Anda di halaman 1dari 58

EVALUASI EFEK SAMPING OBAT ANTIRETROVIRAL

(ARV) PADA PASIEN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS


DAN ACQUAIRED IMMUNE DEFICIENCY VIRUS (HIV/AIDS)
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN LOMBOK
BARAT

DISUSUN OLEH:

NOVIA ERLIN

NIM: 4820118028

PROGRAM SARJANA FARMASI FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS QAMARUL HUDA BADARUDIN

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menginfeksi sel
sistem kekebalan tubuh dan menghancurkan atau merusak fungsi mereka. Infeksi
virus akan menyebabkan kerusakan progresif dari sistem kekebalan tubuh yang
menyebabkan "defisiensi imun." Sistem kekebalan tubuh dianggap kurang ketika
tidak bisa lagi memenuhi perannya dalam memerangi infeksi dan penyakit (WHO,
2018). AIDS adalah istilah yang berlaku untuk tahap paling akhir dari infeksi HIV.
Hal ini ditentukan oleh terjadinya salah satu dari lebih dari 20 infeksi oportunistik
atau kanker terkait HIV (WHO, 2018). AIDS adalah singkatan dari Acquired
Immunedeficiency Syndrome merupakan sekumpulan gejala penyakit yang timbul
karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV (Kemenkes,
2016).

Human Imunodeficiency Virus dan Acquired Immunodeficiency Syndrome


(HIV) terus menjadi masalah kesehatan masyarakat, sejauh ini telah merengut lebih
dari 35 juta jiwa. Secara global pada tahun 2017, terdapat 940 ribu orang meninggal
karena HIV, ada sekitar 36,9 juta penduduk dunia terinfeksi HIV (WHO, 2018).
Tahun 1987 kasus pertama HIV/AIDS di Indonesia dilaporkan, setelah pelaporan
kasus pertama, kasus HIV dan AIDS semakin meningkat. Alhasil pada tahun 2018
tercatat 327.000 kasus HIV dan AIDS di Indonesia mengakibatkan 38.000 kasus
kematian (WHO, 2019).

Menurut data Kementrian Kesehatan, Indonesia merupakan negara tertinggi


kelima di Asia sebagai negara yang memiliki resiko tinggi dalam penularan
HIV/AIDS (Kementrian Kesehatan, 2018). Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia
berkembang dengan pesat, hampir semua Provinsi di Indonesia ditemukan kasus
HIV/AIDS. dilaporkan dari tahun 2016 sebanyak 41.250 juta ODHA, mengalami
peningkatan tahun 2017 yaitu sebanyak 48.300 juta ODHA, dan laporan terakhir
tahun 2018 kasus HIV/AIDS sebanyak 46.657 juta yang dilaporkan terkena
HIV/AIDS (Kemenkes, 2018).
Berdasarkan laporan Voluntary Counseling And Testing (VCT). Pada tahun
2017 jumlah kasus HIV/AIDS yang ditemukan mengalami peningkatan
dibandingkan tahun 2016. Jumlah kasus yang ditemukan tahun 2016 adalah 62
kasus HIV dan 87 kasus AIDS, sedangkan tahun 2017 ditemukan 98 kasus HIV,
dan 111 kasus AIDS. Jumlah kematian karena AIDS di Provinsi NTB tahun 2016
sebanyak 9 kasus, mengalami peningkatan menjadi 22 kasus tahun 2017.
Kota/Kabupaten yang terinfeksi HIV/AIDS paling tinggi yaitu Kota Mataram (39
kasus) diikuti Kabupaten Lombok Barat (34 kasus), Kabupaten Lombok Tengah
(21 kasus ), Kabupaten Lombok Timur (20 kasus), Kabupaten Sumbawa Besar (17
kasus), Kabupaten Bima (6 kasus), Kota Bima (5 kasus), Kabupaten Lombok Utara
(4 kasus) dan Kabupaten Sumbawa Barat (1 kasus) (Dinkes NTB, 2017).
Berdasarkan data yang di peroleh dari rekam medik Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Lombok Barat pada periode januari-juli 2022 sebanyak 251 pasien yang
terdiagnosis Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency
Syndrome (HIV/AIDS) yang diantaranya terdiri dari 90 pasien perempuan dan 161
pasien laki-laki.

Laporan Epidemi HIV Global United Nations Programme on HIV and AIDS
(UNAIDS) tahun 2016 menyatakan hingga akhir tahun 2015 terdapat 36,7 juta
penduduk di dunia mengidap penyakit HIV dan 5,7% atau sekitar 2,1 juta dari
jumlah tersebut merupakan kasus baru selama tahun 2015. Di Asia dan Pasifik
diketahui bahwa sebanyak 5,1 juta penduduk mengidap HIV hingga akhir tahun
2016. Wanita muda sangat berisiko, dengan 59% infeksi baru di kalangan anak
muda berusia 15-24 tahun terjadi di antara kelompok ini.

Infeksi HIV cenderung meningkat dan paling banyak terjadi pada kelompok
usia produktif yaitu kelompok umur 25-49 tahun dan kelompok umur 20- 24 tahun.
Usia remaja 15-19 tahun menduduki posisi keempat.8 Usia remaja merupakan usia
yang sangat rentang untuk terinfeksi HIV. Ada lebih dari setengah infeksi baru HIV
didunia ditemukan pada usia 15-19 tahun, dan mayoritas remaja terinfeksi karena
hubungan seksual (Guindo, 2019).

Penemuan Antiretroviral (ARV) pada tahun 1996 menjadi suatu revolusi


dalam pengobatan pasien HIV/AIDS. Kombinasi ARV mampu memperlambat,
menghentikan, dan bahkan melawan proses dari virus HIV (Pinsky dan Douglas,
2009). Sampai saat ini ARV merupakan satu-satunya obat yang memberikan
manfaat dalam pengobatan pasien HIV/AIDS. Namun penggunaan ARV menuntut
adherence dan kesinambungan berobat yaitu seumur hidup.

Tujuan dari terapi ARV adalah untuk menemukan kombinasi pengobatan


yang tepat pada dosis yang tepat yang cukup untuk melawan HIV dalam tubuh
tetapi tidak menimbulkan efek samping, Namun kejadian efek samping banyak
dilaporkan dalam penggunaan obat ARV. Efek samping ARV bervariasi pada tiap
obat dan dari satu orang dengan yang lain. Efek samping yang sering dilaporkan
yaitu efek samping bersifat jangka pendek dan bersifat ringan seperti masalah pada
syaraf, anemia, diare, pusing, lelah, sakit kepala, mual, muntah.nyeri dan ruam.
Selain itu ada juga yang mengalami efek samping jangka panjang dan lebih berat
seperti lipodistropi, resistensi insulin, kelainan lipid, penurunan kepadatan tulang,
asidosis laktat, dan neuropati perifer (U.S. Departement of Health and Human
Services, 2009).

ARV lini pertama yang digunakan di Indonesia saat ini berupa kombinasi
dosis tetap (KDT) yang mengandung tenofovir, lamivudine/emtricitabine, dan
efavirenz (Kemenkes RI, 2019). Namun, penggunaan ARV memiliki efek samping
yang dapat timbul dalam berbagai manifestasi seperti hematologi, kimia klinik,
urinalisis, gastrointestinal, muskuloskeletal, neurologi, dan endokrin. Efek samping
ini mulai dari derajat ringan hingga berat (Kemenkes RI, 2014) . Efek samping
ringan yang sering muncul berupa kembung, mual, dan diare yang muncul hanya
satu waktu atau terus menetap selama terapi. Efek samping ringan lainnya yang
sering muncul adalah lemah dan pusing yang disebabkan oleh zidovudine (AZT)
dan mimpi buruk yang disebabkan oleh efavirenz (EFV) (Montessori, 2004).

Kepatuhan dalam terapi pengobatan ARV sangat menentukan keberhasilan


serta efektivitas ARV. Umumnya, kegagalan terapi ARV penyebabnya karena
pasien yang tidak patuh dalam meminum obat ARV (Achappa dkk, 2013).
Pencapaian manfaat yang optimal pada obat ARV setidaknya dibutuhkan 95% dari
semua dosis yang tidak boleh terlupakan (Amberbir, 2018). Kepatuhan menjadi
penentu keberhasilan dari terapi antiretroviral pada pasien ODHA.
Beberapa faktor umum yang memengaruhi terhadap ketidakpatuhan dalam
mengonsumsi obat antiretroviral adalah munculnya efek samping ketika
mengonsumsi obat antiretroviral. Efek samping yang dirasakan berbeda tergantung
jenis obat antiretroviral yang dikonsumsi. Terjadinya efek samping biasanya
menjadi alasan medis untuk mengganti obat ARV bagi pasien. Meskipun setiap
penderita akan menunjukkan efek samping yang berbeda tetapi efek samping yang
dirasakan mengganggu dalam kurun waktu cukup lama, Jika dibandingkan dengan
populasi umum, probabilitas pada pasien ODHA untuk munculnya efek samping
obat lebih besar. Penelitian di Nigeria menunjukkan bahwa pasien yang menjalani
terapi antiretroviral pada 6 bulan pertama lebih memungkinkan untuk mengalami
efek samping obat jika dibandingkan dengan pasien yang menjalani terapi
antiretroviral lebih lama (Kammerer, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anwar dan Wulandari di


RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta pada tahun 2018 tentang efek samping
Antiretroviral pada pasien HIV/AIDS menjelaskan bahwa dari 95 pasien 90% di
antaranya mengalami efek samping ringan, dan 5,27% mengalami efek samping
berat. Jenis efek samping yang sering dialami adalah sakit kepala, alergi,
mual/muntah, anemia, diare, dan sukar tidur. Efek samping ARV merupakan salah
satu alasan utama yang menyebabkan pasien HIV menunda atau menghentikan
pengobatan sehingga tingkat kepatuhan rendah (Anwar dkk, 2018). Pada penelitian
Latifa dan Maria yang dilakukan pada tahun 2014 tentang efek samping obat
terhadap kepatuhan pengobatan Antiretroviral didapatkan hasil bahwa ada
hubungan yang bermakna antara efek samping pengobatan dengan kepatuhan
pengobatan Antiretroviral, dan riwayat pasien yang tidak merasakan efek samping
obat secara signifikan berhubungan dengan kepatuhan pengobatan Antiretroviral.
ODHA yang tidak pernah mengalami efek samping Antiretroviral memiliki
kemungkinan 13-14 kali untuk patuh terhadap pengobatan dibandingkan dengan
yang merasakan efek samping obat (Latifa dkk, 2014).

Efek samping yang terjadi dalam penggunaan ARV dapat mengakibatkan


berkurangnya kepatuhan pasien dalam minum obat sehingga efektivitas atau
outcome terapi yang diharapkan tidak optimal. Hal inilah yang menjadi dasar
peneliti untuk melakukan penelitian mengenai efek samping ARV pada pasien
HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lombok Barat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Adakah efek samping yang disebabkan oleh penggunaan obat antiretroviral
(ARV) pada pasien Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (HIV/AIDS)?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui Data Demografi pasien Human Immunodeficiency Virus dan
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) yang mengkonsumsi obat
Antiretroviral (ARV).

2. Mengetahui efek samping yang disebabkan oleh penggunaan obat antiretroviral


(ARV) pada pasien Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (HIV/AIDS).

1.4 Manfaat Penelitian


1. Manfaat bagi Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lombok Barat

Manfaat bagi Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lombok Barat adalah unuk
memberikan dampingan dan motivasi kepada Pasien Human Immunodeficiency
Virus dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) yang mengalami
efek samping penggunaan obat Antiretroviral (ARV).

