Anda di halaman 1dari 18

PRINSIP DASAR AJARAN

TAREKAT QADIRIYAH NAQSYABANDIYAH


PONDOK PESANTREN SURYALAYA

Makalah diajukan untuk memenuhi tugas Tasawuf dan Modernitas


yang diampu oleh Dr. Rd. Asep Hamdan

Disusun oleh:
Teten Jalaludin Hayat

PASCASARJANA PRODI ILMU TASAWUF


INSTITUT AGAMA ISLAM LATIFAH MUBAROKIYAH
PONDOK PESANTREN SURYALAYA
TASIKMALAYA 2018
1

PRINSIP DASAR AJARAN


TAREKAT QADIRIYAH NAQSYABANDIYAH
PONDOK PESANTREN SURYALAYA

A. Pendahuluan
Ajaran Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN), khususnya di Pondok
Pesantren Suryalaya, terdiri dari amalan harian, mingguan, bulanan, juga tahunan.
Ajaran harian seperti zikir jahar dan zikir khafi; amalan mingguan seperti
Khataman (terkadang menjadi amalan harian); amalan bulanan seperti
Manaqiban; dan amalan tahunan sepeti Haul Pangersa Abah Sepuh dan Abah
Anom, shalat nishfu Sya‟ban, Rajab, Shafar, dan lainnya.1
Sebagai maftah al-thariqah, ajaran TQN mengenai seluruh kecenderungan
salik secara khusus, dan dimungkinkan antara satu salik dengan salik lainnya
mendapatkan amalan-amalan yang tidak sama, selaras dengan kecenderungan atau
keadaan batinnya.2 Dalam al-Hikam disebutkan: “Berbedanya amalan murid
disebabkan perbedaan ahwal mereka”.3
Tentu saja, dari sekian banyak ajaran TQN, zikir kepada Allah merupakan
inti dari seluruh ajarannya. Prinsip ajaran ini (dzikirullah) dijelaskan secara dalam
oleh Abah Anom di dalam kitabnya Miftahus Shudur.4 Dari judulnya, Miftahus
Shudur, terangkum visi dan misi kandungannya, yaitu untuk membuka lapisan
dada, yang di dalamnya ada qalb (hati).5 Prinsip zikir diarahkan pada pembinaan

1
Asep Salahudin, Abah Anom Wali Fenomenal Abad 21 dan Ajarannya (Jakarta: Noura
Books, 2013), h. 125.
2
Suhrowardi, Pendidikan Keluarga dan Riyadhah dalam Pembentukan Karakter (Ringkasan
Disertasi) (Bandung: UIN-SGD, 2016), h. 16-17.
3
Ibnu Abbad, al-Hikam al-„Athaiyyah li Ibni „Athaillah al-Sakandari (Kairo: Muassasah al-
Ahram, 1408H./1988M.), h. 47.
4
Kitab Miftahus Shudur ditulis oleh Abah Anom, Syaikh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin,
seorang Wali Mursyid Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya. Kitab ini
diperuntukkan bagi Ikhwan TQN, dengan tujuan agar para Ikhwan memperoleh ketegasan dan
kemudahan dalam mempelajari serta mengamalkannya, sehingga pada akhirnya diharapkan
diperoleh ketenangan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Lihat dalam lampiran
pendahuluan kitab Miftahus Shudur, dalam buku Thoriqot Qodiriyyah Naqsabandiyyah: Sejarah
Asal Usul dan Perkembangan, diedit oleh Prof. Dr. Harun Nasution (Tasikmalaya: IAILM
Suryalaya, 1990), h. 257.
5
Dalam tulisan Juhaya S. Praja disebutkan hadits qudsi mengenali lapisan yang ada di dalam
diri manusia: “Aku bangun di dalam diri anak Adam sebuah istana, di dalam istana ada dada, di
2

hati. Ketika hati baik, maka baik pula seluruh sistem yang tesambung dengannya;
ketika hari buruk, maka buruk pula seluruh sistem yang tersambung dengannya.6
Hati adalah imam pengendali dan sistem atau sub-sistem lain yang tersambung
kepadanya adalah pengikut (tubba‟).7
Dari sini, perubahan diri, hakikinya, tidak dilakukan dari “luar ke dalam”,
namun dari “dalam keluar”.8 Pendekatan yang dilakukan tidak bersifat intelektual,
namun spiritual. Ada semacam logika terbalik (inter-subjektif), di mana semakin
ke dalam akan semakin sampai; semakin merunduk akan semakin tinggi; semakin
mengalah akan semakin menang; semakin banyak premis-premis yang terbuang,
semakin dekat dengan logika (etika) sejati.9
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara epistemologis prinsip zikir di
dalam proses pembinaan ruhaniah, sehingga diperoleh alasan dari TQN
mengambil zikir sebagai prinsip ajarannya, sekaligus memberikan pandangan
yang lebih meyakinkan, bahwa kebaikan manusia bergantung pada kebaikan
hatinya, sebagaimana yang dijanjikan oleh hadits “mengenal diri menggapai
Ilahi”.

