id
BAB 2 -
LANDASAN TEORI
Subbab ini berisi dasar teori yang berhubungan dalam penelitian ini. Mencakup
teori umum dan desain kapasitas perkerasan kaku.
Perkerasan jalan pada umumnya terbagi menjadi dua jenis yakni perkerasan lentur
(flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid pavement). Perkerasan kaku mulai
digunakan sejak 1870-an dan hanya memiliki satu konstruksi utama (single layer)
yang disebut dengan slab, yaitu satu lapis beton semen yang kapasitas atau mutunya
disesuaikan dengan peruntukkan kelas jalan tertentu.
Pada perkerasan kaku, daya dukung didapat dari pelat beton. Sifat, daya dukung
dan keseragaman tanah dasar sangat mempengaruhi umur dan kekuatan perkerasan
beton. Faktor faktor yang perlu diperhatikan adalah kadar air pemadatan, kepadatan
dan perubahan kadar air selama masa pelayanan (Pd-T-14 2003).
5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6
Bab 2 – Landasan Teori
Modulus Elastisitas (E) adalah salah satu parameter tingkat kekakuan (rigiditas)
campuran beton semen yang digunakan pada perkerasan kaku. Parameter ini dapat
dijadikan sebagai gambaran seberapa jauh tingkat kekakuan sebuah kontruksi,
dalam hal ini adalah perkerasan kaku. Sebagai perbandingan, Modulus Elastisitas
aspal adalah sekitar 4.000 MPa sedangkan pada konstruksi beton, modulus
elastisitasnya dapat mencapai sepuluh kali lipat dari aspal, berkisar di angka 40.000
MPa. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa jenis konstruksi ini disebut
perkerasan kaku. Dengan kekakuan yang lebih besar, maka perkerasan kaku dapat
mendistribusikan beban dengan lebih baik daripada perkerasan lentur.
Secara umum, kapasitas layan perkerasan kaku memiliki mutu kuat tekan beton
yang setara dengan kuat tarik lentur 45kg/cm2 dengan tebal 25 cm. Jika
dikomparasikan dengan perkerasan lentur dengan kapasitas layan sebesar 8 juta
repetisi standard axle load, tebal perkerasan lentur kurang lebih adalah 55 cm.
Gambar 2.1 Ilustrasi Ekuivalensi Struktur Perkerasan Kaku dan Perkerasan Lentur
(Sumber: Diklat Perkerasan Kaku 2017, PUPR)
Lapisan base pada konstruksi perkerasan kaku dapat berupa salah satu dari ketiga
jenis berikut:
1. Batu pecah dengan campuran bahan cementious dengan perbandingan berat
minimal 5%.
2. Campuran aspal dengan gradasi padat.
3. Lean concrete dengan kuat tekan 80 – 110 kg/cm2 pada usia 28 hari.
C. Sambungan (Joint)
Pada perkerasan kaku terdapat sambungan (joint) yang menyambungkan tiap
segmen perkerasan kaku yang mememiliki fungsi sebagai pendistribusi beban dari
segmen satu ke segmen lain agar tidak terjadi pergeseran pada segmen karena
pengaruh dari beban kendaraan.
Gambar 2.3 Tipikal Dowel dan Tie Bar yang Digunakan pada Jenis JPCP
(Sumber: Diklat Perkerasan Kaku 2017, PUPR)
Selain sebagai transfer beban, dowel dan tie bar juga berfungsi untuk mencegah
perbedaan elevasi antar dua slab yang bersebelahan, khususnya pada bagian
sambungan. Perbedaan elevasi ini disebut dengan faulting, efek dari terjadinya
faulting adalah tingkat kenyamanan pengguna jalan berkurang akibat adanya
guncangan (bumping) saat melewati sambungan slab.
Salah satu cara alternatif untuk mencegah faulting adalah dengan menggunakan
sistem penguncian agregat (agregat interlocking). Metode ini dilakukan dengan
menggergaji seperempat hingga sepertiga tebal slab di daerah tertentu, untuk
memperlemah slab dibagian tersebut dan memperbesar kapasitas geser struktur.
