PERATURAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA
KOTA DENPASAR
TENTANG
PEDOMAN KERJA TIM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS ( TB )
PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Ditetapkan di Denpasar
Pada tanggal, 4 Juli 2022
DIREKTUR
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA
KOTA DENPASAR,
I. PENDAHULUAN
Tuberkulosis ( TB ) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan TB
telah dilaksanakan di banyak negara sejak tahun 1995.
Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta
kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan
1,5 juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari
kasus TB tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian
320.000 orang (140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat
( TB-RO ) dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru,
diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000
kematian/tahun.
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,
diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk)
dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan
63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk). Angka Notifikasi
Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak 129
per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya
314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV diantara
pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan
sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB
dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang.
Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara lain:
1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan karena
masih kurangnya komitmen pelaksana pelayanan, pengambil kebijakan,
dan pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana prasarana.
2. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang belum
menerapkan layanan TB sesuai dengan standar pedoman nasional dan
ISTC seperti penemuan kasus/diagnosis yang tidak baku, paduan obat
yang tidak baku, tidak dilakukan pemantauan pengobatan, tidak dilakukan
pencatatan dan pelaporan yang baku.
3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam
penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.
4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di
Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah risiko
tinggi seperti daerah kumuh diperkotaan, pelabuhan, industri, lokasi
permukiman padat seperti pondok pesantren, asrama, barak dan
lapas/rutan.
5. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam
penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan,
pencatatan dan pelaporan.
6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko
terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes mellitus,
merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan penurunan daya tahan
tubuh.
7. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan
meningkatkan pembiayaan program TB.
8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat
pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang
dan pangan yang tidak memadai yang berakibat pada tingginya risiko
masyarakat terjangkit TB. Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia
sudah berhasil menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB di
tahun 2015 jika dibandingkan dengan tahun 1990. Angka prevalensi TB
yang pada tahun 1990 sebesar > 900 per 100.000 penduduk, pada tahun
2015 menjadi 647 per 100.000 penduduk. Dari semua indikator MDG’s
untuk TB di Indonesia saat ini baru target penurunan angka insidens yang
sudah tercapai. Untuk itu perlu upaya yang lebih besar dan terintegrasi
supaya Indonesia bisa mencapai target SDG’s pada tahun 2030 yang akan
datang.
III. TUJUAN
A. Tujuan Umum
B. Tujuan Khusus
1 Meningkatkan temuan kasus TB (surveilance TB)
2 Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB
3 Mengkoordinasikan pelayanan TB di RSUD Wangaya Kota Denpasar
4 Adanya koordinasi dan sinkronisasi antara pengelola dan penanggung
jawab program pada tingkat kabupatenda / kota, propinsi, dan pusat
dalam manajemen program TB Rumah Sakit.
IV. PENGERTIAN
A. Surveilans TB
C. Kuman Penyebab TB
A. Kebijakan
1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 67 Tahun 2016
Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis.
2 Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota
Denpasar Nomor …/…/RSUDW/… tentang Penetapan Kebijakan
Pelayanan Penanggulangan Tuberkulosis Dengan Strategi Dots pada
Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota Denpasar.
VI. PENGORGANISASIAN
A. STRUKTUR ORGANISASI
9 Administrasi
a. Membantu kegiatan pencatatan dan pelaporan kejadian penyakit TB
I R J
I R D I R I
LABORATORIUM TIM TB-DOTS KLINIK MERPATI
FARMASI RADIOLOGI
B. Rincian Kegiatan
1 Merencanakan pelayanan TB sesuai standar meliputi :
a. Siapkan anggaran sesuai kebutuhan yang diperlukan dalam
pelayanan TB.
b. Revisi SK sesuai dengan kebutuhan
c. Siapkan ruangan sesuai standar PPI TB
d. Pengadaan obat sesuai standar TB.
