Anda di halaman 1dari 22

BAB I

SEJARAH SINGKAT, PENGERTIAN,


DAN TUJUAN EDITING

M enonton video tidak hanya melalui televisi dan bioskop, teknologi lainnya
seperti Instagram atau IGTV, Line, Facebook hingga Youtube adalah media
keseharian masyarakat abad ini. Layanan-layanan tersebut menjadi ciri
berkembangnya teknologi digital yang mampu masuk kedalam ruang pribadi
pengguna. Konten yang ditayangkanpun sangat beragam, baik dari
produsen/pembuatnya maupun temanya, bahkan video-video yang diproduksi
di layanan tersebut didominasi oleh orang-orang di sekitar kita.
Teknis gambar, suara dan pesan/cerita yang ditayangkan di televisi,
bioskop dan media online memiliki kualitas yang sama baiknya. Hal tersebut
dapat terjadi tentunya karena didukung perkembangan teknologi kamera digital,
komputer, smartphone dan internet. Tanpanya, untuk memproduksi dan
menyiarkan video yang baik hanya akan mampu dilakukan oleh perusahaan
besar.
Memotret dan mengedit video layaknya profesional saat ini dapat
dilakukan siapa saja asalkan memiliki komputer (tidak harus mutakhir), kamera
video digital murah, dan perangkat lunak editing video seperti Adobe Premiere
Pro. Bahkan jika kita berniat dengan yang lebih mudah dan murah lagi, cukup
memiliki smartphone dengan kamera yang cukup baik dan memiliki aplikasi
pengeditan video didalamnya, kita sudah bisa mengatakan, "Kamera standby,
talent standby, roll tape, ACTION!"
Membuat video dengan menggunakan teknologi saat ini sangat
menyenangkan dan mudah. Anda bisa membuat apapun mulai dari Video Blog
(Vlog), video podcast, film lima menit tentang liburan Anda, ulasan (review)
tentang suatu barang; jasa; atau gaya hidup, hingga film berdurasi panjang. Apa
yang harus Anda lakukan adalah mendapatkan alat-alat yang tepat dan tentu
mulai mencobanya.
Membuat film bisa dilakukan dengan slide show gambar digital atau
rekaman video yang direkam di kamera video digital. Anda juga dapat
menambahkan musik, efek suara, voiceovers, judul, dan efek khusus video untuk
membuat film Anda menjadi sesuatu yang akan menghibur orang lain. Kita bisa
lihat saat ini banyak sekali content creator yang sukses besar membangun sebuah
program berbasis audiovisual yang tayang melalui Youtube dan Instagram.
Begitu Anda mulai membuat film sendiri, Anda tidak akan pernah
menonton film lain dengan cara yang sama lagi. Anda akan mulai memperhatikan
hal-hal seperti sudut kamera, penggunaan musik, dan efek khusus, cerita, plot,
adegan, dan detail lainnya. Setiap pembuat film, akan berubah menjadi kritikus.
Mari kita mulai mengumpulkan semuanya dan mulai merekam proyek Anda di
video dan mengeditnya menjadi sesuatu yang Anda banggakan untuk
dipublikasikan atau disebarluaskan kepada khalayak, dalam ilmu komunikasi
sederhananya adalah menyampaikan pesan melalui media audiovisual.
A. SEJARAH EDITING

