Anda di halaman 1dari 48

Pembimbing: dr.

Agus Suryawan

PEMERIKSAAN NEUROLOGI

GCS
GCS / Glassgow Coma Scale merupakan skala neurologis untuk mengukur tingkat kesadaran pasien,
khusunya adanya trauma pada kepala. GCS mengukur kesadaran dengan aspek pengelihatan, verbal,
dan motorik pasien. Komponen dari GCS yaitu :
RESPON NILAI
Respon Membuka Mata
Mata terbuka spontan 4
Membuka dengan respon suara 3
Membuka dengan respon nyeri 2
Tidak ada reaksi 1
Respon Bicara
Orientasi baik (ruang, tempat dan waktu) dan 5
dapat berkomunikasi
Dapat berkomunikasi tetapi kebingungan, 4
disorintasi
Mengucapkan kata-kata (aduh, sakit, tolong) 3
Mengerang (aaaahhhhh....) 2
Tidak ada suara 1
Respon Motorik
Menuruti perintah (angkat tangan, angkat 6
kaki)
Melokalisir nyeri (menjauhkan sumber nyeri 5
dari tangan)
Menjauhkan nyeri (menjauhkan tangan dari 4
sumber nyeri) flexion withdrawl
Reaksi Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Reaksi Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2
Tidak ada gerakan 1
Interpretasi GCS :
Setelah diperiksa, skor antara aspek di jumlah
GCS 15 --> Compos mentis
GCS ≤ 7 --> Koma
GCS 3 --> koma yang dalam
GCSx --> jika tidak dapat dievaluasi (buta, afasia motorik, dll)
--> buta : ExV5M6
--> afasia motorik : E4VxM6
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

Kualitas kesadaran
Perubahan Kesadaran Akut
Kesadaran menurun adalah istilah yang digunakan pada penurunan keterjagaan atau kesadaran
yang minimal, yang dapat mencakup hipereksitabilitas dan mudah tersinggung yang bergantian
dengan rasa kantuk. Perbedaan utama harus dibuat pada pasien antara mereka yang bingung (yaitu,
tidak merespons dengan tepat terhadap lingkungan mereka) karena defisit fokal fungsi kognitif
dibandingkan dengan mereka yang memiliki gangguan yang lebih global. Pasien kesadaran berkabut
biasanya tidak utuh orientasi terhadap waktu dan terkadang terhadap tempat. Pasien tersebut lalai dan
sulit menghitung angka kebelakang (kisaran normal setidaknya empat atau lima) dan mengingat
rincian atau bahkan makna sebuah cerita. Mengantuk sering terlihat pada siang hari, tetapi agitasi
dapat mendominasi di malam hari. Patofisiologi fungsi otak pada pasien tersebut jarang dipelajari,
namun Posner dan Plum menemukan bahwa konsumsi oksigen otak telah menurun 20% di bawah
tingkat normal pada pasien dengan ensefalopati hepatik dengan letargi dan kebingungan secara
menyeluruh, dan Shimojyo dan rekannya mencatat penurunan serupa pada pasien dengan lesu dan
kebingungan secara menyeluruh karena ensefalopati Wernicke. Baru-baru ini, Trzepacz dan
rekannya telah mengidentifikasi penurunan aliran darah otak (CBF) bilateral di korteks
frontotemporal dan basal ganglia kanan pasien dengan ensefalopati hepatic subklinis. Peningkatan
pada CBF selama terapi defisiesi kobalamin berkorelasi dengan peningkatan klinis. Studi lain terlibat
mengurangi fungsi kolinergik, kelebihan pelepasan dopamin, norepinefrin, dan glutamate, serta
menurunkan dan meningkatkan serotonergik dan aktivitas asam gamma-aminobutyric (GABA).

Delirium, dari bahasa Latin ''keluar dari alur'', adalah kondisi mental yang abnormal yang ditandai
dengan gangguan persepsi rangsangan sensorik dan, sering, halusinasi hidup. Delirium didefinisikan
oleh Panduan Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, edisi 4 (DSM-IV), sebagai berikut: ''A)
Gangguan kesadaran (yaitu, berkurangnya kejelasan kesadaran akan lingkungan) dengan
berkurangnya kemampuan untuk fokus, mempertahankan atau mengalihkan perhatian. B) Perubahan
kognisi (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa) atau pengembangan gangguan
persepsi yang tercatat tidak baik dari yang telah ada, dibentuk atau berkembang menjadi demensia.
C) Gangguan berkembang selama periode waktu yang singkat (biasanya jam untuk hari) dan
cenderung berfluktuasi selama beberapa hari.” Pasien delirium adalah mengalami disorientasi,
awalnya terhadap waktu, kemudian terhadap tempat, dan kemudian kepada orang-orang di
lingkungan mereka. Jarang pasien tidak menyadari siapa mereka, meskipun terkadang wanita yang
telah menikah akan kembali ke nama gadis mereka. Pasien sering takut atau marah dan mungkin
bereaksi berlebihan atau salah menafsirkan kegiatan normal dokter dan perawat. Delusi atau
halusinasi dapat menempatkan pasien benar-benar keluar dari kontak dengan lingkungan dan
pemeriksa. Keadaan delirium cenderung muncul dengan cepat dan jarang berlangsung lebih dari 4
sampai 7 hari. Namun, fragmen dari kesalahan persepsi dapat bertahan selama beberapa minggu,
terutama di kalangan pecandu alkohol dan pasien dengan keterlibatan cerebral dari penyakit kolagen
vaskular. Delirium dengan agitasi terkadang dapat dilihat sebagai konsekuensi dari lesi fokal dari
korteks parieto-occipitotemporal kanan, tetapi umumnya merupakan indikasi penurunan fungsi
kortikal bilateral pada keadaan toksik-metabolik, seperti keracunan atropin, penyalahgunaan alkohol
atau obat penenang (misalnya, benzodiazepin), porfiria akut, atau gagal hati atau ginjal. Hal ini juga
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

terjadi dengan proses infeksi sistemik atau sebagai komponen dari ensefalitis, di mana mediator imun
seperti sitokin dan turunan eicosanoid mungkin mempengaruhi fungsi mental.

Obtundasi, dari bahasa Latin ''untuk menerpa atau tumpul, '' secara literatur berarti mental yang
tumpul atau mati suri. Pada keadaan medis, pasien tersebut mengalami penurunan kewaspadaan yang
ringan sampai sedang, disertai dengan minat yang berkurang terhadap lingkungan. Pasien tersebut
memiliki respon psikologis yang lebih lambat terhadap rangsangan. Mereka mungkin memiliki
peningkatan jumlah jam tidur dan mungkin mengantuk antara serangan tidur.

Stupor, dari bahasa Latin '' yang akan tertegun, '' adalah kondisi tidur dalam atau mirip perilaku
tidak ada reaksi dimana subjek bisa terangsang hanya dengan stimulasi yang kuat dan terus menerus.
Bahkan ketika rangsangan maksimal, tingkat fungsi kognitif mungkin terganggu. Pasien tersebut
dapat dibedakan dari orang-orang dengan gangguan kejiwaan, seperti katatonia atau depresi berat,
karena mereka dapat terangsang oleh stimulasi yang kuat untuk menanggapi rangsangan sederhana.

Koma, dari bahasa Yunani '' tidur dalam atau trance, '' adalah keadaan tak ada reaksi di mana pasien
terbaring dengan mata tertutup dan tidak dapat terangsang untuk merespon dengan tepat terhadap
stimulus bahkan dengan rangsangan kuat. Pasien mungkin meringis dalam menanggapi rangsangan
yang menyakitkan dan anggota gerak tubuh dapat menunjukkan respon penarikan stereotip, tetapi
pasien tidak membuat lokalisasi respon atau gerakan defensif. Semakin dalam koma, respon pasien,
bahkan terhadap rangsangan yang menyakitkan, mungkin berkurang atau hilang. Namun, sulit untuk
menyamakan kurangnya respon motorik terhadap dalamnya koma, sebagai struktur saraf yang
mengatur respon motorik berbeda dari yang mengatur kesadaran, dan mereka mungkin terganggu
berbeda oleh gangguan otak tertentu.

Sindrom locked-in dideskripsikan sebagai keadaan di mana pasien de-efferented (penurunan


eferen), mengakibatkan kelumpuhan/paralisis keempat anggota gerak tubuh dan saraf kranial bawah.
Kondisi ini telah diketahui sejak abad ke-19, namun nama khasnya digunakan dalam edisi pertama
dari monografi ini (1966), yang mencerminkan implikasi dari kondisi ini untuk diagnosis koma dan
untuk perawatan khusus yang pasien butuhkan. Meskipun tidak sadar, pasien locked-in tidak dapat
menanggapi rangsangan yang paling kuat. Kecurigaan klinis tingkat tinggi diperlukan pada
pemeriksa untuk membedakan pasien locked-in dari orang yang koma. Penyebab paling umum
adalah lesi dari dasar dan tegmentum dari midpons yang memutus kontrol kortikal turun pada fungsi
motorik. Pasien tersebut biasanya mempertahankan kontrol gerakan mata vertikal dan membuka
kelopak mata, yang dapat digunakan untuk memverifikasi respon mereka. Mereka bisa diajarkan
untuk menanggapi pemeriksa dengan menggunakan kedipan mata sebagai kode. Jarang pasien
dengan neuropati motorik subakut, seperti sindrom Guillain Barre, juga dapat menjadi benar-benar
de-efferented, tetapi ada riwayat kelumpuhan/paralisis subakut. Dalam kedua kasus, pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) mengungkapkan suatu ritme alfa posterior 10 yang reaktif. Hal ini
penting untuk mengidentifikasi pasien locked-in sehingga mereka dapat diobati dengan tepat oleh
staf medis dan keperawatan. Di tempat tidur, diskusi harus dengan pasien, tidak, sebagai seorang
individu dengan sadar, tentang pasien. Pasien dengan lesi midpontine yang besar sering terjaga
disebagian besar waktu, dengan sangat berkurang tidur di rekaman fisiologis. Mereka mungkin
sangat menderita jika mereka diperlakukan oleh staf rumah sakit seolah-olah mereka tidak merespon.
Seperti definisi di atas menyiratkan, masing-masing kondisi ini mencakup berbagai respon perilaku
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

yang cukup luas, dan mungkin ada beberapa tumpang tindih diantara mereka. Oleh karena itu,
biasanya cara terbaik untuk menggambarkan pasien adalah dengan menunjukkan apa rangsangan
yang dilakukan atau tidak menghasilkan respon dan jenis tanggapan yang terlihat, daripada
menggunakan istilah yang kurang tepat.

Perubahan Kesadaran Subakut atau Kronis


Demensia didefinisikan sebagai penurunan menetap dan sering progresif dalam proses mental
karena proses organik biasanya tidak disertai dengan penurunan gairah. Secara konvensional, istilah
ini memperlihatkan penurunan menyebar atau meluas pada fungsi kognitif daripada penurunan
aktivitas psikologis tunggal seperti bahasa. DSM-IV mendefinisikan demensia sebagai berikut: '' A.
Perkembangan beberapa defek kognitif berupa: (1) gangguan memori (terganggunya kemampuan
untuk mempelajari informasi baru atau untuk mengingat informasi yang dipelajari sebelumnya); (2)
Satu (atau lebih) dari gangguan kognitif berikut: afasia (gangguan bahasa), apraxia (gangguan
kemampuan untuk melakukan kegiatan motorik meskipun fungsi motorik utuh), agnosia (kegagalan
untuk mengenali atau mengidentifikasi objek meskipun fungsi sensorik utuh), gangguan dalam
fungsi eksekutif (yaitu, perencanaan, organisasi, merangkai, meringkas). '' Pembaca akan mengenali
definisi ini sebagai pembatasan yang berubah-ubah. Biasanya, istilah demensia diterapkan pada efek
dari gangguan utama hemisfer otak, seperti kondisi degeneratif, cedera traumatis, dan neoplasma.
Terkadang, demensia dapat sebagian reversibel, seperti ketika pada gangguan tiroid atau kekurangan
vitamin B12 atau hasil dari hidrosefalus komunikan reversibel; lebih sering, bagaimanapun, istilah
yang berlaku untuk kondisi kronis yang membawa harapan yang terbatas untuk perbaikan. Pasien
dengan demensia biasanya sadar dan waspada, tetapi dengan memburuknya demensia, mungkin
menjadi kurang responsif dan akhirnya berkembang menjadi keadaan vegetatif. Pasien dengan
demensia meningkatan risiko mengalami delirium ketika mereka menjadi sakit secara klinis atau
mengembangkan penyakit otak komorbiditas. Hipersomnia mengacu pada keadaan yang ditandai
dengan keadaan tidur berlebihan tapi mendekati normal dimana subjek mudah tertidur, bahkan jika
sebentar, terbangun ketika dirangsang. Banyak pasien dengan perubahan kesadaran akut atau kronis
tidur berlebihan. Namun, ketika terbangun, kesadaran jelas terganggu. Pada pasien yang benar-benar
hipersomnia, tidur tampak normal dan fungsi kognitif yang normal ketika pasien terbangun. Hasil
hipersomnia dari disfungsi hipotalamus.

