Anda di halaman 1dari 37

MODUL

BAHASA INDONESIA

MATA KULIAH BAHASA INDONESIA

Disusun Oleh :

Nama : Revano Arnawinata

Nim : 1012019015

Dosen : Bram S.Pd., M.Pd

Prodi : S1 Farmasi

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN BANGSA JEMBER

JL. SLAMET RIYADI NO 64 PATRANG JEMBER

April 2020

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
saya selaku penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa‟atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan modul sebagai tugas mata kuliah bahasa Indonesia
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk mdosul ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Jember, 16 April 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

Cover................................................................................................................. i
Kata Pengantar.................................................................................................. 1
Daftar Isi........................................................................................................... 2
BAB I Bahasa Indonesia................................................................................... 7
BAB II Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia............................................ 12
BAB III Kedudukan Dan Fungsi...................................................................... 18

BAB IV Bahasa Indonesia Baku.......................................................................19


BAB V Ragam Bahasa......................................................................................19
BAB VI Ejaan Bahasa Indonesia...................................................................... 23
BAB VII Diksi Atau Pilihan Kata.................................................................... 33
Daftar Pustaka................................................................................................... 36

2
BAB I
BAHASA INDONESIA
“Bahasa menunjukan bangsa”, demikian peribahasa yang sering kita dengar
atau baca, yang artinya bahasa menunjukkan jati diri seseorang. Bahasa akan
menampakkan watak, pola pikir, kebiasaan, atau bahkan kecerdasan seseorang.
Dari bahasa yang digunakan, kata-kata yang dipilih, dan tekanan atau intonasi
yang diucapkan, kita dapat mengetahui siapa sesungguhnya yang berbicara,
apakah dia orang baik, bagaimana akhlaknya, seberapa tingkat kecerdasannya,
dan sebagainya. Orang yang hatinya lembut dapat dilihat dari tutur katanya yang
juga lembut. Sebaliknya orang yang hatinya kasar kata-katanya juga cenderung
kasar. Demikianlah, bahasa mencerminkan hati dan kepribadian seseorang.
Identitas kebahasaan suatu bangsa sangat menentukan kualitas bangsa itu.
Bahasa Indonesia bagi bangsa kita bukanlah sekedar alat komunikasi tanpa
jiwa. Bahasa Indonesia sesungguhnya adalah bahasa perjuangan yang mampu
melecutkan nasionalisme dan memberi semangat untuk pantang menyerah dan
terus berjuang meskipun dengan risiko nyawa. Semangat Sumpah Pemuda yang
diikrarkan oleh pada tanggal 28 Oktober 1928, adalah salah satu penyemangat
para pejuang bangsa ini untuk merebut tiap jengkal bumi pertiwi. Sumpah
Pemuda yang berisi ikrar untuk menjadi satu dalam tanah air, bangsa, dan bahasa
merupakan awal dari semangat untuk mewujudkan kemerdekaaan Republik
Indonesia. Ikrar itu telah meluruhkan segala perbedaan: suku, agama, ras, dan
golongan, serta menyatukan bangsa ini dalam sumpah setia, Sumpah Pemuda.
Bahasa merupakan salah satu unsur identitas suatu bangsa. Begitu pula bahasa
Indonesia merupakan salah satu identitas nasional bagi bangsa dan Negara
Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa
persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya satu
hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 18
Agustus 1945, bersamaan dengan mulai berlakunya Undang-undang Dasar
Republik Indonesia 1945.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak
ragam bahasa Melayu. Ragam yang dipakai sebagai dasar bagi bahasa Indonesia

3
adalah bahasa Melayu Riau. Pada Abad ke-19, bahasa Melayu merupakan bahasa
penghubung antaretnis dan suku-suku di kepulauan nusantara. Selain menjadi
bahasa penghubung antaretnis dan suku-suku, dulu bahasa Melayu juga menjadi
bahasa penghubung dalam kegiatan perdagangan internasional di wilayah
nusantara. Trasaksi antarpedagang, baik yang berasal dari pulau-pulau di wilayah
nusantara maupun orang asing, menggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu.
Bahasa melayu kala itu adalah lingua franca (bahasa pengantar dalam pergaulan)
antarwarga nusantara dan dengan pendatang dari manca negara. Hal ini
merupakan salah satu alasan mengapa bahasa Melayu ditetapkan sebagai dasar
bagi bahasa Indonesia.
Alasan lain mengapa bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa nasional bagi
negara Indonesia adalah karena hal-hal sebagai berikut. Dibandingkan dengan
bahasa daerah lain, misalnya bahasa Jawa, sesungguhnya jumlah penutur bahasa
Melayu tidak lebih banyak. Dipandang dari jumlah penuturnya, bahasa Jawa jauh
lebih besar karena menjadi bahasa ibu bagi sekitar setengah penduduk Indonesia;
sedangkan bahasa Melayu dipakai tidak lebih dari sepersepuluh jumlah penduduk
Indonesia. Bahasa Melayu ragam Riau merupakan bahasa yang kurang berarti.
Bahasa itu diperkirakan dipakai hanya oleh penduduk kepulauan Riau, Linggau
dan penduduk pantai-pantai di Sumatera. Namun di sinilah letak kearifan para
pemimpin kita dahulu. Mereka tidak memilih bahasa daerah yang besar sebagai
dasar bagi bahasa Indonesia karena dikhawatirkan akan dirasakan sebagai
pengistimewaan yang berlebihan.
Alasan kedua, mengapa bahasa Melayu dipilih sebagai dasar bagi bahasa
Indonesia adalah karena bahasa itu sederhana sehingga lebih mudah dipelajari dan
dikuasai. Bahasa Jawa lebih sulit dipelajari dan dikuasai karena kerumitan
strukturnya, tidak hanya secara fonetis dan morfologis tetapi juga secara leksikal.
Seperti diketahui, bahasa Jawa memiliki ribuan morfem leksikal dan stuktur
gramatikal yang banyak dan rumit. Penggunaan bahasa Jawa juga dipengaruhi
oleh struktur budaya masyarakat Jawa yang cukup rumit. Ketidaksederhaan itulah
yang menjadi alasan mengapa bukan bahasa Jawa yang dipilih sebagai dasar bagi
bahasa Indonesia. Yang sangat menggembirakan adalah bahwa orang-orang Jawa

4
pun menerima dengan ikhlas kebedaraan bahasa Melayu sebagai dasar bagi
bahasa Indonesia, meskipun jumlah orang Jawa jauh lebuih banyak daripada
sukusuku lain.
Penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca atau bahasa pergaulan bagi
suku-suku di wilayah nusantara dan orang-orang asing yang datang ke wilayah
nusantara dibuktikan dalam berbagai temuan prasasti dan sumber-sumber
dokumen. Dari dokumen-dokumen yang ditemukan diketahui bahwa orang-orang
Cina, Persia dan Arab, pernah datang ke kerajaan Sriwijaya di Sumatera untuk
belajar agama Budha. Pada sekitar abad ke-7 kerajaan Sriwijaya merupakan pusat
internasional pembelajaran agama Budha, dan negara yang terkenal sangat maju
perdagangannya. Kala itu, bahasa Melayu merupakan bahasa pengantar dalam
pembelajaran agama Budha dan perdagangan di Asia Tenggara. Bukti-bukti yang
menyatakan hal itu adalah prasasti-prasasti yang ditemukan di Kedukan Bukit di
Palembang (683 M), Talang Tuwo di Palembang (684 M), Kota Kapur (686
M), Karang Birahi di Jambi (688 M). Prasasti-prasasti itu bertuliskan huruf
Pranagari dan berbahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu Kuno ternyata tidak
hanya dipakai pada masa kerajaan Sriwijaya saja karena di Jawa Tengah (Ganda
Suli) juga ditemuka prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor berangka tahun
942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu kuno.
Pada masa keemasan kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu juga dipakai sebagai
bahasa kebudayaan dan pendidikan. Waktu itu bahasa Melayu dipakai dalam
buku-buku pelajaran agama Budha. Seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing yang
belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain menyatakan bahwa di Sriwijaya
kala itu ada bahasa yang bernama Koen Loen yang berdampingan dengan bahasa
Sanskerta. Sebutan Koen-Luen bermakna bahasa perhubungan (lingua franca),
yaitu bahasa Melayu (Ali Syahbana, 1971).
Sejarah bahasa Melayu yang telah lama menjadi lingua franca tampak makin
jelas dari peninggalan-peninggalan kerajaan Islam, antara lain tulisan pada batu
nisan di Minye Tujah, Aceh (tahun 1380 M) dan karya sastra abad 16-17,
misalnya syair Hamzah Fansuri yang berisi hikayat raja-raja Pasai dan buku
Sejarah Melayu, yaitu Tajussalatin dan Bustanussalatin. Selanjutnya, bahasa

5
Melayu menyebar ke seluruh pelosok nusantara bersama dengan menyebarnya
agama Islam di wilayah.
Meskipun dipakai oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia
bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Bahasa ibu bagi sebagian besar
warga Indonesia adalah salah satu dari 748 bahasa daerah yang ada di Indonesia.
Dalam pemakaian sehari-hari, Bahasa Indonesia kerap dicampuradukkan dengan
dialek Melayu lain atau bahasa daerah penuturnya. Meskipun demikian, Bahasa
Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra,
perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,
sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua
warga Indonesia.
Telah disampaikan bahwa Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu,
sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang telah
digunakan sebagai lingua franca di Nusantara sejak dulu. Dari prasasti-prasasti
dan peninggalan kuno diketahui bahwa bahasa Melayu telah digunakan sejak
jaman kerjaan Sriwijaya, yang kemudian berkembang pesat penggunaannya
karena diperkaya dengan kata-kata dan istilah pinjaman dari bahasa Sanskerta,
suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini
pun cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya
di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra,
kepala, kawin, dan kaca adalah kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta.