Jauh sebelum munculnya teknologi video digital dan perangkat lunak


pengeditan komputer seperti sekarang, orang-orang dahulu menggunakan film
emulsi untuk membuat ilusi gerakan di layar. Lebih dari 100 tahun yang lalu, strip
film emulsi dan film kamera yang diputar oleh tangan adalah teknologi terdepan,
dan durasi waktu perekaman gambarnya dibatasi oleh panjang plastik film itu
sendiri.
Teknologi maju begitu cepat dan film bergerak dari rekaman film
dokumenter biasa menjadi cerita narasi fiksi yang lebih rumit. Ketika bahasa
visual film mulai berkembang, variasi shot pun mulai banyak diperkenalkan dan
gambar bergerak (motion picture) semakin tumbuh dalam ruang lingkup
kecanggihan teknologi. Seorang "Cutter" yang dulu hanya mengumpulkan
beberapa potongan gambar film, kini memiliki peran baru yang lebih luas dalam
fase pasca produksi pembuatan film, yaitu penataan cerita, atau kadang-kadang
merekonstruksi, menjadi pekerjaan penuh waktu seorang editor film.
Hanya dalam beberapa dekade, bahasa visual yang lebih kompleks dari
editing fotografi dan gambar bergerak telah berevolusi. Film dengan cepat
menjadi media hiburan dan informasi terbesar di planet ini. Mereka dijunjung
tinggi oleh banyak orang namun dikecam oleh yang lain sebagai hal baru dan
gangguan terburuk yang sangat merusak. Gambar bergerak dan bagaimana
khalayak memandangnya menjadi sumber studi. Banyak teori tentang nilai-nilai
sosial dan artistik pembuatan film, dan kekuatan visual penyuntingan film
khususnya, muncul dari perbedaan budaya di seluruh dunia.
Pada titik dimana editor memotong film dan bagaimana berbagai rekaman
digabungkan menjadi satu, berpengaruh pada pemirsa yang menonton jauh di
atas dan di luar cerita yang sebenarnya. Editing tidak lagi hanya sarana untuk
secara fisik memangkas rekaman yang berlebih dari serangkaian shot; editing
telah diakui sebagai alat yang ampuh dalam kotak peralatan pembuat film.
Seiring waktu, mesin yang mengambil gambar dan melakukan
pemotongan berevolusi, tetapi sebagian besar parameter dasar tata bahasa visual
tetap sama. Gaya editorial yang berbeda datang silih berganti, tetapi metode inti
dan niat di balik praktik perakitan gambar dan elemen suara tidak berubah,
bahkan hingga hari ini.
Sejarah film bisu telah didokumentasikan dengan sangat baik sehingga
tidak perlu lagi untuk menanyakan kapan perangkat editing pertama kali
digunakan, atau siapa yang harus diberi kredit untuk orang yang pertama kali
menerapkannya, itu adalah pertanyaan untuk sejarawan film. Namun yang harus
menjadi perhatian kita adalah signifikansinya konstruksi baru editing, penyebab
perkembangannya dan relevansinya pada penggunaan saat ini.