2. Manfaat bagi pasien Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immuno


Deficiency Syndrome (HIV/AIDS)

Manfaat dari penelitian ini untuk para pasien Human Immunodeficiency Virus dan
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) adalah agar pasien dapat
mengetahui efek dari terapi Antiretroviral (ARV) sebelum menjalani terapi.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Memberikan gambaran bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut
tentang variabel lain (Efek samping dengan intervensi untuk mengatasi efek
samping tarapi Antiretroviral (ARV)).
1.5 Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

Peneliti Judul penelitian Metode Variabel Hasil penelitian


Penelitian Penelitian
Tiurnani Evaluasi efek Penelitian ini Efek samping obat Sebagain besar
dkk, 2017 samping obat bersifat Antiretroviral pasien
antiretroviral dan deskriptif (ARV) dan menggunakan
penatalaksanaanya meggunakan Penatalaksanaan- kombinasi
pada pasien pendekatan nya regimen ARV
HIV/AIDS di secara Duviral+Neviral
Puskesmas retrospektif yaitu 38 pasien
Kecamatan (58,47%). Hanya
Penjaringan 26 pasien
Jakarta Utara (40,00%) dari 65
periode tahun pasien yang
2013 – 2015 mengalami
kejadian efek
samping dan jenis
terapi yang paling
banyak
menyebabkan efek
samping juga
kombinasi dari
Duviral+Neviral
tersebut yaitu 19
pasien (73,08%).
Jenis efek
samping yang
dialami pasien
adalah
mual/muntah,
sakit kepala,
ngantuk dan ruam
pada kulit, dan
yang paling
banyak mengalami
mual/muntah
disertai sakit
kepala yaitu 9
pasien (34,62%).
Dari 26 pasien
hanya 17 pasien
(65,38%) yang
dilakukan
penatalaksanaan
efek samping,
tatalaksana efek
samping yang
paling banyak
dilakukan adalah
dengan member
terapi obat
simtomatik sesuai
dengan efek
samping yang
dialami pasien
yaitu 10 pasien
(58,82%).
Oki Survei cross Penelitian ini Efek samping obat efek samping yang
Nugraha, sectional efek merupakan Antiretroviral paling banyak
2021 samping obat penelitian (ARV) dirasakan oleh
Antiretroviral prospektif pasien HIV berupa
(ARV) pada observasional efek samping
pasien HIV rawat dengan minor yang tidak
jalan dengan desain memerlukan
algoritma Naranjo penelitian penghentian
cross- pengobatan serta
sectional, efek samping yang
observasi dirasakan oleh
dilakukan pasien terbanyak
dengan berada pada
wawancara kategori probable.
menggunakan
aloritma
naranjo
Puspasari, Gambaran Efek Penelitian Efek samping dan Pada penelitian ini
2015 Samping dan dilakukan kepatuhan terapi diketahui bahwa
Kepatuhan Terapi menggunakan Antiretroviral efek samping yang
Antiretroviral studi desain (ARV) paling banyak
pada Pasien HIV deskriptif dialami adalah
di Rumah Sakit kuantitatif, mual, pusing,
Dr. Hasan Sadikin Objek gatal dan ruam.
Bandung Tahun penelitian Efek samping
2015 merupakan yang paling sering
data sekunder terjadi adalah
yang diambil terkait sistem saraf
secara pusat yang tidak
restropektif spesifik sehingga
menyebabkan
mual, pusing,
vertigo dan sakit
kepala.
Efek samping
ARV merupakan
salah satu alasan
utama yang
menyebabkan
pasien HIV
menunda atau
menghentikan
pengobatan
sehingga tingkat
kepatuhan rendah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HIV/AIDS


2.1.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang atau
menginfeksi sel darah putih khususnya sel CD4+ yang menyebabkan turunnya
kekebalan tubuh manusia dan dapat menyebabkan komplikasi infeksi oportunistik
(Dipiro dkk, 2017). Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu
kumpulan gejala berkurangnya kemampuan imunitas tubuh yang disebabkan oleh
masuknya virus HIV (Kemenkes, 2014). Perbedaan mendasar antara HIV dan AIDS
adalah terletak pada jumlah CD4+, dimana pada HIV jumlah CD4+ ≥500 sel/mm3,
sedangkan pada AIDS jumlah CD4+ <200 sel/mm3 (Dipiro dkk, 2015).

HIV adalah retrovirus yang termasuk golongan virus Ribonucleic Acid


(RNA), yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa genetik.
Sebagai retrovirus, HIV memiliki sifat khas karena memiliki enzim reverse
transcriptase, yaitu enzim yang memungkinkan virus merubah informasi
genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk Deoxyribonucleic Acid
(DNA) yang kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel l limfosit yang
diserang. Dengan demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk
mengkopi dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV (Depkes, 2006).

HIV dapat ditemukan dan diisolasikan dari sel limfosit T, limfosit B, sel
makrofag (di otak dan paru) dan berbagai cairan tubuh. Akan tetapi sampai saat ini
hanya darah dan air mani yang jelas terbukti sebagai sumber penularan serta ASI
yang mampu menularkan HIV dari ibu ke bayinya (Depkes, 2006).

2.1.2 Epidemiologi
AIDS pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1981 pada
lima remaja homoseksual dengan gejala Pneumocystis Carini Pneumonia (PCP).
UNAIDS memperkirakan 36,2 juta orang dewasa telah mengidap HIV dan 1,7 juta
lainnya masih berusia <15 tahun. Pada tahun 2018, negara dengan prevalensi yang
tinggi ialah Afganistan, Bangladesh, Bulgaria, Mesir, Kazakhstan, Madagascar,
Montenegro, Macedonia Utara, Pakistan, Filipina, dan Uzbekistan (UNAIDS,
2006)

Kasus AIDS di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 berasal
dari seorang warga negara asing di Bali. Sejak pertama kali dilaporkan pada tahun
1987 sampai tahun 2018, HIV-AIDS telah menyebar ke 460 (89,5%) dari 514
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sampai pada tahun 2018, jumlah kumulatif
infeksi HIV sebanyak 327.282 orang. Presentasi kelompok umur yang terinfeksi
paling tinggi pada usia 25-49 tahun (69,6%), 20-24 tahun (15,6%), ≥50 tahun
(8,3%). Adapun 5 provinsi dengan infeksi HIV tertinggi ialah DKI Jakarta, Jawa
Timur, Jawa Barat, Papua, dan Jawa Tengah (Direktur Jendral P2P, 2019).

2.1.3 Etiologi
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yakni sejenis virus NA yang
tergolong retrovirus. Virus ini memiliki materi genetik berupa sepasang asam
ribonukleat rantai tunggal yang identik dan suatu enzim yang disebut reverse
transcriptase. Virion HIV mempunyai tiga bagian utama yaitu envelope yang
merupakan lapisan terluar, capsid yang meliputi isi virion dan core yang merupakan
isi virion. Envelope adalah lapisan lemak ganda yang terbentuk dari sel penjamu
dan mengandung protein penjamu. Pada lapisan ini tertanam glikoprotein virus
yang disebut glikoprotein41 (gp41). Pada bagian luar protein ini terikat
glikoprotein120 (gp120). Molekul gpl20 ini akan berkaitan dengan reseptor Cluster
of differentiation 4 (CD4) pada saat menginfeksi limfosit T4 atau sel lainnya yang
mempunyai reseptor tersebut. Pada elektroforesis, kompleks antara molekul gp41
dan gp120 akan membentuk pita yang disebut gp160. Capsid berbentuk iko sahedral
dan merupakan lapisan protein yang dikenal sebagi p17. Pada bagian core terdapat
sepasang RNA rantai tunggal, enzim-enzim seperti reverse transcriptase,
endonuclease dan protease, serta protein-protein struktural terutama p24
(Hoffmann, Rockstroh, & Kamps, 2006 dalam Kusuma, 2011).

Dasar utama penyakit infeksi HIV ialah berkurangnya jenis sel darah putih
(Limfosit T helper) yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4
mempunyai pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak
langsung dalam menginduksi kebanyakan fungsi-fungsi kekebalan, sehingga
kelainan-kelainan fungsional pada sel T4 akan menimbulkan tanda-tanda gangguan
respon kekebalan tubuh. Setelah HIV memasuki tubuh seseorang, HIV dapat
diperoleh dari limfosit terutama limfosit T4, monosit, sel glia, makrofag, dan cairan
otak penderita AIDS.

Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat
double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai
sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim ini lah yang
membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga
keberadaan virus HIV di dalam tubuh tidak dihancurkan oleh T4 helper. Fungsi dari
sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang
memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin,
dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit, kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius
(Price & Wilson, 2006).

CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaansel-sel


darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. CD4 pada orang dengan sistem
kekebalan yang menurun menjadi sangat penting, karena berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam memerangi infeksi yang masuk ke tubuh manusia.
Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-
1500 selper ml darah. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang
terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan
semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampainol)

Sel yang mempunyai marker CD4 di permukaannya berfungsi untuk


melawan berbagai macam sumber infeksi. Disekitar kita banyak sekali sumber
infeksi yang beredar, baik yang berada di udara, makanan ataupun minuman.
Namun kita tidak setiap saat menjadi sakit, karena CD4 masih bisa berfungsi
dengan baik untuk melawan infeksi ini. Jika CD4 berkurang, mikroorganisme yang
patogen di sekitar kita tadi akan dengan mudah masuk ke tubuh kita dan
menimbulkan penyakit pada tubuh manusia (Nursalam & Kurniawati, 2009).

Sel T4 dan makrofag serta sel dendritik / langerhans (sel imun) adalah sel-
sel yang terinfeksi HIV dan terkonsentrasi di kelenjar limfe, limpa, dan sumsum
tulang. HIV menginfeksi sel melalui pengikatan dengan protein perifer CD4,
dengan bagian virus yang bersesuaianya itu antigen grup120. Pada saat sel T4
terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka HIV menginfeksi sel lain dengan
meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi
respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang
terinfeksi (Hoffmann, Rockstroh, & Kamps, 2006 dalam Kusuma, 2011).

2.1.4 Transmisi Infeksi HIV


Menurut Nasronudin dan Maramis (2007), Penularan HIV terjadi melalui
tiga cara, yaitu :
a. Secara vertikal dari ibu ke bayi
Transmisi penularan dari ibu ke bayi terjadi pada saat kehamilan dan proses
persalinan. Kemenkes RI (2012), mengatakan bahwa risiko penularan selama hamil
(5-10%), selama proses bersalin (10-20%), dan menyusui (5-20%).
b. Secara transeksual (homoseksual dan heteroseksual)
Pada hubungan seksual anogenital, yang dilakukan oleh pria homoseks,
mukosa rektum mudah mengalami luka karena lapisan mukosa yang tipis dan tidak
dipersiapkan untuk hubungan seksual seperti dinding vagina. Oleh karena itu,
hubungan seks anogenital merupakan perilaku seksual yang berisiko tinggi untuk
terjadi penularan HIV.
c. Secara horizontal
Penularan secara horizontal ini berupa kontak darah, pemakaian jarum
suntik bersama- sama secara bergantian, tato, tindik, transfusi darah, transplantasi
organ, tindakan hemodialisa, perawatan gigi, khitanan massal, dan lain-lain yang
kurang memperhatikan asas sterilisasi. Virus HIV tidak dapat ditularkan melalui
udara, bersin, batuk, bersentuhan dengan pengidap HIV, berjabat tangan, cium pipi
ataupun berpelukan, gigitan nyamuk dan serangga, makanan dan minuman serta
penggunaan WC dan kolam renang bersama-sama.
2.1.5 Patofisiologi
Virus HIV memiliki materi genetik berupa sepasang asam ribonukleat rantai
tunggal yang identik dan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Virion
HIV mempunyai tiga bagian utama yaitu envelope yang merupakan lapisan terluar,
capsid yang meliputi isi virion dan core yang merupakan isi virion. Envelope adalah
lapisan lemak ganda yang terbentuk dari sel penjamu dan mengandung protein
penjamu. Pada lapisan ini tertanam glikoprotein virus yang disebut glikoprotein41
(gp41). Pada bagian luar protein ini terikat glikoprotein120 (gp120). Molekul gpl20
ini akan berkaitan dengan reseptor Cluster of Differentiation 4 (CD4). CD4 adalah
sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia,
terutama sel-sel limfosit. (Hoffmann, Rockstroh, & Kamps, 2006 dalam
(Puspitasari, 2016)

Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS,
sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler.
Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan risiko dan derajat
keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan. Menurut Misutarno
(2017) dalam Kam (1996), perjalanan HIV&AIDS dibagi dalam 2 (dua) fase yaitu
fase infeksi awal dan fase infeksi lanjut.

1. Fase Infeksi Awal

Pada fase awal proses infeksi (immunokompeten) akan terjadi respons imun
berupa peningkatan aktivasi imun, yaitu pada tingkat seluler (HLA-DR; sel T; IL-
2R); serum atau humoral (beta-2 mikroglobulin, neopterin, CD8, IL- R) dan
antibodi upregulation (gp 120, anti p24; IgA). Induksi sel T-helper dan sel-sel lain
diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel-sel faktor sistem imun agar tetap
befungsi baik. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga T-helper tidak
dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun. Dengan tidak adanya
T-helper, sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik, sel NK, monosit dan sel
B tidak dapat berfungsi secara baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien
jatuh ke dalam stadium lanjut.