6
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

Bahasa Indonesia yang kini kita gunakan sebagai bahasa resmi di Negara kita
berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang kita gunakan tersebut
merupakan bahasa Melayu tua yang sampai sekarang masih dapat kita selidiki
sebagai peninggalan masa lampau. Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh
para ahli, bahkan menghasilkan penemuan bahwa bahasa Austronesia itu juga
mempunyai hubungan kekeluargaan dengan bahasabahasa yang dipergunakan di
daratan Asia tenggara.
Bukan baru sekarang bahasa Indonesia atau bahasa Melayu itu digunakan
sebagai bahasa penghubung di beberapa negara Asia Tenggara. Sudah sejak dulu
kala, bahasa Indonesia atau bahasa Melayu itu dikenal oleh penduduk daerah yang
bahasa sehari-harinya bukan bahasa Indonesia atau Melayu. Hal tersebut
dibuktikan oleh adanya beberapa prasasti yang ditemukan di daerah-daerah yang
bahasa sehari-hari penduduknya bukan bahasa Indonesia atau Melayu. Tentu saja
ada juga ditemukan di daerah yang bahasa sehari-hari penduduknya sudah
menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu. Sejarah perkembangan bahasa ini
dapat dibuktikan dengan adanya
prasasti Kedukan Bukit (683 M), Talang Tuo (684 M), Kota Kapur (686 M),
Karah Barahi (686 M).
Ketika bangsa Eropa pertama kali datang ke Indonesia, bahasa Melayu sudah
mempunyai kedudukan yang luar biasa di tengah-tengah bahasabahasa daerah di
Nusantara ini. Pigafetta yang mengikuti perjalanan Magelhaen mengelilingi dunia,
ketika kapalnya berlabuh di Tidore pada tahun 1521 menuliskan kata-kata
Melayu. Itu merupakan bukti yang jelas bahwa bahasa Melayu yang berasal dari
bagian barat Indonesia pada zaman itu pun sudah menyebar sampai ke bagian
Indonesia yang berada jauh di sebelah timur.
Demikian juga menurut Jan Huygen van Lischoten, pelaut Belanda yang 60
tahun kemudian berlayar ke Indonesia, mengatakan bahwa bahasa Melayu bukan
saja sangat harum namanya tetapi juga dianggap bahasa yang terhormat di antara

7
bahasa-bahasa negeri timur. Hal tersebut dapat dibandingkan dengan orang yang
tidak dapat atau tidak tahu bahasa Indonesia, seperti orang yang tidak tahu dan
tidak dapat berbahasa Prancis di Negeri Belanda pada zaman itu. Berarti hal
tersebut menunjukkan bahwa bahasa Indonesia sudah demikian terkenal dan
terhormat pada masa itu. Pada tanggal 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia resmi
menjadi bahasa persatuan atau bahasa nasional. Nama bahasa Indonesia tersebut
sifatnya adalah politis, karena setujuan dengan nama negara yang diidam-idamkan
yaitu Bangsa Indonesia. Sifat politik ditimbulkan karena keinginan agar bangsa
Indonesia mempunyai semangat juang bersama-sama dalam memperoleh
kemerdekaan agar lebih merasa terikat dalam satu ikatan: Satu Tanah Air, Satu
Bangsa, Satu Bahasa. Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia diikrarkan melalui
butir-butir Sumpah pemuda sebagai berikut.
Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu,
tanah Indonesia.
Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia.
Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.
Pada ketiga ikrar tersebut terdapat perbedaan ikrar antara ikrar ketiga dengan
ikrar pertama dan kedua yaitu pada kata mengaku dan menjunjung. Ikrar pertama
dan kedua menyatakan ”mengaku bertumpah darah yang satu dan mengaku
berbangsa yang satu”. Artinya, tanah air dan bangsa kami hanya satu yaitu
Indonesia. Berbeda dengan ”menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Ikrar ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang
digunakan dalam mempersatukan bangsa Indonesia. Tidak berarti bahwa, bahasa
daerah dihapuskan. Bahasa daerah tetap harus dijaga dan dilestarikan sebagai
kekayaan budaya bangsa. Jadi, sangatlah keliru jika ada warga daerah yang malu
menggunakan bahasa daerahnya dalam berkomunikasi.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan diartikan sebagai bahasa yang
digunakan di dalam kegiatan berkomunikasi yang melibatkan banyak tokoh atau

8
masyarakat yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Itulah sebabnya
bahasa Indonesia memiliki fungsi dan kedudukan sebagai bahasa persatuan.
Apa sebab justru bahasa melayu yang dijadikan bahasa nasional? Mengapa
bukan bahasa Jawa atau bahasa Sunda yang jumlah pemakaiannya meliputi
hampir seluruh penduduk Indonesia. Juga bahasa yang kesusastraannya sudah
maju dibandingkan dengan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa daerah lainnya?
Prof. Dr. Slametmulyana mengemukakan faktor-faktor yang menjadi
penyebabnya, sebagai berikut.
1. Sejarah telah membantu penyebaran bahasa melayu. Bahasa Melayu
merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa perhubungan atau bahasa
perdagangan. Dengan bantuan para pedagang, bahasa Melayu disebarkan ke
seluruh pantai Nusantara terutama di kota-kota pelabuhan. Bahasa
Melayu menjadi bahasa penghubung antara individu.
2. Bahasa Melayu mempunyai sistem yang sederhana, mudah dipelajari. Tak
dikenal tingkatan bahasa seperti dalam bahasa Jawa atau bahasa Bali, atau
perbedaan pemakaian bahasa kasar dan halus seperti dalam bahasa Sunda atau
bahasa Jawa.
3. Faktor psikologis, yaitu suku bangsa Jawa dan Sunda telah dengan sukarela
menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sematamata didasarkan pada
keinsafan akan manfaatnya ada keikhlasan mengabaikan semangat dan rasa
kesukuan karena sadar akan perlunya kesatuan dan persatuan.
4. Kesanggupan bahasa itu sendiri juga menjadi salah satu faktor penentu. Jika
bahasa itu tidak mempunyai kesanggupan untuk dapat dipakai menjadi bahasa
kebudayaan dalam arti yang luas, tentulah bahasa itu tidak akan dapat
berkembang menjadi bahasa yang sempurna. Pada kenyataannya dapat dibuktikan
bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang dapat dipakai untuk merumuskan
pendapat secara tepat dan mengutarakan perasaan secara jelas.
Prof. Soedjito menjelaskan secara sederhana alasan mengapa bahasa Melayu
yang dijadikan landasan lahirnya bahasa Indonesia sebagai berikut.
1. Bahasa Melayu telah digunakan sebagai lingua franca (bahasa perhubungan)
selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan tanah air kita (Nusantara).

9
Hal tersebut tidak terjadi pada bahasa Jawa, Sunda, ataupun bahasa daerah
lainnya.
2. Bahasa Melayu memiliki daerah persebaran yang paling luas dan melampaui
batas-batas wilayah bahasa lain meskipun penutur aslinya tidak sebanyak penutur
asli bahasa Jawa, Sunda, Madura, ataupun bahasa daerah lainnya.
3. Bahasa Melayu masih berkerabat dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya
sehingga tidak dianggap sebagai bahasa asing.
4. Bahasa melayu bersifat sederhana, tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa
sehingga mudah dipelajari. Berbeda dengan bahasa Jawa, Sunda, Madura yang
mengenal tingkat-tingkat bahasa.
5. Bahasa melayu mampu mengatasi perbedaan-perbedaan bahasa antarpenutur
yang berasal dari berbagai daerah. Dipilihnya bahasa Melayu menjadi bahasa
persatuan tidak menimbulkan perasaan kalah terhadap golongan yang lebih kuat
dan tidak ada persaingan antarbahasa daerah.
Sehubungan dengan hal yang terakhir itu, kita wajib bersyukur atas kerelaan
mereka membelakangkan bahasa ibunya demi cita-cita yang lebih tinggi, yakni
cita-cita nasional. Tiga bulan menjelang Sumpah Pemuda, tepatnya 15 Agustus
1926, Soekarno dalam pidatonya menyatakan bahwa perbedaan bahasa di antara
suku bangsa Indonesia tidak akan menghalangi persatuan, tetapi makin luas
bahasa Melayu (bahasa Indonesia) itu tersebar, makin cepat kemerdekaan
Indonesia terwujud.
Pada zaman Belanda ketika Dewan Rakyat dibentuk, yakni pada 18 Mei 1918
bahasa Melayu memperoleh pengakuan sebagai bahasa resmi kedua di samping
bahasa Belanda yang berkedudukan sebagai bahasa resmi pertama di dalam
sidang Dewan rakyat. Sayangnya, anggota bumiputra tidak banyak yang
memanfaatkannya.
Masalah bahasa resmi muncul lagi dalam Kongres Bahasa Indonesia pertama
di Solo pada tahun 1938. Pada kongres itu ada dua hal hasil keputusan penting
yaitu bahasa Indonesia menjadi (1) bahasa resmi dan (2) bahasa pengantar dalam
badan-badan perwakilan dan perundangundangan.

