Disusun oleh:
Teten Jalaludin Hayat
A. Pendahuluan
Ajaran Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN), khususnya di Pondok
Pesantren Suryalaya, terdiri dari amalan harian, mingguan, bulanan, juga tahunan.
Ajaran harian seperti zikir jahar dan zikir khafi; amalan mingguan seperti
Khataman (terkadang menjadi amalan harian); amalan bulanan seperti
Manaqiban; dan amalan tahunan sepeti Haul Pangersa Abah Sepuh dan Abah
Anom, shalat nishfu Sya‟ban, Rajab, Shafar, dan lainnya.1
Sebagai maftah al-thariqah, ajaran TQN mengenai seluruh kecenderungan
salik secara khusus, dan dimungkinkan antara satu salik dengan salik lainnya
mendapatkan amalan-amalan yang tidak sama, selaras dengan kecenderungan atau
keadaan batinnya.2 Dalam al-Hikam disebutkan: “Berbedanya amalan murid
disebabkan perbedaan ahwal mereka”.3
Tentu saja, dari sekian banyak ajaran TQN, zikir kepada Allah merupakan
inti dari seluruh ajarannya. Prinsip ajaran ini (dzikirullah) dijelaskan secara dalam
oleh Abah Anom di dalam kitabnya Miftahus Shudur.4 Dari judulnya, Miftahus
Shudur, terangkum visi dan misi kandungannya, yaitu untuk membuka lapisan
dada, yang di dalamnya ada qalb (hati).5 Prinsip zikir diarahkan pada pembinaan
1
Asep Salahudin, Abah Anom Wali Fenomenal Abad 21 dan Ajarannya (Jakarta: Noura
Books, 2013), h. 125.
2
Suhrowardi, Pendidikan Keluarga dan Riyadhah dalam Pembentukan Karakter (Ringkasan
Disertasi) (Bandung: UIN-SGD, 2016), h. 16-17.
3
Ibnu Abbad, al-Hikam al-„Athaiyyah li Ibni „Athaillah al-Sakandari (Kairo: Muassasah al-
Ahram, 1408H./1988M.), h. 47.
4
Kitab Miftahus Shudur ditulis oleh Abah Anom, Syaikh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin,
seorang Wali Mursyid Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya. Kitab ini
diperuntukkan bagi Ikhwan TQN, dengan tujuan agar para Ikhwan memperoleh ketegasan dan
kemudahan dalam mempelajari serta mengamalkannya, sehingga pada akhirnya diharapkan
diperoleh ketenangan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Lihat dalam lampiran
pendahuluan kitab Miftahus Shudur, dalam buku Thoriqot Qodiriyyah Naqsabandiyyah: Sejarah
Asal Usul dan Perkembangan, diedit oleh Prof. Dr. Harun Nasution (Tasikmalaya: IAILM
Suryalaya, 1990), h. 257.
5
Dalam tulisan Juhaya S. Praja disebutkan hadits qudsi mengenali lapisan yang ada di dalam
diri manusia: “Aku bangun di dalam diri anak Adam sebuah istana, di dalam istana ada dada, di
2
hati. Ketika hati baik, maka baik pula seluruh sistem yang tesambung dengannya;
ketika hari buruk, maka buruk pula seluruh sistem yang tersambung dengannya.6
Hati adalah imam pengendali dan sistem atau sub-sistem lain yang tersambung
kepadanya adalah pengikut (tubba‟).7
Dari sini, perubahan diri, hakikinya, tidak dilakukan dari “luar ke dalam”,
namun dari “dalam keluar”.8 Pendekatan yang dilakukan tidak bersifat intelektual,
namun spiritual. Ada semacam logika terbalik (inter-subjektif), di mana semakin
ke dalam akan semakin sampai; semakin merunduk akan semakin tinggi; semakin
mengalah akan semakin menang; semakin banyak premis-premis yang terbuang,
semakin dekat dengan logika (etika) sejati.9
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara epistemologis prinsip zikir di
dalam proses pembinaan ruhaniah, sehingga diperoleh alasan dari TQN
mengambil zikir sebagai prinsip ajarannya, sekaligus memberikan pandangan
yang lebih meyakinkan, bahwa kebaikan manusia bergantung pada kebaikan
hatinya, sebagaimana yang dijanjikan oleh hadits “mengenal diri menggapai
Ilahi”.