2. Fase Infeksi Lanjut


Pada fase ini disebut dengan imunodefesien, dalam serum pasien yang
terinfeksi HIV ditemukan adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap
proliferasi sel T. Adanya supresif pada proliferasi sel T tersebut dapat menekan
sintesis dan sekresi limfokin. Sehingga sel T tidak mampu memberikan respons
terhadap mitogen ,terjadi disfungsi imun yang ditandai dengan penurunan kadar
CD4+, sitokin (IFNχ; IL-2; IL-6); antibodi down regulation (gp120; anti p-24);
TNF α; anti nef. HIV/AIDS dibagi menjadi 4 stadium. Pembagian Stadium
HIV/AIDS adalah sebagai berikut (Kemenkes, 2015) :

a. Stadium I : HIV Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya
perubahan serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut dari negatif berubah
menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes
antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama window
period antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang sampai enam bulan.
b. Stadium II : Asimptomatik (tanpa gejala)
Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh
tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlangsung rata-rata
selama 5–10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah
dapat menularkan HIV kepada orang lain.
c. Stadium III : pembesaran kelenjar limfe
Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata (Persistent Generalized
Lymphadenopathy), tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung
lebih satu bulan.
d. Stadium IV : Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit, antara lain
penyakit konstitusional, penyakit saraf dan penyakit infeksi sekunder.

2.1.6 Manisfestasi Klinis


Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh host
akibat intervensi HIV. Manifestasi ini dapat berupa gejala dan tanda infeksi virus
akut, keadaan asimtomatik berkepanjangan, hingga manifestasi AIDS berat.
Perjalanan penyakit HIV dapat dibagi menjadi 4 tahap (Tjokoprawiro dkk, 2015).

Pertama, merupakan tahap infeksi akut, pada tahap ini muncul gejala infeksi
virus tetapi tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah paparan HIV
dapat berupa demam, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri telan,rasa letih dan
pembesaran kelenjar getah bening. Dapat juga disertai meningitis aseptic ditandai
demam, nyeri kepala, hebat, kejang-kejang dan kelumpuhan saraf otak.

Kedua, merupakan tahap asimtomatik, pada tahap ini gejala dan keluhan
hilang.Tahap ini berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahunsetelah
infeksi.Disini sedang terjadi internalisasi HIV ke intra seluler. Pada tahap ini
aktivitas masih normal.

Ketiga, merupakan tahap simtomatis, pada tahap ini gejala dan keluhan
lebih spesifik dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi
tidak sampai 10%, pada selaput mulut terjadi sariawan berulang, terjadi peradangan
pada sudut mulut, dapat juga ditemukan infeksi bakteri pada saluran nafas bagian
atas namun penderita dapat melakukan aktivitas terganggu. Penderita lebih banyak
berada di tempat tidur meskipun kurang 12 jam perhari dalam bulan terakhir.
Keempat, merupakan tahap yang lebih lanjut atau tahap AIDS. Pada tahap
ini terjadi penurunan berat badan lebih 10%, diare yang lebih dari 1 bulan, panas
yang tidak diketahui sebabnya lebih dari satu bulan, kandidiasis oral, oral
leukoplakia, tuberculosis paru, dan pneumonia bakteri. Penderita berbaring di
tempat tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan terakhir. Penderita diserbu
berbagai macam infeksi sekunder, misalnya pneumonia pneumokistik karinii,
toksoplasmosis otak, diare akibat kriptosporidiosis, penyakit virus sitomegalo,
infeksi virus herpes, kandidiasis pada esophagus, trakea, bronkus atau paru serta
infeksi jamur yang lain misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis. Dapat juga
ditemukan beberapa jenis malignansi, termasuk keganasan kelenjar getah bening
dan sarcoma Kaposi. Hiperaktivitas komplemen menginduksi sekresi histamine.
Histamin menimbulkan keluhan gatal pada kulit dengan diiringi mikroorganisme di
kulit memicu terjadinya dermatitis HIV.
2.1.7 Klasifikasi Klinis
Berikut adalah klasifikasi klinis HIV/AIDS menurut WHO pada tabel 2.1
dibawah ini :
Tabel 2.1 klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang Dewasa menurut WHO
(Kemenkes, 2015)
Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas

I a. Asimtomatik Asimtomatik,aktivitas
b. Limfadenopati generalisata normal

II a. Berat badan menurun<10% Simptomatik,


b. Kelainan kulit dan mukosa yang ringan aktifitas normal
seperti, dermatitis seboroik, prurigo,
onikomikosis, ulkus oral yang rekuren,
kheilitis angularis
c. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
d. Infeksi saluran napas bagian atas
seperti, sinusistis bakterialis

III a. Berat badan menurun > 10% Pada umumnya


Diare kronis yang berlangsung lebih lemah, aktivitas di
dari 1 bulan tempat tidur kurang
b. Demam berkepanjangan lebih dari 1 dari 50%
bulan
c. Kandidiasis orofaringeal
d. Oral hairy leukoplakia
e. TB paru dalam tahun terakhir
f. Infeksi bacterial yang berat seperti
pnemonia, piomiositis
IV a. HIV wasting syndrome seperti Pada umumnya sangat
yang didefinisikan oleh CDC lemah, aktivitas di
b. Pnemonia Pneumocystis carinii tempat tidur lebih dari
c. Toksoplasmosis otak 50%
d. Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1
bulan
e. Kriptokokosis Ekstrapulmonal
f. Retinitis virus sitomegalo
g. Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan
h. Leukoensefalopati multifokal progresif
i. Mikosis diseminata seperti
Histoplasmosis
j. Kandidiasis di esophagus, trakea,
bronkus dan paru
k. Mikobakteriosis atipikal diseminata
l. Septisemia salmonelosis non tifoid
m. Tuberkulosis diluar paru
n. Limfoma
o. Sarkoma Kaposi
p. Ensefalopati HIV

Pada awal infeksi HIV tidak ada gejala yang tampak. Beberapa orang
mengalami gangguan kelenjar yang menimbulkan efek seperti demam (disertai
panas tinggi, gatal-gatal, nyeri sendi, dan pembengkakan pada limpa), yang dapat
terjadi ketika antibodi akibat HIV terbentuk, dan biasanya terjadi antara enam
minggu dan tiga bulan setelah terjadinya infeksi (seroconversion). Meski tidak
ada gejala awal yang tampak, seseorang yang terinfeksi HIV dapat menularkan
virus tersebut kepada orang lain dengan mudah.

Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan,
akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun, bervariasi antar
individu yang satu dan yang lain. Dengan gaya hidup sehat, jarak waktu antara
infeksi HIV dan menjadi sakit karena AIDS dapat berkisar antara 10-15 tahun, atau
mungkin lebih lama. Terapi antiretroviral dapat memperlambat perkembangan
AIDS dengan menurunkan jumlah virus yang terdapat dalam tubuh orang yang
terinfeksi. AIDS yang diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu, yang
dikelompokkan oleh WHO (World Health Organization) sebagai berikut:

1) Tahap I penyakit HIV tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak dikategorikan
sebagai AIDS.
2) Tahap II (meliputi manifestasi mucocutaneous minor dan infeksi-infeksi saluran
pernafasan bagian atas yang tidak sembuh-sembuh)
3) Tahap III (meliputi diare kronis yang tidak jelas penyebabnya yang berlangsung
lebih dari satu bulan, infeksi bakteri yang parah, dan TBC paru- paru), atau
4) Tahap IV (meliputi toksoplasmosis pada otak, kandidiasis pada saluran
tenggorokan (oesophagus), saluran pernafasan (trachea), batang saluran paru-
paru (bronchi) atau paru-paru dan sarkoma kaposi), Penyakit HIV digunakan
sebagai indikator AIDS.

Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila


diderita oleh orang yang sehat, dapat diobati (Rustana, 2012).

2.1.8 Komplikasi
Menurut Ermawan 2018 infeksi HIV memperlemah system kekebalan
tubuh, membuatnya sangat rentan terhadap banyak infeksi dan jenis kanker tertentu.
Infeksi umum terjadi pada HIV/AIDS antara lain:

a. Tuberkulsis paru (TB)


b. Sitomrgalovirus
c. Kandidiasis
d. Meningitis kriptokokal
e. Toksoplasmosis
f. Kriptosporidiosis
g. Kanker umum yang terjadi pada HIV/AIDS
h. Tumor sarcoma Kaposi dinding pembuluh darah
i. Sarcoma Kaposi biasanya muncul sebagai lesi merah muda
j. Limfoma
k. Sindroma wasting
l. Komplikasi neurologis
m. Penyakit ginjal

2.1.9 Pencegahan
Menurut Kementerian Kesehatan RI 2013 Cara pencegahan HIV-AIDS
dengan menghindari penularan HIV mengunakan konsep ABCD yaitu:

a. [A] (Abstinence) : Absen seks atau tidak melakukakan hubungan seksual


b. [B] (Be faithful) : Bersikap saling setia kepada satu pasang seks (tidak berganti-
ganti)
c. [C] (Condom) : Cegah dengan kondom, harus dipakai oleh pasangan apabila
salah satu atau keduanya diketahui terinfeksi
d. [D] (no Drug) : Dilarang mengunakan Napza, terutama napza suntik dengan
jarum bekas secara bergantian.

Menurut (Kementerian Kesehatan RI, 2015) Untuk mencegah terjadinya


penularan terutama bagi orang yang belum tertular dan membantu orang yang telah
terinfeksi untuk tidak menularkan kepada orang lain atau pasangan, Upaya
Pencegahan di Masyarakat yaitu:

a. Pada pengendalian HIV, upaya pencegahan meliputi beberapa aspek yaitu


penyebaran informasi, promosi penggunaan kondom, skrining darah pada
darah donor, pengendalian IMS yang adekuat, penemuan kasus HIV dan
pemberian ARV sedini mungkin, pencegahan penularan dari ibu ke anak,
pengurangan dampak buruk, sirkumsisi, pencegahan dan pengendalian infeksi
di Faskes dan profilaksis pasca pajanan untuk kasus pemerkosaan dan
kecelakaan kerja.
b. Penyebaran informasi tidak menggunakan gambar atau foto yang menyebabkan
ketakutan, stigma dan diskriminasi
c. Penyebaran informasi perlu menekankan manfaat tes HIV dan pengobatan ARV
d. Penyebaran informasi perlu disesuaikan dengan budaya dan bahasa atau
kebiasaan masyarakat setempat.
2.1.10 Diagnosis
1. Diagnosis Klinis

Diagnosis infeksi HIV/AIDS dapat dibuat berdasarkan klasifikasi klinis


WHO. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi
dibuat bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya di dapatkan 2
gejala mayor dan satu gejala minor (Tjokoprawiro dkk, 2015).

1) Gejala mayor
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam satu bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari satu bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/HIV ensefalopati
2) Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari satu bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan atau berulang
d. Kandidiasis oro-faringial
e. Herpes simplek kronik progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h. Retinitis sitomegalovirus

Apabila didapatkan salah satu tanda/gejala berikut, dilaporkan sebagai


kasus AIDS, walaupun tanpa pemeriksaan laboratorium: Sarkoma Karposi,
pneumoni berulang.

2. Diagnosis Laboratoris

Untuk mendeteksi seorang penderita HIV, dapat dilakukan tes langsung


pada virus HIV atau secara tidak langsung dengan cara menemukan antibody
(Tjokoprawiro dkk, 2015).
Pemeriksaan pertama terhadap antibody HIV dapat digunakan rapid test
untuk melakukan uji tapis, apabila didapatkan hasil positif dilakukan pemeriksaan
ulang dengan menggunakan tes yang memiliki prinsip dasar yang berbeda dan atau
menggunakan preparasi antigen yang berbeda dari tes yang pertama, biasanya
digunakan enzym-linked immunosorbent assay (ELISA). Apabila tersedia sarana
yang cukup dapat dilakukan tes konfirmasi dengan western blot (WB), indirect
immunofluorescence assays (IFA), atau dengan radio-immunoprecipitation assay
(RIPA). Pemeriksaan lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi antibody
terhadap HIV dapat digunakan bahan dari saliva (Oral Sure) dan urin (Calypte HIV-
1 Urine ELISA).

Deteksi adanya virus dalam tubuh dapat dilakukan dengan tekhnik


polymerase chain reaction (PCR), teknik ini dilakukan apabila tes serologi
beberapa kali tidak konklusif, untuk memastikan seseorang ada dalam fase periode
jendela (window period), ingin segera mengetahui infeksi HIV pada bayi, dan untuk
kepentingan penelitian tertentu. Metode PCR ini dapat meliputi DNA- PCR, RNA-
PCR, (b) DNA assay, dan p24 antigen capture.