10
Demikianlah ”lahir”nya bahasa Indonesia bukan sebagai sesuatu yang tiba-
tiba jatuh dari langit, tetapi melalui perjuangan panjang disertai keinsafan,
kebulatan tekad, dan semangat untuk bersatu. Api perjuangan itu berkobar terus
untuk mencapai Indonesia merdeka yang sebelum itu harus berjuang melawan
penjajah. Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia dan Jepang tidak dapat
menggunakan bahasa lain selain bahasanya sendiri. Bahasa Belanda jatuh dari
kedudukannya sebagai bahasa resmi. Bahkan, dilarang untuk digunakan. Jepang
mengajarkan bahasa Jepang kepada orang Indonesia dan bermaksud
menggunakan bahasa Jepang sebagai pengganti bahasa Belanda untuk digunakan
oleh orang Indonesia. Akan tetapi, usaha itu tidak dapat dilakukan secara cepat
seperti waktu dia menduduki Indonesia. Karena itu, untuk sementara Jepang
memilih jalan yang praktis yaitu memakai Indonesia yang sudah tersebar di
seluruh kepulauan Indonesia. Satu hal yang perlu dicatat bahwa selama zaman
pendudukan Jepang 1942-1945 bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa
pengantar di semua tingkat pendidikan.
Demikianlah, Jepang terpaksa harus menumbuhkan dan mengembangkan
bahasa Indonesia secepat-cepatnya agar pemerintahannya dapat berjalan dengan
lancar. bagi orang Indonesia hal itu merupakan keuntungan besar terutama bagi
para pemimpin pergerakan kemerdekaan. Dalam waktu yang pendek dan
mendesak mereka harus beralih dari bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia. Selain
itu, semua pegawai negeri dan masyarakat luas yang belum paham akan bahasa
Indonesia, secara cepat dapat memahami bahasa Indonesia.
Waktu Jepang menyerah, tampak bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan makin kuat kedudukannya. Berkaitan dengan hal di atas, semua
peristiwa tersebut menyadarkan kita tentang arti bahasa nasional. Bahasa nasional
identik dengan bahasa nasional yang didasari oleh nasionalisme, tekad, dan
semangat kebangsaan. Bahasa nasional dapat terjadi meskipun eksistensi negara
secara formal belum terwujud. Sejarah bahasa Indonesia berjalan terus seiring
dengan sejarah bangsa pemiliknya.

11
BAB III
KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

Kedudukan diartikan sebagai status relatif bahasa sebagai system lambang


nilai budaya yang dirumuskan atas dasar nilai sosial bahasa yang bersangkutan.
Sedangkan fungsi adalah nilai pemakaian bahasa yang dirumuskan sebagai tugas
pemakaian bahasa itu dalam kedudukan yang diberikan kepadanya.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa nasional dan sebagai
bahasa negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dimiliki
sejak diikrarkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, sedangkan
kedudukan sebagai bahasa negara dimiliki sejak diresmikan Undang-Undang
Dasar 1945 (18 Agustus 1945). Dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 tercantum
”Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia”.

1. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional


Salah satu kedudukan bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa nasional.
Kedudukan sebagai bahasa nasional tersebut dimiliki oleh bahasa Indonesia sejak
dicetuskannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. kedudukan ini
dimungkinkan oleh kenyataan bahwa bahasa Melayu, yang mendasari bahasa
Indonesia, telah dipakai sebagai lingua franca selama berabad-abad sebelumnya
di seluruh kawasan tanah air kita. Dan ternyata di dalam masyarakat kita tidak
terjadi persaingan bahasa, yaitu persaingan di antara bahasa daerah yang satu dan
bahasa daerah yang lain untuk mencapai kedudukan sebagai bahasa nasional. Di
dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai
(1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat
pemersatu berbagai suku bangsa yang berlatar belakang sosial budaya dan bahasa
yang berbeda, dan (4) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya.
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia mencerminkan nilai-
nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebanggaan kita. Melalui bahasa
nasional, bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang
dijadikannya pegangan hidup. Atas dasar itulah, bahasa Indonesia kita pelihara

12
dan kita kembangkan. Begitu pula rasa bangga dalam memakai bahasa Indonesia
wajib kita bina terus. Rasa bangga merupakan wujud sikap positif terhadap bahasa
Indonesia. Sikap positif itu terungkap jika lebih suka menggunakan bahasa
Indonesia dari pada bahasa atau katakata asing.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dapat menimbulkan
wibawa, harga diri, dan teladan bagi bangsa lain. Hal ini dapat terjadi jika bangsa
Indonesia selalu berusaha membina dan mengembangkan bahasa Indonesia secara
baik sehingga tidak tercampuri oleh unsur-unsur bahasa asing (terutama bahasa
Inggris). Untuk itu kesadaran akan kaidah pemakaian bahasa Indonesia harus
selalu ditingkatkan. Percampuran bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dalam
berbahasa
masih sering kita temukan, seperti contoh berikut ini.
Papan usaha : Anditya Tailor; Service Televisi.
Ujaran : ”Aku lebih suka belanja di supermarket daripada di pasar tradisional”.
Bahasa campuran seperti di atas tidak bagus dipandang dari segi kebanggaan
suatu bangsa dan tidak benar dipandang dari segi kebahasaan. Agar pemakai dapat
dijadikan teladan dan dihormati orang lain terutama orang asing, pemakaian
bahasa seperti contoh di atas harus diubah dan
diperbaiki menjadi seperti berikut ini.
Papan usaha : Penjahit Anditya; memperbaiki Televisi.
Ujaran : ”Aku lebih suka belanja di swalayan dari pada di pasar tradisional”.

Sebagai alat pemersatu, bahasa Indonesia mampu menunjukkan fungsinya


yaitu mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, agama,
budaya, dan bahasa ibunya. hal itu tampak jelas sejak diikrarkannya Sumpah
Pemuda. Pada zaman Jepang yang penuh kekerasan dan penindasan, bahasa
Indonesia digembleng menjadi alat pemersatu yang ampuh bagi bangsa Indonesia.
Dengan bahasa nasional itu kita letakkan kepentingan nasional di atas kepentingan
daerah atau golongan.
Sebagai alat perhubungan, bahasa Indonesia mampu memperhubungkan
bangsa Indonesia yang berlatar belakang sosial budaya dana bahasa ibu yang

13
berbeda-beda. Berkat bahasa Indonesia, suku-suku bangsa yang berbeda-beda
bahasa ibu itu dapat berkomunikasi secara akrab dan lancar sehingga
kesalahpahaman antarindividu antarkelompok tidak pernah terjadi. Karena bahasa
Indonesia pula kita dapat menjelajah ke seluruh pelosok tanah air tanpa hambatan.
Sehubungan dengan hal tersebut, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai
suku bangsa mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak
perlu meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan pada nilai-nilai sosial
budaya serta latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan. Dengan bahasa
nasional, kita dapat meletakkan kepentingan nasional kita jauh di atas kepentingan
daerah dan golongan kita.
Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan
antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula melaksanakan fungsinya
sebagai alat pengungkapan perasaan. Jika beberapa tahun yang lalu masih ada
orang yang merasa bahwa bahasa Indonesia belum sanggup mengungkapkan
nuansa perasaan yang halus, maka sekarang dapat kita lihat dalam kenyataan
bahwa seni sastra, baik yang tertulis maupun lisan, serta dunia perfilman kita telah
berkembang sedemikian rupa sehingga nuansa perasaan yang betapa halus pun
dapat diungkapkan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan tersebut
tentulah menambah tebalnya rasa bangga kita akan kemampuan bahasa nasional
yaitu bahasa Indonesia.
2. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara
Selain kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia jugaberkedudukan
sebagai bahasa negara, sesuai dengan ketentuan yang tertera di dalam Undang-
Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36. Di dalam kedudukan sebagai bahasa
negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (1) bahasa resmi negara; (2) bahasa
pengantar di dalam dunia pendidikan; (3) alat perhubungan dalam tingkat nasional
untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta
kepentingan pemerintah; dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu
pengetahuan, dan teknologi.
Salah satu fungsi bahasa Indonesia di dalam kedudukannya sebagai bahasa
negara adalah pemakaiannya sebagai bahasa resmi kenegaraan. Di dalam