B. AWAL MULA KONTINUITAS (CONTINUITY) FILM

Dalam membuat film, Lumière bersaudara mengadopsi prosedur


sederhana: mereka memilih subjek yang menurut mereka mungkin menarik
untuk direkam, memasang kamera di depannya, dan melanjutkan perekaman
hingga stok habis. Setiap peristiwa biasa seperti “Baby at the Lunch Table”
(1985), “A Boat Leaving Harbour” (1985) – tentunya memenuhi tujuan mereka,
yaitu hanya untuk merekam peristiwa yang sedang berlangsung. Mereka
menggunakan kamera film sebagai instrumen perekaman yang dapat menangkap
elemen gerakan: memang, esensi dari film seperti “A Boat Leaving Harbour” bisa
saja disampaikan secara setara melalui foto. Meskipun sebagian besar film
Lumière adalah rekaman peristiwa sederhana tanpa adanya latihan apalagi
casting, namun ia merupakan salah satu yang paling awal yang mampu
menunjukkan kontrol sadar terhadap materi yang direkam.
Di film “Watering the Gardener (1985,)” Lumière merekam untuk pertama
kalinya adegan komik yang sudah diatur sebelumnya di mana mereka melakukan
kontrol secara sadar terhadap materi mereka: seorang anak lelaki kecil
menginjak selang tukang kebun yang sedang menyirami bunga-bunganya;
tukang kebun bingung ketika aliran air berhenti, tukang kebun melihat nozzle;
dan anak laki-laki itu melepaskan kakinya dari selang tersebut dan tukang kebun
basah kuyup dengan air. Aksi itu sendiri, serta fakta bahwa itu bergerak,
dirancang untuk menarik minat penonton.
Film-film George Méliès dikenang karena kecerdikan dan pesona primitif
dari trik mereka. Akan tetapi, pada proses produksi, mereka menandai kemajuan
penting pada pekerjaan sebelumnya karena mereka mampu memperluas
cakupan bercerita di luar satu shot. Cinderella (1899), film panjang kedua Méliès
sepanjang 410 kaki (saat itu film Lumière sekitar 50 kaki) dan menceritakan
kisahnya dalam dua puluh gerak tableaux: (1) Cinderella saat di dapur; (2) Peri,
Tikus, dan Lackey; (3) Transformasi Tikus; . . . (20) Kemenangan Cinderella.
Setiap tablo memiliki kemiripan dengan film Lumière berjudul 'Watering the
Gardener” dalam hal insiden yang relatif sederhana telah diatur sebelumnya dan
kemudian direkam ke dalam satu kontinu strip film.
Berbeda dengan Lumière yang membatasi diri mereka untuk merekam
secara singkat peristiwa-peristiwa tak sengaja, justru Méliès berusaha untuk
menceritakan tentang sebuah kisah dalam beberapa episode. Kelanjutan
Cinderella membangun koneksi antara shot yang berbeda. Dua puluh tableaux -
disajikan agak seperti serangkaian slide kuliah - memperoleh semacam kesatuan
dasar yang berputar di sekitar karakter sentral: terlihat Méliès memilih
menceritakan kisah kompleksitas yang sangat besar daripada kisah sederhana
melalui film single shot.
Keterbatasan Cinderella, pada sebagian besar film Méliés berikutnya
adalah, keterbatasan presentasi teatrikal: setiap insiden - seperti setiap aksi
dalam drama - diatur dengan latar belakang tunggal dan mandiri dalam waktu
dan tempat; adegan tidak pernah dimulai di satu tempat dan berlanjut di tempat
lain; kamera selalu ditempatkan pada jarak tertentu dari aktor dan menghadap
ke backcloth secara langsung, tetap diam dan berada di luar adegan - persis
seperti halnya penonton di auditorium teater. Selanjutnya, kontinuitas Cinderella
adalah murni salah satu subjek: tidak ada kontinuitas aksi dari shot ke shot dan
hubungan waktu antara shot berurutan dibiarkan tanpa makna.
Pada tahun 1902, Edwin S. Porter dari Amerika, salah satu juru kamera
pertama Thomas A. Edison, membuat “The Life of an American Fireman.”
Pendekatannya dalam membuat film sangat kontras dengan praktik yang
diterima sampai sekarang:
Porter mengaduk-aduk stok film-film lama Edison, mencari adegan-adegan
yang cocok untuk membangun cerita. Dia menemukan sejumlah gambar
kegiatan departemen pemadam kebakaran. Karena departemen pemadam
kebakaran memiliki daya tarik populer yang kuat, dengan warna dan
tindakan mereka, Porter memilih mereka sebagai subjeknya. Tapi dia masih
membutuhkan ide atau kejadian sentral untuk mengatur adegan
departemen pemedam kebakaran dalam melakukan aksinya. . . . Karena itu
Porter menyusun suatu skema: seorang ibu dan anak harus ditangkap di
gedung yang terbakar dan diselamatkan oleh tim pemadam kebakaran.
Keputusan Porter untuk membuat film cerita dari bahan yang direkam
sebelumnya tidak pernah terjadi sebelumnya. Ini menyiratkan bahwa makna
shot/bidikan tidak selalu mandiri tetapi dapat dimodifikasi dengan
menggabungkan shot ke shot lainnya. Deskripsi episode terakhir “The Life of an
American Fireman” mungkin akan cukup memberikan gagasan tentang metode
konstruksi revolusioner sebuah film. Metode Porter ini dikenal dengan nama
paralel editing. Porter sendiri mengembangkan teknik paralel ini untuk
mengedit film-film berikutnya, tetapi baru oleh Griffith teknik tersebut
diaplikasikan secara lengkap.

