Anda di halaman 1dari 11

Ideologi dalam Filsafat Pendidikan Matematika

A. Ideologi Pendidikan Industrial Trainer

Ideologi industrial trainer percaya bahwa matematika adalah sebuah tubuh keilmuan yang
bersifat tetap dan netral. Ilmu matematika memiliki batas yang tegas dengan ilmu lainnya dan
dipelihara agar tidak bersinggungan dengan nilai lainnya seperti nilai-nilai sosial. Isu-isu
sosial tidak mendapatkan tempat dalam ilmu matematika karena dianggap dapat merusak
kenetralan dan objektivitas ilmu matematika.

Tujuan pendidikan yang dianut dalam ideologi ini mengharapkan seorang anak bisa
menghitung dan memahami nilai kepatuhan. Seorang anak diharapkan datang ke sekolah agar
mampu membaca, berhitung, dan sedikit pengetahuan ilmiah. Anak tidak boleh mengetahui
hal yang berkaitan di luar tujuan ini dan tidak dituntut untuk memiliki standar kemampuan
dasar akademik selain yang sudah ditetapkan.

Belajar adalah suatu kegiatan yang bersifat individual dan usaha sendiri sangat menentukan
selama proses belajar. Pembelajaran diibaratkan sebagai proses “bekerja” layaknya tenaga
kerja yang bekerja keras setiap harinya. Setiap pembelajaran adalah pekerjaan pensil dan
kertas, berlatih, dan hafalan. Belajar harus membuat anak mengerti makna tentang “usaha”
dalam proses belajarnya. Anak tidak diperkenankan untuk menghubungkan materi pelajaran
dengan minatnya. Semua yang dipelajari adalah tentang kerja keras, berlatih, dan aplikasi
sehingga sebaik-baik motivasinya adalah “kompetisi”.

Pengajar matematika harus bersikap otoriter yang menegaskan norma disiplin yang ketat dan
pengetahuan yang diajarkan berpusat pada fakta-fakta. Mengajar adalah kegiatan untuk
menyampaikan tubuh keilmuan matematika dan guru menekankan nilai-nilai kerja keras,
usaha, dan disiplin yang ketat. Mengajar adalah kegiatan yang menegangkan dan tidak
berusaha untuk mencairkan suasana menjadi informal agar lebih berhasil. Ideologi ini sangat
berlawanan dengan ideologi progressive educator.

Belajar harus dilakukan melalui kegiatan yang berbasis kertas dan pensil sehingga tidak
mencoba untuk menerapkan cara lain seperti games, puzzles, atau informasi televisi. Selain
itu, guru melarang siswanya menggunakan kalkulator karena guru menganggap ini sebuah
resiko jika siswa hanya menggunakan kalkulator saja. Pendidikan membatasi siswa untuk
mengembangkan keterampilan komputasi.

Guru yang menganut ideologi ini menganggap bahwa terdapat hirarki masyarakat yang
mengharuskan mereka mengendalikan kedudukannya dan melihat orang di bawahnya. Tes
bersifat untuk memeriksa penguasaan pengetahuan matematika siswa dan memastikan bahwa
tugas formal sekolah sudah tercapai. Akibatnya, siswa yang salah dalam tes diartikan sebagai
kegagalan penerapan diri atau bahkan sebagai kelalaian secara moral. Kegiatan diskusi dan
kerjasama tidak diperbolehkan karena mengarah kepada aksi menyontek dimana siswa
mudah memperoleh jawaban tanpa harus bekerja keras yang menanamkan sifat kemalasan.
Kompetisi adalah hal yang perlu ditanamkan untuk mencocokkan diri terhadap lingkungan
termasuk penghargaan sebagai simbol keberhasilkan seorang siswa dalam proses pendidikan.