14
hubungan dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai di dalam segala upacara,
peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik secara lisan maupun dalam bentuk
tulisan.
Dokumen-dokumen dan keputusan-keputusan serta surat-surat yang
dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya seperti Dewan
Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditulis di dalam bahasa
Indonesia. Pidato-pidato, terutama pidato kenegaraan, ditulis dan diucapkan di
dalam bahasa Indonesia. Hanya di dalam keadaan tertentu, demi kepentingan
komunikasi antarbangsa, kadang-kadang pidato resmi ditulis dan diucapkan di
dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris.
Demikian pula halnya dengan pemakaian bahasa Indonesia oleh warga
masyarakat kita di dalam hubungan dengan upacara, peristiwa, dan kegiatan
kenegaraan. Dengan kata lain, komunikasi timbal balik antarpemerintah dan
masyarakat berlangsung dengan mempergunakan bahasa Indonesia.
Untuk melaksanakan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan dengan
sebaik-baiknya, pemakai bahasa Indonesia di dalam pelaksanaan administrasi
pemerintahan perlu senantiasa dibina dan dikembangkan, penguasaan bahasa
Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan di dalam
pengembangan ketenagaan seperti penerimaan karyawan baru, kenaikan pangkat
baik sipil maupun militer, dan pemberian tugas-tugas khusus baik di dalam
maupun di luar negeri. Di samping itu, mutu kebahasaan siaran radio dan televisi
perlu pula senantiasa dibina dan ditingkatkan.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi
pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman
kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia kecuali di
daerah-daerah bahasa seperti daerah bahasa Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura,
Bali, dan Makasar. Di daerah-daerah bahasa ini bahasa daerah yang bersangkutan
dipakai sebagai bahasa pengantar sampai dengan tahun ketiga pendidikan dasar.
Sebagai alat perhubungan tingkat nasional, bahasa Indonesia dipakai sebagai
alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, alat
perhubungan antardaerah dan antarsuku, dan juga sebagai alat perhubungan dalam

15
masyarakat yang latar belakang sosial budaya dan bahasa yang sama. Dewasa ini
orang sudah banyak menggunakan bahasa Indonesia apapun masalah yang
dibicarakan, apakah itu masalah yang bersifat nasional maupun kedaerahan.
Sebagai alat pengembang kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, dan
teknologi, bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa yang digunakan untuk
membina dan mengembangkan kebudayaan nasional yang memiliki ciri-ciri dan
identitas sendiri. Di samping itu, bahasa Indonesia juga dipekai untuk memperluas
ilmu pengetahuan dan teknologi modern baik melalui penulisan buku-buku teks,
penerjemahan, penyajian pelajaran di lembagalembaga pendidikan umum maupun
melalui sarana-sarana lain di luar lembaga pendidikan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa Indonesia merupakan
bahasa terpenting di kawasan republik kita ini. Penting tidaknya suatu bahasa
didasari oleh tiga faktor, yaitu (1) jumlah penuturnya, (2) luas penyebarannya, dan
(3) peranannya sebagai sarana ilmu, susastra, dan ungkapan budaya yang bernilai
tinggi.
Penutur suatu bahasa yang berjumlah sedikit menutup kemungkinan bahasa
tersebut memiliki peranan yang penting. Artinya, jika ada dua bahasa yang satu
jumlah penuturnya sedikit dan bahasa yang satu memiliki jumlah penutur yang
banyak, maka bahasa dengan jumlah penutur sedikit akan kurang mendapat
perhatian dari penutur lainnya.
Luas penyebaran suatu bahasa menunjukkan banyak hal. Pertama, bahasa
tersebut banyak disenangi oleh pengguna. kedua, bahasa tersebut mudah dipelajari
dan enak digunakan. Ketiga, masyarakat penggunanya adalah orang-orang yang
memiliki wibawa, prestasi dan prestise yang tinggi sehingga masyarakat dari luar
bahasa itu berasal akan merasa bangga jika menggunakan bahasa tersebut. Sebuah
bahasa menjadi sangat penting jika memiliki fungsi atau selalu digunakan dalam
penyebaran ilmu pengetahuan, sastra, dan teknologi. Hanya orang-orang terpelajar
yang selalu berusaha menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan baik
sastra maupun teknologi. Tidak dapat dibayangkan jika bahasa yang berfungsi
sebagai pengembang ilmu pengetahuan tersebut tidak ada.

16
Demikian saudara pembahasan kita tentang sejarah, kedudukan, dan fungsi
bahasa Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, mencintai dan
menjunjung martabat bangsa dan negara menjadi kewajiban yang harus selalu
dilaksanakan. Bangga menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
merupakan satu cara menjaga martabat bangsa dan Negara dihadapan bangsa-
bangsa lain.

17
BAB IV
BAHASA INDONESIA BAKU

Bahasa Indonesia baku ialah bahasa Indonesia yang digunakan orang-orang


terdidik dan yang dipakai sebagai tolak bandingan penggunaan bahasa yang
dianggap benar. Ragam bahasa Indonesia yang baku ini biasanya ditandai oleh
adanya sifat kemantapan dinamis dan ciri kecendekiaan. Yang dimaksud dengan
kemantapan dinamis ini ialah bahwa bahasa tersebut selalu mengikuti kaidah atau
aturan yang tetap dan mantap namun terbuka untuk menerima perubahan yang
bersistem. Ciri kecendekiaan bahasa baku dapat dilihat dari kemampuannya dalam
mengungkapkan proses pemikiran yang rumit di berbagai bidang kehidupan dan
ilmu pengetahuan. Bahasa Indonesia baku dipakai dalam:
a. komunikasi resmi, seperti dalam surat-menyurat resmi, peraturan pengumuman
instansi resmi atau undang-undang;
b. penulisan ilmiah, seperti laporan penelitian, makalah, skripsi, disertasi dan
buku-buku ilmu pengetahuan;
c. pembicaraan di muka umum, seperti dalam khotbah, ceramah, kuliah pidato;
dan pembicaraan dengan orang yang dihormati atau yang belum dikenal.

18
BAB V
RAGAM BAHASA

Dalam menjalankan fungsinya sebagai alat ekspresi diri dan alat komunikasi,
bahasa yang digunakan penutur memiliki ragam dan laras yang berbeda-beda,
sesuai tujuan dan bentuk ekspresi dan komunikasi yang melatarbelakanginya.
Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang terbentuk karena pemakaian bahasa.
Pemakaian bahasa itu dibedakan berdasarkan media yang digunakan, topik
pembicaraan, dan sikap pembicaranya. Di pihak lain, laras bahasa adalah
kesesuaian antara bahasa dan fungsi pemakaiannya. Fungsi pemakaian bahasa
lebih diutamakan dalam laras bahasa daripada aspek lain dalam ragam bahasa.
Selain itu, konsepsi antara ragam dan laras bahasa saling terkait dalam
perwujudan aspek komunikasi bahasa. Laras bahasa apa pun akan memanfaatkan
ragam bahasa. Misalnya, laras bahasa lisan dan ragam bahasa tulis.
4.1.1 Ragam dan Laras Bahasa
Istilah ragam bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
(2005:920) bermakna variasi bahasa menurut pemakaian, topik yang dibicarakan,
hubungan pembicara dan mitra bicara, dan medium pembicaraannya. Berdasarkan
makna istilah ragam bahasa ini, maka dalam berkomunikasi seseorang perlu
memperhatikan aspek: (1) situasi yang dihadapi, (2 permasalahan yang hendak
disampaikan, (3) latar belakang pendengar atau pembaca yang dituju, dan (4)
medium atau sarana bahasa yang digunakan. Dari keempat aspek dalam ragam
bahasa tersebut, yang lebih diutamakan adalah aspek situasi yang dihadapi dan
aspek medium bahasa yang digunakan dibandingkan kedua aspek yang lain.
a. Jenis Ragam Bahasa
Berdasarkan cara penyampaiaannya, ragam bahasa dapat dipilah menjadi
ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis. Berdasarkan situasi pemakaiannya,
ragam bahasa terdiri atas tiga jenis, yaitu ragam bahasa formal, ragam bahasa
semiformal, dan ragam bahasa nonformal. Berdasarkan isinya, ragam bahasa
dapat dirinci menjadi ragam bahasa ilmiah, semi ilmiah, dan nonilmiah. Ragam
bahasa formal juga disebut ragam bahasa resmi; sebaliknya ragam bahasa