1. Griffith: Penekanan Dramatik (Dramatic Emphasis)

Dalam film “The Birth of a Nation,” D. W. Griffith menunjukkan cara di


mana kontinuitas aksi sederhana Porter dikembangkan menjadi instrumen yang
baik untuk menciptakan dan mengendalikan ketegangan dramatis. Namun, ada
perbedaan nyata antara alasan Porter dan Griffith untuk memisah aksi menjadi
fragmen pendek. Ketika Porter memotong dari satu gambar ke gambar lain,
biasanya karena alasan fisik, yaitu tidak mungkin untuk mengakomodasi
peristiwa yang ingin ditunjukkannya dalam satu shot.
Dalam kontinuitas Griffith, aksi jarang dilakukan dari satu shot ke shot
berikutnya. Sudut pandang diubah bukan karena alasan fisik tetapi karena alasan
dramatis - untuk menunjukkan kepada penonton sebuah detail segar dari adegan
yang lebih besar yang paling relevan untuk membuat drama pada saat tertentu.
Pendekatan Griffith dalam mengedit sangat berbeda dengan Porter.
Griffith membagi seluruh aksi menjadi sejumlah komponen dan kemudian
menciptakan kembali adegan dari komponen-komponen tersebut. Keuntungan
dari metode pengeditan sebelumnya ada dua. Pertama, ini memungkinkan
sutradara untuk menciptakan rasa mendalam dalam narasinya: berbagai detail
dapat ditambahkan, gambar situasi kehidupan yang lebih persuasif daripada satu
shot tunggal, dimainkan berlawanan dengan latar belakang yang konstan. Kedua,
sutradara berada dalam posisi yang jauh lebih kuat untuk menggiring reaksi
penonton, karena ia dapat memilih detail apa yang akan dilihat penonton pada
saat tertentu.
Griffith membuat variasi tipe shot seperti long shot, medium shot, close-up,
cut away, dan tracking shot sebagai materi untuk melakukan teknik editing
paralel yang dianggap sebagai konstruksi dramatik. Bila Porter menampilkan
adegan-adegan yang berlangsung dalam waktu yang bersamaan namun di lokasi
yang berbeda, Griffith menampilkan adegan-adegan yang terjadi pada ruang dan
waktu yang berbeda tetapi bertumpu atau mengacu pada makna dan tema yang
sama. Griffith melakukannya dengan menciptakan teknik cross cutting.
Dengan crosscutting, plot berganti-ganti shot cerita di satu tempat dengan
shot cerita lain di tempat lain. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh D. W.
Griffith dalam “The Battle at Elderbush Gulch”, pasukan kavaleri sedang berkuda
untuk menyelamatkan beberapa pemukim yang terperangkap di dalam kabin
dan melawan orang-orang Indian di luar (Gambar 1.1 - Gambar 1.4). Griffith
berganti-ganti shot para pemukim, orang-orang Indian semakin dekat ke kabin,
dan pasukan bergegas untuk tiba tepat waktu.

Gambar 1.1 Gambar 1.2


Gambar 1.3 Gambar 1.4
Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=DrpNwNNspsk

Dalam Pertempuran “Elderbush Gulch,” Griffith memotong dari shot


kavaleri (Gambar 1.1) ke pemandangan di dalam kabin yang dikepung (Gambar
1.2). Dia memotong kembali ke kavaleri (Gambar 1.3) dan kemudian kembali ke
kabin (Gambar 1.4). Teknik ini memberi kita rentang pengetahuan yang tidak
terbatas dan membangun ketegangan: akankah penyelamat tiba tepat waktu?
Crosscutting memperkenalkan beberapa diskontinuitas spasial dengan
bolak-balik shot dari satu tempat ke tempat lain; namun memberi kita
pengetahuan yang tidak terbatas tentang suatu situasi, sehingga dan dengan
teknik itu dapat mengklarifikasi konflik dan membangun ketegangan.

