tahap Olah Data FIES


Kelompok Normal = 71 orang
Kelompok Hipertensi = 72 orang

Gambar 3 Tahapan pengambilan subjek penelitian analisis status kerawanan


pangan dan kualitas diet pada wanita hipertensi di perdesaan

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer. Adapun data primer


meliputi karakteristik sosio-ekonomi (umur, lama pendidikan, pengetahuan, dan
status penduduk miskin), status kerawanan pangan, skor kualitas diet, status stres
atau gangguan mental emosional, dan status hipertensi responden. Status
hipertensi diambil dengan pengukuran sesuai protokol, yaitu menggunakan alat
pengukur tensi digital dan setiap responden diukur minimal 2 kali pengukuran.
Jika hasil pengukuran kedua selisih ≥ 10 mmHg dari pengukuran pertama, maka
dilakukan pengukuran ketiga saat itu. Lalu diambil rerata dari dua pengukuran
terdekat (Kemenkes 2013). Cara pengumpulan data secara rinci diuraikan pada
Tabel 6.
36

Tabel 6 Variabel dan cara pengumpulan


No Variabel Cara pengumpulan
1 Karakteristik sosio-ekonomi Kuesioner terstruktur
2 Status kerawanan pangan Kuesioner terstruktur Food Insecurity
Experience Scale (FAO 2015)
3 Status gangguan mental Self Reporting Questionnaire (SRQ)-20
emosional (Kemenkes)
4 Status kualitas diet Recall 2 x 24 jam diolah dalam
Nutrisurvey
5 Status hipertensi Automatic blood pressure monitor

Pengolahan dan Analisis Data

Data konsumsi pangan dari recall direkap dengan bantuan software


Nutrisurvey. Nutrisurvey yang digunakan adalah program yang sama dengan
induk penelitian. Rujukan nilai zat gizi yang ada pada program tersebut berupa
Daftar Komposisi Bahan Makanan, serta tambahan dari India dan Thailand untuk
database polyunsaturated fatty acid, fiber, free sugar, dan saturated fatty acid.
Makanan jadi yang tidak ada standar bahan makanannya, menggunakan bahan
makanan dominan dari cara pembuatan konvensional. Setelah konsumsi pangan
diolah, maka dilakukan perhitungan persentase kontribusi zat gizi terhadap energi
sesuai dengan komponen DASH Like Diet. Kebutuhan zat gizi dirujuk dari
Angka Kecukupan Gizi tahun 2013 sesuai Permenkes nomor 41 tentang Pedoman
Gizi Seimbang dan beberapa literatur. Kelompok umur dibedakan menjadi
kategori 35-44 tahun (masa dewasa menengah) dan 45-55 tahun (masa dewasa
lanjut) (Brown 2011). Selain itu, untuk mengetahui apakah konsumsi pangan yang
dijalankan sesuai dengan kaidah pencegahan hipertensi, maka diperlukan analisis
menggunakan Dietary Approach to Stop Hypertension (DASH) Like Diet.
Data variabel yang telah diperoleh diolah dan dianalisis. Secara spesifik,
data yang dianalisis merupakan data survey dari kuesioner umum, kuesioner
recall, kuesioner Food Insecurity Experience Scale (FIES), dan kuesioner Self
Reporting Questionnaire (SRQ)-20. Pengolahan data kerawanan pangan dalam
hal ini adalah FIES, menggunakan software R untuk kemudian dilihat
reliabitasnya terlebih dahulu, sedangkan pengkategorian tingkat kerawanan
pangan berdasarkan bentukan Dummy Variable oleh FAO (2013).
37

Tabel 7 Pengategorian variabel penelitian


No Variabel Kategori Sumber
1. Umur responden 1. Dewasa Menengah (35-44 Brown (2011)
tahun)
2. Dewasa Lanjut (44-55 tahun)
2. Lama Pendidikan 1. Belum Tamat SD (<6 tahun) Sebaran data
2. Tamat SD (≥6 tahun)
3. Pengetahuan 1. Kurang Sebaran data
2. Cukup
3. Baik
4. Status kemiskinan 1. Di bawah Garis Kemiskinan BPS (2017)
(Rp 325 607.00)
2. Di atas Garis Kemiskinan
5. Kerawanan pangan 1. Tidak ada indikasi rawan FAO (2013)
individu (Dummy pangan (Tahan) (nilai skor 0)
Variable) 2. Ada indikasi rawan pangan
(Rawan pangan ringan) (nilai
skor 1-3)
3. Rawan pangan sedang (nilai
skor 4-6)
4. Rawan pangan berat (nilai skor
7-8)
6. Gangguan mental 1. ≥6 (Gangguan mental WHO (1994)
emosional emosional)
2. <6 (Tidak gangguan mental
emosional)
7. Kualitas Diet 1. >4.5 (baik) Rahadiyanti et al.
2. <4.5 (rendah) (2015)
8. Tekanan Darah 1. Normal ≤120/80 JNC (2003)
2. Hipertensi ≥140/90,
diutamakan pada tekanan sistol

Analisis data dilakukan dengan menggunakan data sebaran, uji Chi-


Square, Chi Square Multi Table, Regresi Logistik dan uji beda Mann-Whitney.
Penelitian ini telah mendapat surat kelaikan etik yang termasuk dalam penelitian
induk dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro Nomor 259/EC/FKM/2017. Analisis data dan pengolahan
lainnya menggunakan perangkat program computer Microsoft Excel 2010
Software R, dan Software Statistical Program For Social Science (SPPS) versi 16.

Food Insecurity Experience Scale (FIES)


FIES merupakan alat yang mengukur keparahan kondisi rawan pangan di
tingkat individu maupun rumah tangga, yang berasal dari respon jawaban ya atau
tidak terhadap delapan pertanyaan terkait akses kecukupan makanan. Alat ukur ini
menggunakan pengukuran statistik yang biasa digunakan untuk mengukur sesuatu
yang tidak dapat diukur seperti kepribadian, keadaan sosial, psikologis, dan
kondisi yang berkaitan dengan kesehatan. FIES bukan merupakan pengukuran
yang subjektif, hal ini dikarenakan hasil delapan pertanyaan tersebut dianalisis
38

secara utuh menjadi sesuatu yang terukur dan membentuk prevalensi kerawanan
pangan (moderate dan severe) suatu populasi, dengan menggunakan metode
statistik yang dapat mengestimasi kesalahan.
Kebaharuan dari FIES adalah alat ukur ini dapat menghasilkan prevalensi
siapa yang dilanda kerawanan pangan dengan validasi dan reliabilitas yang dapat
diukur, sehingga dapat dibandingkan antar negara. Pendekatan yang digunakan
dalam analisis FIES adalah berdasarkan Item Response Theory (IRT), cabang
statistik yang memudahkan penggunanya untuk mengukur sesuatu yang tidak
dapat terukur (unobservable traits) melalui hasil survei. IRT terdiri dari beberapa
model, yaitu FIES secara spesifik menggunakan Rasch model, yang biasa
digunakan di bidang kesehatan, pendidikan, dan psikologi.
Data FIES dianalisis melalui tiga tahap, yaitu estimasi parameter, validasi
statistik, dan kalkulasi pengukuran kerawanan pangan. Validasi statistik
mengukur kualitas data FIES yang terkumpul dengan menguji konsistensi
jawaban menggunakan asumsi Rasch model. Analisis ini memperlihatkan: 1) baik
tidaknya setiap pertanyaan diterima oleh responden sesuai dengan yang
seharusnya; 2) pola respon yang sangat beragam dan tidak menentu; 3) pasangan
pertanyaan yang mungkin berlebihan; dan 4) proporsi keberagaman populasi.
Status prevalensi kerawanan pangan bisa didapatkan dari survei, maka hasil dari
survei perlu dibandingkan dengan ambang batas standar yang menggambarkan
tingkat kerawanan pangan. Ambang batas standar global FIES adalah pada
pertanyaan ATELESS dan WHLDAY, yaitu masing-masing mencerminkan tingkat
kerawanan pangan moderate dan severe. Hasil survei yang terkumpul diolah
dengan software R. Kategori yang dihasilkan adalah tahan pangan, rawan pangan
tingkat moderate dan severe, dan rawan pangan tingkat severe (FAO).
Uji reliabilitas diperlukan setelah mendapatkan data dari lapangan untuk
memastikan bahwa FIES dapat diterima dengan baik di populasi yang menjadi
sasaran. Bila nilai reliabilitas >0.7, maka memiliki arti bahwa hasil dari
pengambilan data dengan pertanyaan FIES dapat diolah lebih lanjut, karena
masyarakat yang menjadi responden dapat menerima maksud dari pertanyaan
yang diajukan. Salah satu hasil luaran dari pengolahan data FIES yang lainnya
berupa gambar plot yang memastikan keandalan tiap pertanyaan FIES dalam
lapangan. Hasil luaran prevalensi dari pengolahan data mentah pertanyaan FIES
merupakan prevalensi untuk populasi, tidak menggambarkan seorang individu
tersebut rawan pangan atau tahan pangan, sehingga untuk mendapatkan hubungan
status kerawanan pangan dengan hipertensi, dimana status kerawanan menjadi
variabel independen, maka menurut FAO (2013), perlu dibentuk dummy variable.
Meskipun dasar pengambilan data alat ukur ini adalah individu dengan
mengumpulkan data kelaparan individu, namun hasil yang didapatkan
menggambarkan populasi penelitian secara keseluruhan yang telah
mempertimbangkan nilai standar global, sehingga nilai tersebut dapat
dibandingkan (comparable) dengan negara lain. Penilaian FIES dibuat untuk
mengetahui hasil suatu daerah mencapai indikator SDG terkait akses pangan
untuk mencapai Zero Hunger and No One Left Behind.

Dietary Approach to Stop Hypertension (DASH) Like Diet


DASH Like Diet merupakan alat untuk mengukur sejauh mana kualitas
diet seseorang yang bertujuan untuk pencegahan terhadap penyakit hipertensi.
39

Banyak peneliti mengembangkan sistem skor DASH di luar negeri, namun hanya
satu yang ditemukan terpublikasi di Indonesia. Rahadiyanti et al. (2015)
melakukan penelitian pengukuran kualitas diet berdasarkan target zat gizi DASH
yang dikeluarkan oleh JNC (2006) seperti pada Tabel 2 bab sebelumnya,
kemudian batasan-batasan zat gizi ini diperbarui dengan data terbaru seperti
penggunaan AKG 2013 dan beberapa literatur lainnya, yang mana sebelumnya
batasan tersebut masih menggunakan AKG 2004, sehingga menjadi DASH Like
Diet dengan batasan zat gizi baru. Pengembangan ini menggunakan pedoman
DASH diet, beberapa pertimbangan keilmuan dan AKG Indonesia tahun 2004,
yaitu tujuan penelitian ini sebenarnya adalah untuk meneliti hubungan kualitas
diet DASH dengan risiko hipertensi pada wanita prediabetes. Setiap asupan zat
gizi yang memenuhi target DASH Like Diet diberi skor 1; pada target pertengahan
diberi skor 0.5; dan tidak memenuhi target diberi skor 0. Subjek penelitian
dikategorikan memenuhi asupan makan DASH Like Diet jika skor total lebih dari
atau sama dengan 4.5.

Self Reporting Questionnaire (SRQ)-20


Stres psikologis dinyatakan sebagai gangguan mental emosional, yaitu
suatu istilah yang digunakan sejak survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun
1995 untuk menilai status mental penduduk. Instrumen yang digunakan untuk
menilai gangguan mental emosional adalah self reporting questionnaire yang
terdiri dari 20 butir pertanyaan (SRQ-20). Kuesioner ini direkomendasikan oleh
World Health Organization (WHO) untuk digunakan di negara berkembang. Alat
ini mudah digunakan karena hanya memerlukan jawaban “ya“ atau “tidak”.
Subjek diindikasikan mengalami gangguan mental emosional apabila menjawab
“ya” paling sedikit 6 butir pertanyaan. Nilai batas pisah ini ditetapkan sesuai
penelitian sebelumnya yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan oleh Hartono (1995). Kementerian kesehatan juga membuat sebuah
forum dunia maya untuk kesehatan jiwa masyarakat dengan alamat http://sehat-
jiwa.kemkes.go.id. Pada alamat dunia maya tersebut, SRQ-20 telah dimasukkan
ke dalam sistem sehingga mudah diakses oleh masyarakat untuk mengetahui
kondisi stres masyarakat.

Definisi Operasional

Kerawanan pangan adalah kondisi apabila rumah tangga (anggota rumah


tangga) mengalami kurang gizi sebagai akibat tidak cukupnya ketersediaan
pangan (physical unavailability of food), dan/atau ketidak mampuan rumah
tangga dalam mengakses pangan yang cukup, atau apabila konsumsi
makanannya (food intake) berada dibawah jumlah kalori minimum yang
dibutuhkan (BKP). Tolak ukur kerawanan penelitian ini dilihat dari
pengalaman kelaparan secara individu melalui Food Insecurity
Experience Scale yang dikembangkan oleh Voice of the Hunger (FAO
2015) yang menggambarkan output kesulitan akses pangan.
Diet adalah pengaturan pola dan konsumsi makanan dan minuman yang dilarang,
dibatasi jumlahnya, dimodifikasi atau diperbolehkan dengan jumlah
tertentu untuk tujuan terapi penyakit yang diderita, kesehatan, atau
penurunan berat badan (PERSAGI 2009).
40

Kualitas diet diukur dengan menilai seberapa dekat pola makan dengan pedoman
diet yang ada dan seberapa beragam pilihan makanan yang termasuk
dalam kelompok makanan yang dikonsumsi (Wirt dan Collins, 2009).
Skor kualitas diet adalah hasil akumulasi skor masing-masing indeks skor DASH
Like Diet yang dikembangkan oleh Rahadiyanti et al. (2015).
Diet DASH adalah pola konsumsi yang didasarkan pada porsi jenis makanan atau
zat gizi tertentu yang dikhususkan untuk mencegah kenaikan tekanan
darah (JNC 2006).
Skor DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) adalah alat ukur untuk
penilaian kualitas diet yang menitikberatkan pada penyakit hipertensi,
yaitu komponennya sesuai dengan prinsip DASH Like Diet Rahadiyanti et
al. (2015).
Hipertensi adalah suatu kondisi ketika terjadi peningkatan tekanan darah secara
kronis, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan organ
serta akhirnya meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas (Purba
2016). Tekanan darah responden mencapai ≥ 140 90 mmHg dengan
menitikberatkan pada hipertensi sistol dan pengukuran rata-rata dari dua
kali pengukuran (Riskesdas 2013).
Subjek adalah responden atau penjawab (atas pertanyaan yang diajukan untuk
kepentingan penelitian) (KBBI). Responden dalam penelitian ini adalah
wanita dewasa berumur 35-55 tahun yang tinggal di area perdesaan di
Kabupaten Purwakarta yang memiliki tekanan darah kategori hipertensi.
Karakteristik sosio-ekonomi adalah informasi terkait responden yang meliputi
umur, pendidikan, pengetahuan, dan status kemiskinan.
Stres adalah reaksi seseorang baik secara fisik maupun secara psikis
apabila ada perubahan dari lingkungan yang mengharuskan seseorang
menyesuaikan diri.
Status gangguan mental emosional adalah penilaian status psikologis yang
didasarkan pada pengkategorian Self Reporting Questionnaire menurut
WHO (1994) (gangguan emosional atau tidak gangguan emosional).
Gangguan mental emosional adalah keadaan yang mengindikasikan seseorang
sedang mengalami perubahan psikologis (distres psikologik). Gangguan
ini dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu dan dapat pulih
seperti semula. Gangguan ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih
serius apabila tidak berhasil ditanggulangi (Kemenkes 2013).

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi

Penelitian dilakukan di Desa Pondokbungur, Kecamatan Pondok Salam,


Kabupaten Purwakarta. Kabupaten Purwakarta dipilih sebagai lokasi penelitian
karena dianggap merepresentasikan Jawa Barat. Berdasarkan Riskesdas tahun
2013, Provinsi Jawa Barat merupakan satu-satunya wilayah di Pulau Jawa yang
masuk dalam lima besar prevalensi hipertensi tertinggi melalui pengukuran pada
umur ≥18 tahun di Indonesia (29.4%). Menurut Profil Kesehatan Kabupaten
Purwakarta tahun 2014, hasil pemeriksaan tekanan darah yang tercatat terhadap
41

1970 penduduk berumur ≥45 tahun, menunjukan 83.58% menderita hipertensi


atau tekanan darah tinggi.

Sumber: Kecamatan Pondok Salam dalam Angka 2017 dan Google Map
Gambar 4 Peta Desa Pondokbungur, Kecamatan Pondoksalam, Kabupaten
Purwakarta
Desa Pondokbungur terletak di ketinggian 371 meter dari permukaan air
laut dengan tipologi desa berupa perbukitan di bagian selatan Kabupaten
Purwakarta (Gambar 4). Pada tahun 2016, luas lahan pertanian sawah sebesar 207
Ha, lahan pertanian non-sawah 34 Ha, dan lahan non pertanian sebesar 230 Ha.
Desa ini terdiri dari 16 RT dan 4 RW. Berdasarkan Kecamatan Pondoksalam
dalam Angka tahun 2017, pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk
desa sebagian besar merupakan kelompok tidak/belum tamat SD. Terdapat 1
tenaga medis berupa bidan dan 3 paraji yang terlatih. Sarana kesehatan terdapat 1
tempat bidan praktek dan 3 pos pelayanan terpadu (posyandu). Desa ini tidak
memiliki pasar, namun memiliki 17 toko, 5 warung/kedai makanan, dan 15
industri makanan dan minuman sebagai penggerak sarana ekonomi (BPS 2017).
Hal ini dapat menggambarkan bahwa sebagian besar penduduk Desa
Pondokbungur merupakan penduduk dengan mata pencaharian di bidang
pertanian dan perdagangan.

Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu kategori status tekanan darah yang


menggambarkan tingginya tekanan darah pada kelompok rentang tertentu.
Peningkatan tekanan darah di pembuluh darah secara kronis juga merupakan sifat
dari hipertensi. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika
dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama
organ-organ vital seperti jantung dan ginjal.
Kategori hipertensi dalam penelitian ini menyesuaikan dengan kategori
oleh JNC (2003), yaitu adanya tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg dengan dua kali pengukuran yang
mempunyai selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat atau tenang.
Pengukuran status tekanan menjadi salah satu syarat tahap skrining untuk
memastikan subjek menderita hipertensi. Pada tahap skrining pertama, subjek
42

telah mengetahui kondisi tekanan darah yang dimiliki. Tahap skrining kedua
dilakukan di waktu yang berbeda untuk mengkoreksi kembali keadaan hipertensi
demi memastikan bahwa kondisi tekanan darah sebelumnya bukan hipertensi
sementara.
Subjek yang diambil dalam penelitian merupakan subjek yang juga masuk
dalam penelitian induk yang berjudul “Healthy Diet Indicator, Diet Lemak dan
Garam, Profil Lipid, dan Risiko Hipertensi pada Wanita Sunda dan Minangkabau
di Daerah Perdesaan”. Pada tahap skrining, didapatkan 75 subjek hipertensi dan
75 subjek normal. Jumlah ini kemudian tereduksi pada saat tahap pelaksanaan
penelitian sebanyak 2 subjek dari kelompok hipertensi dan 2 subjek dari
kelompok tekanan darah normal karena subjek tidak mengikuti pemeriksaan
kesehatan sehingga antropometri subjek tidak ada dalam data. Selain itu, pada saat
pengolahan tahap entry data, ditemukan bahwa sebanyak 3 subjek (1 hipertensi
dan 2 normal) menjawab tidak tahu pada pertanyaan kuesioner FIES (pengolahan
data FIES membutuhkan jawaban dikotomi ya/tidak), maka subjek juga tersaring
kembali. Sebaran individu menurut status tekanan darah pada penelitian ini
disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran individu menurut status tekanan darah
Subjek
Status tekanan darah
Jumlah %
Normal (≤120/80) 71 49.65
Hipertensi (≥140/90) 72 50.35

Sebaran subjek menurut karakteristik sosio-ekonomi untuk tiap kelompok


status normal dan hipertensi dijabarkan pada Tabel 9. Kelompok umur dewasa
dibagi menjadi 2 bagian, yaitu dewasa menengah (25-44 tahun), dan dewasa
lanjut (45-65 tahun). Hasil sebaran tersebut menunjukkan bahwa subjek dewasa
lanjut (45-55 tahun) lebih banyak yang hipertensi daripada normal (35 orang),
sedangkan subjek dengan kelompok umur dewasa menengah (35-44 tahun) lebih
banyak berstatus tekanan darah normal (53 orang). Baik pada kelompok normal
dan hipertensi, diketahui bahwa gambaran subjek penelitian secara umum adalah
lebih banyak berpengetahuan cukup (normal 54.93%, hipertensi 55.56%), telah
menyelesaikan lama pendidikan lebih dari enam tahun (normal 80.28%, hipertensi
73.61%), dan di atas garis kemiskinan (normal 81.69%, hipertensi 81.94%).
43

Tabel 9 Perbedaan karakteristik sosio-ekonomi menurut status hipertensi


Normal (71) Hipertensi (72)
Variabel p
n % n %
Umur (th) 0.001*
Dewasa menengah (35-44) 53 74.6 37 48.6
Dewasa lanjut (45-55) 18 25.4 37 51.4
Pengetahuan 0.886
Kurang (< 6, Kuartil1) 18 25.4 17 23.6
Cukup (6-8) 39 54.9 40 55.6
Baik (> 8, Kuartil 3) 14 19.7 15 20.8
Lama Pendidikan (th) 0.346
Tidak Tamat SD (<6) 14 19.7 19 26.4
Tamat SD (>6) 57 80.3 53 73.6
Kategori Penduduk Miskin 0.969
(Rp/kapita/bl)
Di bawah Garis Kemiskinan 13 18.3 13 18.1
Di atas Garis Kemiskinan 58 81.7 59 81.9

Beberapa variabel sosio-ekonomi seperti umur (Rahajeng & Tuminah


2009; Fitria 2016; Indrawati 2009; Julianty 2010), pengetahuan (Tarigan et al.
2018; Wahyuni & Susilowati 2018), pendidikan (Rahajeng & Tuminah 2009;
Fitria 2016; Indrawati 2009; Julianty 2010), dan status kemiskinan (Julianty 2010)
telah diketahui menjadi prediktor yang kuat terhadap kejadian hipertensi di
beberapa daerah di Indonesia. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan antara variabel terkait status soio-ekonomi berupa
pengetahuan, lama pendidikan, dan status kemiskinan terhadap status hipertensi,
kecuali pada variabel kelompok umur.
Hasil tersebut didukung oleh penelitian Angkawijaya (2016) yang
menyatakan bahwa pengetahuan tidak berhubungan signifikan terhadap terjadinya
hipertensi. Penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) menyatakan bahwa tingkat
pengeluaran per kapita tidak berhubungan dengan kejadian hipertensi, begitu juga
dengan Indrawati et al. (2009) mengungkap bahwa status ekonomi bukan menjadi
faktor resiko terjadinya hipertensi. Busingye et al. (2014) dalam publikasi meta-
analisisnya menjelaskan bahwa hubungan status ekonomi dengan hipertensi di
daerah perdesaan pada negara berpendapatan menengah dan bawah berbeda-beda
tergantung dari letak geografinya. Letak geografi akan memengaruhi pola
masyarakat bertindak dalam kehidupan sehari-hari, karena adanya pola
kesejahteraan yang meningkat dan arus urbanisasi yang memengaruhi gaya hidup,
pola makan, dan obesitas sehingga meningkatkan resiko hipertensi di semua
kalangan (Colhoun et al. 1998; Lima et al. 2013).
Tabel 9 juga menunjukkan bahwa umur berpengaruh terhadap kejadian
hipertensi (p=0.001, p<0.05). Analisis lebih lanjut untuk mengetahui besaran
resiko pengaruh umur terhadap status hipertensi dijabarkan dalam Tabel 10.
Tabel 10 Hubungan umur dengan status hipertensi
Normal Hipertensi
Variabel p OR 95%CI
n % n %
Dewasa menengah (35-44 th) 53 74.6 35 48.6
0.001 3.113 1.535-6.311
Dewasa lanjut (45-55 th) 18 25.4 37 51.4
p: p-value
OR: Odd Ratio
44

Hasil Tabel 10 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara umur


dengan status hipertensi dengan OR 3.113 (95% CI 1.53-6.31). Hal ini
memberikan arti bahwa wanita dengan umur 44-55 tahun (dewasa lanjut) lebih
berisiko 3.113 kali lipat daripada umur 35-44 tahun (dewasa menengah).
Umur menjadi satu-satunya faktor prediktor dalam penelitian ini.
Bertambahnya umur pada wanita dewasa menengah dalam penelitian ini (35-44
tahun) menuju umur dewasa lanjut (45-55 tahun) merupakan salah satu tanda
adanya perubahan biologis dalam tubuh, seperti keadaan menopause. Wanita
menopause merupakan populasi yang memiliki risiko ganda karena terjadi
penurunan hormon estrogen dan pertambahan umur. Pada pramenopause,
perempuan mulai kehilangan hormon estrogen sedikit demi sedikit yang selama
ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses yang terjadi secara kronik
dan terus menerus ini akan menyebabkan jumlah hormon estrogen semakin
berkurang secara alami bersamaan dengan peningkatan umur yang umumnya
mulai terjadi pada perempuan umur 45-55 tahun. Penambahan umur yang terjadi
pada wanita post menopause juga akan meningkatkan aktivasi simpatetik dan
resiko depresi pada wanita (Lima et al. 2013).

Kerawanan Pangan

Menurut UU Nomor 18 tahun 2012, masyarakat rawan pangan adalah


masyarakat di suatu wilayah yang memiliki ketidakmampuan untuk memperoleh
Pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan aktif, termasuk di dalamnya
masyarakat miskin, masyarakat yang terkena bencana, dan/atau masyarakat yang
berada di kondisi geografis yang tidak terjangkau akses pangan. Definisi tersebut
menggambarkan bahwa dimensi hidup sehat dan aktif merupakan dampak
kerawanan pangan yang dapat disebabkan oleh sulitnya akses pangan suatu
wilayah.
Food Insecurity and Experience Scale (FIES) merupakan alat ukur
kerawanan pangan pada individu dengan fokus pada dimensi keterjangkauan atau
aksesibilitas pangan seseorang. Alat ukur ini dikembangkan oleh The Voice of
Hunger di bawah naungan FAO sebagai indikator untuk menilai kemajuan
Sustainable Development Goals poin kedua tentang kelaparan.
FIES menggunakan delapan pertanyaan kualitatif untuk mengukur indikasi
adanya kerawanan pangan yang disebabkan oleh sulitnya akses pangan individu.
Alat ukur ini mendeteksi di tingkat individu berdasarkan pengalaman kelaparan
yang pada dasarnya berbeda-beda tiap orang. Konsep kelaparan kronis seringkali
dikaitkan dengan konsep ketahanan dan kerawanan pangan, oleh karena itu FIES
yang menggunakan konsep pengalaman kelaparan di tingkat individu dapat
digunakan juga sebagai alat ukut untuk mengindikasikan keadaan populasi terkait
status kerawanan pangan di suatu wilayah. Dimensi kelaparan dalam konteks
indikasi rawan pangan bersifat secara kronis, sehingga pertanyaan FIES yang
bersifat kualitatif ini secara umum digunakan untuk melihat pengalaman invidu
selama 12 bulan ke belakang untuk menghindari adanya bias pada periode musim
tertentu.
Dimensi pengalaman kelaparan secara kualitatif ditarik dari adanya
rasanya kekhawatiran akan pangan hingga tingkat dimana tidak makan sama
sekali dalam satu hari. FAO (2003) mendefinisikan kelaparan sebagai
45

“ketidakmampuan memenuhi kebutuhan energi (secara rata-rata sepanjang tahun)


untuk mempertahakan aktifitas yang produktif dan mempertahankan berat badan
sehat”. Kennedy (2003) juga mendefinisikan kelaparan sebagai perasaan tak
tenang atau gelisah yang disebabkan oleh kurangnya akses terhadap pangan.
Delapan pertanyaan FIES merupakan pertanyaan kontinyu atau saling berkaitan.
Pertanyaan pertama melambangkan kekhawatiran (worried), pertanyaan kedua
tentang perubahan makanan yang sehat dan bergizi (kualitas) (healthy),
pertanyaan ketiga tentang penurunan jenis makanan atau keberagaman (fewfoods),
pertanyaan keempat tentang penurunan frekuensi makan (skipped), pertanyaan
kelima tentang penurunan porsi makan (ateless), pertanyaan keenam tentang
keadaan makanan di tingkat rumah tangga yang habis (runout), pertanyaan
ketujuh tentang keadaan lapar dan tidak makan (hungry), pertanyaan terakhir
mengenai tidak makan sama sekali dalam sehari atau lebih (whlday).
Pertanyaan FIES pada dasarnya merupakan pertanyaan dengan bahasa
Inggris. Namun, sebagai salah satu alat ukur SDGs yang digunakan secara global,
untuk memudahkan persepsi antara satu negara dengan negara lain, maka The
Voice of Hunger juga mempublikasikan terjemahan berbagai bahasa di masing-
masing negara, termasuk Bahasa Indonesia. Pertanyaan yang ada di kuesioner
diajukan pada subjek atau responden melalui enumerator dengan probing yang
telah melalui tahap pelatihan dan uji coba sebelumnya sehingga tetap pada satu
pemahaman. Setiap pertanyaan akan diawali dengan pertanyaan yang menekankan
pada pengalaman 12 bulan ke belakang asupan makan subjek, Sekarang saya
akan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai makanan. Dalam 12 BULAN
terakhir, apakah ada saat di mana__________?, lalu dilanjutkan dengan delapan
pertanyaan inti lainnya.
Data FIES diolah dengan menggunakan software R berdasarkan pola Item
Response Theory (IRT). IRT merupakan metodologi yang digunakan untuk
menganalisis respon suatu survey atau pertanyaan. Salah satu model dari IRT
yang digunakan dalam menganalisis FIES adalah Rasch model. Rasch model
merupakan model statistik yang digunakan untuk mengukur kesesuaian data
survei dengan membangun sebuah skala berdasarkan pertanyaan yang dibuat,
sehingga dapat membandingkan performa skala pada populasi lain dan konteks
survey yang berbeda.
Data yang diolah dalam Software R merupakan pengolahan data rawan
pangan FIES dengan menggunakan jumlah subjek yang didapat. Jumlah subjek
yang terkumpul di awal adalah 150 orang, namun ada drop out dikarenakan 4 data
antropometri tidak ada, sehingga total subjek asli menjadi 146 orang. Data diolah
menggunakan software R, dan diketahui bahwa terdapat 3 subjek missing (2.05%
dari total subjek asli), karena ketiga subjek tersebut menjawab salah satu
pertanyaan dengan jawaban “tidak tahu” (2 pada kategori worried dan 1 pada
kategori runout), sedangkan pengolahan FIES menghendaki jawaban yang
seluruhnya bersifat dikotomi “ya/tidak”, sehingga secara otomatis data diolah
secara komputerisasi menjadi 143 subjek. Tabel 11 menjelaskan tentang nilai item
parameter dan fit statistic dari pengolahan data FIES menggunakan software R.
46

Tabel 11 Item Parameter dan Fit Statistic data penelitian


Proporsi Jumlah
Item Standar
Item Infit Outfit respon respon
Parameter error
afirmatif afirmatif
WORRIED -2.51269 0.350468 0.959835 0.647331 45.89041 67
HEALTHY -1.38536 0.309653 1.020419 0.969926 36.9863 54
FEWFOOD -1.30972 0.309303 0.897155 0.800338 36.9863 54
SKIPPED 0.58985 0.349188 0.894487 0.709669 21.91781 32
ATELESS -0.4317 0.318626 0.986292 0.888211 28.08219 41
RUNOUT 0.908133 0.364106 0.920131 0.772119 18.49315 27
HUNGRY 1.516963 0.405872 0.939809 1.025922 14.38356 21
WHLDAY 2.624538 0.555808 1.323859 6.975425 10.27397 15

Parameter merupakan sejumlah angka yang mencirikan sesuatu dari


sebuah populasi dan bisa diestimasikan berdasarkan data observasi. Dalam FIES,
parameter menggambarkan tingkat keparahan kerawanan pangan, baik dari setiap
pertanyaan atau dari setiap responden. Item parameter menggambarkan tingkat
keparahan dari masing-masing pertanyaan yang akan menggambarkan proses
pengalaman kelaparan dan rawan pangan responden. Responden parameter
menggambarkan bagaimana respon dari responden terhadap pertanyaan yang akan
menggambarkan pola data
Item parameter diestimasikan berdasarkan pola respon secara keseluruhan
dari semua responden. Pertanyaan yang menggambarkan pengalaman ringan akan
memiliki nilai parameter yang lebih kecil, dan sebaliknya pertanyaan dengan
tingkat keparahan berat akan memiliki nilai parameter yang lebih besar. Tingkat
keparahan relatif ditentukan berdasarkan pemahaman semakin parah nilai suatu
pertanyaan, semakin sedikit responden yang akan merespon pertanyaan tersebut.
Tidak ada interpretasi absolut dari nilai angka parameter, namun hanya
menggambarkan indikasi tingkat keparahan relatif tiap pertanyaan terhadap skala
pengukuran. Skala pengukuran ini spesifik terhadap aplikasi tertentu dari FIES
pada populasi contoh, maka dari itu nilai parameter tidak bisa dibandingkan
dengan parameter yang berasal dari dataset lain.
Berdasarkan Tabel 11, secara keseluruhan, hasil parameter tiap item
pertanyaan tersebut menjelaskan bahwa alur pikir pertanyaan dari pengalaman
kelaparan populasi penelitian sejalan dengan pengalaman kelaparan global yang
menyebabkan kerawanan pangan. Hal ini terlihat dari nilai parameter pertanyaan
pertama (worried) hingga ke-delapan (whlday) yang searah semakin tinggi. Selain
itu, pola yang sejalan dengan global ini mirip dengan pola standar ambang global
(global treshold), yaitu worried -1.22, fewfood -1.11, healthy -0.85, ateless -0.31,
skipped 0.35, runout 0.51, hungry 0.75, dan whlday 1.88.
Pertanyaan yang telah terafirmasi digunakan sebagai akumulasi dari raw
score (0-8). Pola responden dalam menjawab kumpulan pertanyaan FIES, akan
memperlihatkan pola ekpektasi yang mencirikan baiknya kualitas data di populasi
tersebut. Pola respon yang sesuai dengan teori Rasch Model adalah respon yang
menggambarkan semakin jauh maka semakin meningkatnya tingkat keparahan.
Pada dasarnya, setiap item pertanyaan saling bekaitan karena sifatnya yang
kontinuitas, maka proses rawan pangan yang didasari atas pengalaman kelaparan
di semua tempat sama dengan proses pengalaman kelaparan yang terjadi secara
global. Dimulai dengan jawaban afirmasi “ya” dan diikuti dengan jawaban
47

“tidak”. Maka dari itu, dengan mengetahui jumlah pola yang tidak sesuai dengan
pola ekspektasi dan melihat pertanyaan mana yang menyebabkan pola ekspektasi
tersebut berbeda, akan menentukan apakah pertanyaan tersebut memang telah
terimplementasikan dengan baik atau tidak.
Berdasarkan Tabel 11, ada ketidaksesuaian dilihat dari kecenderungan
nilai respon afirmatif yang semakin mengecil hingga pertanyaan terakhir
(whlday), kecuali untuk poin pertanyaan nomor 5 mengenai ateless. Oleh karena
itu, hal ini mendukung bahwa tahap atau proses pengalaman kelaparan di populasi
penelitian hampir sama dengan proses kelaparan di tingkat global, namun pada
populasi penelitian, proses kelaparan lebih sering terjadi bahwa subjek lebih
dahulu mengurangi porsi makan daripada mengurangi jam makan pada proses
kelaparannya. Berdasarkan FAO (2013), domain pertanyaan ke-empat dan ke-
lima (skipped dan ateless) merupakan domain terjadinya masalah kekurangan
kuantitas makanan pada individu. Berdasarkan hal tersebut, maka posisi ateless
yang lebih sering terjadi lebih dahulu pada populasi penelitian masih dianggap
normal dan dapat diterima sejalan dengan proses kelaparan secara global. Hal ini
didukung dengan hasil Equating plot pada Gambar 5, yang menggambarkan
bahwa tiap item pertanyaan masih sejalan dengan standar global.
Adanya nilai standar eror menjelaskan bahwa pengukuran terhadap adanya
kemungkinan eror penting untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan tidak bisa
dipastikannya bahwa delapan pertanyaan FIES benar-benar mengukur secara tepat
konsep latent trait, sehingga perlu adanya kuantifikasi eror terhadap
ketidakpastian tersebut.
Terdapat empat hasil dari Rasch model yang akan memperlihatkan
kualitas data yang terkumpul, yaitu infit, outfit, matrix korelasi residual, dan
reliabilitas. Infit memperlihatkan pertanyaan yang bekerja tidak semestinya pada
populasi tertentu. Nilai infit ini bisa tergantung dari penerjemahan pertanyaan
yang berarti pertanyaan tidak dapat dipahami dengan baik oleh responden atau
karena adanya masalah saat pengumpulan data. Kategori rendah (<0.7)
menandakan bahwa pertanyaan tersebut redundant dengan pertanyaan lainnya.
Kategori sesuai dengan Rasch Model (0.8-1.2) menandakan bahwa pertanyaan
mempunyai hubungan dengan latent trait yang ada. Pertanyaan dengan infit tinggi
(>1.3) menandakan bahwa pertanyaan bekerja tidak semestinya, sehingga
implementasi harus berubah untuk pertanyaan tersebut di survey yang akan
mendatang.
Outfit hampir sama dengan infit, tetapi sensitif terhadap kasus dengan pola
yang tidak biasa dengan responden yang sedikit. Nilai oufit >2 dikatakan tinggi.
Hasil dari outfit menggambarkan adanya pola respon dari responden yang tidak
biasa. Berdasarkan Tabel 12, diketahui bahwa pertanyaan kategori whlday
memiliki nilai outfit >2, hal ini dikarenakan terlalu sedikitnya jumlah populasi
penelitian sehingga nilai outfit menjadi bias lebih dari acceptable range yang
ditentukan.
48