dalam dada ada qalb, di dalam qalb ada fu‟ad, di fu‟ad ada syaghaf, di dalam syaghaf ada lubb,
di dalam lubb ada sirr, dan di dalam sirr ada Aku.” Lih. Juhaya S. Praja, TQN Pondok Pesantren
Suryalaya dan Perkembangannya pada Masa Abah Anom (1950-1990), dalam “Thoriqot
Qodiriyyah Naqsabandiyyah: Sejarah Asal Usul dan Perkembangan”, diedit oleh Prof. Dr. Harun
Nasution (Tasikmalaya: IAILM Suryalaya, 1990), h. 148; Tim Penyusun, Kumpulan Kuliah Subuh
Sesepuh (Tasikmalaya: Ponpes Suryalaya dan PT. Mudawwamah Warohmah, 2012), h. 54.
6
Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwirul Qulub fi Mu‟amalati „Allamil Ghuyub (Beirut: Darul
Kutub Ilmiyyah, 1416H./1995M.), h. 557.
7
Ahmad Shahibulwafa Tajul Arifin, Miftahus Shudur lit Tabarruk fi Thariq al-Rabb al-
Ghafur, dalam “Thoriqot Qodiriyyah Naqsabandiyyah: Sejarah, Asal Usul, dan
Perkembangannya”, diedit Prof. Dr. Harun Nasution (Tasikmalaya: IAILM Suryalaya, 1990), h.
320; Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumiddin, Vol. 5, (Jedah: Darul Minhaj, 2011),
h. 320.
8
Dalam beberapa hadits dijelaskan, “Siapa yang mengenal dirinya dan meninggalkannya, dia
akan mengenal Rabb-nya dan mengikutinya.” Lih. Abdul Qadir al-Jilani, Sirrul Asrar wa
Mazhharul Anwar fima Yahtaj Ilaih al-Abrar, ditahqiq oleh Muhammad Adnan Zar‟i dan
Muhammad Ghassan Nusukh, (Damaskus: Darul Sanabil, 1994), h. 52.
9
Ibnu Athaillah al-Sakandari menyatakan: “Kokohkan sifat-sifatmu, Dia ulurkan sifat-sifat-
Nya. Kokohkan kehinaanmu, Dia berikan kemuliaan-Nya. Kokohkan kelemahanmu, Dia
anugerahkan kekuasaan-Nya. Kokohkan ketidak-dayaanmu, Dia anugerahkan daya dan kekuatan-
Nya.” Lih. Ibnu Abbad, al-Hikam, h. 74.
3

B. TQN sebagai Tarekat Zikir


Secara etimologis, ẑikr (zikir), dari bahasa Arab, berarti menyebut,
mengingat, menjaga, mengerti, dan lainnya.10 Dalam Mufradat Alfazhil Quran, al-
Ashfahani memaknai ẑikr pada dua pengertian, yaitu ẑikr bil qalb (zikir dengan
hati) dan ẑikr bil lisân (zikir dengan lidah).11
Di dalam tarekat manapun, zikir kepada Allah merupakan amalan khusus
dan dijadikan sebagai wasilah (alat) untuk berada sedekat mungkin dengan Allh.12
Zikir merupakan rukun tarekat, dan seseorang tidak akan sampai tujuan tertinggi
tarekat selain dengan mendawamkan zikir kepada Allah.13 Di dalam Miftahus
Shudur, Abah Anom menjadikan zikir kepada Allah sebagai satu-satunya prinsip
ajaran tarekatnya. Secara khusus Abah Anom mencatat:

ِِ‫ِفِفِيِوِ ِالفِتِح‬،ِ‫ِيِعِنِ ِِذكِرِ ِاللِسِانِ ِِوالِنِان‬،ِ‫ِولِيِسِ ِغِيِِره‬،


ِ ِ‫الذكِرِ ِفِقِط‬
ِ ِ ِ‫ِأِنِ ِطِِريِقِ ِشِيِخِنِاِطِِريِق‬،ِ‫اِعِلِم‬

ِ،ِ‫ ِفِإِذِا ِأِمِِرتِكِ ِبِشِيِءِ ِغِيِِره‬.ِ‫ ِِوىِوِ ِمِنِوِ ِ ِوإِلِيِوِ ِ ِوبِوِِِكِلِ ِشِيِء‬.ِ‫ِوفِيِوِ ِالطِلِبِ ِ ِوفِيِوِ ِقِضِاءِ ِالِِوائِج‬

ِ .ِ‫الذكِر‬
ِ ِِ‫ِواتِبِع‬،‫ا‬
ِ ِ‫فِاضِِربِِصِفِح‬
“Ketahuilah, sesungguhnya tarekat para Guru kita adalah hanya tarekat
zikir, bukan yang lainnya; tegasnya, tarekat zikir lisan dan hati. Di dalam
zikir itu terdapat kemenangan, tuntutan dan harapan, dan pemenuhan
kebutuhan. Zikir itu berasal dari-Nya, menuju kepada-Nya, dan bersama-
Nya segala sesuatu. Apabila aku perintahkan kamu dengan sesuatu selain
zikir itu, maka abaikanlah, dan ikuti zikir saja.”14

Tentu saja ketegasan ini tidak menganulir amalan atau ibadah lainnya.
Abah Anom menjelaskan bahwa zikir merupakan landasan yang kuat yang dapat
dibangun di atasnya kesempurnaan pendidikan ruhaniah:

10
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 448.
11
Raghif al-Ashfahani, Mufradat Al-fazil Quran (Damaskus: Darul Qalam, 2009), h. 328.
12
Abu Bakar Atjeh, Tarekat dalam Tasawuf (Klantan: Pustaka Aman, 1993), h. 19.
13
Abdul Wahhab as-Sya‟rani, al-Minah as-Saniyyah „alal Washiyyah al-Matbuliyyah
(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2007), h. 100.
14
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 304.
4

ِِ‫الذكِرِ ِفِلِ ِنِقِصِدِ ِأِنِهِمِ ِيِنِهِ ِون‬


ِ ِ ِ‫ِوإِنِنِاِإِنِ ِقِلِنِاِأِنِ ِالشِيِِوخِ ِالِعِ ِارفِيِ ِبِاللِ ِيِِربِ ِونِ ِالِمِِريِدِيِنِ ِبِطِِريِق‬