2. Pudovkin: Editing Konstruktif

Kontribusi Pudovkin terhadap teori film sebagian besar merupakan


rasionalisasi dari karya Griffith. Di mana Griffith merasa puas untuk
menyelesaikan masalahnya ketika masalah itu muncul, Pudovkin merumuskan
teori editing yang dapat digunakan sebagai sistem panduan umum.
Prinsip Pudovkin pertama adalah, jika kita mempertimbangkan karya
sutradara film, maka tampak bahwa bahan baku aktifnya tidak lain adalah
potongan-potongan seluloid dari berbagai sudut pandang, gerakan terpisah dari
aksi (adegan) yang telah diambil. Dari bukan apa-apa (tidak ada makna) selain
potongan-potongan ini, kemudian menciptakan tampilan di layar yang
membentuk representasi film dari shot aksi/adegan. Dengan demikian bahan
sutradara film bukan terdiri dari proses nyata yang terjadi dalam ruang dan
waktu yang nyata, tetapi dari potongan seluloid di mana proses ini telah direkam
sebelumnya. Seluloid ini sepenuhnya tunduk pada kehendak sutradara yang
mengeditnya.
Pudovkin menyebut prinsip tersebut sebagai editing konstruktif, sebagai
lawan dari editing analitis yang memecah establish shot menjadi views yang lebih
dekat. Dia mencontohkannya pada adegan seseorang jatuh dari lantai lima.
Pertama, pria di rekam dengan aksi jatuh dari jendela lantai lima ke dalam
jaring/net/matras, kemudian pria yang sama direkam jatuh ke lantai dari
ketinggian sekitar 50cm. Kemudian gabungkan kedua rekaman tadi diawali
posisi jatuh dari lantai lima, dan diakhiri adegan pria menyentuh lantai, tentunya
tanpa menampilkan pria jatuh ke jaring/net/matras. Pudovkin tidak
menyebutnya sebagai trik, namun sebagai filmic representation.
Pudovkin sampai pada kesimpulan ini, selain dari pengalamannya sendiri
sebagai sutradara, sebagian juga dari eksperimen yang dilakukan rekan
seniornya yaitu Kuleshov. Hasil eksperimen Kuleshov mengungkapkan bahwa
proses pengeditan lebih dari sekadar metode untuk menceritakan kisah yang
berkelanjutan. Dia menemukan bahwa dengan juxtaposition (penjajaran) yang
tepat, setiap shot dapat diberikan makna yang belum dimiliki sampai dilakukan
penjajaran.
Dalam percobaan terkenal mereka dengan aktor Ivan Mosjukhin, ketika
wajah netral aktor diselingi dengan gambar semangkuk sup, penonton
mengatakan aktor tersebut tampak lapar. Ketika shot wajah yang sama diselingi
dengan gambar seorang wanita dalam peti mati yang sudah meninggal, dia
terlihat sedih. Ketika wajah netral aktor diselingi dengan gambar seorang anak
gadis bermain dengan mainannya, dia terlihat bahagia (Gambar 1.5-1.6.)
Gambar 1.5 Juxtaposition 1
Sumber: www.kooldeep.com

Kuleshov mengklaim bahwa pengeditan membuat penonton menganggap


bahwa ekspresi aktor berubah, sehingga pemotongan atau editing benar-benar
menciptakan makna baru. Banyak pembuat film sebenarnya sudah menemukan
taktik editing ini, namun karena Kuleshov memberikan perhatian khusus kepada
teknik ini, para sejarawan film menyebutnya sebagai efek Kuleshov.
Pudovkin menjelaskan bahwa shot adalah blok bangunan film dan itu
merupakan bahan mentah yang dapat digunakan untuk menciptakan hasil yang
diinginkan. Sama seperti penyair menggunakan kata-kata untuk menciptakan
persepsi baru tentang realitas, sutradara film menggunakan shot sebagai bahan
bakunya.
= Pria tua yang baik