Abulia (dari bahasa Yunani untuk ''kurangnya kemauan'') adalah sebuah keadaan apatis di mana
pasien merespon dengan lambat terhadap rangsangan verbal dan umumnya tidak memulai
pembicaraan atau aktivitas. Ketika cukup dirangsang, bagaimanapun, fungsi kognitif mungkin
normal. Tidak seperti hipersomnia, pasien biasanya terlihat sepenuhnya terjaga. Abulia biasanya
dikaitkan dengan penyakit lobus frontal bilateral dan, ketika berat, mungkin berkembang menjadi
bisu rigiditas/mutismejakinetik.

Mutisme akinetik digambarkan sebagai kondisi diam, imobilitas yang memunculkan kewaspadaan
yang mencirikan keadaan subakut tertentu atau kronis dari perubahan kesadaran, dimana siklus tidur-
bangun telah kembali, tapi bukti eksternal untuk aktivitas mental masih hampir sepenuhnya tidak ada
dan kurangnya aktivitas motorik spontan. Pasien tersebut umumnya memiliki lesi termasuk
hipotalamus dan otak depan basal yang berdekatan. Minimal consciousstate (MCS) adalah sebuah
konsep yang baru-baru dikembangkan oleh Aspen Workgroup, konsorsium dari ahli saraf, ahli bedah
saraf, neuropsikologi, dan spesialis rehabilitasi. MCS mengidentifikasi kondisi gangguan kesadaran
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

berat, dimana sedikit tetapi bukti perilaku yang pasti dari diri sendiri (ini hanya dapat dinilai secara
verbal, tentu saja) atau kesadaran akan lingkungan terlihat. Seperti pada kondisi vegetatif, MCS
sering ada sebagai keadaan transisional yang timbul selama pemulihan dari koma atau memburuknya
penyakit neurologis progresif. Pada beberapa pasien, bagaimanapun, mungkin bisa kondisi yang
permanen.

Kondisi vegetatif (VS) menunjukkan pemulihan dari siklus kasar dari keadaan gairah yang
ditunjukkan dengan keadaan periode ''mata-terbuka'' pada pasien yang tidak responsif. Sangat sedikit
pasien yang masih hidup dengan kerusakan otak depan yang parah tetap koma dengan mata tertutup
selama lebih dari 10 sampai 30 hari. Pada kebanyakan pasien, perilaku vegetatif biasanya
menggantikan koma pada saat itu. Pasien dalam keadaan vegetatif, seperti pasien koma, tidak
menunjukkan bukti kesadaran akan diri sendiri atau lingkungan mereka. Tidak seperti mati otak, di
mana hemisfer otak dan batang otak mengalami gangguan fungsional yang luar biasa, pasien pada
keadaan vegetatif mempertahankan regulasi batang otak dari fungsi kardiopulmoner dan regulasi
otonom visceral. Walaupun istilah aslinya keadaan vegetatif persisten (PVS) tidak terkait dengan
waktu tertentu, penggunaan PVS sekarang umum untuk pasien yang dalam keadaan vegetatif selama
minimal 30 hari. The American Neurological Association menyarankan bahwa PVS diterapkan
hanya untuk pasien dalam keadaan tersebut selama 1 bulan. Beberapa pasien pulih dari PVS. Istilah
lain dalam literatur menunjuk keadaan vegetatif meliputi koma berjaga dan keadaan apallic. Mati
otak didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi seluruh otak yang ireversibel, sehingga tubuh
tidak mampu untuk mempertahankan homeostasis pernafasan dan kardiovaskuler. Meskipun
perawatan pendukung yang kuat dapat menjaga proses tubuh berjalan untuk beberapa waktu,
terutama pada orang muda yang sehat, hilangnya fungsi otak akhirnya menyebabkan kegagalan
sirkulasi sistemik dalam beberapa hari atau, jarang, setelah beberapa minggu. Bahwa otak telah mati
selama beberapa waktu sebelum berhentinya detak jantung yang dibuktikan oleh fakta bahwa organ
dalam kasus tersebut biasanya autolisis (otak respirator) ketika diperiksa postmortem. Karena fungsi
hemisfer otak tergantung pada batang otak, dan karena fungsi hemisfer otak sangat sulit untuk
menilai saat batang otak tidak berfungsi, dokter di Inggris telah mengembangkan konsep mati batang
otak, didefinisikan sebagai ''hilangnya kapasitas untuk kesadaran yang ireversibel, dikombinasikan
dengan hilangnya kapasitas untuk bernapas yang ireversibel''. Kriteria untuk diagnosis mati otak dan
mati batang otak adalah hampir identik.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

MENINGEAL SIGN
Adalah tanda yang menunjukan adanya inflamasi pada lapisan meningen (selaput otak). Cara
pemeriksaannya yaitu :

1. Kaku Kuduk
Merupakan pemeriksaan yang paling sederhana dan mudah dilakukan. Caranya :
→ Persilahkan pasien tidur dalam posisi supine tanpa bantalan kepala.
→ Pemeriksa berada disebelah kanan, letakkan tangan kiri pemeriksa di bawah kepala pasien.
→ Lakukan fleksi ke lateral terlebih dahulu untuk menyingkirkan kekakuan pada leher, lalu
lakukan fleksi kepala (kedepan) hingga dagu pasien menyentuh dadanya.
Hasil : Postif bila dagu pasien tidak dapat ditempelkan ke dada.
2. Brudzinski’s Sign
Ada 4 cara yang dapat dilakukan, yaitu
a. Brudzinski 1
Hampir sama dengan pemeriksaan kaku kuduk, ketika memfleksikan kepala, terjadi bersamaan
gerakan fleksi pada lutut dan panggul pada kedua tungkai bawah.
Hasil : Positif jika terlihat adanya fleksi involunter pada sendi lutut dan panggul pada kedua
tungkai bawah.

b. Brudzinski 2
→ Persilahkan pasien tidur dalam posisi supine.
→ Pemeriksa berada disebelah kanan, lalu lakukan fleksi pada salah satu kaki (fleksikan pada
panggul dan lurus) secara maksimal.
Hasil : Positif jika terlihat adanya fleksi kaki kontralateral dari kaki yang diperiksa.
c. Brudzinski 3
→ Persilahkan pasien tidur dalam posisi supine.
→ Pemeriksa berada disebelah kanan, lalu lakukan penekanan pada kedua pipi / infra orbita
pada pasien dengan kedua tangan pemeriksa.
Hasil : Positif jika secara bersamaan saat dilakukan penekanan terjadi fleksi pada kedua
tangan pasien.
d. Brudzinski 4
→ Persilahkan pasien tidur dalam posisi supine.
→ Pemeriksa berada disebelah kanan, lalu lakukan penekanan pada ostium pubis.
Hasil : Positif jika terlihat adanya fleksi pada sendi lutut dan panggul pada kedua tungkai
bawah.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

3. Kernig sign
Langkah-langkah yang dilakukan :
→ Persilahkan pasien tidur dalam posisi supine.
→ Pemeriksa berada disebelah kanan, lalu lakukan fleksi 90 derajat pada sendi panggul dan lutut
pada salah satu tungkai bawah.
→ Selanjutnya ekstensikan tungkai bawah pada sendi lutut. Normalnya pasien dapat mencapai
sudut 135 derajat.
Hasil : Positif jika pasien tidak dapat mencapai 135 derajat, atau ada tahan kuat atau adanya
rasa nyeri sebelum mencapai 135 derajat.

4. Guilland’s sign
→ Persilahkan pasien tidur dalam posisi supine.
→ Pemeriksa berada disebelah kanan pasien, lalu lakukan jepitan (seperti mencubit) pada otot
quardisep (pada paha depan).
Hasil : Positif jika terlihat adanya fleksi kaki kontralateral dari kaki yang diperiksa.
5. Edelmann great toe phenomenon
→ Persilahkan pasien tidur dalam posisi supine.
→ Pemeriksa berada disebelah kanan pasien, lalu fleksikan tungkai bawah pada bagian sendi
pinggul dengan sendi lutut tetap ekstensi.
Hasil : Positif jika terlihat adanya ekstensi pada ibu jari kaki.
6. Bikele sign
→ Persilahkan pasien duduk
→ Pemeriksa berada disebelah kanan pasien lalu lakukan fleksi 90 derajat pada salah satu sendi
siku pasien, abduksikan bahu pasien sehingga membentuk sudut 90 derajat, dan lakukan
eksternal rotasi.
→ Selanjutnya lakukan ekstensi secara pasif pada sendi siku pasien. Normalnya pasien dapat
melakukan ekstensi tanpa tahanan atau rasa nyeri.
Hasil : Positif jika pasien tidak dapat diekstensikan, atau ada tahan kuat atau adanya rasa nyeri
saat dilakukan ekstensi.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

TETANY
Manifestasi klinis dari tetani yaitu adanya spasme dan kontraksi tonik dari otot skeletal pasien,
terutama pada otot distal ekstremitas. Kemungkinan juga ada carpopedal spasme dengan kontraksi
tonik pada otot di pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari tangan dan kaki. Terdapat
hipereksitabilitas pada sistem saraf tepi walaupun dengan stimulus yang minimal. Saraf sensorik juga
mengalami paratesia pada tangan, kaki, dan regio mulut. Tetani disebabkan karena adanya gangguan
dari metabolisme kalsium atau adanya alkalosis yang menyebabkan berkurangnya kadar ion kalsium.
Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa :
1. Chvostek’s Sign
Lakukan ketokan ringan pada arkus zigomatikus atau di bawah arkus tersebut (di depan lubang
telinga luar).
Hasil : Positif jika ada kontraksi otot fasialis
Ada 4 grade chvostek’s sign :
Grade I : sudut bibir tertarik ke arah posterior.
Grade II : Grade I + tertariknya ala nasi (cuping hidung tertarik ke superior).
Grade III : Grade II + tertariknya sudut mata luar ke arah lateral.
Grade IV: kekakuan pada seluruh otot wajah.