ِ .ِ‫الرِوحِيِة‬
ِ ِِ‫ِلِنِهِاِأِسِاسِِالِمِتِيِِالِذِيِِتِبِنِِعِلِيِوِِالِكِمِالِتِِالتِِربِ ِويِة‬...ِ‫عِنِِغِ ِيهِِمِنِِالطِاعِات‬
“Dan bahwasanya jika kami katakan bahwa para Guru yang arif billah
mendidik para murid dengan tarekat zikir, tidaklah dimaksudkan bahwa
mereka melarang ketaatan lainnya... karena sesungguhnya zikir itu
merupakan landasan yang kuat yang dapat dibangun di atasnya
kesempurnaan-kesempurnaan pendidikan ruhaniah.”15

Di dalam TQN, zikir secara umum dibadi menjadi dua bagian, yakni zikir
jahar (lisan) dan zikir khafi (hati). Kedua zikir ini memiliki keutamaan tersendiri,
hanya saja fungsi zikir jahar di sisi zikir khafi adalah untuk menyampaikan dan
menguatkan zikir khafi. Abah Anom menjelaskan:

ِ .‫والذكرِاللسانِموصلِحتماِإَلِالذكرِالقلبِوالمع ِّولِعلىِالذكرِالقلب‬

“Dan zikir jahar itu penyampai pasti kepada zikir khafi, dan zikir jahar itu
untuk menguatkan (mencukupkan) zikir khafi.”16
Di samping itu, Abah Anom juga menjelaskan tingkatan zikir kepada
empat bagian, yaitu (1) zikir jahar, (2) zikir khafi yang dipaksakan, (3) zikir khafi
kebiasaan, dan (4) zikir rasa (sirr):

ِ‫والسادات ِالصوفية ِي ع ِّودون ِالمريدين ِأول ِعلىِالذكر ِاللسان ِالذِي ِي رقِّيهم ِمع ِالموالت ِمن‬

ِ‫ِوعلمة ِىذاِالخي ِأنِك ِإذا‬.‫ِث م ِإَل ِالذكر ِالسِّر‬،‫الذكر ِالقلب ِتكلفاِإَل ِالذكر ِالقلب ِطب عا‬

ِ .‫ت ركتِالذكرِفإنوِلِي ت رككِبلِيردكِمنِالغيبةِإَلِالضور‬

“Dan para Guru Sufi senantiasa membiasakan murid-muridnya dengan


zikir lisan (zikir jahar) di awal-awal pembinaan, kemudian, secara
bertahap meningkatkan kualitas zikir mereka, dari zikir khafi
“keterpaksaan” (takalluf) menjadi zikir khafi “kebiasaan” (thob‟). Setelah
itu ditingkatkan lagi kepada zikir sirr (rasa). Dan tanda zikir yang terakhir

15
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 307.
16
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 310.
5

ini adalah bahwa bila engkau meninggalkan atau tidak melakukan zikir,
maka zikir itu tidak meninggalkanmu, akan tetapi zikir itu tetap datang
kepadamu (bersamamu) dari ketiadaan (gaiibah) kepada kehadiran
(hudhur).”17

C. Tujuan Zikir dalam TQN


Abah Anom, agaknya tidak menjelaskan tujuan zikir ini di dalam kitab
lainnya selain kitab Miftahus Shudur. Di dalam kitab ini, Abah Anom hanya
menyebut dua tujuan zikir, sebagaimana dijelaskan di dalam fasal lima, yaitu:

ِ‫ِلن ِالغفلة ِت جرئو ِعلىِالمعصية‬،‫المقصود ِمن ِالذكر ِأن ِي جتنب ِالمؤمن ِالغفلة ِعنو ِت عاَل‬

ِ .‫والذكرِي عاونوِعلىِت ركها‬


“Tujuan dari zikir itu menjauhkan seorang mukmin dari lalai dan lupa
akan-Nya. Karena lalai dan lupa itu menggiringnya kepada maksiat, dan zikir itu
membantunya untuk meninggalkan maksiat.”18
Dalam paragraf lain, Pangersa Abah Anom mendauhkan:

ِ .‫لنِالمقصودِمنِالذكرِدِوامِحضورِالقلبِمعِاللِت عاَل‬
“Karena sesungguhnya tujuan zikir itu adalah dawamnya atau
langgengnya kesadaran (keawasan) qolbu bersama Alloh SWT.”19
Dari kutipan di atas dapat diketahui, bahwa tujuan zikir itu ada dua, yaitu
(1) untuk membersihkan hati dari ghaflah, dan (2) untuk memperbesar (dawam)
kehadiran hati (kesadaran batin) bersama Allah.
1. Untuk membersihkan hati dari gaflah.
Ghaflah berarti kelalaian, kelengahan, dan ketidaksadaran.20
Raghib Ashfahani memahami ghaflah sebagai kelupaan atau kelengahan

17
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 308.
18
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 305.
19
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 307. Menurut Ibnu Athaillah, kata hudhur, secara bahasa
berarti kehadiran, yakni sadar akan saat ini dan di sini. Bila difahami secara tertib dan bertahap,
maka ini merupakan gambaran kesadaran batin manusia, yang dipapay dan ditingkatkan melalui
amalan ingat, yakni dzikrulloh. 1. Lalai atau ketidak-sadaran (ghoflah). 2. Kehadiran atau
kesadaran akan kekinian dan kedisinian (hudhur). 3. Keawasan atau kesadaran yang bangkit
(yaqzhoh). 4. Kesadaran setiap saat (ghoibah).
6

yang menimpa seorang manusia karena minimnya ingatan atau


kesadaran.21 Al-Ashfahani menyebut beberapa argumentasi al-Quran:

ِ .‫وىمِعنِدعائهمِغافلون‬
“Dan mereka berdoa dalam keadaan ghaflah (tidak sadar),” (QS.
Al-Ahqa/46: 5).