= Pria tua yang kotor

Gambar 1.6 Juxtaposition 2


Sumber: www.nofilmschool.com

3. Eisenstein: Montage

Pudovkin, dalam teorinya tentang editing konstruktif, mengklaim bahwa


sebuah adegan paling efektif disajikan dengan menghubungkan serangkaian
detail tindakan adegan yang dipilih secara khusus. Eisenstein dengan tegas
menentang pandangan ini. Dia percaya bahwa untuk membangun kesan hanya
dengan menambahkan serangkaian detail merupakan aplikasi yang paling dasar
dari editing film. Alih-alih mengaitkan shot dalam urutan yang halus, Eisenstein
berpendapat bahwa kontinuitas film yang tepat harus dilanjutkan dengan
serangkaian kejutan; bahwa setiap potongan harus menimbulkan konflik antara
dua shot yang disambung dan dengan demikian menciptakan kesan segar dalam
pikiran penonton.
Dengan latar belakang teater dan desain, Eisenstein berusaha
menerjemahkan pelajaran Griffith dan pelajaran Karl Marx ke dalam karyanya.
Dimulai dengan Strike (1924), Eisenstein berusaha berteori tentang
penyuntingan film sebagai benturan gambar dan ide. Prinsip dialektika sangat
cocok untuk mata pelajaran yang berkaitan dengan isu dan peristiwa pra-
revolusioner dan revolusioner.
Eisenstein memperoleh begitu banyak pengalaman dalam bidang
pengeditan. Teori pengeditannya memiliki lima komponen: montase metrik,
montase ritmik, montase tonal, montase overtonal, dan montase intelektual
(Dancyger, 2011.)
a. Montase Metrik
Montase metrik mengacu pada panjang shots relatif satu sama lain. Terlepas
dari kontennya, memperpendek shots artinya mempersingkat waktu
penonton untuk menyerap informasi dalam setiap shot. Ini meningkatkan
ketegangan yang dihasilkan dari adegan. Penggunaan close-up dengan shot
yang lebih pendek menciptakan urutan yang lebih intens.
b. Montase Ritmik
Montase ritmik mengacu pada kontinuitas yang timbul dari pola visual dalam
shot. Kontinuitas berdasarkan pencocokan adegan dan arah layar adalah
contoh montase ritmik. Jenis montase ini memiliki potensi yang cukup besar
untuk menggambarkan konflik karena kekuatan yang berlawanan dapat
disajikan dalam hal arah layar yang berlawanan serta bagian-bagian frame.
c. Montase Tonal
Montage tonal mengacu pada keputusan pengeditan yang dibuat untuk
membangun emosi karakter dari suatu adegan, yang dapat berubah selama
adegan tersebut. Tone atau suasana hati digunakan sebagai pedoman untuk
menafsirkan montase tonal. Mengedit mirip dengan musik, yaitu permainan
emosi dari adegan yang berbeda. Emosi berubah, dan begitu juga tone adegan.
d. Montase overtonal
Montase overtonal adalah interaksi montase metrik, ritmik, dan tonal.
Interaksi itu memadukan kecepatan, ide, dan emosi untuk mendorong efek
yang diinginkan dari penonton. Misalkan shot yang menekankan
penyalahgunaan kekuatan tentara secara berlebihan dan eksploitasi
ketidakberdayaan warga memberi pesan yang jelas yaitu menimbulkan
kemarahan penonton.
e. Montage Intelektual
Montase intelektual mengacu pada pengenalan ide-ide ke dalam urutan yang
sangat bermuatan dan emosional. Dia menyatakan prinsip montase
intelektual yang paling ringkas yaitu membandingkannya dengan cara kerja
hieroglif.
Gambar air dan gambar mata menandakan menangis; gambar telinga
di dekat gambar pintu = untuk mendengarkan; seekor anjing + mulut
= menyalak; mulut + anak = menjerit; mulut + burung = bernyanyi;
pisau + hati = kesedihan, dan sebagainya.
Ini persis seperti yang dilakukan di bioskop, menggabungkan shot yang
menggambarkan tunggal dalam makna, netral dalam konten - ke dalam
konteks dan rangkaian intelektual.

C. PENGERTIAN EDITING

Tentunya setelah anda memahami sejarah editing, tahap selanjutnya


adalah untuk membuat kesepahaman mengenai definisi editing itu sendiri.
Editing adalah dasar kekuatan kreatif, dengan kekuatan dimana foto tanpa jiwa
(shot terpisah) direkayasa menjadi bentuk sinematografi yang hidup (Pudovkin
dalam Bowen & Thompson, 2017). Dancyger (2011) menjelaskan bahwa editing
adalah teknik, seni, dan keterampilan, yaitu :
1. Teknik, atau aspek teknis penyuntingan, adalah gabungan fisik dari dua
potongan film yang berbeda. Ketika bergabung, kedua potongan film tersebut
menjadi urutan yang memiliki makna tertentu.
2. Keterampilan, adalah penggabungan dua film dari shot yang tidak jelas dari
satu atau lainnya untuk menghasilkan makna.
3. Seni pengeditan terjadi ketika kombinasi dari dua atau lebih shot membawa
makna ke tingkat berikutnya — kebahagiaan, pengetahuan atau wawasan,
kejutan, atau pencerahan.
Teknik, keterampilan, dan seni adalah istilah yang berguna dan tepat, baik itu
diterapkan pada materi visual pada film atau rekaman video, atau digunakan
untuk menggambarkan pengeditan visual, suara atau sequence (urutan).
Editing menurut Subroto (Mabruri, 2013) adalah menciptakan
kontinuitas gambar yang baik, wajar dan logis sehingga dapat dinikmati khalayak
penontonnya. Editing menjadi proses akhir yang menentukan apakah video
tersebut layak untuk dipublikasikan atau tidak.
Sebagai kata kerja transitif, "mengedit" dapat berarti meninjau,
memperbaiki, memodifikasi, menghilangkan, atau merakit komponen menjadi
bentuk yang baru dan dapat diterima. Ini pertama kali digunakan secara luas
pada kata-kata tertulis dan sekarang diterapkan pada kreasi gambar bergerak
dan suara. Untuk tujuan buku ini, istilah "editing" secara singkat adalah tindakan
mengumpulkan klip gambar dan suara menjadi cerita yang koheren. Jadi "editor"
adalah orang yang mengambil banyak gambar dan bahan suara, dan mengulas,
menyaring, memodifikasi, menghilangkan, dan merakit komponen gambar dan
suara itu menjadi bentuk atau cerita baru yang dapat diterima (Bowen &
Thompson, 2017.)