Tabel 12 Matriks Korelasi Residual populasi penelitian


HEALTHY FEWFOOD SKIPPED ATELESS RUNOUT HUNGRY WHLDAY
WORRIED 0.143646 0.2052871 0.074792 -0.026 0.037508 -0.022668 -0.4757988
HEALTHY 0.1305453 -0.02638 0.041991 -0.00764 -0.125533 -0.3373558
FEWFOOD -0.01152 0.066266 0.098381 -0.116204 -0.3310432
SKIPPED 0.298146 0.000543 0.0280195 -0.1439213
ATELESS -0.10028 0.0168049 -0.4047905
RUNOUT 0.1182801 0.06921127
HUNGRY 0.18413367

Matriks korelasi residual menggambarkan pertanyaan yang peka yang


berarti hampir bisa merepresentasikan kondisi yang berhubungan dengan
penyebab terjadinya rawan pangan. Asumsi ini diukur dengan membandingkan
korelasi antar pertanyaan karena setiap pertanyaan saling berkaitan. Dikatakan
kategori tinggi jika >│0.4│. Adanya nilai di atas kategori yang ditentukan dapat
terjadi ketika dua pertanyaan secara keseluruhan bermakna sama (overlap),
dimana ada kemungkinan adanya ketidakakuratan terjemahan atau penyampaian
saat di lapangan. Berdasarkan Tabel 11, diketahui bahwa terdapat dua pasang
pertanyaan yang saling berkaitan dan berisiko redundant, yaitu worried-whlday
dan ateless-whlday. Hal ini berarti, terdapat kecenderungan bila terdapat
perubahan jawaban pada kategori worried, maka akan memengaruhi jawaban
whlday, begitu pula dengan hubungan antara ateless dan whlday. Tiap pertanyaan
memiliki konsep yang berbeda dalam rawan pangan, sehingga adanya pertanyaan
yang redundant melemahkan kemampuan untuk mengukur kerawanan pangan
secara spesifik.
Pengolahan data FIES yang kontinyu juga menggambarkan bahwa analisis
pertanyaan tidak dapat dilakukan secara terpisah antara satu pertanyaan dengan
pertanyaan lainnya. Sifat yang kontinuitas terjadi karena setiap individu memiliki
pengalaman kelaparan yang sama yang sesuai dengan proses kelaparan di tingkat
global, sehingga nilai total raw score yang muncul beragam mulai dari skor 0
hingga 8. Setiap nilai raw score yang terdata dijelaskan dalam Tabel 13.
Tabel 13 Nilai raw score populasi penelitian
Raw score Jumlah %
0 65 45.45
1 13 9.09
2 18 12.58
3 10 6.99
4 8 5.59
5 9 6.29
6 7 4.89
7 2 1.39
8 11 7.69
Total 143 100.00
49

Tabel 13 menggambarkan jumlah subjek yang memiliki nilai kumulatif


raw score antara nilai 0-8. Total subjek yang diolah untuk melihat nilai raw score
ini adalah 143 subjek, 3 subjek missing secara otomatis tidak terolah dalam
software karena dianggap tidak memenuhi syarat dikotomi. Berdasarkan tabel
tersebut, diketahui bahwa 65 subjek tidak merasakan proses kelaparan apapun,
ditandai dengan raw score “0”. Hal ini menjelaskan bahwa sebanyak 45.45%
populasi penelitian tidak merasakan proses kelaparan dalam 12 bulan terakhir.
Sisanya sebanyak 54.55% memiliki raw score beragam mulai dari 1 hingga 8.
Terdeteksi sebanyak 11 subjek menjawab pernah mengalami semua proses
kelaparan selama 12 bulan terakhir.

Gambar 5 Equating plot penerimaan pertanyaan FIES di Purwakarta


Penggunaan FIES di lapangan bisa digunakan untuk analisis lebih lanjut
bila nilai reliabilitasnya dalam kategori acceptable range (>0.7), yang artinya
pertanyaan dari alat ukur sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh alat ukur itu
sendiri dan dapat diterima oleh masyarakat sasaran. Olah data reliabilitas ini
penting, karena FIES ditujukan untuk dapat membandingkan satu wilayah dengan
wilayah lainnya atau membandingkan dengan standar global demi tercapainya
target SDGs yaitu Zero Hunger.
Berdasarkan hasil output olah data di atas, didapatkan bahwa nilai
reliabilitas adalah 0.7053, yang berarti alat ukur FIES dapat digunakan pada
kelompok sasaran penelitian. Gambaran mengenai penerimaan tiap pertanyaan
FIES oleh masyarakat yang sesuai dengan makna tiap pertanyaan FIES yang
seharusnya, digambarkan pada Gambar 5 mengenai Equating plot menjelaskan
bahwa setiap pertanyaan FIES dapat diterima oleh masyarakat dan sesuai dengan
jalan pikiran terhadap jawaban yang diarahkan oleh pertanyaan FIES tersebut.
50

Selain reliabilitas, output dari pengolahan data FIES juga berupa


prevalensi dari populasi penelitian. Basis pertanyaan FIES merupakan pertanyaan
dengan sasaran individu, namun menghasilkan output prevalensi yang
menggambarkan populasi secara keseluruhan yang dalam perhitungannya
dibandingkan dengan standar global. Tingkat rawan pangan akibat sulitnya akses
pangan melalui alat ukur FIES ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu: (1) tingkat
moderate dan severe; dan (2) tingkat severe. Berdasarkan FAO (2003), FIES
biasa digunakan dalam populasi skala nasional dengan responden survei kurang
lebih ribuan. Hasil skala nasional atau wilayah ini diolah dengan standar global
yang sudah menjadi acuan, sehingga antar negara dapat dibandingkan. Populasi
penelitian yang terlalu kecil akan meningkatkan bias pada penggunaan FIES
karena kurang menggambarkan populasi di wilayah sasaran dan dapat terjadi
kecenderungan pemahaman pertanyaan yang lebih heterogen.
Hasil pengolahan FIES pada 143 subjek penelitian ini menunjukkan
bahwa terdapat 27% wanita tidak dapat mengakses pangan tingkat moderate dan
severe karena berbagai kemungkinan masalah akses pangan yang ada di daerah
tersebut. Selain itu, terdapat 6.4% wanita tidak dapat mengakses pangan tingkat
severe karena berbagai kemungkinan masalah akses pangan yang ada di daerah
tersebut.
Berdasarkan World Food Summit tahun 2012, ketahanan pangan
merupakan kondisi dimana semua orang, pada waktu kapan saja, dapat mengakses
makanan yang cukup dan bergizi sesuai dengan kebutuhan dan preferensi untuk
dapat hidup aktif dan sehat. Dimensi ketahanan pangan terdiri dari ketersediaan,
akses atau keterjangkauan, utilitas atau pemanfaatan, dan stabilitas. FIES
merupakan alat ukur untuk mengetahui bila adanya keterbatasan akses karena
tidak adanya uang atau sumberdaya lainnya, baik pada individu maupun rumah
tangga yang mencerminakan keadaan nasional atau populasi, yang dapat
diperbandingkan antar negara untuk pencapaian SDGs.
Terjadinya kerawanan pangan di daerah perdesaan yang bisa berdampak
pada kesehatan masyarakat, dapat dikarenakan beberapa faktor. Menurut Calhoun
(2013) hal ini terjadi karena tiga hal: (1) adanya keterbatasan akses sumber
penghasilan rumah tangga yang berhubungan dengan kejadian kerawanan pangan,
(2) kesulitan akses pangan yang akan berdampak jangka pangan, dan (3) kondisi
lingkungan dan transportasi yang jauh atau sulit, terutama untuk mengakses
pangan beraneka ragam untuk masuk ke dalam daerah perdesaan. Menurut data
Kecamatan Pondoksalam Dalam Angka tahun 2017, pada tahun 2016 Desa
Pondokbungur sebagian besar penduduknya bekerja di bidang pertanian dan
perdagangan. Tidak terdapat pasar, hanya toko, warung, dan industri kecil yang
masih menggantungkan akses pangan ke daerah yang lebih urban di pusat
Kabupaten. Berdasarkan hasil obsevasi, beberapa orang dari penduduk desa akan
turun ke pusat Kabupaten setiap dua minggu sekali untuk membeli cadangan
makanan. Rantai pengadaan makanan ini juga merupakan salah satu hambatan
yang akan memengaruhi kondisi ketersediaan dan pemanfaatan pangan dari
individu masyarakat perdesaan.
Research Triangle Institute (2014) dalam laporannya mengenai Current
and Prospective Scope of Hunger and Food Security in America: A Review of
Current Research, menyebutkan terdapat beberapa determinan kunci kerawanan
pangan pada tingkat individu dan rumah tangga, diantaranya adalah status
51

ekonomi dengan faktor paling kuat adalah pendapatan, ras dan suku, imigrasi,
kedudukan di keluarga, disabilitas, status kesehatan, paparan kekerasan, dan
modal sosial. Amirian et al. (2008) dalam penelitiannya pada rumah tangga
petani sawah di wilayah enclave, melihat sebaran dengan peubah akses pangan
berupa pendapatan, pendidikan, kepemilikan, dan situasi ketahanan pangan
berdasarkan aspek akses pangan. Pada penelitian tersebut, dinyatakan bahwa
masih terdapat kelompok tidak tahan pangan pada rumah tangga petani sawah dan
juga ada hubungan nyata antara ketersediaan energi per kapita dengan pendapatan
keluarga. Tanziha dan Herdiana (2009) dalam penelitiannya di daerah kabupaten
Lebak mengungkap bahwa terdapat hubungan signifikan antara jumlah anggota
rumah tangga dan pengeluaran per kapita dengan ketahanan pangan. Pada tahun
2010, Tanziha et al. juga juga menggunakan indikator besar keluarga dan
pengeluaran untuk dihubungkan dengan tingkat intensitas kerawanan pangan.
Karakteristik sosial ekonomi memegang peranan penting dalam dimensi akses
pangan untuk mencegah kondisi rawan pangan tingkat individu.
Berdasarkan Riskesdas 2013, terdapat tiga cara untuk mengukur status
sosio-ekonomi, yaitu melalui data penghasilan per bulan, atau pengeluaran per
bulan atau berdasarkan kepemilikan barang tahan lama. Ketiga proxy pengukuran
status ekonomi tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan. Mengukur status
ekonomi berdasarkan data pengeluaran per bulan mempunyai akurasi yang cukup
baik diantara ketiga cara pengukuran meskipun cukup memakan waktu. Data
pengeluaran perbulan ini masih tingkat rumah tangga sehingga dijadikan sebagai
peubah penduduk miskin dengan satuan rupiah per kapita per bulan sesuai
kategori garis kemiskinan Kabupaten Purwarkata tahun 2017 oleh BPS sebesar
Rp 325.607,-. Tabel 14 menunjukkan sebaran data karakteristik sosio-ekonomi
populasi penelitian.
Tabel 14 Sebaran data menurut karakteristik sosio-ekonomi
Jumlah (N=143)
Variabel
n Persentase
Umur
Dewasa menengah (35-44) 90 62.9
Dewasa lanjut (45-55) 53 37.1
Pengetahuan
Kurang (< 6, Kuartil1) 35 24.5
Cukup (6-8) 29 20.3
Baik (> 8, Kuartil 3) 79 55.2
Lama Pendidikan (th)
Tidak Tamat SD (<6) 33 23.1
Tamat SD (≥6) 110 76.9
Kategori Penduduk Miskin (Rp/kapita/bl)
Di bawah Garis Kemiskinan 26 18.2
Di atas Garis Kemiskinan 117 81.8
N: total subjek
n: jumlah subjek
Variabel pada Tabel 14, bagian kategori penduduk miskin merupakan
variabel yang berkaitan erat dengan akses pangan individu. Hasil sebaran di atas
menunjukkan bahwa dalam populasi penelitian, jumlah penduduk dengan kategori
52

di atas kemiskinan cenderung lebih banyak, padahal dalam sebaran Tabel 12,
terdapat hanya 45.45% yang tidak pernah merasakan rawan pangan sedangkan
sisanya adalah rawan pangan. Badan Pusat Statistik menjelaskan bahwa Garis
Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan
(GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Hal ini memberikan arti bahwa secara garis besar, kondisi ekonomi
masyarakat di perdesaan dalam kondisi yang baik, sedangkan masih ada separuh
dari populasi penelitian yang merasakan kerawanan pangan atau merasa kesulitan
mengakses pangan dan terjadi hipertensi. Dimensi kerawanan pangan dapat
dirasakan oleh masyarakat melalui tiga pilar, yaitu ketersediaan, akses, dan
pemanfaatan. Pengukuran FIES merupakan pengukuran berdasarkan dimensi
kesulitan akses yang dirasakan oleh responden. Akses dapat dicerminkan
berdasarkan akses ekonomi, fisik, dan juga sosial. Meskipun dalam aspek
ekonomi populasi penelitian terlihat baik, namun preferensi sifat konsumtif
populasi atau tingkat prioritas terhadap pembelanjaan keuangan mengenai
pemenuhan ketersediaan pangan dalam rumah tangga bisa menjadi perancu
terjadinya kerawanan pangan, yang mana kondisi ini tidak tergambarkan dalam
penelitian.. Segi akses fisik, berdasarkan Kecamatan Pondoksalam Dalam Angka
tahun 2017, desa tempat populasi tidak memiliki pasar. Selain itu berdasarkan
observasi peneliti, masyarakat secara garis besar hanya bisa turun ke daerah
perkotaan selama dua minggu sekali, sehingga keberagaman makanan mereka
beresiko kurang beragam. Berdasarkan aspek sosial, kebiasaan makan yang masih
menjadi tradisi dalam wilayah Purwakarta adalah budaya Sunda. Budaya ini
masih terasa dalam populasi penelitian yang tercermin dari cara penyajian
makanan yang asin dan porsi nasi berbumbu (liwet) sebagai karbohidrat yang
banyak. Hal ini tercermin dari data SDT tahun 2014 bahwa Jawa Barat merupakan
wilayah dengan rerata asupan natrium tertinggi di Indonesia.

Kualitas Diet

Kualitas diet diukur dengan menilai seberapa dekat pola makan dengan
pedoman diet yang ada dan seberapa beragam pilihan makanan yang termasuk
dalam kelompok makanan yang dikonsumsi (Wirt dan Collins, 2009). DASH Like
Diet adalah kumpulan dari nilai sasaran zat gizi yang dianjurkan oleh JNC (2006)
untuk mencegah hipertensi, namun nilai sasaran zat gizi tersebut telah disesuaikan
dengan kecukupan gizi masyarakat Indonesia dan nilai sebaran yang ada di
populasi penelitian. Rancangan penilaian semacam ini mengikuti penelitian
sebelumnya berdasarkan Rahadiyanti et al. (2015). Anjuran zat gizi untuk
mencegah hipertensi memiliki nilai sasaran kategori baik, sedang dan buruk (1;
0,5; 0). Nilai “baik” bila asupan responden memenuhi sasaran nilai zat gizi yang
diperlukan, nilai “sedang” merupakan rentang yang disesuaikan dengan referensi
tertentu seperti AKG dan nilai sebaran populasi penelitian, sedangkan nilai
“buruk” bila nilai sasaran pada kategori baik dan sedang tidak terpenuhi.
53

Tabel 15 Aturan zat gizi DASH Like Diet


Skor 0 Target diet
Skor 1 Skor 0.5
Zat gizi = DASH Referensi
= Baik = Sedang
Buruk (JNC 2006)
Karbohidrat (% >40 s.d Hardinsyah dan Riyadi
≤40 >60 55
total energi) ≤60 (2013) (40-60%)
Protein (% total Hardinsyah dan Riyadi
≥18 ≥5 s.d <18 <5 18
energi) (2013) (5-15%)
Lemak (% total >27 s.d Hardinsyah dan Riyadi
≤27 >35 27
energi) ≤35 (2013) (25-35%)
Lemak jenuh
≤6 >6 s.d ≤15 >15 6 HEI 2005 (7-15%)
(% total energi)
AKG 2013 (wanita usia 30-
≥28 s.d
Serat (g) ≥30 <28 30 49 dan 50-64 tahun yaitu 30
<30
dan 28)
AKG 2013 (wanita usia 30-
>1300 s.d
Natrium (mg) ≤1300 >1500 2300 49 dan 50-64 tahun yaitu
≤1500
1500 dan 1300)
Drewnoski (2012)
≥0.49 s.d
Rasio Na:K <0.49 >0.57 - (US DRI <0.49 dan WHO
≤0.57
>0.57)
≥232.60 nilai sebaran median
Kalsium (mg) ≥1250 <232.60 1250
s.d <1250 323.64
Magnesium ≥174.45 nilai sebaran median
≥500 <174.45 500
(mg) s.d <500 189.78
JNC: Joint National Committee
Anjuran kisaran sebaran energi gizi makro atau An Acceptable
Macronutrient Distribution Range (AMDR) bagi penduduk Indonesia dalam
estimasi kecukupan gizi ini adalah 5-15% energi protein, 25-35% energi lemak,
dan 40-60% energi karbohidrat (Hardinsyah dan Riyadi 2013). Berdasarkan
pemenuhan batasan lemak jenuh dalam HEI dan pembaruannya, berkisar antara 7-
15%. Kecukupan serat dalam AKG 2013 pada wanita usia 30-49, 50-64 tahun
berbeda yaitu 30 dan 28. Kecukupan natrium dalam AKG 2013 pada wanita usia
30-49, 50-64 tahun berbeda yaitu 1500 dan 1300. Anjuran pola asupan kalsium
DASH diet dari JNC adalah 1250, sedangkan nilai sebaran median 232.60, begtu
pula dengan magnesium dari JNC adalah 500 sedangkan nilai sebaran mean
174.45. Rasio NaK didapatkan dari rekomendasi US DRI <0.49 dan WHO >0.57
(Drewnoski 2012).
Setiap asupan gizi diusakan menyesuaikan referensi indonesia, karena
kebutuhan atau kecukupan antar wilayah berbeda, serta tingkat kepekaan akan
suatu zat gizi yang memicu hipertensi bisa saja berbeda antar wilayah. Bila di US
anjuran sodium adalah <2300 mg, namun di Indonesia hanya sekitar <1500, maka
ada kemungkinan bila konsumsi di atas 1500 hingga 2300 juga dapat memicu
hipertensi pada orang Indonesia. Hal ini dianalogikan dengan bagaimana tingkat
kepekaan asin antara orang sunda dan jawa.
Kelebihan dari DASH Like Diet yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dilihat dari segi asupan zat gizi yang digunakan, sedangkan pola anjuran
diet DASH lainnya memperhatikan jumlah porsi kelompok makanan dimana
kelompok makanan belum tentu menggambarkan asupan zat gizi yang sesuai
dengan target anjuran. Penggunaan asupan zat gizi sebagai skor dikatakan lebih
54

baik karena penilaian langsung merujuk pada kandungan gizi bahan makanan
yang dianggap lebih meyakinkan, bukan lagi porsi kelompok makanan.
Tabel 16 Sebaran jumlah responden menurut kualitas diet
Subjek
Kualitas diet
Jumlah %
Kurang 120 83.9
Baik 23 16.1
Total 143 100.0

Berdasarkan tabel di atas, secara keseluruhan terdapat 16.1% responden


memiliki asupan makan dengan kualitas baik (sesuai dengan anjuran DASH Like
Diet), sedangkan 83.9% responden asupannya masih kurang (belum sesuai dengan
anjuran diet DASH Like Diet).