Anak dilahirkan dengan kemampuan matematika yang berbeda-beda sehingga siswa harus
dipilih berdasarkan tingkat kemampuan yang dimilikinya. Menempatkan siswa yang “lebih
baik” ke kelas yang “lebih rendah” tidak diperkenankan secara moral karena hal tersebut
dianggap tidak alami menurut ideologi ini. Anak yang inferior akan memperbaiki dirinya jika
mereka bekerja keras untuk mengatasi kemampuan yang dimilikinya. Sekolah bagus untuk
siswa-siswa “pilihan” mengisyaratkan masyarakat dikategorikan ke dalam berbagai
tingkatan.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa isu-isu sosial dan perhatian terhadap
kelompok masyarakat tidak mendapatkan tempat dalam pembelajaran matematika karena
akan merusak netralitasnya. Selain itu, isu rasisme, seksisme, dan multikultural tidak
dianggap dalam ideologi ini. Mereka menganggap bahwa hal ini hanyalah propaganda politik
yang bertujuan untuk merusak kultur “British” yang dipicu oleh penganut ideologi Marxisme.
“Sekolah adalah tempat belajar bukan teknik sosial”. Oleh karena itu, ideologi ini tidak
menyadari adanya keberagaman sosial kecuali keberagaman kemampuan matematika yang
dimiliki siswa.

B. Ideologi Pendidikan Technological Pragmatism


Tujuan mengajar matematika adalah sesuai kebutuhan siswa agar bisa diterima di lapangan
pekerjaan. Tujuan ini memiliki tiga komponen pendukung yaitu (1) untuk memberikan
pengetahuan matematika dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja, (2) untuk
mensertifikasi pencapaian siswa dalam membantu dalam rekruitmen pegawai, dan (3) untuk
melatih teknologi yang lebih canggih seperti pada keterampilan teknologi informasi dan
komputer.

Sekolah dapat dilihat melalui dua sisi. Pertama, sekolah adalah tentang keterampilan murni,
prosedur, fakta, dan pengetahuan matematika yang merupakan konten utama mata pelajaran
yang harus dikuasai peserta didik. Kedua, matematika yang dipelajari harus memiliki
penerapan/ aplikasi. Aspek penerapan dangat penting untuk menghidupkan matematika
sehingga meningkatkan motivasi siswa belajar matematika. Selain aplikasi seperti nilai-nilai
kreativitas tidak menjadi fokus dalam ideologi ini.

Kemampuan dalam matematika membutuhkan seorang pengajar dalam merealisasikan


penerapan matematika dalam pandangan technological pragmatism. Meskipun siswa
memiliki bakat khusus dalam berbagai topik, guru bisa membedakan antara siswa yang tidak
berminat dan siswa yang menikmati proses pembelajarannya. Seorang guru yang memiliki
kemampuan seperti itu terlahir karena bakatnya dan pelatihan kompetensi guru tidak
berdampak secara signifikan.

Pembelajaran matematika harus dilaksanakan melalui pengalaman praktis peserta didik.


Pengalaman memegang peranan penting agar siswa mampu menguasai pengathuan dan
keterampilan dalam matematika. Layaknya keterampilan berenang, siswa tidak akan mampu
berenang jika hanya melihat temannya. Siswa akan mampu berenang, jika mempraktekannya
secara langsung.

Guru harus melibatkan sumber belajar untuk mengilustrasikan dan memotivasi pembelajaran
matematika. Pembelajaran bersifat praktis sehingga siswa harus diberikan akses terhadap
sumber-sumber belajar untuk memperoleh pengalaman. Keterampilan IT sangat dibutuhkan
sehingga siswa harus terbiasa mengoperasikan komputer, berinteraksi terhadap media lainnya
seperti video. Sumber belajar diharapkan memberikan pengalaman praktis kepada siswa.
Guru harus memiliki keterampilan mengajar dan memberikan motivasi kepada siswa yang
berhubungan dengan pembelajaran matematika. Dalam pendidikan tinggi, pendidik harus
menekankan pada pendekatan pemecahan masalah.
Evaluasi pembelajaran dimaknai sebagai proses sertifikasi eksternal yang membuktikan
penguasaan kompetensi dan keterampilan matematika seorang siswa. Akan tetapi, dalam
dunia pelatihan tenaga kerja skill sendiri tidak cukup untuk memastikan siswa mampu
beradaptasi di masa depan dengan teknologi yang lebih canggih. Oleh akrena itu, siswa perlu
dipersiapkan beberapa skill yang akan dibutuhkan di masa depan. Keterampilan-keterampilan
ini diistilahkan sebagai keterampilan umum (generic skill), termasuk diantaranya seperti
numerasi, grafis, literasi, komunikasi, keterampilan praktis, pemecahan masalah, membuat
keputusan, dan tanggung jawab.