Prosedur pemeriksaan laboraturium untuk HIV sesuai dengan paduan


nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan 3 strategi dan selalu
didahului dengan konseling pra-tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat
menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA.
Tabel 2.2 Interpretasi dan Tindak Lanjut Hasil Tes A1

Hasil Interpretasi Tindak Lanjut


A1 (-) Non-reaktif Bila yakin tidak ada faktor risiko
atau dan atau perilaku berisiko
A1 (-) A2 (-) A3 (-) dilakukan >3 bulan sebelumnya
maka pasien diberi konseling cara
menjaga tetap negatif.
Bila belum yakin ada tidaknya
faktor risiko dan atau perilaku
berisiko dilakukan dalam tiga
bulan terakhir maka dianjurkan
untuk tes ulang dalam 1 bulan.

A1(+) A2(+) A3 (-) Indeterminate Ulang tes dalam 1 bulan dan


Atau konseling caraagar tetap negatif
A1 (+) A2 (-) A3 (-) ke depannya
A1 (+) A2 (+) A3 (+) Reaktif atau Positif Lakukan konseling hasil tes
positif dan rujuk untuk
mendapatkan paket layanan
PDP

Sumber : (Direktorat Jendral PP & PL, 2011)

Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas


yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3)
menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%). Antibodi biasanya baru dapat
terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang
disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela
menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih
terdapat perilaku yang berisiko (Direktur Jendral P2P, 2019)
3. Diagnosis Infeksi HIV
Diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis dan dipastikan melalui
pemeriksaan laboratories. Sesudah dinyatakan HIV positif, dilakukan pemeriksaan
untuk mendiagnosis adanya penyakitpenyerta serta infeksi oportunistik, dan
pemeriksaan laboratorium. Untuk menentukan stadiuminfeksi HIV dapat dilihat
pada tabel 2.3

Tabel 2.3 Stadiun Klinis HIV/AIDS

Kondisi klinis Diagnosis klinis Diagnosis definitif


Stadium klinis 1
Asimtomatik Tidak ada keluhan maupun tanda -
Limfadenopati generalisata persisten Kelenjar limfe membesar atau Histologi
membengkak >1 cm pada 2 atau lebih
lokasi yang tidak
berdekatan (selain inguinal), sebabnya
tidak diketahui, bertahan selama
3 bulan atau lebih
Stadium klinis 2
Penurunan berat Anamnesis adanya penurunan Penurunan berat badan dari
pemeriksaan
badan derajat sedang yang tidak berat badan. Pada kehamilan, berat badan fisik sebesar <10%
dapat dijelaskan (<10% BB) gagal naik

Infeksi saluran napas atas berulang Kumpulan gejala ISPA, seperti nyeri Pemeriksaan laboratorium bila ada,
(episode saat ini, ditambah 1 episode wajah unilateral dengan sekret nasal misal kultur cairan tubuh yang
atau lebih dalam 6 bulan) (sinusitis), nyeri dan radang di membran terkait
timpani (otitis media), atau
tonsilofaringitis tanpa tanda infeksi virus
(coryza, batuk)

Herpes zoster Vesikel nyeri dengan distribusi Diagnosis klinis


dermatomal, dengan dasar eritem atau
hemoragik, tidak menyeberangi garis
tengah
Stadium klinis 3
Penurunan berat badan yang tidak Anamnesis adanya penurunan berat Penurunan berat badan dari
dapat dijelaskan (<10% BB) badan dan terlihat penipisan di wajah, pemeriksaan fisik sebesar <10%
pinggang dan ekstremitas disertai
wasting yang kentara atau Indeks
Massa Tubuh (IMT) <18,5 Dapat
terjadi masking penurunan berat badan
pada kehamilan

Diare kronik selama >1 bulan yang Anamnesis adanya diare kronik Tidak diharuskan, namun perlu
tidak dapat dijelaskan (feses lembek atau cair ≥3 kali sehari) untuk konfirmasi apabila ≥3 feses
selama lebih dari 1 bulan tidak cair dan ≥2 analisis feses
tidak ditemukan pathogen.

Demam persisten yang tidak dapat Dilaporkan sebagai demam atau Pemeriksaan fisik menunjukkan
dijelaskan (>37,5oC intermiten atau keringat malam yang berlangsung >1 suhu >37,6°C, dengan kultur darah
konstan, > 1 bulan bulan, baik intermiten atau konstan, negatif, Ziehl-Neelsen negatif, slide
tanparespons dengan pengobatan malaria negatif, rontgen torax
antibiotik atau antimalaria normal atau tidak berubah, tidak ada
fokus infeksi yang nyata.

TB Paru Sebab lain tidak ditemukan pada Isolasi Mycobacterium tuberculosis


prosedur diagnostik. Gejala kronik pada kultur sputum atau
(bertahan selama 2-3 minggu) : batuk, histopatologi biopsi paru (sejalan
hemoptysis, sesak nafas, nyeri dada, dengan gejala yang muncul)
penurunan berat badan, demam,
keringat malam, ditambah : Sputum
BTA negatif atau sputum BTA positif
dan gambaran radiologis (termasuk
infiltrate di lobus atas, kavitasi, fibrosis
pulmoner, pengecilan, dan lail-lain).
Tidak ada bukti gejala ekstrapulmoner.
Stadium klinis 4
HIV wasting syndrome Anamnesis adanya penurunan berat Pemeriksaan fisik
badan (>10% BB) dengan wasting menunjukkan adanya
yang jelas atau IMT <18,5, ditambah: penurunan berat badan (>10%
Diare kronik yang tidak dapat BB) ditambah patogen negatif
dijelaskan (feses lembek atau cair ≥3 pada dua ataulebih feses
kali sehari) selama >1 bulan ATAU ATAU Pemeriksaan fisik
Demam atau keringat malam selama >1 menunjukkan adanya
bulan tanpa penyebablain dan tidak peningkatan suhu melebihi
merespons terhadap antibiotik atau 37,6°C tanpa penyebablain.
antimalaria. Malaria harus disingkirkan Kultur darah negatif, slide
pada daerah endemis malaria negatif, dan radiografi
normal atau tidak berubah

Sumber : Kemenkes RI, 2014

Pada tabel 1 diatas diketahui bahwa setelah pemeriksaan di laboratorium,


penderita tersebut positif HIV/AIDS dengan stadium klinis yang jelas selanjutnya
ODHA akan mendapatkan paket layanan perawatan dukungan pengobatan
(Kemenkes RI, 2014).

Antiretroviral merupakan obat anti virus yang berfungsi untuk menekan


perkembangan virus HIV yang ada di dalam tubuh tetapi bukan untuk membunuh
virus HIV. Ada tiga golongan utama ARV Penghambat masuknya Virus yaitu :

a. Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI) berfungsi untuk mengikat


enzim (reverse transcriptase enzyme) sehingga tidak terjadi pembentukan
yang sempurna dari DNA virus ke RNA. Obat- obat yang digunakan terdiri
dari obat Zidovudin (ZTC/AZT), Stavudin (d4T) Lamivudin (3TC),
Zalcitabin (ddc), Didanosine (ddI), Abacavir (ABC) dan Tenofovir(TDF).
b. Non nukleosida (NNRTI) yaitu mengikat reserve transcriptase sehingga
tidak dapat berfungsi. obat yang digunakan adalah Nevirapin (NVP) dan
Efavirenz (EFV).
c. Protease Inhibitor (PI) penghambat enzim obatnya yaitu obat Ritonavir
(RTV) Lopinavir (LPV), Saquinavir (SQV), Indinavir (IDV) dan Nelfinavir
(NFV) (Depkes, 2014).
2.1.11 Prognosis
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, tidak ada obat untuk infeksi
HIV. Saat ini, obat-obatan tertentu dapat meningkatkan prospek dan tingkat
kelangsungan hidup secara substansial. Upaya pencegahan telah mengurangi
infeksi HIV pada anak kecil dan berpotensi membatasi infeksi pada populasi lain.

Terapi antiretroviral (ART) dapat memperpanjang usia harapan hidup rata-


rata, dan banyak orang dengan HIV memiliki harapan hidup berpuluh- puluh tahun
dengan perawatan yang tepat. Obat-obatan membantu sistem kekebalam tubuh pulh
dan melawan infeksi, serta mencegah terjadinya kanker. ART harus dikomsumsi
secara teratur dengan dosis yang tepat, agar virus tidak menjadi resisten dan
menimbulkan manifestasi AIDS (Ermawan, 2018).

2.2 Antiretroviral

2.2.1 Definisi
Antiretroviral (ARV) adalah suatu obat yang dapat digunakan untuk
mencegah reproduksi retrovirus yaitu virus yang terdapat pada HIV. Obat ini tidak
untuk mencegah penyebaran HIV dari orang yang terinfeksi ke orang lain, tidak
untuk menyembuhkan infeksi HIV dan juga tidak berfungsi untuk membunuh virus.
Antiretroviral digunakan untuk memblokir atau menghambat proses reproduksi
virus, membantu mempertahankan jumlah minimal virus di dalam tubuh dan
memperlambat kerusakan sistem kekebalan sehingga orang yang terinfeksi HIV
dapat merasa lebih baik/nyaman dan bisa menjalani hidup normal (Rahakbauw,
2016).

Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi HIV. Terapi


dengan ARV adalah strategi yang secara klinis paling berhasil hingga saat ini.
Terapi antiretroviral (ARV) berarti mengobati infeksi HIV dengan obat-obatan.
Obat ARV tidak membunuh virus itu, namun dapat memperlambat pertumbuhan
virus, waktu pertumbuhan virus diperlambat, begitu juga penyakit HIV (Nurihwani,
2017).

Pengobatan antiretroviral merupakan bagian dari pengobatan HIV dan


AIDS untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi
oportunistik, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV, dan menurunkan jumlah
virus (viral load) dalam darah sampai tidak terdeteksi (Kementerian Kesehatan RI,
2015).

2.2.2 Tujuan Terapi Antiretroviral (ARV)


ART atau antiretroviral therapy diberikan pada pasien dengan HIV/AIDS
dengan tujuan:
1. Menghentikan replika virus HIV
2. Memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi oportunistik
3. Memperbaiki kualitas hidup
4. Menurunkan morbilitas dan mortalitas karena infeksi HIV (Nursalam, 2018).

2.2.3 Manfaat Antiretroviral (ARV)


Ada beberapa manfaat yang didapat dengan menjalani terapi ARV, antara
lain :
1. Menghambat perjalanan penyakit HIV
Untuk orang yang belum mempunyai gejala AIDS, ARV akan mengurangi
kemungkinan menjadi sakit. Untuk orang dengan gejala AIDS, memakai ARV
biasanya mengurangi atau menghilangkan gejala tersebut. ARV juga mengurangi
kemungkinan gejala tersebut timbul di masa depan.
2. Meningkatkan jumlah sel CD4
Sel CD4 adalah sel dalam sistem kekebalan tubuh yang melawan infeksi.
Pada orang HIV(-), jumlah CD4 biasanya antara 500-1.500. setelah terinfeksi HIV,
jumlah CD4 cenderung berangsur-angsur menurun. Bila jumlah CD4 turun di
bawah 200, maka akan lebih mudah terkena infeksi oppurtunistik, misalnya
toksoplasmosis. Jika memakai ARV, maka diharapkan jumlah CD4 akan naik lagi
sehingga dapat dipertahankan dalam jumlah yang lebih tinggi dan mengurangi
jumlah virus dalam darah. HIV sangat cepat menggandakan diri. Oleh karena itu,
jumlah virus dalam darah dapat menjadi tinggi. Semakin banyak virus, semakin
cepat perjalanan infeksi HIV. ARV dapat menghambat penggandaan HIV, sehingga
jumlah virus dalam darah kita tidak dapat diukur. Ini disebut sebagai tingkat tidak
dideteksi.
3. Merasa lebih baik
Tubuh akan merasa jauh lebih sehat secara fisik beberapa minggu setelah
mulai terapi ARV. Nafsu makan akan muncul kembali dan berat badan akan
bertambah.

