Anda di halaman 1dari 20

Sejarah Film dan Implikasi Sosial Perkembangan Teknologi Film

Kelompok 1

Aditya Wahyu R 180906579


Gerald Dhiquito 180906803
Hana Setian Moniharapon 190906935
Yohana Reni A. 190906984
Brigitta Raras A. 190906992
Petra Carmelita 190906997
Putri R.Y. Lomo 190907041
Maria A. Da Costa 190907052

Filmologi

Program Studi Ilmu Komunikasi


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
2021
Apa itu Sejarah Film?
Sejarah film merupakan penelusuran perkembangan gambar yang bergerak dari
percobaan awal dengan reproduksi gambar dan fotografi melalui penemuan film di awal
1890-an. Hal ini disertai juga dengan perkembangan gaya, keuangan, teknologi, dan sosial
hingga di bioskop yang telah terjadi hingga sekarang. Dalam studi luas dan khusus,
sejarawan film sama-sama tertarik pada perubahan dan perkembangan yang telah
mengubah jalannya sejarah film dan stabilitas.

Sejarawan film menggunakan artefak untuk mempelajari masa lalu. Artefak ini
mencakup berbagai mesin dan teknologi lainnya, seperti kamera, proyektor, alat perekam
suara, dan sebagainya. Artefak juga termasuk catatan dari konferensi cerita, skenario,
gambar, dan objek lain yang relevan dengan produksi film tertentu. Sejarah film tidak
hanya mencakup sejarah teknologinya, tetapi juga orang-orang, organisasi industri yang
memproduksi film, bioskop nasional, upaya untuk menekan dan menyensor film, dan
makna yang kita peroleh film tersebut.

“Citizen Kane” dan sejarah perkembangan film


Menurut Barsam R (2009, h. 404) Citizen Kane (1941) karya Orson Welles
dianggap sebagai "film terbaik sepanjang masa”. Hal ini karena karya film ini dianggap
sebagai pelopor berkembangnya industri film pada masa itu. Inovasi Welles di Citizen
Kane memiliki pengaruh yang drastis dalam mengubah tampilan, suara, dan efek
keseluruhan film Hollywood. Beberapa sutradara film pada masa itu menjadikan Welles
sebagai standar pembuatan film yang berkembang hingga saat ini. Sejak tahun 1950-an,
ketika filmnya mulai dikenal di seluruh dunia. Puluhan anak muda mengatakan bahwa
mereka menjadi pembuat film karena pendekatan Welles di Citizen Kane.

Hal ini menarik perhatian karena revolusi yang dilakukan Welles membuat sebuah
karya film lebih terasa di hati penonton melalui scene dan audio pada setiap transisi
karyanya. Dia juga menggunakan suara untuk membantu transisi dari bidikan ke bidikan
dan adegan ke adegan. Dalam penyuntingan dan suaranya, Welles juga memisahkan diri
dari konvensi Hollywood.

Welles merekam film dengan cara Hollywood yang biasa, tetapi mengeditnya ke
dalam format kronologis, dia juga merancang struktur kilas balik yang rumit yang
menimbulkan tantangan besar untuk mengedit rekaman dan membangun ritme. Selain itu
dia juga membangun karya orang lain, memperluas, menyempurnakan, dan
mendefinisikan ulang teknik. Dia merupakan salah satu sutradara terhebat di bioskop
karena memiliki visi untuk melakukan sesuatu yang berbeda dan bakat untuk
menginspirasi kolaborator untuk bereksperimen.

Pendekatan Dasar dalam Mempelajari Sejarah Film


Terdapat beberapa pendekatan tradisional yang dapat digunakan dalam
mempelajari sejarah film, yaitu:
● Pendekatan Teknologi
Teknologi menjadi sebuah tolak ukur perkembangan dalam sejarah
perfilman. Pendekatan ini digunakan para sejarawan dalam mempelajari pengaruh
perkembangan alat, bahan serta teknik terhadap proses pembuatan dan
pendistribusian sebuah film. Penambahan suara, film bergambar, kamera yang
bergerak dan sinematografi digital menjadi pertanda perubahan terhadap film
secara signifikan maupun sementara.

● Pendekatan Ekonomi
Industri film merupakan salah satu bagian utama dalam ekonomi global.
Para sejarawan mempelajari bagaimana serta mengapa sebuah sistem studio
diciptakan dan adaptasi terhadap perubahan kondisi (agama, ekonomi, teknologi
dan sosial). Dengan pandangan ini mereka mempelajari cara studio-studio
membuat film dengan pendekatan-pendekatan tertentu. Mereka pun mempelajari
pengaruh perubahan sistem produksi studio ke produksi independen dan
dampaknya ke proses produksi dan distribusi.

● Pendekatan Sejarah Sosial


Pendekatan sejarah sosial menyatakan bahwa sebuah film dapat
mempengaruhi kondisi sosial budaya di masyarakat, juga sebaliknya, kondisi sosial
dapat mempengaruhi sebuah film. Para sejarawan mempertanyakan sejauh mana
sebuah film dapat mempengaruhi dan menggiring opini publik dan berdampak
pada perubahan sosial. Mereka tertarik dengan interaksi yang kompleks antara film
sebagai institusi sosial.
Sejarah Perkembangan Film
Pre-Sinema
Sebelum masuk ke pembahasan mengenai sejarah film, mari melihat beberapa
inovasi-inovasi yang membuat film menjadi mungkin diwujudkan, yaitu melalui fotografi.

Fotografi
Film merupakan kemajuan dalam dunia fotografi. Konsep dari fotografi berawal
pada masa Yunani Kuno di mana kata fotografi memiliki arti "menulis dengan cahaya" dan
merupakan representasi statis dari reproduksi cahaya".