2. Trousseau Sign
Lakukan bendungan arteri dan vena pada salah satu lengan atas (seperti memeriksa tekanan darah)
dapat menggunakan manset tensi meter atau torniquet. Periksa tekanan darah pasien terlebih
dahulu, selanjutnya cari rata-rata dari sistolik dan diastolik. Berikan tekanan sesuai dengan rata-
rata tersebut dan diamkan selama beberapa menit (± 4 menit).
Hasil : Positif jika terjadi spasme pada otot lengan yang dilakukan pemeriksaan.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

3. Schultze Sign
Hampir sama dengan chovstek sign, lakukan ketokan ringan pada pertengahan antara arkus
zigomatikus dengan sudut bibir.
Hasil : Positif jika ada kontraksi otot fasialis (sudut bibir tertarik ke arah inferior).
4. Pool-Schlesinger's
Lakukan gerakan abduksi dan adduksi pada tangan atau kaki secara cepat dan kuat untuk
menciptakn tekanan pada saraf.
Hasil : Positif jika terjadi spasme pada otot lengan atau kaki yang dilakukan pemeriksaan.
5. Kashida thermic
Berikan sensasi panas atau dingin pada otot yang ingin diperiksa.
Hasil : Positif jika terjadi spasme otot dan hyperesthesia (meningkatnya sensitivitas sensorik
terhadap stimulus).
6. Escherich's
Lakukan perkusi pada bagian dalam bibir atau pada lidah.
Hasil : Positif jika terjadi kontraksi pada bibir, otot masseter, dan lidah.
7. Hochsinger's
Lakukan penekanan pada otot bisep
Hasil : Positif jika ada spasme pada tangan (kemungkinan variasi dari trousseau sign).
8. Peroneal (Lust phenomenon)
Penekanan pada seluruh leher fibula (dibawah lutut).
Hasil : Positif jika terjadi dorsofleksi dan eversi pada kaki.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

AFASIA

1. Afasia Broca (motorik)


Cirinya: afasia ini paling sering dijumpai, gejala utamanya adalah kesulitan dalam bertutur. Nama
lain dari afasia broca : afasia motoris, afasia ekspresif, afasia motoris eferen. Afasia ini bisa
muncul sebagai afasia akut, tetapi juga dapat berkembang dari afasia global dalam jangka waktu
beberapa bulan atau tahunan. Afasia ini disebabkan oleh GPDO, peradangan, tumor, trauma.
Lokasi kerusakan untuk afasia broca adalah di daerah fronto-parietal di hemisfer kiri (daerah
suprasylvis, baik operkulum maupun insula).
Bicara spontan afasia ini tidak lancar dan ditandai oleh adanya agramatisme (gangguan dalam
gramatika yang memperlihatkan pengurangan dan penyederhanaan betuk – bentuk gramatika).
Jadi, kemampuan untuk mengutarakan hubungan gramatikal terganggu. Pasien juga mengalami
kesulitan fonemis (ia membuat kesulitan fonemis karena representasi intern fonem – fonem itu
terganggu. Oleh karena itu dia menggunakan parafasia literal (menggunakan kata yang bunyinya
mirip dengan kata yang dimaksud).
Gangguan lain yang menyertai afasia broca, antara lain; apraksia bukofasial, apraksia ideomotoris,
hemiplegia anggota tubuh bagian kanan. Tidak jarang pasien tipe afasia ini mengalami kesulitan
dalam mengkoordinasikan gerakan otot bibir dan lidah (apraksia oral).
Prognosisnya tergantung dari berbagai faktor. Umumnya dapat dikatakan, bahwa apabila
pemahaman auditif pada mulanya cukup baik, perbaikan diperkirakan akan cepat. Apabila
kemampuan menulis dari semula hampir normal tanpa agramatisme, maka prognosisnya baik
sekali.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

2. Afasia Global
Pada afasia total atau global semua aspek bahasa sangat terganggu. Lokasi kerusakan: bagian –
bagian besar daerah fronto-temporo-parietal perisylvis di hemisfer kiri.
Penyebabnya yang paling sering adalah adanya penyumbatan bagian terdepan arteri serebri media
kiri, bisa juga karena tumor atau perdarahan besar. Biasanya diawali dengan koma. Bicara spontan
tidak lancar, pemahaman auditif sangat terganggu. Meniru ucapan, membaca bersuara dan
menulis tidak dapat dilakukan.
Gangguan penyertanya: hemiplegia anggota tubuh bagian kanan, hemianopsia, hemianestesia. Jika
setelah atau tanpa terapi, pemahaman pasien ini membaik maka afasia global ini dapat berubah
menjadi afasia broca.
3. AfasiaWernicke’s
Nama lain: afasia sensoris, afasia reseptif, afasia akustis.
Lokas kerusakan: bagian posterior girus temporal atas di hemisfer kiri.
Penyebabnya: berbeda – beda, jika karena GPDO penyebab yang paling banyak adalah karena
emboli, yakni di daerah arteri serebri media inferior kiri.
Bicaranya lancar, mengalami parafasia verbal, terjadi paragramatisme, logorea (banjir kata).
Awalnya pasien afasia wernicke tidak sadar akan kesalahan – kesalahannya dalam berbicara,
tetapi setelah ia sadar akan kesalahannya, dia akan mencari kata yang tepat dan bicaranya akan
lebih pelan.
Pemahaman auditif sangat terganggu dan sepadan dengan gangguan yang terdapat pada berbicara
spontan. Meniru ucapan juga buruk yang ditandai adanya parafasia literal dan parafasia verbal.
Kemampuan menulis sama dengan bicara spontan
Gangguan lain yang menyertai yaitu hemianopsia, sindrom Gerstmann, depresif.
Prognosisnya tergantung dari banyak faktor seperti parahnya afasia, gangguan penyerta lain, usia,
lingkungan atau keluarga.
4. Afasia Conduction
Cirinya: tipe ini mempunyai ciri khas kemampuan modalitas bahasa untuk pengulangan yang
buruk. Nama lain: afasia aferen motoris, afasia sentral.
Tempat kerusakan: bagian posterior fasikulus arkuatus di hemisfer kiri.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

Penyebab juga bermacam – macam, jika karena GPDO biasanya adanya emboli di arteri serebri
media kiri.
Bicara spontan hampir normal, tetapi tersendat – sendat karena berusaha mencari kata yang tepat
dan berusaha memperbaiki parafasia literal dan verbalnya. Pemahaman auditif dalam situasi
bahasa sehari – hari normal, tetapi bila dites ditemukan gangguan dalam hubungan gramatikal
yang lebih kompleks. Membaca pemahaman hampir sama dengan pemahaman auditifnya.
Kemampuan untuk pengulangan pada pasien biasanya terganggu oleh adanya kesulitan dalam
memproduksi kata.
Gangguan lain: apraksia verbal, apraksia bukofasial, apraksia ideomotoris, sindrom Gerstmann,
dysprosodi.
5. Afasia Anomic
Nama lain: afasia nominal.
Anomia sering dianggap sinonim dengan afasia anomis, padahal sebenarnya berbeda. Anomia
adalah sebuah gejala kesulitan menemukan kata (word-finding difficulty), sedangkan afasia
anomis adalah tipe sindrom afasia dengan gejala utamanya anomia.
Afasia ini mula – mula dapat merupakan afasia anomis, tetapi juga dapat menjadi afasia anomis
dari sindrom afasia lain yang lebih parah. Afasia ini biasanya berkembang dari salah satu afasia
posterior dan karena itu tempat kerusakannya biasanya daerah temporal, temporo-parietal atau
temporo-oksipital di hemisfer kiri.
Penyebabnya: GPDO, tumor, trauma, abses, ensefalitis, penyakit degeneratif. Pada afasia ini yang
terganggu adalah penemuan dan penamaan kata, terutama kata isi yang jarang dipakai, baik pada
saat bicara maupun menulis. Pemahaman bahasa lisan dan tulis (membaca) baik.
6. Afasia Transcortical, mixed
Nama lain: isolasi daerah bicara.
Lokasi kerusakan: daerah – daerah besar korteks asosiasi anterior dan posterior, tetapi daerah
perisylvis tidak terkena.
Penyebab: GPDO, anoksia (misalnya karena keracunan karbon monoksida).
Bicara spontan hampir tidak ada, kecuali ucapan singkat. Kalimat terbuka diteruskan secara
automatis, tanpa adanya pemahaman. Pemahaman terganggu. Membaca dan menulis tidak
mungkin dilakukan.
Gangguan lain: hemiplegia dan hemianopsia (kehilangan lapang pandang sebelah).
7. Afasia Transcortical, motorik
Nama lain: afasia dinamis, sindrom isolasi anterior
Tempat kerusakan: di daerah frontal hemisfer kiri atau di daerah yang berbatasan langsung dengan
daerah broca (di depan atau di belakangnya) atau di dalam daerah premotoris medial atau
superior.
Penyebab: traum, tumor, peradangan, GPDO. Kadang dianggap sebagai ketidakmampuan untuk
mengalihkan pikiran ke dalam kalimat.
Bicaranya seperti gagap. Antara bicara spontan dan meniru ucapan tidak begitu menonjol. Pasien
dapat mengulang suku kata atau kalimat pendek, tetapi pada kalimat yang lebih panjang timbul
perseverasi. Penemuan dan penamaan kata terganggu. Pemahaman bahasa lisan dan tulisan cukup
baik. Kebanyakan pasien ini menderita hemiplegia sebelah kanan.
8. Afasia Transcortical, sensorik
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

Tempat kerusakan: daerah temporo-parieto-oksipital di hemisfer kiri. Penyebabnya: bisa karena


tumor, trauma, GPDO.
Bicara spontan lancar, pemahaman auditif terganggu pada taraf pengaitan bunyi dan arti.
Pemberian nama terganggu, membaca bersuara dapat dilakukan, tetapi membaca tanpa suara sama
atau bahkan lebih buruk daripada pemahaman auditif. Kemampuan menulis sama dengan atau
lebih buruk dari pada kemampuan bicaranya.
Gangguan lain: sindrom Gerstmann, apraksia konstruktif, apraksia ideatoris. Perbedaan yang
mendasar antara afasia TKS dengan demensia adalah adanya parafasia. Sedangkan pada demensia
tidak ditemukannya parafasia.

GERAKAN INVOLUNTER
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

1. Tremor
Merupakan gerakan involunter, dengan irama yang relatif, tak beraturan, dan berfluktuatif.
Gerakannya bisa besar atau kecil. Dapat mengenai satu otot atau lebih. Bisa bersinergis dan dapat
membentuk kompleks.
Ada dua tipe, tremor yang mucul saat istirahat dan muncul saat aktifitas. Tremor saat istirahat
biasanya mucul pada parkinson. Tremor saat aktivitas ada 3 yaitu :
Postural : tremor yang mucul saat mempertahankan posisi dalam menahan gravitasi.
Kinetik : tremor yang mucul saat aktivitas, dapat muncul saat awal bekerja, selama bekerja, atau
diakhir bekerja.
Tremor spesifik pada suatu pekerjaan : tremor yang mucul saat melakukan aktivitas tertentu.
Isometrik : tremor yang muncul saat berdiri dan berkurang saat berjalan.
2. Chorea
Merupakan gerakan involunter, irreguler, tak bertujuan, tak beraturan, tak berirama hiperkinesia.
Muncul saat beristirahat dan meningkat getarannya saat beraktivitas, dalam tenakan, emosi
meningkat dan saat kebingungan. Pasien mungkin berusaha meredamnya dan biasanya hilang saat
pasien tertidur.
3. Athetosis
Gerakan ini involunter, lambat, tidak teratur, kasar, agak berirama dan disertai peningkatan tonus.
Athetosis dapat melibatkan ekstremitas, wajah, leher, dan tubuh. terutama bagian distal, jari-jari,
tangan dan kaki. Gerakan ditandai dengan kombinasi fleksi, ekstensi, abduksi, pronasi, dan
supinasi, sering bergantian dalam berbagai derjat dengan arah gerakannya berubah secara acak.
Anggota badan yang terkena berada dalam gerakan konstan. Hiperekstensi jari dan pergelangan
tangan dan pronasi lengan bawah dapat bergantian dengan fleksi penuh jari-jari dan pergelangan
tangan dan supinasi lengan bawah. Athetosis menghilang saat pasien tidur.
4. Distonia
Dystonia merupakan gerakan spontan, tanpa disengaja, kontraksi otot terus menerus yang
menyebabkan bagian tubuh yang terkena menjadi bergerak abnormal atau dalam postur
abnormal, terkadang disertai dengan kontraksi otot agonis dan antagonis. Dystonia sering
mempengaruhi ekstremitas, leher, tubuh, kelopak mata, wajah atau pita suara, dapat bersifat
konstan atau intermiten, general, segmental, focal, multifocal, atau dalam hemi-distribusi.
5. Hemiballismus
Hemiballismus merupakan gerakan membanting, kasar dan gerakan terus-menerus yang terjadi
pada salah satu sisi tubuh. Hal ini biasanya disebabkan oleh infark atau pendarahan di wilayah inti
subthalamic kontralateral; lesi tersebut menyebabkan disinhibisi dari thalamus motorik dan
korteks, sehingga menyebabkan gerakan hiperkinetik kontralateral. Gerakan balistik
hemiballismus mirip dengan chorea tetapi lebih jelas. Hemiballismus umumnya bersifat unilateral
dan melibatkan hampir setengah bagian tubuh, dan menghilang saat tidur dalam.
6. Mioklonus
Mioklonus adalah istilah yang telah digunakan untuk beberapa fenomena motorik yang berbeda.
Secara umum, mioklonus dapat didefinisikan sebagai gerakan tunggal atau berulang, tiba-tiba,
singkat, cepat, arrhythmic, asynergic, kontraksi involunter yang melibatkan bagian-bagian dari
otot, seluruh otot, atau kelompok otot namun tidak menyebabkan gerakan tertentu. Mioklonus
terlihat terutama pada otot-otot ekstremitas dan tubuh, tetapi keterlibatan sering multifokal, difus,
atau meluas. Mioklonus mungkin muncul secara simetris pada kedua sisi tubuh.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

