Anda di halaman 1dari 51

PEMERINTAH KOTA DENPASAR

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA


Jln. R.A Kartini No. 133 Denpasar Telp . ( 0361 ) 222487 - 222141 Fax ( 0361 ) 224114
Web site : http://www.denpasarkota.go.id atau http://rsudwangaya.denpasarkota.go.id
E mail : rsudwangaya@denpasarkota.go.id atau rsudwangaya.dpskota@gmail.com

PERATURAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA
KOTA DENPASAR

NOMOR 67 TAHUN 2022

TENTANG
PEDOMAN KERJA TIM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS ( TB )
PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR

DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR,


Menimbang : a. bahwa untuk memperkecil penyebaran penyakit
Tuberkulosis ( TB ) di masyarakat secara dini dapat
dilakukan melalui pelayanan terpadu Tuberkulosis ( TB )
pada Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota Denpasar ;

b. bahwa untuk menjamin kegiatan pelayanan khususnya


pasien Tuberkulosis ( TB ) dapat dilaksanakan sesuai
dengan standar yang berlaku, sehingga tercapainya status
kesehatan yang optimal, untuk itu perlu disusun Pedoman
Kerja Penanggulangan Tuberkulosis ( TB ) pada Rumah
Sakit Umum Daerah Wangaya Kota Denpasar ;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


huruf a dan b, dipandang perlu menetapkan Peraturan
Direktur tentang Pedoman Kerja Tim Penanggulangan
Tuberkulosis ( TB ) pada Rumah Sakit Umum Daerah
Wangaya Kota Denpasar ;

Mengingat 1. Undang - Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik


Kedokteran ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4431 ) ;

2. Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063 ) ;

3. Undang - Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah


Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072 ) ;

4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2002


tentang Rahasia Kedokteran ;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun 2013
tentang Penanggulangan HIV dan AIDS ;

6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 tahun 2016


tentang Penanggulangan Tuberkulosis ;

7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 129/ Menkes / SK / XII/2008 tentang Standar
Pelayanan Rumah Sakit ;

8. Peraturan Walikota Denpasar Nomor 54 Tahun 2021


tentang Pembentukan, Kedudukan Organisasi, Tugas Dan
Fungsi Serta Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah
Wangaya (Berita Daerah Kota Denpasar Tahun 2021
Nomor 54);

9. Keputusan Walikota Denpasar Nomor 96 Tahun 2008


tentang Penetapan Badan Pelayanan Rumah Sakit Umum
Daerah Wangaya Kota Denpasar sebagai Badan Layanan
Umum Daerah ( Berita Daerah Kota Denpasar Tahun 2008
Nomor 96 ) ;

Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


WANGAYA KOTA DENPASAR TENTANG PEDOMAN KERJA TIM
PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS ( TB ) PADA RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

1. Rumah Sakit adalah Rumah Sakit Umum Daerah


Wangaya Kota Denpasar
2. Tuberkulosis yang selanjutnya disingkat TB adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, yang dapat menyerang paru dan organ
lainnya.
3. Penanggulangan Tuberkulosis yang selanjutnya disebut
Penanggulangan TB adalah segala upaya kesehatan yang
mengutamakan aspek promotif dan preventif, tanpa
mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif yang
ditujukan untuk melindungi kesehatan masyarakat,
menurunkan angka kesakitan, kecacatan atau kematian,
memutuskan penularan, mencegah resistensi obat dan
mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat
Tuberkulosis.
Pasal 2

Ruang Lingkup Pedoman Kerja Tim Penanggulangan


Tuberkulosis ( TB ) Pada Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya
Kota Denpasar Meliputi :
a. Pengorganisasian
b. Tugas Pokok
c. Tata Hubungan Kerja
d. Kegiatan
e. Tata laksana
f. Metode, pencatatan dan Pelaporan

Pasal 3

Pedoman Kerja Tim Penanggulangan Tuberkulosis ( TB )


digunakan oleh Tim Penanggulangan Tuberkulosis sebagai
acuan dalam melaksanakan Tugas pada Rumah Sakit Umum
Daerah Wangaya Kota Denpasar

Pasal 4

Pedoman Kerja Tim Penanggulangan Tuberkulosis ( TB )


Sebagaimana Tercantum Dalam Lampiran Merupakan Bagian
Tidak Terpisahkan Dari Peraturan Direktur ini

Pasal 5

Pada saat Keputusan ini berlaku, maka Keputusan Direktur


Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota Denpasar Nomor
188.45/52/RSUDW/2018 tanggal 5 Maret 2018 tentang Tim
Penanggulangan Tuberkulosis ( TB ) pada Rumah Sakit Umum
Daerah Wangaya Kota Denpasar dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi

Pasal 6

Peraturan Direktur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Ditetapkan di Denpasar
Pada tanggal, 4 Juli 2022
DIREKTUR
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA
KOTA DENPASAR,

DR. ANAK AGUNG MADE WIDIASA,SP.A.,MARS


PEMBINA UTAMA MUDA
NIP. 19701002 200012 1 005
LAMPIRAN : PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
WANGAYA KOTA DENPASAR

TANGGAL : 4 JULI 2022


NOMOR : 71 TAHUN 2022
TENTANG : PEDOMAN KERJA TIM PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS ( TB ) PADA RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR

PEDOMAN KERJA PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS ( TB )

I. PENDAHULUAN
Tuberkulosis ( TB ) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan TB
telah dilaksanakan di banyak negara sejak tahun 1995.
Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta
kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan
1,5 juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari
kasus TB tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian
320.000 orang (140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat
( TB-RO ) dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru,
diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000
kematian/tahun.
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,
diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk)
dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan
63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk). Angka Notifikasi
Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak 129
per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya
314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV diantara
pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan
sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB
dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang.
Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara lain:
1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan karena
masih kurangnya komitmen pelaksana pelayanan, pengambil kebijakan,
dan pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana prasarana.
2. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang belum
menerapkan layanan TB sesuai dengan standar pedoman nasional dan
ISTC seperti penemuan kasus/diagnosis yang tidak baku, paduan obat
yang tidak baku, tidak dilakukan pemantauan pengobatan, tidak dilakukan
pencatatan dan pelaporan yang baku.
3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam
penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.
4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di
Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah risiko
tinggi seperti daerah kumuh diperkotaan, pelabuhan, industri, lokasi
permukiman padat seperti pondok pesantren, asrama, barak dan
lapas/rutan.
5. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam
penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan,
pencatatan dan pelaporan.
6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko
terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes mellitus,
merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan penurunan daya tahan
tubuh.
7. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan
meningkatkan pembiayaan program TB.
8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat
pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang
dan pangan yang tidak memadai yang berakibat pada tingginya risiko
masyarakat terjangkit TB. Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia
sudah berhasil menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB di
tahun 2015 jika dibandingkan dengan tahun 1990. Angka prevalensi TB
yang pada tahun 1990 sebesar > 900 per 100.000 penduduk, pada tahun
2015 menjadi 647 per 100.000 penduduk. Dari semua indikator MDG’s
untuk TB di Indonesia saat ini baru target penurunan angka insidens yang
sudah tercapai. Untuk itu perlu upaya yang lebih besar dan terintegrasi
supaya Indonesia bisa mencapai target SDG’s pada tahun 2030 yang akan
datang.

II. LATAR BELAKANG


Menurut Word Health Organization (WHO) yang tercantum dalam Global
Tuberculosis Report 2018 menyatakan bahwa tuberkulosis menyebabkan
kematian sekitar 1,3 juta orang HIV negatif dan sekitar 300.000 orang penderita
HIV.
Secara global, sekitar 10 juta orang menderita TB pada tahun 2017 dengan
penderita pria sebanyak 5,8 juta, wanita 3,2 juta dan anak-anak 1 juta orang.
Hal ini setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Meskipun jumlah
kematian akibat TB menurun 22% antara tahun 2000 dan 2015, namun TB
masih menempati peringkat ke-10 penyebab kematian tertinggi di dunia tahun
2016 berdasarkan laporan WHO. Oleh karena itu hingga saat ini TB masih
menjadi prioritas utama di dunia dan menjadi salah satu tujuan dalam SDGs
(Sustainability Developments Goals)
Angka prevalensi TB Indonesia tahun 2014 sebesar 297 per 100.000
penduduk. Lima negaradengan inisden kasus tertinggi yaitu India, Cina,
Indonesia, Philipina dan Pakistan. Secara global diperkirakan insidens TB
resisten obat adalah 3,7% kasus baru dan 20% kasus dengan riwayat
pengobatan.
Indonesia merupakan Negara dengan beban TB pertama di Asia Tenggara
yang berhasil mencapai target Millenium Development Goals (MDGS) untuk
penemuan kasus TB diatas 70% dan angka kesembuhan 85% pada tahun 2006.
Meningkatnya beban masalah TB oleh karena kemiskinan pada berbagai
kelompok masyarakat, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan
disparitas yang terlalu lebar, beban determinam sosial yang masih berat,
perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
struktur umur kependudukan, besarnya masalah kesehatan lain (gizi buruk,
merokok, diabetes), dampak pandemi HIV, kekebalan ganda terhadap kuman TB
terhadap obat anti TB. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan
terjadi epidemik TB yang sulit ditangani.

Penanganan penyakit TB merupakan komitmen global dan nasional saat


ini, dalam upaya mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) pada
tahun 2015. Kunci keberhasilan program pengendalian TB adalah melalui
strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dan saat ini sudah
diterapkan pada Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota Denpasar.

Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita TB tetap


menjadi hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Tingginya
angka putus obat mengakibatkan tingginya kasus resistensi kuman terhadap
OAT (obat anti TB) yang membutuhkan biaya yang lebih besar dan bertambah
lamanya pengobatan. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kasus putus
obat pada pasien TB paru.

Semakin meningkatnya penemuan kasus penderita TB di Rumah Sakit


Umum Daerah Wangaya pada tahun 2019 sebanyak 212 kasus, tahun 2020
sebanyak 215 kasus, dan pada tahun 2021 sebanyak 137 kasus. Berdasarkan
data diatas terlihat kecenderungan terjadi peningkatan kasus TB Paru di Rumah
Sakit Wangaya. Oleh karena itu diperlukan pedoman yang melingkupi semua
aspek mulai dari penemuan kasus, diagnosis, tata laksana, dan management
pencatatan dan pelaporan yang benar, sehingga diharapkan meningkatkan angka
kesembuhan terhadap sakit TB.

III. TUJUAN

A. Tujuan Umum

Meningkatkan mutu pelayanan medis TB di Rumah Sakit Umum Daerah


Wangaya dan penerapan kolaborasi TB-HIV secara optimal dengan
mengupayakan kesembuhan serta pengendalian kedua penyakit dengan
mengintegrasikan kegiatan kedua program secara fungsional

B. Tujuan Khusus
1 Meningkatkan temuan kasus TB (surveilance TB)
2 Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB
3 Mengkoordinasikan pelayanan TB di RSUD Wangaya Kota Denpasar
4 Adanya koordinasi dan sinkronisasi antara pengelola dan penanggung
jawab program pada tingkat kabupatenda / kota, propinsi, dan pusat
dalam manajemen program TB Rumah Sakit.

IV. PENGERTIAN

A. Surveilans TB

Surveilans TB merupakan salah satu kegiatan untuk memperoleh data


epidemiologi yang diperlukan dalam sistem informasi program
penanggulangan TB. Sistem informasi program pengendalian TB adalah
seperangkat tatanan yang meliputi data, informasi, indikator, prosedur,
perangkat, teknologi dan sumber daya manusia (SDM) yang saling berkaitan
dan dikelola secara terpadu untuk mengarahkan tindakan atau keputusan
yang berguna dalam mendukung pembangunan nasional. Informasi kesehatan
adalah data kesehatan yang telah diolah atau diproses menjadi bentuk yang
mengandung nilai dan makna yang berguna untuk meningkatkan
pengetahuan dalam mendukung pembangunan kesehatan. Informasi
kesehatan untuk program pengendalian TB adalah
informasi dan pengetahuan yang memandu dalam melakukan penentuan
strategi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program TB.
Terdapat 2 jenis surveilans TB, yaitu: Surveilans berbasis indikator
(berdasarkan data pelaporan), dan Surveilans berbasis kejadian (berupa
survei: periodik dan sentinel).
1 Surveilans Berbasis Indikator.
Surveilans berbasis indikator dilaksanakan dengan menggunakan data
layanan rutin yang dilakukan pada pasien TB. Sistem surveilans ini
merupakan sistem yang mudah, murah dan masih bisa dipercaya untuk
memperoleh informasi tentang TB. Hasil surveilans berdasarkan data
rutin ini perlu divalidasi dengan hasil dari surveilans periodik atau
surveilans sentinel.

2 Surveilans Berbasis Kejadian


a. Surveilans Berbasis Kejadian Khusus Dilakukan melalui kegiatan
survei baik secara periodik maupun sentinel yang bertujuan untuk
mendapatkan data yang tidak diperoleh dari kegiatan pengumpulan
data rutin. Kegiatan ini dilakukan secara cross-sectional pada
kelompok pasien TB yang dianggap dapat mewakili suatu wilayah
tertentu. Kegiatan ini memerlukan biaya yang mahal dan
memerlukan keahlian khusus. Hasil dari kegiatan ini dapat
digunakan untuk mengkalibrasi hasil surveilans berdasar data rutin.
Contoh: survei prevalensi TB Nasional, sero survey prevalensi HIV
diantara pasien TB, survei sentinel TB diantara ODHA,
surveiresistensi OAT, survei Knowledge Attitude Practice (KAP) untuk
pasien TB dan dokter praktek mandiri (DPM), dan survei lain-lain.
Pemilihan metode surveilans yang akan dilaksanakan disuatu
daerah/wilayah tergantung pada tingkat epidemi TB di
daerah/wilayah tersebut, kinerja program TB secara keseluruhan,
dan sumber daya (dana dan keahlian) yang tersedia.
b. Surveilans Berbasis Kejadian Luar Biasa
Meliputi surveilans untuk kasus-kasus TB lintas negara terutama
bagi warga negara Indonesia yang akan berangkat maupun yang
akan kembali ke Indonesia (haji dan TKI). Hal ini dilakukan karena
mobilisasi penduduk yang sangat cepat dalam jumlah besar setiap
tahunnya tidak menguntungkan ditinjau dari penanggulangan
penyakit tuberkulosis. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya
penyebaran penyakit dari satu wilayah ke wilayah lain dan/atau dari
satu negara ke negara lain dalam waktu yang cepat; juga penyebaran
internal dalam rombongan tersebut. Upaya pengawasan pasien TB
yang akan menunaikan ibadah haji atau TKI yang akan berangkat
keluar negeri maupun kembali ke Indonesia memerlukan sistem
surveilans yang tepat

B. Pengertian Tuberkulosis (TB)

TB atau Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan


oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB
menyerang paru -paru tetapi bisa juga organ tubuh lainnya. Diagnosis TB
ditegakkan berdasarkan terdapatnya paling sedikit satu spesimen konfirmasi
M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi TB atau bukti klinis
dan radiologis sesuai TB.

C. Kuman Penyebab TB

Mycobacterium tuberculosis dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).


Secara umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6
mikron.
2. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen,
berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah
mikroskop. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain
Lowenstein Jensen, Ogawa.
3. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam
jangka waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.
4. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra
violet. Paparan langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar
kuman akan mati dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak pada
suhu antara 30-37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.
5. Kuman dapat bersifat dorman.

D. Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)

Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) atau strategi


pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung merupakan metode
pengawasan yang direkomendasikan WHO sebagai strategi pengendalian TB.
DOTS mengandung 5 komponen:
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis.
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung.
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan.
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku / standard.

E. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB

Pemeriksaan biakan dengan metode cepat dapat berupa penggunaan


metode cair, molekular (LPA= Line Probe Assay dan NAAT= Nucleic Acid
Amplification Test, misalnya Xpert MTB/RIF). WHO telah mengeluarkan
rekomendasi tahun 2011 untuk menggunakan GenXpert MTB/RIF. TCM
merupakan sarana penegakan diagnosis, namun tidak dapat dimanfaatkan
untuk evaluasi hasil pengobatan.

F. TB Resisten Obat (TB-RO)

TB Resisten Obat adalah keadaan dimana kuman M. tuberculosis sudah


tidak dapat lagi dibunuh dengan salah satu atau lebih obat anti TB (OAT).
Diklasifikasikan dalam kategori berdasarkan uji resistensi obat dari isolate
klinis yang dikonfirmasi M. tuberculosis yaitu:
1. Monoresisten: isolat M. tuberculosis kebal terhadap salah satu OAT
lini pertama.
2. Poliresisten: isolat M. tuberculosis kebal dua atau lebih OAT lini
pertama selain kombinasi rifampisin dan isoniazid.
3. Resisten obat ganda atau dikenal dengan multidrug-resistant
tuberculosis (MDRTB): isolat M. tuberculosis resisten minimal
terhadap isoniazid and rifampisin yaitu OAT yang paling kuat dengan
atau tanpa disertai resisten terhadap OAT lainnya.
4. Resisten berbagai OAT / extensively drug-resistant tuberculosis
(XDR-TB): adalah TB resisten obat ganda yang disertai resisten
terhadap salah satu fluorokuinolon dan salah satu dari tiga obat
injeksi lini kedua (amikasin, kapreomisin atau kanamisin).
5. Resisten rifampisin: resisten terhadap rifampisin yang dideteksi
menggunakan metode fenotipik dan genotipik, dengan atau tanpa
resisten terhadap OAT lain. Apapun dengan resisten rifampisin
termasuk dalam kategori ini, baik monoresisten, poliresisten, resisten
obat ganda atau resisten berbagai OAT.
6. Resisten OAT total / totally drug-resistant tuberculosis (TDR-TB): TB
resisten dengan semua OAT lini I dan lini II.

G. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam


pengobatan TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi
2. Diberikan dalam dosis yang tepat
3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan
4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
Adapun 2 Jenis OAT, yang terdiri dari OAT Lini Pertama dan OAT Lini
Kedua
1. OAT Lini Pertama

2. OAT Lini Kedua


V. KEBIJAKAN DAN DASAR HUKUM

A. Kebijakan
1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 67 Tahun 2016
Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis.
2 Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota
Denpasar Nomor …/…/RSUDW/… tentang Penetapan Kebijakan
Pelayanan Penanggulangan Tuberkulosis Dengan Strategi Dots pada
Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota Denpasar.