Hubungan Status Kerawanan Pangan dan Hipertensi

Telah diketahui bahwa masih terdapat prevalensi kerawanan pangan


tingkat severe dan moderate berdasarkan olah data FIES. Data prevalensi tersebut
merupakan data yang menggambarkan prevalensi populasi secara keseluruhan,
yang telah diolah dan dikalkulasikan dengan tingkat keparahan standar global
sehingga didapatkan angka prevalensi yang dapat dibandingkan. Meskipun dasar
pengambilan data adalah individu yang menjadi responden, namun hasil akhir
prevalensi berupa prevalensi estimasi populasi karena sudah distandarisasikan.
Status kerawanan pada masing-masing individu dalam penelitian ini
sangat perlu untuk menjadikan variabel tersebut sebagai variabel independen
dalam kaitannya mengetahui hubungan antara tingkat kerawanan pangan dengan
hipertensi. Berdasarkan FAO (2013), untuk mengolah data status kerawanan
pangan dari FIES sebagai variabel independen regresi logistik, maka FAO
menyarankan menggunakan raw score yang dibuat dalam tiga dummy variable,
berupa tiga kategori indikasi kerawanan pangan. Raw score dengan nilai 0 sebagai
referensi dalam regresi logistik. Namun, interpretasi dari dummy variable ini
berarti antar kategori tidak memiliki hubungan yang linier (non-linier). FAO
menyarakan kan nilai 1 hingga 3, 4 hingga 6, dan 7 hingga 8 (sedangkan nilai 0
sebagai referensi) menjadi tiga variabel dummy sebagai kelompok dengan indikasi
adanya rawan pangan, indikasi kerawanan pangan tingkat sedang dan kerawanan
pangan tingkat berat.
Tabel 17 Sebaran status kerawanan pangan
Subjek
Dummy variable
Jumlah %
Tidak rawan pangan 65 45.4
Indikasi rawan pangan (1-3) 41 28.7
Indikasi rawan pangan sedang (4-6) 24 16.8
Indikasi rawan pangan berat (7-8) 13 9.1

Tabel 17 menjelaskan bahwa secara keseluruhan terdapat 78 subjek


responden memiliki indikasi rawan pangan baik tingkat ringan, sedang, maupun
55

berat. Maka dari itu, terdapat 65 subjek responden yang tidak masuk dalam
kategori manapun karena memiliki nilai raw score 0, yang artinya tidak ada
kesulitan sama sekali dalam mengakses pangan sehingga tidak merasakan
pengalaman kelaparan apapun. Hasil ini tidak dapat dikatakan sebagai prevalensi,
karena sifat dummy variable yang tidak linier, yang mana seharusnya antar
pertanyaan saling berhubungan satu sama lain (latent trait). Prevalensi estimasi
kerawanan pangan dari olah data FIES tetap mengacu pada standar global
sehingga bersifat comparable.
Tabel 18 Hubungan kerawanan pangan dengan hipertensi
Dummy Variable p OR 95%CI
Indikasi rawan pangan (1-3) 0.675 1.182 0.540-2.589
Indikasi rawan pangan sedang (4-6) 0.424 1.467 0.573-3.756
Indikasi rawan pangan berat (7-8) 0.044* 4.138 1.041-16.444
p: p-value
OR: Odd Ratio
Berdasarkan hasil uji hubungan regresi logistik pada Tabel 18,
memberikan hasil bahwa hanya variabel indikasi rawan pangan parah yang
memiliki nilai p value uji wald (Sig) < 0,05, artinya variabel tersebut mempunyai
pengaruh parsial yang signifikan terhadap status tekanan darah hipertensi.
Berdasarkan hasil tersebut, diketahui bahwa dummy variable indikasi rawan
pangan berat memiliki OR 4.138, maka responden yang merasakan kesulitan
dalam akses terhadap pangan tingkat berat (severe) lebih beresiko mengalami
hipertensi sebanyak 4.138 kali lipat dibandingkan orang yang tidak kesulitan
akses pangan. Lebih terperinci untuk mengetahui secara spesifik perbedaan
kelompok normal dan hipertensi dalam proses kelaparannya, dijelaskan pada
Tabel 19.
Tabel 19 Item pertanyaan FIES
Normal Hipertensi
Item Pertanyaan p
Jumlah % Jumlah %
WORRIED 26 36.6 40 55.6 0.029
HEALTHY 22 31 30 41.7 0.224
FEWFOODS 19 26.8 32 44.4 0.036
SKIPPED 9 12.7 19 26.4 0.057
ATELESS 17 23.9 22 30.6 0.453
RUNOUT 13 18.3 14 19.4 1.000
HUNGRY 6 8.5 15 20.8 0.057
WHLDAY 5 7 10 13.9 0.275

Delapan pertanyaan dalam FIES disajikan menurut 143 responden yang


juga masuk dalam olah data dummy variable untuk dikaitkan dengan hipertensi.
Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan signifikan
jumlah responden yang menjawab pertanyaan worried, fewfood, dan skipped
antara kelompok tekanan darah normal dan hipertensi. Hal ini menunjukkan
bahwa responden yang memiliki hipertensi cenderung lebih banyak yang
merasakan kekhawatiran akan persediaan makanan, mengurangi jenis makanan
yang dikonsumsi, dan mengurangi frekuensi makanan daripada yang seharusnya.
56

Salah satu pilar ketahanan pangan adalah aksesibilitas terhadap pangan


yang seringkali menjadi masalah di wilayah tertentu seperti perdesaan. Hambatan
yang terjadi pada akses pangan akan berpengaruh terhadap utilitas atau
pemanfaatan pangan di tingkat individu, seperti kualitas diet dan berimplikasi
terhadap kesehatan. Finizio et al (2016) mengungkapkan bahwa akses pangan
penting untuk memberikan pengaruh terhadap kualitas diet pada rumah tangga
pertanian di daerah perdesaan. Variabel yang mewakili akses pangan dalam
penelitian tersebut adalah pemilihan makanan individu, pemberdayaan wanita,
jarak tempuh pasar, etnik atau budaya, lokasi tempat tinggal, dan total
pengeluaran.
Ketika status indikasi rawan pangan tingkat berat (severe) menjadi
variabel independen, variabel ini memberikan kontribusi peningkatan resiko
terhadap kejadian hipertensi. Hal ini menandakan bahwa kejadian hipertensi dapat
terjadi ketika individu telah mengalami kelaparan kronis akibat kesulitan akses
pangan yang menyebabkan tidak makan seharian (sesuai dengan pertanyaan FIES
yang dirujuk selama 12 bulan ke kebelakang). Jebena et al (2017) pada penelitian
longitudinal selama 3 tahun, menemukan bahwa ada status kesehatan yang
memburuk pada remaja yang mengalami kerawanan pangan, sehingga paparan
kerawanan pangan akan berimplikasi terhadap status kesehatan.

Hubungan Rawan Pangan, Kualitas Diet, dan Hipertensi

Berdasarkan analisis di atas, diketahui bahwa terdapat hubungan antara


kelompok indikasi rawan pangan berat dengan kejadian hipertensi. Hubungan ini
diduga dapat terjadi melalui perubahan pola makan yang terjadi selama proses
kesulitan akses pangan terjadi pada kelompok tersebut, karena pola pertanyaan
FIES yang kontinyu menandakan adanya perbedaan pada pola makan responden.
Seligman et al. (2010) menyatakan bahwa adanya kecenderungan subtitusi
makanan yang lebih murah namun berdensitas energi tinggi, konsumsi makanan
yang berlebih pada satu waktu karena adanya kecemasan akan kekurangan pangan
ke depannya, dan proses adaptasi akumulasi makanan yang berubah menjadi
lemak dalam tubuh, dapat menjelaskan hipotesis hubungan antara kejadian rawan
pangan dengan obesitas. Contoh lainnya, ketika penduduk rawan pangan lebih
sering mengonsumsi makanan olahan yang tinggi natrium dan rendah kalium,
maka akan cenderung lebih beresiko terhadap hipertensi. Walker dan Kawachi
(2012) menunjukkan bahwa rumah tangga yang memiliki keterbatasan terhadap
akses pangan akan merespon untuk mengonsumsi makanan dengan densitas
energi tinggi, kurang bergizi, murah, yang berdampak pada menurunnya asupan
zat gizi mikro.
Tabel 20 menunjukkan perbedaan asupan zat gizi berdasarkan komponen
DASH Like Diet pada kelompok dengan indikasi rawan pangan berat dengan
kelompok tidak ada indikasi rawan pangan berat.
57

Tabel 20 Perbedaan asupan zat gizi berdasarkan kategori rawan pangan berat
Tidak ada indikasi
Rawan pangan
rawan pangan
Komponen DASH Like Diet berat (n=13) p
berat (n=130)
Rerata SD Rerata SD
Karbohidrat (% total energi) 55.47 11.73 53.57 9.50 0.584
Protein (% total energi) 13.58 3.95 14.11 5.95 0.866
Lemak (% total energi) 31.29 10.04 33.65 13.26 0.315
Lemak jenuh (% total energi) 14.97 6.20 19.41 10.60 0.131
Serat (g) 6.87 3.09 10.29 6.15 0.029*
Natrium (mg) 1155.87 1421.77 978.67 1087.86 0.500
Rasio Na:K 1.44 4.57 0.71 0.68 0.142
Kalsium (mg) 326.99 331.19 290.15 248.45 0.710
Magnesium (mg) 187.55 84.88 212.18 85.30 0.289

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar asupan zat
gizi berdasarkan DASH Like Diet tidak ada perbedaan (p>0.05), kecuali untuk
serat (p<0.05), antara kelompok dengan indikasi rawan pangan berat dengan
kelompok tidak ada indikasi rawan pangan berat. Analisis lebih lanjut, dilakukan
uji hubungan antara status rawan pangan dengan kualitas diet pada Tabel 20.
Tabel 21 Hubungan status kerawanan pangan dengan kualitas diet
Dummy Variable p OR 95%CI
Indikasi rawan pangan (1-3) 0.984 0.989 0.350-2.800
Indikasi rawan pangan sedang (4-6) 0.977 1.019 0.291-3.570
Indikasi rawan pangan berat (7-8) 0.413 2.444 0.287-20.788
p: p-value
OR: Odd Ratio
Tabel 21 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status kerawanan
pangan dengan status kualitas diet berdasarkan DASH Like Diet (p>0.05).
Berdasarkan Tabel 21 juga dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan antara
kualitas diet berdasarkan DASH Like Diet dengan kejadian hipertensi (p=0.472,
p>0.05).
Tabel 22 Hubungan kualitas diet dengan status hipertensi
Normal Hipertensi
Kualitas Diet p OR 95%CI
n % n %
Baik 13 18.3 10 13.9
0.472 1.390 0.566-3.414
Kurang 58 81.7 62 86.1
p: p-value
OR: Odd Ratio
Umur merupakan prediktor yang dapat memengaruhi hasil uji hubungan
antara kualitas diet dengan status hipertensi, oleh karena itu dilakukan uji
hubungan lanjutan dengan menggunakan Chi Square multi tabel dengan umur
sebagai variabel kontrol. Hubungan antara umur, kualitas diet, dan hipertensi
ditampilkan pada Tabel 23.
58

Tabel 23 Hubungan kualitas diet dan hipertensi berdasarkan kelompok umur


Normal Hipertensi
Variabel
n % n % p
Dewasa menengah Kualitas Diet Baik 11 20.8 7 20.0
0.932
Kualitas Diet Kurang 42 79.2 28 80.0
Dewasa lanjut Kualitas Diet Baik 2 11.1 3 8.1
1.000
Kualitas Diet Kurang 16 88.9 34 91.9

Berdasarkan beberapa analisis di atas, hubungan antara rawan pangan


dengan kualitas diet, dan kualitas diet dengan dan hipertensi, ternyata penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan diantaranya. Kejadian rawan pangan
berat yang memengaruhi kejadian hipertensi dalam populasi penelitian pada
kenyataannya bukan terjadi karena adanya kualitas diet DASH Like diet yang
kurang. Tabel 24 menggambarkan uji beda asupan zat gizi antara kelompok
dengan tekanan darah normal dan hipertensi.
Tabel 24 Uji beda asupan gizi DASH Like Diet berdasarkan kategori hipertensi
Komponen DASH Like Diet Normal (71) Hipertensi (72)
p
Rerata SD Rerata SD
Karbohidrat (% total energi) 54.24 9.28 56.34 13.37 0.286
Protein (% total energi) 13.91 3.78 13.34 4.49 0.143
Lemak (% total energi) 31.02 9.79 31.98 10.90 0.881
Lemak jenuh (% total energi) 15.29 6.35 15.45 7.24 0.704
Serat (g) 7.17 3.56 7.19 3.63 0.875
Natrium (mg) 1232.1 1711.4 1048.8 986.54 0.522
Rasio Na:K 1.71 6.12 1.05 0.95 0.907
Kalsium (mg) 359.38 376.04 288.84 260.76 0.156
Magnesium (mg) 192.27 70.97 187.33 97.17 0.359

Tabel 24 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan asupan zat gizi pada
kelompok hipertensi dan tekanan darah normal pada semua komponen zat gizi
yang dinilai pada DASH Like Diet (p>0.05). Berdasarkan penelusuran lebih
lanjut, diketahui bahwa responden yang mengalami hipertensi telah melakukan
perubahan pola makan, sehingga tidak adanya perbedaan asupan zat gizi terjadi
karena adanya perubahan pola hidup yang telah dilakukan oleh responden yang
menderita hipertensi, yang mana beberapa diantaranya berkaitan dengan
perubahan diet (Tabel 25).
Tabel 25 Sebaran subjek hipertensi menurut perubahan gaya hidup
Subjek
Melakukan Perubahan Gaya Hidup
Jumlah %
Ya 37 51.4
Tidak 35 48.6

Perubahan gaya hidup yang dilakukan di antaranya berupa mencari


informasi mengenai hipertensi, mengonsumsi obat anti hipertensi, lebih rutin
berolahraga, menurunkan berat badan dengan mengurangi makan, mengurangi
rokok, mengurangi ikan asin, mengurangi garam, dan mengurangi vetsin. Tabel
59

26 menjabarkan persentase subjek hipertensi yang melakukan perubahan terhadap


diet.
Tabel 26 Jumlah responden hipertensi yang melakukan perubahan asupan diet
Subjek Hipertensi yang
melakukan perubahan
Perubahan gaya hidup (n=37)
n %
Menurunkan berat badan dengan mengurangi makan 16 43.2
Mengurangi makanan lemak/gorengan/jeroan 23 62.2
Mengurangi ikan asin 19 51.4
Mengurangi garam 18 48.6
Mengurangi vetsin 11 29.7

Hasil Tabel 26 memperjelas bahwa hasil recall pada populasi penelitian


tidak bisa menggambarkan hubungan karena disebabkan oleh adanya 51.4%
subjek hipertensi yang telah melakukan perubahan gaya hidup terutama dari segi
asupan, sehingga tidak ada perbedaan signifikan asupan kualitas diet kelompok
tekanan darah normal dengan hipertensi. Perubahan gaya hidup dari segi asupan
yang paling banyak dilakukan oleh responden hipertensi adalah dengan
mengurangi makanan berlemak/gorengan/jeroan sebanyak 62.2% dari 37
responden, dan mengurangi ikan asin sebanyak 51.4%.
Appel et al. (2006) bersama dengan American Heart Association (AHA)
menyatakan bahwa modifikasi asupan diet dapat menurunkan tekanan darah
melalui jalur penurunan berat badan, penurunan asupan garam, peningkatan
asupan kalium, perubahan kebiasaan minum beralkohol, dan menerapkan
konsumsi makanan yang sehat untuk penderita hipertensi yang biasa disebut
dengan diet DASH. Beberapa perubahan tersebut membutuhkan usaha dari
penderita hipertensi untuk menjadi kebiasaan dalam sehari-hari. Hal ini
menunjukkan bahwa, sebagian responden hipertensi dalam penelitian ini memang
telah menerapkan perubahan diet yang lebih baik sehingga data asupan diet belum
bisa menggambarkan hubungan secara pasti antara kualitas diet dengan hipertensi.
Maka dari itu, dilakukan uji beda antara asupan gizi berdasarkan DASH Like Diet
antara kelompok hipertensi yang tidak melakukan perubahan diet dengan yang
sudah melakukan perubahan diet (Tabel 27).
60

Tabel 27 Uji beda asupan gizi DASH Like Diet berdasarkan kategori hipertensi
yang belum dan sudah melakukan perubahan diet
Hipertensi belum Hipertensi sudah
perubahan diet perubahan diet
Komponen DASH Like Diet p
(n=35) (n=37)
Rerata SD Rerata SD
Karbohidrat (% total energi) 55.55 16.75 57.17 8.67 0.201
Protein (% total energi) 13.98 5.65 12.67 2.72 0.467
Lemak (% total energi) 33.57 12.25 30.30 9.14 0.235
Lemak jenuh (% total energi) 16.39 8.27 14.46 5.93 0.461
Serat (g) 6.64 2.72 7.77 4.36 0.319
Natrium (mg) 1000.00 1114.22 1100.13 844.14 0.205
Rasio Na:K 0.97 1.01 1.13 0.89 0.267
Kalsium (mg) 296.64 265.32 279.69 259.43 0.924
Magnesium (mg) 189.68 110.21 184.85 82.74 0.723

Hasil Tabel 27 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan asupan gizi


berdasarkan DASH Like Diet antara kelompok hipertensi yang belum melakukan
perubahan diet dengan kelompok hipertensi yang sudah melakukan perubahan
diet. Hasil sebelumnya menunjukkan bahwa rawan pangan berat berhubungan
signifikan dengan kejadian hipertensi, akan tetapi tidak ada hubungan antara
kelompok rawan pangan berat dengan kualitas diet, dengan adanya kelompok
hipertensi yang telah melakukan perubahan diet tersebut menjadi perancu akan
tidak adanya hubungan ini. Oleh karena itu Tabel 27 menggambarkan hubungan
status rawan pangan berat dengan kualitas diet pada kelompok hipertensi yang
belum melakukan perubahan diet.
Tabel 28 Hubungan status rawan pangan berat dengan kejadian hipertensi pada
kelompok yang belum melakukan perubahan diet
Kualitas
Kualitas diet
diet baik
Status rawan pangan kurang (n=35) p OR 95%CI
(n=18)
n % n %
Tidak rawan pangan berat 17 94.4 84 95.5
1.000 0.810 0.085-7.699
Rawan pangan berat 1 5.6 4 4.5
p: p-value
OR: Odd Ratio