7. Spasmus
spasme adalah kontraksi involunter dari otot atau kelompok otot. Kontraksi dapat menyebabkan
salah perubahan posisi atau keterbatasan gerakan. Spasme berkepanjangan dapat menyebabkan
kekakuan refleks atau diikuti oleh kontraktur otot.
8. Asteriksis
Kegagalan mempertahankan kontraksi otot saat mempertahankan postur tubuh dengan hilang
timbulnya tonus otot yang aritmis dalam interval yang tidak teratur. Bentuk tangan seperti sedang
menyetop mobil yang sedang berjalan, dimana pergelangan tangan dalam keadaan dorsofleksi.
9. Mioritmia
Istilah mioritmia mengacu pada gerakan menyerupai tremor namun lebih lambat (2-3 Hz) dengan
irama gerakan yang berubah-ubah (bertukar, bolak-balik). Gerakan ini menghilang saat tidur. Ada
pada whipple’s disease
10. Tik
Gerakan motorik atau vokalisasi involunter, tiba-tiba, rekuren, tidak berirama, dan stereotipik.
Gangguan tik merupakan suatu gerakan motorik (yang biasanya mencakup suatu kelompok otot
khas tertentu) yang tidak dapat dikendalikan, berlangsung cepat, dan tidak memiliki tujuan yang
sama. Ada 2 tipe tik, yaitu motorik (kedipan mata, angkat bahu, dll) dan vokal (mendengkur,
mendengus).
11. Akatisia
Muncul sebagai efek samping obat psikotropik yang ditandai dengan rasa kegelisahan yang timbul
dari dalam dan keinginan untuk terus bergerak.
12. Stereotipi
Adalah aktivitas motorik berpola yang berulang, tidak bertujuan tetapi sering terlihat bertujuan,
tanpa disengaja dan tanpa disadari. Sering merupakan kebiasaan (simpel stereotipi) seperti
menggentar-getarkan kaki. Untuk komplek stereotipi terjadi panya pasien OCD, skizofrenia, autis,
dan mental retardasi.
13. Hiperekspleksia
Merupakan respon kejut yang berlebihan, mungkin mengalami ekolalia, koprolalia dan kepatuhan
paksa. Contohnya seperti latah.
14. Fasikulasi
Merupakan gerakan halus, cepat dan berkedut dari satu berkas (fasikulus) serabut otot atau satu
unit motorik yang berada dibawah kulit. Fasikulasi merupakan tanda adanya lesi pada LMN.
Fasikulasi tidak menyebabkan sendi tidak bergerak (kecuali pada jari-jari), jadi hanya otot yang
berkedut.
15. Miokimia
Mengacu pada gerakan bergetar yang tidak disadari, bergerak spontan, berpacu pada satu lokasi,
sekejap atau bertahan lama. gerakan ini mengenai beberapa lapisan otot dana satu ikatan otot
tetapi biasanya gerakan ini tidak membuat sendi bergerak. Gerakan ini sedikit kasar, lebih lemah
dan bergelombang (seperti ada cacing yang bergerak). Contohnya yaitu adanya kedutan pada otot
orbiculasi oculi (otot kelopak mata) yang timbul akibat kelelahan bergadang dan saat cemas.

PEMERIKSAAN MOTORIK
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

A. Kekuatan Motorik dan Tenaga

Definisi :
Kekuatan Motorik dan Tenaga adalah kapasitas dari otot untuk mengerahkan kekuatan dan
mengeluarkan energi. Kelemahan dari kapasitas otot disebut dengan paresis dan tidak adanya
kontraksi dari otot disebut paralisis atau plegia. Secara garis besar intepretasi dari kekuatan otot
disebutkan sebagai berikut
1 : Adanya kedipan atau jejak dari kontraksi
2 : Gerakan aktif dengan menghilangkan gravitasi
3 : Gerakan aktif melawan gravitasi
4- : Gerakan aktif melawan gravitasi dengan tahanan ringan
4 : Gerakan aktif melawan gravitasi dengan tahanan sedang
4+ : Gerakan aktif melawan gravitasi dengan tahanan kuat
5 : Normal

Cara Pemeriksaan :
1. M. Deltoid.
Pasien dalam posisi berdiri tegak dengan lengan sejajar dengan tubuh pasien. Pasien diminta
untuk mengabduksi lengannya (mengkat lengan menjauhi sumbu tubuh) melawan tahanan.
Tujuan pemeriksaan deltoid untuk mengetahui apakah pasien mampu mengabduksi lengannya
hingga 90o melawan tahanan atau menahan abduksi pada posisi horizontal. Bandingkan dengan
sisi kanan dan kiri. Pada 15o pertama gerakan abduksi, otot deltoid dibantu oleh otot
supraspinatus. Jadi penilaian sebaiknya setelah 15o pertama. kekuatan otot dikatakan 3/5 jika
pasien mampu mengabduksi lengan melawan gravitasi tetapi tidak mampu melawan tahanan.
Kekuatan otot dikatakan 2/5 jika pasien melakukan “trik” dimana pasien memiringkan tubuhnya
atau menaikkan bahu dalam usahanya mengabduksi lengan.
Inervasi : C5-C6
Saraf Perifer : Nervus Axillaris

2. M. Biseps
Pasien diinstruksikan untuk memfleksikan sikunya (menekuk siku) melawan tahanan dalam
posisi lengan supinasi, kontraksi dari m. biseps dapat dilihat dan diraba. Kita dapat melihat
kelemahan m. biseps ketika pasien melakukan trik berupa mengubah posisi lengan lebih pronasi
(menggunakan m. brachioradialis) atau menarik bahu kebelakang.
Inervasi : C5-6
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

Saraf Perifer : Nervus musculocutaneus

3. M. Triceps
Pasien diinstruksikan untuk mengekstesikan sikunya (meluruskan siku) dari posisi 90 o menjadi
lurus melawan tahanan. Tidak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan dari posisi fleksi penuh
karena pada posisi ini tenaga dari triceps sendiri berkurang.
Inervasi : C6-8
Saraf Perifer : Nervus radialis

4. Fleksi Pergelangan Tangan


Lengan pasien diposisikan dalam posisi supinasi, dimana pasien diminta menekuk pergelangan
tangannya melawan tahanan. Otot yang berperan dalam fleksi pergelangan tangan adalah Flexor
carpi radialis dan flexor carpi ulnaris. Ada beberapa otot yang turut membantu antara lain
Palmaris longus, flexor digitorum profundus, flexor digitorum superficial, flexor pollicis longus,
dan abductor pollicis longus.
Inervasi : FCR C6-7
FCU C7 - T1
Saraf perifer : FCR nervus medianus
FCU nervus ulnaris
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

5. Ekstensi Pergelangan Tangan


Lengan pasien diposisikan dalam keadaan pronasi, dimana pasien diminta untuk
mengekstensikan pergelangan tangan pasien melawan tahanan pemeriksa. Otot yang berperan
dalam ekstensi pergelangan tangan adalah ekstensor carpi radialis longus, ekstensor carapi
radialis brevi, ekstesor carpi ulnaris.
Inervasi : ECRL C6-7
ECRB & ECU C7 – C8
Saraf perifer : ECRL nervus radialis
ECRB & ECU nervus radialis

6. Membuka jari-jari tangan


Tangan pasien diposisikan pada posisi pronasi dimana menahan pertengahan jari pasien lalu
pasien diinstrusikan untuk mengangkat jari pemeriksa menggunakan jari-jarinya. Otot utama
dalam ekstensi jari adalah ekstensor digitorum communis, ekstensor indicis propius, dan
ekstensor digiti minimi.
Inervasi : EDC, EIP, EDM C7 - C8
Saraf Perifer : EDC, EIP, EDM nervus radialis
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

7. Menutup jari-jari tangan


Tangan pasien di posisikan pada posisi supinasi dimana pemeriksa menahan pertengahan jari
pasien lalu menginstruksikan untuk menutup jari-jari tangan pasien. Otot utama flexi pada jari
adalah flexor digitorum superficial and flexor digitorum profundus.
Inervasi : FDS & FDP C8 – T1
Saraf Perifer : FDS & FDP nervus radialis

8. Fleksi Panggul
Prinsip dari fleksi panggul adalah m. iliopsoas (2 bagian psoas dan iliacus). Psoas diinervasi oleh
cabang fleksus lumbosakral (L1-L4). Iliacus diinervasi oleh n. femoral (L2-L4).
Pasien posisi duduk : pasien tidak boleh bersandar ke belakang. Pemeriksa berdiri dekat dengan
pasien dan menggunakan berat badannya untuk memberikan tahanan terhadap fleksi panggul.
Pasien posisi berbaring : Pasien dengan kelemahan fleksi panggul masih dapat memfleksikan
penggulnya dengan lutut yang ekstensi, jika kelemahan lebih berat maka panggul hanya bisa
difleksikan dengan lutut dalam keadaan fleksi. Pasien berusaha untuk mempertahankan kedua
ekstremitas bawah fleksi pada panggul dan lutut ekstensi dengan sudut 45 derajat terhadap kasur,
kaki berjauhan. Jika kelemahan fleksi panggul unilateral maka salah satu ekstremitas bawah akan
turun lebih cepat dari pada yang lain.
Inervasi : L1-L4
Saraf Perifer : nervus femoral

9. Ekstensi Panggul
Otot ekstensi panggul yang utama adalah m. gluteus maksimus yang diinervasi oleh n, gluteus
inferior. Pemeriksaan ekstensi panggul lebih baik dilakukan dengan posisi prone, pasien
mengangkat lutut dengan posisi fleksi melawan tekanan ke bawah dari pemeriksa. M. gluteus
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

maksimus juga dapat diperiksa dengan pasien posisi berbaring miring dengan panggul ekstensi,
atau duduk dan mencoba menekan lutut yang diangkat kembali kebawah, pemeriksa memegang
dari bawah paha bagian distal atau menguji kemampuan untuk berdiri tegak dari posisi bungkuk.
Dengan kelemahan panggul, khususnya pada distrofi otot, yang ditandai dengan kelemahan
ekstensor panggul, pasien akan berdiri dari posisi bungkuk dengan menggunakan tangannya
untuk menaikkan kaki (Gowers manuver).
Inervasi : L5 – S2
Saraf Perifer : nervus inferior gluteal

10. Fleksi Lutut


Fleksi lutut dipengaruhi oleh m. hamstring (biceps femoris, semimembranosus, semitendinosus).
Bisep femoris (eksternal atau lateral hamstrirng). M. semimembranosus dan semitendinosus
(internal atau medial hamstring) Dapat diperiksa dengan posisi prone, supine, atau duduk.
Dengan lutut setengah fleksi pasien melawan usaha pemeriksa untuk meluruskan lutut. Pada
posisi prone pasien berusaha untuk mempertahankan kedua lutut fleksi 45 derajat terhadap
sumbu horisontal dengan kaki sedikit berjauhan. Ketika fleksi lutut lemah satu sisi, yang lemah
akan mudah turun perlahan atau dengan cepat (leg drift, leg sign of Barre). Pada posisi prone
akan lebih mudah untuk melihat dan mempalpasi kontraksi otot meminimalisir misinterpretasi
akibat aksi simultan dari fleksor panggul.
Inervasi : L5, S1-S2
Saraf Perifer : nervus tibial

11. Ekstensi Lutut


M. quadriceps femoris yang diinervasi oleh n. femoral (L2-L4) merupakan ekstensor lutut
primer. Terdiri dari 4 otot besar (rektus femoris, vastus lateralis, vastus medialis, vastus
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

intermedius) yang bergabung menjadi satu membentuk tendon yang masuk ke dalam batas atas
patella. Dapat diperiksa dengan posisi duduk atau berbaring. Pasien berusaha untuk
mengekstensikan lutut melawan tahanan pemeriksa. Untuk memeriksa m. quadriceps kanan,
pemeriksa berdiri pada bagian luar lutut dan memegang pada bagian dalam, menempatkan siku
kirinya, lengan bawah pronasi dibawah lutut pasien yang difleksikan, tangan kanan berada pada
tarea tulang kering yang memungkinkan, dan kemudian menggenggam lengan bawah kanan
dengan tangan kirinya, mengunci kaki pasien dari depan dan belakang. Pemeriksa kemudian
menarik keatas dengan siku bersamaan dengan mendorong kebawah dengan tangan ketika pasien
mencoba untuk mengekstensikan lututnya.