19
nonformal dikenal juga sebagai ragam bahasa tidak resmi. Setiap ragam bahasa
dapat diidentifikasikan ke dalam situasi pemakaiannya. Misalnya, ragam bahasa
lisan diidentifikasikan sebagai ragam bahasa formal, semiformal, atau nonformal.
Begitu juga ragam tulis juga dapat didentifikasikan ke dalam ragam bahasa
formal, semiformal, atau nonformal.
Ciri-ciri ragam bahasa formal adalah sebagai berikut:
1) memiliki kemantapan dinamis dalam pemakaian kaidah sehingga tidak kaku,
dan dimungkinkan adanya perubahan kosa kata dan istilah yang lebih tepat dan
benar;
2) menggunakan fungsi-fungsi gramatikal secara konsisten dan eksplisit;
3) menggunakan bentukan kata yang lengkap dan tidak disingkat;
4) menggunakan imbuhan (afiksasi) secara eksplisit dan konsisten;
5) menggunakan ejaan yang baku pada ragam bahasa tulis dan lafal yang baku
pada ragam bahasa lisan.
Berdasarkan kriteria ragam bahasa formal di atas, pembedaan antara ragam
formal, ragam semiformal, dan ragam nonformal dapat diamati dari hal berikut:
(1) Pokok masalah yang sedang dibahas, (2) hubungan antara pembicara dan
pendengar, (3) medium bahasa yang digunakan lisan atau tulis, (4) area atau
lingkungan pembicaraan terjadi, dan (5) situasi ketika pembicaraan berlangsung.
Dari kelima pembedaan ragam bahasa di atas, perbedaan antara ragam bahasa
formal dan ragam bahasa nonformal yang paling mencolok adalah sebagai
berikut:
1) Penggunaan kata sapaan dan kata ganti, misalnya: saya dan gue/ogut; anda dan
lu/situ/ente
2) Penggunaan imbuhan (afiksasi), yaitu awalan (prefix), akhiran (sufiks),
gabungan awalan dan akhiran (simulfiks), dan imbuhan terpisah (konfiks),
misalnya:
Awalan: mengapa – apaan, mengopi – ngopi
Akhiran: laporan – laporin; dimarahi – marahin
Simulfiks: menemukan – nemuin; menyerahkan - nyerahin
Konfiks: kesalahkan – nyalahin; pembetulan – betulin

20
3) Penggunaan unsur fatik (persuasi) lebih sering muncul dalam ragam bahasa
nonformal, seperti sih, deh, dong,kok,lho, ya kale, gitu ya.
4) Penghilangan fungsi kalimat (S-P-O-Pel-Ket) dalam ragam bahasa nonformal
yang menganggu penyampaian suatu pesan.Misalnya,
Penghilangan subjek : Kepada hadirin harap berdiri.
Penghilangan predikat : Laporan itu untuk pimpinan.
Penghilangan objek : Penyiar melaporkan dari Medan.
Penghilangan pelengkap : Mereka berdiskusi dilantai II.
Ragam Bahasa Lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahasa yang dilafalkan langsung oleh penuturnya
kepada pendengar atau mitra bicaranya. Makna yang terkandung dalam ragam
bahasa lisan ditentukan oleh intonasi, seperti pada contoh kalimat: (1) Bapak saya
akan datang besaok pagi. Kalimat (1) bisa dimakna “bapak yang akan datang
besok pagi” jika intonasinya: (1a) Bapak/ saya akan datang besok pagi.
Sebaliknya, makna kalimat (1) bisa “bapak saya yang akan datang besok pagi”
jika intonasinya: (1b) Bapak saya/ akan datang besok pagi. Kemungkinan ke-3
makna kalimat (1) adalah “bapak dan saya yang akan datang besok pagi” jika
intonasinya menjadi: (1c) Bapak/ saya/ akan datang besok pagi.
Ragam Bahasa Tulis
Ragam bahasa tulis adalah ragam bahasa yang ditulis atau dicetak dengan
memperhatikan penempatan tanda baca dan ejaan secara benar. Ragam bahasa
tulis dapat bersifat formal, semiformal, dan nonformal. Dalam penulisan makalah
seminar dan skripsi, penulis harus menggunakan ragam bahasa formal; sedangkan
ragam bahasa semiformal digunakan dalam perkuliahan, dan ragam bahasa
nonformal digunakan interaksi keseharian secara informal.
b. Laras Bahasa
Laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan fungsi pemakaiannya.
Laras bahasa juga dikenal dengan gaya atau style. Pemakaian bahasa kalangan
kedokteran tentu berbeda dengan pemakaian bahasa teknisi bangunan. Bahasa
yang digunakan orang-orang muda berbeda dengan bahasa kalangan lanjut usia.
Bahasa militer berbeda dengan bahasa bangsawan. Begitu pula bahasa para guru

21
atau dosen berbeda dengan bahasa sekumpulan sopir bis. Laras bahasa terkait
langsung dengan lingkung bidang (home style)
pemakainya. Para ilmuwan menggunakan bahasa ilmiah laras keilmuan yang
ditandai dengan pemakaian kosa kata, istilah kelimuan, dan kalimat-kalimat yang
mencerminkan kelompok mereka. Sementara di kalangan para politikus
digunakan bahasa laras politik yang dicirikan dengan penggunaan kosa kata,
istilah, atau kalimat-kalimat bernuansa politik. Telah disampaikan bahwa laras
bahasa terkait dengan bahasa dan penggunaannya. Dalam ilmu sosiolinguistik,
laras bahasa juga disebut register(Hudson, 1980: 48), yaitu satu istilah teknik
untuk menerangkan perlakuan bahasa (linguistik behaviour) seorang individu
dalam berbahasa. Pembahasan tentang laras bahasa tidak terlepas dari dua konsep,
yaitu pengguna (penutur atau penulis) dan penggunaan. Pengguna adalah orang
yang menggunakan bahasa yang menyebabkan timbulnya dialek. Misalnya,
bahasa Melayu dialek Jambi, bahasa Melayu dialek Padang, bahasa Jawa dialek
Banyumas, bahasa Jawa dialek Surabaya, dan lain-lain. Penggunaaan adalah
bagaimana sesuatu bahasa itu digunakan secara berbeda-beda dalam pelbagai
situasi. Penggunaan bahasa yang berbeda-beda ini melahirkan laras, yaitu
perbedaan berdasarkan situasi dan faktor lain yang melahirkan kata-kata yang
berbeda mengikut keadaan. Misalnya, kata-kata yang digunakan untuk
bersendaugurau berbeda dengan kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan
pesan.
Penggunaan bahasa yang berbeda-beda berdasarkan faktor-faktor sosial
seperti keadaan dan tempat disebut laras; sedangkan penggunaan bahasa yang
berbedabeda mengikut faktor geografi atau daerah disebut sebagai dialek. Laras
bahasa biasanya berubah-ubah mengikut situasi. Ciri-ciri laras yang penting ialah
perbendaharaan kata, susunan kalimat dan frasa yang digunakan. Sesuatu laras
tertentu digunakan untuk keadaan atau situasi tertentu. Berdasarkan fungsi
penggunaannya laras bahasa dapat dipilah menjadi laras biasa atau laras umum,
laras akademik atau laras ilmiah, laras perniagaan, laras perundangan, laras
sastera, laras iklan, dan sebagainya. Hal ini karena terdapat hubungan yang erat
antara susunan bahasa dengan situasi-situasi yang menyebabkan terjadinya laras.

22
BAB VI
EJAAN BAHASA INDONESIA

Ejaan tidak menyangkut pelafalan kata saja tetapi juga menyangkut cara
penulisan. Ejaan merupakan cara menuliskan kata atau kalimat dengan
memeperhatikan penggunaan tanda baca dan huruf (Yulianto dalam Kustomo,
2015:59). Sedangkan menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
(2016), “ejaan adalah kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat,
dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca”.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, ejaan adalah carapelafalan dan cara
penulisan tanda baca, kata, dan kalimat dalam bentuk tulis.
Ejaan yang digunakan dalam berbahasa Indonesia telah berubah dan berkembang.
Ejaan yang berlaku sekarang adalah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang selanjutnya disebut dengan PUEBI. Sebelum itu, telah digunakan beberapa
ejaan. Perubahan ejaan tersebut memiliki akibat, seperti saat tim penyunting buku
“10 Tahun Koperasi (1930 – 1940)” karya R.M. Margono Djojohadikusumo akan
menerbitkan kembali buku tersebut, seperti yang dituliskan Opie (2015) berikut.
pada masa itu. Misalnya, kata “penelitian” atau “riset”, tidak ditemukan pada
buku-buku yang diterbitkan sebelum tahun 1950-an. Padanan kata yang
digunakan adalah “penyelidikan”. Kata “kerajinan” memiliki padanan kata
“industry‟. Nama ITB dahulu disebut “Tehcnische Hogeschool” yang
diterjemahkan menjadi “sekolah tukang” Penerjemahan tersebut terjadi karena
kata “tukang” diterjemahkan dari kata “technische” yang berasal dari bahasa
Belanda. Ejaan dalam bahasa Indonesia diubah, dikembangkan, dan
disempurnakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Usaha tersebut menghasilkan Peraturan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015 tentang PUEBI.
Pengubahan, pengembangan, dan penyempurnaan ejaan dalm bahasa Indonesia
dilakukan selama 114 tahun, dimuali dari 1901 sampai dengan 2015. Selama itu,
berbagai nama disematkan pada ejaan bahasa kita. Untuk memberikan gambaran