Gambar 1.7. Teknologi awal editing film

Edit (juga kata benda) adalah tempat Anda menggabungkan klip-klip, dan
transisi dari satu shot ke shot berikutnya. Sederhananya, pengeditan adalah titik
potong: tempat di mana satu shot berakhir dan shot lainnya dimulai. Istilah "cut"
berasal dari hari-hari ketika gambar bergerak di shot dan diedit pada strip film
(seluloid) yang sangat panjang. Melihat setiap frame individu dari strip film
tersebut, editor akan menentukan di mana harus secara fisik memotong film di
antara gambar tersebut. Sepasang gunting atau "splicer" pisau cukur digunakan
untuk memotong film pada saat itu (Gambar 1.7.). Lem atau pita kemudian
digunakan untuk menyatukan kembali potongan-potongan plastik film yang
berbeda (Gambar 1.8). Potongan atau gabungan menjadi titik transisi dari satu
shot ke shot berikutnya. Straight Cut yang dijelaskan di sini hanyalah salah satu
cara untuk bergerak di antara shot, sedangkan bagaimana, kapan, dan mengapa
Anda memilih untuk beralih dari satu shot ke shot lainnya tergantung pada
banyak variabel.

Gambar 1.8. Penggabungan akhir Shot A ke awal Shot B

D. TUJUAN EDITING

Melihat sejarah dan definisi editing yang dijelaskan diatas, maka dapat
kita kelompokkkan secara sederhana bahwa editing memiliki lima tujuan utama
(Mabruri, 2013), yaitu :
1. Menyusun (Arrange)
Mengorganisasi atau menyusun ulang gambar bergerak (AV – Audio Video)
sesuai dengan ide cerita yang ingin disampaikan. Susunan ini disesuaikan
dengan script awal dan hasil produksi. Meskipun sejak produksi konsep
cerita telat dibuat tetapi dibeberapa kasus produksi program acara televisi
dan film, editing menjadi penentu akhir hingga tidak jarang sebuah cerita
berubah di meja editing dengan catatan base ceritanya tidak berubah supaya
tujuan yang diinginkan sampai. Proses penyusunan dapat dilakukan di atas
kertas (paper edit) berdasarkan hasil transkrip dan Editing Decision List
(EDL).
2. Memotong (Trimming)
Istilah memotong bukan berarti menghilangkan bagian (A/V) sisa yang tak
terpakai dan membuangnya begitu saja, memotong disini adalah
memendekan (A/V) sesuai dengan penempatan waktu sebuah cerita. Sebagai
contoh dalam produksi program acara televisi bisa menghabiskan berjam
jam durasi berbanding terbalik dengan durasi nyata yang Anda perlukan
hanya sekitar 15 menit atau 30 menit, pemendekan master video mutlak
diperlukan. Pertimbangan utama pada saat anda memotong (A/V) adalah
cutting point (ketepatan dalam memotong).
3. Menggabungkan ( Combine)
Menggabungkan berbeda dengan menyusun, jikalau menyusun masih
membentuk draft kasar di atas kertas maka proses menggabungkan adalah
membentuk sequence menjadi cerita yang utuh. Menggabungkan juga dapat
diterjemahkan menyatukan shot-shot yang telah di-trim menjadi cerita satu
kesatuan yang utuh membentuk sequence.
4. Membetulkan (Correction)
Membetulkan dalam editing bisa mengganti, menambah, dan mengurangi
shot yang sejak awal telah disusun menjadi satu cerita yang utuh oleh karena
sesuatu hal dan atas penilaian serta pertimbangan maka proses pembetulan
mutlak dijalani. Tahapan ini biasanya telah mendekati online editing yakni
tahapan dimana proses penambahan efek visual dan efek audio mulai
ditambahkan.
5. Membangun (Construction)
Membangun sebuah bangunan cerita yang utuh adalah tugas yang cukup
berat bagi seorang editor, bagaimana ia harus meracik shots yang ada untuk
kemudian dipercantik dengan dipoles, disentuh bahkan dipandangi terus
menerus semata-mata agar jalan cerita yang disusun menarik untuk
ditonton.
Editing diperlukan dari hampir setiap proyek media gerak. Terlepas dari
apakah “pekerjaan” video adalah untuk memberi informasi, mempengaruhi, atau
menghibur, efek yang lebih besar atau lebih kecil dari keseluruhan pesan yang
diterima oleh penonton bergantung pada soliditas dan kemanjuran presentasi
gambar dan aural. Meskipun beberapa pihak menyumbang elemen-elemen
penting pada karya media gerak, editorlah yang benar-benar membangun cerita
dan mengelola pengalaman terakhir untuk khalayak penonton.
PRAKTIKUM BAB 1
BAB I
SEJARAH SINGKAT, PENGERTIAN, DAN TUJUAN
EDITING