12. Plantar-Fleksi Kaki


Plantar fleksi kaki dilakukan oleh m.gastrocnemius dan m.soleus. Otot betis diinervasi oleh
n.tibial (S1-S2). Fungsi dari otot ini diperiksa secara manual dengan memplantar-fleksikan ankle
dimana pemeriksa memberikan tahanan dengan tekanan melawan telapak kaki. Teknik lain yang
membantu adalah gunakan lengan bawah untuk mengangkat dengan tangan menggenggam tumit
pasien dan berikan dorongan melawan the ball of the foot dengan lengan bawah. Tes plantar
fleksor yang baik adalah dengan neminta pasien untuk berdiri jinjit. Normalnya pasien dapat
meyokong berat badan tubuh dengan satu kaki jinjit, melompat dengan satu kaki dan dengan
mengangkat seluruh jari kaki ketika berdiri dengan satu kaki.

13. Dorso-Fleksi Kaki


Dorsofleksi kaki dilakukan oleh m. tibialis anterior yang diinervasi oleh n. deep peroneal (L4-
L5). Diperiksa dengan menarik kaki pasien keatas melawan tahanan pemeriksa. Bisa juga
diperiksa dengan membiarkan pasien berdiri dengan tumit, dan mengangkat jari kaki setinggi
mungkin. Jari kaki pada otot yang lemah tidak akan bisa terangkat jauh.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

14. Gerakan Jari-Jari Kaki


Ekstensor jari kaki adalah m. ekstensor digitorum longus (EDL) dan m. ekstensor digitorum
brevis (EBD) dan m ekstensor hallucis longus (EHL). Otot tersebut diinervasi oleh n. deep
peroneal (EDL dan EDB L5-S1, EHL L5). Dorsofleksi jari kaki melawan tahanan dilakukan
untuk memeriksa otot ini.
Fleksi jari kaki dilakukan oleh m. fleksor digitorum dan m. hallucis brevis dan beberapa otot
intrinsik pada betis. Fleksor jari kaki panjang adalah otot betis diinervasi oleh n.tibial (L5, S1-
S2), flexor jari kaki pendek diinervasi oleh n. medial plantar (S1-S2). Otot ini diperiksa dengan
meminta pasien memfleksikan jari kaki melawan tahanan.

B. Tonus Otot

Definsi : tegangan pada waktu otot beristirahat, atau tahanan pada gerakan pasien ketika kontraksi
yang disadari tidak dilakukan. Karena pada waktu otot beristirahat maka normalnya akan terjadi
tahanan ringan ketika dilakukan gerakan pasif.
Interpretasi tonus yaitu:
1. Normotonus
2. Hipotonus
Hipotonus adalah menurunya tegangan otot ketika dilakukan gerakan pasif. Keadaan ini
biasanya disebabkan oleh kelainan pada unit motorik (Lesi UMN akut atau Lesi LMN).
3. Hipertonus
Hipertonus adalah peningkatan tonus otot dimana dapat dibagi menjadi 2 yaitu rigiditas dan
spastisitas.
Pemeriksaaan tonus
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

Pemeriksaan tonus sifatnya subjektif. Diperlukan pasien yang cukup kooperatif. Berikut beberapa
pemeriksaan tonus :
1. Babinski tonus test
Dilakukan abduksi pada lengan pasien, lalu siku difleksikan. Pada keadaan hipotonus siku
lebih mudah dilipat dan digerakan. Pada keadaan hipertonus fleksi sulit dilakukan dan fleksi
pasif diluar sudut tumpul siku sulit dilakukan.
2. The Head-dropping test
Pasien berbaring dengan posisi supinasi. Pasien diinstruksikan untuk rileks dan menutup
mata. Lalu kepala pasien diangkat oleh pemeriksa (difleksikan), ketika dilepaskan maka
kepala pasien akan jatuh ke tangan pemeriksa dengan cepat. Tetapi pada pasien dengan
rigiditas terjadi perlambatan karena adanya tahanan pada otot leher.
3. Pendulousness of the leg
Pasien duduk pada ujung tempat tidur dengan posisi menggantung. Lalu pemeriksa
meluruskan kedua kaki pasien, lalu melepaskan kedua kaki secara tiba-tiba (Wartenberg’s
pendulum test). Pada pasien dengan rigiditas adanya penurunan kecepatan ketika kaki
berayun, sedangkan pada pasien dengan spastisitas hanya sedikit penurunan kecepatan
ayunan kaki, tetapi gerakan kaki terlihat tersentak- sentak dan gerakan dapat terlihat zig-zag.
Pada pasien dengan hipotonus terjadi peningkatan ayunan kaki.
4. The Shoulder-Shaking Test
Pemeriksa meletakkan kedua tangan pada bahu pasien. Lalu mengocok bahu pasien ke depan
dan belakang dengan cepat lalu meperhatikan gerakan lengan pasien. Pasien dengan kelainan
ekstrapiramidal mengalami penurunan jarak ayunan pada lengan.
5. The Arm-Dropping Test
Lengan pasien diangkat sejajar dengan bahu secara cepat. Lalu di lepas tiba-tiba. Pada pasien
dengan spastisitas terjadi perlambatan ketika lengan di lepas (Bechtrew’s or Bekhtrew’s sign)
6. Hand Position
Pada hipotonus, terutama yang berhubungan dengan penyakit serebral atau Syndenham’s
chorea, memiliki posture yang khas. Lengan dan tangan yang terentang disertai fleksi pada
pergelangan tangan dan hiperekstensi pada jari-jari, dan juga didapatkan pronasi berlebih.

C. Volume dan Kontur Otot

Perubahan ukuran atau bentuk dari otot atau sekumpulan otot, terutama yang bersifat asimetris yang
mungkin signifikan. Atrofi otot (amyotrophy) penurunan dari volume atau massa otot yang disertai
perubahan bentuk atau kontur.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, dan pengukuran. Inspeksi secara umum
membandingkan kesimetrisan antara 2 bagian tubuh, ada tidaknya penipisan, lekukan, atau
pembesaran otot. Palpasi pada otot yang normal biasanya semi elastic. Pada hipertropi otot biasanya
terasa keras dan kaku. Pada atrofi otot biasanya lunak dan lembek. Pada pseudohipertrofi, otot
mungkin terlihat besar tetapi.

REFLEKS FISIOLOGIS dan REFLEKS PATOLOGIS Diisikan gambar-gambarnya)

Pemeriksaan Reflex Fisiologis


Pembimbing: dr. Agus Suryawan

Refleks Fisiologis adalah reflex regang otot (muscle stretch reflex) yang muncul sebagai
akibat rangsangan terhadap tendon atau periosteum atau kadang-kadang terhadap tulang, sendi, fasia
atau aponeurosis.
Dasar pemeriksaan refleks :
1. Pemeriksaan menggunakan alat refleks hammer
2. Penderita harus berada dalam posisi rileks dan santai. Bagian tubuh yang akan diperiksa
harus dalam posisi sedemikian rupa sehingga gerakan otot yang nantinya akan terjadi dapat
muncul secara optimal
3. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung;keras pukulan harus dalam batas nilai
ambang, tidak perlu terlalu keras
4. Oleh karena sifat reaksi tergantung pada tonus otot, maka otot yang diperiksa harus dalam
keadaan sedikit kontraksi
Jenis-jenis Pemeriksaan Refleks fisiologis
a. Pemeriksaan Refleks pada Lengan
Pemeriksaan Reflex Biseps
 Pasien duduk dengan santai,lengan dalam keadaan lemas,siku dalan posisi sedikit fleksi dan
pronasi.
 Letakan ibu jari pemeriksa di atas tendo biseps,lalu pukul ibu jari tadi dengan menggunakan
refleks hammer.
 Reaksinya adalak fleksi lengan bawah. Bila refleks meninggi maka zona refleksogen akan
meluas.

Pemeriksaan Refleks Triseps


 Posisi pasien sama dengan pemeriksaan refleks bisep
 Apabila lengan pasien sudah benar-benar relaksasi (dengan meraba trisep tidak teraba
tegang), pukullah tendon yang lewat di fossa olekrani
 Maka trisep akan berkontraksi dengan sedikit menyentak
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

b. Pemeriksaan Refleks pada Tungkai


Refleks Patella
 Pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai
 Daerah kanan-kiri tendo patella terlebih dahulu diraba, untuk menetapkan daerah yang tepat.
 Tangan pemeriksa yang satu memegang paha bagian distal, dan tangan yang lain memukul
tendo patella tadi dengan reflex hammer secara tepat.
 Tangan yang memegang paha tadi akan merasakan kontraksi otot kuadriseps, dan pemeriksa
dapat melihat tungkai bawah yang bergerak secara menyentak untuk kemudian berayun
sejenak. Apabila pasien tidak mampu duduk, maka pemeriksaan reflex patella dapat
dilakukan dalam posisi berbaring.

Refleks Achiles
 Pasien dapat duduk dengan posisi menjuntai, atau berbaring tau dapat pula penderita berlutut
dimana sebagian tungkai bawah dan kakinya menjulur di luar kursi pemeriksaan.
 Pada dasarnya pemeriksa sedikit meregangkan tendon achiles dengan cara menahan ujung
kaki kearah dorsofleksi.
 Tendon Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat.
 Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak.

Pemeriksaan Refleks Patologis


Refleks patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai pada individu normal.
Refleks patologis pada ekstemitas bawah lebih konstan, lebih mudah muncul, lebih reliabel dan lebih
mempunyai korelasi secara klinis dibandingkan pada ekstremitas atas.
Dasar pemeriksaan reflex :
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

 Selain dengan jari-jari tangan untuk pemeriksaan reflex ekstremitas atas,bisa juga dengan
menggunakan reflex hammer.
 Pasien harus dalam posisi enak dan santai
 Rangsangan harus diberikan dengan cepat dan langsung

Jenis-jenis pemeriksaan refleks patologis


a. Refleks Hoffmann-Tromner
Cara pemeriksaan : tangan penderita dipegang pada pergelangannya dan suruh pasien melekukan
fleksi ringan jari-jarinya. Kemudian jari tengah pasien diregangkan dan dijepit diantara jari
telunjuk dan jari tengah pemeriksa. Lalu lakukan :
Hoffmann : “Goresan” pada ujung jari tengah pasien reaksi : fleksi dan adduksi ibu jari disertai
dengan fleksi telunjuk dan jari-jari lainnya.
Tromner : “Colekan” pada ujung jari pasien maka akan muncul reaksi yang sama dengan
hoffmann
b. Babinsky sign
Cara pemeriksaan : pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu refleks.
Reaksi : Dorsofleksi ibu jari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari lainnya
Refleks Grup Babinsky :
1. Chaddock’s sign
Cara : Pemeriksa menggores dibawah dan sekitar maleolus eksterna ke arah lateral dengan
palu refleks ujung tumpul.
Reaksi : Sama dengan babinski sign
2. Gordon’s sign
Cara : Pemeriksa menekan oto-otot betis dengan kuat
Reaksi : Sama dengan babinski sign
3. Schaeffer’s sign
Cara : Pemeriksa menekan tendo Achilles dengan kuat
Reaksi : Sama dengan babinski’s sign
4. Oppenheim’s sign
Cara : Pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari dan telunjuk pada permukaan
anterior tibia kemudian digeser ke arah distal
Reaksi : Sama dengan babinski’s sign