Keragaman sosial dilihat sebagai hal yang tidak penting jika tidak berhubungan untuk sukses
dalam dunia kerja. Matematika masih dianggap sebagai ilmu yang netral dan harus bida
diterapkan dalam dunia industri dan teknologi, bukan pada budaya. Tingkatan keterampilan
bekerja menjadi fokus utama yang membuktika siswa telah menguasai teknologi yang
mutakhir dan lebih canggih. Oleh karena itu, selanjutnya dibutuhkan sebagai keterampilan
standar yang harus dicapai agar bisa diakui di dalam dunia industri.

C. Ideologi Pendidikan Old Humanist

Tujuan pendidika adalah untuk menyampaikan pengetahuan matematika, budaya, dan nilai-
nilai moral (values). Matematika murni yang diajarkan menekankan pada struktur konseptual
mata pelajaran matematika. Tujuannya adalah memahami matematika dari nilai intrinsiknya
sebagai bagian penting dari warisan manusia sebelumnya, budaya, dan pencapaian prestasi.
Hal ini membuat siswa menghargai dimensi estetika dan keindahan dari matemarika murni
ketika mendalaminya dalam pembelajaran.

Sekolah dipahami sebagai karakter ilmu matematika sendiri yaitu terstruktur sebagai suatu
tubuh keilmuan yang utuh. Semakin tinggi tingkatannya, matematika menjadi semakin murni,
kaku, dan abstrak. Siswa didorong untuk mencapai tingkatan ini setinggi mungkin
berdasarkan “kemampuan matematika” masing-masing. Ketika mereka naik, siswa akan
menuju lebih dekat terhadap matematika yang “nyata”, dimana siswa akan temui pada tingkat
universitas.

Belajar matematika dilakukan dengan menerima dan memahami tubuh keilmuan matematika
yang sangat terstruktur dan mode-mode pemikiran yang berhubungan dengan itu. Siswa yang
berhasil menginternalisasi struktur matematika konsep tual yaitu jaringan konsep hirarkis dan
proposisi yang terhubung secara logika, hubungan matematis dan gagasan fundamental,
mencermikan organisasi keilmuan matematika.

Guru berpernan sebagai penjelas untuk mengkomunikasikan struktur ilmu matematika secara
bermakna. Guru harus menginspirasi siswa melalui pengajaran yang menarik dengan
memperkaya pembelajaran matematika dengan soal-soal dan aktivitas tambahan serta
mengadaptasi pendekatan buku teks yang terstruktur.

Sumber-sumber belajar dibatasi pada sumber yang menjelaskan hirarki keilmuan matematika
yang tepat. Buku teks dan media tradisional masih bisa diakui karena memiliki struktur yang
tepat dan terarah. Kalkulator elektronik atau komputer hanya boleh digunakan untuk siswa
dewasa yang telah menguasai konsep dasar matematika. Model, media visual, dan sumber
lainnya bisa digunakan untuk memberikan motivasi atau memfasilitasi pemahaman. Akan
tetapi, sumber eksplorasi “hands-on” seperti kerja praktis tidak mendapatkan tempat dalam
matematika “murni”. Kegiatan seperti ini hanya dianggap membuat siswa berkemampuan
rendah karena tidak memahami matematika “murni”.

Kemampuan matematika berupakan bakat yang diwariskan sehingga berhubungan dengan


intelegensi murni seseoranga. Terdapat distribusi kemampuan matematika yang hirarkis
dimana orang jenius berada di atas dan orang berkemampuan rendah terletak di bawah.
Pengajaran semata-mata membantu siswa untuk merealisasikan potensi bakat yang
dimilikinya. Pendidikan matematika hanya cocok bagi seseorang yang memiliki bakat
kemampuan matematika untuk dapat menunjukkan bakat matematikanya.