● Pada abad ke 4 Sebelum Masehi, Aristoteles berteori mengenai perangkat yang


dikenal dengan Kamera Obscura (bahasa latin dari ruang gelap). Akhir abad ke 15,
lukisan-lukisan Leonardo Da Vinci memberikan bentuk nyata pada teori tersebut.
Kamera obscura tersebut dapat berbentuk kotak atau ruangan besar cukup untuk
para penonton berdiri di dalamnya. Cahaya masuk melalui lubang kecil di satu sisi
kotak atau ruangan yang memproyeksikan gambar dari luar ke sisi atau dinding
yang berlawanan. Seorang seniman kemudian melukiskan gambar tersebut ke
selembar kertas.
● Pada tahun 1802, Thomas Wedgwood meletakkan siluet objek di atas kertas atau
kulit yang peka dengan bahan kimia dan terkena cahaya. Namun, gambar-gambar
ini memudar dengan cepat, karena Wedgwood tidak tahu menstabilkan gambar
tersebut. William Henry Fox Talbot yang merancang metode kimia untuk merekam
gambar yang diamati di kamera obscuranya. Terdapat kemajuan signifikan yang dia
buat untuk memperbaiki gambar dan penemuan gambar fotografi negatif, atau
negatif pada bahan transparan, yang memungkinkan untuk reproduksi gambar.

● Joseph-Nicéphore Niépce bereksperimen dengan sinar matahari dan kamera


obscura untuk membuat salinan fotografis dari ukiran serta foto-foto asli dari alam.
Hasil dari proses heliografi ("ditarik matahari") ini tidak terlalu berhasil, tetapi
penemuan Niépce memengaruhi Louis-Jacques Mandé Daguerre. Pada tahun 1837
Daguerre mampu untuk menciptakan gambar di atas pelat tembaga yang diolah
dengan bahan kimia, sebuah gambar yang luar biasa karena kesetiaan dan
detailnya. Alat ini kemudian dinamakan Daguerreotype.

● Pada tahun 1839, Sir John Herschel menyempurnakan hypo atau hyposulfite
tiosulfat, atau sodium tiosulfat, senyawa yang memperbaiki gambar di atas kertas
dan dengan demikian menahan efek cahaya di atasnya. Tahun 1851, pelat kaca
negatif menggantikan pelat kertas. Lebih tahan lama tapi berat, kaca digantikan
oleh kertas berlapis gelatin pada tahun 1881. Proses ini mengurangi 15 menit
menjadi 0,001 detik, waktu yang diperlukan untuk membuat eksposur fotografis.
Pada tahun 1887, George Eastman memulai produksi massal "film" kertas yang
dilapisi dengan emulsi gelatin dan pada tahun 1889, ia meningkatkan proses
dengan mengganti alas kertas dengan plastik bening (film). Meskipun perbaikan
teknologi lainnya mengikuti, ini adalah film yang kita kenal sekarang.

Eksperimen-eksperimen tersebut hanya menghasilkan gambar yang menunjukkan aksi


namun belum menunjukkan hubungan antara fotografi dan sinematografi, hingga pada
akhirnya fotografi seri ditemukan.

Fotografi Seri
Fotografi seri merekam fase dari suatu tindakan. Dalam serangkaian foto diam, misalnya,
seorang pria atau kuda dalam posisi berubah yang menunjukkan gerakan, meskipun
gambar itu sendiri statis.

● Pada tahun 1874, Pierre-Jules César Janssen, seorang astronom Prancis,


mengembangkan revolver photographique, kamera berbentuk silinder yang
menciptakan eksposur otomatis matematis, pada interval pendek, pada segmen
yang berbeda dari piring berputar.
● Pada tahun 1877, Eadweard Muybridge menggunakan sekelompok kamera yang
dioperasikan dengan listrik untuk menghasilkan seri pertama foto-foto gerakan atau
continuous motion. Pada 4 Mei 1880, menggunakan proyektor yang dikenal
sebagai lentera sihir dan zoopraxiscope (versi lentera ajaib, dengan piringan
berputar yang memiliki foto-foto diatur di sekitar pusatnya). Muybridge memberi
demonstrasi ke publik pertama kalinya mengenai gambar fotografi bergerak.
● Pada tahun 1882, Étienne-Jules Marey, seorang ahli fisiologi Prancis, membuat
serangkaian foto gerak terus menerus menggunakan fusil photographique, yaitu
kamera portable yang mampu mengambil dua belas gambar terus menerus.

1891–1903: Awal Munculnya Film

Pada tahun 1891, William Kennedy Laurie Dickson, bekerja dengan rekanan di
laboratorium penelitian Thomas Edison, menemukan Kinetograf (kamera gambar bergerak
pertama) dan Kinetoscope (penampil lubang intip). Film pertama yang dibuat dengan
Kinetograf berjudul Edison Kinetoscopic Record of a Sneeze (1894). Edison
mendemonstrasikan Kinetoscope ke berbagai audiens, publik dan pribadi. Pada bulan
April 1894, ruang Kinetoscope pertama dibuka di New York City, dengan demikian
meresmikan sejarah film komersial.

Di Prancis, dua bersaudara bernama Auguste Dan Louis Lumière menemukan


Cinématographe, perangkat yang lebih canggih daripada Kinetoscope atau Eidolo Scope.
Pada Desember 1895, mereka menggunakannya untuk memproyeksikan film di layar yang
dipasang di ruangan kecil di dalam kafe umum yang diubah menjadi teater dan telah
memproyeksikannya ke seluruh Eropa untuk skala kecil. Film tersebut berjudul Employees
Leav­ing the Lumière Factory (1895), dokumenter berdurasi satu menit tersebut memukau
penonton dengan penggambaran peristiwa yang spontan.