dalam dada ada qalb, di dalam qalb ada fu‟ad, di fu‟ad ada syaghaf, di dalam syaghaf ada lubb,
di dalam lubb ada sirr, dan di dalam sirr ada Aku.” Lih. Juhaya S. Praja, TQN Pondok Pesantren
Suryalaya dan Perkembangannya pada Masa Abah Anom (1950-1990), dalam “Thoriqot
Qodiriyyah Naqsabandiyyah: Sejarah Asal Usul dan Perkembangan”, diedit oleh Prof. Dr. Harun
Nasution (Tasikmalaya: IAILM Suryalaya, 1990), h. 148; Tim Penyusun, Kumpulan Kuliah Subuh
Sesepuh (Tasikmalaya: Ponpes Suryalaya dan PT. Mudawwamah Warohmah, 2012), h. 54.
6
Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwirul Qulub fi Mu‟amalati „Allamil Ghuyub (Beirut: Darul
Kutub Ilmiyyah, 1416H./1995M.), h. 557.
7
Ahmad Shahibulwafa Tajul Arifin, Miftahus Shudur lit Tabarruk fi Thariq al-Rabb al-
Ghafur, dalam “Thoriqot Qodiriyyah Naqsabandiyyah: Sejarah, Asal Usul, dan
Perkembangannya”, diedit Prof. Dr. Harun Nasution (Tasikmalaya: IAILM Suryalaya, 1990), h.
320; Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumiddin, Vol. 5, (Jedah: Darul Minhaj, 2011),
h. 320.
8
Dalam beberapa hadits dijelaskan, “Siapa yang mengenal dirinya dan meninggalkannya, dia
akan mengenal Rabb-nya dan mengikutinya.” Lih. Abdul Qadir al-Jilani, Sirrul Asrar wa
Mazhharul Anwar fima Yahtaj Ilaih al-Abrar, ditahqiq oleh Muhammad Adnan Zar‟i dan
Muhammad Ghassan Nusukh, (Damaskus: Darul Sanabil, 1994), h. 52.
9
Ibnu Athaillah al-Sakandari menyatakan: “Kokohkan sifat-sifatmu, Dia ulurkan sifat-sifat-
Nya. Kokohkan kehinaanmu, Dia berikan kemuliaan-Nya. Kokohkan kelemahanmu, Dia
anugerahkan kekuasaan-Nya. Kokohkan ketidak-dayaanmu, Dia anugerahkan daya dan kekuatan-
Nya.” Lih. Ibnu Abbad, al-Hikam, h. 74.
3
ِ،ِ ِفِإِذِا ِأِمِِرتِكِ ِبِشِيِءِ ِغِيِِره.ِ ِِوىِوِ ِمِنِوِ ِ ِوإِلِيِوِ ِ ِوبِوِِِكِلِ ِشِيِء.ِِوفِيِوِ ِالطِلِبِ ِ ِوفِيِوِ ِقِضِاءِ ِالِِوائِج
ِ .ِالذكِر
ِ ِِِواتِبِع،ا
ِ ِفِاضِِربِِصِفِح
“Ketahuilah, sesungguhnya tarekat para Guru kita adalah hanya tarekat
zikir, bukan yang lainnya; tegasnya, tarekat zikir lisan dan hati. Di dalam
zikir itu terdapat kemenangan, tuntutan dan harapan, dan pemenuhan
kebutuhan. Zikir itu berasal dari-Nya, menuju kepada-Nya, dan bersama-
Nya segala sesuatu. Apabila aku perintahkan kamu dengan sesuatu selain
zikir itu, maka abaikanlah, dan ikuti zikir saja.”14
Tentu saja ketegasan ini tidak menganulir amalan atau ibadah lainnya.