Penilaian formatif dalam pembelajaran matematika dapat melibatkan berbagai metode yang
bisa dilaksanakan tetapi penilaian sumatif diarahkan pada ujian eksternal. Penilaian ini harus
berdasarkan hirarki ilmu matematika dan pada tingkat “kemampuan” matematika tertentu.
Kompetisi pada penilaian ideologi ini akan sangat menguntungkan bagi siswa yang
berkemampuan tinggi dan siswa berkemampuan rendah hanya sebagai peserta ujian.

Matematika masih dianggap sebagai ilmu murni yang tidak berhubungan dengan isu-isu
sosial sehingga tidak ada tempat untuk mengakomodasi kepentingan keberagaman sosial.
Matematika harus bersifat objektif dan berusaha untuk memanusiakannya dalam tujuan
pendidikan.

D. Ideologi Pendidikan Progressive Educator

Matematika adalah kendaraan untuk mengembangkan seorang anak sehingga kurikulumnya


harus menekankan bahwa matematika adalah bahasan dan dalam sisi pengalaman seseorang
yang penuh kreativitas dan humanis. Proses pemecahan masalah matematika seperti
generalisasi, abstraksi, simbolisasi, strukturisasi, dan jurstifikasi lebih menjelaskan sekolah
matematika daripada hirarki konten matematika. Matematika hanya sebagaian dari
keseluruhan kurikulum sehingga penerapan matematika ke dalam bidang lain diperbolehkan
dalam sekolah matematika.

Ideologi ini menginginkan bahwa pendidikan bertujuan untuk berkontribusi pada seluruh
perkembangan peradaban manusia, mengembangkan kreativitas siswa melalui pengalaman
pembelajaran matematika. Hal ini melibatkan dua hal. Pertama perkembangan siswa sebagai
sosok pembelajar mandiri dalam kelas matematika. Kedua, mendorong siswa untuk percaya
diri, sikap positif, dan harga diri terhadap matematika sehingga mencegah siswa memiliki
pengalaman negatif yang bisa merusak sikapnya terhadap matematika.

Kemampuan matematika bersifat individual. Asumsinya adalah perbedaan kemampuat yang


bersifat bawaan dan diturunkan menyebabkan perbedaan perkembangan siswa. Dengan
demikian, hal ini akan menjelaskan perbedaan “kesiapan” siswa untuk mempelajari ilmu
matematika yang lebih lanjut. Akan tetapi, setiap kemampuan matematika individu
membutuhkan serangkatan pengalaman yang tepat untuk direalisasikan, jika tidak,
pertumbuhan anak mungkin terhambat.
Belajar matematika harus membuat siswa aktif menjawab lingkungan pembelajaran, mandiri
mengembangkan diri, mengeksplorasi hubungan dan menciptakan produk hasil belajar
matematika. Pembelajaran melibatkan penyelidikan, penemuan, bermain, berdiskusi, dan
kegiatan kerja sama. Lingkungan ini membuat pembelajaran lebih kaya dan menantang tetapi
juga harus menanamkan nilai aman, percaya diri, sikap positif, dan perasaan yang nyaman.
Dengan demikian pembelajaran matematika menjadi lebih aktif dimana siswa dapat belajar
dengan bermain, beraktivitas, penyelidikan, membuat proyek, diskusi, eksplorasi, dan
discovery. Kunci kedua dalam teori ini adalah siswa diberi tempat untuk mengekspresikan
dirinya sendiri dalam mempelajari ilmu matematika.

Matematika harus diajarkan melalui aktifitas dorongan semangat, fasilitasi, dan penyusunan
lingkungan belajar terstruktur untuk kegiatan eksplorasi, Secara ideal, pembelajaran akan
menggunakan kurikulum yang disusun oleh sekolah dan guru yang menawarkan kegiatan
“sirkus” matematika yang berbeda di sekitar kelas dan menggunakan proyek-proyek multi-
disiplin. Peran guru adalah sebagai pengelola lingkungan pembelajaran dan sumber-sumber
belajar tanpa petunjuk yang mengganggu dan mengancam munculnya sikap negatif yang
diperoleh siswa di dalam kelas.

