Ideologi Dalam Filsafat Pendidikan Matematika
Ideologi Dalam Filsafat Pendidikan Matematika
Ideologi industrial trainer percaya bahwa matematika adalah sebuah tubuh keilmuan yang
bersifat tetap dan netral. Ilmu matematika memiliki batas yang tegas dengan ilmu lainnya dan
dipelihara agar tidak bersinggungan dengan nilai lainnya seperti nilai-nilai sosial. Isu-isu
sosial tidak mendapatkan tempat dalam ilmu matematika karena dianggap dapat merusak
kenetralan dan objektivitas ilmu matematika.
Tujuan pendidikan yang dianut dalam ideologi ini mengharapkan seorang anak bisa
menghitung dan memahami nilai kepatuhan. Seorang anak diharapkan datang ke sekolah agar
mampu membaca, berhitung, dan sedikit pengetahuan ilmiah. Anak tidak boleh mengetahui
hal yang berkaitan di luar tujuan ini dan tidak dituntut untuk memiliki standar kemampuan
dasar akademik selain yang sudah ditetapkan.
Belajar adalah suatu kegiatan yang bersifat individual dan usaha sendiri sangat menentukan
selama proses belajar. Pembelajaran diibaratkan sebagai proses “bekerja” layaknya tenaga
kerja yang bekerja keras setiap harinya. Setiap pembelajaran adalah pekerjaan pensil dan
kertas, berlatih, dan hafalan. Belajar harus membuat anak mengerti makna tentang “usaha”
dalam proses belajarnya. Anak tidak diperkenankan untuk menghubungkan materi pelajaran
dengan minatnya. Semua yang dipelajari adalah tentang kerja keras, berlatih, dan aplikasi
sehingga sebaik-baik motivasinya adalah “kompetisi”.
Pengajar matematika harus bersikap otoriter yang menegaskan norma disiplin yang ketat dan
pengetahuan yang diajarkan berpusat pada fakta-fakta. Mengajar adalah kegiatan untuk
menyampaikan tubuh keilmuan matematika dan guru menekankan nilai-nilai kerja keras,
usaha, dan disiplin yang ketat. Mengajar adalah kegiatan yang menegangkan dan tidak
berusaha untuk mencairkan suasana menjadi informal agar lebih berhasil. Ideologi ini sangat
berlawanan dengan ideologi progressive educator.
Belajar harus dilakukan melalui kegiatan yang berbasis kertas dan pensil sehingga tidak
mencoba untuk menerapkan cara lain seperti games, puzzles, atau informasi televisi. Selain
itu, guru melarang siswanya menggunakan kalkulator karena guru menganggap ini sebuah
resiko jika siswa hanya menggunakan kalkulator saja. Pendidikan membatasi siswa untuk
mengembangkan keterampilan komputasi.
Guru yang menganut ideologi ini menganggap bahwa terdapat hirarki masyarakat yang
mengharuskan mereka mengendalikan kedudukannya dan melihat orang di bawahnya. Tes
bersifat untuk memeriksa penguasaan pengetahuan matematika siswa dan memastikan bahwa
tugas formal sekolah sudah tercapai. Akibatnya, siswa yang salah dalam tes diartikan sebagai
kegagalan penerapan diri atau bahkan sebagai kelalaian secara moral. Kegiatan diskusi dan
kerjasama tidak diperbolehkan karena mengarah kepada aksi menyontek dimana siswa
mudah memperoleh jawaban tanpa harus bekerja keras yang menanamkan sifat kemalasan.
Kompetisi adalah hal yang perlu ditanamkan untuk mencocokkan diri terhadap lingkungan
termasuk penghargaan sebagai simbol keberhasilkan seorang siswa dalam proses pendidikan.
Anak dilahirkan dengan kemampuan matematika yang berbeda-beda sehingga siswa harus
dipilih berdasarkan tingkat kemampuan yang dimilikinya. Menempatkan siswa yang “lebih
baik” ke kelas yang “lebih rendah” tidak diperkenankan secara moral karena hal tersebut
dianggap tidak alami menurut ideologi ini. Anak yang inferior akan memperbaiki dirinya jika
mereka bekerja keras untuk mengatasi kemampuan yang dimilikinya. Sekolah bagus untuk
siswa-siswa “pilihan” mengisyaratkan masyarakat dikategorikan ke dalam berbagai
tingkatan.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa isu-isu sosial dan perhatian terhadap
kelompok masyarakat tidak mendapatkan tempat dalam pembelajaran matematika karena
akan merusak netralitasnya. Selain itu, isu rasisme, seksisme, dan multikultural tidak
dianggap dalam ideologi ini. Mereka menganggap bahwa hal ini hanyalah propaganda politik
yang bertujuan untuk merusak kultur “British” yang dipicu oleh penganut ideologi Marxisme.
“Sekolah adalah tempat belajar bukan teknik sosial”. Oleh karena itu, ideologi ini tidak
menyadari adanya keberagaman sosial kecuali keberagaman kemampuan matematika yang
dimiliki siswa.