Secara biaya, jenis konstruksi ini lebih mahal daripada perkerasan kaku jenis JPCP
karena terdapat tulangan memanjang dan melintang. Berikut adalah skema
perkerasan kaku tipe JRCP.
Perkerasan jenis CRCP memerlukan angker untuk menahan bagian tepi dari
kontraksi akibat susut beton pada proses konstruksinya. Cara ini dilakukan
bersamaan dengan menganalisis kemampuan tulangan untuk mengontrol retak agar
tidak melabar dan menyebar sehingga dapat menyebabkan masalah kinerja.
Pada jenis perkerasan kaku konvensional, slab antara serat atas dan serat bawah dari
pelat tidak dimaksimalkan untuk menahan tegangan akibat beban roda, yang
hasilnya penggunaan bahan konstruksi tersebut tidak efisien. Sedangkan pada
perkerasan beton prategang, kuat tarik lentur beton ditingkatkan dengan
memberikan tegangan tekan dan tidak dibatasi lagi oleh kuat tarik lentur betonnya.
Dengan demikian tebal perkerasan kaku yang dibutuhkan untuk beban tertentu akan
lebih tipis dari tebal perkerasan kaku konvensional. Secara umu, perkerasan kaku
jenis prestress mempunyai panjang slab sekitar 130 m. Skema dari perkerasan kaku
prategang ditunjukkan berikut.
Gambar 2.10 Tipikal Metode Pemasangan Panel pada Jenis Perkerasan Kaku Pracetak
(Sumber: Diklat Perkerasan Kaku 2017, PUPR)
Gambar 2.11 Ilustrasi Distribusi Beban pada Perkerasan Lentur dan Perkerasan Kaku
(Sumber: Diklat Perkerasan Kaku 2017, PUPR)
Pada periode selama umur layan perkerasan kaku, efek dari adanya beban suhu
sangatlah singnifikan. Beban suhu yang diterima oleh permukaan perkerasan dapat
menyebabkan pemuaian. Respons struktur yang terjadi adalah adanya tegangan
gaya dalam (stress) yang bekerja secara tidak seragam di sepanjang ketebalan slab
sebuah struktur perkerasan kaku. Sehingga, slab dapat mengalami kegagalan
struktur, yakni kerusakan seperti crack, pooping, curling, buckling, punch out,
hingga faulting.
Berdasarkan SNI 03-1731-1989 untuk pengujian CBR insitu atau SNI 03-17441989
untuk CBR laboratorium, apabila tanah dasar mempunyai nilai CBR lebih kecil dari
2%, maka harus dilakukan peningkatan kapasitas tanah dasar. Apabila CBR
minimun masih tidak dapat tercapai, maka konstruksi perkerasan kaku harus
dipasang komponen pendukung berupa lapis pondasi bawah yang berupa aggregat
batu pecah, atau campuran beraspal bergradasi rapat, atau dapat ditambahkan pula
lapis pondasi yang terbuat dari lean mix concrete setebal 15 cm yang dianggap
mempunyai nilai CBR tanah dasar efektif 5%.
Kuat lentur beton mencapai umur rencana diukur pada saat umur 28 hari, salah satu
kontrol kualitas perkerasan kaku beton semen adalah nilai kuat lentur 45 kg/cm2
(4,4 MPa) pada umur 28 hari (Bina Marga, 2010). Kekuatan elemen (penampang)
yang mengalami lentur tergantung pada distribusi material pada penampang, juga
jenis materialnya. Sebagai respon (reaksi) atas adanya lentur yang bekerja pada
penampang struktur maka penampang akan memberikan gaya perlawanan (aksi)
untuk mengimbangi gaya tarik dan tekan yang terjadi pada penampang
(Mulyono, 2004).
Pengujian kuat lentur beton adalah persyaratan paling umum dalam desain
perencanaan perkerasan kaku. Namun, di sisi lain dalam hal pembuatan campuran
beton yang selama ini mengacu pada kuat tekan, menjadi tantangan bagi pelaksana
yang harus melakukan perencanaan beton (job mix design) dan trial terlebih dahulu,
sehingga perlu dilakukan pengkoreksian untuk mendapatkan nilai korelasi.