Sumber belajar adalah aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan selama pembelajaran. Kelas


harus dibuat dalam lingkungan yang kaya dengan peralatan yang terstruktur dan
perlengkapan lain yang diberikan untuk memfalisitasi pemahaman konsep matematika.
Sumber digunakan untuk menciptakan, mengekspresikan, dan membuat karya untuk
menghubungkan matematika dengan pengalaman siswa mandiri. Selain itu, siswa dapat
menentukan apakah dirinya akan mengakses sumber tersebut atau tidak.

Penilaian dilakukan berbasis kriteria informal yang ditentukan guru dengan mencegah
pernyataan siswa yang gagal setelah mengikuti ujian karena menjawab soal secara “salah”.
Penilaian tidak dilaksanakan untuk menakutkan siswa yang akan menghambat perkembangan
siswa. Jawaban yang salah diformulasikan dengan cara lain tanpa menyakiti hati peserta
didik.

Ilmu matematika harus masuk dalam lingkungan budaya yang dimiliki siswa. Pendekatan
kurikulum harus memfasilitasi referensi matematika multikultural. Pembelajaran harus
menghargai asal mula siswa dan berusaha untuk mengintegrasikan aspek kultural di dalam
kelas matematika. Guru harus bisa menyisipkan kebutuhan masing-masing siswa dan
memberikan mereka dukungan emosional untuk membangun kepercayaan diri siswa dan
untuk mencegah konflik dengan siswa. Selanjutnya, aspek-aspek positif dan netral dalam
multikultural akan sangat bermanfaat. Rasisme tidak dapat diterima untuk melindungi
perasaan siswa. Ringkasnya, teori tentang keragaman sosial bersifat individualistik dan
berusaha untuk mengakomodadi perbedaan bahasa dan kultur dan untuk memenuhi kebutuan
individu yang beragam.

E. Ideologi Pendidikan Public Educator

Tujuan ideologi public educator adalah untuk mengembangkan masyarakat demokratis


melalui pendekatan berpikir kritis dalam pembelajaran matematika. Seorang individu
didorong untuk menjadi pemecah masalah yang tangguh dan menggunakan kompetensi
matematikanya untuk menyelesaikan masalah sosial sehingga siswa belajar dalam sekolah
matematika peduli dengan lingkungan sosial. Pembelajaran melibatkan siswa untuk terlibat
dalam aktivitas matematika dalam konteks sosial dan politik. Tujuan ini berakar dari
keinginan untuk melihat bahwa pendidikan matematika bisa berkontribusi untuk kepentingan
keadilan sosial di dalam masyarakat.

Pembelajaran matematika harus merefleksikan hakikat ilmu matematika dalam konstruksi


sosial yaitu tentatif atau berubah-ubah. Ilmu selalu berkembang oleh manusia selanjutnya,
terhubung dengan pengalaman pengetahuan, budaya, dan kehidupan sosial. Pembelajaran
matematika tidak harus dilihat sebagai pengetahuan yang diperoleh dari luar dimana siswa
tidak mengalaminya. Tetapi, matematika sebenarnya telah terlibat dalam setiap kebudayaan
dan kenyataan siswa. Dengan cara ini, pembelajaran matematika dapat memberikan cara
melihat dan juga sebagai cara berpikir. Matematika memberikan pemahaman dan kekuatan
tentang struktur abstrak dari pengetahuan dan budaya serta institusi sosial dan realitas politik.

Teori belajar berlandaskan pada konstruksi sosial tentang makna yang berakar dari teori asal
mula sosial dari proses berpikir menurut Vygotsky (1962) dan teori aktivitas oleh Leont’ev
(1978). Berdasarkan teori ini, pengetahuan dan makna siswa diinternalisasikan sebagai
“kontruksi sosial” yang berasal dari interaksi sosial, negosiasi dalam makna dan keterlibatan
dalam “aktivitas”. Gagasan ini diusulkan oleh pendukung ideologi public educator antara lain
Bishop (1985), Cobb (1986), dan Mellin-Olsen (1987), dan digolongkan ke dalam
konstruktionisme sosial.

Teori ini melihat siswa sebagai seseorang yang butuh untuk terlibat dalam pembelajaran
matematika termasuk dalam kegiatan pemecahan masalah, diskusi matematika dalam
pengalamannya, dan lingkungannya (ethnomathematics). Konsepsi dan asumsi pembelajar
harus disampaikan, dan dihadapkan dengan perspektif lain untuk mengembangkan
keterampilan berpikir kritis. Hal ini diperlukan untuk memunculkan ide-ide dalam konsep
yang baru.