23
perkembangan ejaan di Indonesia berdasarkan tahun penetapannya, tabel 1 dapat
dicermati. Tabel berikut merupakan intisari dari pengantar yang terdapat pada
Buku Pedoman Umum Ejaaan Bahasa Indonesia (Tim Pengembang Pedoman
Bahasa Indonesia, 2016).
B. Perkembangan Ejaan dan Ciri-Cirinya
Perkembangan ejaan bahasa Indonesia dilaksanakan dalam sembilan tahun-tahun
penting, seperti yang tampak pada tabel 1, dapat dikelompokkan menjadi tujuh
macam berdasarkan nama ejaan yang dihasilkan. Ketujuh nama ejaan bahasa
Indonesia tersebut meliputi: (1) Ejaan van Ophuijsen, (2) Ejaan Republik, (3)
Ejaan Pembaharuan, (4) Ejaan Melindo, (5) Ejaan Baru, (6) EYD, dan (7) PUEBI
(Erikha, 2015). Ketujuh nama ejaan tersebut akan dijelaskan kondisinya dan ciri-
ciri khususnya pada bagian berikut.
1) Ejaan van Ophuijsen
Bahasa Melayu ditulis menggunakan aksara Jawi atau Arab Gundul. Aksara
teersebut tidak lagi digunakan pada bahasa Melayu. Kondisi tersebut terjadi akibat
pengaruh budaya Eropa yang datang di Nusantara. Pengaruh tersebut membuat
Bahasa Melayu menggunakan aksara latin. Perkembangan aksara dari aksara Jawi
menjadi aksara latin terjadi karena usaha gigih Belanda.
Menurut Erikha (2015) terdapat empatalasan mengapa terjadi perubahan aksara
tersebut, yaitu (1) penyederhanaan huruf vokal e,i,o menjadivokal a dan u, (2)
kekhawatiran Belanda terhadap ancaman kekuatan Islam, (3) politik etis, dan (4)
politik bahasa. Alasan pertama, para ahli bahasa Belanda menganggap
ketidsaksesuaian pengunaan vokal. Vokal e, i, o ditulis samadengan vokal a dan u.
Alasan kedua, Belanda merasa perlu mengurangi pengaruh Islam (budaya Arab)
di Nusantara dengan cara mengganti cara penulisan bahasa Melayu karena mereka
merasa takut dengan militansi umat Islam. Alasan ketiga, pemerintah kolonial
memiliki program politik etis di Nusantara. Program tersebut berisi kebijakan
untuk membuka peluang pendidikan bagi kaum ningrat Nusantara.
Pertimbangannya, bahasa Melayu harus distandarkan agar proses pendidikan
berjalan tertib dan lancar. Alasan keempat, Belanda membuat standar bahasa
dengan menggunakan bahasa Melayu pada sekolah milik pribumi agar bisa

24
meluaskan kekuasaan mereka dan menyatukan Nusantara. Dengan demikian,
Belanda telah melakukan politik bahasa, yaitu membuat standar untuk bahasa
Melayu. Bahasa Melayu diharapkan menjadi bahasa resmi yang digunakan di
seluruh kegiatan kehidupan di Nusantara.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka Belanda menunjuk seorang ahli bahasa
untuk menyusun tata bahasa baku bahasa Melayu. Linguis tersebut lahir di
Batavia bernama A.A. Fokker. Ia mengusulkan agar ada penyeragaman ejaan
bahasa Melayu. Berdasarkan usulan tersebut, Belanda memilih Charles Adrian
van Ophuijsen atau dikenal dengan nama Ch. A. van Ophuijsen untuk menyusun
tata bahasa baku bahasa Melayu.
Ch. A. van Ophuijsen adalah seorang lelaki yang memiliki kecakapan bahasa
yang ditugasi oleh Belanda untuk menyusun tata bahasa baku bahasa Melayu. Ia
telah meluncurkan tiga buku yang salah satunya menjadi acuan dalam berbahasa
Melayu (Erikha, 2015). Ch. A. van Ophuijsen lahir di Solok Sumatera Barat tahun
1856. Eyang buyutnya juga lahir di Solok sehingga ia sangat mengenal bahasa
Melayu. Ia juga memiliki minat mempelajari bahasa-bahasa di Nusantara. Hal ini
tampak dari kesediaannya saat ditugasi pemerintah kolonial menyusun tata bahasa
baku bahasa Melayu.Iameneliti bentuk-bentuk bahasa Melayu. Kemudian, ia
menemukan bahwa bahasa Melayu Riau memiliki kekhasan dibanding bahasa
Melayu di daerah lain. Ia lalu menggunakan bahasa melayu Riau sebagai acuan
baku.
Kecakapan berbahasa Ch. A. van Ophuijsen juga ditampakkan pada buku
karyanya yang berjudul Kijkjes in Het Huiselijk Leven Volkdicht „Pengamatan
sekilas Kehidupan Kekeluargaan Suku Batak. Buku tersebut diterbitkan tahun
1879. Pada tahun 1896 ia bersama Engku Nawawi gelar Soetan Ma‟moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim merancang ejaan bahasa melayu yang ditulis
menggunakan huruf latin. Pedoman tersebut berhasil diterbitkan saat ia berkarir
sebagai inspektur pendidikan ulayat. Pedoman tersebut berjudul Kitab Logat
Melayu: Woordenlijst Voor de Spelling der Malaisch taal met Latijnch Karakter
„Perbendaharaan Kosakata: Daftar Kata untuk Ejaan Bahasa Melayu dalam Huruf
Latin‟. Pedoman tersebut diterbitkan tahun 1901 di Batavia. Buku tersebut berisi

25
10.130 kata-kata Melayu yang ditulis menggunakan ejaan baru, yaitu ejaan yang
dipengaruhi oleh bahasa Belanda.
Pada tahun yang sama, tahun 1901, ia menerbitkan buku berjudul Maleische
Spraakkunst „Tata Bahasa Melayu‟. Buku ini dimanfaatkan sebagai acuan
penggunaan tata bahasa baku bahasa Melayu. Buku tersebut diterjemahkan oleh
T.W. Kamil dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Atas prestasi tersebut, Ch. A. van
Ophuijsen diangkat menjadi profesor di Universitas Leiden Belanda sebagai ahli
di bidang bahasa Melayu.
Buku berjudul Maleische Spraakkunst „Tata Bahasa Melayu‟ karya Ch. A. van
Ophuijsen menjadi acuan ejaan pertama yang ada di Nusantara. Oleh karena itu,
acuan ejaan tersebut dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen. Ejaan ini diakui
sebaga acuan baku ejaan bahasa melayu di Nusantara. Pemerintah kolonial
belanda meresmikan ejaan tersebut pada tahun 1901. Ejaan ini menjadi panduan
bagi pemakai bahasa Melayu di Indonesia.
Ejaan van Ophuijsen memiliki enam ciri khusus, yaitu penggunaan huruf ї,
huruf j, penggunanan oe, tanda diakritis, huruf tj, dan huruf ch (Erikha, 2015).
Berikut keenam ciri khurus tersebut.
a) Huruf ї untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran yang disuarakan
tersendiri seperti diftong, misal mulaї dan ramaї, dan untuk menulis huruf y, misal
Soerabaїa.
b) Huruf j untuk menuliskan kata-kata, misalnyajang, saja, wajang.
c) Huruf oe untuk menuliskan kata-kata, misalnya doeloe, akoe, repoeblik.
d) Tanda diakritis, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata
ma’moer, jum’at, ta’, dan pa’.
e) Huruf tj dieja menjadic seperti Tjikini, tcara, pertjaya.
f) Huruf ch yang dieja kh seperti achir, chusus, machloe’.

2) Ejaan Republik
Setelah mengalami perkembangan, kedudukan Ejaan van Ophuijsen digantikan
oleh Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik. Sebenarnya nama resminya adalah
ejaan Republik,tetapi lebih dikenal dengan ejaan Soewandi.Ejaan Republik

26
diresmikan sebagai acuan ejaan baku bahasa Melayu untuk mengurangi pengaruh
dominasi Belanda yang diwakili dalam ejaan van Ophuijsen. Ejaan Republik lebih
dikenal dengan namaEjaan Soewandi karena menteri yang mengesahkan ejaan
Republik bernama Mr. Soewandi.
Mr. Soewandi adalah ahli hukum dan notaris pertama bumiputera yang
menjabat dalam Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II, dan Kabinet Sjahrir III
(Opie, 2015). Soewandi memperoleh gelar sarjana hukum dan ijazah notaris dari
sekolah pangreh praja. Soewandi kemudian dicalonkan menjadi Menteri
Kehakiman dalam Kabinet Sjahrir. Pada Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 -
12 Maret 1946) dan Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946 - 22 Juni 1946) Soewandi
menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 -
27 Juni 1947) ia menjabat sebagai Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan
Kebudayaan.
Saat itulah ia menyusun ejaan yang lebih sederhana agar mudah digunakan
oleh penutur bahasa Melayu. Ejaan Soewandi akhirnya digunakan untuk
menggantikan Ejaan van Ophuijsen. Ejaan Republik disahkan dengan Surat
Keputusan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan tanggal 19 Maret
1947 nomor 264/Bhg.A
Ciri khusus Ejaan Republikmeliputi penggunaan huruf oe, bunyi hamzah, kata
ulang dengan angka 2, awalan di- dan kata depan di, dan penghilangan tanda
diakritis (Erikha, 2015). Berikut kelima ciri khusus tersebut.
a) Huruf oe disederhanakan menjadi u misalnyadulu, aku, republik.
b) Bunyi hamzah („) ditulis dengan k sehingga tidak ada lagi kata ra’yat dan ta’
tetapi menjadi rakyat dan tak
c) Kata ulang ditulis dengan angka 2 seperti pada anak2, ber-dua2-an, ke-laki2-an.
d) Awalan di- dan kata depan di keduanya ditulis serangkai dengan kata yang
menyertainya, misaldijalan, diluar, dijual, diminum.
e) Penghapusan tanda diakritis schwa atau e‘pepet’ (ẻ) menjadi esehingga tidak
ada lagi ada tulisankẻnari dan kẻluarga, tetapi keluarga dan kehadiran.