2.2.4 Syarat Memulai Terapi Antiretroviral (ARV)


Menurut (Direktorat Jendral PP & PL, 2011) ada dua kondisi untuk
menentukan apakah akan dimulai terapi Antiretroviral (ARV), yaitu :
1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV
adalah didasarkan pada penilaian klinis. Stadium klinis 3 (TB, jamur di mulut, dll)
dan 4 (wasting syndrome, dll) tanpa melihat CD4 dapat langsung memulai terapi
ARV.
2. Tersedia pemeriksaan CD4
1) Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3
tanpa memandang stadium klinisnya.
2) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4

Tabel 2.4 Saat Memulai Terapi Pada ODHA Dewasa

Target Stadium Jumlah sel Rekomendasi


Populasi Klinis CD4
ODHA dewasa Stadium klinis 1 > 350 sel/mm3 Belum mulai terapi.
dan 2 Monitor gejala klinis
dan jumlah sel CD4
setiap 6-12 bulan
<350sel/mm3 Mulai Terapi
Stadium klinis 3 Berapapun Mulai Terapi
dan 4 jumlah sel
CD4
Pasien dengan ko- Apapun stadium Berapapun Mulai Terapi
infeksi TB klinis Jumlah selCD4
Pasien dengan ko- Apapun stadium Berapapun Mulai Terapi
infeksi Hepatitis klinis jumlah selCD4
B kronik aktif

Ibu Hamil Apapun Berapapun Mulai Terapi


Stadium Jumlah selCD4
klinis

Sumber : (Direktorat Jendral PP & PL, 2011)

2.2.5 Jenis Obat Antiretroviral (ARV)


Menurut (Ermawan, 2018) Berbagai obat dapat digunakan dalam kombinasi
untuk mengendalikan virus. Setiap kelas obat anti-HIV memblokir virus dengan
cara yang berbeda. Sebaliknya kombinasikan setidaknya tiga obat dari dua kelas
untuk menghidari terciptanya strain HIV yang kebal terhadap obat tunggal. Obat
ARV terdiri atas beberapa golongan antara lain :

1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI), obat yang dikenal sebagai


analog nukleosida yang menghambat proses pembentukan RNA virus menjadi
DNA (proses ini dilakukan oleh virus HIV agar bisa bereplikasi). Contoh dari
ARV yang termaksud dalam golongan ini.
Tabel 2.5 Jenis obat-obatan ARV

Nama Generik Nama Dagang Nama Lain


Zidovudine Retrovir AZT,ZCV
Didanosine Videx Ddi
Zalzitabine Hivid ddC,
dideokxycytidine
Stavudine Zerit d4T
Lamivudine Epivir 3TC
Zidovu dine/Lamidine Combivir Kombinasi AZT dan
3TC
Abacavir Ziagen ABC
Zidovudine/Lamivdine/ Trizir Kombinasi AZT,
Abacavir 3TC, dan Abacavir.
Tenofovir Viread Bis-poc PMPA
Sumber : Kementerian Kesehatan RI (2003) dalam (Nursalam & dkk,2018)
(1) Zidovudin (ZDV/AZT) Zidovudin diindikasikan untuk pengobatan infeksi
HIV lanjut (AIDS), HIV awal dan HIV asimtomatik dengan tanda-tanda
risiko progresif, infeksi HIV asimtomatik dan simtomatik pada anak dengan
tanda-tanda imuno defisiensi yang nyata. Hati-hati untuk pasien dengan
toksisitas hematologis, defisiensi vitamin B12, gangguan fungsi ginjal,
fungsi hati. Konsentrasi dari zidovudin akan meningkat jika diberikan
bersama flukonazol, interferon-B, metadon, valproat, simetidin, imipramin,
dan trimetoprim. Sedangkan zidovudin jika diberikan bersama gansiklovir
dapat menyebabkan neutropenia. Zidovudin kontraindikasi terhadap pasien
dengan neutropenia dan atau anemia berat, neonatus dengan
hiperbilirubinemia. Sedangkan efek sampingnya anemia, neutropenia dan
leukopenia, mual, muntah, anoreksia, sakit perut, dispepsia, sakit kepala,
ruam, demam, mialgia, insomnia, lesu. Dosis yang diberikan dalam sediaan
bentuk tablet 300 mg, kapsul 100 mg, sirup 10 mg/ml, dan IV 10 mg/ml
(Depkesa , 2006).
(2) Stavudin (d4T) Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan
antiretroviral yang lain. Hati-hati untuk pasien dengan kronik hepatitis B
atau C, gangguan hati, gangguan ginjal, kehamilan. Jika obat ini diberikan
bersama didanosin maka akan meningkatkan risiko efek samping obat ini.
Dan obat ini juga meningkatkan risiko toksisitas jika diberikan bersama
hidroksicarbamide. Obat ini kontraindikasi terhadap ibu menyusui. Efek
sampingnya adalah neuropati perifer, peningkatan enzim transaminase,
laktat asidosis, gejala saluran cerna, dan lipoatropy. Dosis yang diberikan
pada pasien dengan berat badan lebih dari 60kg adalah 40 mg per oral tiap
12 jam dengan atau tanpa makanan. Sedangkan dosis untuk pasien dengan
berat badan kurang dari 60kg adalah 30 mg per oral 12 tiap jam (Depkes RI
, 2006).
(3) Lamivudin (3TC) Lamivudin indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi
dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati untuk pasien dengan kelainan
fungsi ginjal, penyakit hati yang disebabkan infeksi hepatitis B kronis (risiko
kembalinya hepatitis saat penghentian obat), kehamilan. Jika lamivudin
diberikan bersama trimetoprim akan meningkatkan konsentrasi dari
lamivudin. Obat ini kontraindikasi untuk ibu menyusui. Efek samping obat
ini adalah mual, muntah, diare, nyeri perut, batuk, sakit kepala, insomnia,
malaise, ruam. Dosisnya 150 mg peroral tiap 12 jam atau 300 mg peroral
sekali sehari. untuk pasien dengan berat badan kurang dari 50kg, dosisnya
adalah 2 mg/kg peroral tiap 12 jam dengan atau tanpa makanan (Depkesa ,
2006).
(4) Zalcitabin (ddC) Obat ini indikasi untuk infeksi HIV lanjut yang tidak tahan
terhadap zidovudin. Hati-hati pada pasien dengan risiko neuropati perifer,
pankreatitis monitor amilase serum, alkoholisme, nutrisi parenteral,
kardiomiopati, riwayat gagal jantung kongesif, hepatotoksitas, gangguan
fungsi hati, dan kehamilan. Obat ini dihentikan dengan segera bila timbul
gejala-gejala neuropati rasa kesemutan, baal, panas, rasa ditusuk-tusuk. Obat
ini kontraindikasi untuk neuropati perifer dan menyusui. Efek sampingnya
adalah neuropati perifer, ulkus mulut, mual, muntah, disfagia, anoreksia,
diare, sakit perut, konstipasi, faringitis, sakit kepala, pusing, mialgia, ruam,
penurunan berat badan, lesu, demam, nyeri dada, anemia, leukopenia,
trombositopenia, gangguan fungsi hati, pankreatitis. Dosisnya 750 mcg tiga
kali sehari (Depkesa , 2006). (5) Didanosine (ddI) Obat ini indikasi untuk
infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati pada
pasien dengan neuropati perifer, riwayat pankreatitis, hiperurisemia,
gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, dan kehamilan. Konsentrasi
dari didanosine akan meningkat jika diberikan bersama allopurinol,
tenovavir, dan ganciclovir. Sedangkan konsentrasi dari didanosine akan
menurun jika diberikan bersama tipranavir. Jika didanosine diberikan
bersama hidroksicarbamide akan meningkatkan toksisitas dari didanosine.
Dan jika didanosine diberikan bersama ribavirin dan stavudine maka akan
meningkatkan risiko efek samping. Obat ini kontraindikasi pada ibu
menyusui. Efek sampingnya neuropati perifer, pankreatitis, diabetes melitus,
hipoglikemia. Dosis yang diberikan pada pasien dengan berat badan lebih
dari 60 kg adalah 400 mg per oral sekali sehari. Sedangkan dosis untuk
pasien dengan berat badan kurang dari 60kg adalah 250 mg per oral sekali
sehari (Depkesa , 2006).
(5) Abacavir (ABC) Obat ini indikasinya untuk infeksi HIV dalam kombinasi
dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati pada pasien dengan tanda-tanda
alergi seperti demam, mual, lelah, dengan atau tanpa ruam. Konsentrasi
abacavir akan menurun jika diberilan bersama rifampicin, phenobarbital, dan
fenitoin. Obat ini kontraindikasi pada ibu menyusui. Efek sampingnya mual,
muntah, diare, nyeri perut, dan reaksi hipersensitifitas. Dosisnya 300 mg tiap
12 jam dengan atau tanpa makanan, atau 600 mg sekali sehari (Depkesa ,
2006).

2. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NtRTI), obat yang termaksud


golongan ini adalah Tenofoir (TDF). Mekanisme kerja NtRTI pada
penghambatan replikasi HIV sama dengan NRTI tetapi hanya memerlukan 2
tahapan proses fosforilasi. Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi
dengan antiretroviral yang lain. Perlu dilakukan tes fungsi hati dan serum fosfat
sebelum terapi setiap 4 minggu selama 1 tahun selanjutnya tiap 3 bulan dan
monitor pasien dengan hepatitis B. Jika obat ini diberikan bersama didanosine
maka maka akan meningkatkan konsentrasi didanosine dan resiko toksisitas.
Obat ini kontraindikasi pada ibu menyusui. Efek sampingnya mual, muntah,
diare, nyeri perut, gangguan fungsi ginjal. Dosisnya 245 mg peroral sekali sehari
dengan atau tanpa makanan (Depkesa , 2006).
3. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), golongan ini juga
bekerja dengan menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA dengan cara
mengikat reverse transcriptase sehingga tidak berfungsi. Obat yang termaksud
golongan NNRTI terdapat dalam tabel.
Tabel 2.6 Golongan Non-nucleoside RT Inhibitor

Nama Generik Nama Dagang Nama Lain


Nevirapine Viramune NVP, BI-RG-587
Delavirdine Rescriptor DLV
Efavirez Sustiva EFV, DMP-266
Sumber: Kementerian Kesehatan RI (2003) dalam (Nursalam & dkk, 2018).
(1) Nevirapin (NVP) Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi
dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati pada pemberian 200 mg dosis
tunggal untuk 2 minggu pertama mengurangi kemungkinan alergi, periksa
fungsi hati tiap 2 minggu untuk 2 bulan pertama, selanjutnya tiap bulan 3
bulan berikutnya. Jika nevirapin diberikan bersama dengan amprenavir,
aripiprazole, atazanavir, lopinavir, dan metadine maka akan menurunkan
konsentrasi dari obat tersebut. Obat ini kontraindikasi pada ibu menyusui dan
gangguan fungsi hati. Efek sampingnya ruam yang berat, demam, gangguan
saluran cerana. Dosisnya 200 mg peroral sekali sehari 14 hari, selanjutnya
200 mg 2 kali sehari (Depkesa , 2006).
(2) Efavirenz (EFV) Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi
dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati pada pasien dengan kronik hepatitis
B atau C, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, kehamilan, dan usia
lanjut. Jika obat ini diberikan bersama amprenavir, aripiprazole, atazanavir,
atorvastatin, diltiazem, dan darunavir maka akan mengurangi konsentrasi
dari obat tersebut. Obat ini kontraindikasi pada menyusui dan gangguan
fungsi hati. Efek sampingnya hepatitis, pankreatitis, hiperlipidemia,
diabetes, lipodistropi. Dosisnya 600 mg per oral sekali sehari dengan atau
tanpa makanan (Depkesa , 2006)
4. Protease inhibitor, Menghalangi kerja enzim protease yang berfungsi memotong
DNA yang dibentuk oleh virus dengan ukuran yang benar untuk memproduksi
virus baru, contoh obat golongan ini adalah Indinavir (IDV), Nelvinavir (NFV),
squinavir SQV), Ritonavir(RTV), mprenavir (APV), dan Loponavir/Ritonavir
(LPV/r).
(1) Saquinavir (SQV) Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi
dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati pada pasien dengan hiperglikemia,
haemopilia, gangguan fungsi hati. bawang putih dapat menurunkan
konsentrasi dari saquinavir. Konsentrasi saquinavir akan meningkat jika
diberikan bersama dengan imidazole dan triazole. Sedangkan konsentrasi
saquinavir akan menurun jika diberikan bersama efavirenz. Obat ini
kontraindikasi pada ibu menyusui. Efek sampingnya neuropati perifer, mual,
muntah, disfagia, anoreksia, diare, sakit perut, konstipasi, faringitis, sakit
kepala, pusing, mialgia, ruam, penurunan berat badan, lesu, demam, nyeri
dada, anemia, leukopenia, trombositopenia, gangguan fungsi hati,
pankreatitis, perubahan seksual, dan alopeksia. Dosisnya 1000 mg tiap 12
jam (Depkesa , 2006).
(2) Nelfinavir (NFV) Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi
dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati pada pasien dengan hiperglikemia,
haemopilia, dan gangguan fungsi hati. Konsentrasi nelfinavir akan menurun
jika diberikan bersama dengan barbiturat dan carbamazepin. Kombinasi
nelfinavir dan saqunavir meningkatkan konsentrasi kedua obat tersebut.
Obat ini kontraindikasi pada ibu menyusui. Efek sampingnya neuropati
perifer, mual, muntah, disfagia, anoreksia, diare, sakit perut, konstipasi,
faringitis, sakit kepala, pusing, mialgia, ruam, penurunan berat badan, lesu,
demam, nyeri dada, anemia, leukopenia, trombositopenia, gangguan fungsi
hati, pankreatitis, dan demam. Dosisnya 1250 mg tiap 12 jam atau 750 mg
tga kali sehari (Depkesa , 2006).
5. Fussion inhibitor, obat yang termaksud golongan ini adalah Enfuvirtide (T-20).