Nilai korelasi kuat lentur beton dengan kuat tekan beton berhubungan sangat kuat
yang mana nilai koefisien korelasi di antara 0,80 sampai 1,00, dengan benda uji
silinder dan kubus, umur 14 dan 28 hari (Anggi, dkk, 2018). Korelasi kuat lentur
beton dengan kuat tekan beton dapat dilihat pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12 Hubungan Kuat Tekan Beton dan Kuat Lentur Beton Umur 28 Hari
(Sumber: Anggi, dkk, 2018)
Korelasi antara kuat tekan beton dan kuat lentur beton normal dapat dituliskan:
Hubungan antara Ec dan f’c dalam satuan MPa pada beton normal dapat dihitung
berdasarkan SNI-02 (Pasal 10.5.1) berikut:
Apabila kuat tekan beton dinyatakan dalam jenis K (Kg/cm2), maka modulus
elastisitasnya dapat dihitung dengan rumus turunan berikut:
K
Ec = 4700 √10.197 (MPa) …(2.4)
Perubahan suhu dapat menghasilkan tegangan pada struktur beton dengan urutan
yang sama besarnya dengan beban mati dan beban hidup dalam beberapa kasus
(Essam, 2017). Tegangan akibat suhu akan dirasakan secara signifikan ketika
ekspansi atau kontraksi termal tertahan karena gradien beban suhu dapat
menyebabkan respon struktur berupa tegangan yang mengakibatkan muai-susut
beton. Gradien beban suhu yang terjadi seringkali tidak linier di sepanjang lapisan
atas menuju bawah slab, oleh karena ini pada penelitian ini dibatasi oleh 2 input
suhu permukaan teratas dan lapisan bawah slab saja sesuai dengan batasan
penelitian pada subbab 1.3.
Data suhu udara (AIR) yang digunakan adalah data suhu tertinggi yang diperoleh
dari Badan Pusat Statistik Surakarta sepanjang tahun 2020 yang berasal dari stasiun
pengamatan di Bandara Adisumarmo. Sesuai dengan lingkup dan batasan penelitian
pada subbab 1.3, hasil perhitungan tersebut akan dijadikan sebagai salah satu
variabel yang akan dimodelkan pada perangkat lunak EverFE.
Menurut Brown dan Brunton (1986) Fatigue Cracking perkerasan jalan dapat
dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Respons struktur perkerasan kaku akibat nilai suhu Fatigue Cracking tersebut akan
digunakan sebagai nilai penentu apakan perkerasan akan mengalami crack atau
tidak akibat pengaruh suhu selama umur layannya.
Terkait perbedaan suhu pada permukaan dan dasar perkerasan kaku, maka rumus
Temperature Design (TD) untuk Gradien Beban Suhu adalah sebagai berikut:
Dari hasil jurnal penelitian yang dilakukan oleh Pudjianto, dkk (2017), didapatkan
hasil analisis CBR tanah dasar rencana sebelum diadakan peningkatan pada tahun
2017 pada ruas Jalan Purwodadi-Geyer adalah sebesar 3.3%. Nilai CBR ini
selanjutnya akan dijadikan acuan untuk analisis permodelan dalam penelitian ini.
Nilai ks yang digunakan untuk analisis respon perkerasan dalam penelitian ini
diambil berdasarkan nilai CBR tanah dasarnya dengan metode grafik. Lihat gambar
2.13 berikut:
Gambar 2.13 Hubungan Antara CBR dengan Modulus Reaksi Tanah Dasar
(Sumber: Pd T-14-2003)
Jalan Surakarta – Purwodadi merupakan jalan yang termasuk dalam kelas jalan IIC
(DPU Bina Marga 2020), yakni jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi
permukaan jalan dari jenis penetrasi tunggal di mana dalam komposisi lalu
lintasnya terdapat kendaraan lambat dari kendaraan tak bermotor.