27
3) Ejaan Pembaharuan
Ejaan ini urung diresmikan. Namun, ejaan ini diduga menjadi pemantik awal
diberlakukannya EYD tahun 1972 (Erikha, 2015). Ejaan Pembaharuan
direncanakan untuk memperbarui Ejaan Republik. Pembaruan ejaan ini dilandasi
oleh rasa prihatin Menteri Moehammad Yamin akan kondisi bahasa Indonesia
yang belum memiliki kejatian. Maka diadakanlah Konggres Bahasa Indonesia
Kedua di Medan. Medan dipilih karena di kota itulah bahasa Indonesia digunakan
dengan baik oleh masyarakat. Pada konggres tersebut diusulkan perubahan ejaan
dan perlu adanya badan yang menyusun peraturan ejaan yang praktis bagi bahasa
Indonesia.
Selanjutnya, dibentuk panitia oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan
Kebudayaan. Keberadaan panitia tersebut diperkuat dengan surat keputusan
tanggal 19 Juli 1956, nomor 44876/S (Tim Pengembang Pedoman Bahasa
Indonesia, 2016). Panitia tersebut beranggotakan Profesor Prijono dan E. Katoppo
(Admin Padamu, 2016). Panitia tersebut berhasil merumuskan aturan baru pada
tahun 1957. Aturan baru tersebut tidak diumumkan, tetapi menjadi bahan
penyempurnaan pada EYD yang diresmikan pada tahun 1972.
Panitia tersebut membuat aturan tentang satu fonem diwakili dengan satu
huruf. Penyederhanaan ini sesuai dengan itikad agar dibuat ejaan yang praktis saat
dipakai dalam keseharian (Erikha, 2016). Selain aturan satu fonem satu huruf,
terdapat pula aturan bahwa gabungan huruf ditulis menjadi satu huruf.
Menurut Admin Padamu (2016) ciri khas Ejaan Pembaharuan ada empat, yaitu
perubahan gabungan konsonan dan gabungan vokal. Berikut keempat ciri khas
tersebut.
a) Gabungan konsonan ng diubah menjadi ŋ
Perubahan penulisan gabungan huruf konsonan dari gabungan konsonan ng
menjadi satu huruf ŋ. Misalnya, mengalah menjadi meŋalah.
b) Gabungan konsonan nj diubah menjadi ń

Perubahan penulisan gabungan huruf konsonan dari gabungan konsonan


njmenjadi satu hurufń. Misalnya, menjanjimenjadimeńańi.

28
c) Gabungan konsonan sj menjadi š
Perubahan penulisan gabungan huruf konsonan dari gabungan konsonan
sjmenjadi satu hurufš. Misalnya, sjarat menjadišarat.
d) Gabungan vokal ai, au, dan oi, menjadi ay, aw, dan oy
Perubahan penulisan gabungan huruf vokal (diftong) dari gabungan vokal ai, au,
danoimenjadiay, aw, dan oy. Misalnya, balai, engkau, dan amboi menjadi balay,
engkaw, dan amboy.

4) Ejaan Melindo
Ejaan Melindo merupakan bentuk penggabungan aturan penggunaan huruf
Latin di Indonesia dan aturan penggunaan huruf latin oleh Persekutuan Tanah
Melayu pada tahun 1959. Hal ini bermula dari peristiwa Kongres Bahasa
Indonesia Kedua yang dilaksanakan tahun 1954 di Medan. Malaysia sebagai salah
satu delegasi yang hadir memilikikeinginan untuk menyatukan ejaan. Keinginan
ini semakin kuat sejak Malaysia merdeka tahun 1957. Kedua pemerintah
(Indonesia dan Malaysia) menandatangani kesepakatan untuk merumuskan aturan
ejaan yang dapat dipakai bersama. Kesepakatan itu terjadi pada tahun 1959.
Akan tetapi, karena terjadi masalah politik antara Indonesia dan Malaysia
pemikiran merumuskan ejaan bersama tidak dapat dilaksanakan. Situasi politik
antara Indonesia dan Malaysia sedang memanas. Indonesia sedang terpengaruh
Moskow-Peking-Pyongyang. Sedangkan Malaysia sedang condong kepada
Inggris. Akhirnya pembahasan Ejaan Melindo tidak dilanjutkan. Ejaan Melindo
dapat dikenali dari enam ciri berikut (Admin Padamu, 2016 dan Erikha, 2015).

5) Ejaan Baru
Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) menyusun program pembakuan
bahasa Indonesia secara menyeluruh (Tim Pengembang Pedoman Bahasa
Indonesia, 2016). Program tersebut dijalankan oleh Panitia Ejaan Bahasa
Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Program tersebut berisi
konsep ejaan yang menjadi awal lahirnyaEYD. Konsep tersebut dikenal dengan
nama Ejaan Baru atau Ejaan LBK. Konsep ejaan ini disahkan oleh Menteri

29
Pendidikan dan Kebudayaan, SarinoMangunpranoto, pada tahun 1966 dalam surat
keputusannya tanggal 19 September 1967, No. 062/1967. Konsep Ejaan Baru
terus ditanggapi dan dikaji oleh kalangan luas di seluruh tanah air selama
beberapa tahun.Menurut Erikha (2015) “pada intinya, hampir tidak ada perbedaan
berarti di antara ejaan LBK dengan EYD, kecuali pada rincian kaidah-kaidah
saja”.

6) EYD
Ejaan Yang Disempurnakan atau dikenal dengan EYD mengalami beberapa
perubahan dari masa ke masa, yaitu tahun 1972, tahun 1988, dan tahun 2009 (Tim
Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia, 2016). Masing-masing masa memiliki
ciri khusus. Perkembangan EYD pada ketiga kurun waktu tersebut akan
dijelaskan pada bagian berikut.
Berawal dari Ejaan Baru atau Ejaan LBK sebagai cikal bakal konsep EYD
yang konsepnya diperkenalkan oleh Lembaga Bahasa dan Kesastraan, konsep
EYD terus ditanggapi dan dibahas kalangan luas diseluruh tanah air selama
beberapa tahun.
Konsep EYD akhirnya dilengkapi pada pelaksnaan Seminar Bahasa Indonesia
di Puncak pada tahun 1972. EYD merupakan hasil kinerja panitia yang diatur
dalam surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 20 Mei 1972,
No. 03/A.I/72. Bertepatan dengan hari Proklamasi Kemerdekaan tahun itu juga,
diresmikanlah aturan ejaan yang baru berdasarkan keputusan Presiden, No. 57,
tahun 1972, dengan nama EYD. Agar EYD dapat dimanfaatkan dengan baik oleh
masyarakat, maka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEYD).
Pedoman tersebut dipaparkan lebih rinci dalam Pedoman Umum. Pedoman umum
disusun oleh Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan
surat keputusanNomor 156/P/1972 tanggal 12 Oktober 1972
PUEYD tahun 1972 memiliki tujuh ciri khas yang disarikan dari Pamungkas
(tanpa tahun). Berikut ketujuh ciri khusus EYD tahun 1972.

30
a) Huruf diftong oi hanya ditemukan di belakang kata, misalnya oi pada kata
amboi.
b) Bentuk gabungan konsonan kh, ng, ny, dan sy termasuk kelompok huruf
konsonan.
c) Masih menggunakan dua istilah yaitu huruf besar dan huruf kapital.
d) Penulisan huruf hanya mengatur dua macam huruf yaitu huruf besar atau huruf
kapital dan huruf miring.
e) Penulisan angka untuk menyatakan nilai uang menggunakan spasi antara
lambang dengan angka, misalnya Rp 500,00
f) Tanda petik dibedakan istilah dan penggunaannya menjadi dua, yaitu tanda
petik ganda dan tanda petik tunggal.
g) Terdapat tanda ulang berupa angka 2 biasa (bukan kecil di kanan atas [2] atau
juga bukan di kanan bawah [2]) yang dapat dipakai dalam tulisan cepat dan notula
untuk menyatakan pengulangan kata dasar, misalnya dua2, mata2, dan hati2.