Tokoh penting di antara para inovator adalah orang Perancis, Georges Méliès. Pada
akhir 1890-an, ia mulai membuat film naratif adegan pendek berurutan yang diambil dari
sudut pandang tetap. Menurut sejarawan film, David A. Cook, Méliès adalah seniman
naratif pertama, yang terkenal dengan banyak inovasi teknik perangkat dan naratif. Dia
terkenal karena penggunaannya efek khusus seperti pada film A Trip to the Moon (1902)
dan The Impossible Voyage (1904). Perintis awal lainnya, Edwin S. Porter, adalah seorang
direktur yang bekerja dengan Edison dan pada tahun 1903. Ia menerapkan pendekatan
yang relatif canggih untuk pembuatan film naratif dalam film seperti The Great Train
Robbery (1903). Film berdurasi 12 menit yang menggunakan beberapa posisi kamera,
pengaturan interior dan eksterior, dan cross cutting yang memungkinkan untuk
menggambarkan tindakan paralel terjadi secara bersamaan.

1908–1927: Periode Film Bisu

Era Film Bisu ditunjukkan oleh perbedaan antara karya-karya Edwin S. Porter dan DW
Griffith dalam bentuk narasi. Naiknya Hollywood sebagai pusat industri film dunia,
perkembangan film genre, dan eksperimen awal dengan warna dan animasi.

Gaya Hollywood klasik dibangun di atas prinsip "invisibility". Prinsip ini


mencakup dua bagian. Pertama adalah bentuk film (narasi, sinematografi,
penyuntingan,suara, akting, dan sebagainya), disajikan dalam bahasa yang mudah
dipahami penonton. Bagian kedua adalah sistem studio, cara produksi distandarisasi dalam
produksi film. Manajemen sudah terorganisir, yang berarti eksekutif yang kuat dari
produksi, distribusi, dan pameran yang terkendali. Mempekerjakan semua karyawan,
termasuk direktur dan aktor; dan pekerjaan yang ditugaskan sesuai dengan persyaratan
kontrak, sehingga memastikan gaya seragam tertentu untuk masing-masing studio.

Pada tahun 1914, industri film Amerika secara jelas diidentifikasi sebagai
Hollywood. Industri banyak berinvestasi di bioskop, beberapa di antaranya dijuluki
"istana" karena arsitekturnya yang mengesankan. Arsitektur, interior mewah, dan tempat
duduk untuk ratusan orang dan terkadang ribuan orang. Tak hanya itu, berbagai
pengalaman pertama lain, seperti jurnal perdagangan, majalah penggemar film, resensi
film di surat kabar umum, dan undang-undang sensor film. Periode ini mulai
menggantikan film pendek (umumnya satu gulungan panjangnya) dengan film feature atau
cerita (empat gulungan atau lebih). Panjang satu gulungan adalah 10– 16 menit, tergantung
pada kecepatan proyeksi.

Dampak sosial film bisu selama periode ini mendirikan tren yang berlanjut hingga
hari ini. Mereka menjangkau semua tingkat sosial ekonomi dan merangsang imajinasi
melalui genre naratif dan stereotip. Terutama yang memperkuat prasangka terhadap
penduduk asli Amerika, Afrika Amerika, dan orang asing pada umumnya. Penggambaran
mereka tentang perilaku yang dianggap tidak bermoral memicu seruan untuk penyensoran,
yang akan menjadi masalah yang lebih besar di dekade berikutnya dan hingga hari ini dan
mengangkat masalah konten dan kekerasan. Film feature bisu Amerika paling sukses
adalah Greed (1924) karya Erich von Stroheim, melodrama karya King Vidor The Big
Parade (1925), dan komedi. Komedi adalah faktor utama kesuksesan awal Hollywood.

1919–1931: Ekspresionisme Jerman

Pemerintahan baru yang demokratis muncul di Jerman, dikenal secara tidak resmi
sebagai Republik Weimar. Republik Weimar mencari untuk merevitalisasi industri film
dan menciptakan citra negara yang baru, pemerintah mensubsidi konglomerat film yang
dikenal sebagai UFA (Universum-Film AG). Studio yang megah, terbesar dan paling
lengkap di Eropa, memungkinkan industri film Jerman untuk bersaing serta menarik
pembuat film dari seluruh dunia. Organisasi ini menghadirkan masa keemasan perfilman
Jerman, yang berlangsung dari tahun 1919 hingga Adolf Hitler naik ke tampuk kekuasaan
pada tahun 1933. Komponen artistik paling penting adalah film Ekspresionis Jerman, yang
berkembang dari tahun 1919 hingga 1931.

Ekspresionisme berkembang dalam lukisan, patung, arsitektur, musik, sastra,dan


teater. Setelah perang, ekspresionisme mencerminkan sikap dan suasana di Jerman pasca
perang tentang sinisme, keterasingan,dan kekecewaan. Contohnya The Cabinet of Dr.
Caligari (1920) karya Robert Wiene yang menceritakan kisah fantasi dan horor yang
mengganggu dan rumit. Film Ekspresionis Jerman berumur pendek tapi merupakan
fenomena tak terlupakan yang menghilang dalam 12 tahun setelah dimulai. Meskipun
film-film ini melahirkan genre film horor, Hitler melihatnya sebagai pemberontakan
terhadap nilai-nilai tradisional. Ketika pemerintah memperketat kontrol UFA, semakin
jelas bahwa Hitler akan membatasi kebebasan berekspresi. Akhirnya, pembuat film besar
Jerman pergi ke Amerika Serikat, memberikan pengaruh tampilan ekspresionis terhadap
drama psikologis Hollywood, film horor, dan film noir.