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan bahwa MST akibat beban sumbu pada
penelitian ini sebesar 8 Ton. Adapun beban overload yang juga akan digunakan
dalam pembebanan diambil dari data Dinas Perhubungan Kota Surakarta. Data
MST ini akan digunakan sebagai pembebanan statis pada EverFE dalam keadaan
beban kendaraan standar. Ekivalensi luas bidang kontak yang akan dimodelkan
dapat dilihat pada Gambar 2.14 di bawah ini.
…(2.11)
Oleh karena itu, peneliti melakukan simplifikasi data yang bertujuan untuk
memperoleh berapa Berat Kendaraan yang Akan Dimodelkan (Berat Model
Kendaraan). Dengan cara menggunakan rerata aritmatika %Lebih (poin 3) dari
seluruh nomor penimbangan yang dilakukan di jembatan timbang UPPKB
Banyudono.
…(2.12)
Sejak awal perkembangan perkersan kaku di Inggris pada 1870, peneliti mulai
mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kegagalan struktur perkerasan kaku.
Perkembangan dan penyelidikan terhadap penyebab kegagalan struktur perkerasan
kaku semakin berkembang sejak saat itu. Hingga peneliti akhirnya menyadari
bahwa beban suhu memiliki peran besar karena dapat memberikan pengaruh
tegangan pada struktur. Westergaard (1927) Melakukan penelitian tentang
temperature curling pada perkerasan kaku dengan menyebutkan bahwa tebal slab
mempengaruhi respons bending.
Efek beban suhu yang berupa thermal load dapat diperhitungkan dalam desain
perkerasan beton melalui pemilihan perbedaan suhu kritis dalam hubungannya
dengan pembebanan mekanis. Hingga akhirnya Rufino (2011) dengan
menggunakan dasar dari Hipotesis Miner (1945) telah melakukan penelitian
eksperimental yang terbatas dalam ranah lapangan terbang dengan pembebanan
yang bersal dari roda pesawat untuk memahami respons terukur akibat aksi
simultan dari pengaruh suhu dan kelembaban. Perilaku slab digambarkan relatif
terhadap suhu dengan pengaruh yang linier. Seperti yang diharapkan, tren
perbedaan ini ditemukan berhubungan dengan tren suhu lingkungan dan
kelembaban relatif. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa slab memiliki periode
harian regangan tarik dan tekan yang sesuai dengan perubahan suhu lingkungan dan
kelembaban relatif.
Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Zienkiewicz dan Taylor (1994) telah
menyatakan bahwa efek termal dan susut dapat diperlakukan sebagai praregangan
umum dengan cara yang konsisten dengan teori dasar elemen hingga. Penelitian
tersebut kemudian mendorong penerapan analisis pengaruh beban suhu dengan
metode elemen hingga yang dibangun dari formula yang dinyatakan oleh
Rasmussen dan Rozycki (2001), dan Zhang and Li (2001). Ilustrasi hubungan
formula tersebut diilustrasikan pada Gambar 2.3.2. Penelitian tentang analisis
pengaruh suhu menggunakan metode elemen hingga yang dimodelkan dengan
perangkat lunak kemudian dibahas dalam penelitian David dkk (2003).
Shoukry dkk. (2007) telah melakukan penelitian menggunakan EverFE yang berisi
tentang respon perkerasan kaku terhadap suhu sekaligus menggunakan dasar
pembebanan dengan lalu lintas bergerak. Hasil penelitian ini menyatakan relevansi
dan menjadi salah satu dasar validasi perangkat lunak EverFE, bahwa perangkat
lunak EverFE dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh variasi beban sumbu
(axle load) serta variasi gradien beban suhu (thermal load gradient).
Setelah melihat hasil penelitian sebelumnya, penelitian kali ini difokuskan pada
respon struktur perkerasan kaku yang berupa tegangan pada slab dan defleksi pada
tanah dasar terhadap pengaruh gradien beban suhu yang dimodelkan dengan
melibatkan variabel lain yang berupa tebal slab, nilai CBR, dan beban kendaraan
untuk melihat pengaruhnya terhadap kondisi perkerasan kaku yang menerima suatu
beban suhu tertentu serta melihat kondisi kritis dari variabel yang dimodelkan.