Kemampuan matematika dipandang lebih luas sebagai suatu konstruksi sosial dimana
konteks sosial berperan penting dalam pengembangan diri individu dan secara khusus
dimanifestasikan sebagai “kemampuan”. Individu dipahami, dalam perspektif ini, memiliki
karakteristik yang “setara” layaknya kemampuan yang baru lagi. “Kemampuan” ini
disematkan kepada siswa sesuai dengan pengalamannya dan sesuai dengan apa yang mereka
terima dan di”label”kan oleh orang lain.

Pengajaran matematika harus memiliki beberapa komponen di bawah ini :

diskusi otentik, antara siswa-siswa maupun guru-siswa, karena pembelajaran adalah


konstruksi makna sosial;
kerja sama kelompok, proyek, dan pemecahan masalah untuk menimbulkan rasa percaya
diri, terlibat langsung, dan menguasai mata pelajaran;
proyek, eksplorasi, pemecahan masalah, dan penyelidikan mandiri, untuk menanamkan
kreatifitas melalui kehendak masing-masing;
diskusi tentang konten pembelajaran, pedagogi, dan pendekatan penilaian yang
diterapkan untuk melatih berpikir kritis,; dan
. materi pembelajaran yang bersifat sosial termasuk isu ras, gender untuk melibatkan
konteks sosial dalam pembelajaran
Sumber materi pembelajaran diambil berdasarkan pandangan bahwa proses berpikir harus
aktif, bervariasi, sosial, dan mandiri. Oleh karena itu, terdapat tiga komponen utama sumber
belajar dalam ideologi ini antara lain :
pemberian berbagai macam sumber-sumber praktis untuk memfasilitasi pendekatan
pembelajaran yang bervariasi dan aktif;
pemberian materi yang otentik, seperti koran, infografis statistik, dan lain-lain yang
berhubungan dengan konteks sosial;
pemberian kesempatan kepada siswa untuk mengakses sumber belajar secara mandiri.
Penilaian berusaha untuk mencari ukuran kompetensi yang bernilai sebagai prestasi positif
setiap siswa tanpa menyematkan stereotip siswa berdasarkan kemampuan atau menetapkan
hirarki kemampuan matematika siswa. Hal ini bermakna sebagai penilaian kompetensi yang
“adil” tanpa memperhatikan gender, ras, kelas, atau variabel sosial yang lain, termasuk
menghindari adanya kompetisi dalam pembelajaran. Berbagai macam bentuk penilaian dapat
digunakan termasuk tugas-tugas dan rekaman pencapaian, perpanjangan proyek dan ujian.
Penilaian tugas dan nilai akhir harus bersifat terbuka kepada siswa untuk didiskusikan.

F. Referensi

Ernest, P. (1991). The philosophy of mathematics education. Taylor & Francis.


2.2 Ideologi Pendidikan Matematika
Filsafat Pendidikan Matematika meliputi beberapa masalah inti pendidikan atematika
mengenai ideologi, landasan, dan tujuannya. Dalam perspektif yang lebih umum, dapat
dikatakan bahwa filosofi pendidikan matematika bertujuan menjelaskan dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang status dan dasar objek dan metode pendidikan matematika.
Ideologi pendidikan matematika mengemukakan tentang bagaimana pendidikan
matematika dapat diimplementasikan baik secara radikal, konservatif, liberal ,dan demokrasi.
Dasar pendidikan matematika menyediakan pembenaran mendapatkan status dan dasar dalam
kasus ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Matematika terdiri dari ide-ide pemikiran yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Sedangkan matematika sekolah lebih menekankan pada Matematika sebagai kegiatan
mencari pola dan hubungan. Matematika adalah kegiatan kreatif yang melibatkan imajinasi,
intuisi dan penemuan; Matematika sebagai sarana pemecahan masalah. Matematika sebagai
sarana mengkomunikasikan informasi atau ide.

Anda mungkin juga menyukai