Capaian Pembelajaran
Kuliah ini berfungsi sebagai pengantar seni video pasca produksi.
Mahasiswa akan mengeksplorasi teori dan praktik berbagai gaya dan prinsip
editing audiovisual untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang
bagaimana cerita dibangun di ruang editing. Capaian pembelajaran yang
diharapkan setelah mahasiswa mengikuti kuliah ini adalah:
1. Mahasiswa mampu memahami teori dan praktik editing audiovidual,
tujuan komunikasi dan khalayak produk audiovisual
2. Mampu menyusun, mengemas, dan mendistribusikan produk audiovisual
menggunakan teknik dan metode, serta memanfaatkan teknologi Non-
Linear Editing yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas suara dan
gambar video dalam tujuan penyampaian pesan komunikasi yang
dibangun
3. Mahasiswa mampu mengeksplorasi teori dan praktik berbagai prinsip
dan gaya editing dalam membangun cerita

Kemampuan Akhir yang Diharapkan


Mahasiswa memahami sejarah dan perkembangan ilmu editing
audiovisual, memahami pengertian dan tujuan editing, mulai dari:
1. Penemuan media rekam seluloid
2. Sejarah era film bisu (tanpa suara)
3. Teknologi editing pertama
4. Teknik-teknik editing
5. Tujuan penyampaian pesan dalam editing

Bahan Kajian:
Film-film bisu 1985-1902
1. Lumiere : Baby at the Lunch Table (1985), A Boat Leaving Harbour
(1985), Watering the Gardener (1985)
2. Méliès : Cinderella (1899)
3. Porter: The Life of an American Fireman (1902)
4. Griffith : The Battle at Elderbush Gulch

Alat dan Bahan:


1. Lab Multimedia
2. Footages/shots
3. Headset

Penilaian:
(0-49) (50-69) (70-90)
Bentuk Tidak Sesuai Harapan Melebihi Harapan
Nilai
Tugas Sesuai
Harapan
1. Menyediakan
plot yang
lengkap dan
1. Menyediakan
tepat. Paraf
plot.
2. Memberikan Dosen
Tidak hadir 2. Memberikan
keterangan
Dokumen atau tidak keterangan
tertulis dengan
melengkapi tertulis
lengkap dan
tentang
detail tentang
nama teknik
tokoh, teknik
editing
kamera, lokasi,
suasana, props,
dari plot.
Langkah Kegiatan Praktikum
Untuk dapat melaksanakan kegiatan praktikum pertemuan pertama,
mahasiswa akan diperkenalkan dengan tayangan film berjudul Inception (2010)
pada scene hotel dan van.
Beberapa hal yang harus dilakukan mahasiswa yaitu:
1. Menonton film Inception pada scene hotel dan van.
2. Mengisi Worksheet #1
3. Mahasiswa mengumpulkan hasil Worksheet #1 di google classroom
Worksheet #1

1. Nama Mahasiswa: _________________________ NIM: ____________________


2. Project: Teknik Editing Inception pada Scene Hotel dan Van
3. Apa nama teknik editing yang digunakan dalam scene tersebut, jelaskan?
____________________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________________
4. Sajikan dalam bentuk penjelasan alur cerita disertai
screenshot/printscreen pada scene tersebut?

Alur cerita dalam scene tersebut yang menjelaskan teknik editing pertanyaan
nomor 3

Screenshot/printscreen 1 Screenshot/printscreen 2

Screenshot/printscreen 3 Screenshot/printscreen 4

Dst, sesuai kebutuhan Dst, sesuai kebutuhan

Anda mungkin juga menyukai