1918 – 1930: Pembuatan Film Avant-Garde Perancis

Di tahun 1920-an Paris menjadi salah satu pusat eksperimental dalam berbagai
bidang seni. Gerakan film Avant-Garde merupakan film bergenre dadaisme dan
surealisme, dimana berisikan gerakan menyerang norma yang provokatif dan tidak sopan.
Avant garde juga memiliki unsur yang tidak terduga dan mengejutkan yang ditempatkan
secara berdekatan satu sama lain tanpa alasan yang jelas. Gerakan film Avant-Garde
dibentuk karena terinspirasi dari Karl Marx dan Sigmund Freud serta dari pembuatan
film-film eksperimental sebelumnya.

Pencetus Gerakan film Avant-Garde yakni Man Ray, Fernand Leger, Jean Epstein.
Jean Epstein memiliki kekuatan visual dan Teknik yang inovatif dalam pembuatan sebuah
sinema. Teknik close up, tumpang tindih gambar. Karya yang cukup terkenal adalah The
Fall of The House of Usher (1928). Film Avant-Garde pada tahun 1920-an terkait
psikologis dimana terdapat gagasan bahwa nasib individu ditentukan oleh hereditas dan
lingkungan nya bukan melalui kehendak bebas yang dilakukan. Contohnya melalui film
Rien que les heures (1926) karya Alberto Cavalcanti asal Brazil.

1924 – 1947: Gerakan Montase Soviet


Gerakan Montage Soviet merupakan Gerakan yang memiliki eksperimen,
sinematik, inovasi cukup tinggi. Pada pimpinan Vladimir Ilyich Lenin, ia
menasionalisasikan industri film dan mendirikan sekolah film nasional untuk melatih
pembuatan film propaganda dengan gaya dokumenter. Kemudian, antara tahun 1917 dan
1929, pemerintah Soviet mendukung adanya jenis eksperimen. Ekspresi artistik yang
paling terlihat terdapat pada karya Dziga Vertov, Lev Kuleshov, Sergei Eisenstein, dan
Vsevolod I. Pudovkin.

Semua karya yang dihasilkan mengarah kepada kekuatan montage untuk memecah
dan memasang kembali rekaman dengan tujuan memanipulasi persepsi dan pemahaman
penonton. Vertov yang merupakan ahli teori dan praktisi mampu membentuk sinema
propaganda dalam bentuk dokumenter. Eisenstein menyatakan “Montage of attractions”
menyajikan gambar yang dipilih secara sewenang-wenang (tidak tergantung pada
Tindakan) untuk menciptakan dampak psikologis yang kuat. Hal ini dilakukan dengan
tujuan penonton memiliki kesadaran untuk melakukan atau menanamkan konsep yang
telah sutradara inginkan. Salah satu pendekatan propaganda ini adalah melalui film
“Battleship Potemkin” (1925).

1927 – 1947: Gaya Hollywood Klasik di Hollywood’s Golden Age

Pada masa sinema Hollywood klasik terdapat proses transisi dimana produksi
perfilman lebih sehat, konsolidasi sistem audio, eksploitasi genre, pengenalan kode
produksi gambar bergerak, perubahan tampilan film. Industri perfilman semakin maju dan
berkembang. Namun, film-film yang diproduksi saat itu menjadi sangat berkaitan erat
dengan perkembangan budaya Amerika. Dalam titik ini film yang ada cenderung
mendefinisikan budaya Amerika dan Amerika didefinisikan melalui film.

Sekitar tahun 1926 mulai muncul transisi suara dengan dibuktikannya beberapa
film pendek serta film layar lebar dengan rekaman suara sebagai hasil produksinya.
Produksi film akhirnya semakin berkembang dengan pesat saat lahir talkies film seperti
rekaman suara, lagu/musik dimana talkies film pertama yang mencapai puncak
kejayaannya adalah The Jazz Singer (1927) karya dari Alan Crosland. Film bersuara jelas
lebih banyak digandrungi dibandingkan dengan film tanpa suara (bisu). Akibat munculnya
transisi suara sekitar tahun 1930 an inilah mengakibatkan melonjaknya penonton bioskop.

1942 – 1951: Neorealisme Italia


Neorealisme Italia mulai terkenal setelah terjadi perang dunia II dan berkembang
untuk waktu yang relatif singkat. Dalam masa ini, Benito Mussolini sebagai diktator Fasis
yang memerintah Italia pada tahun 1922 sampai 1943 menghidupkan kembali perfilman
Italia yang mulai menurun, dilakukan sebuah usaha yaitu mengontrol pemerintah dan
melembagakan subsidi, melarang film Amerika masuk yang kemudian mendirikan sekolah
film nasional serta membangun studio baru. Pada tahun 1942 seorang bernama Cesare
Zavattini yang merupakan seorang penulis meluncurkan apa yang dinamakan Gerakan
neorealis yang mempengaruhi gaya dan ideologinya serta mampu memimpin sekelompok
muda pembuat film untuk membuat sejarah film. Film Rossellini yaitu Rome, Open City
(1945) jelas menunjukkan setiap karakteristik neorealisme dan akhirnya menjadi standar
untuk film berikutnya.

Pembuatan film neorealis memberikan mengangkat nilai-nilai kehidupan orang


pekerja biasa dan lebih fokus kepada perjuangan untuk hidup layak di dunia pasca perang.
Perfilman neorealisme tidak memiliki tujuan politik yang utama, maka secara tradisional
dianggap sebagai gaya bukan ideologi. Kaum neorealis dianggap mencari kesederhanaan
dalam cara kerja mereka. Mereka lebih memilih menggunakan lokasi yang nyata atau
sebenarnya dibandingkan menggunakan studio. Film mereka juga menggunakan visual
dokumenter seperti memotret di lokasi jalanan dengan cahaya alami dan kamera yang
biasa sehingga mampu memakan waktu yang cukup lama demi menghasilkan situasi
secara nyata.