Sekolah dapat dilihat melalui dua sisi. Pertama, sekolah adalah tentang keterampilan murni,
prosedur, fakta, dan pengetahuan matematika yang merupakan konten utama mata pelajaran
yang harus dikuasai peserta didik. Kedua, matematika yang dipelajari harus memiliki
penerapan/ aplikasi. Aspek penerapan dangat penting untuk menghidupkan matematika
sehingga meningkatkan motivasi siswa belajar matematika. Selain aplikasi seperti nilai-nilai
kreativitas tidak menjadi fokus dalam ideologi ini.
Guru harus melibatkan sumber belajar untuk mengilustrasikan dan memotivasi pembelajaran
matematika. Pembelajaran bersifat praktis sehingga siswa harus diberikan akses terhadap
sumber-sumber belajar untuk memperoleh pengalaman. Keterampilan IT sangat dibutuhkan
sehingga siswa harus terbiasa mengoperasikan komputer, berinteraksi terhadap media lainnya
seperti video. Sumber belajar diharapkan memberikan pengalaman praktis kepada siswa.
Guru harus memiliki keterampilan mengajar dan memberikan motivasi kepada siswa yang
berhubungan dengan pembelajaran matematika. Dalam pendidikan tinggi, pendidik harus
menekankan pada pendekatan pemecahan masalah.
Evaluasi pembelajaran dimaknai sebagai proses sertifikasi eksternal yang membuktikan
penguasaan kompetensi dan keterampilan matematika seorang siswa. Akan tetapi, dalam
dunia pelatihan tenaga kerja skill sendiri tidak cukup untuk memastikan siswa mampu
beradaptasi di masa depan dengan teknologi yang lebih canggih. Oleh akrena itu, siswa perlu
dipersiapkan beberapa skill yang akan dibutuhkan di masa depan. Keterampilan-keterampilan
ini diistilahkan sebagai keterampilan umum (generic skill), termasuk diantaranya seperti
numerasi, grafis, literasi, komunikasi, keterampilan praktis, pemecahan masalah, membuat
keputusan, dan tanggung jawab.
Keragaman sosial dilihat sebagai hal yang tidak penting jika tidak berhubungan untuk sukses
dalam dunia kerja. Matematika masih dianggap sebagai ilmu yang netral dan harus bida
diterapkan dalam dunia industri dan teknologi, bukan pada budaya. Tingkatan keterampilan
bekerja menjadi fokus utama yang membuktika siswa telah menguasai teknologi yang
mutakhir dan lebih canggih. Oleh karena itu, selanjutnya dibutuhkan sebagai keterampilan
standar yang harus dicapai agar bisa diakui di dalam dunia industri.
Tujuan pendidika adalah untuk menyampaikan pengetahuan matematika, budaya, dan nilai-
nilai moral (values). Matematika murni yang diajarkan menekankan pada struktur konseptual
mata pelajaran matematika. Tujuannya adalah memahami matematika dari nilai intrinsiknya
sebagai bagian penting dari warisan manusia sebelumnya, budaya, dan pencapaian prestasi.
Hal ini membuat siswa menghargai dimensi estetika dan keindahan dari matemarika murni
ketika mendalaminya dalam pembelajaran.
Sekolah dipahami sebagai karakter ilmu matematika sendiri yaitu terstruktur sebagai suatu
tubuh keilmuan yang utuh. Semakin tinggi tingkatannya, matematika menjadi semakin murni,
kaku, dan abstrak. Siswa didorong untuk mencapai tingkatan ini setinggi mungkin
berdasarkan “kemampuan matematika” masing-masing. Ketika mereka naik, siswa akan
menuju lebih dekat terhadap matematika yang “nyata”, dimana siswa akan temui pada tingkat
universitas.
Belajar matematika dilakukan dengan menerima dan memahami tubuh keilmuan matematika
yang sangat terstruktur dan mode-mode pemikiran yang berhubungan dengan itu. Siswa yang
berhasil menginternalisasi struktur matematika konsep tual yaitu jaringan konsep hirarkis dan
proposisi yang terhubung secara logika, hubungan matematis dan gagasan fundamental,
mencermikan organisasi keilmuan matematika.
Guru berpernan sebagai penjelas untuk mengkomunikasikan struktur ilmu matematika secara
bermakna. Guru harus menginspirasi siswa melalui pengajaran yang menarik dengan
memperkaya pembelajaran matematika dengan soal-soal dan aktivitas tambahan serta
mengadaptasi pendekatan buku teks yang terstruktur.
Sumber-sumber belajar dibatasi pada sumber yang menjelaskan hirarki keilmuan matematika
yang tepat. Buku teks dan media tradisional masih bisa diakui karena memiliki struktur yang
tepat dan terarah. Kalkulator elektronik atau komputer hanya boleh digunakan untuk siswa
dewasa yang telah menguasai konsep dasar matematika. Model, media visual, dan sumber
lainnya bisa digunakan untuk memberikan motivasi atau memfasilitasi pemahaman. Akan
tetapi, sumber eksplorasi “hands-on” seperti kerja praktis tidak mendapatkan tempat dalam
matematika “murni”. Kegiatan seperti ini hanya dianggap membuat siswa berkemampuan
rendah karena tidak memahami matematika “murni”.