Tabel 28 menunjukkan bahwa meskipun subjek hipertensi yang telah


melakukan perubahan diet dikeluarkan, tetap tidak ada hubungan antara adanya
indikasi rawan pangan berat dengan kualitas diet. Pada akhirnya, rawan pangan
tidak berhubungan dengan kualitas diet berdasarkan penilaian DASH Like Diet
yang dikembangkan. Diduga ada pemicu zat gizi lain (selain dari 9 komponen zat
gizi DASH Like Diet) yang berbeda signifikan antara asupan kelompok rawan
pangan berat dengan kempok yang tidak rawan pangan berat, sehingga zat gizi
yang berbeda tersebut diduga mempunyai andil dalam perkembangan hipertensi
pada kelompok rawan pangan berat. Oleh karena itu, dilakukan uji beda asupan
61

antara kelompok rawan pangan berat dengan kelompok tidak rawan berat yang
sudah dikurangi responden yang telah melakukan perubahan diet (Tabel 28).
Tabel 29 Perbedaan asupan zat gizi berdasarkan kategori rawan pangan berat
Tidak ada indikasi
Rawan pangan berat
rawan pangan berat
Zat gizi (n=5) p
(n=101)
Rerata SD Rerata SD
Energi 1485.79 470.20 1405.71 153.01 0.794
Karbohidrat 203.20 65.15 185.00 31.54 0.470
Protein 50.24 20.69 49.74 12.75 0.806
Lemak 51.44 26.24 55.78 23.09 0.597
Lemak.jenuh 25.19 15.39 29.65 13.25 0.333
Serat 6.98 3.16 15.26 7.43 0.010*
Sodium 1210.85 1505.17 737.90 715.79 0.352
Potassium 1119.41 480.59 1332.07 638.19 0.452
Rasio.NaK 1.57 5.15 0.46 0.33 0.083
Calcium 332.37 345.03 347.20 328.01 0.887
Magnesium 188.29 74.10 220.74 90.24 0.425
Kolesterol 146.67 129.88 117.80 161.53 0.336
Besi 7.23 5.12 7.75 3.25 0.430
Fosfor 707.71 325.36 685.98 283.86 0.887
Seng 5.79 2.83 5.49 1.14 0.864
VitA 1127.89 771.67 1886.48 946.64 0.064
VitB1 0.50 0.24 0.49 0.22 0.976
VitB2 0.52 0.23 0.64 0.26 0.288
VitC 23.24 20.79 31.08 23.54 0.417
VitD 5.36 7.57 4.18 3.86 0.970

Berdasarkan Tabel 29, dapat diketahui bahwa tidak ada asupan zat gizi
yang berbeda signifikan, kecuali terdapat satu asupan gizi yang berbeda signifikan
antara kelompok rawan pangan tingkat berat dan kelompok yang tidak berstatus
rawan pangan tingkat berat, yaitu serat. Meskipun responden hipertensi yang telah
melakukan perubahan diet dikeluarkan, tetap rawan pangan tidak mempengaruhi
kualitas diet dan kualitas diet tidak mempengaruhi kejadian hipertensi. Pada hasil
penelitian ini, didapat konsumsi serat lebih tinggi dikonsumsi oleh responden
yang berstatus rawan pangan berat. Hal ini dapat terjadi diduga karena preferensi
pangan masyarakat di wilayah penelitian terhadap bahan pangan yang mudah
ditemukan dan diakses di wilayah mereka. Jayati et al. (2014) dalam
penelitiannya dengan masyarakat di daerah perdesaan, menemukan bahwa
rendahnya asupan dipengaruhi oleh preferensi makanan yang rendah
mengonsumsi pangan hewani, namun lebih tinggi sayur-sayuran. Preferensi
makanan dapat dikarenakan ketersediaan sayur-sayuran yang lebih mudah
ditemukan daripada jenis kelompok makanan lainnya. Selain itu, tidak adanya
perbedaan antara asupan zat gizi antar kelompok rawan pangan berat dan
kelompok tidak ada indikasi rawan pangan berat dapat terjadi karena perubahan
pola makan masyarakat dalam penelitian yang hampir sama. Letak geografi akan
memengaruhi pola masyarakat bertindak dalam kehidupan sehari-hari, karena
adanya pola kesejahteraan yang meningkat dan arus urbanisasi yang memengaruhi
62

gaya hidup, pola makan, dan obesitas sehingga meningkatkan resiko hipertensi di
semua kalangan (Colhoun et al. 1998; Lima et al. 2013).

Hubungan Rawan Pangan, Gangguan Mental Emosional, dan Hipertensi

Hasil analisis sebelumnya menunjukkan bahwa kelompok dengan indikasi


rawan pangan tingkat berat, dalam hal ini karena memiliki akses pangan yang
sangat sulit, memiliki resiko hipertensi sebanyak 4.138 kali lipat dibandingkan
orang yang tidak memiliki kesulitan akses pangan. Setelah itu muncul pendugaan
bahwa kejadian hipertensi terjadi karena keadaan kualitas diet yang rendah pada
kelompok rawan pangan tingkat berat. Namun ternyata tidak ada hubungan antara
rawan pangan dengan kualitas diet dan kualitas diet dengan kejadian hipertensi.
Hal ini memberikan arti bahwa dalam analisis, kejadian hipertensi pada kelompok
indikasi rawan pangan tingkat berat tidak terjadi karena kualitas diet. Tidak
adanya perbedaan kualitas diet antara kelompok normal dengan hipertensi dapat
terjadi karena ada perubahan diet yang telah dilakukan oleh responden hipertensi,
sehingga sumber data recall tidak bisa memberikan jawaban yang jelas hubungan
antara rawan pangan dan hipertensi.
Dimensi pertanyaan FIES untuk menilai kerawanan pangan dalam suatu
populasi merupakan pertanyaan dari rasa khawatir hingga terjadi perubahan diet,
lalu berlanjut pada tingkat kelaparan dan tidak dapat mengakses makanan sama
sekali. Jones (2017) mengolah data Gallup World Poll tahun 2014 pada 149
negara menyatakan bahwa rawan pangan berhubungan dengan kesehatan mental
yang buruk dan keadaan stres psikososial. Oleh karena itu, dilakukan analisis
terhadap hubungan antara rawan pangan, gangguan mental emosional, dan
hipertensi berikut ini.
Tabel 30 Sebaran individu menurut status gangguan mental emosional
Subjek
Status tekanan darah
Jumlah %
Tidak gangguan mental emosional 71 49.65
Gangguan mental emosional 72 50.35

Diketahui bahwa sebaran responden pada populasi penelitian terdapat


50.35% responden mengalami gangguan mental emosional. Sebanyak 49.65%
responden tidak mengalami gangguan mental emosional dari 143 total responden
penelitian. Hal ini memberikan arti bahwa dalam populasi penelitian sebanyak
sekitar separuh populasi penelitian mengafirmasi enam atau lebih pertanyaan dari
kuesioner SRQ dan membutuhkan diagnosa lebih lanjut kepada tenaga kesehatan
untuk berkonsultasi. Berdasarkan data Riskesdas 2007 dan 2013, proporsi
penduduk umur ≥15 tahun di Indonesia untuk gangguan mental emosional masih
lebih banyak pada perempuan. Jawa Barat merupakan daerah paling tinggi
prevalensi gangguan mental emosional (9.3%) bila dibandingkan dengan wilayah
Jawa lainnya seperti DKI Jakarta (5.7%), Jawa Tengah (4.7%), DI Yogyakarta
(8.1%), Jawa Timur (6.5%), dan Banten (5.1%).
63

Tabel 31 Sebaran status rawan pangan berdasarkan kategori status gangguan


mental emosional
Tidak ada
Gangguan
Dummy variable gangguan
Jumlah % Jumlah %
Tidak rawan pangan 42 59.1 23 31.9
Indikasi rawan pangan (1-3) 22 31.0 19 26.4
Indikasi rawan pangan sedang (4-6) 7 9.9 17 23.6
Indikasi rawan pangan berat (7-8) 0 0 13 18.1

Berdasarkan kategori ada tidaknya status gangguan mental emosional pada


populasi penelitian yang rawan pangan, maka Tabel 31 menggambarkan sebaran
jumlah responden yang masuk dalam kategori dummy variable indikasi rawan
pangan tingkat ringan, sedang, dan berat. Sebaran tersebut menunjukkan bahwa
59.1% responden yang tidak rawan pangan atau memiliki akses pangan yang baik
ternyata tidak memiliki gangguan mental emosional selama 30 hari terakhir. Pada
populasi penelitian ini juga menunjukkan bahwa prevalensi semakin rawan
pangan berat maka semakin kecil prevalensi gangguan mental emosional. Hal ini
menunjukkan pola bahwa pada keadaan kesulitan akses pangan tingkat ringan
dapat mengganggu mental emosional responden, namun tidak dengan ketika
rawan pangan berat terjadi. Gambaran ini didukung oleh hasil hubungan status
kerawanan pangan dengan status gangguan mental emosional pada Tabel 32, yang
menunjukkan bahwa adanya hubungan mental emosional dengan rawan pangan
hanya sampai rawan pangan tingkat sedang.
Tabel 32 Hubungan status kerawanan pangan dengan status gangguan mental
emosional
Dummy Variable p OR 95%CI
Indikasi rawan pangan (1-3) 0.263 1.577 0.711-3.499
Indikasi rawan pangan sedang (4-6) 0.004* 4.435 1.605-12.255
Indikasi rawan pangan berat (7-8) 0.998 2.950E9 0.000-_____
p: p-value
OR: Odd Ratio
Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, bahwa terdapat hubungan antara
kondisi kesulitan akses pangan yang berat terhadap kejadian hipertensi pada
responden penelitian, maka dugaan terhadap variabel stress sebagai variabel
perantara di antara keduanya menjadi perhatian tersendiri untuk dianalisis.
Berdasarkan Tabel 32, dapat diketahui bahwa indikasi adanya kondisi kesulitan
akses pangan tingkat sedang berhubungan dengan kejadian gangguan mental
emosional di dalam populasi penelitian. Responden yang mengalami kesulitan
akses pangan tingkat sedang memiliki resiko 4.435 kali untuk memiliki gangguan
mental emosional dibandingkan mereka yang tidak merasakan kesulitan akses
pangan tingkat sedang.
Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa adanya hubungan kelompok
rawan pangan sedang yang memiliki hubungan terhadap stres atau gangguan
mental emosional, namun tidak dengan kelompok rawan pangan berat, diduga
dapat terjadi karena adanya proses koping stres yang terjadi dalam populasi
64

penelitian. Koping merupakan proses yang dialami individu berupa pemikiran dan
tindakan atau perilaku-perilaku untuk mengatur atau mengelola ketidaksesuaian
antara tuntutan dari suatu situasi dan sumber yang dimiliki individu dalam menilai
atau menghadapi stres (Taylor 2009).
Strategi koping dibagi menjadi dua, yaitu problem focused coping dan
emotional focused coping. Problem focused coping merupakan usaha yang
dilakukan individu dengan cara menghadapi secara langsung sumber penyebab
masalah, sedangkan emotional focused coping merupakan usaha untuk
mengurangi reaksi emosional negatif terhadap stres dengan mengalihkan
perhatian dari masalah, melakukan relaksasi, atau mencari rasa nyaman dengan
hal-hal tertentu (Lazarus RS 1996 dalam Sadaghiani and Sorkhab 2013). Selye
(1950) dalam Rice menyatakan dalam mengolah suatu stres yang sesuai dengan
berat atau ringan dan lama atau singkatnya stres berlangsung, maka individu akan
mengalami 3 hal, yaitu alarm reaction, stage of resistance, dan exhaustion. Pada
tahap alarm reaction, tubuh akan melakukan fight-or-flight melawan atau lari dari
sumber stres. Reaksi tubuh terhadap stres ini tidak berlangsung lama. Setelah itu
akan masuk ke dalam tahap adaptasi atau resisten, yang mana gejala stres di awal
mulai menghilang dan terjadi penyesuaian dengan perubahan lingkungan.
Individu akan merasa biasa saja ketika stres tersebut datang kembali karena tubuh
sudah terbiasa. Hubungan antara rawan pangan tingkat sedang dengan gangguan
mental emosional dapat terjadi karena hal ini, ketika kondisi rawan pangan tingkat
sedang muncul sebagai stresor pada tahap alarm reaction, sedangkan pada rawan
pangan tingkat berat ada pada tahap stage of resistance.
WHO (2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kesehatan
mental dengan penyakit kronis. Salah satu contohnya adalah keadaan depresi yang
dikaitkan dengan kurang lebih dua kali lipat kejadian berulang dan memicu
terjadinya kematian antara satu dan dua tahun setelah peristiwa depresi awal
terjadi. Memburuknya prognosis ini adalah karena depresi. Autoye (2015)
mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara kepala keluarga dari rumah
tangga rawan pangan dengan status kesehatan mental yang buruk. Stres dan
kecemasan akan ketidakmampuan mempertahankan ketahanan pangan dalam
keluarga menjelaskan alasan kepala keluarga memiliki riwayat kesehatan mental
yang buruk. Begitu pula dengan wanita, berisiko terpapar kesehatan mental yang
buruk karena beban sehari-hari untuk memberikan makan keluarga sehingga
timbul stres dan kecemasan yang lebih besar daripada kepala rumah tangga.
Gangguan mental emosional atau stres psikologis merupakan tanda seseorang
mengalami suatu kondisi yang memerlukan adaptasi, tetapi stres yang
berkepanjangan akan merusak mekanisme fungsional tubuh. Hal ini menjelaskan
bahwa keadaan rawan pangan tingkat berat yang berkepanjangan dapat
memengaruhi kesehatan termasuk hipertensi.
Selanjutnya, dilakukan analisis hubungan antara gangguan mental
emosional dengan kejadian hipertensi dalam populasi penelitian, Tabel 33
menunjukkan gambaran hubungan dan sebaran responden penelitian antara status
gangguan mental emosional dengan status hipertensi.
65

Tabel 33 Hubungan gangguan mental emosional dengan status hipertensi


Status Gangguan Mental Normal Hipertensi
OR 95%CI p
Emosional n % n %
Tidak gangguan mental
35 49.3 36 50.00 0.505-
emosional 0.972 0.933
1.873
Gangguan mental emosional 36 50.7 36 50.00

Hasil Tabel 33 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara stres atau
gangguan mental emosional dengan kejadian hipertensi di wilayah populasi
penelitian (p>0.05). Hasil tetap tidak menunjukkan adanya hubungan antara status
gangguan mental emosional dengan status hipertensi meskipun telah dilakukan uji
Chi-Square multi tabel (p=0.933, p>0.05) (Tabel 34).
Tabel 34 Hubungan gangguan mental emosional dan hipertensi berdasarkan
kelompok umur
Normal Hipertensi
Variabel
n % n % p
Dewasa menengah Tidak gangguan mental emosional 27 38.0 15 20.8
0.457
Gangguan mental emosional 26 36.6 20 27.8
Dewasa lanjut Tidak gangguan mental emosional 8 11.3 21 29.2
0.391
Gangguan mental emosional 10 14.1 16 22.2

SRQ sebagai alat ukur yang digunakan, terdiri dari 20 pertanyaan yang
mengarah pada gangguan mental emosional. Berdasarkan 20 pertanyaan tersebut,
maka dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan respon dari kelompok
normal dan hipertensi terhadap pertanyaan-pertanyaan gangguan mental
emosional (Tabel 34).
Tabel 35 Daftar pertanyaan SRQ berdasarkan kategori hipertensi
Normal Hipertensi
No Item Pertanyaan p
n % n %
1 Anda sering menderita sakit kepala? 50 70.4 55 76.4 0.419
2 Anda tidak nafsu makan? 36 50.7 38 52.8 0.804
3 Anda sulit tidur? 34 47.9 40 55.6 0.359
4 Anda mudah takut? 25 35.2 30 41.7 0.428
5 Anda merasa tegang, cemas atau kuatir? 35 49.3 35 48.6 0.935
6 Tangan anda gemetar? 18 25.4 25 34.7 0.222
7 Pencernaan anda terganggu/buruk? 18 25.4 24 33.3 0.295
8 Anda sulit untuk berpikir jernih? 25 35.2 27 37.5 0.776
9 Anda merasa tidak bahagia? 25 35.2 18 25.0 0.186
10 Anda menangis lebih sering? 17 23.9 25 34.7 0.157
Anda merasa sulit untuk menikmati
11 18 25.4 29 40.3 0.057
kegiatan sehari hari?
12 Anda sulit untuk mengambil keputusan? 24 33.8 25 34.7 0.908
13 Pekerjaan sehari-hari anda terganggu? 19 26.8 18 25.0 0.811
Anda tidak mampu melakukan hal-hal
14 20 28.2 19 26.4 0.813
yang bermanfaat dalam hidup?
15 Anda kehilangan minat pada berbagai hal? 18 25.4 26 36.1 0.163
66

Tabel 34 Daftar pertanyaan SRQ berdasarkan kategori hipertensi (lanjutan)


Normal Hipertensi
No Item Pertanyaan p
n % n %
16 Anda merasa tidak berharga? 16 22.5 24 33.3 0.150
Anda mempunyai pikiran untuk
17 5 7.0 9 12.5 0.272
mengakhiri hidup?
18 Anda merasa lelah sepanjang waktu? 26 36.6 29 40.3 0.653
19 Anda mengalami rasa tidak enak di perut? 22 31.0 34 47.2 0.047*
20 Anda mudah lelah? 34 47.9 36 50.0 0.801

Berdasarkan Tabel 34 diketahui bahwa tidak ada perbedaan signifikan


antara jumlah jawaban responden kelompok tekanan darah normal dan hipertensi
pada masing-masing pertanyaan (p>0.05), kecuali pada pertanyaan nomor 19
mengenai rasa tidak enak di perut (p=0.047, p<0.05).
Penelitian Idaiani dan Wahyuni (2016) menganalisis data cross sectional
Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa meskipun ada hubungan antara stres
atau gangguan mental emosional terhadap hipertensi, tetapi hubungannya sangat
kecil yaitu OR mendekati 1. Malonda et al. (2012) melalui penelitian kasus-
kontrol mengungkap bahwa tidak ada hubungan antara stres dengan hipertensi
pada lansia. Berbeda dengan penelitian kohort prospektif yang dilakukan oleh
Rahajeng et al. (2016) bahwa mereka yang mengonsumsi natrium tinggi dan
mengalami stres ditemukan lebih cepat mengalami hipertensi dibandingkan yang
tidak stres. Hal ini memberikan arti bahwa stres yang terus menerus dan bersifat
kronik hingga merubah pola makan akan memberikan dampak terhadap status
tekanan darah, namun tidak bila hanya stres dengan periode yang singkat.
Kelemahan dari penelitian ini adalah pengukuran gangguan mental
emosional hanya dinilai dalam waktu singkat selama ada gejala dalam 30 hari
terakhir, sedangkan kerawanan pangan memiliki kerangka waktu kronis 12 bulan
ke belakang, sehingga kurang menggambarkan hubungan antara kerawanan
pangan dan mental emosional atau stres. Begitu pula dengan keadaan data asupan
yang mana responden hipertensi telah melakukan perubahan diet. Stres yang
berkepanjangan dan terus-menerus akan merusak mekanisme fungsional tubuh.
Mekanisme yang mendasarinya adalah adanya perubahan aksis hipothalamo
pituitary adrenal (HPA) yang dipicu oleh stres kronik. Seperti yang telah
diketahui, stres menyebabkan pengeluaran hormon adrenalin, yang bila terus
menerus diproduksi akan mengaktivasi perubahan aksis HPA. Perubahan ini
menyebabkan meningkatnya tekanan darah, meskipun ada beberapa pendapat
yang menyatakan hal ini belum pasti (Idaiani & Wahyuni 2016).