VI. PENGORGANISASIAN

A. STRUKTUR ORGANISASI

Pelindung : Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota


Denpasar

Ketua : dr. Wayan Wahyu Semara Putra, Sp.P(K)

Sekretaris : dr. Ni Made Dwita Yaniswari, Sp.P

Pelayanan Medis : 1. dr. Wayan Wahyu Semara Putra, Sp.P(K)


2. dr. Ni Made Dwita Yaniswari, Sp.P
3. dr. Anak Agung Made Sucipta, M.Sc,Sp.A

Pelayanan : 1. Semua Kepala Ruangan


Keperawatan 2. Ns. Anak Agung Alit Budiyasih, S.Kep
3. Ns. Ni Wayan Masriani, S.Kep
4. Ns. Ni Wayan Reniti, S. Kep
5. Ni Wayan Rushadi, A.Md.Keb

Pelayanan : 1. dr. I Gusti Ayu Wiradari Tedja, Sp.PK


Laboratorium 2. dr. Putu Yoska Arya Harindana, Sp.MK
3. dr. Novitasari, M. Biomed, Sp.PA
4. dr. Kadek Agus Suhardinatha Putra, Sp PA
5. Arie Cahyani, A.Md
6. Ni Wayan Resik

Pelayanan : 1. dr. Kadek Sudiasa Ariawan,Sp.Rad


Radiologi 2. dr. Gede Angga Swistrawan Marto, Sp.Rad
3. dr. Ni Luh Jaya Kirana, Sp.Rad

Pelayanan : Dewa ketut Sujana


Farmasi

Kolaborasi TB / : 1. dr. Wayan Wahyu Semara Putra, Sp.P(K)


HIV 2. dr. Ni Made Dwita Yaniswari, Sp.P
3. DR. dr. Ketut Suryana, Sp.PD-KAI, Finasim

Administrasi : Anak Agung Dwi Anggreni,SE

B. URAIAN TUGAS JABATAN


1 Ketua :
a. Menjamin terlaksananya program TB di RSUD WANGAYA
b. Melakukan koordinasi internal maupun ekternal rumah sakit
c. Bertanggungjawab kepada Kepala Rumah SakitMenyusun program
TB di RSUD WANGAYA
d. Melakukan evaluasi pelaksanaan program TB
2 Sekretaris :
a. Menyusun laporan dan pencatatan secara berkala
b. Merencanakan kegiatan pertemuan – pertemuan intern dan ekstern
rumah sakit
3 Pelayanan Medis
a. Menegakkan diagnosis dan terapi untuk pasien TB
b. Menentukan klasifikasi penyakit TB
4 Pelayanan Keperawat:
a. Membantu dokter dalam menegakkan diagnosis TB
b. Melakukan pencatatan pada lembar TBMemberikan perawatan
terhadap pasien TB
c. Menyerahkan pencatatan kepada sekretaris unit TB Dots
5 Pelayanan Laboratorium
a. Melakukan pemeriksaan mikrobiologi
6 Pelayanan Radiologi
a. Melaksanakan kegiatan radiologi dalam menunjang tegaknya
diagnosa TB
b. melaporkan dan mencatat hasil-hasil yang diperoleh dari pasien
tersangka TB sebagai laporan Tim TB
7 Pelayanan Farmasi :
a. Menyediakan obat – obat TB terutama obat kombinasi dosis tetap
(KDT/FDC)
8 Kolaborasi TB/HIV
a. Membentuk mekanisme kolaburasi antara program pelayanan TB
dan pelayanan HIV/AIDS
b. Melaksanakan kegiatan teknis dan fungsional di bidang keahliannya
c. Menurunkan beban TB pada ODHA
d. Menurunkan beban HIV pada pasien TB

9 Administrasi
a. Membantu kegiatan pencatatan dan pelaporan kejadian penyakit TB

C. TATA HUBUNGAN KERJA

I R J
I R D I R I
LABORATORIUM TIM TB-DOTS KLINIK MERPATI

FARMASI RADIOLOGI

1 Hubungan kerja dengan Poliklinik Merpati (kolaburasi TB/HIV):


a. Semua pasien yang akan mendapatkan pengobatan TB (OAT)
dilakukan PITC terlebih dahulu
b. Bila hasil PITC Non Reaktif pasien mendapatkan pengobatan di Poli
TB, sedangkan hasil PITC Reaktif pasien mendapatkan pengobatan di
Poli TB dan Poli VCT
2 Hubungan kerja dengan IRD
a. Alur Pasien TB di IRD sesuai dengan SOP no. 191/192
3 Hubungan kerja dengan IRJ
a. Penjaringan Suspek Pasien TB Rawat Jalan sesuai dengan SOP no.
03
b. Alur Pelayanan Pasien TB Rawat Jalan sesuai dengan SOP no. 08
4 Hubungan Kerja dengan IRI
a. Penjaringan Suspek Pasien TB Rawat Inap sesuai dengan SOP no. 15
b. Alur Pelayanan DOTS Pasien TB Rawat Inap sesuai dengan SOP no.
09
5 Hubungan kerja dengan Instalasi Laboratorium:
a. Permintaan Lab menggunakan formulir 01/LAB-00 dan formulir TB-
05 untuk permintaan pemeriksaan dahak.

b. Pengumpulan dan Pengiriman Sputum sesuai dengan SOP no.


221/222
6 Hubungan kerja dengan Instalasi Radiologi:
a. Permintaan Radiologi untuk thorax photo menggunakan formulir
04/IRO-00
b. Pengajuan pemintaan thorax photo sesuai dengan SOP no.
25/IRO/RSUDW
7 Hubungan kerja dengan Instalasi Farmasi:
a. Pemberian dan Pengamprahan Obat TB oleh Petugas Farmasi
VII. KEGIATAN

A. Kegiatan Pokok Program TB DOTS


1 Merencanakan Pelayanan Pasien TB
2 Melaksanakan Pelayanan Pasien TB
3 Melaksanakan evaluasi pelaksanaan program

B. Rincian Kegiatan
1 Merencanakan pelayanan TB sesuai standar meliputi :
a. Siapkan anggaran sesuai kebutuhan yang diperlukan dalam
pelayanan TB.
b. Revisi SK sesuai dengan kebutuhan
c. Siapkan ruangan sesuai standar PPI TB
d. Pengadaan obat sesuai standar TB.
e. Pemenuhan standar pencegahan dan pengendalian infeksi TB di RS
(termasuk alat pelindung diri)
f. Rapat rutin setiap 1 tahun sekali
2 Melaksanakan kegiatan program TB meliputi :
a. Menyiapkan anggaran sesuai kebutuhan
b. Merevisi SK
c. Menyediakan ruangan khusus pelayanan pasien TB yang sesuai
dengan standar PPI TB
d. Mengadakan obat sesuai standar TB
e. Menyiapkan peralatan untuk melakukan pelayanan TB termasuk alat
pelindung diri
f. Menyelenggarakan rapat rutin setiap 1 tahun sekali

C. CARA MELAKUKAN KEGIATAN


Cara yang digunakan untuk melaksanakan rencana kegiatan program TB
di tahun 2022 adalah :
1 Mengajukan amprahan yang diperlukan ke penunjang
2 Merevisi SK sesuai kebutuhan
3 Menyediakan ruangan khusus pelayanan pasien TB yang berfungsi
sebagai pusat pelayanan TB di rumah sakit, ruangan laboratorium yang
mampu melakukan pemeriksaan mikroskopik dahak yang sesuai
dengan standar PPI TB
4 Mengadakan obat sesuai standar TB, bila terjadi kekosongan OAT
5 Menyiapkan peralatan untuk melakukan pelayanan TB termasuk alat
pelindung diri
6 Menyelenggarakan rapat rutin setiap 1 tahun sekali

VIII. TATALAKSANA

A. Penemuan Kasus Tuberkulosis

Penemuan kasus bertujuan untuk mendapatkan kasus TBC melalui


serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TBC,
pemeriksaan fisik dan laboratorium, menentukan diagnosis dan menentukan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien TBC, sehingga dapat dilakukan
pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang
lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini membutuhkan
adanya pasien yang memahami dan sadar akan gejala dan keluhan tersebut.
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana
pasien TBC. Penemuan dan penyembuhan pasien TBC menular, secara
bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TBC,
penularan TBC di masyarakat dan sekaligus merupakan pencegahan
penularan TBC yang paling efektif di masyarakat.
1 Strategi Penemuan
a. Penemuan pasien TBC, secara umum dilakukan secara pasif dengan
promosi aktif. Penjaringan tersangka dilakukan di unit pelayanan
kesehatan didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh
petugas kesehatan maupun masyarakat , untuk meningkatkan
cakupan penemuan tersangka pasien TBC. Keterlibatan semua
layanan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan
mengurangi keterlambatan pengobatan. Penemuan secara aktif pada
masyarakat umum dinilai tidak cost efektif.
b. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap
1) Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TBC
seperti : pada pasien dengan HIV ( orang dengan HIV AIDS),
pasien dengan diabetes mellitus (DM), pasien dengan gagal ginjal
(CKD).
2) Kelompok yang rentan tertular TBC seperti di rumah tahanan,
lembaga pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup
pada daerah kumuh, serta keluarga atau kontak pasien TBC,
terutama mereka yang dengan TBC BTA positif.
3) Pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga
TBC harus dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah
diperlukan pengobatan TBC atau pengobatan pencegahan.
4) Kontak dengan pasien TBC resistan obat.
c. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan gejala
dan tanda yang sama dengan gejala TBC, seperti pendekatan praktis
menuju kesehatan paru (PAL + pratical approach to long health),
manajemen terpadu balita sakit (MTBCS), manajemen terpadu
dewasa sakit (MTDS) akan membantu meningkatakan penmuan
kasus TBC dilayanan kesehatan, mengurangi terjadinya
missopportunity kasus TBC dan sekaligus dapat meningkatkan mutu
layanan.
d. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang
memiliki gejala.
1) Gejala utama pasien TBC paru adalah batuk berdahak selam 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan
yaitu dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meiang lebih dari satu
bulan.
2) Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit
paru selain TBC, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma,
kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TBC di Indonesia
saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK
dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka
(suspek) pasien TBC, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
menggunakan tes cepat molekuler (TCM)
3) Suspek TBC MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala
TBC dengan salah satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini :
a) Kasus gagal dengan pengobatan kategori 2
b) Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif pada
bulan ke-3 pada pengobatan katagori 2
c) Pasien yang pernah diobati TBC termasuk OAT ini kedua
seperti kuinolon dan kanamisin
d) Pasien gagal pengobatan kategori 1.
e) Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah
sisipan dengan katagori 1
f) Kasus TBC kambuh pada pengobatan kategori 1 atau
kategori 2
g) Pasien yang kembali setelah lalai / default pada pengobatan
kategori 1 dan atau kategori 2
h) Suspek TBC dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan
pasien TBC MDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatan
yang bertugas di bangsal TBC MDR.
i) Pasien koinfeksi TBC- HIV