2.2.6 Persiapa Pemberian Antiretroviral (ARV)


Setelah diagnosis HIV dinyatakan positif, pasien diberikan konseling pasca-
diagnosis untuk meningkatkan pengetahuannya mengenai HIV termasuk
pencegahan, pengobatan dan pelayanan, yang tentunya akan memengaruhi
transmisi HIV dan status kesehatan pasien. Kesinambungan pelayanan dan
pencegahan penularan pasca-diagnosis merupakan komponen kunci layanan tes
HIV yang efektif dan komprehensif.

Orang dengan HIV harus mendapatkan informasi dan konseling yang benar
dan cukup tentang terapi ARV sebelum memulainya. Hal ini sangat penting dalam
mempertahankan kepatuhan minum ARV karena harus diminum selama hidupnya.
Isi dari konseling terapi ini termasuk: kepatuhan minum obat, potensi/kemungkinan
risiko efek samping atau efek yang tidak diharapkan, atau terjadinya sindrom
inflamasi rekonstitusi imun (immune reconstitution inflammatory syndrome/IRIS)
setelah memulai terapi ARV, komplikasi yang berhubungan dengan ARV jangka
panjang, interaksi dengan obat lain, monitoring keadaan klinis, dan monitoring
pemeriksaan laboratorium secara berkala termasuk pemeriksaan jumlah CD4.
Setelah dilakukan konseling terapi, pasien diminta membuat persetujuan
tertulis/informed consent untuk memulai terapi ARV jangka panjang. Pada anak
dengan HIV, perlu dilakukan kajian khusus untuk kesiapan terapi ARV.

Pada konseling, pemeriksaan HIV juga ditawarkan secara aktif pada


pasangan seksual pasien yang diketahui HIV positif, baik suami/istri, pasangan
tetap premarital, pasangan poligami, dan pasangan seksual lainnya. Anak yang lahir
dari ibu HIV positif juga ditawarkan pemeriksaan HIV secara aktif, demikian pula
orang tua dari bayi/anak yang didiagnosis HIV.

Sebelum inisiasi ARV, lakukan penilaian klinis dan pemeriksaan penunjang


untuk menentukan stadium HIV dan membantu pemilihan paduan yang akan
digunakan. Walaupun terapi ARV saat ini diindikasikan pada semua ODHA tanpa
melihat jumlah CD4-nya, pemeriksaan jumlah CD4 awal tetap dianggap penting,
apalagi di Indonesia di mana masih banyak ODHA yang didiagnosis HIV pada
kondisi lanjut. Jumlah CD4 diperlukan untuk menentukan indikasi pemberian
profilaksis infeksi oportunistik. Stadium klinis juga tidak selalu sesuai dengan
jumlah CD4 seseorang. Pada satu studi di beberapa negara di Afrika, hampir
separuh ODHA dengan jumlah CD4 kurang dari 100 sel/μL diklasifikasikan
sebagai stadium WHO kelas 1 dan 2.

2.2.7 Indikasi Pemberian Antiretroviral (ARV)


Menurut (Kementerian Kesehatan RI, 2015) indikasi untuk memulai
pemberian ARV yaitu:

Tabel 2.7 Indikasi ARV


Populasi Indikasi
Dewasa dan anak ≥ 5 Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium klinis
tahun 3 dan 4, atau jika jumlah CD4 ≤350 sel/m3
Inisial ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan
berapaun jumlah CD4
Koinfeksi TB
Koinfeksi Hepatitis
Ibu hamil dan menyusui HIV (+)
Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif
(pasangan serodiskordan)
LSL,PS, Waria atau penasus
Populasi umum didaerah dengan epidemi HIV meluas
Anak < 5 tahun Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan
berapapun jumlah CD4

Pengobatan TB harus dimulai dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam


2-8 minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA
dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai dalam 2 minggu setelah
mulai pengobatan TB. Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai
setelah 5 minggu pengobatan kriptokokus.

Bayi umur <18 bulan yang di diagnosis terinfeksi HIV dengan cara
presumtif, maka harus segera mendapatkan terapi ARV. Bila dapat segera
dilakukan diagnosis konfirmasi (mendapatkan kesempatan pemeriksaan PCR DNA
sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan
pemeriksaan antibody HIV ulang), maka perlu dilakukan penelian ulang apakah
anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif, maka pemberian ARV
dihentikan (Kementerian Kesehatan RI, 2015).

2.2.8 Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama


Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV
berdasarkan pada efektivitas, efek samping/ toksisitas, interaksi obat, kepatuhan,
dan harga obat. Adapun prinsip dalam pemberian ARV adalah :
a. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan
obat.
b. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain denganmendekatkan akses
pelayanan ARV.
c. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan
manajemen logistik yang baik.
Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah 2
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) + 1 Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor (NNRTI) dengan menggunakan salah satu dari kombinasi
di bawah ini :

Tabel 2.8 Paduan ARV Yang Ditetapkan Oleh Pemerintah

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine +

Nevirapine)
AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine +

Efavirenz)
TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau

NVP Emtricitabine) + Nevirapine)


TDF + 3TC (atau FTC) + EFV (Tenofovir + Lamivudine (atau

Emtricitabine) + Efavirenz)
Sumber : (Direktorat Jendral PP & PL, 2011)

2.3 Tatalaksana Terapi Human Immunodeficiency Virus/Acquired


Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS)
2.3.1 pemilihan regimen terapi
ARV harus diberikan dalam bentuk kombinasi tiga jenis obat, yakni
ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah. Berikut
ini panduan pemilihan Rejimen ARV :
a. Paduan ART Lini Pertama pada anak usia ≥ 5 tahun dan dewasa. Pilihan
paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang belum pernah
mendapatkan ARV sebelumnya (Nursalam & dkk, 2018).
Tabel 2.9 Panduan terapi antiretroviral lini pertama

Populasi target Pilihan yang Catatan


direkomendasikan
Dewasa dan anak AZT ata TDF + 3TC Merupakan pilihan panduan
(atau FTC) + EFV atau yang sesuai untuk Sebagian
NVP besar pasien
Gunakan FDC jika tersedia
Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau Tidak boleh menggunakan
NVP EFV pada trimester pertama
TDF bisa merupakan
pilihan
Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC Mulai terapi ARV segera
(FTC) + EFV setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2 minggu
hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau triple
NRTI bila EFV tidak dapat
digunakan
Ko-infeksi HIV/hepatitis TDF + 3TC (FTC) EFV Pertimbangkan
B kronik aktif atau NVP pemeriksaan HBsAg
terutama bila TDF
merupakan panduan lini
pertama. Diperlukan
penggunaan 2 ARV yang
memiliki aktivitas anti-
HBV
Sumber : (Kementerian Kesehatan RI, 2015)

b. Paduan ART lini pertama pada anak usia ≤ 5 tahun.

Paduan ART lini pertama pada anak sama seperti orang dewasa, yaitu
menggunakan kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI dengan pilihan seperti pada
tabel berikut.
Tabel 2.10 Panduan Lini Pertama Pada anak < 5 Tahun
Sumber : (Kementerian Kesehatan RI, 2015)

c. Panduan ARV Lini Pertama untuk Anak dengan Terapi Tuberkulosis Anak
penderita HIV yang mendapatkan terapi TB perlu pertimbangan terapi khsus,

Usia Panduan Kombinasi ARV Keterangan


Anak Pilihan Zidovudin (AZT) Merupakan pilihan utama
<5 NRTI ke-1 Stavudin (d4T) Dipertimbangkan bila Hb < 7,5
tahun g/dl. Karena risiko jangka
panjang d4T, maka setelah
pemakaian 6-12 bulan (jika
Hb ≥ 10 g/dl) diubah ke AZT,
bila ada efek anemia berulang
maka kembali ke 4dT
Tenofovir (TDF) Dapat digunakan untuk anak
usia > 2 tahun
Waspada ESO berupa
osteoporosis yang
menggunakan pertumbuhan.
Pilihan Lamivudin (3YTC)
NRTI ke-2
Pilihan Nevirapin (NVP)
NNRI Efavirenz (EFV) Dapat diberikan pada anak
usia ≥ 3 tahun, atau BB ≥ 10 kg
Meupakan terapi pilihan pada
anak TB jangan digunkan jika
ada gangguan psikiatrik berat
jika BB memungkinkan,
sebaiknya menggunakan KDT.

seperti terlihat pada tabel berikut :


Tabel 2.11 Panduan Regimen Lini Pertama untuk Anak denganTerapi

Tuberkulosis

Panduan ART Lini Pertama untuk Anak dan Remaja dengan


Terapi TB
< 3 Tahun Tripel NRTI (AZT+3TC+ABC)
≥ 3 Tahun Dua NRTI + EFV atau
Tripel NRTI (AZT+3TC+ABC)
Panduan Terapi untuk memulai terapi TB pada Anak dan Infant yang mendapatkan
ART.
Anak mendapatkan < 3 tahun Lanjutan NVP, pastikan dosisnya 200
regimen terapi mg/m3 atau
standar berbasis Tripel NRTI (AZT+3TC+ABC)
NNRT (dua ≥ 3 tahun Jika mendapatkan EFV, lanjutan regimen
NRTI+EFV atau yang sama.
NVP) Jika anak mendapatkan NVP, substitusi
dengan EFV, atau
Triple NRTI (AZT+3TC+ABC)
Anak mendapatkan < 3 tahun Tripel NRTI (AZT+3TC+ABC) atau
regimen terapi standar lanjutan LPV/r, tambahan RTV untuk
berbasis PI (dua mencapai dosisterapi penuh.
NRTI+LPV/r) ≥ 3 tahun Jika tidak ada riwayat gagal pengobatan
dengan NNRI:
subtitusi dengan EFV atau tripel NRTI
(AZT+3TC+ABC) atau lanjutan LPV/r,
tambahan RTV untuk mencapai dosis terapi
penuh, pertimbangan konsultasi dengan ahli
untuk mengganti ke ART lini ke dua.
Sumber : (Kementerian Kesehatan RI, 2015)

d. Panduan ART Lini Kedua

ARV lini kedua pada dewasa dan anak diberikan pada pasien yang gagal
terapi, diagnosis gagal terapi ditetapkan berdasarkan kriteria klinis, immunologis,
dan virologi. Restensi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang
mengalami kegagalan terapi. Resistensi terjadi ketika HIV terus berpoliferasi
meskipun dalam terapi ARV. Jika kegagalan terapi terjadi dengan paduan NNRTI
atau 3TC, hampir pasti terjadi resistensi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Prinsip
pemilihan panduan ARV lini kedua adalah pilih kelas obat ARV sebanyak
mungkin, dan bila kelas obat yang sama akan dipilih maka pilihan obat yang
sama sekali belum dipakai sebelumnya.

Tabel 2.12 Panduan ARV Lini Kedua pada Remaja dan Dewasa

Populasi Target Panduan ARV yang Panduan Lini Kedua Pilihan


digunakan pada lini
pertama
Dewasa dan remaja(≥ Berbasis AZT atau TDF+3TC (atau FTC) + LPV/r
10 tahun) d4T
Berbasis TDF AZT+3TC+LPV/r
HIV dan koinfeksiTB Berbasis AZT atau TDF+TDF+3TC (atau FTC) +
d4T LPV/r
Berbasis TDF AZT+3TC+LPV/rdosis ganda
HIV dan HBV Berbasis TDF AZT+TDF+3T (atau
koinfeksi CFTC)+LPV/r

Keterangan: Dosis gnada = Rifampisin sebaiknya tidak digunakan pada pemakaian LPV/r. Panduan OAT
yang dianjurkan adalah 2SHZE, selanjutnya diteruskan dengan 4HE dengan evaluasi rutin kenainan mata.
Namun, pada infeksi meningitis TB yang perlu tetap menggunakan rifampisan, maka LPV/r dapat digunakan
dengan dosis ganda LPV/r 800 mg/200 mg 2x sehari atau 2x2 tablet.