1959 – 1964: Gelombang Baru Prancis

Adanya French New Wave dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, dari bioskop
dan gaya sinematik di tahun 1930-an yang lebih dikenal dengan realisme puitis dimana
istilah tersebut digunakan untuk film-film yang menayangkan kehidupan dengan situasi
yang murung. Faktor kedua, adalah dari filosofi Jean Paul Sartre yang merupakan tokoh
ternama dalam filsafat Perancis periode pasca perang. Sartre mempercayai bahwa seniman
kontemporer harus berani memberontak terhadap moralitas yang bersifat tradisional.
Mereka harus mampu bertanggung jawab atas pribadi dan tindakannya. Pandangan Sartre
membentuk gambaran baru tentang dunia sinema yang baru di Perancis

Pada masa ini terdapat perubahan yang diharapkan masyarakat, didalam dunia
sinema anak muda tidak semata-mata mampu terjun ke industri perfilman. Mereka dituntut
harus memulai dari bawah. Anak muda sering ditolak dan dihiraukan dibanding para
senior yang sudah terjun lama di industri film. Dari situasi tersebut, akhirnya munculah
sebuah Gerakan French New Wave, dalam industri perfilman tidak memperdulikan gaya
cerita yang awalnya monoton dan berpacu pada pemikiran yang logis serta pengambilan
gambar yang rapi. Pada gelombang baru ini, hal yang paling penting adalah terkait dengan
ekspresi baik dari pemikiran atau dari hati.

1947 Pergerakan dan Perkembangan Sinema Internasional


Perang Dunia II membawa pengaruh bagi proses pembuatan film di seluruh
negara-negara. Beberapa negara mencoba mengambil kesempatan ini untuk
memperkenalkan identitas bangsanya melalui sinema nasional. Berdasarkan proses
pembuatan film, negara terbagi menjadi dua jenis yaitu pertama negara meneruskan cara
pembuatan film seperti yang sudah ada sebelumnya dan yang kedua adalah negara-negara
yang membentuk gelombang baru dengan bertujuan untuk menolak tradisi pembuatan film
yang telah mendominasi bioskop dengan ciri khas mereka. Berikut beberapa negara yang
mengalami kemunculan gerakan baru dan perkembangan sinema.

a. Inggris dan Gerakan Sinema Bebas


Gerakan Sinema Bebas di Inggris mengalami perkembangan sekitar tahun
1956 hingga 1959. Gerakan ini dibentuk bertujuan untuk memberi tahu kebebasan
mereka dalam membuat film. Kebebasan yang dimaksud disini adalah film dibuat di
luar standar aturan yang ada dalam dunia industri film. Hasil filmnya nanti akan
menyesuaikan gaya, sikap dan kondisi pada saat pembuatan.
Gerakan Sinema Bebas merupakan ekspresi dari sekumpulan orang yang
menolak masyarakat yang masih terlibat dengan ideologi pembagian kelas. Terdapat
tiga film dokumenter pertama yang selesai dibuat oleh gerakan ini. Ketiga film
tersebut dibuat dengan menggunakan kamera 16 mm. Film-film dokumenter yang
dibuat saat itu berdasarkan kondisi masyarakat Inggris setelah perang.
b. Denmark dan Gerakan Dogme
Bioskop Denmark mulai terkenal setelah Perang Dunia ke 2 terutama
gerakan Dogme 95. Gerakan Dogme 95 merupakan sebuah sekumpulan orang yang
merayakan validitas video digital sebagai wadah ekspresi sinematik dan dihargai
oleh komunitas-komunitas sinema yang ada di dunia (Danusiri, 2018). Gerakan
Dogme membuat 10 aturan khas dalam proses pembuatan film. Aturan tersebut
dibuat dengan tujuan untuk meminimalisirkan kepalsuan yang terjadi dalam
pembuatan film. Berikut isi dari kesepuluh aturan tersebut
1. Tidak boleh menggunakan properti sehingga pengambilan gambar
harus dilakukan langsung di lokasi syuting.
2. Audio yang ada di dalam video harus asli berasal dari lokasi
syuting.
3. Pengambilan gambar harus dilakukan dengan gaya hand-held.
4. Hanya mengandalkan sumber cahaya yang ada di lokasi syuting
dang tidak boleh membawa sumber cahaya tambahan.
5. Tidak boleh menggunakan filter dan memainkan warna asli dari
gambar yang telah diambil di lokasi syuting.
6. Film tidak boleh mengandung unsur kekerasan.
7. Lokasi syuting sangat natural ( tidak boleh disterilkan dari orang
luar)
8. Film yang tidak bergenre dokumenter tidak akan diterima.
9. Format film harus Academy 35mm
10. Nama sutradara tidak boleh masuk dalam credit title

c. Jerman dan Austria


a) Jerman
Pada tahun 1962 muncul sebuah gerakan baru di Jerman yang bernama
Bioskop Jerman Baru (das neue Kino). Pendiri dari gerakan ini merupakan
penulis dan pembuat film yang berasal dari kalangan generasi muda.Para
pendiri Gerakan Bioskop Jerman Baru ini memiliki tekad untuk mendirikan
industri perfilman yang baru dengan berdasarkan pada keunggulan nilai-nilai
seni daripada bekerja sama dan memperoleh keuntungan dari pemerintah.
b) Austria
Memasuki abad ke-21, generasi-generasi muda pembuat film telah
mulai memproduksi film-film yang unik dalam subjek dan gaya khas Austria
d. Jepang
Pada tahun 1896, Jepang berhasil membuat film-film yang diproduksi oleh
mereka menjadi populer, walaupun dalam proses pembuatan film yang masih
bergantung pada tradisi sastra, teater Jepang, dan tradisi sinematik Barat. Sekitar
tahun 1945, Perang Dunia II berakhir dan membuat industri film mulai bangkit
kembali yang dipengaruhi oleh master Hollywood yaitu John Ford, Howard
Hawks, dan Orson Welles (Barsam & Monahan, 2009, h. 389), tetapi pembuatan
film pada saat itu dibatasi karena kekurangan sumber daya manusia dan industri
film kekurangan dana untuk pembuatan film yang berkaitan dengan kebebasan,
seperti emansipasi wanita.