2 Pemeriksaan Dahak
Diagnosis TBC Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih
dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis
yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler
dan biakan
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk mengakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobtan dan menentkan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakkan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa sewaktu - pagi – sewaktu (PS),
1) P (Pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di UPK.
2) S (sewaktu) : dahak dikumpulkan 1 sampai 2 jam setelah makan
pada hari yang sama, setelah kedua pot dahak terisi, segera bawa
ke Rumah Sakit.
b. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler
Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF.
TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak
dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan
c. Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada pengendalian TBC
khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan
masih pekaterhadap OAT yang digunakan Selama fasilitas
memungkinkan biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan
tes resisitensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi.
1) Pasien TBC yang masuk dalam tipe pasien kronis
2) Pasien TBC ekstraparu dan pasien TBC anak
3) Petugas kesehatan yang menangani pasien kekebalan ganda
d. Pemeriksaan Tes Resistensi obat (uji kepekaan Obat)
Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di labolatorium yang
mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi
sesuai standar internasional, dan telah mendapatkan pemantapan
mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional TBC. Hal
ini bertuajuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan
keputusan yang benar sehingga kemungkinan ksalahan dalam
pengobatan MDR dapat dicegah.

B. Diagnosis Tuberkulosis
1. Diagnosis TBC paru pada orang dengan HIV negatif
a. Semua suspek TBC diperiksa spesimen dahak menggunakan metode
Tes Cepat Molekuler (TCM)
b. Diagnosis TBC Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TBC. Pada program TBC nasional, faskes yang
mempunyai fasilitas tes TCM dapat menggunakan TCM sebagai alat
mendiagnosis TBC disamping metode pengecatan BTA konvensional.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TBC hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TBC paru, sehingga sering terjadi
misdiagnosis.
2. Diagnosis TBC ekstra paru orang dengan HIV negatif
a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TBC, nyeri pada TBC pleura (pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TBC dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TBC dan lain-
lainnya.
b. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis
dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena
3. Diagnosis TBC pada Orang dengan HIV AIDS (ODHA)
Pada ODHA, diagnosa TBC paru dan TBC ekstra paru ditegakkna sebagai
berikut :
a. TBC Paru BTA Positif ditegakkan jika pemeriksaan dahak
menggunakan metode TCM menyatakan hasil terdeteksinya kuman
M. tuberculosis (MTB detected).
b. TBC Paru BTA negatif, meskipun hasil pemeriksaan TCM negatif, dan
gambaran radiologis mendukung TBC, dan test HIV positif atau
gambaran klinis infeksi HIV yang jelas, keputusan diagnosa dan
pengobatan OAT oleh dokter, ATAU BTA negatif dengan hasil kultur
TBC positif.
c. TBC Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatoilogi yang diambil dari jaringan tubuh
yang terkena.
Catatan : Pada keadaan tertentu dengan pertimbangan medis spesialistik
ini dapat digunakan secara lebih fleksibel : pemeriksaan mikroskopis
dapat dilakukan bersamaan dengan foto toraks dan pemeriksaan lain
yang diperlukan.
4. Diagnosis TBC pada anak
Diagnosis pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan
merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit,
maka diagnosis TBC anak perlu kriteria lain dengan menggunakan
sistem skor
IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan
menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap
gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi
digunakan oleh program nasional pengendalian tuberkulosis untuk
diagnosis TBC anak.
Tabel. Sistem Skor gejala dan pemeriksaan penunjang TBC

Parameter 0 1 2 3 Jumlah

Kontak TBC Tidak Laporan BTA positif


jelas keluarga, BTA
negatif atau
tidak tahu,
BTA tidak jelas
Uji Tuberkulin negatif Positif (≥ 10 mm,
atau ≥ 5 mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat Badan / Bawah garis merah Klinis gizi
Keadaan Gizi (KMS) buruk
Atau BB/U (BB/U < 60% )
<80%
Demam tanpa sebab ≥ 2 minggu
jelas
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran kelenjar ≥ 1 cm,
limfe Jumlah > 1,
Koliaksila Tidak nyeri
Nguinal
pembengkakan Ada

Tulang/sendi panggul pembengkakan


lutut, falang
Foto toraks toraks Normal/tida Kesan TBC
k jelas

Jumlah

Catatan :
1. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
2. Batuk dimasukkan dalam skor setelah setelah disingkirkan penyebab
batuk kronik lainnya seperti asma, Sinusitis dan lain-lain.
3. Jika dijumpai skrofuloderma (TBC TBC pada kelenjar dan kulit),
pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
4. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)
melampirkan tabel badan-badan.
5. Foto toraks-toraks bukan alat diagnostik utama pada TBC anak.
6. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (rekasi lokal timbul < 7 hari
setelah penyuntikkan) harus dievalusi dengan sistem skoring anak.
7. Anak didiagnosis TBC jika jumlah skor ≥ 6, ( skor maksimal 14)
8. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evalusi
lebih lanjut.
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan dibawah ini :
1. Tanda bahaya
2. Kejang, kaku kuduk
3. Penurunan kesadaran
4. Kegawatan lain, misalnya sesak nafas
5. Foto toraks menunjukkan gambaran milier kavitas efusi pleura
6. Gibbus koksitis
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem
skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (≥ 6),
harus ditatalaksana sebagai pasien TBC dan mendapat OAT (Obat Anti
Tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan
kearah TBC kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnosik lainnya
sesuai indikasi, seperti funduskopi, CT- Scan, dan lain-lainnya.
5. Diagnosis TBC MDR
Diagnosis TBC MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan
uji kepekaan M. Tuberculosis . Semua suspek MDR dipastikan
berdasarkan dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus ‘dahak
pagi hari’. Uji kepekaan M . tuberculosis harus dilakukan di labolatorium
yang telah tersertifikasi untuk uji kepekaan. Jika pada pasien terduga
TBC MDR yang masuk 9 kriteria terduga TBC MDR menyatakan hasil
pemeriksaan TCM dahak resisten terhadap rifampisin maka dianggap
sebagai TBC RR (resisten rifampisin) dan diobati menggunakan regimen
TBC MDR. Jika hasil TCM menyatakan rifampisin resisten pada kasus
baru, maka pemeriksaan TCM harus diulang dan yang dikai adalah hasil
yang terakhir.
Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TBC MDR akan tetap
meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian TBC
Nasional. Terdapat 6 jenis kategori resistensi terhadap obat TBC :
a. Monoresistance : Resistan terhadap salah satu OAT, misalnya
resistan isoniazid (H).
b. Polyresistance : Resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain
kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan
isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol (RE), isoniazid
etambutol dan streptomisin (HES), rifampisin etambutol dan
streptomisin (RES).
c. Multi-drug resistance (MDR) : Resistan terhadap isoniazid dan
rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya
resistan HR, HRE, HRES.
d. Pre-extensive drug resistance (pre-XDR) : TB MDR disertai
resistansi terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon atau
salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan
amikasin).
e. Extensive drug resistance (XDR) : TB MDR disertai resistansi
terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari
OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
f. TB resistan rifampisin (TB RR) : Resistan terhadap rifampisin
(monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi
menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa
resistan OAT lainnya.
6. Alur diagnosis TB resistan obat
Diagnosis TB resistan obat dipastikan berdasarkan uji kepekaan
M.tuberculosis baik menggunakan metode fenotipik dengan
menggunakan media padat atau media cair, maupun menggunakan
metode genotipik TCM dan LPA.
Penegakkan diagnosis TB-RO
a. Penegakan diagnosis TB pada terduga TB dilakukan dengan
pemeriksaan TCM. Pada kondisi dimana pemeriksaan TCM tidak
memungkinkan (misalnya alat TCM melampaui kapasitas
pemeriksaan, alat TCM mengalami kerusakan, dll), penegakkan
diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
b. Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB RO dan terduga TB
dengan HIV positif, harus tetap diupayakan untuk dilakukan
penegakan diagnosis TB dengan TCM TB, dengan cara melakukan
rujukan ke layanan tes cepat molekuler terdekat, diutamakan
rujukan contoh uji.
c. Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM
sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Satu contoh uji untuk
diperiksa TCM, satu contoh uji untuk disimpan sementara dan akan
diperiksa jika diperlukan, misalnya pada hasil indeterminate, error,
invalid, no result hasil TB RR pada terduga TB kelompok resiko
rendah contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan TCM
terdiri atas cairan serebrospinal (cerebro spinal fluid/CSF), jaringan
biopsi, bilasan lambung (gastric lavage), dan aspirasi cairan lambung
(gastric aspirate).
d. Pasien dengan hasil M.TB Resistan Rifampisin dari kelompok resiko
rendah TB RO harus dilakukan pemeriksaan ulang TCM
menggunakan specimen dahak baru dengan kualitas yang lebih baik.
Jika terdapat perbedaan hasil pertama dan kedua, maka hasil
pemeriksaan TCM terakhir yang memberikan hasil M.TB positif
menjadi acuan tindakan selanjutnya. Jika hasil pemeriksaan kedua
adalah M.TB negative, invalid, no result, atau error, maka terapi
diserahkan kepada pertimbangan klinis.
e. Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika
hasil tetap sama, berikan pengobatan TB Lini 1, lakukan biakan dan
uji kepekaan.
f. Pengobatan TB RO dengan panduan standar jangka pendek segera
diberikan kepada semua pasien TB RR, tanpa menunggu hasil
pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2 keluar. Jika hasil
resistansi menunjukkan MDR, lanjutkan pengobatan TB RO. Bila ada
tambahan resistansi terhadap OAT lainnya, pengobatan harus
disesuaikan dengan hasil uji kepekaan OAT.
g. Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (line probe
assay) lini-2 atau dengan metode konvensional.
h. Pasien dengan hasil TCM M.TB negatif, lakukan pemeriksaan foto
toraks. Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas
pertimbangan dokter, pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB
terkonfirmasi klinis. Jika gambaran foto toraks tidak mendukung TB
kemungkinan bukan TB, dicari kemungkinan penyebab lain.