e. Pemenuhan standar pencegahan dan pengendalian infeksi TB di RS
(termasuk alat pelindung diri)
f. Rapat rutin setiap 1 tahun sekali
2 Melaksanakan kegiatan program TB meliputi :
a. Menyiapkan anggaran sesuai kebutuhan
b. Merevisi SK
c. Menyediakan ruangan khusus pelayanan pasien TB yang sesuai
dengan standar PPI TB
d. Mengadakan obat sesuai standar TB
e. Menyiapkan peralatan untuk melakukan pelayanan TB termasuk alat
pelindung diri
f. Menyelenggarakan rapat rutin setiap 1 tahun sekali
VIII. TATALAKSANA
2 Pemeriksaan Dahak
Diagnosis TBC Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih
dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis
yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler
dan biakan
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk mengakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobtan dan menentkan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakkan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa sewaktu - pagi – sewaktu (PS),
1) P (Pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di UPK.
2) S (sewaktu) : dahak dikumpulkan 1 sampai 2 jam setelah makan
pada hari yang sama, setelah kedua pot dahak terisi, segera bawa
ke Rumah Sakit.
b. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler
Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF.
TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak
dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan
c. Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada pengendalian TBC
khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan
masih pekaterhadap OAT yang digunakan Selama fasilitas
memungkinkan biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan
tes resisitensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi.
1) Pasien TBC yang masuk dalam tipe pasien kronis
2) Pasien TBC ekstraparu dan pasien TBC anak
3) Petugas kesehatan yang menangani pasien kekebalan ganda
d. Pemeriksaan Tes Resistensi obat (uji kepekaan Obat)
Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di labolatorium yang
mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi
sesuai standar internasional, dan telah mendapatkan pemantapan
mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional TBC. Hal
ini bertuajuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan
keputusan yang benar sehingga kemungkinan ksalahan dalam
pengobatan MDR dapat dicegah.
B. Diagnosis Tuberkulosis
1. Diagnosis TBC paru pada orang dengan HIV negatif
a. Semua suspek TBC diperiksa spesimen dahak menggunakan metode
Tes Cepat Molekuler (TCM)
b. Diagnosis TBC Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TBC. Pada program TBC nasional, faskes yang
mempunyai fasilitas tes TCM dapat menggunakan TCM sebagai alat
mendiagnosis TBC disamping metode pengecatan BTA konvensional.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TBC hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TBC paru, sehingga sering terjadi
misdiagnosis.
2. Diagnosis TBC ekstra paru orang dengan HIV negatif
a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TBC, nyeri pada TBC pleura (pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TBC dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TBC dan lain-
lainnya.
b. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis
dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena
3. Diagnosis TBC pada Orang dengan HIV AIDS (ODHA)
Pada ODHA, diagnosa TBC paru dan TBC ekstra paru ditegakkna sebagai
berikut :
a. TBC Paru BTA Positif ditegakkan jika pemeriksaan dahak
menggunakan metode TCM menyatakan hasil terdeteksinya kuman
M. tuberculosis (MTB detected).
b. TBC Paru BTA negatif, meskipun hasil pemeriksaan TCM negatif, dan
gambaran radiologis mendukung TBC, dan test HIV positif atau
gambaran klinis infeksi HIV yang jelas, keputusan diagnosa dan
pengobatan OAT oleh dokter, ATAU BTA negatif dengan hasil kultur
TBC positif.
c. TBC Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatoilogi yang diambil dari jaringan tubuh
yang terkena.
Catatan : Pada keadaan tertentu dengan pertimbangan medis spesialistik
ini dapat digunakan secara lebih fleksibel : pemeriksaan mikroskopis
dapat dilakukan bersamaan dengan foto toraks dan pemeriksaan lain
yang diperlukan.
4. Diagnosis TBC pada anak
Diagnosis pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan
merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit,
maka diagnosis TBC anak perlu kriteria lain dengan menggunakan
sistem skor
IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan
menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap
gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi
digunakan oleh program nasional pengendalian tuberkulosis untuk
diagnosis TBC anak.
Tabel. Sistem Skor gejala dan pemeriksaan penunjang TBC
Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Jumlah
Catatan :
1. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
2. Batuk dimasukkan dalam skor setelah setelah disingkirkan penyebab
batuk kronik lainnya seperti asma, Sinusitis dan lain-lain.