Abah Anom menjelaskan bahwa zikir merupakan landasan yang kuat yang dapat
dibangun di atasnya kesempurnaan pendidikan ruhaniah:
10
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 448.
11
Raghif al-Ashfahani, Mufradat Al-fazil Quran (Damaskus: Darul Qalam, 2009), h. 328.
12
Abu Bakar Atjeh, Tarekat dalam Tasawuf (Klantan: Pustaka Aman, 1993), h. 19.
13
Abdul Wahhab as-Sya‟rani, al-Minah as-Saniyyah „alal Washiyyah al-Matbuliyyah
(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2007), h. 100.
14
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 304.
4
ِ .ِالرِوحِيِة
ِ ِِِلِنِهِاِأِسِاسِِالِمِتِيِِالِذِيِِتِبِنِِعِلِيِوِِالِكِمِالِتِِالتِِربِ ِويِة...ِعِنِِغِ ِيهِِمِنِِالطِاعِات
“Dan bahwasanya jika kami katakan bahwa para Guru yang arif billah
mendidik para murid dengan tarekat zikir, tidaklah dimaksudkan bahwa
mereka melarang ketaatan lainnya... karena sesungguhnya zikir itu
merupakan landasan yang kuat yang dapat dibangun di atasnya
kesempurnaan-kesempurnaan pendidikan ruhaniah.”15
Di dalam TQN, zikir secara umum dibadi menjadi dua bagian, yakni zikir
jahar (lisan) dan zikir khafi (hati). Kedua zikir ini memiliki keutamaan tersendiri,
hanya saja fungsi zikir jahar di sisi zikir khafi adalah untuk menyampaikan dan
menguatkan zikir khafi. Abah Anom menjelaskan:
ِ .والذكرِاللسانِموصلِحتماِإَلِالذكرِالقلبِوالمع ِّولِعلىِالذكرِالقلب
“Dan zikir jahar itu penyampai pasti kepada zikir khafi, dan zikir jahar itu
untuk menguatkan (mencukupkan) zikir khafi.”16
Di samping itu, Abah Anom juga menjelaskan tingkatan zikir kepada
empat bagian, yaitu (1) zikir jahar, (2) zikir khafi yang dipaksakan, (3) zikir khafi
kebiasaan, dan (4) zikir rasa (sirr):
ِوالسادات ِالصوفية ِي ع ِّودون ِالمريدين ِأول ِعلىِالذكر ِاللسان ِالذِي ِي رقِّيهم ِمع ِالموالت ِمن
ِِوعلمة ِىذاِالخي ِأنِك ِإذا.ِث م ِإَل ِالذكر ِالسِّر،الذكر ِالقلب ِتكلفاِإَل ِالذكر ِالقلب ِطب عا
15
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 307.
16
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 310.
5
ini adalah bahwa bila engkau meninggalkan atau tidak melakukan zikir,
maka zikir itu tidak meninggalkanmu, akan tetapi zikir itu tetap datang
kepadamu (bersamamu) dari ketiadaan (gaiibah) kepada kehadiran
(hudhur).”17
ِِلن ِالغفلة ِت جرئو ِعلىِالمعصية،المقصود ِمن ِالذكر ِأن ِي جتنب ِالمؤمن ِالغفلة ِعنو ِت عاَل
ِ .لنِالمقصودِمنِالذكرِدِوامِحضورِالقلبِمعِاللِت عاَل
“Karena sesungguhnya tujuan zikir itu adalah dawamnya atau
langgengnya kesadaran (keawasan) qolbu bersama Alloh SWT.”19
Dari kutipan di atas dapat diketahui, bahwa tujuan zikir itu ada dua, yaitu
(1) untuk membersihkan hati dari ghaflah, dan (2) untuk memperbesar (dawam)
kehadiran hati (kesadaran batin) bersama Allah.