Gambar : Alur diagnosis dan pengobatan TB-RO


C. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien
1. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan
suatu “definisi khusus” yang meliputi empat hal, yaitu:
a. Lokasi atau organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru :
b. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikrokopis) : BTA
positif atau BTA negatif
c. Riwayat pengobatan TBC sebelumnya, pasien baru atau sudah
pernah diobati
d. Status HIV pasien
e. Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat. Saat ini sudah tidak
dimasukkan dalam penentuan definisi kasus.

2. Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah


a. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai, untuk mencegah
pengobatan yang tidak adekuat (undertreatment), menghindari
pengobatan yang tidak perlu (overtreatment)
b. Melakukan registrasi kasusu secara benar
c. Standarisasi proses (tahapan) dan pengumpulan data
d. Menentukan prioritas pengobatan TBC, dalam situasi dengan sumber
daya yang terbatas.
e. Analisis kohort hasil pengobatan, sesaui dengan definisi klasifikasi
dan tipe
f. Memonitor kemajuan dan mengevaluasi efektifitas program secara
akurat, baik pada tingkat kabupaten, provinsi, nasional, regional,
maupun dunia.
3. Beberapa istilah dalam definisi kasus:
a. Kasus TBC : pasien TBC yang telah dibuktikan secara mikroskopis
atau didiagnosis oleh dokter atau petugas TBC untuk diberikan
pengobatan TBC.
b. Kasus TBC pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk
Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, hasil
pemeriksaan TCM hasilnya MTB detected atau sekurang-kurangnya 1
dari 2 spesimen dahak SP hasilnya BTA Positif.
4. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena :
a. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru., tidak termasuk pleura (selaput
Paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru, tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung,
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, pulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
c. Pasien dengan TBC paru dan TBC ekstraparu diklasifikasikan
sebagai TBC paru.
5. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadaan
ini ditunjukkan terutama pada TBC paru :
a. Tuberkulosis Paru BTA Positif
1) Hasil pemeriksaan TCM dahak menyatakan MTB detected
2) Sekurang-kurangya 1 dari 2 spesimen dahak SP hasilnya BTA
positif.
3) Spesimen dahak SP hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
4) 1 spesimen dahak SP hasilnya BTA positif dan biakan kuman
TBC positif.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
1) Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TBC paru BTA positif.
2) Kriteria diagnostik TBC paru BTA negatif harus meliputi :
a) Hasil pemeriksaan TCM negatif
b) Paling tidak 2 spesimen dahak SP hasilnya BTA negative
c) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
d) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
selama 2 minggu, bagi pasien dengan HIV negatif.
e) Ditentukan (dipertimbangkan ) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
Catatan :
a. Pasien TBC paru tanpa hasil pemeriksaan dahak tidak dapat
diklasifikasikan sebagai BTA negatif, lebih baik dicatat sebagai
“pemeriksaan dahak tidak dilakukan”
b. Bila seorang pasien TBC paru juga mempunyai TBC ekstra paru,
maka untuk kepentingan pencatatan , pasien tersebut harus
dicatat sebagai pasien TBC paru.
c. Bila seorang pasien dengan TBC ekstra paru pada beberapa
organ, maka dicatat sebagai TBC ekstra paru pada organ yang
penyakitnya paling berat.
6. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkanriwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai
tipe pasien, yaitu :
a. Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.
b. Kasus yang sebelumnya diobati
- Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
- Kasus setelah putus berobat (default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebioh dengan BTA positif.
- Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan karegister lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
d. Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memeuhi ketentuan diatas, seperti
yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, pernah diobati
tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya kembali diobati dengan
BTA negatif.
Catatan :
TBC paru BTA negatif dan TBC ekstra paru, dapat juga mengalami
kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik.

Gambar : Alur penegakkan diagnosis TBC


D. Pengobatan Tuberkulosis
1. Tujuan dan Prinsip pengobatan
Pengobatan TBC bertujuan utuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegahkekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuma terhadap Obat Anti Tuberkulosis
(OAT).
2. Jenis, sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang
tergolong pada untuk lini pertama. Secara ringkas OAT lini pertama
dijelaskan pada tabel dibawah ini :
Tabel : Jenis OAT Lini Pertama
Dosisi yang direkomendasikan (mg/kg)
JENIS OAT SIFAT
Harian 3x seminggu
5 10
Soniazid (H) Bakterisid
(4.6) (8-12)
10 10
Rifampicin (R) Bakterisid
(8-12) (8-12)
25 35
Pyrazinamide (Z) Bakterisid
(20-30) (30-40)
15 30
Ethambutol (E) Bakteriostatik
(15-20) (20-35)

Tabel : Jenis OAT untuk pasien TBC resistan obat


Golongan dan Jenis OBAT
Golongan – obat-lini Pertama oral - Isoniazid (H) - Pyrazinamide (Z)
- Ethambutol (E) - Rifampicin (R)
Golongan -2/obat suntik/ - Streptomycin (S) - Amikacin (Am)
Suntikan - Kanamycin (Kn) - Capreomycin
Golongan -3/ Golongan - Ofloxacin (Ofx) - Moxifloxacin (Mfx)
Floroquinolone - Levofloxacin (Lfx)
Golongan -4/obat bakteriostatik - Ethionamide (Eto) - Para amino salisilat
- Prothionamide (Pto) (PAS)
- Cycloserine (Cs) - Terizidone (Trd)
Golongan – 5 /obat yang belum - Clofazimine (Cfz) - Thloacetazone (thz)
jelas efikasinya dan tidak - Linezolid(Lzd) - Clarithromycin (Clr)
direkomendasikan dalam - Amoxilin- Clavulanate (Amx- - Lmipenem (lpm)
penggunaan rutin Clv)

3. Pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai


berikut
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa janis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT – kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly observed Treatment) oleh
seorang pengawas menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahun, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
1) Tahap awal (intensif)
a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah
terjadinya resistensi obat.
b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya pasien baru TBC menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu.
c) Sebagian besar TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan
2) Tahap lanjutan
a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lama
b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehigga mencegah terjadinya kekambuhan.
4. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
a. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia
1) Kategori 1 : 2HRZE / 4HR
2) Kategori Anak : 2HRZ/4HR
3) Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TBC resistent
obat di Indonesia trdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin,
Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS,
serta OAT lini 1, yaitu Pirazinamid and atambutol.
b. Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
c. Paket Kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isonoid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk
paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan
menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TBC :
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan
penulisan resep
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat menjadi sederhana meningkatkan kepatuhan pasien.
5. Pengobatan TB pada dewasa :
a. Kategori -1 2HRE / 4HR (Fase awal, lanjutan dalam dosis harian
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
a) Pasien baru TBC paru BTA positif
b) Pasien TBC paru BTA negatif foto toraks positif
c)Pasien TBC ekstra paru
d) Pasien TBC paru BTA positif yang telah dikonfirmasi
Tabel : dosisi untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Tahap Intensif Tahap lanjutan
Berat Badan Tiap hari selama 56 hari Setiap hari selama 112 hari
RHZE (150/75/400/275) RH (75/150)
30- 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38-54kg 3 tablet 4 KDT 3 table 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

Tabel : Dosis Paduan OAT- Kombipak untuk Kategori 1


Dosis Per hari / kali
Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Pirazinam Pirazinam Etambuto menelan
@ 300 id @ 500 id @ 500 l @ 250 obat
mgr mgr mgr mgr
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