ِ .‫بغافلِعماِي عملون‬
“Dengan penuh ghaflah (tidak sadar) terhadap apa yang mereka
kerjakan,” (QS. Al-Baqarah/2: 144).

ِ .‫منِأغفلِناِق لبوِعنِذكرنا‬
“Orang yang Kami ghaflah-kan hati mereka dari mengingat
Kami,” (QS. Al-Kahfi/18: 28).
Dengan demikian, ghaflah itu berarti ketidaksadaran seseorang
dalam ucapan dan perbuatannya. Sehingga, doa tapi tidak berdoa, berbuat
tapi tidak berbuat, bahkan zikir (ingat) tapi tidak zikir (ingat), karena doa,
perbuatan, dan zikir itu tidak dilakukan bersama dengan kesadaran hati.
Abah Anom menegaskan:

ِِ‫ِاِلِلِّسِانِ ِغِلِم‬.ِ‫ِومِنِ ِلِ ِيِِذكِِرهِ ِبِقِلِبِوِ ِفِلِيِسِ ِبِذِاكِر‬،


ِ ِ‫مِنِِِكِانِ ِذِاكِرِ ِاللِ ِبِقِلِبِوِ ِفِهِوِ ِذِاكِر‬

ِ .ِ‫الِقِلِبِِ ِوتِبِعِِلِو‬
“Siapa yang berzikir dengan hatinya dia pezikir, dan siapa yang
tidak berzikir dengan hatinya, bukanlah pezikir; lidah (anggota badan)
adalah budah dan pengikutnya.”22
Walau demikian, tidak lantas seorang murid menganulir zikir
karena ketidaksadaran ini, karena hal demikian bertentangan dengan

20
Munawwir, Al-Munawwir, h. 1012.
21
Ashfahani, Mufradat, h. 609.
22
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 320.
7

tujuan zikir tadi, bahwa zikir bertujuan untuk membersihkan hati dari
kelalaian atau ketidaksadaran (ghaflah).23
Abah Anom mendeskripsikan:
“Badan di masjid, soteh biwir bacaan, hate mah ngablu ngamana-
mana. Tah ieu teh kudu diusahakeun, nya ku zikir.”24
Tak ubahnya seperti seorang Ibu yang sudah bersama anaknya,
tetapi jasadnya bersama anaknya, hatinya menyimpang kemana-mana
dengan wasilah android dalam genggamannya. Keadaan penyimpangan,
ini bila dilakukan berulang-ulang, maka akan menjadi pribadi yang tidak
khusyuk atau tidak fokus. “Loba pikiran, kaditu kedieu.”25 Baginda Nabi
bersabda:

ِ ِ.‫لِقِلِبِِابِنِِآدِمِِأِشِدِِاِنِقِلِبِاِمِنِِالِقِدِرِِإِذِاِاجِتِمِعِتِِغِلِيِا‬
“Sungguh hati anak Adam lebih bergelegak (bolak balik) dari pada
panci di puncak didihannya,” (HR. Ahmad, Thabrani, dan Abu Nu‟aim).26
Hal demikian disebabkan karena setiap manusia memiliki musuh
internal (hawa nafsu) dan eksternal (syetan). Karena itu, jangan ikuti
langkah-langkah syetan, dan jangan ikuti hawa nafsu.27 Abah Anom
menjelaskan tentang pergerakan syetan dan nafsu:

“Sabab manehna teh asup kana jero ingetan urang, malah tembus
kana perasaan urang, tembus kana kemesraan urang, tembus kana
kacintaan urang. Didinya cinta urang disuksruk ku gogoda setan
bujukan nafsu. Bahaya. Sabab geus ngait rasa urang kanu sejen,
anu kuduna urang ngait ka Pangeran, ibadahnya ka Pangeran,
muntangnya ka Pangeran, gumantungnya ka Pangeran. Eh
nyimpang bae, da eta geus rasa cintana keeusian.”28

23
Dalam al-Hikam, hikmah ke-47, disebutkan: “Janganlah engkau meninggalkan zikir
karena ketidaksadaranmu bersama Allah di dalamnya, karena lalaimu dengan tidak berzikir jauh
lebih dahsyat (keburukannya) daripada lalai namun engkau tetap berzikir kepada-Nya.” Lih. Ibnu
„Abbad, Syarh Al-Hikam, h. 54.
24
Tim Penyusun, Kumpulan Kuliah Subuh, h. 29.
25
Tim Penyusun, Kumpulan Kuliah Subuh, h. 13.
26
Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumiddin, jilid 5, h. 71.
27
Tim Penyusun, Kumpulan Kuliah Subuh, h. 13.
28
Tim Penyusun, Kumpulan Kuliah Subuh, h. 14.
8

Berdasarkan penjelasan di atas, syetan itu masuk ke dalam ingatan,


pikiran, atau perasaan manusia. Dia berusaha mengacaukan dan
memporakpranda kandungan ingatan-ingatan yang ada di dalamnya,
sehingga jadilah seseorang itu kacau balau kehidupannya, kacau galau
relasinya dengan dunia sekitarnya, yang disebabkan oleh kekacauan dan
kegalauan ingatan yang ada di hatinya.