Pada tahun 1920-an, sutradara yang paling dikenal di Barat ialah Akira
Kurosawa, Kenji Mizoguchi, dan Yasujiro Ozu, namun pada tahun 1950-an Akira
Kurosawa memunculkan keemasan film Jepang yaitu Rashomon yang
menceritakan pemerkosaan dan pembunuhan wanita dari empat sudut pandang
berbeda. Banyak penonton Barat merasa sulit untuk memahami jalan filmnya.
Sekitar tahun 1950 hingga 1970-an, telah hadir kelompok sutradara baru yang
disebut Nuberu Bagu. Sutradara yang termasuk dalam kelompok tersebut yaitu
Hiroshi Teshigahara, Yasuzo Masumura, dan Nagisa Oshima. Film-film yang
diproduksi penuh dengan kebrutalan dan nihilisme, antara lain Cruel Story of
Youth (1960) yang penuh dengan gairah kekerasan, In the Realm of the Sense
(1976) mengenai eksplorasi mengganggu seksualitas manusia, Merry Christmas,
Mr. Lawrence (1983), mengenai komunikasi antar budaya

e. China

Republik Rakyat China

Pada tahun 1976 pembuatan film di China mengalami jatuh bangun dan
tidak berfokus pada doktrin partai dan filmnya lebih peduli dengan individu, serta
industri film China menjadi lebih berorientasi ke pasar Barat, maka dari itu hanya
beberapa film yang terkenal yaitu Chen’s Farewell My Concubine (1993) jalannya
mengenai cinta segitiga diluar nikah, Raise the Red Lantern (1991) mengenai
perjuangan hak-hak perempuan, Tian’s The Horse Thief (1986) mengenai
pembelajaran etnis China minoritas. Selain itu, film-film Tiongkok yang paling
populer dan berpengaruh di luar yaitu film aksi bela diri yang melibatkan masalah
sosial.

Hong Kong
Dengan film aksi bela diri, maka karakteristik formal diatur sedemikian
dimulai dari memilih studio yang spektakuler dan lokasi yang alami, mengatur
warna yang kontras, pencahayaan yang baik, gerakan konstan antara cepat dan
lambat, teknik pengeditan terputus-putus, dan manipulasi gambar dan gerakan
komputer yang ekstensif. Disini proses pembuatan film sudah semakin berkembang
dengan memanfaatkan teknologi dan media yang ada.

Taiwan

Sinema Taiwan pasca perang berkembang secara independen dari Republik


Rakyat dan Hong Kong

f. India
India menempati urutan pertama dalam produksi film tahunan, diikuti oleh
Hollywood dan China. Di India sendiri terdapat festival tahunan yang dibuat untuk
mempelajari lebih dalam lagi mengenai pembuatan film dan bagaimana mengisi
suara ke bahasa inggris atau menggunakan subtitle (Barsam & Monahan, 2009, h.
395). Kesuksesan film India karena adanya konvensi genre film yang cukup kental,
yaitu durasi film yang cukup panjang. Kedua, ada unsur musikalnya. Ketiga, cerita
filmnya melodramatik, sentimental, roman, komedi, aksi. Keempat, jalan cerita
film India mudah dipahami.

j. Contemporary Middle Eastern and North African Cinema (Sinema Timur


Tengah dan Afrika Utara Kontemporer)
Pada dasarnya sinema telah menjadi bagian dari budaya banyak negara
Timur Tengah dan Afrika Utara. Namun, semuanya berubah setelah adanya
kerusuhan sipil, revolusi, dan berbagai penindasan di negara-negara ini telah
mendatangkan dampak negatif pada kebebasan artistik, pembatasan pembuatan
film yang sebagian besar disutradarai oleh perempuan, bahkan film Barat dilarang
masuk dalam negara ini.
Tetapi, dibalik permasalah tersebut tidak mematahkan semangat para
sutradara untuk memproduksi film lagi setelah bebas dari keadaan tersebut, terbukti
Negara Aljazair, Mesir, Irak, Iran, Israel, Lebanon, dan Palestina merupakan negara
yang sutradaranya berhasil mendapatkan tempat di dunia perfilman (Barsam &
Monahan, 2009, h. 396).
k. Latin American Filmmaking (Pembuatan Film Amerika Latin)
Argentina, Brazil, Kuba dan Meksiko merupakan bagian dari negara
Amerika Latin yang memproduksi film sejak era bisu.
a) Argentina
Dalam Barsam & Monahan (2009) Industri film Argentina masih
berada dibawah pengawasan gereja dan negara, dan filmnya lebih dominan
membuat drama kriminal konvensional, komedi, dan adaptasi sastra klasik.
Pada tahun 1960-an dan 1970-an sebuah Bioskop Baru lahir di Argentina,
kemudian masuk pada tahun 1983 pembuatan film sudah mulai serius
mengenai masa lalu negara yang bergejolak. Saat ini, produksi film di
Argentina sudah membahas topik yang luas, seperti drama keluarga, kisah
cinta, dan drama kriminal.
b) Brazil
Sinema Brazil mendapatkan pengakuan internasional serta nominasi
Oscar untuk Film Berbahasa Asing Terbaik untuk The Given Word pada
tahun 1962 (Barsam & Monahan, 2009, h. 398). Setelah masuk dalam
nominasi tersebut, industri perfilman di Brazil mengalami penurunan
karena masalah ekonomi, namun keadaan ini tidak berlangsung lama karena
Brazil berhasil bangkit kembali dan mendorong para pembuat film untuk
menghasilkan film dengan nilai dan kepentingan sejarah.
c) Kuba
Walaupun perfilman di Kuba merupakan industri film yang
signifikan dan memproduksi film-filmnya sendiri tetapi sangat bergantung
pada Hollywood. Dalam Barsam & Monahan (2009) Para sutradara
mendirikan Institut Seni dan Industri Sinematografi Kuba (ICAIC) yang
tujuannya untuk mendorong, meningkatkan, dan mendukung proses
pembuatan film di seluruh kalangan.
d) Meksiko
Meksiko memiliki sinema awal yang cukup populer dan menjadi
perhatian dunia ketika sutradara besar Rusia Sergei Eisenstein mulai
membuat Que Viva Mexico pada tahun 1931. Beberapa sutradara dan karya
film yang terbaik di Meksiko berhasil memenangkan 9 Oscar, membuktikan
dunia perfilman tidak lagi ada batasan dan mulai berkembang maju
(Barsam & Monahan, 2009, h. 399). Terdapat negara-negara Amerika Latin
lainnya seperti Bolivia, Chili, Kolombia, Haiti, Paraguay, dan Peru yang
produksi filmnya sangat bervariasi dalam jenis dan kualitas.