1. Untuk membersihkan hati dari gaflah.
Ghaflah berarti kelalaian, kelengahan, dan ketidaksadaran.20
Raghib Ashfahani memahami ghaflah sebagai kelupaan atau kelengahan
17
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 308.
18
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 305.
19
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 307. Menurut Ibnu Athaillah, kata hudhur, secara bahasa
berarti kehadiran, yakni sadar akan saat ini dan di sini. Bila difahami secara tertib dan bertahap,
maka ini merupakan gambaran kesadaran batin manusia, yang dipapay dan ditingkatkan melalui
amalan ingat, yakni dzikrulloh. 1. Lalai atau ketidak-sadaran (ghoflah). 2. Kehadiran atau
kesadaran akan kekinian dan kedisinian (hudhur). 3. Keawasan atau kesadaran yang bangkit
(yaqzhoh). 4. Kesadaran setiap saat (ghoibah).
6
ِ .وىمِعنِدعائهمِغافلون
“Dan mereka berdoa dalam keadaan ghaflah (tidak sadar),” (QS.
Al-Ahqa/46: 5).
ِ .بغافلِعماِي عملون
“Dengan penuh ghaflah (tidak sadar) terhadap apa yang mereka
kerjakan,” (QS. Al-Baqarah/2: 144).
ِ .منِأغفلِناِق لبوِعنِذكرنا
“Orang yang Kami ghaflah-kan hati mereka dari mengingat
Kami,” (QS. Al-Kahfi/18: 28).
Dengan demikian, ghaflah itu berarti ketidaksadaran seseorang
dalam ucapan dan perbuatannya. Sehingga, doa tapi tidak berdoa, berbuat
tapi tidak berbuat, bahkan zikir (ingat) tapi tidak zikir (ingat), karena doa,
perbuatan, dan zikir itu tidak dilakukan bersama dengan kesadaran hati.
Abah Anom menegaskan:
ِ .ِالِقِلِبِِ ِوتِبِعِِلِو
“Siapa yang berzikir dengan hatinya dia pezikir, dan siapa yang
tidak berzikir dengan hatinya, bukanlah pezikir; lidah (anggota badan)
adalah budah dan pengikutnya.”22
Walau demikian, tidak lantas seorang murid menganulir zikir
karena ketidaksadaran ini, karena hal demikian bertentangan dengan
20
Munawwir, Al-Munawwir, h. 1012.
21
Ashfahani, Mufradat, h. 609.
22
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 320.
7
tujuan zikir tadi, bahwa zikir bertujuan untuk membersihkan hati dari
kelalaian atau ketidaksadaran (ghaflah).23
Abah Anom mendeskripsikan:
“Badan di masjid, soteh biwir bacaan, hate mah ngablu ngamana-
mana. Tah ieu teh kudu diusahakeun, nya ku zikir.”24
Tak ubahnya seperti seorang Ibu yang sudah bersama anaknya,
tetapi jasadnya bersama anaknya, hatinya menyimpang kemana-mana
dengan wasilah android dalam genggamannya. Keadaan penyimpangan,
ini bila dilakukan berulang-ulang, maka akan menjadi pribadi yang tidak
khusyuk atau tidak fokus. “Loba pikiran, kaditu kedieu.”25 Baginda Nabi
bersabda:
ِ ِ.لِقِلِبِِابِنِِآدِمِِأِشِدِِاِنِقِلِبِاِمِنِِالِقِدِرِِإِذِاِاجِتِمِعِتِِغِلِيِا
“Sungguh hati anak Adam lebih bergelegak (bolak balik) dari pada
panci di puncak didihannya,” (HR. Ahmad, Thabrani, dan Abu Nu‟aim).26
Hal demikian disebabkan karena setiap manusia memiliki musuh
internal (hawa nafsu) dan eksternal (syetan). Karena itu, jangan ikuti
langkah-langkah syetan, dan jangan ikuti hawa nafsu.27 Abah Anom
menjelaskan tentang pergerakan syetan dan nafsu:
“Sabab manehna teh asup kana jero ingetan urang, malah tembus
kana perasaan urang, tembus kana kemesraan urang, tembus kana
kacintaan urang. Didinya cinta urang disuksruk ku gogoda setan
bujukan nafsu. Bahaya. Sabab geus ngait rasa urang kanu sejen,
anu kuduna urang ngait ka Pangeran, ibadahnya ka Pangeran,
muntangnya ka Pangeran, gumantungnya ka Pangeran. Eh
nyimpang bae, da eta geus rasa cintana keeusian.”28
23
Dalam al-Hikam, hikmah ke-47, disebutkan: “Janganlah engkau meninggalkan zikir
karena ketidaksadaranmu bersama Allah di dalamnya, karena lalaimu dengan tidak berzikir jauh
lebih dahsyat (keburukannya) daripada lalai namun engkau tetap berzikir kepada-Nya.” Lih. Ibnu
„Abbad, Syarh Al-Hikam, h. 54.