2. Untuk memperbesar kehadiran hati bersama Allah


Tujuan zikir yang kedua adalah dawamnya kehadiran atau
kesadaran hati bersama Allah, di dalam segala aktivitasnya, baik kala
berdiri, duduk, berbaring, sedang tidur, sedang berbicara, sedang olah
raga, di kamar mandi, dan seterusnya. Hal ini menunjukkan kesadaran hati
itu sangat besar, melingkupi seluruh dinamika duniawi.
Dalam pepatah Tanbih bahasa Indonesia disebutkan: “Sesal dahulu
pendapatan, sesal kemudian tak berguna,”29 merupakan gambaran batin
yang besar. Juga dalam adagium: “Sina logor dina liang jarum, ulah sereg
di buana”, atau “Kudu asih ka jalma nu mikangewa ka maneh”,30
merupakan gambaran kesadaran batin yang besar. Sebaliknya, apabila
seseorang marah atau berbuat keburukan, setelahnya baru menyesali
perbuatannya, maka ini merupakan gambaran kesadaran batin yang kecil
dan terlambat; marah, setelahnya baru sadar.
Kesadaran batin yang besar merupakan kesadaran setiap saat, sadar
dalam mengucapkan, sadar dalam melakukan suatu perbuatan, sadar
sedang memikirkan, baik ketika berbaring, berdiri, duduk, dan seterusnya.
Dalam sebuah perkuliah oleh Prof. Dr. Ahmad Tafsir, salah
seorang Wakil Talqin Abah Anom, pernah bercerita bahwa ia pernah
bertanya kepada Abah Anom mengenai sholat khusyuk, dan Abah Anom
menjawab: “ya harus ingat terus sedang sholat, dari awal sholat sampai

29
Rakhmat, Tanbih, h. 48.
30
Rakhmat, Tanbih, h. 46-47.
9

akhir sholat”. Profesor kemudian menjelaskan, bahwa sholat khusyuk ini


ternyata tidak harus ahli bahasa Arab, sehingga memahami setiap kata dan
kalimat yang dibaca di dalam sholat. Cukup hanya menyadari saja; sadar
sedang rukuk, sadar sedang membaca, dan seterusnya. Mudah
kedengarannya, tetapi ternyata sangat susah mengamalkannya.31

D. Zikir dan Permasalahan Hati


Baginda Nabi SAW bersabda:

.‫إنِلك ِّلِشيءِصقالةِوإنِصقالةِالقلوبِذكرِالل‬

“Sesungguhnya segala sesuatu ada pembersihnya, dan sesungguhnya


pembersih hati adalah zikir kepada Allah.” (HR. Ibnu Abid Dunya dan
Baihaqi).32
Zikir adalah alat untuk membersihkan hati. Hati adalah raja, sementara
anggota tubuh lainnya adalah budaknya (ghulâm). Bila hati baik, maka baiklah
seluruh sistem yang tersambung kepadanya; bila hati rusak atau sakit, maka rusak
dan sakit pula seluruh sistem yang tersambung kepadanya.33 Karena itu, kaum
tarekat tidak menganggap sederhana dan remeh masalah hati ini, sehingga hati ini
dijadikan sebagai pusat kajiannya (al-maudhu‟).34 Imam al-Ghazali telah
mencurahkan perhatian yang besar di dalam Ihya‟-nya dalam kitab „Aja‟ibul Qalb
(Keajaiban Hati) mengenai hati ini, dan akhirnya Imam al-Ghazali seakan
memberikan kesimpulan:

.ِ‫ِوأِسِاسِِطِِريِقِِالسِالِكِي‬،
ِ ِ‫فِمِعِِرفِةِِالِقِلِبِِِوحِقِيِقِةِِأِ ِوصِافِوِِأِصِلِِالدِيِن‬

31
Kuliah tanggal 13 Oktober 2018 di Pascasarjana IAILM Suryalaya.
32
Dalam Muhammad bin „Alwi, Syaraful Ummah al-Muhammadiyyah (Mekah: Sahar,
1990), h. 173.
33
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 320; al-Ghazali, Ihya‟, h. 10; al-Kurdi, Tanwirul Qulub,
h. 557; Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf (Jakarta: Qisthi Press, 2014), h. 13-14.
34
Al-Ghazali, Ihya‟, h. 10-11; al-Kurdi, Tanwirul Qulub, h. 435.
10

“Sehingga, pengetahuan tentang hati dan hakikat sifat-sifatnya merupakan


prinsip dasar agama dan landasan tarekat para salik (murid).”35
Apakah yang dikandung oleh hati itu? Yaitu ingatan, memori,
pengetahuan, juga pikiran. Abah Anom mencatat:

ِِ‫ ِِوىِوِ ِبِالِنِّسِبِةِ ِإَِل‬،ِ‫الربِانِيِةِ ِالِمِدِبِِرةِ ِلِمِيِعِ ِالِِوِارح‬