7) PUEBI
Penyempurnaan terhadap ejaan bahasa Indonesia dilakukan oleh lembaga resmi
milik pemerintah yaitu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Usaha tersebut menghasilkan
Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015
tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.Pada tahun 2016 berdasarkan
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Anis Baswedan, aturan ejaan
yang bernama PUEYD diganti dengan nama Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia (Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia, 2016). Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia selanjutnya dikenal dengan singkatan PUEBI.
Terdapat banyak perubahan dari PUEYD ke PUEBI. Penulis memfokuskan
pada penggunaan huruf. Berikut ciri khusus PUEBI yang penulis temukan pada
Permendikbud Nomor 50 tahun 2015.
a) Pada huruf vokal, untuk pengucapan (pelafalan) kata yang benar digunakan
diakritik yang lebih rinci, yaitu (1) diakritik (é) dilafalkan [e] misalnya Anak-anak
bermain di teras (téras); (2) diakritik (è) dilafalkan [Ɛ] misalnya Kami menonton

31
film seri (sèri); (3) diakritik (ê) dilafalkan [Ə] misalnya Pertandingan itu berakhir
seri (sêri).
b) Pada huruf konsonan terdapat catatan penggunaan huruf q dan x yang lebih
rinci, yaitu: (1) huruf q dan x khusus digunakan untuk nama
diri dan keprluan ilmu; (2) huruf x pada posisi awal kata diucapkan [s].
c) Pada huruf diftong terdapat tambahan yaitu diftong ei misalnya pada akata
eigendom, geiser, dan survei.
d) Pada huruf kapital aturan penggunaan lebih diringkas (pada PUEYD terdapat
16 aturan sedangkan pada PUEBI terdapat 13 aturan) dengan disertai catatan.
e) Pada huruf tebal terdapat pengurangan aturan sehingga hanya dua aturan, yaitu
menegaskan bagian tulisan yang sudah ditulis miring dan menegaskan bagian
karangan seperti judul buku, bab, atau subbab.
Perbedaan lebih ciri antara PUEYD dengan PUEBI telah diteliti oleh Mahmudah.
Menurut Mahmudah (2016: 145-147) terdapat tujuh perbedaan secara substantif,
yaitu: (a) pemakian huruf, (b) kata depan, (c) partikel, (d) singkatan dan akronim,
(e) angka dan bilangan, (f) kata ganti ku-, kau-, ku, -mu, dan –nya; (g) kata si dan
sang.

32
BAB VII
DIKSI ATAU PILIHAN KATA

1. Pengertian Diksi
Keterbatasan kosakata yang dimiliki seseorang dalam kehidupan sehari-hari dapat
membuat seseoranmg tersebut mengalami kesulitan mengungkapkan maksudnya
kepada orang lain. Sebaliknya, jika seseorang terlalu berlebihan dalam
menggunakan kosa kata, dapat mempersulit diterima dan dipahaminya maksud
dari isi pesan yang hendak disampaikan. Oleh karena itu, agar tidak terjadi hal
demikian, seseorang harus mengetahui dan memahami bagaimana pemakaian kata
dalam komunikasi. Salah satu yang harus dikuasai adalah diksi atau pilihan kata.
Menurut Enre (1988: 101) diksi atau pilihan kata adalah penggunaan kata-kata
secara tepat untuk mewakili pikiran dan perasaan yang ingin dinyatakan dalam
pola suatu kalimat. Pendapat lain dikemukakan oleh Widyamartaya (1990: 45)
yang menjelaskan bahwa diksi atau pilihan kata adalah kemampuan seseorang
membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang
ingin disampaikannya, dan kemampuan tersebut hendaknya disesuaikan dengan
situasi dan nilai rasa yang dimiliki sekelompok masyarakat dan pendengar atau
pembaca. Diksi atau pilihan kata selalu mengandung ketepatan makna dan
kesesuaian situasi dan nilai rasa yang ada pada pembaca atau pendengar. Pendapat
lain dikemukakan oleh Keraf (1996: 24) yang menurunkan
tiga kesimpulan utama mengenai diksi, antara lain sebagai berikut.
a. Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk
menyampaikan gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yang
tepat.
b. Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-
nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan menemukan
bentuk yang sesuai atau cocok dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki
kelompok masyarakat pendengar.
c. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan penguasaan sejumlah
besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa. Dari beberapa pendapat di atas

33
dapat disimpulkan bahwa diksi adalah pemilihan dan pemakaian kata oleh
pengarang dengan mempertimbangkan aspek makna kata yaitu makna denotatif
dan makna konotatif sebab sebuah kata dapat menimbulkan berbagai pengertian.

2. Jenis Diksi
Diksi merupakan salah satu cara yang digunakan pembuat iklan dalam membuat
sebuah iklan agar dapat dipahami oleh pembaca. Ketepatan pemilihan kata akan
berpengaruh dalam pikiran pembaca tentang isi sebuah iklan. Jenis diksi menurut
Keraf, (1996: 89-108) adalah sebagai berikut.
a. Denotasi adalah konsep dasar yang didukung oleh suatu kata (makna itu
menunjuk pada konsep, referen, atau ide). Denotasi juga merupakan batasan
kamus atau definisi utama suatu kata, sebagai lawan dari pada konotasi atau
makna yang ada kaitannya dengan itu. Denotasi mengacu pada makna yang
sebenarnya. Contoh makna denotasi: Rumah itu luasnya 250 meter persegi. Ada
seribu orang yang menghadiri pertemuan itu.
b. Konotasi adalah suatu jenis makna kata yang mengandung arti tambahan,
imajinasi atau nilai rasa tertentu. Konotasi merupakan kesan-kesan atau asosiasi-
asosiasi, dan biasanya bersifat emosional yang ditimbulkan oleh sebuah kata di
samping batasan kamus atau definisi utamanya. Konotasi mengacu pada makna
kias atau makna bukan sebenarnya. Contoh makna konotasi:
Rumah itu luas sekali. Banyak sekali orang yang menghadiri pertemuan itu.
c. Kata abstrak adalah kata yang mempunyai referen berupa konsep, kata abstrak
sukar digambarkan karena referensinya tidak dapat diserap dengan pancaindera
manusia. Kata-kata abstrak merujuk kepada kualitas (panas, dingin, baik, buruk),
pertalian (kuantitas, jumlah, tingkatan), dan pemikiran (kecurigaan, penetapan,
kepercayaan). Kata-kata abstrak sering dipakai untuk menjelaskan pikiran yang
bersifat teknis dan khusus.
d. Kata konkrit adalah kata yang menunjuk pada sesuatu yang dapat dilihat atau
diindera secara langsung oleh satu atau lebih dari pancaindera. Katakata konkrit
menunjuk kepada barang yang actual dan spesifik dalam pengalaman. Kata
konkrit digunakan untuk menyajikan gambaran yang hidup dalam pikiran

34
pembaca melebihi kata-kata yang lain. Contoh kata konkrit: meja, kursi, rumah,
mobil dsb.
e. Kata umum adalah kata yang mempunyai cakupan ruang lingkup yang luas,
kata-kata umum menunjuk kepada banyak hal, kepada himpunan, dan kepada
keseluruhan. Contoh kata umum: binatang, tumbuh-tumbuhan, penjahat,
kendaraan.
f. Kata khusus adalah kata-kata yang mengacu kepada pengarahanpengarahan
yang khusus dan konkrit. Kata khusus memperlihatkan kepada objek yang khusus.
Contoh kata khusus: Yamaha, nokia, kerapu, kakak tua, sedan.
g. Kata ilmiah adalah kata yang dipakai oleh kaum terpelajar, terutama dalam
tulisan-tulisan ilmiah. Contoh kata ilmiah: analogi, formasi, konservatif, fragmen,
kontemporer.
h. Kata populer adalah kata-kata yang umum dipakai oleh semua lapisan
masyarakat, baik oleh kaum terpelajar atau oleh orang kebanyakan. Contoh kata
popular: bukti, rasa kecewa, maju, gelandangan.
i. Jargon adalah kata-kata teknis atau rahasia dalam suatu bidang ilmu tertentu,
dalam bidang seni, perdagangan, kumpulan rahasia, atau kelompok-kelompok
khusus lainnya. Contoh jargon: sikon (situasi dan kondusi), pro dan kon (pro dan
kontra), kep (kapten), dok (dokter), prof (professor).
j. Kata slang adalah kata-kata non standard yang informal, yang disusun secara
khas, bertenaga dan jenaka yang dipakai dalam percakapan, kata 13 slang juga
merupakan kata-kata yang tinggi atau murni. Contoh kata slang: mana tahan, eh
ketemu lagi, unyu-unyu, cabi.
k. Kata asing ialah unsur-unsur yang berasal dari bahasa asing yang masih
dipertahankan bentuk aslinya karena belum menyatu dengan bahasa aslinya.
Contoh kata asing: computer, cyber, internet, go public.
l. Kata serapan adalah kata dari bahasa asing yang telah disesuaikan dengan
wujud atau struktur bahasa Indonesia. Contoh kata serapan: ekologi, ekosistem,
motivasi, music, energi.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. Drs. H. Eko Kuntarto, M.Pd, M.Comp.Eng.materi kuliah Bahasa


Indonesia untuk perguruan tinggi.
2. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2009.
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan.
Menteri Pendidikan Nasional R.I.
3. Gumelar, M.S., Kuntarto, Niknik M. 2011. Academic Writing.
4. Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia. 2016. Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2016.
5. Michael Sega Gumelar. 2017. Tatabahasa: Inkonsistensi Bahasa
Indonesia. An1mage Research Division, Komunitas Studi Kultural,
Serikat Dosen Indonesia.
6. Erikha, Fajar. 2015. Edjaan Tempoe Doele hingga Ejaan yang
Disempurnakan. (onlone), (https://www.zenius.net, diakses 18
Desember 2017).
7. Opie. 2015. Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia. (online),
(www.sejarawan.com, diakses 18 Desember 2017).
8. Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia
nomor 50 tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
9. Yerry Mijianti. 2018. PENYEMPURNAAN EJAAN BAHASA
INDONESIA. Universitas Muhammadiyah Jember

36

Anda mungkin juga menyukai