24
Tim Penyusun, Kumpulan Kuliah Subuh, h. 29.
25
Tim Penyusun, Kumpulan Kuliah Subuh, h. 13.
26
Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumiddin, jilid 5, h. 71.
27
Tim Penyusun, Kumpulan Kuliah Subuh, h. 13.
28
Tim Penyusun, Kumpulan Kuliah Subuh, h. 14.
8
29
Rakhmat, Tanbih, h. 48.
30
Rakhmat, Tanbih, h. 46-47.
9
.إنِلك ِّلِشيءِصقالةِوإنِصقالةِالقلوبِذكرِالل
.ِِوأِسِاسِِطِِريِقِِالسِالِكِي،
ِ ِفِمِعِِرفِةِِالِقِلِبِِِوحِقِيِقِةِِأِ ِوصِافِوِِأِصِلِِالدِيِن
31
Kuliah tanggal 13 Oktober 2018 di Pascasarjana IAILM Suryalaya.
32
Dalam Muhammad bin „Alwi, Syaraful Ummah al-Muhammadiyyah (Mekah: Sahar,
1990), h. 173.
33
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 320; al-Ghazali, Ihya‟, h. 10; al-Kurdi, Tanwirul Qulub,
h. 557; Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf (Jakarta: Qisthi Press, 2014), h. 13-14.
34
Al-Ghazali, Ihya‟, h. 10-11; al-Kurdi, Tanwirul Qulub, h. 435.
10
Pengetahuan atau ingatan apa yang tertanam dan tercetak di cermin hati,
itulah hakikat pengetahuan sebenarnya.37 Pengetahuan tentang tomat, maka
gambaran tomat itu akan tercetak di cermin hati. Pengetahuan buruk, akan
tercetak di cermin hati; pengetahuan baik, juga akan tercetak di cermin hati.
Kebencian masa lalu, dendam, dan sebagainya akan tercetak di cermin hati.
Pengetahuan yang tercetak di cermin hati itu kemudian merefleksikan hakikatnya
dalam ucapan, perbuatan, juga pola pikir.
Berdasarkan penjelasan di atas, kandungan hati itu adalah pengetahuannya
atau ingatannya. Bila pengetahuan yang mengendap di dalam hati adalah
pengetahuan yang baik, maka refleksi yang dimunculkannya pun baik; bila
pengetahuan di dalamnya berantakan, maka refleksinya pun berantakan; bila
pengetahuan di dalamnya merusak, maka refleksinya pun merusak. Karena itu,
35
Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumiddin, jilid 5, h. 11.
36
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 319-320; al-Ghazali, Ihya‟, h. 47.
37
Al-Ghazali, Ihya‟, h. 48.