Penilaian formatif dalam pembelajaran matematika dapat melibatkan berbagai metode yang
bisa dilaksanakan tetapi penilaian sumatif diarahkan pada ujian eksternal. Penilaian ini harus
berdasarkan hirarki ilmu matematika dan pada tingkat “kemampuan” matematika tertentu.
Kompetisi pada penilaian ideologi ini akan sangat menguntungkan bagi siswa yang
berkemampuan tinggi dan siswa berkemampuan rendah hanya sebagai peserta ujian.
Matematika masih dianggap sebagai ilmu murni yang tidak berhubungan dengan isu-isu
sosial sehingga tidak ada tempat untuk mengakomodasi kepentingan keberagaman sosial.
Matematika harus bersifat objektif dan berusaha untuk memanusiakannya dalam tujuan
pendidikan.
Ideologi ini menginginkan bahwa pendidikan bertujuan untuk berkontribusi pada seluruh
perkembangan peradaban manusia, mengembangkan kreativitas siswa melalui pengalaman
pembelajaran matematika. Hal ini melibatkan dua hal. Pertama perkembangan siswa sebagai
sosok pembelajar mandiri dalam kelas matematika. Kedua, mendorong siswa untuk percaya
diri, sikap positif, dan harga diri terhadap matematika sehingga mencegah siswa memiliki
pengalaman negatif yang bisa merusak sikapnya terhadap matematika.
Matematika harus diajarkan melalui aktifitas dorongan semangat, fasilitasi, dan penyusunan
lingkungan belajar terstruktur untuk kegiatan eksplorasi, Secara ideal, pembelajaran akan
menggunakan kurikulum yang disusun oleh sekolah dan guru yang menawarkan kegiatan
“sirkus” matematika yang berbeda di sekitar kelas dan menggunakan proyek-proyek multi-
disiplin. Peran guru adalah sebagai pengelola lingkungan pembelajaran dan sumber-sumber
belajar tanpa petunjuk yang mengganggu dan mengancam munculnya sikap negatif yang
diperoleh siswa di dalam kelas.
Penilaian dilakukan berbasis kriteria informal yang ditentukan guru dengan mencegah
pernyataan siswa yang gagal setelah mengikuti ujian karena menjawab soal secara “salah”.
Penilaian tidak dilaksanakan untuk menakutkan siswa yang akan menghambat perkembangan
siswa. Jawaban yang salah diformulasikan dengan cara lain tanpa menyakiti hati peserta
didik.
Ilmu matematika harus masuk dalam lingkungan budaya yang dimiliki siswa. Pendekatan
kurikulum harus memfasilitasi referensi matematika multikultural. Pembelajaran harus
menghargai asal mula siswa dan berusaha untuk mengintegrasikan aspek kultural di dalam
kelas matematika. Guru harus bisa menyisipkan kebutuhan masing-masing siswa dan
memberikan mereka dukungan emosional untuk membangun kepercayaan diri siswa dan
untuk mencegah konflik dengan siswa. Selanjutnya, aspek-aspek positif dan netral dalam
multikultural akan sangat bermanfaat. Rasisme tidak dapat diterima untuk melindungi
perasaan siswa. Ringkasnya, teori tentang keragaman sosial bersifat individualistik dan
berusaha untuk mengakomodadi perbedaan bahasa dan kultur dan untuk memenuhi kebutuan
individu yang beragam.
Teori belajar berlandaskan pada konstruksi sosial tentang makna yang berakar dari teori asal
mula sosial dari proses berpikir menurut Vygotsky (1962) dan teori aktivitas oleh Leont’ev
(1978). Berdasarkan teori ini, pengetahuan dan makna siswa diinternalisasikan sebagai
“kontruksi sosial” yang berasal dari interaksi sosial, negosiasi dalam makna dan keterlibatan
dalam “aktivitas”. Gagasan ini diusulkan oleh pendukung ideologi public educator antara lain
Bishop (1985), Cobb (1986), dan Mellin-Olsen (1987), dan digolongkan ke dalam
konstruktionisme sosial.
Teori ini melihat siswa sebagai seseorang yang butuh untuk terlibat dalam pembelajaran
matematika termasuk dalam kegiatan pemecahan masalah, diskusi matematika dalam
pengalamannya, dan lingkungannya (ethnomathematics). Konsepsi dan asumsi pembelajar
harus disampaikan, dan dihadapkan dengan perspektif lain untuk mengembangkan
keterampilan berpikir kritis. Hal ini diperlukan untuk memunculkan ide-ide dalam konsep
yang baru.
Kemampuan matematika dipandang lebih luas sebagai suatu konstruksi sosial dimana
konteks sosial berperan penting dalam pengembangan diri individu dan secara khusus
dimanifestasikan sebagai “kemampuan”. Individu dipahami, dalam perspektif ini, memiliki
karakteristik yang “setara” layaknya kemampuan yang baru lagi. “Kemampuan” ini
disematkan kepada siswa sesuai dengan pengalamannya dan sesuai dengan apa yang mereka
terima dan di”label”kan oleh orang lain.
F. Referensi