ِ ِ ِ‫ِلِنِوِ ِلِطِيِفِة‬،‫اِلِقِلِبِ ِىِوِ ِمِلِ ِالِعِلِمِ ِالِقِيِقِ ِِّي‬
ِِ‫ِومِثِل‬،
ِ ِ‫ِفِكِمِاِأِنِ ِلِلِمِتِلِ ِونِاتِ ِصِِوِرة‬،ِ‫حِقِائِقِ ِالِمِعِلِ ِومِاتِِِكِالِمِِرآةِ ِبِالِنِّسِبِةِ ِإَِلِ ِصِِورِ ِالِمِتِلِ ِونِات‬
ِِ‫ِولِذِهِ ِالِقِيِقِةِ ِصِِوِرةِ ِتِنِطِبِعِ ِف‬ ِ ،ِ‫ِِكِذِلِكِ ِلِكِ ِِّل ِمِعِلِ ِومِ ِحِقِيِقِة‬،ِ‫ىِذِهِ ِالصِِوِرةِ ِيِنِطِبِعِ ِفِ ِالِمِِرآة‬
ِ .ِ‫الِقِلِب‬
“Hati merupakan tempat pengetahuan yang sebenarnya, karena hati
merupakan potensi rabbaniyah (ruhaniah) yang mengendalikan seluruh
anggota (badan). Hati ini, bila disandarkan pada hakikat pengetahuan
bagaikan cermin yang dinisbatkan pada gambar-gambar berwarna.
Sebagaimana setiap yang berwarna itu memiliki bentuk, maka bentuk
serupa pun tercetak dalam cermin. Demikianlah, segala pengetahuan ada
hakikatnya, dan hakikat pengetahuan itu adalah gambaran yang tercetak di
(cermin) hati.”36

Pengetahuan atau ingatan apa yang tertanam dan tercetak di cermin hati,
itulah hakikat pengetahuan sebenarnya.37 Pengetahuan tentang tomat, maka
gambaran tomat itu akan tercetak di cermin hati. Pengetahuan buruk, akan
tercetak di cermin hati; pengetahuan baik, juga akan tercetak di cermin hati.
Kebencian masa lalu, dendam, dan sebagainya akan tercetak di cermin hati.
Pengetahuan yang tercetak di cermin hati itu kemudian merefleksikan hakikatnya
dalam ucapan, perbuatan, juga pola pikir.
Berdasarkan penjelasan di atas, kandungan hati itu adalah pengetahuannya
atau ingatannya. Bila pengetahuan yang mengendap di dalam hati adalah
pengetahuan yang baik, maka refleksi yang dimunculkannya pun baik; bila
pengetahuan di dalamnya berantakan, maka refleksinya pun berantakan; bila
pengetahuan di dalamnya merusak, maka refleksinya pun merusak. Karena itu,

35
Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumiddin, jilid 5, h. 11.
36
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 319-320; al-Ghazali, Ihya‟, h. 47.
37
Al-Ghazali, Ihya‟, h. 48.
11

zikir atau ingatan kepada Allah adalah untuk membersihkan ingatan


(pengetahuan) buruk yang mengendap di dalam hati.
Di dalam tarekat, proses perjalanan ruhaniah tidak seperti perjalanan pada
umumnya, dengan adanya jarak dekat atau jauh, akan tetapi perjalanan ruhaniah
itu dilakukan oleh hati dan pikirannya sesuai dengan tingkat keyakinan dan
pandangan batinnya. Syaikh Ahmad al-Khalidi menyatakan:

ِ‫ ِمِثِلِ ِالِمِسِاحِاتِ ِالِتِ ِيِسِلِكِهِا ِالِنِسِانِ ِفِيِقِطِعِهِا‬،ِ‫إِنِ ِىِذِا ِالطِِريِقِ ِلِيِسِ ِفِ ِطِ ِولِوِ ِأِوِ ِقِصِِره‬

ِِ‫اني ِتِسِلِكِوِ ِالِقِلِ ِوبِ ِفِتِقِطِعِوِ ِبِالِفِكِار‬


ِ ِ‫ ِبِلِ ِىِوِ ِطِِريِقِ ِِرِوح‬،ِ‫بِأِقِدِامِوِ ِعِلِى ِحِسِبِ ِقِ ِوتِوِ ِ ِوضِعِفِو‬

ِ .ِ‫عِلِىِحِسِبِِالِعِقِائِدِِِوالِبِصِائِر‬
“Sesungguhnya perjalanan tarekat ini bukan terletak pada panjang atau
pendeknya, sebagaimana jarak-jarak yang ditempuh oleh seseorang
dengan kakinya sesuai dengan kekuatan dan kelemahannya. Akan tetapi,
perjalanan tarekat merupakan perjalanan ruhani yang ditempuh oleh hati,
sehingga ia tempuh dengan ingatan atau pikirannya sesuai dengan tingkat
keyakinan dan pandangan batinnya.”38

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menyatakan:

ِ‫وليسِالوصولِإَلِاللِت عاَلِكوصولِالسمِإَلِالسمِولِالعلمِبالمعلومِولِالعقلِِبالمعقول‬

ِ ِ.‫ِبلِمعناهِيصلِبقدرِالنقطاعِمنِغيه‬،‫ولِالوىمِبالموىوم‬
“Bukanlah sampai kepada Alloh itu seperti sampainya tubuh ke tubuh
(bersentuhan), sampainya pengetahuan pada yang ingin diketahui,
sampainya akal pada pemikiran, sampainya keraguan pada keyakinan,
tetapi hakikat sampai itu ukurannya adalah terlepasnya qolbu dari
kemelekatan-kemelekatan selain melekat dengan-Nya.”39

Abah Anom menjelaskan:

38
Ahmad an-Naqsyabandi al-Khalidi, Jami‟ al-Ushul fil Awliya‟, ditahqiq Adib Nashrullah
(Beirut: Intisyar „Arabi, 1997), h. 26.
39
Al-Jilani, Sirrul Asrar, h. 91.
12

ِ ِ‫ِوإِّنِاِاِِتِّصِالِِإِيِانِِبِوِِتِعِاَل‬،‫ا‬
ِِ‫ِويِقِيِِفِيِو‬ ِ ‫ِولِيِسِِذِلِكِِالِِتِّصِالِِاِِتِّصِالِِذِاتِِفِِذِاتِِاللِِعِلِِواِكِبِيِِر‬