Sumber : (Kementerian Kesehatan RI, 2015)


e. Panduan Lini Kedua pada Anak
Tabel 2.13 Panduan ART Lini Kedua pada Anak

Lini Pertama Lini Kedua Pilihan


AZT (atau d4T)+3TC+NVP(atau EFV) ABC (atau TDF)+ 3TC (atau FTC) + LPV/r
TDF+3TC (atau FTC)+NVP (atau EFV) AZT+3TC+LPV/r
ABC+3TC+NVP(atau EFV)
Keterangan: TDF hanya dapat digunakan pada anak usia diatas dua tahun.

Sumber: (Kementerian Kesehatan RI, 2015)

f. Panduan ART Lini Ketiga

ART lini ketiga merupakan terapi penyelamatan jika ART lini kedua
dinyatakan gagal. Kriteria yang digunakan untuk penentuan kegagalan terapi lini
kedua harus menggunakan kriteria virologi(pemeriksaan HIV RNA). Penentuan
kegagalan terapi lini kedua harus dilakukan saat ODHA menggunkan ART lini
kedua minimal enam bulan dalam keadaan kepatuhan yang baik. Tes resistensi
genotyping diwajibkan sebelum pindah ke lini ketiga. Penentuan indikasidan dan
memulai lini ketiga perlu berkonsultasi dengan rumah sakit rujukan yang sudah
mempunyai pengalaman. Regimen ART lini ketiga yang direkomendasikan di
Indonesia.

Tabel 2.14 Panduan ART Lini Ketiga


Rekomendasi Panduan ART Lini Ketiga
Dewasa ETR+RAL+DRV/r
Anak ETR+RAL+DRV/r

Catatan : ARV lini ketiga belum disedikan program nasional


Sumber : (Kementerian Kesehatan RI, 2015)

g. Panduan ART untuk Pencegahan Pacsa-Pajanan (PPP)


Pencegahan Pasca-Pajanan (PPP) merupakan pemberian ARV dalam
waktu singkat untuk mengurangi kemungkinan didapatkan infeksi HIV setelah
terpapar ketika bekerja atau setelah kekerasan seksual. PPP sebaiknya
ditawarkan pada kedua kelompok pajanan tersebut dan diberikan sesegera
mungkin dalam waktu 72 Jam. setelah paparan. Penilaian kebutuhan PPP harus
berdasarkan status HIV sumber paparan jika memungkinkan, dan pertimbangan
prevelensi dan epidemologi HIV ditempat tersebut. PPP tidak diberikan jika
orang berisiko terpapar sebenarnya HIV positif atau sumber paparannya HIV
negatif. Lamanya pemberian PPP HIV adalah 28-30 hari. Pilihan obat PPP harus
didasarkan pada panduan ARV lini pertama, juga memertimbangkan
kemungkinan resistensi ARV pada sumber paparan. Oleh karena itu, sebelum
pemberian PPP sebaiknya dikethui jenis dan riwayat ARV sumber paparan,
termaksud kepatuhannya (Nursalam & dkk, 2018). Regimen terapi untuk PPP
adalah sebagai berikut.
Tabel 2.15 Panduan Regimen Terapi untuk Pencegahan Pasca- Pajanan

Orang yang PanduanARV


terpajan
Remaja dan Pilihan TDF+3TC+LPV/r
dewasa
Alternatif TDF+3TC+EFV
AZT+3TC+LPV/r
Anak (< 10 tahun) Pilihan AZT+3TC+LPV/r
Alternatif TDF+3TC+LPV/r
Dapat menggunakan EFV/NVP
untuk NNRI
Sumber : (Kementerian Kesehatan RI, 2015)

Manfaat penggunaan obat-obatan dalam bentuk kombinasi adalah sebagai berikut.


a. Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil kemungkinan
terjadinya resistensi.
b. Menimbulkan efektivitas dan leibih menekan aktivitas virus. Bila timbul efek
samping, bisa diganti obat lainnya dan bila virus mulai resistensi terhadap obat
yang sedang digunakan, bisa memakaikombinasi lain.
c. ART kombinasi lebih efektif karena mempunyai khasiat ART yang lebih tinggi
dan menurunkan Viral Load. Lebih tinggi dibanding penggunaan satu jenis obat
saja. Selain itu, kemungkinan terjadi resistensi virus kecil, akan tetapi bila
penderita lupa minum obat dapat menimbulkan terjadinya resistensi. Kombinasi
menyebabkan dosis masing-masing obat lebih kecil, sehingga kemungkinan
efek samping lebih kecil.
Kombinasi ART ini dikenal dengan Hight Active Antiretroviral
Therapy (HAART) atau disingkat Antiretroviral Therapy (ART). Karakteristik
HAART yang baik, antara lain sebagai berikut.
a. Poten, harus menurunkan viral load mencapai level tak terdeteksi dalam 3-4
bulan terapi.
b. Regimen dapat dipatuhi secara optimal
c. Sederhana
d. Efek samping yang dapat ditoleransi.
e. Pilihan yang sesuai dengan terapi masa depan.
f. Dapat diterima dan bertahan lama.
g. Komiten pasien untuk terapi seumur hidup.
2.3.2 Terapi Antiretroviral (ARV) Single Dose
Kemajuan luar biasa dalam perawatan dan pemahaman klinis tentang HIV
berkembang, sehingga memungkinkan orang dengan HIV untuk hidup lebih lama.
Salah satu kemajuan terbaru dalam pengobatan HIV adalah pengembangan obat
dosis tunggal atau satu pil yang mengandung kombinasi beberapa obat HIV yang
berbeda. sehingga menyederhakan pengobatan untuk odha yang dapat
meningkatkan efektivitasnya. Kemajuan dalam pengobatan juga membuat
kepatuhan terhadap ART jauh lebih mudah. Kemajuan ini telah mengurangi
jumlah

pil yang harus dikonsumsi seseorang juga mengurangi efek samping bagi
banyak orang yang menggunakan ART.
Dimasa lalu, orang yang memakai obat perlu minum beberapa pil berbeda
setaip hari. Rejimen yang rumit sering yang menyebabkan kesalahan, dosis yang
terlewatkan, dan pengobatan yang kurang efektif. Kombinasi dosis tetap dari obat
HIV telah tersedia pada tahun 1997. Obat-obatan ini mengandung dua atau lebih
obat dari kelas yang sama atau berbeda menjadi satu pil. Combivir adalah
kombinasi pertamayang mengandung lamivudine (NRTI) dan zidovudine (NRTI).
Saat ini, ada 12 pil kombinasi yang mengandung tiga atau lebih obat antiretroviral,
yaitu:
a. Atripla, yang mengandung efavirenz (NNRI), emtricitabine (NRTI),dan
tenofovir disoproxil fumarate (NRTI)
b. Biktarvy, yang mengandung bictegravir (integrase inhibitor),emtricitabine
(NRTI), dan tenofovir disoproxil fumarate (NRTI).
c. Cimduo, yang mengandung lamivudine (NRTI) dan tenofovir disoproxil
fumate (NRTI)
d. Complera, yang mengandung emtricitabine (NRTI), rilpivirine (NNRTI),
dan tenofovir disoproxil fumarate (NRTI).
e. Descovy, yang mengandung emtricitabine (NRTI) dan tenofovir
alafenamide (NRTI).
f. Genvoya, yang mengandung elvitegravir (integrase inhibitor), cobicistat,
emtricitabine (NRTI), dan tenofovir alafenamide (NRTI)
g. Juluca, yang mengandung dolutegravir (integrase inhibitor) danrilpivirine.
h. Odefsey, yang mengandung emtricitabine (NRTI), rilpivirine(NNRTI), dan
tenofovir alafemide (NRTI).
i. Stribild, yang mengandung elvitegravir (integrase inhibitor), tenofovir
disoproxil fumarate (NRTI).
j. Symfi, yang mengandung efavirenz (NNRTI), lamivudine (NRTI) dan
tenofovir disoproxilfumarate (NRTI).
k. Triumeq, yang mengandung dolutegravir (integrase inhibitor), abacavir
(NRTI), dan lamivudine.
l. Truvada, yang mengandung emtricitabine (NRTI) dan tenofovir
disoproxil fumarate (NRTI).
Sebuah penelitan terhadap lebih dari 7.000 orang HIV-positif menemukan
bahwa mereka yang meminum satu pil setiap hari lebih kecil kemungkinannya dari
pada mereka yang meminum tiga atau lebih pilsetiap hari untuk jatuh sakit dan
berakhir dirumah sakit. Selain itu, kombinasi dosis tetap mengurangi kesalahan
dosis. Dan juga menurukan kemungkinan HIV akan menjadi kebal terhadap
pengobatan. Di sisi lain, menambahkan lebih banyak obat ke satu pil juga dapat
menyebabkan lebihbanyak efek samping. Itu karena masing-masing obat memiliki
risiko sendiri. Jika seseorang mengalami efek samping, mungkin sulit untuk
mengetahui obat mana dari pil yang menybabkannya. Sebelum memutuskan
pengobatan, orang HIV-positif mungkin ingin mendiskusikan manfaat dan risiko
tablet tunggal versus pil kombinasi. Penyedian layanan kesehatan dapat membantu
mereka memilih opsi yang paling sesuai dengan gaya hidup dan kesehatan mereka.

2.3.3 Keberhasilan Terapi ARV


Untuk mencapai berbagai tujuan pengobatan ARV, dibutuhkan pengobatan
ARV yang berhasil. Keberhasilan pengobatan pada pasien HIV dinilai dari tiga hal,
yaitu :
a. keberhasilan klinis, keberhasilan imunologis, dan keberhasilan virologis.
Keberhasilan klinis adalah terjadinya perubahan klinis pasien HIV seperti
peningkatan berat badan atau perbaikan infeksi oportunistik setelah pemberian
ARV.
b. Keberhasilan imunologis adalah terjadinya perubahan jumlah limfosit CD4
menuju perbaikan, yaitu naik lebih tinggi dibandingkan awal pengobatan setelah
pemberian ARV.
c. keberhasilan virologis adalah menurunnya jumlah virus dalam darah setelah
pemberian ARV. Target yang ingin dicapai dalamkeberhasilan virologis adalah
tercapainya jumlah virus serendah mungkin atau di bawah batas deteksi yang
dikenal sebagai jumlah virus tak terdeteksi (undetectable viral load) (Karyadi,
2017).

2.3.4 Efek Samping


Efek samping atau toksisitas adalah dampak dari obat yang tidak diinginkan.
Efek samping atau toksisitas ini sering menjadi alasan medis untuk mengganti
(substitusi) dan/atau menghentikan pengobatan ARV. Pasien bahkan kadang
menghentikan sendiri terapinya karena adanya efek samping. Beberapa orang
mengalami efek samping ARV, terutama pada minggu-minggu pertama
penggunaannya. Efek samping ARV, antara lain ruam kulit, mual, muntah, diare ,
neuropati, ikterus, kelelahan, sakit kepala, demam, hipersensitifitas, depresi,
pankreatitis, lipodistrofi, anemia, dan lain-lain (Ramadhania, 2018).
Berdasarkan (Depkes, 2006) efek samping yang timbul pada penggunaan
obat antiretroviral (ARV) dapat berupa gejala simtomatik yang dapat dihilangkan
dengan pemberian obat – obatan sampai pada gejala toksitas yang menyebabkan
penggunaan obat harus dihentikan. Responden yang merasakan efek samping
ringan secara proporsi lebih patuh dibandingkan responden yang merasakan efek
samping sedang dan berat (Ramadhania, 2018).
Efek samping obat Antiretroviral (ARV) kemungkinan bisa terjadi kepada
pasien HIV/AIDS yang sedang melakukan terapi obat ARV. Adanya efek samping
bisa menyebabkan berkurangnya kepatuhan pasien dalam minum obat sehingga
efektivitas terapi yang diharapkan tidak maksimal atau gagal.
2.4 Kerangka Teori

Human immunodeficiency virus dan acquired


immune deficiency syndrome (HIV-AIDS)

Transmisi Infeksi HIV


1. Secara Vertikal
2. Secara Transeksual
3. Secara Horizontal

Penggunaan Terapi antiretroviral (ARV) Pada


pasien HIV/AIDS

Evaluasi Efek samping penggunaan obat


antiretroviral (ARV)

Gambar 2.1 Kerangka Teori (Sumber : Nursalam, 2020)


2.4 Kerangka Konsep

pemberian obat
Antiretroviral (ARV) Efek samping
yang tercatat dalam EVALUASI
penggunaan obat
rekam medik pasien Antiretroviral (ARV)
HIV/AIDS

1. Mual
2. Pusing
3. Gatal
4. Ruam
5. Muntah
6. Diare
7. Nyeri kepala
8. Lemah badan
9. Alergi
10. Gangguan tidur,
mimpi buruk
11. Anemia
12. Gynecomastia
13. Hepatitis
14. Osteomalasia
15. Cemas (anxietas)
16. Depresi
17. Kencing sedikit
18. Mulut kering
19. Kulit kering
20. Nyeri perut

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

2.5 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah yang telah di nyatakan pada penelitian ini
diperoleh hipotesis yaitu adanya efek samping yang disebabkan oleh pengobatan
Antiretroviral (ARV) pada pasien Human Immunodeficiency Virus Dan Acquired
Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Lombok Barat periode september 2022.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian (research design) adalah rencana pengumpulan,
pengukuran, dan analisis data berdasarkan pertanyaan peneliti dari studi (Sakaran,
2017).