EverFE adalah perangkat lunak yang dapat digunakan dalam analisis 3D finite-
element untuk mensimulasikan respons sebuah konstruksi dari perkerasan kaku tipe
JPCP terhadap pengaruh axle loads dan efek lingkungan. Hasil analisis EverFE
ditulis dalam format Tcl/Tk/Tix/xTk dengan kode finite-element yang dituliskan
dalam orientasi objek berbasis bahsa pemrograman C++.
Gambar 2.3.1 menunjukkan mesh elemen hingga dari model empat-slab dan elemen
yang sesuai.
Gerakan perkerasan kaku dari lapisan base dan subbase dicegah dengan membatasi
perpindahan bidang x- dan bidang y- dari suatu node pada muka bidang –x, dan
perpindahan x dibatasi dari node kedua pada muka bidang –x. Dukungan vertikal
dari seluruh sistem disediakan oleh subgrade, yang selalu terhubung sebagai satu
kesatuan di bawah dari lapisan paling bawah dari model.
Jika slab didirikan langsung pada subgrade, dengan kata lain tidak terdapat lapisan
base yang dimodelkan, setiap slab ditahan terhadap perpindahan arah sumbu x dan
y pada satu node pada muka bidang –x, dan slab ditahan terhadap perpindahan arah
sumbu x pada node kedua pada muka bidang –x-nya untuk mencegah gerakan
perkerasan kaku dari setiap slab. Hal ini selaras konsep bahwa dukungan vertikal
memang disediakan oleh subgrade.
Salah satu kelemahan solver MG-PCG yang digunakan oleh EverFE (seperti halnya
dengan semua solver iteratif) adalah sensitivitasnya yang buruk terhadap kondisi
kekakuan model, yang dapat timbul dari input nilai tinggi untuk kekakuan material
dan rasio aspek elemen yang besar. Misalnya, jika nilai yang besar ditentukan untuk
kekakuan antarmuka slab-base (lihat 2.3.3) atau modulus penyangga dowel (lihat
Bagian 2.3.5), efisiensi solver dapat berkurang. Menjaga rasio aspek elemen
maksimum agar kurang dari 5.0 dapat menjaga sensitivitas terhadap rasio aspek
elemen yang besar. Jika rasio aspek elemen yang digunakan lebih besar dari 5.0,
maka waktu running analisis menjadi sangat lama.
Rilis publik awal EverFE (versi 1.02 dirilis Januari 1998) menggunakan integrasi
Gauss 27 poin (3x3x3). Namun, studi internal yang dilakukan oleh Dept Civil and
Environmental, University of Maine menunjukkan bahwa skema integrasi dengan
orde tinggi membuat waktu komputasi yang lama tanpa meningkatkan akurasi
secara signifikan.
Memodelkan interaksi pada slab dan base sangat penting untuk memprediksi
respons perkerasan terhadap axle load di dekat sambungan dan terhadap gradien
beban suhu atau muai-susut. EverFE memungkinkan analisis ikatan sempurna
antara slab dan base, atau pemisahan slab dan base dengan keadaan terdapat
tegangan pada antarmukanya. Dalam kedua kasus tersebut, slab dan base tidak
berbagi node, dan hambatan pada node digunakan untuk memenuhi kondisi kontak
yang diperlukan (lihat Gambar 2.3.2). Algoritma analisis didasarkan pada rumus
Lagrangian dan hambatan node didasarkan pada tegangan yang terjadi antara slab
dan base.
Gambar 2.16 Memodelkan Pemisahan dan Transfer Geser pada Antarmuka Slab-Base
(Sumber: Dept of Civil and Environmental Engineerig, University of Maine)
Skema transfer geser antara slab dan base menjadi sangat penting ketika
menganalisis pengaruh gradien beban suhu atau muai-susut pada perkerasan kaku.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rasmussen and Rozycki (2001) telah
meninjau faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada skema transfer geser slab-
base dan menyatakan bahwa terdapat pengaruh gesekan dan interlock terhadap
interaksi slab-base.