ِ .ِ‫ِومِبِةِِلِوِِ ِوإِعِتِمِادِِعِلِيِوِِِوركِ ِونِِإِلِيِوِِِوحِضِِورِِمِعِوِِ ِوطِلِبِِلِِرضِاهِِ ِوإِيِثِ ِارهِِعِلِىِمِاِسِِواه‬


“Dan bukanlah ketersambungan dengan Allah itu seperti ketersambungan
zat pada Zat Allah, Maha Tinggi dan Maha Besar Dia (dari yang
ketersambungan demikian). Akan tetapi ketersambungan dengan-Nya itu
ketersambungan iman pada-Nya, yakin pada-Nya, cinta pada-Nya,
bersandar pada-Nya, cenderung pada-Nya, hadir penuh bersama-Nya,
mengharap ridha-Nya, mendahulukan-Nya dari selain-Nya.”40

E. Zikir dalam Makna Epistemologis


Abah Anom mencoba menjelaskan dalam satu satu paragraf yang pendek
mengenai epistemologi pembersihan hati melalui zikir:

.‫ومنِكلمةِالن فيِي نفيَِجيعِوجودِالمحدثاتِمنِالنظرِوالعتبارِوي نظرىاِنظرِالفنِاء‬


“Dan sebagian maksud dari kata “peniadaan” adalah membersihkan
segala bentuk kotoran-kotoran batin (muhdatsat), yang bersumber dari
pengetahuan dan anggapan, dan melihat sampah-sampah batin itu dengan
pandangan lenyap.”41
Zikir merupakan kalimat nafyi, yakni kalimat untuk membersihkan,
alatnya. Muhdatsat adalah kotoran-kotorannya. Sikap terhadap kotoran-kotoran
itu adalah melihatnya dengan pandangan lenyap, atau hingga lenyap (nazhrul
fana‟).
Muhdatsat adalah ingatan atau pikiran yang muncul saat sedang
melakukan zikir, yang ia datang dengan sendirinya, tanpa dikehendaki dan
disadari, semacam ilham atau firasat, yang datang begitu saja dan tiba-tiba dari
dalam hatinya. Dalam tafsir Imam al-Ghozali:

.‫المحدثاتِماِانكشفِفِباطنِق لبوِمنِجهةِالداخلِلِمنِجهةِالمحسوساتِاْلارجة‬

40
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 309.
41
Tajul Arifin, Miftahus Shudur, h. 269.
13

“Muhdatsat itu sesuatu yang tersingkap atau terbuka di dalam hatinya,


yakni keluar karena sebab yang di dalam itu, bukan karena sebab persentuhan
dengan benda-benda di luar dirinya.42
Maksudnya, sesuatu yang di dalam batin, yaitu pengetahuannya atau
ingatannya (memori bawah sadar), yang keluar dengan sendirinya, tanpa
dikehendaki dan disadari. Adapun ingatan atau pikiran yang keluar disebabkan
oleh persentuhan dengan benda-benda, maka itu bukan muhdatsat, itu nama
research (tajribah-hissiyyah).
Istilah nazhrul fana‟, artinya pandangan lenyap, maksudnya adalah
memandang hingga lenyap. Seperti seseorang melihat seorang gadis karena
ketertarikan padanya, kemudian melihat atau memandang gadis itu, sekadar
memandang saja, sehingga gadis itu lenyap dari pandangannya. Lenyap dari
pandangan ini, maksudnya lenyapnya kotoran batin dari ruang hati.
Setiap orang berzikir, akan selalu kehadiran muhdatsat, yang bisa
berbentuk pengalaman pahit dan traumatis di masa lalu. Ketika ia muncul, maka
sikap yang harus diambil adalah nazhrul fana‟ (pandangan lenyap), memandang
secara pasif, tanpa menganalisa, mengomentari, dan menilai muhdatsat yang
muncul.
Dalam tujuan zikir sebelumnya, adalah membersihkan batin dari penyakit
ghaflah, yakni menyimpangnya hati dari kenyataan saat ini. Seperti seorang
shalat, namun dia tidak sadar (ghaflah) dalam shalatnya, karena ruhaniah ke
mana-mana. Ghaflah itu disebabkan oleh kekuatan bawah sadarnya (muhdatsat),
yang mengendalikannya dan menyimpangkannya dari shalat.
Dalam sebuah pengajian di Bina Lanjut Inabah 29,43 penulis pernah
mengadakan semacam pelatihan zikir bersama, sama-sama belajar menyadari
fenomena yang muncul ketika berzikir. Muhdatsat yang muncul dari sebagian
mereka bersifat pengalaman traumatis di masa lalu, seperti ingatan pada orang tua,
dan itu muncul begitu saja tanpa terkendali. Dalam beberapa kali latihan zikir,
memori anak ini pada orang tuanya terus muncul dan dominan. Kesimpulan