6. Pengobatan TBC pada anak

Gambar. Alur tatalaksana pasien TBC anak pada unit pelayanan


kesehatan dasar

Pada sebagian besar kasus TBC anak pengobatan selama 6 bulan cukup
adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis
maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TBC anak
merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan.
Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik
tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.

a. Kategori Anak (2RHHZ/4RH)


Prinsip dasar pengobatan TBC adalah minimal 3 macam obat dan
diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap
hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat
harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Tabel : Dosis OAT Kombipak pada anak
BB BB BB
Jenis Obat
< 10 kg 10 – 19 kg 20-32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirasinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel : Dosis OAT pada Anak


2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
Berat Badan (Kg)
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5–9 1 tablet 1 tablet
10 – 14 2 tablet 2 tablet
15 – 19 3 tablet 3 tablet
20 – 32 4 tablet 4 tablet

Keterangan :
1) Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
2) Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
3) Anak dengan BB ≥ 33 kg, dirujuk ke rumah sakit
4) Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
5) OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum.
b. Pengobatan Pencegahan Tuberkulosis Untuk Anak
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau
kontak erat dengan penderita TBC dengan BTA positif, perlu
dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil
evalusi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak tersebut
diberikan Isoniazad (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6
bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG,
imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.
c. Pengobatan Tuberkulosis dengan Infeksi HIV/AIDS
Tatalaksana pengobatan TBC pada ODHA adalah sama dengan
pasien TBC lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TBC diberikan
segera, sedangkan pengobatan ARV dimulai berdasarkan stadium
klinis HIV atau hasil CD4. Penting diperhatikan dari pengobatan TBC
pada ODHA adalah apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan
ARV atau Tidak.
Bila pasien tidak dalam pengobatan ARV, segera mulai pengobatan
TBC, pemberisn ARV dilakukan dengan prinsip :
1) Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk
mulai pengobatan ARV bila CD4 < 350/mm3 tapi harus dimulai
sebelum CD4 turun dibawah 200/mm3.

2) Semua ODHA stsdium klinis 3 yang hamil atau menderita TBC


dengan CD4 < 350 mm3 harus dimulai pengobatan ARV.
3) Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV
tanpa memandang nilai CD4.
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan
TBC tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata 1),
rujuk pasien tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV.
Tabel : Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TBC
Obat ARV Paduan pengobatan ARV
Pilihan obat ARV
Lini pertama/ lini kedua pada waktu TBC didiagnosis
Teruskan dengan 2 NRTI +
2NRTI + EFV
EFV
Lini pertama
2 NRTI + NVP* Ganti dengan 2 NRTI + EFV

Keterangan :
Paduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia
subur dengan pengobatan OAT (mengandung rifampisin), yang perlu
dimulai ART bila tidak ada alternatif lain. EFV tidak dapat
digunakan pada trimester 1 kehamilan (risiko kelainan janin).
d. Pemberian pengobatan pencegahan Tuberkulosis pada ODHA
Pengobatan pencegahan Tuberkulosis diberikan sebagai bagian dari
upaya mencegah terjadinya TB aktif pada ODHA. PP TB diberikan
pada ODHA yang tidak terbukti TB dan tidak mempunyai
kontraindikasi terhadap pilihan obat. Ada beberapa pilihan regimen
pemberian pengobatan pencegahan Tuberkulosis menurut
rekomendasi WHO :
1) Pengobatan pencegahan dengan INH (PP INH) selama 6 bulan,
dengan dosis INH 300mg/hari selama 6 bulan dan ditambah
dengan B6 dosis 25mg/hari.
2) Pengobatan pencegahan dengan menggunakan Rifapentine dan
INH, seminggu sekali selama 12 minggu (12 dosis), dapat
digunakan sebagai alternative. Dosis yang digunakan adalah INH
15mg/BB untuk usia > 12 tahun dengan dosis maksimal 900mg
dan dosis Rifapentine 900mg untuk usia > 12 tahun dan BB >
50kg (untuk BB 32-50kg = 750mg).

e. Pengobatan Tuberkulosis Resistan Obat.


Secara umum, prinsip pengobatan TBC resistan obat, khususnya
TBC dengan RR adalah sebagai berikut :
1) Pengobatan TB RO dengan Panduan Jangka Pendek :
Paduan pengobatan TB RO jangka pendek tanpa injeksi terdiri
dari 7 jenis obat pada tahap awal dan 4 jenis obat pada tahap
lanjutan, dengan komposisi sebagai berikut :

Tahap awal : Tahap lanjutan :


7 macam obat 4 macam obat

4-6 BDQ (6 bulan) – Lfx – Cfz – Hdt – Z – E _ Eto / 5 Lfx – Cfz – Z - E

Secara ringkas, skema pemberian panduan pengobatan TB RO


Jangka Pendek dapat dilihat pada Gambar berikut :

Durasi tahap Durasi tahap


Konversi BTA ≤ 4 bulan
awal = 4 bulan lanjutan = 5 bulan
Pengobatan
jangka pendek

Belum konversi Teruskan tahap awal


sampai bulan ke-5 atau 6
pada bulan ke-4

bulan bulan

Tidak terjadi konversi Terjadi konversi BTA pada


s/d bulan ke-6 bulan ke-5 atau ke-6

bulan Atay

Pasien dinyatakan gagal Lanjutkan pengobatan


pengobatan jangka pendek ke tahap lanjutan
selama 5 bulan
bulan
bulan
Pasien dirujuk untuk
mendapatkan paduan
pengobatan jangka
panjang

bulan
Obat TB RO diberikan sesuai dengan dosis berdasarkan kelompok
berat badan pasien. Pada tabel dibawah dapat dilihat dosis OAT
berdasarkan berat badan untuk paduan pengobatan TB RO
jangka pendek.

Tabel : Dosis OAT berdasarkan berat badan untuk panduan


pengobatan TB RO jangka pendek

Kelompok berat badan (≥ 15 tahun)


Dosis Obat
Nama Obat Kemasan
Harian
35-35 36-45 46-55 56-70 >70
kg kg kg kg kg

4 tablet pada 2 minggu pertama, 2 tablet


Bedaquiline* - 100 mg tab
Senin/Rabu/Jumat selama 22 minggu berikutnya

250 mg tab 3 3 4 4 4
levofloksasin -
500 mg tab 1.5 1.5 2 2 2

Dosis standar 400 mg tab 1 1 1.5 1.5 1.5


Moksifloksasin
1 atau 1.5
Dosis tinggi 400 mg tab 1.5 2 2
1.5 atau 2

50 mg cap 2 2 2 2 2
Clofazimine -
100 mg cap 1 1 1 1 1

Ethambutol 15-25 mg/kg 400 mg tab 2 2 3 3 3

400 mg tab 3 4 4 4 5
Pyrazinamide 20-30 mg/kg
500 mg tab 2 3 3 3 4
2) P
Ethionamid 15-20 mg/kg 250 mg tab 2 2 3 3 4
e
10-15 mg/kg
INH 300 mg tab 1.5 1.5 2 2 2
(dosis tinggi)

2) Pengobatan TB RO dengan Panduan Jangka Panjang


Pengobatan TB RO dengan panduan jangka panjang (18-24 bulan)
diberikan pada pasien yang tidak bias mendapatkan paduan
pengobatan jangka pendek. Berbeda dengan paduan jangka
pendek, paduan pengobatan TB RO jangka panjang dapat
dimodifikasi sesuai dengan kondisi pasien (individualized) sehingga
disebut juga sebagai paduan individual untuk dapat meningkatkan
efektivitas dan keamanan dari paduan ini dalam mengobati pasien
TB RO.
Contoh paduan pengobatan TB RO jangka panjang tanpa injeksi
yang dapat diberikan :

6 Bdq - Lfx atau Mfx – Lzd – Cfz – Cs / 14 Lfx atau Mfx - Lzd – Cfz - Cs

7. Pengobatan tuberkulosis pada keadaan khusus


a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TBC pada kehamilan tidak
berbeda dengan pengobatan TBC pada umumnya. Menurut WHO,
hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin.
Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat
permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan
ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu
dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar
dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular
TBC.
b. Ibu Menyusui dan Bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TBC pada ibu menyusui tidak
berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman
untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TBC
harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang
tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman
TBC kepada bayiya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi
tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH
diberikan kepada bayi tersebutsesuai dengan berat badannya.
c. Pasien TBC Pengguna Kontrasepsi
Rifampisin, berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,
suntikan KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas
kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TBC sebaiknya menggunakan
kontrasepsi non-hormonal, kontrasepsi yang mengandung estrogen
dosis tinggi (50 mog)
d. Pasien TBC dengan Hepatitis Akut
Pemberian OAT pada pasien TBC dengan hepatitis akut dan
atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami
penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TBC sangat
diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E)
maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.

e. Pasien TBC dengan Kelainan Hati Kronik


Bila ada kecurigaan gangguan fatal hati, dianjurkan
pemeriksaan taal hati sebelum pengobatan TBC. Kalau SGOT dan
SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah
dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang
dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan
pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak
boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6HR atau 2HES/10HE.
f. Pasien TBC dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di
ekskresikan melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-
senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan
dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal.
Streptomisin dan Etambutol diekskresi melaluiginjal, oleh
karena itu hindari penggunaanya pada pasien dengan gangguan
ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol
dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosisi yang sesuai
faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal
ginjal adalah 2HRZ/4HR.
g. Pasien TBC dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat
mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga
dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan
untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TBC,
dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien diabetes mellitus
sering terjadi komplikasi retino[athy diabetika, oleh karena itu hati-
hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat
kelaianan tersebut.
h. Pasien TBC yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti :
1) Meningitis TBC
2) TBC milier dengan atau tanpa meningitis
3) TBC dengan Pleuritis eksudativa
4) TBC dengan Perikarditis kontriktiva

Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per-


hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian
disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
i. Indikasi Operasi
Pasien- pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru ),
adalah :
1) Untuk TBC paru :
a) Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan
cara konservatif.
b) Pasien dengan Fistula bronkopleura dan empiema yang tidak
dapat diatasi secara konservatif.
c) Pasien MDR TBC dengan Kelainan paru yang terlokalisir.
2) Untuk TBC ekstra Paru :
a) Pasien TBC ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien
TBC tulang yang disertai kelainan neurologik.