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara responden yang


memiliki indikasi kondisi rawan pangan tingkat berat terhadap kejadian
hipertensi, dalam hal ini karena memiliki akses pangan yang sangat sulit,
67

responden memiliki resiko hipertensi sebanyak 4.138 kali lipat dibandingkan


orang yang tidak memiliki kesulitan akses pangan. Pertanyaan kerawanan pangan
dari alat ukur FIES menggambarkan adanya perubahan mulai dari kecemasan lalu
terjadi perubahan diet hingga tidak dapat makan seharian karena kesulitan
mengakses pangan.
Tidak ada hubungan antara rawan pangan dengan kualitas diet, begitu pula
tidak ada hubungan antara kualitas diet dengan hipertensi. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam populasi penelitian, kualitas diet asupan responden bukan
merupakan faktor yang menyebabkan hipertensi terjadi pada kondisi rawan
pangan. Namun perlu menjadi perhatian tersendiri, bahwa responden hipertensi
telah melakukan perubahan jenis asupan makan seperti mengurangi makanan asin,
berlemak/gorengan/jeroan, mengurangi garam, dan vetsin. Meskipun begitu,
setelah kelompok hipertensi dengan perubahan diet dikeluarkan, tetap tidak ada
hubungan antara rawan pangan berat dengan kualitas diet. Hal ini memberikan arti
bahwa rawan pangan berat memberikan pengaruh terhadap hipertensi namun
bukan melalui jalur kualitas diet maupun asupan makanan. Pola makan di
perdesaan ditandai dengan tidak adanya perbedaan asupan zat gizi juga diduga
karena adanya perubahan urbanisasi pola hidup sehingga pola makan cenderung
mulai homogen. Selain itu, kelemahan penelitian ini intake asupan natrium hanya
berasal dari makanan, belum merupakan garam tambahan seperti penggunaan
garam meja.
Terdapat hubungan antara kondisi rawan pangan tingkat sedang dengan
gangguan mental emosional responden. Responden yang mengalami kesulitan
akses pangan tingkat sedang memiliki resiko 4.435 kali untuk memiliki gangguan
mental emosional dibandingkan mereka yang tidak merasakan kesulitan akses
pangan tingkat sedang. Berdasarkan hasil sebaran, ditemukan juga bahwa ada
kecenderungan semakin adanya indikasi kesulitan akses pangan tingkat berat
dalam populasi penelitian, maka semakin sedikit yang terdeteksi tidak ada
gangguan mental emosional, namun perlu diperhatikan juga bahwa proporsi
responden yang tidak memiliki kondisi rawan pangan juga paling banyak untuk
tidak memiliki gangguan mental emosional. Hal ini diduga karena adanya proses
adaptasi atau resistensi pada kelompok tingkat rawan pangan berat, namun dalam
masa alarm reaction pada kelompok rawan pangan tingkat sedang. Berdasarkan
penelitian ini, kondisi rawan pangan tingkat sedang merupakan kondisi dimana
responden telah melalui fase kekhawatiran akan kesulitan mengakses pangan
hingga responden mulai merubah pola makan, sehingga berpengaruh terhadap
gangguan mental emosional atau stres sesaatnya.
Variabel umur menjadi faktor yang dapat memengaruhi kejadian
hipertensi dalam populasi penelitian (p<0.05). Hal ini memberikan arti bahwa
wanita dengan umur 45-55 tahun (dewasa lanjut) lebih berisiko 3.113 kali lipat
daripada umur 35-44 tahun (dewasa menengah). Oleh karena itu, penyebab
hipertensi dalam penelitian ini adalah umur responden.

Saran

Berdasarkan temuan pada penelitian di atas, maka perlu dilakukan


penelitian selanjutnya untuk mengetahui aspek akses pangan yang memengaruhi
terjadinya kerawanan pangan pada wanita diperdesaan yang akhirnya
68

berhubungan dengan hipertensi. Menindaklanjuti kelemahan dalam penelitian ini,


peneliti menyarankan untuk memperhatikan kriteria responden telah melakukan
perubahan diet atau belum dan juga menggunakan alat ukut kesehatan mental
yang lain agar bisa dilakukan perbandingan. Selain itu, pengukuran terhadap
asupan natrium pada garam tambahan seperti garam meja, kecap, dan bumbu
lainnya juga perlu diperhatikan. Desain penelitian kohort atau case control
terhadap hubungan rawan pangan dengan hipertensi dapat menjadi perhatian
untuk penelitian selanjutnya. Pengembangan variabel yang lebih luas juga bisa
menjadi perhatian pada penelitian selanjutnya mengingat dimensi kerawanan
pangan yang sangat luas, tidak hanya aksesibilitas, namun juga terdapat dimensi
ketersediaan, utilitas, dan stabilitas.

DAFTAR PUSTAKA

[ADA] American Dietetic Association (US). 2009. Hypertension. ADA Evidence


Analysis Library. Chicago: ADA.
[AHA] American Heart Association. 2010. Heart Disease and Stroke Statistics:
2010 Update At-A-Glance. Dallas (US): American Heart Association.
Allen L, Williams J, Townsend N, Mikkelsen B, Roberts N, Foster C,
Wickramasinghe K. 2017. Socioeconomic Status And Non-Communicable
Disease Behavioural Risk Factors In Low-Income And Lower-Middle-
Income Countries: A Systematic Review. Lancet Glob Health. 5:e277-89.
Amirian, Baliwati YF. Kustiyah L. 2008. Ketahanan pangan rumah tangga petani
sawah di wilayah enclave taman nasional Bukit Barisan Selatan. J Giz
Pangan. 3(3):132-138.
Angkawijaya AA. 2015. Hubungan Tingkat Pengetahuan Masyarakat dengan
Tindakan Pencegahan Hipertensi Di Desa Motoboi Kecil Kecamatan
Kotamobagu Selatan. J Kedokt Komunitas Trop. 4(1):73–7.
Appel JL, Brands MW, Daniels SR, Karanja N, Elmer PJ, Sacks FM. 2006.
Dietary Approaches to Prevent and Treat Hypertension: A Scientific
Statement From the American Heart Association. Hypertension. 47:p296-
308.
Bailey R. 2017. Estimating Sodium &amp; Potassium Intakes and their Ratio in
the American Diet. [diunduh 8 Agustus 2018] .http://ilsi.org/wp-
content/uploads/2017/10/Bailey-final-iuns_sodium.pdf.
Balitbangkes] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI. 2014. Survei
Diet Total tahun 2014. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan RI. ISBN
978-602-1099-31-5.
Ballard, T.J., Kepple, A.W. & Cafiero, C. 2013. The Food Insecurity Experience
Scale: Developing A Global Standard For Monitoring Hunger Worldwide.
Technical Paper. [diunduh 2017 Aug 6]. Rome (RO): FAO. Tersedia pada:
http://www.fao.org/economic/ess/ess-fs/voices/en/.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Jumlah Penduduk Miskin, Persentase
Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan Tahun 1970-2017. BPS [Internet].
[diunduh 2017 November 5]. Tersedia pada:
https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1494.
69

Brown, JE. 2011. Nutrition Through the Life Cycle. 4th Edition. Belmont (CA):
Wadsworth Cengage Learning.
Busingye D, Arabshahi S, Subasinghe AK, Evans RG, Riddell MA, Thrift AG.
2014. Do the socioeconomic and hypertension gradients in rural
populations of lowand middle-income countries differ by geographical
region? A systematic review and meta-analysis. Int J Epidemiol.
43(5):1563–77.
Campbell, C.C. 1990. Food insecurity: a nutritional outcome or a predictor
variable?. Journal of Nutrition, 121:408–415.
Castillo DC, Ramsey NLM, Yu SSK, Ricks M, Courville AB, Sumber AE. 2012.
Inconsistent Access to Food and Cardiometabolic Disease: The Effect of
Food Insecurity. Curr Cardiovasc Risk Rep. 6:245–250.
Cole N, Fox MK. 2008. Diet Quality Of Americans By Food Stamp Participation
Status: Data From The National Health And Nutrition Examination Survey
1999 2004. Food And Nutrition Service (US): US Department Of
Agriculture.
Coleman-Jensen M. Rabbitt MP, Gregory C, Singh A. 2015. Household food
security in the United States in 2014. New York (US): US Department of
Agriculture, Economic Research Service.
Colhoun HM, Hemingway H, Poulter NR. 1998. Socio-economic status and blood
pressure : an overview analysis. J Hum Hypertens. 12(2):91–110.
Conlin PR, Chow D, Miller ER, Svetkey LP, Lin P, Harsha DW, Moore TJ, Sacks
FM, Appel LJ. 2000. The effect of dietary patterns on blood pressure
control in hypertensive patients: Results from the dietary approaches to
stop hypertension (DASH) trial. Am J Hyp. 13(9):949-955.
Despres JP. Lemieux I. 2006. Abdominal obesity and metabolic syndrome.
Abstract. Nature. 14;444(7121):881-7.
Dewifianita R, Hidayat N, Setiyobroto I. 2017. Pengaruh Pemberian Konseling
Diet Dash (Dietary Approach To Stop Hypertension) Terhadap Perubahan
Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi Peserta Prolanis Di Puskesmas
Sentolo I Kabupaten Kulon Progo. Naskah Publikasi. Yogyakarta (ID):
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta.
Dickinson HO, Mason JM, Nicolson DJ, Campbell F, Beyer FR, Cook JV,
Williams B, Ford GA. 2006. Lifestyle interventions to reduce raised blood
pressure: a systematic review of randomized controlled trials. Abstract. J
Hypertens. 24(2):215-33.
[FAO, FHI 360]. Food and Agriculture Organization, Family Health
International 360. 2016. Minimum Dietary Diversity for Women: A Guide
for Measurement. Rome (RO): FAO.
[FAO, IFAD, WFP]. Food and Agriculture Organization, International Fund for
Agricultural Development, World Food Programme. 2015. The State of
Food Insecurity in the World 2015. Meeting the 2015 international hunger
targets: taking stock of uneven progress. Rome (RO): FAO.
[FAO] Food and Agriculture Organization. [tanpa tahun]. The Food Insecurity
Experience Scale: Measuring Food Insecurity Through People’s
Experiences. Report. Rome (RO): FAO.
70

_____. 2016. Methods For Estimating Comparable Rates Of Food Insecurity


Experienced By Adults Throughout The World. Technical Report. Rome
(RO): FAO.
Fitria E. 2016 Karakteristik Penderita Hipertensi Pada Ulee Kareng Kota Banda
Aceh. SEL3(2):64–70.
Finizio A, Ahmed S, Umberger W. 2016. Understanding the determinants of diet
quality among rural agricultural farm households in Fiji [Report].
Australian Agricultural and Resource Economics Society.
[FRAC] Food Research and Action Center. 2017. The Impact of Poverty, Food
Insecurity, and Poor Nutrition on Health and Well-Being. [diunduh tanggal
21 Oktober 2018]. http://frac.org/wp-content/uploads/hunger-health-
impact-poverty-food-insecurity-health-well-being.pdf
Fung TF, Chiuve E, McCullough ML, Rexrode KM, Logroscino GL, Hu FB.
2008. Adherence to a DASH-style diet and risk of coronary heart disease
and stroke in women. Arch Intern Med. 168(7): 713-720.
Ghani L, Susilawati MD, Novriani H. 2016. Faktor Risiko Dominan Penyakit
Jantung Koroner di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. 44( 3): p153
– 164.
Gowda C, Hadley C, Aiello AE. 2012. The Association Between Food Insecurity
and Inflammation in the US Adult Population. Am J Pub Health.
8(102):1579-1586.
Harahap H. 2009. Pengaruh Diet Penurunan Berat Badan dan Tekanan Darah
Pada Penderita Prahipertensi Yang Kegemukan [Disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Hardinsyah, Riyadi H, Napitupulu V. 2012. Kecukupan energi, protein, lemak dan
karbohidrat: WNPG 2004. Dep Gizi FK UI. 1–26.
Harrington JM, Fitzgerald AP, Kearny PM, McCarthy VJC, Madden J, Browne G,
Dolan E, Perry J. 2013. DASH Diet Score and Distribution of Blood
Pressure in Middle-Aged Men and Women. Am J of Hyp 26(11): p1311-
13120.
Hartono IG. 1995. Psychiatric Morbidity Among Patients Attending The
Bangetayu Community Health Centre in Indonesia [Thesis]. Perth (AU):
University of Western Australia.
Ibekwe RU. 2015. Modifable Risk factors of Hypertension and Socio‑
demographic Profle in Oghara, Delta State; Prevalence and Correlates.
Annals Med Health Sci Res. 1(5):71-77.
Idaiani S. 2009. Kesehatan Jiwa Yang Terabaikan Dari Target Milenium. J Kes
Masy Nas. 4(3):137 -144.
Indrawati L, Werdbasari A, Yuki AK. 2009. Hubungan pola kebiasaan diet
makanan masyarakat miskin dengan kejadian hipertensi di Indonesia. Med
Litbang Kes 19(4):174-184.
Institute of Medicine, Hunger and Obesity. 2011. Understanding a Food
Insecurity Paradigm: Workshop Summary. Washington (US): Te National
Academies Press.
Isfandari S. 2016.pada Usia 28 Tahun: Masukan untuk Perbaikan Pelayanan
Kesehatan. Penyimpangan Pola Prevalensi Hipertensi di Indonesia –
Penyusulan oleh Perempuan. Buletin Penelitian Kesehatan. 45(1): p1 – 10.
71

Jayati LD, Madanijah S, Khomsan A. 2014. Pola Konsumsi Pangan, Kebiasaan


Makan, Dan Densitas Gizi Pada Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa
Barat. Panel Gizi Makan. 37 (1): 33-42
Jebena MG, Lindstrom D, Lachat C, Belachew T, Kolsteren P. 2017. The effect of
food insecurity on health status of adolescents in Ethiopia: longitudinal
study. BMC Pub Health. 17:465.
[JNC] Joint National Committee. 2004. The Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, Treatment of High Blood
Pressure. London (GB): NIH Publication No. 04-5230.
_____. 2006. Lowering Your Blood Pressure with DASH. London (GB): NIH
Publication No. 06-4082.
Johnson RJ, Segal MS, Sautin Y, Nakagawa T, Feig DI, Kang D, Gersch MS,
Benner S, Sanzhes-Lozada LG. 2007. Potential role of sugar (fructose) in
the epidemic of hypertension , obesity and the metabolic syndrome,
diabetes, kidney disease, and cardiovaskular disease. Am J Clin Nutr.
Oct86(4):899–906.
Jones AD. Food insecurity and mental health status: a global analysis of 149
countries. 2017. Am J Prev Med. 53(2):264-273.
Julianty P. 2010. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Hipertensi di
Daerah Perkotaan (Analisis Data Riskesdas 2007). Gizi Indon. 33(1):59–
66.
Kamal M. 2012. Pengaruh Diet dan Olahraga Jalan Cepat untuk Mengendalikan
Tekanan Darah Laki–Laki Penderita Prahipertensi [Disertasi]. Bogor
(ID):Institut Pertanian Bogor .
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar Tahun
2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
Jakarta (ID): Balitbangkes.
______. 2013. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Jakarta (ID): Balitbangkes.
______. 2014. Hipertensi. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
[Diunduh 2017 Oktober 11]. Tersedia pada
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/
infodatin-hipertensi.pdf.
______. 2016. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta (ID): Balitbangkes.
ISBN 978-602-416-065-4.
Khayat, Patt B, Hayes D. 2009. Obstructive sleep apnea: the new cardiovaskular
disease. Part I: obstructive sleep apnea and the pathogenesis of vaskular
disease. Heart Fail Rev. 14(3): 143–153.
Kretowicz M, Johnson RJ, Ishimoto T, Nakagawa T, Manitius J. 2011. The
Impact of Fructose on Renal Function and Blood Pressure. Int J Nephrol.
1–5.
Kris-Etherton PM, Grieger JA, Hilpert KF, West SG. 2009. Milk products, dietary
patterns and blood pressure management. J Am Coll Nutr. 28:103S–119S.
Krummel DA. 2004. Chapter 36: Medical nutrition therapy in hypertension. In:
Mahan LK, Stump ES. Krause’s food, nutrition, and diet theraphy 11th
edition. Canada (CA): Saunders Elsevier.
72

Kumar, V, Abbas, AK, Fausto, N. 2005. Hypertensive Vascular Disease. Dalam:


Robin and Cotran Pathologic Basis of Disease, 7th edition. Philadelpia
(PH): Elsevier Saunders:528-529.
Lima R, Wofford M, Reckelhoff JF. 2013. Hypertension in Postmenopausal
Women.Curr Hypertens Rep. 14(3):254–60.
Lipoeto N, Wattanapenpaiboon, Malik, Wahlqvist ML. 2004. The nutrition
transition in West Sumatra, Indonesia. Asia Pac J Clin Nutr. 13 (3): 312-
316.
Lwanga SK, Lemeshow S. 1991. Sample Size Determination in Health Studies.
World Health Organization. Geneva (CH): WHO.
Mahan L, Escott-Stump S, Raymond J, Krause M. 2012. Krause’s food & the
nutrition care process. US Patent 1,503,006. 36–40.
Malonda NSH, Dinarti LK, Pangastuti R. 2012. Pola Makan Dan Konsumsi
Alkohol Sebagai Faktor Risiko Hipertensi Pada Lansia. J Gizi Klinik
Indon. 8(4):P202-212.
Mathieu P, Poirier P, Pibarot P, Lemieux I, Despres JP. 2009. Visceral obesity:
the link among inflammation, hypertension, and cardiovaskular disease.
Hypertension. 53(4):577-84.
Maxwell D, Caldwell R. 2008. The Coping Strategy Index: A tool for rapid
measurement of household food security and the impact of food aid
programs in humanitarian emergencies (US): Cooperative for Assistance
and Relief Everywhere, Inc. (CARE).
Menè P, Punzo G. 2008. Uric acid: Bystander or culprit in hypertension and
progressive renal disease. J Hypertens. 26(11):2085–92.
Mierlo LAJ, Arends LR, Streppel MT, Zeegers MPA, Kok FJ, Grobbee DE,
Geleinjse JM. 2006. Blood pressure response to calcium supplementation:
A meta-analysis of randomized controlled trials. J Hum Hypertens.
20(8):571–580.
Miller ER, Erlinger TP, Appel LJ. 2006. The effects of macronutrients on blood
pressure and lipids: an overview of the DASH and OmniHeart trials.
Abstract. Curr Atheroscler Rep. 8(6):460-5.
Morenga LA Te, Howatson AJ, Jones RM, Mann J. 2014. Dietary sugars and
cardiometabolic risk : systematic review and meta-analyses of randomized
controlled trials of the effects on blood pressure and lipids. Am J Clin Nutr.
100(1):65–79.
Newton-Cheh C, Johnson T, Gateva V, Tobin MD, Bochud M, Coin L, Najjar SS,
Zhao JH, Heath SD, Eyheramendy S, et al. 2009. Genome-Wide
Association Study Identifies Eight Loci Associated With Blood Pressure.
Nat Genet. 41(6):p666-667.
Norton GR, Brooksbank R, Woodiwiss AJ. 2010. Gene variants of the renin-
angiotensin system and hypertension: from a trough of disillusionment to a
welcome phase of enlightenment?. Abstract. Clin Sci
(Lond). 26;118(8):487-506.
[NSC] National Safety Council. 2004. Stress Management. Boston (US): Jones
and Bartlett Publishers.
Pemerintah Republik Indonesia. 2013. Peraturan Kementerian Kesehatan RI
Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula,
73

Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan
Pangan Siap Saji. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Perdana SM. 2014. Alternatif Indeks Gizi Seimbang untuk Penilaian Mutu Gizi
Konsumsi Pangan Wanita Dewasa Indonesia. J Gizi Pangan. 9(1): 43-50.
Prakash A. 2011. Safeguarding Food Security in Volatile Global Markets. Food
and Agriculture. ISBN 978-92-5-1068038. Rome (RO): FAO.
Preuss HA, Pfeifer H, Schoeneberger H, Gross R. 2000. The Four Dimensions of
Food and Nutrition Security: Definitions and Concepts. Food and
Agriculture Organization: Nutrition and Food Security. Apr:p 3-5.
Rahadiyanti A, Setianto BY, Purba MB. 2015. Asupan makan DASH-like diet
untuk mencegah risiko hipertensi pada wanita prediabetes. J Gizi Klinik
Ind. 11: 115-125.
Rahajeng E, Kristanti D, Kusumawardani N. 2016. Perbedaan Laju Kecepatan
Terjadinya Hipertensi Menurut Konsumsi Natrium: Studi Kohort
Prospektif Di Kota Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Penelitian Gizi dan
Makanan. 39(1):45–53.
Rahajeng E, Tuminah S. 2009. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di
Indonesia. Maj Kedokt Indon. 59(12):580-587.
Raymond JL, Couch SC. 2011. Chapter 34: Medical Nutrition Therapy for
Cardiovascular Disease. In: Mahan LK, Stump ES, Raymond JL.
Krause’s Food and the Nutrition Care Process 13th edition. Canada (CA):
Saunders Elsevier.
Reddy KS, Naik N, Prabhakaran D. 2006. Hypertension in the developing world:
A consequence of progress. Curr Cardiol Rep. 8(6):399–404.
Rice VH. 2012. Handbook of stress, coping, and health : implications for nursing
research, theory, and practice 2nd edition. Los Angeles (US): Sage
Publications, c2012.
Ridhwan H, Heryudarini, Setiawan B, Effendi I. 2012. An efficacy of the
Indonesian modified dash diet on reducing body weight and blood
pressure. Abstract. Nutr and Diet. 69(1): 121.
Riyadina W, Kodim N, Madanijah S. 2017. Determinan obesitas pada perempuan
pasca-menopause di Kota Bogor tahun 2014. Gizi Indon. 40(1):45-58.
Sadaghiani NSK, Sorkhab MS. The Comparison of Coping Styles in Depressed,
Anxious, Under Stress Individuals and the Normal Ones. Procedia Soc
Behav Sci. 84:615-620.
Saneei P, Abargouei AS, Esmaillzadeh A, Azadbakt L. Influence of Dietary
Approaches to Stop Hypertension (DASH) diet on blood pressure: a
systematic review and meta-analysis on randomized controlled trials.
Nutr, Metab and Card Dis. doi:10.1016/j.numecd.2014.06.008.
Saputri DE. 2010. Hubungan Stres Dengan Hipertensi Pada Penduduk Di
Indonesia Tahun 2007 (Analisis Data Riskesdas 2007) [Tesis]. Jakarta
(ID): Universitas Indonesia.
Savioa and Schiffrin. 2007. Vaskular inflammation in hypertension and diabetes:
molecular mechanisms and therapeutic interventions. Abstract. Clin Sci
(Lond). 112(7):375-84.
Seligman HK, Schillinger D. 2010. Hunger and Socioeconomic Disparities in
Chronic Disease. N Engl J Med. 363;1.
74

Seligman HK, Laraia BA, Kushel MB. 2010. Food insecurity is associated with
chronic disease among low-income NHAHES participants. J Nutr.
140:304-310.
Selye H. 1950. Stress and the general adaptation syndrome. British Med J.
1(4667):1383-1392.
Sihombing . 2017. Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi pada Penduduk
Indonesia yang Menderita Diabetes Melitus (Data Riskesdas 2013).
Buletin Penelitian Kesehatan. 45( 1):53 – 64.
Smith, Lisa, Harold Alderman, and D. Aduayom. 2006. Food Insecurity In Sub-
Saharan Africa: New Estimates From Household Expenditure Surveys.
Research Report 146. Washington DC (US): IFPRI.
Sointia B, Touyz RM. 2007. Role of magnesium in hypertension. Abstract. Arch
Biochem Biophys. 1;458(1):33-9.
Spruill TM. 2010. Chronic Psychosocial Stress and Hypertension. Curr Hypertens
Rep. 12(1): 10–16.
Steptoe A, Kivimaki M. 2012. Stress and Cardiovaskular Disease. Nat Rev
Cardiol. 9:360–370.
Tanziha I, Syarief H, Kusharto CM, Hardinsyah, Sukandar D. 2005. Analisis
Determinan Kelaparan. Med Gizi&Keluarga, Des 2005 29(2):14-23.
Tarigan AR, Lubis Z, Syarifah. 2018. Dukungan Keluarga Terhadap Diet
Hipertensi Di Desa Hulu Kecamatan Pancur Batu Tahun 2016. J
Kesehatan. 11(1):8–16.
Taylor JY, Washington OGM, Artinian NT, Lichtenberg P. 2008. Relationship
Between Depression and Specific Health Indicators Among Hypertensive
African American Parents and Grandparents. Prog Cardiovasc Nurs.
23(2): 68–78.
[US HHS] US Department of Health and Human Services (US). 2006. DASH
Eating Plan: Lower Your Blood Pressure. National Institutes of Health
Publication No 06-4082.
Wahyuni, Susilowati T. 2018. Pola makan dan jenis kelamin dan hubungan
pengetahuan terhadap kejadian hipertensi di kalurahan sambung macan
sragen. Gaster. 16(1):73–82.
Walker RE, Kawachi I. 2012. Use of concept mapping to explore the influence of
food security on food buying practices. J Academy Nutr and Diet. 112:711–
717.
[WHO, FAO] World Health Organization, Food And Agriculture Organization.
1996. Preparation And Use Of Food Based Dietary Guidelines. Report of
a Joint FAO/WHO. Nicosia (VY): FAO/WHO.
[WHO] World Health Organization. 2002. World Health Report 2002: Reducing
Risks, Promoting Healthy Life. Geneva (CH): WHO.
_____. 2011. Noncommunicable Diseases in the South-East Asia Region:
Situation and Response. WHO South-East Asia Region Report. India (IN):
WHO.
_____. 2014. Non Communicable Disease Country Profiles 2014. Geneva (CH):
WHO.
_____. 2014. Noncommunicable Diseases (NCD) Country Profiles: Indonesia.
WHO Report. [diunduh 2017 Okt 11].
http://www.who.int/nmh/countries/idn_en.pdf.
75

_____. 2014. Integrating The Response to Mental Disorders and Other Chronic
Disease in Health Care Systems. WHO Report. [diunduh pada 17 Okt
2018].http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/112830/9789241506
793_eng.pdf;jsessionid=E3B2F8DB04F8BFB35E16708F68F07100?seque
nce=1.
Widmaier E, Raff H, Strang K. 2006. Vander’s human physiology: the
mechanisms of body function.10 th ed. New York (US): McGraw-Hill.
Wirt A, Collins CE. 2009. Diet quality – what is it and does it matter?. Pub Health
Nutr. 12(12):2473-2492.
76
77

LAMPIRAN
78
79

Lampiran 1 Ethical Clearance


80

Lampiran 2 Kuesioner Food Insecurity Experience Scale (FIES)

FOOD INSECURITY EXPERIENCE SCALE (FIES)


Kode Pertanyaan/Pernyataan Jawaban
Q Sekarang saya akan mengajukan beberapa pertanyaan
mengenai makanan. Dalam 12 BULAN terakhir, apakah
ada saat di mana__________?
0. Tidak
1. Ya
77. Tidak Tahu
88. Menolak
Q1 Ibu khawatir, Ibu tidak akan memiliki cukup makanan untuk
disantap karena kurangnya uang atau sumber daya lainnya
Q2 Sambil terus mengingat tentang 12 BULAN terakhir, apakah
ada saat di mana Ibu tidak dapat menyantap makanan sehat
dan bergizi karena kurangnya uang atau sumber daya lainnya
Q3 Ibu hanya menyantap sedikit jenis makanan karena kurangnya
uang atau sumber daya lainnya
Q4 Ibu tidak makan pada jam makan karena tidak memiliki uang
atau sumber daya lain yang cukup untuk mendapatkan makanan
Q5 Sambil terus mengingat tentang 12 BULAN terakhir, apakah
ada saat di mana Ibu makan lebih sedikit daripada seharusnya
karena kurangnya uang atau sumber daya lainnya
Q6 Rumah tangga Ibu kehabisan makanan karena kurangnya uang
atau sumber daya lainnya
Q7 Ibu merasa lapar tapi tidak makan karena kurangnya uang atau
sumber daya lainnya untuk mendapatkan makanan
Jika YA (kode 1) di Q7, Lanjutkan;
Jika TIDAK (kode 0), Loncat ke Q8
Q7A Dalam 12 bulan terakhir, seberapa sering Ibu merasa lapar tapi
tidak makan karena kurangnya uang atau sumber daya lainnya
untuk mendapatkan makanan? Apakah ini hanya terjadi satu
atau dua kali, dalam bulan-bulan tertentu tapi tidak setiap
bulan, atau hampir setiap bulan?
Pewawancara:
Jika responden menjawab hal ini tidak terjadi dalam 12 bulan
terakhir, kembali ke Q7 dan beri kode "Tidak"
a. Hanya satu atau dua kali
b. Dalam bulan-bulan tertentu tapi tidak setiap bulan
c. Hampir setiap bulan
77. Tidak Tahu
88. Menolak
Q8 Dalam 12 BULAN terakhir, apakah ada saat di mana
Ibu tidak makan seharian karena kurangnya uang atau sumber
daya lainnya
Jika YA (kode 1) di Q8, Lanjutkan;
Jika TIDAK (kode 0), Modul FIES SELESAI
81

Q8A Dalam 12 bulan terakhir, seberapa sering Ibu tidak makan


seharian karena kurangnya uang atau sumber daya lainnya?
Apakah ini hanya terjadi satu atau dua kali, dalam bulan-bulan
tertentu tapi tidak setiap bulan, atau hampir setiap bulan?
Pewawancara:
Jika responden menjawab hal ini tidak terjadi dalam 12 bulan
terakhir, kembali ke Q8 dan beri kode "Tidak"
a. Hanya satu atau dua kali
b. Dalam bulan-bulan tertentu tapi tidak setiap bulan
c. Hampir setiap bulan
77. Tidak Tahu
88. Menolak
82

Lampiran 3 Kuesioner Self Reporting Questionnaire (SRQ)

SELF REPORTING QUESTIONNAIRE (SRQ) 20

1. Pertanyaan-pertanyaan berikut berhubungan dengan nyeri tertentu dan masalah


yang mungkin mengganggu Anda selama 30 HARI/ 1 BULAN TERAKHIR.
2. Beri tanda centang (V) pada kolom Ya atau Tidak

No Pertanyaan Ya Tidak
1 anda sering menderita sakit kepala?
2 anda tidak nafsu makan?
3 anda sulit tidur?
4 anda mudah takut?
5 anda merasa tegang, cemas atau kuatir?
6 tangan anda gemetar?
7 pencernaan anda terganggu/buruk?
8 anda sulit untuk berpikir jernih?
9 anda merasa tidak bahagia?
10 anda menangis lebih sering?
11 anda merasa sulit untuk menikmati kegiatan sehari hari?
12 anda sulit untuk mengambil keputusan?
13 pekerjaan sehari-hari anda terganggu?
14 anda tidak mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam
hidup?
15 anda kehilangan minat pada berbagai hal?
16 anda merasa tidak berharga?
17 anda mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup?
18 anda merasa lelah sepanjang waktu?
19 anda mengalami rasa tidak enak di perut?
20 anda mudah lelah?
Total
83

Lampiran 4 Kuesioner Food Recall

P1= 1  Hari Ke – 1 (…………………, …./…./………)


Pertanyaan Jawaban

Apakah makanan kemarin sama seperti makanan yang dimakan 1.Ya 2.Tidak
sehari-hari?
Apakah anda mengonsumsi vitamin/suplemen/obat hari ini 1.Ya 2.Tidak

Jika YA, sebutkan: a). Merk (P3a): …………………..….


b). Jumlah yang dikonsumsi (P3b): ………… tablet/sdm/satuan lainnya, sebutkan ………………..
c). Frekuensi konsumsi (P3c): ………………..…/minggu

Nama Makanan dan Jumlah dimakan


Waktu Bahan pangan
Minuman yang dikonsumsi URT Gram
07.00 Nasi goreng Nasi 1 porsi 100
Minyak 1 sdk 5
Telur ayam 1 btr 60
84

RECALL KONSUMSI PANGAN


P2= 2  Hari Ke – 2 (…………………, …./…./………)
Pertanyaan Jawaban

Apakah makanan kemarin sama seperti makanan yang dimakan 1.Ya 2.Tidak
sehari-hari?
Apakah anda mengonsumsi vitamin/suplemen/obat hari ini 1.Ya 2.Tidak

Jika YA, sebutkan: a). Merk (P3a): …………………..….


b). Jumlah yang dikonsumsi (P3b): ………… tablet/sdm/satuan lainnya, sebutkan ………………..
c). Frekuensi konsumsi (P3c): ………………..…/minggu

Nama Makanan dan Jumlah dimakan


Waktu Bahan pangan
Minuman yang dikonsumsi URT Gram
07.00 Nasi goreng Nasi 1 porsi 100
Minyak 1 sdk 5
Telur ayam 1 btr 60
85

Lampiran 5 Hasil keluaran olah data aplikasi R


PWT input data from R datafile

N complete non-extreme 67
WN complete non-extreme 67
N total 146
N Any Missing 3
WN Any missing 3

N Yes on Perc Yes on WN Yes on WPerc Yes on N Yes on Perc Yes WN Yes WPerc Yes
SE complete non- complete non- complete non- complete non- total on total on total on total
Item Severity severity Infit SE infit Outfit extreme sample extreme sample extreme sample extreme sample sample sample sample sample
WORRIED -2.51269 0.350468 0.959835 0.180451 0.647331 55 82.0895522 55 82.08955 67 45.89041 67 45.89041
HEALTHY -1.38536 0.309653 1.020419 0.146177 0.969926 41 61.1940299 41 61.19403 54 36.9863 54 36.9863
FEWFOOD -1.30972 0.309303 0.897155 0.147286 0.800338 40 59.7014925 40 59.70149 54 36.9863 54 36.9863
SKIPPED 0.58985 0.349188 0.894487 0.193497 0.709669 18 26.8656716 18 26.86567 32 21.91781 32 21.91781
ATELESS -0.4317 0.318626 0.986292 0.172466 0.888211 29 43.2835821 29 43.28358 41 28.08219 41 28.08219
RUNOUT 0.908133 0.364106 0.920131 0.201578 0.772119 15 22.3880597 15 22.38806 27 18.49315 27 18.49315
HUNGRY 1.516963 0.405872 0.939809 0.234173 1.025922 10 14.9253731 10 14.92537 21 14.38356 21 14.38356
WHLDAY 2.624538 0.555808 1.323859 0.395325 6.975425 4 5.97014925 4 5.970149 15 10.27397 15 10.27397
Threshold 213.0137
Raw-score Severity Error N cases W cases -0.431703 2.62453786
0 -3.63895 1.540695 65 65 45.45455 0.0186856 2.3979E-05
1 -2.75421 1.179097 13 13 9.090909 0.0244346 2.5365E-06
2 -1.65361 0.962922 18 18 12.58741 0.1022276 4.4381E-06
3 -0.79787 0.898987 10 10 6.993007 0.3418908 7.0343E-05
4 0.004557 0.883777 8 8 5.594406 0.6892165 0.00151574

85
86

86
5 0.781466 0.899862 9 9 6.293706 0.9111983 0.0202716
6 1.644567 0.969833 7 7 4.895105 0.983857 0.15613916
7 2.769173 1.192195 2 2 1.398601 0.996372 0.54828044
8 3.667585 1.540695 11 11 7.692308 0.9961008 0.75079627
143 100 28.21% 7.44%
Reliab. 0.705302
Reliab. flat 0.756075

Distribution of valid responses


Num valid Num cases Pct cases Wt cases Wt pct Pct if any valid Wt pct if any valid
0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0
6 0 0 0 0 0 0
7 3 2.054795 3 2.054795 2.054795 2.0547945
8 143 97.94521 143 97.94521 97.94521 97.945205

Missing by item if any valid


Item Num missing Pct missing Wt missing Wt pct missing
WORRIED 2 1.369863 2 1.369863
HEALTHY 0 0 0 0
FEWFOOD 0 0 0 0
SKIPPED 0 0 0 0
ATELESS 0 0 0 0
RUNOUT 1 0.684932 1 0.684932
HUNGRY 0 0 0 0
WHLDAY 0 0 0 0
87

Residual correlation
HEALTHY FEWFOOD SKIPPED ATELESS RUNOUT HUNGRY WHLDAY
WORRIED 0.143646 0.205287 0.074792 -0.026 0.037508 -0.022668 -0.4757988
HEALTHY 0.130545 -0.02638 0.041991 -0.00764 -0.125533 -0.3373558
FEWFOOD -0.01152 0.066266 0.098381 -0.116204 -0.3310432
SKIPPED 0.298146 0.000543 0.0280195 -0.1439213
ATELESS -0.10028 0.0168049 -0.4047905
RUNOUT 0.1182801 0.06921127
HUNGRY 0.18413367
1

87
88

Lampiran 6 Hasil uji beda karakteristik sosial ekonomi dengan hipertensi

Table 1

Status Tekanan Darah

Normal Hipertensi

Count Column N % Count Column N %

Kategori Umur Brown Dewasa menengah 53 74.6% 35 48.6%

Dewasa lanjut 18 25.4% 37 51.4%

Kategori Pengetahuan Kurang 18 25.4% 17 23.6%

Baik 14 19.7% 15 20.8%

Cukup 39 54.9% 40 55.6%

Kategori Pendidikan B Tidak tamat SD 14 19.7% 19 26.4%

Tamat SD 57 80.3% 53 73.6%

Kategori Penduduk Di bawah GK 13 18.3% 13 18.1%


Miskin Di atas GK 58 81.7% 59 81.9%

a
Test Statistics

Kategori Umur Kategori Kategori Kategori


Brwon Pengetahuan Pendidikan B Penduduk Miskin

Mann-Whitney U 1890.500 2524.000 2385.500 2549.500

Wilcoxon W 4446.500 5080.000 5013.500 5105.500

Z -3.189 -.144 -.943 -.039

Asymp. Sig. (2-tailed) .001 .886 .346 .969

a. Grouping Variable: Status Tekanan Darah


89

Lampiran 7 Hasil uji hubungan umur dengan hipertensi

Kategori Umur Brwon * Status Tekanan Darah Crosstabulation

Count

Status Tekanan Darah

Normal Hipertensi Total

Kategori Umur Brwon Dewasa menengah 53 35 88

Dewasa lanjut 18 37 55

Total 71 72 143

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 10.239 1 .001
b
Continuity Correction 9.168 1 .002

Likelihood Ratio 10.402 1 .001

Fisher's Exact Test .002 .001

Linear-by-Linear
10.167 1 .001
Association
b
N of Valid Cases 143

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 27,31.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Kategori


Umur Brwon (Dewasa 3.113 1.535 6.311
menengah / Dewasa lanjut)

For cohort Status Tekanan


1.840 1.215 2.787
Darah = Normal

For cohort Status Tekanan


.591 .431 .811
Darah = Hipertensi

N of Valid Cases 143


90

Lampiran 8 Hasil uji hubungan kerawanan pangan dengan hipertensi

Case Processing Summary


a
Unweighted Cases N Percent

Selected Cases Included in Analysis 143 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 143 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 143 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of


cases.