Penelitian ini merupakan penelitian prospektif observasional dengan desain


penelitian cross-sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu
pengukuran/observasi data varibel independen dan dependen hanya satu kali pada
satu saat untuk mencari hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen dengan melakukan pengukuran sesaat (Nursalam, 2017).

Pada penelitian ini pasien HIV rawat jalan hanya dilakukan observasi satu
kali saja dengan dilakukan wawancara terkait efek samping penggunaan ARV.
Metode pengambilan data pada penelitian ini dilakukan secara prospektif yang
merupakan Sebuah penelitian yang lihat ke depan, peserta dipilih dan
perkembangannya dipantau selama jangka waktu tertentu.
3.2 Kerangka Kerja
Kerangka kerja atau operasional adalah kegiatan penelitian yang akan
dilakukan dalam mengumpulkan data yang akan diteliti untuk mencapai tujuan
penelitian (Nursalam, 2013). Berikut adalah kerangka kerja dalam penelitian ini :

Populasi :
Populasi pada penelitian ini ialah pasien lama HIV/AIDS rawat jalan yang
sudah mengkonsumsi obat Antiretroviral (ARV) minimal 1 bulan.

Probability sampling
dengan consecutive
sampling

Sampel :

Pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV) yang memenuhi kriteria


inklusi

Pengumpulan Data

(Wawancara)

Pengolahan Data

Editing, Coding, Entry, Tabulating

Analisis data

Hasil Penelitian dan Kesimpulan

Gambar 3.1 Kerangka Kerja


3.3 Variabel Penelitian
Variabel adalah objek atau apa yang menjadi titik perhatian dalam suatu
penelitian (Arikunto, 20060. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah
variabel tunggal. Variabel tunggal adalah hanya terdapat satu variabel yang menjadi
focus penelitian, berdiri sendiri dan tidak ada variabel yang lain mendampingi
(Suryanto, 2009). Variabel tunggal dalam penelitian ini adalah efek samping
penggunaan obat Antiretroviral (ARV) pada pasien Human Immunodeficiency
Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Rumah Sakit
Umum Daerah Kabupaten Lombok Barat.

3.4 Definisi Operasional


Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Cara Hasil ukur Skala


operasional ukur ukur

1. Umur Lamanya Lembar Wawancara 1. 17-35 tahun Ordinal


hidup ODHA catatan
dalam tahun rekam 2. 36-45 tahun
dilihat dari medis
tanggal 3. 46-55 tahun
kelahiran di
KTP/data 4. 56-65 tahun
rekam medis.

2. Jenis Pembagian Lembar Wawancara 1. laki-laki Nominal


kelamin gender catatan
ODHA rekam 2. perempuan
berdasarkan medis
data yang
diperoleh dari
KTP/ data
rekam medis.
3. Tingkat Jenjang Lembar Wawancara 1. SD Ordinal
pendidika n pendidikan catatan 2. SMP
formal rekam 3. SMA
tertinggi yang medis 4. Perguruan
pernah tinggi
diikuti/ditamat
kan/dicapai
oleh ODHA

4. Pekerjaan Aktivitas Lembar Wawancara 1. Ibu rumah Nominal


utama yang catatan tangga
dilakukan rekam 2. PNS
setiap hari medis 3. TNI/POLRI
baik formal 4. Buruh
maupun non 5. Petani
formal oleh 6. Pedagang
responden 7. Nelayan
sampai 8. Tidak
penelitian ini bekerja
dilakukan. 9. PSK
10. Pelajar
11. Relawan
LSM
5. Stadium Penentuan Lembar Observasi 1. stadium 1 Ordinal
klinis HIV stadium klinis catatan
HIV/AIDS rekam 2. stadium 2
berdasarkan medis
dari pedoman 3. stadium 3
WHO sebagai
panduan 4. stadium 4
keputusan
untuk
manajemen
pasien yang
diliat pada data
rekam medis
6. Efek Efek dari obat Brosur obat Wawancara
1. Ada Nominal
samping yang tidak 2. Tidak ada
ARV diinginkan
dari ARV
3.5 Populasi Dan Sampel
3.5.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini ialah pasien lama HIV yang menjalani rawat
jalan pada bulan september dan sudah mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV)
minimal 1 bulan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lombok Barat.

3.5.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini ialah pasien HIV rawat jalan yang memenuhi
kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling
yaitu Teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu, jadi sampel yang
diambil tidak secara acak, tetapi ditentukan oleh peneliti.

3.5.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Kriteria Inklusi
a. Pasien lama HIV/AIDS yang menjalani rawat jalan pada bulan
september di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lombok Barat
b. Data rekam medis pasien dengan kondisi lengkap
c. Pasien HIV/AIDS umur 17-65 tahun
d. Pasien HIV/AIDS yang mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV)
minimal 1 bulan
e. pasien HIV/AIDS dengan kondisi hamil
f. Pasien HIV/AIDS yang bersedia menjadi subjek penelitian
2. Kriteria Eksklusi
a. pasien loss to follow up dan data dalam rekam medik tidak lengkap
(tidak terdapat data identitas diri, usia, dan jenis kelamin).
b. pasien HIV/AIDS yang mempunyai penyakit penyerta
c. dan pasien HIV/AIDS yang tidak bisa berkomunikasi secara lisan
maupun tulis.

3.6 Tempat dan Waktu Penelitian

3.6.1 Tempat
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lombok
Barat.
3.6.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lombok
Barat pada bulan September 2022.

3.7 Pengumpulan Data

3.7.1 Jenis dan Sumber Data


Data yang dikumpulkan pada penelitian ini ialah data demografi pasien HIV
yang meliputi usia, profil penyakit lain selain HIV, profil infeksi oportunistik, profil
ARV, dan lama penggunaan ARV. Selain itu pula, dilakukan wawancara kepada
pasien HIV terkait efek samping yang dirasakan oleh pasien selama pengobatan
dengan ARV. Efek samping yang diamati pada penelitian ini ialah efek samping
yang dirasakan atau dikeluhkan oleh pasien yang diduga akibat penggunaan ARV.

Sumber data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber atau asal mula
diperolehnya data primer. Menurut Suharsimi Arikunto, yang dimaksud data primer
adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang diucapkan secara lisan, gerak-
gerik atau perilaku yang dilakukan oleh subyek yang dipercaya, dalam hal ini
adalah subyek penelitian (informan) yang berkenaan dengan variabel yang diteliti.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh secara langsung
dari sumbernya dengan wawancara.

Sumber data skunder adalah segenap media yang mampu memberikan


data-data yang dibutuhkan untuk subyek penelitian. Data sekunder dalam penelitian
ini adalah data yang sudah tersedia di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Lombok Barat yang berupa data rekam medik pasien rawat inap dengan diagnosis
penyakit HIV-AIDS yang meliputi identitas pasien, profil penyakit lain selain HIV,
profil infeksi oportunistik, profil antiretroviral (ARV), dan lama penggunaan
antiretroviral (ARV) diberikan pada pasien HIV-AIDS rawat jalan di Rumah Sakit
Umum Daerah Kabupaten Lombok Barat.

3.7.2 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode sebagai
berikut:
1. wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui proses tanya jawab lisan
yang berlangsung satu arah artinya pertanyaan datang dari pihak yang
mewawancarai dan jawaban diberikan oleh yang diwawancarai. Jenis
wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas terpimpin, yaitu
wawancara yang dilakukan dengan membuat pertanyaan-pertanyaan terkait efek
samping obat antiretroviral (ARV) sebelum dilakukannya wawancara. Pada saat
wawancara peneliti membaca pertanyaan yang telah dibuat, sekaligus untuk
dicatat dan ceklist pertanyaan yang telah terjawab.
2. Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya arsip, surat tertulis yang
disimpan sebagai bukti dipelakukan. Teknik dokumentasi ini digunakan untuk
mencatat, menyalin, menggandakan data atau dokumentasi tertulis lainnya.
Dokumentasi yang dilakukan penulis dengan menggunakan dokumen atau arsip
yang berhubungan dengan judul penelitian.

3.7.3 Instrumen Pengumpulan Data


Instrumen penelitian merupakan alat atau instrumen yang digunakan oleh
peneliti untuk mengumpulkan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara, peneliti mengumpulkan data secara formal kepada subjek untuk
menjawab pertanyaan secara lisan, wawancara ini terdiri dari beberapa pertanyaan,
mengenai informasi efek samping obat antiretroviral (ARV).

3.8 Pengolahan Data


Teknik pengolahan data yang dilakukan pada penelitian yaitu meliputi:
1. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa atau pengecekan kembali data


maupun kuisioner yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat
dilakukan pada tahap pengumpulan data, pengisian kuisioner, dan setelah
data terkumpul (Notoatmodjo 2012).
2. Coding
Coding adalah kegiatan memberikan kode numerik (angka) terhadap data
yang terdiri dari beberapa kategori. Coding atau mengkode data bertujuan
untuk membedakan berdasarkan karakter (Notoatmodjo, 2012). Coding
pada penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan kode angka pada
setiap jawaban untuk mempermudah dalam pengolahan dan analisa data.
3. Entry
Entry adalah mengisi masing-masing jawaban dari responden dalam
bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau
“software” komputer (Notoatmodjo, 2012).
4. Tabulating
Tabulating adalah mengelompokkan data setelah melalui editing dan
coding ke dalam suatu tabel tertentu menurut sifat- sifat yang dimilikinya,
sesuai dengan tujuan penelitian. Tabel ini terdiri atas kolom dan baris.
Kolom pertama yang terletak paling kiri digunakan untuk nomor urut atau
kode responden. Kolom yang kedua dan selanjutnya digunakan untuk
variabel yang terdapat dalam dokumentasi. Baris digunakan untuk setiap
responden.

3.9 Analisis Data


Data hasil penelitian akan dianalisis secara deskriptif yaitu dengan melihat
data rekam medik pada pasien HIV/AIDS dan melakukan wawancara. Data yang
diperoleh untuk analisis univariat akan disajikan dalam bentuk uraian, table dan
grafik.

3.10 Etika Penelitian


Kode etik penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk tahap

kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti

(subjek penelitian), dan masyarakat yang akan memperoleh dampak dari hasil

penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2012).

1. Informed Consent (Pernyataan Persetujuan)


Informed consent merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan
informan dengan memberikan lembar persetujuan melalui informed consent,
kepada responden sebelum penelitian dilaksanakan. Setelah calon responden
memahami penjelasan peneliti terkait penelitian ini, selanjutnya peneliti
memberikan lembar informed consent untuk ditandatangani oleh sampel
penelitian.
2. Anonymity (Tanpa Nama)
Anonymity merupakan menjaga kerahasiaan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan data responden. Pada aspek ini peneliti tidak mencantumkan
nama responden, melainkan inisial nama responden dan nomor responden
pada kuisioner.
3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Semua informasi yang telah dikumpulkan dari responden dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti. Pada aspek ini, data yang sudah terkumpul dari
responden bersifat rahasia dan penyimpanan dilakukan di file khusus milik
pribadi sehingga hanya peneliti dan responden yang mengetahuinya.

Anda mungkin juga menyukai