SENSABILITAS
1. SENSABILITAS PRIMER
 Pemeriksaan sensasi nyeri superfisial
Nyeri merupakan s ensasi yang paling baik untuk menentukan batas gangguan sensorik. Alat
yang digunakan adalah jarum berujung tajam dan tumpul.
Cara pemeriksaan:
a. Mata penderita ditutup
b. Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum pada dirinya sendiri.
c. Tekanan terhadap kulit penderita seminimal mungkin jangan sampai menimbulkan
perlukaan.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

d. Rangsangan terhadap terhadap kulit dilakukan dengan ujung runcing dan ujung tumpul
secara bergantian.Penderita diminta menyatakan sensasinya sesuai yang dirasakan.
Penderita jangan ditanya: apakah anda merasakan ini atau apakah ini runcing?
e. Bandingkan daerah yang abnormal dengan daerah normal yang kontralateral tetapi sama
(misalnya: lengan bawah volar kanan dengan kiri)
f. Penderita juga diminta menyatakan apakah terdapat perbedaan intensitas ketajaman
rangsang di daerah yang berlainan.
g. Apabila dicurigai daerah yang sensasinya menurun/meninggi maka rangsangan dimulai
dari daerah tadi ke arah yang normal.
 Pemeriksaan sensasi nyeri tekan dalam
Pemeriksaan dilakukan dengan cara menekan tendo Achilles,fascia antara jari tangan IV dan
V atau testis.
 Pemeriksaan sensasi taktil/raba
Alat yang dipakai adalah kapas, tissue, bulu, kuas halus, dan lain-lain.
Cara pemeriksaan :
a. Mata penderita ditutup
b. Pemeriksa terlebih dahulu mencoba alat pada dirinya sendiri.
c. Stimulasi harus seringan mungkin, jangan sampai memberikan tekanan terhadap jaringan
subkutan. Tekanan dapat ditambah sedikit bila memeriksa telapak tangan atau telapak
kaki yang kulitnya lebih tebal.
d. Mulailah dari daerah yang dicurigai abnormal menuju daerah yang normal.
Bandingkan daerah yang abnormal dengan daerah normal yang kontralateral tetapi sama
(misalnya: lengan bawah volar kanan dengan kiri)
e. Penderita diminta untuk mengatakan “ya” atau “tidak” apabila merasakan adanya
rangsang, dan sekaligus juga diminta untuk menyatakan tempat atau bagian tubuh mana
yang dirangsang.
 Pemeriksaan sensasi getar/vibrasi
Alat yang digunakan adalah garpu tala berfrekuensi 128 atau 256 Hz.
Cara pemeriksaan:
a. Garpu tala digetarkan dengan memukulkan pada benda padat/keras.
b. Kemudian pangkal garpu tala diletakkan pada daerah dengan tulang yang menonjol
seperti ibu jari kaki, pergelangan tangan, malleolus lateralis/medialis, procc.spinosus
vertebrae, siku, bagian lateral clavicula, lutut,tibia, sendi-sendi jari dan lainnya.
c. Bandingkan antara kanan dan kiri.
d. Catat intensitas dan lamanya vibrasi.
e. Untuk penentuan lebih cermat, garpu tala kemudian dipindahkan pada bagian tubuh yang
sama pada pemeriksa.
Apabila pemeriksa masih merasakan getaran, berarti rasa getar penderita sudah menurun.
 Pemeriksaan sensai gerak dan posisi
Tujuannya adalah memperoleh kesan penderita terhadap gerakan dan pengenalan terhadap
arah gerakan, kekuatan, lebar atau luas gerakan (range of movement) sudut minimal yang
penderita sudah mengenali adanya gerakan pasif, dan kemampuan penderita untuk
menentukan posisi jari dalam ruangan. Tidak diperlukan alat khusus.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

Cara pemeriksaan:
a. Mata penderita ditutup.
b. Penderita diminta mengangkat kedua lengan di depan penderita menghadap ke atas.
c. Penderita diminta mempertahankan posisi tersebut.
Pada kelemahan otot satu sisi atau gangguan proprioseptik maka lengan akan turun dan
menuju ke arah dalam.
Modifikasi dari tes ini adalah dengan menaik turunkan kedua tangan dan penderita diminta
menanyakan tangan mana yang posisinya lebih tinggi.Kedua tes di atas dapat dikombinasi
dengan modifikasi tes Romberg. Caranya: penderita diminta berdiri dengan tumit kanan dan
jari-jari kaki kiri berada pada satu garis lurus dan kedua lengan ekstensi ke depan. Kemudian
penderita diminta menutup matanya. Bila ada gangguan proprioseptik pada kaki maka
penderita akan jatuh pada satu sisi.
Untuk tes posisi dapat dilakukan dengan cara berikut:
a. Penderita dapat duduk atau berbaring, mata penderita ditutup.
b. Jari-jari penderita harus benar-benar dalam keadaan relaksasi dan terpisah satu sama lain
sehingga tidak bersentuhan.
c. Jari penderita digerakkan secara pasif oleh pemeriksa, dengan sentuhan seringan mungkin
sehingga tekananterhadap jari-jari tersebut dapat dihindari, sementara itu jari yang
diperiksa tidak boleh melakukan gerakan aktif seringan apapun.
d. Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada perubahan posisi jari atau adakah
gerakan pada jarinya.
Cara lain adalah dengan menempatkan jari-jari salah satu penderita pada posisi tertentu dan
meminta penderita diminta menirukan posisi tersebut pada jari yang lain.
 Pemeriksaan sensasi suhu
Alat yang dipakai adalah tabung berisi air bersuhu 5-10ºC untuk sensasi dingin dan air 40-
45ºC untuk sensasi panas.
Cara pemeriksaan:
a. Penderita lebih baik pada posisi berbaring. Mata penderita ditutup.
b. Tabung panas/dingin lebih dahulu dicoba terhadap diri pemeriksa.
c. Tabung ditempelkan pada kulit penderita dan penderita diminta menyatakan apakah
terasa dingin atau panas.

2. SENSABILITAS SEKUNDER
 Two point tactile discrimination
Diperiksa dengan dua rangsangan tumpul pada dua titik di anggota gerak secara serempak,
bisa memakai jangka atau calibrated two point esthesiometer.Pada anggota gerak atas
biasanya diperiksa pada ujung jari orang normal bisa membedakan dua rangsangan pada
ujung jari bila jarak kedua rangsangan tersebut lebih besar dari 3 mm. Ketajaman
menentukan dua rangsangan tersebut sangat bergantung pada bagian tubuh yang diperiksa,
yang penting adalah membandingkan kedua sisi tubuh.
 Graphesthesia
Pemeriksaan graphesthesia dilakukan dengan cara menulis beberapa angka pada bagian tubuh
yang berbeda-beda dari kulit penderita. Pasien diminta mengenal angka yang digoreskan pada
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

bagian tubuh tersebut sementara mata penderita ditutup. Besar tulisan tergantung luas daerah
yang diperiksa. Alat yang digunakan adalah pensil atau jarum tumpul. Bandingkan kanan
dengan kiri.
 Stereognosis = astereognosis
Diperiksa pada tangan. Pasien menutup mata kemudian diminta mengenal sebuah benda
berbentuk yang ditempatkan pada masing-masing tangan dan merasakan dengan jari-jarinya.
Ketidakmampuan mengenal benda dengan rabaan disebut sebagai tactile anogsia atau
astereognosis. Syarat pemeriksaan sensasi proprioseptik harus baik.
 Topografi/topesthesia = topognosia
Kemampuan pasien untuk melokalisasi rangsangan raba pada bagian tubuh tertentu. Syarat
pemeriksaan, rasa raba harus baik.
 Barognosis = abarognosis
Membedakan berat antara dua benda, sebaiknya diusahakan bentuk dan besar bendanya
kurang lebih sama tetapi beratnya berbeda. Syarat pemeriksaan, rasa gerak dan posisi sendi
harus baik.
 Sindroma Anton-Babinsky = anosognosia
Anosognosia adalah penolakan atau tidak adanya keasadaran terhadap bagian tubuh yang
lumpuh atau hemiplegia. Bila berat, pasien akan menolak adanya kelumpuhan tersebut dan
percaya bahwa dia dapat menggerakkan bagian-bagian tubuh yang lumpuh tersebut.
 Sensory inattention = extinction phenomenon
Alat yang digunakan adalah kapas, kepala jarum atau ujung jari. Cara pemeriksaan adalah
dengan merangsang secara serentak pada kedua titik di anggota gerak kanan dan kiri yang
letaknya setangkup, sementara itu mata ditutup. Mula-mula diraba punggung tangan pasien
dan pasien diminta menggenal tempat yang diraba. Kemudian rabalah pada tititk yang
satangkup pada sisi tubuh yang berlawanan dan ulangi perintah yang sama. Setelah itu
dilakukan perabaan pada kedua tempat tersebut dengan tekanan yang sama secara serentak.
Bila ada extinction phenomen maka pasien hanya akan merasakan rangsangan pada sisi tubuh
yang sehat saja.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

PEMERIKSAAN NERVUS KRANIALIS

A. N. Olfaktorius
Defisit penciuman kadang-kadang dibagi menjadi ( a) defisit konduktif , karena proses mengganggu
kemampuan aroma untuk menghubungi epitel penciuman , seperti polip hidung ; dan (b )
sensorineural atau neurogenic defisit , karena disfungsi dari reseptor atau koneksi sentral mereka
Syarat pemeriksaan :
1. Pasien sadar dan kooperatif
2. Pastikan jalur pernafasan bersih
3. Gunakan bau yang tidak menyengat
Pemeriksaan
a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah dapat dimulai dari lubang hidung yang sehat terlebih
dahullu dan lubang lainnya ditutup.
b. Mata pasien ditutup dan satu lubang hidung disumbat, dekati bau zat tersebut.
c. Mintalah pasien untuk mengendus dan menunjukkan apakah dia mengenal bayu bau sesuatu.
Ulangi untuk lubang hidung lainnya dan membandingkan dua sisi.
d. Banyak zat dapat digunakan untuk menguji bau (misalnya, Wintergreen, cengkeh, kopi, dan
kayu manis). Di samping tempat tidur atau di klinik yang bisa digunakan obat kumur, pasta
gigi, alkohol, sabun, dan zat sejenis.
Interpretasi
 Anosmia dapat terjadi dalam berbagai kondisi. Mungkin kongenital atau diperoleh. Ada
empat penyebab utama anosmia yang terdiri dari infeksi saluran pernafasan atas, trauma,
penyakit hidung dan sinus, dan idiopatik.
 Lesi yang melibatkan permukaan orbital dari otak dapat menyebabkan anosmia unilateral.
Sebuah gambaran klinis khas dengan sphenoidal ridge meningioma terdiri dari atrofi
unilateral optik atau papilledema dan exophthalmos, dan anosmia ipsilateral. Dalam
meningioma dari alur atau piring berkisi daerah penciuman, anosmia unilateral terjadi awal,
maju ke anosmia bilateral, sering disertai dengan neuropati optik.
 Anosmia juga dapat terjadi dengan tumor lobus frontal lainnya, dan dengan parasellar dan
hipofisis lesi.
 Sindrom Foster Kennedy terdiri dari anosmia unilateral disertai atrofi optik ipsilateral dan
kontralateral papilledema.

B. N. Optic
Fungsi saraf optik diuji dengan memeriksa berbagai modalitas penglihatan: pemeriksaan visus dan
komponen khusus penglihatan, seperti penglihatan warna dan siang dan malam penglihatan. Saraf
optik adalah salah satu saraf kranial yang dapat divisualisasikan secara langsung dengan pemeriksaan
ophthalmoscopic dari disk optik dan retina.
1. Tajam pengelihatan
Pasien diminta melakukan pemeriksaan mata kanan dan kiri secara terpisah dengan menutup
salah satu mata. Jarak yang diberikan antara pasien dengan snellen chart berjarak 6 meter atau 20
feet. Ketajaman dihitung pada lebih dari setengah karakter dapat pasienbaca pada line yang
seharusnya dapat terbaca. Jika pasien dapat membaca pada baris 20/30 dan 2 karakter pada 20/25
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

maka dituliskan visus 20/30 + 2 dimana 20(6m) dikatakan sebagai


nominator dimana huruf terkecil yang dapat dibaca oleh orang normal.
Jika pasien tidak dapat membaca huruf terbesar yang ada padan snelen
chart makan pemeriksaan dilanjutkan menggunakan hitung jari,
lambaian tangan dan presepsi cahaya.
Interpretasi:
Jika ada kelain visus, maka dapat dilakukan percobaan denga pihole
untuk mengeksklusi kelainan refraksi dimana visus tidak akan
meningkat dengan pemberian pinhole.