E. Pengawasan Menelan Obat

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka


pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan
pengobatan diperlukan seorang PMO.
1. Persyaratan PMO
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati
oleh pasien.
b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela
d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama
dengan pasien.
2. Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,
Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain-lain. Bila tidak
ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari
kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat
lainnya atau anggota keluarga.
3. Tugas seorang PMO
a. Mengawasi pasien TBC agar menelan obat secara teratur sampai
selesai pengobatan.
b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada wakt yang
telah ditentukan.
d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TBC yang
mempunyai gejala-gejala mencurigakan TBC untuk segera
memeriksakan diri ke unit pelayanan Kesehatan.
e. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien
mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.
4. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada
pasien dan keluarganya:
a. TBC disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b. TBC dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c. Cara penularan TBC, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke UPK

F. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TBC


1. Pemantuan Kemajuan Pengobatan TBC
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju
Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan
pengobatan karena tidak spesifik untuk TBC. Untuk memantau
kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua
kali (sewaktu pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke-2
spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau
keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan
positif.

Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat


pada tabel dibawah ini :

Tabel : Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak


Tipe Pasien Tahap Hasil
Tindak lanjut
TBC Pengobatan Pemeriksaan
Negatif Tahap lanjutan dimulai
Dilanjutkan dengan OAT
sisipan selama 1 bulan. Jika
setelah sisipan masih tetap
Akhir tahap positif :
Intensif - Tahap lanjutan tetap
Positif
diberikan
- Jika memungkinkan,
lakukan biakan, tes
resistensi atau rujuk ke
Pasien baru layanan TBC-MDR
dengan Negatif Pengobatan dilanjutkan
pengobatan
Pengobatan diganti dengan OAT
kategori 1 Pada bulan ke-5 kategori 2 mulai dari awal.
pengobatan Jika memungkinkan, lakukan
positif
biakan, tes resistensi atau
rujuk ke layanan TBC MDR
Negatif Pengobatan diselesaikan
Pengobatan diganti dengan OAT
Akhir Kategori 2 mulai dari awal
pengobatan Jika memungkinkan, lakukan
Positif biakan, tes resistensi atau
rujuk ke layanan TBC-MDR

Teruskan pengobatan dengan


Negatif
tahap lanjutan
Beri sisipan 1 bulan. Jika
setelah sisipan masih tetap
Pasien paru positif, teruskan pengobatan
BTA positif tahap lanjutan. Jika setelah
dengan Akhir Intensif sisipan masih tetap diberikan.
pengobatan Positif - Tahap lanjutan tetap
ulang diberikan
kategori 2 - Jika memungkinkan,
lakukan biakan, tes
resistensi atau rujuk ke
layanan TBC-MDR
Pada bulan ke 5 Negatif Pengobatan diselesaikan
Tipe Pasien Tahap Hasil
Tindak lanjut
TBC Pengobatan Pemeriksaan
pengobatan Pengobatan dihentikan, rujuk
Positif
ke layanan TBC-MDR

Negatif Pengobatan diselesaikan

Akhir Pengobatan dihentikan, rujuk


Pengobatan ke layanan TBC MDR
(AP) pengobatan dihentikan, rujuk
Positif
ke layanan TBC MDR
pengobatan dihentikan, rujuk
ke layanan TBC-MDR

Tabel : Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur

Keterangan :
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama
pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan:
lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan
sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak.
2. Hasil Pengobatan Pasien TBC BTA positif
a. Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada Akhir
Pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan follow-up
sebelumnya negatif.
b. Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
c. Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.

d. Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TBC 03
yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
e. Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
f. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

G. Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya


1. Efek Samping OAT
Efek Samping Kemungkinan Obat pengobatan
Penyebab
BERAT
Ruam kulit dengan atau tanpa streptomisin isoniazid Hentikan OAT
gatal rifampisin pirazinamid
Tuli streptomisin Hentikan streptomisin
Pusing vertigo dan nistagmus streptomisin Hentikan streptomisin
Ikterik tanpa penyakit hepar Streptomisin, isoniazid, Hentikan OAT
(hepatitis) rifampisin, pirazinamid
Bingung (curiga gagal hati imbas Isoniazid, pirazinamid, Hentikan OAT
obat bila terdapat ikterik) rifampisin sebagian besar OAT
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
(singkirkan penyebab lainnya)
Syok, purapura, gagal ginjal akut Rifampisin Hentikan rifampisin
(sangat jarang terjadi, akibat
gangguan imunologi)
Efek Samping Kemungkinan Obat pengobatan
Penyebab
Oligouria Streptomisin Hentikan streptomisin
RINGAN Lanjutkan OAT dan cek dosis
OAT
Anoreksia, mual, nyeri perut Pirazinamid, rifampisin, Berikan obat dengan
isoniazid bantuan sedikit makanan
atau menelan OAT sebelum
tidur, dan sarankan untuk
menelan pil secara lambat
dengan sedikit air. Bila gejala
menetap atau memburuk,
atau muntah
berkepanjangan atau
terdapat tanda tanda
perdarahan, pertimbangkan
kemungkinan ETD mayor
dan rujuk ke dokter ahli
segera
Nyeri sendi isoniazid Aspirin atau obat anti
inflamasi non-steroid, atau
parasetamol
Rasa terbakar, kebas atau isoniazid Piridoksin 50-75 mg/hari
kesemutan di tangan dan kaki (13)
Rasa mengantuk isoniazid Obat dapat diberikan
sebelum tidur
Air kemih berwarna kemerahan rifampisin Pastikan pasien
diberitahukan sebelum mulai
minum obat dan bila hal ini
terjadi adalah normal
Sindrom flu (demam, menggigil, Pemberian rifampisin Ubah pemberian rifampisin
malaise, sakit kepala, nyeri intermiten intermiten menjadi setiap
tulang) hari

2. Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan


kulit”:
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-
gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-
histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat.
Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada
sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan
seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit
tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien
perlu dirujuk. Pada sarana pelayanan kesehatan rujukan penanganan
kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka
pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging”
dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk
menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping
tersebut.
b. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi
hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk
membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi
kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam
proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul
reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
c. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui,
misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka
pengobatan TBC dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut.
Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya
pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan
menurunkan risiko terjadinya kambuh.
d. Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas
(kepekaan) terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini
merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat
utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien
dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin
tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun,
jangan lakukan desensitisasi pada pasien TBC dengan HIV positif
sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat.

IX. METODE

A. METODE PENJARINGAN SUSPEK


Metode penjaringan suspek dimulai dari pendaftaran pasien di Admission
dan UGD. Untuk penjaringan suspek di rawat jalan dilakukan dengan
membuat formulir skrining tuberculosis yang terdiri dari beberapa item yang
mengarah ke arah gejala tuberculosis. Jika poasien memenuhi screning
tersebut maka diberikan masker, berikut adalah contoh skrining TB:
Penjaringan pasien suspek TB Paru di UGD dilakukan diruangan isolasi,
pasien yang memenuhi kriteria terduga TB ditempatklan diruangan isolasi,
untuk kemudian seterusnya rawat inap di ruangan isolasi.

Penjaringan suspek menggunakan foto rongent torax dan pemeriksaan


mikroskopis dahak menggunakan metode TCM (tes cepat molokuler)
B. METODE PENGOBATAN TUBERCULOSIS
Pasien tuberculosis kasus baru diobati menggunakan OAT kategori 1,
sedangkan pasien yang sudah pernah diobati pengobatan TB diobati
menggunakan OAT kategori 2. Pengobatan tersebut sesuai dengan sistem
DOTS
C. METODE PEMANTAUAN PENGOBATAN
Pemantauan pengobatan dengan tuberculosis dilaksanakan pada akhir
bulan II, bula V, dan bulan VI. Pemantauan pengobatan menggunakan
pemeriksaan mikroskopis dahak dengan metode sputum BTA SP. Tidak
diperkenankan menggunakan TCM sebagai alat pemantauan pengobatan.
D. METODE PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pencatatan dan pelaporan dilakukan dengan 2 sistem secara manual dan
elektronik (SITT-2)
E. METODE KOLABORASI TB-HIV
Setiap pasien TB Paru kasus baru harus diperiksa status HIVnya
menggunakan metode PITC. Pasien TB paru dengan HIV positif dikonsulkan
ke Poli VCT dan akan mendapatkan pengobatan ARV setelah pengobatan TB
paru sudah ditoleransi.
F. METODE MONITORING DAN EVALUASI
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengobatan TB dilakukan setiap
Triwulan untuk pelaporan ke DINKES dan 1 tahun untuk Rumah Sakit.