Categorical Variables Codings

Parameter coding

Frequency (1)

Refrence 0 Dummy Variable RP Rawan Pangan


78 1.000
Ringan

Tidak Rawan Pangan 65 .000

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)


a
Step 1 Rawan Pangan Ringan .167 .400 .175 1 .675 1.182

Rawan Pangan Sedang .383 .480 .638 1 .424 1.467

Rawan Pangan Berat 1.420 .704 4.070 1 .044 4.138

Constant -.216 .250 .751 1 .386 .806

a. Variable(s) entered on step 1: D1_indicationFI, D2_indicationModerateFI,


D3_indicationSevereFI.
91

Lampiran 9 Hasil uji beda asupan zat gizi berdasarkan kategori rawan pangan
berat
Table 1

Dummy Variabel Indikasi Severe FI

Tidak Rawan Pangan Berat Rawan Pangan berat

Standar Standar
Mean Deviation Mean Deviation

% KH pd energi 55.47 11.73 53.57 9.50

% Protein pd energi 13.58 3.95 14.11 5.95

% Lemak pd energi 31.29 10.04 33.65 13.26

% Lemak Jenuh pd energi 14.97 6.20 19.41 10.60

Serat 6.87 3.09 10.29 6.15

Sodium 1155.87 1421.77 978.67 1087.86

Rasio.NaK 1.44 4.57 .71 .68

Calcium 326.99 331.19 290.15 248.45

Magnesium 187.55 84.88 212.18 85.30

a
Test Statistics

%
% KH Protein % Lemak
pd pd % Lemak Jenuh pd
energi energi pd energi energi Serat Sodium Rasio.NaK Calcium Magnesium

Mann-
Whitney 767.000 821.000 702.000 630.000 535.000 749.000 636.000 792.000 694.000
U

Wilcoxon
858.000 912.000 9217.000 9145.000 9.050E3 840.000 727.000 883.000 9209.000
W

Z -.548 -.169 -1.004 -1.510 -2.177 -.674 -1.468 -.372 -1.060

Asymp.
Sig. (2- .584 .866 .315 .131 .029 .500 .142 .710 .289
tailed)

a. Grouping Variable: Dummy


Variabel Indikasi Severe FI
92

Lampiran 10 Hasil uji hubungan status kerawanan pangan dengan kualitas diet

Case Processing Summary


a
Unweighted Cases N Percent

Selected Cases Included in Analysis 143 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 143 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 143 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of


cases.
a
Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables Rawan Pangan Rinagn .042 1 .838

Rawan Pangan Sedang .007 1 .932

Rawan Pangan Berat .746 1 .388

Tidak ada rawan pangan .062 1 .803

a. Residual Chi-Squares are not computed because of redundancies.

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)


a
Step 1 Rawan Pangan Rinagn -.011 .531 .000 1 .984 .989

Rawan Pangan Sedang .018 .640 .001 1 .977 1.019

Rawan Pangan Berat .894 1.092 .670 1 .413 2.444

Constant 1.591 .331 23.135 1 .000 4.909

a. Variable(s) entered on step 1: D1_indicationFI, D2_indicationModerateFI,


D3_indicationSevereFI.
93

Lampiran 11 Hasil uji hubungan kualitas diet dengan hipertensi

Kualitas Diet * Status Tekanan Darah Crosstabulation

Count

Status Tekanan Darah

Normal Hipertensi Total

Kualitas Diet Kualitas Diet Baik 13 10 23

Kualitas Diet Kurang 58 62 120

Total 71 72 143

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square .518 1 .472
b
Continuity Correction .242 1 .623

Likelihood Ratio .519 1 .471

Fisher's Exact Test .503 .312

Linear-by-Linear
.514 1 .473
Association
b
N of Valid Cases 143

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,42.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Kualitas Diet


(Kualitas Diet Baik / Kualitas 1.390 .566 3.414
Diet Kurang)

For cohort Status Tekanan


1.169 .781 1.750
Darah = Normal

For cohort Status Tekanan


.842 .512 1.383
Darah = Hipertensi

N of Valid Cases 143


94

Lampiran 12 Hubungan kualitas diet dan hipertensi berdasarkan kelompok umur

Kualitas Diet * Status Tekanan Darah * Kategori Umur Brwon Crosstabulation

Count

Status Tekanan Darah

Kategori Umur Brwon Normal Hipertensi Total

Dewasa menengah Kualitas Diet Kualitas Diet Baik 11 7 18

Kualitas Diet Kurang 42 28 70

Total 53 35 88

Dewasa lanjut Kualitas Diet Kualitas Diet Baik 2 3 5

Kualitas Diet Kurang 16 34 50

Total 18 37 55

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Kategori Umur Brwon Value Lower Upper

Dewasa menengah Odds Ratio for Kualitas Diet


(Kualitas Diet Baik / Kualitas 1.048 .362 3.028
Diet Kurang)

For cohort Status Tekanan


1.019 .672 1.543
Darah = Normal

For cohort Status Tekanan


.972 .509 1.855
Darah = Hipertensi

N of Valid Cases 88

Dewasa lanjut Odds Ratio for Kualitas Diet


(Kualitas Diet Baik / Kualitas 1.417 .215 9.333
Diet Kurang)

For cohort Status Tekanan


1.250 .397 3.936
Darah = Normal

For cohort Status Tekanan


.882 .421 1.850
Darah = Hipertensi

N of Valid Cases 55
95

Lampiran 13 Hasil uji beda asupan zat gizi komponen DASH Like Diet
berdasarkan status hipertensi
Table 1

Status Tekanan Darah

Normal Hipertensi

Standar Standar
Mean Deviation Mean Deviation

% KH pd energi 54.24 9.28 56.34 13.37

% Protein pd energi 13.91 3.78 13.34 4.49

% Lemak pd energi 31.02 9.80 31.98 10.90

% Lemak Jenuh pd energi 15.30 6.35 15.45 7.24

Serat 7.17 3.56 7.19 3.63

Sodium 1232.13 1711.45 1048.67 986.54

Rasio.NaK 1.71 6.12 1.05 .95

Calcium 359.38 376.04 288.40 260.76

Magnesium 192.27 70.97 187.33 97.17

a
Test Statistics

%
% % Lemak
Protein Lemak Jenuh
% KH pd pd pd pd Rasio.Na Magnesiu
energi energi energi energi Serat Sodium K Calcium m

Mann-
2291.50 2193.00 2519.00 2462.00 2.517E 2.398E 2.205E
Whitney 2527.000 2329.000
0 0 0 0 3 3 3
U

Wilcoxo 4847.50 4821.00 5075.00 5090.00 5.073E 5.026E 4.833E


5155.000 4957.000
nW 0 0 0 0 3 3 3

Z -1.068 -1.466 -.149 -.380 -.157 -.640 -.117 -1.417 -.917

Asymp.
Sig. (2- .286 .143 .881 .704 .875 .522 .907 .156 .359
tailed)

a. Grouping Variable: Status


Tekanan Darah
96

Lampiran 14 Hasil uji hubungan status kerawanan pangan dengan status gangguan
mental emosional

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test

Kategori Stres = Tidak Stres Kategori Stres = Stres

Observed Expected Observed Expected Total

Step 1 1 42 42.000 23 23.000 65

2 22 22.000 19 19.000 41

3 7 7.000 17 17.000 24

4 0 .000 13 13.000 13

Variables in the Equation

95,0% C.I.for
EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

Step Rawan Pangan Rinagn .456 .407 1.255 1 .263 1.577 .711 3.499
a
1
Rawan Pangan Sedang 1.489 .519 8.248 1 .004 4.435 1.605 12.255

Rawan Pangan Berat 21.805 1.115E4 .000 1 .998 2.950E9 .000 .

Constant -.602 .259 5.389 1 .020 .548

a. Variable(s) entered on step 1: D1_indicationFI, D2_indicationModerateFI,


D3_indicationSevereFI.
a
Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables Rawan Pangan Rinagn .369 1 .543

Rawan Pangan Sedang 4.841 1 .028

Rawan Pangan Berat 14.101 1 .000

Tidak Rawan Pangan 10.676 1 .001

a. Residual Chi-Squares are not computed because of redundancies.


97

Lampiran 15 Hasil uji hubungan status gangguan mental emosional dengan


hipertensi

Kategori Stres * Status Tekanan Darah Crosstabulation

Count

Status Tekanan Darah

Normal Hipertensi Total

Kategori Stres Tidak Gangguan


35 36 71
Mental Emosional

Gangguan Mental
36 36 72
Emosional

Total 71 72 143

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square .007 1 .933
b
Continuity Correction .000 1 1.000

Likelihood Ratio .007 1 .933

Fisher's Exact Test 1.000 .533

Linear-by-Linear Association .007 1 .933


b
N of Valid Cases 143

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 35,25.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Kategori


.972 .505 1.873
Stres (Tidak Stres / Stres)

For cohort Status Tekanan


.986 .709 1.372
Darah = Normal

For cohort Status Tekanan


1.014 .732 1.404
Darah = Hipertensi

N of Valid Cases 143


98

Lampiran 16 Hasil uji hubungan gangguan mental emosional dan hipertensi


berdasarkan kelompok umur

Kategori Stres * Status Tekanan Darah * Kategori Umur Brwon Crosstabulation

Count

Status Tekanan
Darah

Kategori Umur Brwon Normal Hipertensi Total

Dewasa Kategori Tidak Gangguan Mental


27 15 42
menengah Stres Emosional

Gangguan Mental Emosional 26 20 46

Total 53 35 88

Dewasa lanjut Kategori Tidak Gangguan Mental


8 21 29
Stres Emosional

Gangguan Mental Emosional 10 16 26

Total 18 37 55

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Kategori Umur Brwon Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Dewasa Pearson Chi-Square a
.552 1 .457
menengah
Continuity
b .276 1 .599
Correction
Likelihood Ratio .554 1 .457
Fisher's Exact Test .517 .300
Linear-by-Linear
.546 1 .460
Association
b
N of Valid Cases 88
Dewasa lanjut Pearson Chi-Square c
.736 1 .391
Continuity
b .325 1 .568
Correction
Likelihood Ratio .737 1 .391
Fisher's Exact Test .566 .284
Linear-by-Linear
.723 1 .395
Association
b
N of Valid Cases 55
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
16,70.
b. Computed only for a 2x2 table
c. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 8,51.
99

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Kategori Umur Brwon Value Lower Upper

Dewasa menengah Odds Ratio for Kategori Stres


1.385 .586 3.269
(Tidak Stres / Stres)

For cohort Status Tekanan


1.137 .810 1.597
Darah = Normal

For cohort Status Tekanan


.821 .487 1.385
Darah = Hipertensi

N of Valid Cases 88

Dewasa lanjut Odds Ratio for Kategori Stres


.610 .196 1.896
(Tidak Stres / Stres)

For cohort Status Tekanan


.717 .334 1.540
Darah = Normal

For cohort Status Tekanan


1.177 .806 1.717
Darah = Hipertensi

N of Valid Cases 55
100

Lampiran 17 Hasil uji beda komponen pertanyaan SRQ berdasarkan hipertensi

Table 1

Status Tekanan Darah


Normal Hipertensi
Count Column N % Count Column N %
anda sering menderita sakit kepala? Ya 21 29.6% 17 23.6%
Tidak 50 70.4% 55 76.4%
anda tidak nafsu makan? Ya 35 49.3% 34 47.2%
Tidak 36 50.7% 38 52.8%
anda sulit tidur? Ya 37 52.1% 32 44.4%
Tidak 34 47.9% 40 55.6%
anda mudah takut? Ya 46 64.8% 42 58.3%
Tidak 25 35.2% 30 41.7%
anda merasa tegang, cemas atau kuatir? Ya 36 50.7% 37 51.4%
Tidak 35 49.3% 35 48.6%
tangan anda gemetar? Ya 53 74.6% 47 65.3%
Tidak 18 25.4% 25 34.7%
pencernaan anda terganggu/buruk? Ya 53 74.6% 48 66.7%
Tidak 18 25.4% 24 33.3%
anda sulit untuk berpikir jernih? Ya 46 64.8% 45 62.5%
Tidak 25 35.2% 27 37.5%
anda merasa tidak bahagia? Ya 46 64.8% 54 75.0%
Tidak 25 35.2% 18 25.0%
anda menangis lebih sering? Ya 54 76.1% 47 65.3%
Tidak 17 23.9% 25 34.7%
anda merasa sulit untuk menikmati Ya 53 74.6% 43 59.7%
kegiatan sehari hari? Tidak 18 25.4% 29 40.3%
anda sulit untuk mengambil keputusan? Ya 47 66.2% 47 65.3%
Tidak 24 33.8% 25 34.7%
pekerjaan sehari-hari anda terganggu? Ya 52 73.2% 54 75.0%
Tidak 19 26.8% 18 25.0%
anda tidak mampu melakukan hal-hal Ya 51 71.8% 53 73.6%
yang bermanfaat dalam hidup? Tidak 20 28.2% 19 26.4%
anda kehilangan minat pada berbagai hal? Ya 53 74.6% 46 63.9%
Tidak 18 25.4% 26 36.1%
anda merasa tidak berharga? Ya 55 77.5% 48 66.7%
Tidak 16 22.5% 24 33.3%
anda mempunyai pikiran untuk Ya 66 93.0% 63 87.5%
mengakhiri hidup? Tidak 5 7.0% 9 12.5%
anda merasa lelah sepanjang waktu? Ya 45 63.4% 43 59.7%
Tidak 26 36.6% 29 40.3%
anda mengalami rasa tidak enak di perut? Ya 49 69.0% 38 52.8%
Tidak 22 31.0% 34 47.2%
anda mudah lelah? Ya 37 52.1% 36 50.0%
Tidak 34 47.9% 36 50.0%
101

Lampiran 18 Hasil uji hubungan rawan pangan berat dengan kualitas diet
(kelompok hipertensi belum melakukan perubahan diet)

Dummy Variabel Indikasi Severe FI * Kualitas Diet Crosstabulation

Count

Kualitas Diet

Kualitas Diet Kualitas Diet


Baik Kurang Total

Dummy Variabel Indikasi Tidak Rawan Pangan


17 84 101
Severe FI Berat

Rawan Pangan Berat 1 4 5

Total 18 88 106

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square .034 1 .854
b
Continuity Correction .000 1 1.000

Likelihood Ratio .033 1 .857

Fisher's Exact Test 1.000 .613

Linear-by-Linear Association .034 1 .855


b
N of Valid Cases 106

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,85.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Dummy .810 .085 7.699


Variabel Rawan Pangan
berat (Tidak rawan pangan
berat / rawan pangan berat)
For cohort Kualitas Diet = .842 .138 5.121
Kualitas Diet Baik
For cohort Kualitas Diet = 1.040 .665 1.625
Kualitas Diet Kurang
N of Valid Cases 106
102

Lampiran 19 Uji beda asupan zat gizi kelompok rawan pangan berat dengan kelompok tidak rawan pangan berat (kelompok hipertensi
belum melakukan perubahan diet)

a
Test Statistics

Energ Karbohid Protei Lema Lemak.je Sodiu Potassi Rasio.N Calciu Magnesi Koleste
i rat n k nuh Serat m um aK m um rol Besi Fosfor Seng VitA VitB1 VitB2 VitC VitD

Mann-
235.0 236.0 217.0 80.00 190.0 243.0 188.00 199.5 243.0 241.0 128.0 250.5 181.5 198.0 250.0
Whitne 204.000 187.500 202.000 136.000 199.000
00 00 00 0 00 00 0 00 00 00 00 00 00 00 00
yU

Wilcox 250.0 5.387 5.368 5.231 205.0 5353.00 5.394 5350.00 203.00 5.350 258.0 5.392 5.279 5.402 5.332 5.349 265.0
219.000 5338.500 151.000
on W 00 E3 E3 E3 00 0 E3 0 0 E3 00 E3 E3 E3 E3 E3 00

Z -.261 -.723 -.246 -.529 -.969 -2.571 -.931 -.753 -1.736 -.142 -.797 -.961 -.790 -.142 -.171 -1.855 -.030 -1.062 -.812 -.037

Asymp
. Sig.
.794 .470 .806 .597 .333 .010 .352 .452 .083 .887 .425 .336 .430 .887 .864 .064 .976 .288 .417 .970
(2-
tailed)

a. Grouping Variable: Dummy Variabel


Indikasi Severe FI

101
103

Table 1
Dummy Variabel Rawan Pangan berat
Tidak rawan pangan berat Rawan pangan berat
Mean Standard Deviation Mean Standard Deviation

Energi 1485.79 470.20 1405.71 153.01


Karbohidrat 203.20 65.15 185.00 31.54
Protein 50.24 20.69 49.74 12.75
Lemak 51.44 26.24 55.78 23.09
Lemak.jenuh 25.19 15.39 29.65 13.25
Serat 6.98 3.16 15.26 7.43
Sodium 1210.85 1505.17 737.90 715.79
Potassium 1119.41 480.59 1332.07 638.19
Rasio.NaK 1.57 5.15 .46 .33
Calcium 332.37 345.03 347.20 328.01
Magnesium 188.29 74.10 220.74 90.24
Kolesterol 146.67 129.88 117.80 161.53
Besi 7.23 5.12 7.75 3.25
Fosfor 707.71 325.36 685.98 283.86
Seng 5.79 2.83 5.49 1.14
VitA 1127.89 771.67 1886.48 946.64
VitB1 .50 .24 .49 .22
VitB2 .52 .23 .64 .26
VitC 23.24 20.79 31.08 23.54
VitD 5.36 7.57 4.18 3.86
104

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 31 Januari 1992, sebagai anak


kedua dari empat bersaudara dari Aminudin Afandhi dan Nurul Hidayati.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya, lulus pada tahun 2014. Pada tahun 2016, penulis diterima
di Program Studi Ilmu Gizi Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada
tahun 2018.
Pada akhir tahun 2014 hingga pertengahan 2016, penulis sempat bekerja di
Supporting Management Division di Indonesian Hydration Working Group
(IHWG). Setelah itu penulis fokus untuk menempuh pendidikan Magister di IPB.
Bidang yang menjadi perhatian utama dari penulis adalah Ketahanan Pangan dan
Gizi, Kelaparan, dan Kualitas Diet.

Anda mungkin juga menyukai