Elemen 8-node yang diilustrasikan pada Gambar 2.3.1 digunakan secara khusus
untuk mendiskritisasi elemen pada subgrade. Elemen ini menggabungkan fungsi
bentuk kuadrat standar untuk interpolasi terhadap perpindahan vertikal di dalam
elemen subgrade (Zienkiewicz dan Taylor 1994). Formulasi elemen yang
digunakan berjenis isoparametrik, dan semua integrasi elemen yang diperlukan
dilakukan secara numerik menggunakan prinsip kuadratur Gauss 9 titik (3x3) untuk
memastikan hasil yang akurat saat opsi subgrade yang dipilih adalah tanpa
tegangan.
Satu-satunya parameter yang diperlukan untuk elemen ini adalah kekakuan harus
terdistribusi dari subgrade [gaya/volume]. Untuk pondasi tanpa tegangan, jika
terjadi tegangan pada elemen disaat proses running analisis, nilai tegangan dan
kekakuan akan diatur ke nol selama proses integrasi matriks elemen kekakuan dan
menjadi ekivalen terhadap vektor gaya. Untuk supporting subgrade dengan
tegangan, kekakuannya tetap konstan di semua titik.
Formulasi elemen ini juga memungkinkan efisiensi dalam transfer beban yang
disimulasikan tanpa memerlukan input mesh yang sangat halus pada
sambungannya.
Kajian Pengaruh Gradien Beban Suhu (Thermal Load Gradient) terhadap
Tegangan dan Defleksi pada Perkerasan Kaku Bersambung Tanpa Tulangan
Menggunakan Perangkat Lunak EverFE
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32
Bab 2 – Landasan Teori
Selain itu, formulasi dowel tertanam memungkinkan treatment pada celah yang
sempit antara dowel dan slab (dowel looseness). Alternatif lainnya, dowel dapat
dimodelkan sebagai balok pada subgrade, di mana skema spring diapit di antara
dowel dan slab. Kedua opsi untuk mengamati interaksi dowel-slab ini ditunjukkan
secara konseptual pada Gambar 2.3.3(a).
Opsi linier pada sistem agregat interlock adalah pendekatan paling sederhana untuk
memodelkan transfer beban pada sambungan memanjang. Dalam hal ini, hanya
kekakuan sambungan yang ditentukan untuk mengontrol tingkat transfer beban
agregat interlock. Satuan parameter ini adalah gaya/volume, dan analog dengan
tanah dasar (k) yang dapat diartikan sebagai kekakuan pegas per satuan luas.
Sedangkan pada opsi nonlinier pada sistem transfer beban interlock agregat
memungkinkan pertimbangan baik efek perpindahan sambungan vertikal relatif
maupun bukaan sambungan pada efektivitas transfer beban agregat interlock.
EverFE didasarkan pada model agregat interlock dua fase yang dikembangkan oleh
Walraven (1981, 1994) untuk menghasilkan hubungan konstitutif retak agregat
interlock nonlinier. Retakan diasumsikan mengikuti batas partikel agregat, dan
partikel agregat yang menempel pada pasta semen dianggap berada pada titik lepas.
Model Walraven juga mengasumsikan bahwa partikel agregat dinilai menurut
distribusi Fuller, dengan diameter partikel maksimum (Dmax) dan fraksi volume
agregat (Pk), yang menjadi dasar parameter model.
Perangkat lunak EverFE menangani hal ini dengan memindahkan titik penerapan
beban P di sekitar lingkaran dengan radius yang terus meningkat hingga beban P
masuk ke dalam elemen padat, dan perhitungan kemudian dilanjutkan dengan
detail. Hal ini dapat menurunkan keakuratan metode. Dengan kata lain, beban roda
dengan bagian kontak yang berada di luar batas slab harus dihindari.
Distribusi gradien beban suhu dapat dimodelkan secara linier atau nonlinier di
EverFE, maksimal hingga empat titik perubahan suhu di sepanjang ketebalan.
Yaitu, distribusi suhu linier, bilinear, atau trilinear, lihat Gambar 2.18 berikut.