11
ِ ِمِثِلِ ِالِمِسِاحِاتِ ِالِتِ ِيِسِلِكِهِا ِالِنِسِانِ ِفِيِقِطِعِهِا،ِإِنِ ِىِذِا ِالطِِريِقِ ِلِيِسِ ِفِ ِطِ ِولِوِ ِأِوِ ِقِصِِره
ِ .ِعِلِىِحِسِبِِالِعِقِائِدِِِوالِبِصِائِر
“Sesungguhnya perjalanan tarekat ini bukan terletak pada panjang atau
pendeknya, sebagaimana jarak-jarak yang ditempuh oleh seseorang
dengan kakinya sesuai dengan kekuatan dan kelemahannya. Akan tetapi,
perjalanan tarekat merupakan perjalanan ruhani yang ditempuh oleh hati,
sehingga ia tempuh dengan ingatan atau pikirannya sesuai dengan tingkat
keyakinan dan pandangan batinnya.”38
ِوليسِالوصولِإَلِاللِت عاَلِكوصولِالسمِإَلِالسمِولِالعلمِبالمعلومِولِالعقلِِبالمعقول
ِ ِ.ِبلِمعناهِيصلِبقدرِالنقطاعِمنِغيه،ولِالوىمِبالموىوم
“Bukanlah sampai kepada Alloh itu seperti sampainya tubuh ke tubuh
(bersentuhan), sampainya pengetahuan pada yang ingin diketahui,
sampainya akal pada pemikiran, sampainya keraguan pada keyakinan,
tetapi hakikat sampai itu ukurannya adalah terlepasnya qolbu dari
kemelekatan-kemelekatan selain melekat dengan-Nya.”39
38
Ahmad an-Naqsyabandi al-Khalidi, Jami‟ al-Ushul fil Awliya‟, ditahqiq Adib Nashrullah
(Beirut: Intisyar „Arabi, 1997), h. 26.
39
Al-Jilani, Sirrul Asrar, h. 91.
12
ِ ِِوإِّنِاِاِِتِّصِالِِإِيِانِِبِوِِتِعِاَل،ا
ِِِويِقِيِِفِيِو ِ ِولِيِسِِذِلِكِِالِِتِّصِالِِاِِتِّصِالِِذِاتِِفِِذِاتِِاللِِعِلِِواِكِبِيِِر
.المحدثاتِماِانكشفِفِباطنِق لبوِمنِجهةِالداخلِلِمنِجهةِالمحسوساتِاْلارجة
40
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 309.
41
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 269.
13
42
Al-Gazali, Ihya‟, h. 87.
43
Pada tanggal 5-6 November 2018.
14
sementara, kotoran batin itu muncul dari orang tuanya. Memori buruk inilah yang
menyebabkannya mengalami ketidak-stabilan mental dan emosional di saat ini,
sehingga anak yang bersangkutan itu terlihat sangat nakal tak terkendali.
Setelah penulis mengadakan wawancara kecil-kecilan pada yang
bersangkutan, penulis mendapatkan informasi bahwa ia mengalami sakit hati
terhadap orang tuanya, karena cara pendidikan orang tuanya yang ekstrim. Anak
itu cerita, bila orang tuanya sedang marah, maka kakinya akan diangkat dan
dibenturkan ke tembok.
Muhdatsat sebagaimana yang dialami anak ini adalah sangat berat,
sehingga seringkali muncul dan dominan ketika berzikir dalam bentuk memori
bawah sadar yang menyakitkan. Dengan berzikir, memori buruk ini akan
dibersihkan. Terus menerus berzikir, maka sikap nazhrul fana‟ akan otomatis
dilaluinya, disebabkan kesadaran untuk analisis menjadi lelah dengan sendirinya.
Hingga sekarang, memori buruk anak itu tidak muncul lagi, karena dia telah
bersedia memaafkan kesalahan orang tuanya tadi, yang tentu saja disebabkan oleh
pengaruh zikir yang dilakukannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, secara episemologis zikir atau ingatan
kepada Allah itu membersihkan ingatan-ingatan selain Allah, terutama ingatan-
ingatan buruk yang mengendap di dalam hati (muhdatsat). Ketika kalimat zikir
dilantunkan, maka memori buruk bawah sadar di hati berkeluaran, dan ini
merupakan pertanda sangat bagus, dan dengan pandangan lenyap (nazhrul fana‟),
memori buruk itu kemudian terbuang dari ruang batin.