2. Pengelihatan warna
Masalah pengelihatan warna dapat dikaitkan dengan kelainan
neurologis. Berkurangnya pengelihatan mata dapat berupa total
ataupun sebagian.
Pemeriksaan:
Pemeriksaan pengelihatan warna dapat dilakukan dengan
menggunakan cetakan warna seperti pada Ishihara, Hardy-Ritter-Rand
atau sejenisnya.
Pada kasus neurologis, warna merah adalah yang paling pertama terkena. Oleh sebab itu perlu
membandingkan penilaian tentang kecerahan atau kemerahan dari gambar pada mata kanan dan
kiri, lapang pandang temporal atau nasal, central atau lapang pandang perifer
Interpretasi:
Jika ada kelainan pada pemeriksaan maka kelainan pada satu sisi dapat merupakan disfungsi n.
optic yang beberapa perlu dikaitkan dengan afferent pupillary defect (APD), relative afferent
pupillary defect, atau Marcus-Gunn pupil.
3. Lapang pandang
Pemeriksaaan ini sangat penting dalam pemeriksaan neurologi. Pada orang normal lapang
pandang 90-1000 temporal, 600 nasal, 50-600 superior dan 60-750 inferior.
Syarat:
a. Pasien sadar dan koperatif
b. Dapat fiksasi
c. Illuminasi adekuat
Pemeriksaan :
Pasien dan pemeriksa sama sama memfiksasi mata yang akan diperiksa dan jari pemeriksa
menggerakkan jari dari luar dan pasien akan mengkonfirmasi gerakan jari dengan pemeriksa.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

Interpretasi :
a. Skrotoma
b. Hemianopia

4. Pemeriksaan Ophtalmoskop
Dilakukan dengan melihat posterior chamber dan opticnerve dengan menggunakan
opthalmoskop.
Interpretasi
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

Keluar dari oculomotor nuclear complex di otak tengah dan pergi ke otot ekstraokular dan jaras
parasimpatis ke pupil dan badan siliar.
Nervus ini terbegi 2 yaitu superior divisi dan inferior divisi.
Divisi inferior  rektus medial dan inferior, rektus inferior oblique dan pupil
Divisi superior  levator palpebral superior dan

C. N. Tochlear (CN IV)


Keluar dari Tochlear nucleus di anterior aqueduct dalam gray matter dari lower mensephalon
setinggi inferior colliculus.
Mensarafi superior oblique.

D. N. Abdusen (CN VI)


Berasal dari antara mid dan lower pons, di gray matter dari dorsal palatine tegmentum pada lantai
ventrikel keempat dan bergabung dengan serat facial nerve.
Mensarafi lateral rektus
Pemeriksaan fisik N. okulomotor
1) Inspeksi – kelainan ocular yang menonjol (posisi kelopak, posisi mata, bentuk dan gambaran
mata)
a. Kelopak mata
 Total unilateral ptosis hanya dapat terdapat pada nervus tiga palsy komplit
 Unilateral ptosis ringan-sedang = bagian horner syndrome atau dan partial third nerve
palsy, MG
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

 Bilateral ringan sedang = neuromuscular disorder (MG, muscular dystrophy, or ocular


myopathy)

b. Pupil
 Bentuk
 Ukuran ( dilating, midriasis, miosis)
 Kesimetrisan
 Posisi
 Reflek pupil
 Reflek akomodasi
 Reflek afferent pupillary defect
Interpretasi
Pembimbing: dr. Agus Suryawan
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

c. Pergerakan bola mata


Pasien diminta mengikuti sebuah benda dengan kepala terfiksasi dengan halus dan
terkonjugasi. Benda tersebut digerakkan kearah 9 cardinal movement.
d. Cover test
Pemeriksa memaksa kedua bola mata untuk focus pada satu hal, kemudian mata yang
diperiksa akan dihalangi sehingga tidak dapat melihat target.
Interpretasi: mata yang dihalangi tidak terfiksasi akan kembali ke posisi awal/default.
Pada strabismus akan berdeviasi tergantung kelainan.

E. N. Trigeminal
Trigeminal merupakan salah satu nervus kranial terbesar dan terumit. Ada 3 divisi: ophthalmic
division (CN V1), maxillary division (CN V2), dan mandibular division (CN V3).
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

a. Pemeriksaan fungsi motorik


Penilaian fungsi motorik trigeminal dapat dinilai dengan memeriksa otot-otot pengunyahan.
Pasien dapat diminta untuk meggigit atau mengapitkan rahangnya dan diraba otot masseter
dan pterygoidnya kemudian dinilai kekuatannya dan ukurannya. Dalam hal ini kedua otot
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

haruslah dalam keadaan simetris. Jika tidak simetris atau terdapat kelemahan pada satu sisi
menandakan adanya kelainan.
Pemeriksaan lainnnya dengan membuka mulut lebar lebar, pada saat tersebut harus
diperhatikan adanya kesulitan dan adanya deviasi rahang kearah yang sakit. Engevaliasian
deviasi rehangdapat dilakukan dengan memperhatikan posisi gigi incisor atas dan bawah dan
membandingkan saat membuka atau menutup gigi apakah ada yang berubah.
b. Pemeriksaan fungsi sensoris
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengecek fungsi sensoris dengan membedakan
sentuhan benda tumpul atau tajam, suhu, batas. Perlu diadakan percobaan ulangan pada setiap
dermatom yang berbeda dan dengan rangsangan yang berbeda untuk dapat menggambarkan
keadaan yang lebih tepat seperti tekanan atau sentuhan lembut dank eras, suhu hangat atau
dingin.
c. Pemeriksaan reflex
Reflek retraksi kepala : Reflek ini terjadi apabila terdapat lesi bilateral di jaras
piramidalis antara medulla oblongata dan bagian servical
medula spinalis. Dilakukan pengetukan pada bibir atas tepat di
bawah hidung dengan posisi kepala yang sedikit dianggukkan.
Bila terdapat lesi akan terjadi gerakan kepala berfleksi ke
belakang secara tiba-tiba.
Reflek zigomatikus : Merupakan modifikasi reflek maseter. Dengan palu reflek
dilakukan pengetukan pada os zigomatikus. Pada orang sehat
tidak didapatkan respon. Pada orang dengan lesi pada N.
Trigeminus akan terjadi penyimpangan rahang bawah ke sisi
ipsilateral.
Reflek korneo-mandibular : Perangsangan pada kornea yang dijawab dengan timbulnya
gerakan reflektorik dari rahang bawah ke samping kolateral
dengan pemejaman mata ipsilateral.
Reflek okulosensoris : Penyempitan pupil, atau pelebaran diikuti oleh penyempitan,
ketika diberikan stimulus yang menyakitkan diarahkan pada
mata atau adneksa nya.
Reflek kornea : Pasien diminta untuk melirik keatas atau ke samping. Goreskan
seutas kapas pada kornea. Secara normal akan terjadi kedipan
kelopak mata atas secara bilateral.
Reflek nasal bechterew: Menggelitik dari mukosa hidung menyebabkan kontraksi otot-
otot wajah ipsilateral.
Reflek Trigeminobrachial : Fleksi kontralateral dan supinasi lengan bawah setelah CN V di
berikan stimulasi.
Reflek bersin : pemberian stimulus pada bagian mukosa nasal akan
mengakibatkan adanya reflek bersin karena hidung berusaha
melepaskan benda asing tersebut.
Trigeminocervical: kepala berbelok kearah kontralateral setelah diberikan
rangsangan CN V
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

F. N. Facialis (CN VII)


CN VII merupakan nervus yang menginervasi otot-otot pada wajah, yaitu muscles of facial
expression dan musculus kulit kepala dan telinga, buccinator, platysma, stapedius, stylohyoid.
Selain itu, N VII juga sebagai jaras parasimpati pada glandula saliva, glandula lacrimal, dan
mukus pada kavitas oral dan nasal. Sebagai fungsi sensorik N VII juga mempersarafi dari bagian
lidah anterior sebagai indra perasa.

Pemeriksaan:
1. Fungsi motorik N.Fasialis
2. Fungsi sensorik N.Fasialis
3. Parasimpatis N.Fasialis

a. Pemeriksaan motorik
Pasien diobservasi otor wajahnya saat istirahat dan dinilai kelainannya.
Pasien diminta untuk melakukan gerakan gerakan :
1. menaikkan alis - tertinggal
2. kerut dahi - tertinggal
3. menutup mata - tertinggal
4. tertawa – deviasi sehat
5. tersenyum – deviasi sehat
6. telanjang gigi – deviasi sehat
7. meniup pipi – deviasi sakit
8. peluit – deviasi sakit
9. mengerut – deviasi sehat
10. menarik sudut mulut – deviasi sehat
ketika pasien diminta melakukan hal tersebut ,maka akan terjadi deviasi tergantung dari
gerakan tersebut.
b. Pemeriksaan sensorik
Pemeriksaan fungsi Pengecapan
Persiapan :
larutan garam (rasa asin), gula (rasa manis), kinine (rasa pahit), cuka
(rasa asam)
Pemeriksaan:
1.Mintalah ps/ utk menjulurkan lidahnya
2.Bersihkan lidah sblm pemeriksaan
3.Berilah rangsangan pd indera pengecapnya 2/3 bg.depan
Interpretasi :
Ageusia
Pargeusia
Hipoageusia
Hemiageusia
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

c. Pemeriksaan fungsi sekresi


Pemeriksaan :
1. Inspeksi lakrimasi & sekresi kelenjar ludah
2. Gunakan kertas lakmus u/ memeriksa sekresi gl. Lakrimasi, gl. submaxilaris & gl.
Sublingualis
Interpretasi :
Normal : Lakrimasi dan sekresi glandula submasilaris dan sublingualis baik
Kelainan : Hiperlakrimasi dan Hiposekresi gl.submaxilaris dan Sublingualis

d. Pemeriksaan reflek
Auditory-palpebral reflek : Kontraksi refleks dari orbicularis oculi menyebabkan
penutupan mata, biasanya bilateral tetapi lebih ditandai
di sisi ipsilateral, dalam menanggapi stimulus suara
keras yang tiba-tiba.
Emergency light reflek : Penutupan mata, disertai dengan penyempitan pupil,
menurunkan alis, leher fleksi, dan kadang-kadang
elevasi lengan dalam menanggapi stimulus yang
mengancam.
Trigeminofacial, trigeminopalpebral : reflek menutup mata saat menghadapi stimulus
pada wajah atau mata
Orbicularis oris reflex : Perkusi atas bibir atas atau samping hidung
menyebabkan kontraksi otot-otot yang mengangkat
sudut mulut.
Chvostek's sign : Pengetukan pada bagian depan telinga akan terjadi
spasme atau kontraksi pada ipsilateral otot wajah.