42
Al-Gazali, Ihya‟, h. 87.
43
Pada tanggal 5-6 November 2018.
14

sementara, kotoran batin itu muncul dari orang tuanya. Memori buruk inilah yang
menyebabkannya mengalami ketidak-stabilan mental dan emosional di saat ini,
sehingga anak yang bersangkutan itu terlihat sangat nakal tak terkendali.
Setelah penulis mengadakan wawancara kecil-kecilan pada yang
bersangkutan, penulis mendapatkan informasi bahwa ia mengalami sakit hati
terhadap orang tuanya, karena cara pendidikan orang tuanya yang ekstrim. Anak
itu cerita, bila orang tuanya sedang marah, maka kakinya akan diangkat dan
dibenturkan ke tembok.
Muhdatsat sebagaimana yang dialami anak ini adalah sangat berat,
sehingga seringkali muncul dan dominan ketika berzikir dalam bentuk memori
bawah sadar yang menyakitkan. Dengan berzikir, memori buruk ini akan
dibersihkan. Terus menerus berzikir, maka sikap nazhrul fana‟ akan otomatis
dilaluinya, disebabkan kesadaran untuk analisis menjadi lelah dengan sendirinya.
Hingga sekarang, memori buruk anak itu tidak muncul lagi, karena dia telah
bersedia memaafkan kesalahan orang tuanya tadi, yang tentu saja disebabkan oleh
pengaruh zikir yang dilakukannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, secara episemologis zikir atau ingatan
kepada Allah itu membersihkan ingatan-ingatan selain Allah, terutama ingatan-
ingatan buruk yang mengendap di dalam hati (muhdatsat). Ketika kalimat zikir
dilantunkan, maka memori buruk bawah sadar di hati berkeluaran, dan ini
merupakan pertanda sangat bagus, dan dengan pandangan lenyap (nazhrul fana‟),
memori buruk itu kemudian terbuang dari ruang batin.
Semakin banyak muhdatsat yang terbuang, ruang batin akan semakin
lapang darinya, dan batin pun semakin tenang dan bahagia. Penyakit ghaflah tidak
lagi menghantui pezikir, mengganggu, dan mengendalikan kenyataannya, dan
kesadaran batin pun menjadi besar dan di depan.
Di samping itu, dengan berzikir seseorang akan mengetahui keadaan
batinnya. Apabila dalam duduk berzikir itu batin gelisah, disebabkan muhdatsat
yang tak terkendali, ingatan dan pikiran terbang kemana-mana, maka keadaan
batin berarti gelisah. Karena itu, zikir harus terus menerus dilakukan, sehingga
15

zikir itu terfokus hanya mengingat Allah, dan kesadaran memuncak hanya kepada
Allah.

F. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan, yaitu:
1. Prinsip dasar ajaran TQN adalah zikir kepada Allah, namun tidak
menganulir amalan atau ketaatan lainnya.
2. Zikir kepada ditujukan pada dua hal, yaitu untuk membersihkan kotoran-
kotoran batin (muhdatsat) yang telah menyebabkan ghaflah, dan untuk
memperbesar kesadaran batin bersama Allah.
3. Secara epistemologis, zikir kepada Allah akan mengeluarkan memori-
memori buruk bawah sadar (muhdatsat) dari rumah batin melalui
pandangan lenyap (nazhrul fana‟). Semakin banyak muhdatsat yang
terbuang, ruang batin semakin lapang dan lega, dan keadaan batin menjadi
bahagia.***
16

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Qadir al-Jilani, Sirrul Asrar wa Mazhharul Anwar fima Yahtaj Ilaih al-
Abrar, ditahqiq oleh Muhammad Adnan Zar‟i dan Muhammad Ghassan
Nusukh, (Damaskus: Darul Sanabil, 1994).
Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf (Jakarta: Qisthi Press, 2014).
Abdul Wahhab as-Sya‟rani, al-Minah as-Saniyyah „alal Washiyyah al-
Matbuliyyah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2007).
Abu Bakar Atjeh, Tarekat dalam Tasawuf (Klantan: Pustaka Aman, 1993).
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumiddin, Vol. 5, (Jedah: Darul
Minhaj, 2011).
Ahmad an-Naqsyabandi al-Khalidi, Jami‟ al-Ushul fil Awliya‟, ditahqiq Adib
Nashrullah (Beirut: Intisyar „Arabi, 1997).
Ahmad Shahibulwafa Tajul Arifin, Miftahus Shudur lit Tabarruk fi Thariq al-
Rabb al-Ghafur, dalam “Thoriqot Qodiriyyah Naqsabandiyyah: Sejarah,
Asal Usul, dan Perkembangannya”, diedit Prof. Dr. Harun Nasution
(Tasikmalaya: IAILM Suryalaya, 1990).
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997).
Asep Salahudin, Abah Anom Wali Fenomenal Abad 21 dan Ajarannya (Jakarta:
Noura Books, 2013).
Ibnu Abbad, al-Hikam al-„Athaiyyah li Ibni „Athaillah al-Sakandari (Kairo:
Muassasah al-Ahram, 1408H./1988M.).
Juhaya S. Praja, TQN Pondok Pesantren Suryalaya dan Perkembangannya pada
Masa Abah Anom (1950-1990), dalam “Thoriqot Qodiriyyah
Naqsabandiyyah: Sejarah Asal Usul dan Perkembangan”, diedit oleh Prof.
Dr. Harun Nasution (Tasikmalaya: IAILM Suryalaya, 1990).
Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwirul Qulub fi Mu‟amalati „Allamil Ghuyub
(Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1416H./1995M.).
Muhammad bin „Alwi, Syaraful Ummah al-Muhammadiyyah (Mekah: Sahar,
1990).
17

Raghif al-Ashfahani, Mufradat Al-fazil Quran (Damaskus: Darul Qalam, 2009).


Suhrowardi, Pendidikan Keluarga dan Riyadhah dalam Pembentukan Karakter
(Ringkasan Disertasi) (Bandung: UIN-SGD, 2016).
Tim Penyusun, Kumpulan Kuliah Subuh Sesepuh (Tasikmalaya: Ponpes
Suryalaya dan PT. Mudawwamah Warohmah, 2012).

Anda mungkin juga menyukai