Semakin banyak muhdatsat yang terbuang, ruang batin akan semakin
lapang darinya, dan batin pun semakin tenang dan bahagia. Penyakit ghaflah tidak
lagi menghantui pezikir, mengganggu, dan mengendalikan kenyataannya, dan
kesadaran batin pun menjadi besar dan di depan.
Di samping itu, dengan berzikir seseorang akan mengetahui keadaan
batinnya. Apabila dalam duduk berzikir itu batin gelisah, disebabkan muhdatsat
yang tak terkendali, ingatan dan pikiran terbang kemana-mana, maka keadaan
batin berarti gelisah. Karena itu, zikir harus terus menerus dilakukan, sehingga
15
zikir itu terfokus hanya mengingat Allah, dan kesadaran memuncak hanya kepada
Allah.
F. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan, yaitu:
1. Prinsip dasar ajaran TQN adalah zikir kepada Allah, namun tidak
menganulir amalan atau ketaatan lainnya.
2. Zikir kepada ditujukan pada dua hal, yaitu untuk membersihkan kotoran-
kotoran batin (muhdatsat) yang telah menyebabkan ghaflah, dan untuk
memperbesar kesadaran batin bersama Allah.
3. Secara epistemologis, zikir kepada Allah akan mengeluarkan memori-
memori buruk bawah sadar (muhdatsat) dari rumah batin melalui
pandangan lenyap (nazhrul fana‟). Semakin banyak muhdatsat yang
terbuang, ruang batin semakin lapang dan lega, dan keadaan batin menjadi
bahagia.***
16
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Qadir al-Jilani, Sirrul Asrar wa Mazhharul Anwar fima Yahtaj Ilaih al-
Abrar, ditahqiq oleh Muhammad Adnan Zar‟i dan Muhammad Ghassan
Nusukh, (Damaskus: Darul Sanabil, 1994).
Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf (Jakarta: Qisthi Press, 2014).
Abdul Wahhab as-Sya‟rani, al-Minah as-Saniyyah „alal Washiyyah al-
Matbuliyyah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2007).
Abu Bakar Atjeh, Tarekat dalam Tasawuf (Klantan: Pustaka Aman, 1993).
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumiddin, Vol. 5, (Jedah: Darul
Minhaj, 2011).
Ahmad an-Naqsyabandi al-Khalidi, Jami‟ al-Ushul fil Awliya‟, ditahqiq Adib
Nashrullah (Beirut: Intisyar „Arabi, 1997).
Ahmad Shahibulwafa Tajul Arifin, Miftahus Shudur lit Tabarruk fi Thariq al-
Rabb al-Ghafur, dalam “Thoriqot Qodiriyyah Naqsabandiyyah: Sejarah,
Asal Usul, dan Perkembangannya”, diedit Prof. Dr. Harun Nasution
(Tasikmalaya: IAILM Suryalaya, 1990).
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997).
Asep Salahudin, Abah Anom Wali Fenomenal Abad 21 dan Ajarannya (Jakarta:
Noura Books, 2013).
Ibnu Abbad, al-Hikam al-„Athaiyyah li Ibni „Athaillah al-Sakandari (Kairo:
Muassasah al-Ahram, 1408H./1988M.).
Juhaya S. Praja, TQN Pondok Pesantren Suryalaya dan Perkembangannya pada
Masa Abah Anom (1950-1990), dalam “Thoriqot Qodiriyyah
Naqsabandiyyah: Sejarah Asal Usul dan Perkembangan”, diedit oleh Prof.
Dr. Harun Nasution (Tasikmalaya: IAILM Suryalaya, 1990).
Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwirul Qulub fi Mu‟amalati „Allamil Ghuyub
(Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1416H./1995M.).
Muhammad bin „Alwi, Syaraful Ummah al-Muhammadiyyah (Mekah: Sahar,
1990).
17