1965–1995: The New American Cinema (Sinema Amerika Baru)


Dua puluh tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II, Amerika Serikat mulai
menghadapi tantangan politik, budaya, dan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya
dalam sejarahnya. Dengan latar belakang yang bergerak cepat dan cukup kompleks, tidak
mengherankan “The New American Cinema” muncul. Hollywood ‘baru’ mencakup
banyak transisi dari Hollywood ‘lama’, yang dapat disebut sebagai pergerakan. Perubahan
ini hadir dengan munculnya “independent filmmakers” yang menggantikan sistem studio
lama. Hal ini tentunya, memberikan dampak positif dan negatif (Barsam & Monahan,
2009, h. 400).

Dampak negatif ini meliputi penurunan jumlah penonton akibat persaingan dari
televisi, meningkatnya biaya produksi film, dan relokasi studio. Hadirnya Hollywood
‘baru’ juga memberikan dampak yang positif, seperti menghasilkan genre yang baru dan
cocok dengan ekspektasi penonton, melakukan lebih banyak pengambilan gambar di lokasi
yang menghasilkan film terlihat lebih autentik. Seiring perkembangan produksi film dan
pemasaran yang juga berkembang transisi ini semakin memberikan dampak positif.
Hadirnya perkuliahan dan studi mengenai film di berbagai universitas, membawa semakin
banyak penonton film generasi baru. Para produser yang dapat merekrut seniman dari
mana saja juga turut berkontribusi dalam peningkatan produksi film di Amerika.

Hingga akhirnya, New York dan kota-kota di Amerika dan Kanada muncul sebagai
pusat produksi film yang terus berkembang. Para penulis dan sutradara wanita juga mulai
hadir mengembangkan industri film. Konten yang hadir juga menyesuaikan dengan minat
dan ekspektasi audiens. Dalam perkembangannya, konten dalam “New America Cinema”
didominasi oleh alam, sex, dan kekerasan. Meskipun konten tersebut masih mendominasi
film Amerika, para penonton tak segan untuk memberikan apresiasi besar bagi film-film
Amerika.

Hadirnya film-film seperti, Penn's Bonnie and Clyde (1967), Dennis Easy Rider
karya Hopper (1969), The Last Picture Show karya Peter Bogdanovich (1969), The Wild
karya Sam Peckinpah Bunch (1969) semakin menjelaskan dominan konten seksual dan
kekerasan pada film Amerika. Dalam era ini juga ditandai dengan penyuntingan secara
kontinuitas dan peningkatan penggunaan teknik. Teknik tersebut meliputi, jump cuts, split
screens, slow and fast motion, dan campuran rekaman warna dan hitam-putih. Era ini juga
mengembangkan pada produksi dan reproduksi suara, mulai dari desain suara, perekaman,
suara multisaluran hingga sistem Dolby Digital.

Muncul banyaknya produser independen ini memberi dampak bagi produksi,


distribusi, pameran dan keuntungan. “The New American Cinema” telah mengubah
struktur industri film di Amerika. Ketika penonton menuntut dan menginginkan film
seperti yang ada di novel, industri film mengembangkan film naratif berdurasi penuh.
Beragam inovasi seperti warna film, resolusi gambar yang lebih tajam, penyunting, dan
pencahayaan terus dikembangkan dengan baik. Hingga kini, para seniman terus
menciptakan teknologi dan sinematografi yang semakin apik. Mereka juga tak hanya
bekerja di Hollywood saja, melainkan di negara-negara dan benua lain.

Film Studies

Film adalah objek visual yang setiap elemen konstruksinya dapat berfungsi untuk
menghasilkan makna. Terdapat tiga unsur utama makna dalam film yaitu komposisi
(composition), penyuntingan (editing) dan pengarahan elemen visual (art direction), yang
meliputi segala sesuatu mulai dari warna dan suara hingga set dan lokasi (Ryan, 2012).
Elemen penting komposisi adalah bingkai, yang mana penempatan kamera untuk
menentukan ukuran dan bentuk bingkai gambar. Unsur penyuntingan (editing) berfungsi
memberikan kesinambungan yang mulus dari satu gambar ke gambar lain. Penyuntingan
juga dapat menggunakan kontras untuk menciptakan makna. Unsur art direction terdiri
dari beberapa elemen yaitu desain set, suara, pilihan lokasi, alat peraga, pencahayaan, dan
warna. Terdapat istilah-istilah yang berkaitan dengan teknologi film, yaitu:

● Field of vision, yaitu sesuatu yang dilihat dari kamera, yang berbeda dari latar
(setting) atau tempat di mana cerita film itu terjadi..
● Framing, yaitu batas gambar yang membatasi ruang tindakan
● Mise-en-scène, yaitu istilah Perancis yang mengacu pada pengaturan elemen
(karakter, alat peraga, set, ruang) dalam bingkai gambar
● Visual Plane, yaitu titik di mana fokus terjadi.
● Pro-Filmic Space, yaitu ruang di depan kamera di dalam bingkai gambar.
● Shot, yaitu hal apapun yang difilmkan dengan kamera.
● Deep Focus, yaitu lensa fokus dalam yang memungkinkan kedalaman lapangan
(depth of field) yang lebih besar.
● Projection, yaitu memotret dengan latar belakang tempat gambar diproyeksikan.
● Zoom, bergerak dari jarak mendekat dengan suatu objek.
● Continuity, yaitu penyuntingan yang mencocokkan aksi dan objek dari satu urutan
gambar ke gambar berikutnya.
● Cut, yaitu transisi dari satu adegan ke adegan berikutnya.
● Montage, yaitu gaya pengeditan dinamis yang menyatukan banyak bidikan dengan
cepat.
● Reverse-Angle Shot, yaitu bidikan yang membalikkan perspektif bidikan
sebelumnya.
● Diegetic Sound, yaitu yang muncul dari aksi di layar, sebaliknya, nondiegetic
sound tidak muncul dari aksi layar.
● High-Key Lighting, yaitu saat cahaya menerangi set sepenuhnya dan membawa
objek yang difilmkan ke kejelasan garis luar yang cemerlang. Sedangkan low-key
lighting untuk menciptakan bayangan dan mengurangi kejernihan penglihatan.
● Three-Point Lighting, yaitu untuk menciptakan efek realis yang menghilangkan
bayangan, teknik ini menggunakan tiga lampu.
● Diegesis, yaitu istilah untuk menamai cerita yang digambarkan di layar
● Sequence,yaitu bagian dari cerita film yang merekam peristiwa lengkap dari awal
hingga akhir.

Contoh Film yang menggunakan istilah-istilah di atas:

1. Dirty Harry (1971). Film ini bercerita tentang Harry sebagai inspektur
mempertaruhkan nyawa dan sering melanggar aturan atasanya demi menangkap
Scorpio, sang pembunuh psikopat. Terdapat istilah zoom pada adegan ketika Harry
tahu Scorpio telah membunuh seorang gadis tetapi atasannya yang tidak kompeten
tidak mempercayainya. Kamera memperbesar ke bidikan panjang Harry dan
Scorpio di stadion sepak bola. Selain itu, ada istilah continuity, ketika Harry
memasuki kantor, dan continuity editing berlanjut ke kantor tempat dia berjalan.
Hal ini dilakukan agar urutan gambar aksi dan objek sebelum dan setelahnya tetap
berkesinambungan dan memudahkan penonton untuk memahami cerita.
2. Michael Clayton (2007). Film dengan genre thriller ini memiliki studi tentang
karakter, narasi yang kompleks, dan contoh yang baik tentang bagaimana
menggunakan komposisi dan pengeditan gambar untuk menyampaikan makna.
Sebuah kisah seorang pengacara yang membersihkan kekacauan hukum untuk
klien dari perusahaannya, film ini juga berurusan dengan korupsi perusahaan dan
menampilkan cerita pembunuhan sebagai konfliknya.

Contoh film dan dampak dari teknologi

Fast Furious 7 (2015)

Dalam film Fast Furious 7 (2015), terdapat adegan di mana salah satu pemeran
utama yaitu Paul Walker seolah-olah hidup kembali. Paul Walker diketahui sudah
meninggal pada tahun 2013 yang lalu karena kecelakaan mobil. Dalam adegan tersebut,
dua adik Paul Walker, Caleb dan Cody dan aktor terpilih lainnya berakting sebagai Paul.
Selanjutnya, wajah mereka diganti dengan wajah Paul menggunakan teknologi Computer
Graphic Imagery atau CGI. Selain itu, ekspresi wajah dan gerakan mulut disesuaikan
dengan menggunakan animasi serta penggunaan suara asli sang aktor yang telah diambil
sebelumnya (Ferdian, 2014).

Penggunaan CGI dalam film Fast Furious 7 (2015) ini memberikan dampak yaitu
pemeran utama Paul Walker tetap ada dan hadir dalam film Fast Furious 7. Meskipun
bukan Paul Walker asli, teknologi CGI membuat publik yang menonton seolah-olah
melihat Paul Walker yang asli. Dengan adanya teknologi CGI ini, masyarakat yang tadinya
merasa kehilangan setelah kepergian Paul Walker, dapat menikmati film Fast Furious 7
karena masih bisa melihat dan merasakan kehadiran Paul Walker dalam film.
Daftar Pustaka

Barsam, Richard & Dave Monahan. (2009). Looking at Movies an Introduction to Film.
New York: W. W. Norton & Company, Inc

Danusiri, A. (2018). Kronotop Kontra Politik dan Visualitas Korban dalam Film
Dokumenter: Kajian Antropologi Media. Jurnal Antropologi Indonesia. Vol39
No2.

Ferdian, F. (2014). Lewat Teknologi CGI, Paul Walker Tetap Hidup di Fast Furious 7.
Diakses dari
https://www.liputan6.com/showbiz/read/2027177/lewat-teknologi-cgi-paul-walker-
tetap-hidup-di-fast-furious-7

Ryan, M. (2012). An Introduction to Criticism: Literature/ Film/ Culture. UK:


Wiley-Blackwell

Anda mungkin juga menyukai