X. PENCATATAN DAN PELAPORAN

A. PENCATATAN

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu komponen penting


kegiatan surveilans TB. Pencatatan dapat menjadi sumber informasi untuk
diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan sebagai
bahan pengambilan keputusan. Data yang dikumpulkan pada kegiatan
surveilan harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu) sehingga menjamin
kualitas pengolahan dan analisa data .
Sistem pencatatan yang baku serta dilaksanakan dengan baik dan
benar merupakan syarat dalam melakukan monitoring dan evaluasi .
pencatatan yang baik dan benar merupakan sumber data yang penting
dalam tatalaksana pasien TB , dengan demikian kegiatan surveilans pasien
Tb dapat dilaksanakan melalui mekanisme pencatatan yang telah
dilakukan (surveilans melalui data rutin)
Pencatatan menggunakan formulir baku secara manual ini masih
diperlukan di unit fasilitas kesehatan sebagai bagian dari sistem survailan
dan diperlukan sebagai data rekam medis yang dapat dipertanggung
jawabkan, dimana pencatatan manual didukung oleh sistem informasi
elektronik.
Pencatatan diatur berdasarkan fungsi masing –masing tingkatan
pelaksanaan sebagai berikut :
1. Jenis formulir pencatatan TB sensitif obat di rumah sakit
a. Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TBC
06)
b. Formulir permohonan laboratorium TBC untuk pemeriksaan dahak
(TBC 05)
c. Kartu pengobatan pasien TBC (TBC. 01)
d. Kartu identitas pasien TBC (TBC. 02)
e. Register TBC UPK (TBC. 03 UPK)
f. Formulir rujukan/pindah pasien (TBC. 09)
g. Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TBC pindahan (TBC.
10)
h. Register Laboratorium TBC (TBC. 04)
i. Persetujuan pengobatan TBC
2. Sistem Pencatatan TB Resisten Obat
a. Daftar Terduga TB (TB.06).
b. Buku rujukan pasien terduga TB resisten obat.
c. Formulir rujukan pasien terduga TB resistan obat.
d. Salinan formulir TB.01 MDR (Kartu pengobatan bila mengobati
pasien TB MDR).
e. Salinan formulir TB.02 MDR (Kartu identitas pasien TB MDR bila
mengobati).
3. Pencatatan yang dilakukan di rumah sakit TB resisten obat.
Menggunakan formulir baku seperti:
1. Daftar Terduga TB (TB.06).
2. Formulir Permohonan Pemeriksaan Bakteriologis TB TB.05).
3. Kartu pengobatan pasien TB MDR (TB.01 MDR).
4. Kartu Identitas pasien TB MDR (TB.02 MDR).
5. Register pasien TB MDR (TB.03 MDR).
6. Formulir rujukan/pindah pasien TB MDR.

B. PELAPORAN

Pelaporan TB menggunakan sistem informasi elektronik


menggunakan sofware SITT-2 merupakan sistem informasi TB yang
berbasis web yang dapat digunakan dalam pencatatan dan pelaporan data
Tb di berbagai aspek dan diintegrasikan dengan sistem informasi
kesehatan nasional . Pelaporan diatur berdasarkan fungsi masing–masing
tingkatan pelaksanaan sebagai berikut :
1. Pencatatan dan pelaporan ke dinas kesehatan
a. Laporan Triwulan Penemuan dan Pengobatan Pasien TB
b. Laporan Triwulan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Akhir
Tahap Awal , bulan ketiga ,bulan kelima dan akhir pengobatan
c. Laporan Triwulan Hasil Pengobatan Pasien TB
2. Pelaporan di laboratorium rujukan TB MDR
Register laboratorium Tb untuk rujukan tes cepat , biakan dan uji
kepekaan (TB 04 rujukan ).

C. ALUR PELAPORAN TB
Dilakukan mulai dari rumah sakit sampai ke dinas kesehatan

Dinkes kab kota TB-07 TB-11


TB-08 TB-12
SITT-2 TB-03

TB 03 UPK
--------------------------------------------------------------------------------------------------------

PULANG TB 02 TB 01

PINDAH TB 09
TB 05 TB04

LABORATORIUM

UPK LAIN TB 10

TB 05
SUSPEK TB 06

Keterangan :
1. TB-05 untuk pengiriman pemeriksaan dahak baik penegakan
diagnosis maupun untuk follow up pengobatan. Ada di klinik rawat
jalan maupun rawat inap diisi oleh pelaksana perawatan dinas jaga
saat itu. Bila suspek ditegakan TB mendapatkan pengobatan OAT
maka form TB-05 pasien disimpan di Poli DOTS, jika bukan TB maka
TB-05 ini dikembalikan ke pasien.
2. TB-06 untuk mencatat jumlah suspek pasien TB yang diperiksa
dahak, sedangkan pasien TB yang melakukan pemeriksaan dahak
ulang untuk follow up pengobatan tidak dicatat di TB-06
3. Jika hasil pasien positif pasien mendapatkan pengobatan di poli
DOTS.
4. TB 10 (Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan
5. TB 01 (Kartu pengobatan pasien), bila pasien tersebut di diagnosis
dan diberi pengobatan OAT, per resep/ program, baik untuk pasien
baru maupun pasien kontrol ulang. TB 01 di simpan di Poli DOTS,
bila pasien kemudian meneruskan OAT diluar rumah sakit dibuatkan
surat rujukan pindah (TB 09) beserta sisa OAT untuk diserahkan
kepada UPK yang dituju . UPK yang telah menerima pasien rujukan
segera mengisi dan mengirim kembali TB 09( lembar bagian bawah )
ke UPK asal.
TIM DOTS memastikan semua pasien yang dirujuk melanjutkan
pengobatan di UPK yang dituju.
6. TB 02 ( Kartu identitas pasien TB)
7. Semua data di input melalui SITT-2 untuk dikirim ke Dinas
Kesehatan setiap triwulan, sedangkan untuk laporan rumah sakit
dibuat per 1 tahun

D. ALUR FEEDBACK
1. Dari DINKES kota
a. Validasi data diadakan sesuai dengan kebutuhan
b. Monitoring dan evaluasi dilakukan 1 tahun sekali
2. Dari Direktur RSUD Wangaya
a. Rapat rutin diadakan 1 tahun sekali untuk membahas
kendala-kendala yang dihadapi dalam memberikan pelayanan
TB
b. Membuat program kerja untuk tahun berikutnya.

XI. MONITORING DAN EVALUASI

A. Pengertian monitoring dan evaluasi


Monitoring atau pemantauan adalah suatu kegiatan mengamati
secara langsung dan berkesinambungan. Monitoring program TB untuk
memantau sampai sejauh mana keberhasilan kegiatan penemuan dan
pengobatan pasien TB di rumah sakit atau pelayanan kesehatan, kegiatan
ini dilaksanakan secara rutin dengan mmenggunakan data masukan
(input), proses (process) dan luaran (autput)yang dikumpulkan secara
berkala dan terus menerus . Apabila ditemukan masalah harus dicari
penyebabnya dan segera mengambil langkah untuk mengatasinya
Kegiatan ini untuk menilai apakah semua upaya yang direncanakan
sudah sesuai dengan jadwal sehingga dapat diketahui sampai sejauh mana
kemajuan program terhadap target yang telah ditetapkan serta tingkat
pemaanfaatan pelayanan kesehatan
Monitoring dapat dilakukan dengan cara:
1. Melakukan pencatatan yang baik dirumah sakit atau fasilitas
kesehatan
2. Mencermati pencatatan di rumah sakit secara teratur
3. Mengumpulkan data dengan format pencatatan baku
4. Melakukan pengolahan data berdasarkan indikator
5. Melakukan analisis dan interpretasi berdasarkan indikator yang
berhubungan dengan penemuan , pengobatan pasien dan kwalitas
pemeriksaan dahak
6. Melakukan tindak lanjut sesuai analisis
Hasil pemantauan berguna untuk bahan evaluasi program. Evaluasi
adalah penilaian secara berkala dari kegiatan program dengan
menggunakan data monitoring dan indikator lainnya .Biasanya evaluasi ini
dilakukan pada akhir periode kegiatan /program , misalnya setahun sekali,
bila perlu dapat juga dilakukan pada pertengahan periode (mid-term
evaluation ). Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan yang telah
ditetapkan dapat berhasil dicapai; dan kalau belum berhasil dicapai , apa
penyebab dan tindak lanjutnya .

XII. PENUTUP

Pedoman kerja penanggulangan TB DOTS Rumah Sakit Umum Daerah


Wangaya ini mempunyai peranan penting sebagai pedoman bagi
pelaksanaan kegiatan sehari – hari tenaga pelaksana perawatan yang
bertugas sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan khususnya
pelayanan TBC di Poli DOTS.
Penyusunan Pedoman kerja penanggulangan TB DOTS ini adalah
langkah awal ke suatu proses yang panjang, sehingga memerlukan
dukungan dan kerja sama dari berbagai pihak dalam penerapannya untuk
mencapai tujuan. Kami menyadari bahwa pedoman kerja ini masih jauh
dari sempurna, karena itu kami menerima saran dan kritik guna
menyempurnakan pedoman ini.
Akhir kata, semoga Pedoman Pelayanan Poli DOTS ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

DIREKTUR
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA
KOTA DENPASAR,

DR. ANAK AGUNG MADE WIDIASA,SP.A.,MARS


PEMBINA UTAMA MUDA
NIP. 19701002 200012 1 005

Anda mungkin juga menyukai