Reflek glabella : Pukulan singkat pada glabella atau sekitar daerah


supraorbitalis menyebabkan kontraksi singkat kedua
otot orbikularis okuli

G. N. Vestibbulokoklear
Pemerksaaan N. Koklearis
a. Suara Bisik
Pada hal ini pasien diberikan stimulus suara dalam bentuk kata atau kalimat dan pasien dapat
mengerti 50% dari apa yang dikatakan pemeriksa.
b. Garputala
Pemeriksaan Weber :
Garputala diletakkan di dahi penderita.
Pada keadaan normal kiri dan kanan sama keras (penderita tidak dapat menentukan di
mana yang lebih keras).
- Bila terdapat tuli konduksi di sebelah kiri pada tes Weber terdengar kiri lebih keras.
- Bila terdapat tuli persepsi di sebelah kiri, maka tes Weber terdengar lebih keras di
kanan.
Pemeriksaan Rinne :
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

Garputala ditempatkan pada planum mastoid sampai penderita tidak dapat


mendengarnya lagi, kemudian garpu tala dipindahkan ke depan meatus eksternus.
- Jika pada posisi yang kedua ini masih terdengar dikatakan tes positif
- pada orang normal atau tuli persepsi, tes Rinne ini positif. Pada tuli konduksi tes Rinne
negatif.
Pemeriksaan Schwabach :
Garputala yang telah digetarkan ditempatkan di prosesus mastoideus penderita. Bila
penderita sudah tidak mendengar lagi suara garputala tersebut, maka segera garputala
dipindahkan ke prosesus mastoideus pemeriksa.
- Bila hantaran tulang penderita baik, maka pemeriksa tidak akan mendengar suara
mendenging lagi. Keadaan ini dinamakan Schwabach normal.
- Bila hantaran tulang si penderita kurang baik, maka pemeriksa masih mendengar suara
getaran garputala tersebut. Keadaan ini dinamakan Schwabach memendek.
Pemeriksaan N. Vestibularis
a. Pemeriksaan ini dapat dilakukan sebagai berikut :
b. Observasi sikap berdiri dan sikap badan sewaktu bergerak.
a. Tes Romberg:
Pasien diminta berdiri dengan kedua kaki dekat satu dengan yang lain, mata dipejamkan.
Pada pasien yang normal hal ini dapat dilakukan dengan baik
c. Observasi nistagmus spontan
Pasien diobservasi apakah ada nistagmus secara spontan
d. Observasi nistagmus yang dibangkitkan
Tes Kalori
kepala harus tunduk 60 derajat sedang untuk mengetes kelainan pada kanalis semi sirkularis
horizontalis kepala harus tengadah 30 derajat.
- Spuit 20 cc, jarum ukuran 15 ujung dilindungi karet diisi dg air suhu 30 derajat untuk
rangsangan dingin dan 44 derajat untuk rangsangan panas (± 7 derajat dengan suhu
tubuh normal 39 derajat.
- Semprotkan ke liang telinga 1 cc/detik
- Amati arah gerak nistagmus, frekuensi, lamanya
- Istirahat
- Tes telinga lain, bandingkan kanan dan kiri
- Normal pada suhu dingin nistagmus akan berlawanan dengan tempat rangsanganya,
sedan pada suhu panas searah dengan tempat rangsangannya. (COWS : Cold Opposite
Warm Site )

H. N. IX, X, XI dan XII


Nervus Glosofaringeus & Nervus Vagus ( N IX & N X )
1. Pemeriksaan Fungsi Motorik
A. Inspeksi lengkung langit-langit
Minta penderita membuka mulut & suruh ucapkan “Ah,Ah”
Perhatikan lengkung langit-langit dan posisi uvula
Interpretasi :
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

Normal : Simetris lengkung langit-langit


Kelainan : Lengkung langit-langit yg sehat bergerak keatas
Lengkung langit-langit yg lumpu tertinggal.
B. Pemeriksaan fungsi menelan
– Minta penderita minum air
– Perhatikan mampu minum air atau air masuk ke hidung
Interpretasi:
Normal : mampu minum air dg baik.
Kelainan : air akan masuk ke hidung pd lesi n.IX bilateral
C. Pemeriksaan Fonasi suara
Minta penderita mengucapkan “ a.a.a.a.a.”
Interpretasi :
Normal
Ggn fonasi suara “sangau”

2.Pemeriksaan fungsi parasimpatis


A. Inspeksi sekresi kelenjar ludah
Interpretasi :
Normal
Kelainan : sekresi kelenjar ludah

3.Pemeriksaan Fungsi Sensorik


A. Reflek muntah
Sentuh bagian atas faring/palatum molle
Interpretasi :
Replek muntah +/ -
B. Pemeriksaan Fungsi pengecapan
– Minta pasien menjulurkan lidahnya.
– Bersihkan lidah penderita pd 1/3 bagian belakang.
– Berilah rangsangan pengecapan pd lidah 1/3 belakang.
Interpretasi :
Ageusia
Hipoageusia
Parageusia
Hemiageusia

I. Nervus Aksesorius (N XI)


1.Pemeriksaan Fungsi M.Sterno Kleidomastodius
– Pasien memutar kepala ke sisi yg sehat.
– Pemeriksa meraba M.sterno kleidomastoideus sisi kontralateral.
Interpretasi :
Normal : Kontraksi +
Kelainan : Kontkaksi –
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

2.Pemeriksaan Fungsi M.Trapezius


A.Saat Istirahat
B.Saat bahu digerakkan – pasien diminta untuk mengangkat bahu
Interpretasi :
Normal : simetris
Kelainan : Asimetris (kelemahan pd bahu yg sakit)

J. Nervus Hipoglosus (N XII)


Pemeriksaan: Inspeksi lidah saat istirahat
Inspeksi lidah saat dijulurkan
Interpretasi :
Normal : Deviasi –
Kelainan : Deviasi +
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

PEMERIKSAAN REFLEKS REGRESI


Refleks regresi disebut juga refleks demensia muncul akibat terjadi kerusakan sel saraf pusat di otak
baik bersifat local maupun difus. Refleks regresi merupakan tanda proses degenerative di otak.
Beberapa contoh penyakit yang berhubungan meliputi demensiia vaskuler, demensia Alzheimer,
pasca meningitis, dkk. Pemeriksaan refleks regresi dapat dilalkukan pada posisi pasien duduk
maupun berbaring.
1. Sucking reflex
Dilakukan dengan menyentuh benda seperti ujung pena, palu refleks, atau jari pemeriksa secara
ringan dan lembut pada bibir pasien. Positif apabila terdaat gerakan bibir seolah-olah menetek atau
menyusu.
2. Grasping reflex
Dilakukan dengan meletakkan jari pemeriksa secara lembut pada telapak tangan pasien, dimana
secara reflex pasien akan menggenggam jari pemeriksa (positif).
3. Palmomental reflex
DIlakukan dengan menggores telapak tangan pasien pada bagian otot hipotenar. Goresan dilakukan
dengan cepat dari proksimal (bagian pergelangan tangan pasien) menuju ke distal (bagian pangkal
ibu jari). Jawaban dari rangsangan ini berupa gerakan otot-otot mental (dagu).
4. Glabellar reflex
Dilakukan dengan mengetuk glabella (pertengahan dahi antara kedua alis mata) pasien dengan ujung
jari atau palu refleks. Pada orang normal, respo berkedip hanya timbul dua sampa tiga kali saja.
Sedangkan pada pasien dikatakan positif apabila mata berkedip setiap kali glabella diketuk. Catatan:
pengetukan glabella dilakukan dari arah belakng pasien, sehingga tidak diartikan sebagai refleks
ancaman oleh pasien.
5. Snout reflex
Snout reflex dilakukan dengan mengetuk bibir atas pasien secara lembut dengan menggunakan ujung
jari pemeriksa atau palu refleks. Jawaban dari rangsangan ini berupa kontraksi otot orbicularis oris,
sehingga bibir pasien akan tertarik pada daerah yang diketuk.
6. Refleks Kaki Tonik (Foot Grasping Reflex)
Dilakukan dengan menggores telapak kaki pasien menggunakan ujung palu refleks. Pada pasien
dengan reflex regresi positif, penggoresan kaki akan menybabkan kontraksi tonik telapak kaki
berikut jari-jarinya.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

(dari atas ke bawah) 1. Snout reflex 2. (kiri) glabellar reflex dan (kanan) grasp reflex 3. Foot
Grasping Reflex

7. Corneomandibular reflex
Positif apabila penggoresan kornea menimbulkan pemejaman mata ipsilateral disertai gerakan
mandibular kesisi kontralateral.

Corneomandibular reflex
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN
Pemeriksaan dengan tes kalori

Bila telinga kiri didinginkan (diberi air dingin) timbul nystagmus kekanan. Bila telinga kiri dipanaskan
(diberi air panas) timbul nistagmus kekiri. Nystagmus ini disebut sesuai dengan fasenya yaitu : fase
cepat dan fase pelan, misalnya nystagmus kekiri berarti fase cepat kekiri. Bila ada gangguan
keseimbangan maka perubahan temperatur dingin dan panas memberikan reaksi.

Pemeriksaan ‘past pointing test’

Pasien diminta menyentuh ujung jari pemeriksa dengan jari telunjuknya, kemudian dengan mata
tertutup pasien diminta untuk mengulangi. Normalnya pasien harus dapat melakukannya.

Tes Romberg

Pada pemeriksaan ini pasien berdiri dengan kaki yang satu didepan kaki yang lainnya. Tumit kaki
yang satu berada didepan jari kaki yang lainnya, lengan dilipat pada dada dan mata kemudian
ditutup. Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama 30 detik
atau lebih.

Stepping test

Pasien disuruh berjalan ditempat, dengan mata tertutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan
seperti jalan biasa. Selama test ini pasien diminta untuk berusaha agar tetap ditempat dan tidak
beranjak dari tempatnya selama test berlangsung. Dikatakan abnormal bila kedudukan akhir pasien
beranjak lebih dari 1 meter dari tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30 derajat.
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

Reflex Description
Head retraction A sharp tap with the reflex hammer just below the nose
with the head slightly forward produce a quick involuntary
backward jerk of the head. Present in bilateral corticopinal
lesions rostral to the cervical spine, e.g amyotrophic lateral
sclerosis (ALS). Not present in normal
Zygomatic reflex A modification of the jaw jerk. Percusion over the zygoma
produces ipsilateral deviation of the mandible. Seen only
with supranuclear lesions.
Oculosensory Constriction of the pupil, or dilation followed by
(oculopupillary) constriction, in response to a painful stimulus directed
toward the eye or its adnexa
Corneo- oculogyric Contralateral or upward deviation of the eyes in response
to stimulation of the conjunctiva or cornea, with
associated contraction of the orbicularis
Corneo – mandibular Stimulation of cornea causes contralateral movement of
the mandible. May be an associated movement rather
than a true reflex. Indicates supranuclear interruption of
the ipsilateral corticotrigeminal tract. Said to be only eye
sign in ALS.
Nasal reflex of Similar to sternutatory reflex. Tickling of the nasal mucosa
bechterew causes contraction of the ipsilateral facial muscle.
Trigeminobrachial Contralateral flexion and supination of the forearm after
stimulation in the distribution of CN V.
Trigeminocervical Contralateral head turn after stimulation in the
distribution of CN V.

Temporal branch
Frontalis Raises eyebrows and skin over the root of the nose; draws scalp
forward, throwing forehead into transverse wrinkles
Corrugator (corrugator Draws eyebrow down and medially, produces vertical wrinkles in
supercilii) the forehead (the frowning muscle)
Upper part of the Eyelid sphincter; palpebral portion narrows palpebral fissure and
orbicularis gently (orbicularis palpebrarum) closes eyelids; orbital portion
draws skin of forehead, temple, and cheek toward medial orbit,
pulls eyebrow down, draws skin of cheek up; closes eye firmly
Occipitalis Draws scalp backward
Procerus (pyramidalis Draws medial eyebrow downward, produces transverse wrinkles
nasi) over bridge of nose
Zygomatic
Lower and lateral Eyelid sphincter
orbicularis oculi
Pembimbing: dr. Agus Suryawan

Buccal
Orbicularis oculi Eyelid sphincter
Buccinator Compresses cheeks, keeps food under pressure of cheeks in
chewing
Zygomaticus Draws mouth backward and upward
Nasalis (compressor Depresses cartilaginous portion of nose, draws the ala toward
nares) septum
Levator anguli oris Raises angle of mouth
(caninus)
Levator labii superioris Elevates upper lip, dilates nostril
(quadratus Labii
superioris)
Mandibular
Lower part of the Sphincter of the mouth; closes lips; superficial fibers protrude lips;
orbicularis oris deep fibers draw lips in and press them against teeth
Mentalis Protrudes lower lip, wrinkles skin of chin
Risorius Retracts angle of mouth
Triangularis (depressor Depresses angle of mouth
anguli oris)
Depressor labii Draws lower lip downward and lateralward
inferioris (quadratus
labii inferioris)
Cervical
Platysma Pulls lower lip and angle of mouth down; depresses lower jaw;
raises and wrinkles skin of neck

Anda mungkin juga menyukai