3. Jika dijumpai skrofuloderma (TBC TBC pada kelenjar dan kulit),
pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
4. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)
melampirkan tabel badan-badan.
5. Foto toraks-toraks bukan alat diagnostik utama pada TBC anak.
6. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (rekasi lokal timbul < 7 hari
setelah penyuntikkan) harus dievalusi dengan sistem skoring anak.
7. Anak didiagnosis TBC jika jumlah skor ≥ 6, ( skor maksimal 14)
8. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evalusi
lebih lanjut.
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan dibawah ini :
1. Tanda bahaya
2. Kejang, kaku kuduk
3. Penurunan kesadaran
4. Kegawatan lain, misalnya sesak nafas
5. Foto toraks menunjukkan gambaran milier kavitas efusi pleura
6. Gibbus koksitis
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem
skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (≥ 6),
harus ditatalaksana sebagai pasien TBC dan mendapat OAT (Obat Anti
Tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan
kearah TBC kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnosik lainnya
sesuai indikasi, seperti funduskopi, CT- Scan, dan lain-lainnya.
5. Diagnosis TBC MDR
Diagnosis TBC MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan
uji kepekaan M. Tuberculosis . Semua suspek MDR dipastikan
berdasarkan dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus ‘dahak
pagi hari’. Uji kepekaan M . tuberculosis harus dilakukan di labolatorium
yang telah tersertifikasi untuk uji kepekaan. Jika pada pasien terduga
TBC MDR yang masuk 9 kriteria terduga TBC MDR menyatakan hasil
pemeriksaan TCM dahak resisten terhadap rifampisin maka dianggap
sebagai TBC RR (resisten rifampisin) dan diobati menggunakan regimen
TBC MDR. Jika hasil TCM menyatakan rifampisin resisten pada kasus
baru, maka pemeriksaan TCM harus diulang dan yang dikai adalah hasil
yang terakhir.
Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TBC MDR akan tetap
meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian TBC
Nasional. Terdapat 6 jenis kategori resistensi terhadap obat TBC :
a. Monoresistance : Resistan terhadap salah satu OAT, misalnya
resistan isoniazid (H).
b. Polyresistance : Resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain
kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan
isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol (RE), isoniazid
etambutol dan streptomisin (HES), rifampisin etambutol dan
streptomisin (RES).
c. Multi-drug resistance (MDR) : Resistan terhadap isoniazid dan
rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya
resistan HR, HRE, HRES.
d. Pre-extensive drug resistance (pre-XDR) : TB MDR disertai
resistansi terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon atau
salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan
amikasin).
e. Extensive drug resistance (XDR) : TB MDR disertai resistansi
terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari
OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
f. TB resistan rifampisin (TB RR) : Resistan terhadap rifampisin
(monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi
menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa
resistan OAT lainnya.
6. Alur diagnosis TB resistan obat
Diagnosis TB resistan obat dipastikan berdasarkan uji kepekaan
M.tuberculosis baik menggunakan metode fenotipik dengan
menggunakan media padat atau media cair, maupun menggunakan
metode genotipik TCM dan LPA.
Penegakkan diagnosis TB-RO
a. Penegakan diagnosis TB pada terduga TB dilakukan dengan
pemeriksaan TCM. Pada kondisi dimana pemeriksaan TCM tidak
memungkinkan (misalnya alat TCM melampaui kapasitas
pemeriksaan, alat TCM mengalami kerusakan, dll), penegakkan
diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
b. Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB RO dan terduga TB
dengan HIV positif, harus tetap diupayakan untuk dilakukan
penegakan diagnosis TB dengan TCM TB, dengan cara melakukan
rujukan ke layanan tes cepat molekuler terdekat, diutamakan
rujukan contoh uji.
c. Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM
sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Satu contoh uji untuk
diperiksa TCM, satu contoh uji untuk disimpan sementara dan akan
diperiksa jika diperlukan, misalnya pada hasil indeterminate, error,
invalid, no result hasil TB RR pada terduga TB kelompok resiko
rendah contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan TCM
terdiri atas cairan serebrospinal (cerebro spinal fluid/CSF), jaringan
biopsi, bilasan lambung (gastric lavage), dan aspirasi cairan lambung
(gastric aspirate).
d. Pasien dengan hasil M.TB Resistan Rifampisin dari kelompok resiko
rendah TB RO harus dilakukan pemeriksaan ulang TCM
menggunakan specimen dahak baru dengan kualitas yang lebih baik.
Jika terdapat perbedaan hasil pertama dan kedua, maka hasil
pemeriksaan TCM terakhir yang memberikan hasil M.TB positif
menjadi acuan tindakan selanjutnya. Jika hasil pemeriksaan kedua
adalah M.TB negative, invalid, no result, atau error, maka terapi
diserahkan kepada pertimbangan klinis.
e. Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika
hasil tetap sama, berikan pengobatan TB Lini 1, lakukan biakan dan
uji kepekaan.
f. Pengobatan TB RO dengan panduan standar jangka pendek segera
diberikan kepada semua pasien TB RR, tanpa menunggu hasil
pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2 keluar. Jika hasil
resistansi menunjukkan MDR, lanjutkan pengobatan TB RO. Bila ada
tambahan resistansi terhadap OAT lainnya, pengobatan harus
disesuaikan dengan hasil uji kepekaan OAT.
g. Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (line probe
assay) lini-2 atau dengan metode konvensional.
h. Pasien dengan hasil TCM M.TB negatif, lakukan pemeriksaan foto
toraks. Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas
pertimbangan dokter, pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB
terkonfirmasi klinis. Jika gambaran foto toraks tidak mendukung TB
kemungkinan bukan TB, dicari kemungkinan penyebab lain.
Pada sebagian besar kasus TBC anak pengobatan selama 6 bulan cukup
adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis
maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TBC anak
merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan.
Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik
tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
Keterangan :
1) Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
2) Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
3) Anak dengan BB ≥ 33 kg, dirujuk ke rumah sakit
4) Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
5) OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum.
b. Pengobatan Pencegahan Tuberkulosis Untuk Anak
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau
kontak erat dengan penderita TBC dengan BTA positif, perlu
dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil
evalusi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak tersebut
diberikan Isoniazad (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6
bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG,
imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.
c. Pengobatan Tuberkulosis dengan Infeksi HIV/AIDS
Tatalaksana pengobatan TBC pada ODHA adalah sama dengan
pasien TBC lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TBC diberikan
segera, sedangkan pengobatan ARV dimulai berdasarkan stadium
klinis HIV atau hasil CD4. Penting diperhatikan dari pengobatan TBC
pada ODHA adalah apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan
ARV atau Tidak.
Bila pasien tidak dalam pengobatan ARV, segera mulai pengobatan
TBC, pemberisn ARV dilakukan dengan prinsip :
1) Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk
mulai pengobatan ARV bila CD4 < 350/mm3 tapi harus dimulai
sebelum CD4 turun dibawah 200/mm3.
Keterangan :
Paduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia
subur dengan pengobatan OAT (mengandung rifampisin), yang perlu
dimulai ART bila tidak ada alternatif lain. EFV tidak dapat
digunakan pada trimester 1 kehamilan (risiko kelainan janin).
d. Pemberian pengobatan pencegahan Tuberkulosis pada ODHA
Pengobatan pencegahan Tuberkulosis diberikan sebagai bagian dari
upaya mencegah terjadinya TB aktif pada ODHA. PP TB diberikan
pada ODHA yang tidak terbukti TB dan tidak mempunyai
kontraindikasi terhadap pilihan obat. Ada beberapa pilihan regimen
pemberian pengobatan pencegahan Tuberkulosis menurut
rekomendasi WHO :
1) Pengobatan pencegahan dengan INH (PP INH) selama 6 bulan,
dengan dosis INH 300mg/hari selama 6 bulan dan ditambah
dengan B6 dosis 25mg/hari.
2) Pengobatan pencegahan dengan menggunakan Rifapentine dan
INH, seminggu sekali selama 12 minggu (12 dosis), dapat
digunakan sebagai alternative. Dosis yang digunakan adalah INH
15mg/BB untuk usia > 12 tahun dengan dosis maksimal 900mg
dan dosis Rifapentine 900mg untuk usia > 12 tahun dan BB >
50kg (untuk BB 32-50kg = 750mg).
bulan bulan
bulan Atay
bulan
Obat TB RO diberikan sesuai dengan dosis berdasarkan kelompok
berat badan pasien. Pada tabel dibawah dapat dilihat dosis OAT
berdasarkan berat badan untuk paduan pengobatan TB RO
jangka pendek.
250 mg tab 3 3 4 4 4
levofloksasin -
500 mg tab 1.5 1.5 2 2 2
50 mg cap 2 2 2 2 2
Clofazimine -
100 mg cap 1 1 1 1 1
400 mg tab 3 4 4 4 5
Pyrazinamide 20-30 mg/kg
500 mg tab 2 3 3 3 4
2) P
Ethionamid 15-20 mg/kg 250 mg tab 2 2 3 3 4
e
10-15 mg/kg
INH 300 mg tab 1.5 1.5 2 2 2
(dosis tinggi)
6 Bdq - Lfx atau Mfx – Lzd – Cfz – Cs / 14 Lfx atau Mfx - Lzd – Cfz - Cs
Keterangan :
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama
pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan:
lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan
sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak.
2. Hasil Pengobatan Pasien TBC BTA positif
a. Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada Akhir
Pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan follow-up
sebelumnya negatif.
b. Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
c. Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
d. Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TBC 03
yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
e. Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
f. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
IX. METODE
A. PENCATATAN
B. PELAPORAN
C. ALUR PELAPORAN TB
Dilakukan mulai dari rumah sakit sampai ke dinas kesehatan
TB 03 UPK
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
PULANG TB 02 TB 01
PINDAH TB 09
TB 05 TB04
LABORATORIUM
UPK LAIN TB 10
TB 05
SUSPEK TB 06
Keterangan :
1. TB-05 untuk pengiriman pemeriksaan dahak baik penegakan
diagnosis maupun untuk follow up pengobatan. Ada di klinik rawat
jalan maupun rawat inap diisi oleh pelaksana perawatan dinas jaga
saat itu. Bila suspek ditegakan TB mendapatkan pengobatan OAT
maka form TB-05 pasien disimpan di Poli DOTS, jika bukan TB maka
TB-05 ini dikembalikan ke pasien.
2. TB-06 untuk mencatat jumlah suspek pasien TB yang diperiksa
dahak, sedangkan pasien TB yang melakukan pemeriksaan dahak
ulang untuk follow up pengobatan tidak dicatat di TB-06
3. Jika hasil pasien positif pasien mendapatkan pengobatan di poli
DOTS.
4. TB 10 (Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan
5. TB 01 (Kartu pengobatan pasien), bila pasien tersebut di diagnosis
dan diberi pengobatan OAT, per resep/ program, baik untuk pasien
baru maupun pasien kontrol ulang. TB 01 di simpan di Poli DOTS,
bila pasien kemudian meneruskan OAT diluar rumah sakit dibuatkan
surat rujukan pindah (TB 09) beserta sisa OAT untuk diserahkan
kepada UPK yang dituju . UPK yang telah menerima pasien rujukan
segera mengisi dan mengirim kembali TB 09( lembar bagian bawah )
ke UPK asal.
TIM DOTS memastikan semua pasien yang dirujuk melanjutkan
pengobatan di UPK yang dituju.
6. TB 02 ( Kartu identitas pasien TB)
7. Semua data di input melalui SITT-2 untuk dikirim ke Dinas
Kesehatan setiap triwulan, sedangkan untuk laporan rumah sakit
dibuat per 1 tahun
D. ALUR FEEDBACK
1. Dari DINKES kota
a. Validasi data diadakan sesuai dengan kebutuhan
b. Monitoring dan evaluasi dilakukan 1 tahun sekali
2. Dari Direktur RSUD Wangaya
a. Rapat rutin diadakan 1 tahun sekali untuk membahas
kendala-kendala yang dihadapi dalam memberikan pelayanan
TB
b. Membuat program kerja untuk tahun berikutnya.
XII. PENUTUP
DIREKTUR
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA
KOTA DENPASAR,