DISUSUN OLEH:
NOVIA ERLIN
NIM: 4820118028
PENDAHULUAN
Laporan Epidemi HIV Global United Nations Programme on HIV and AIDS
(UNAIDS) tahun 2016 menyatakan hingga akhir tahun 2015 terdapat 36,7 juta
penduduk di dunia mengidap penyakit HIV dan 5,7% atau sekitar 2,1 juta dari
jumlah tersebut merupakan kasus baru selama tahun 2015. Di Asia dan Pasifik
diketahui bahwa sebanyak 5,1 juta penduduk mengidap HIV hingga akhir tahun
2016. Wanita muda sangat berisiko, dengan 59% infeksi baru di kalangan anak
muda berusia 15-24 tahun terjadi di antara kelompok ini.
Infeksi HIV cenderung meningkat dan paling banyak terjadi pada kelompok
usia produktif yaitu kelompok umur 25-49 tahun dan kelompok umur 20- 24 tahun.
Usia remaja 15-19 tahun menduduki posisi keempat.8 Usia remaja merupakan usia
yang sangat rentang untuk terinfeksi HIV. Ada lebih dari setengah infeksi baru HIV
didunia ditemukan pada usia 15-19 tahun, dan mayoritas remaja terinfeksi karena
hubungan seksual (Guindo, 2019).
ARV lini pertama yang digunakan di Indonesia saat ini berupa kombinasi
dosis tetap (KDT) yang mengandung tenofovir, lamivudine/emtricitabine, dan
efavirenz (Kemenkes RI, 2019). Namun, penggunaan ARV memiliki efek samping
yang dapat timbul dalam berbagai manifestasi seperti hematologi, kimia klinik,
urinalisis, gastrointestinal, muskuloskeletal, neurologi, dan endokrin. Efek samping
ini mulai dari derajat ringan hingga berat (Kemenkes RI, 2014) . Efek samping
ringan yang sering muncul berupa kembung, mual, dan diare yang muncul hanya
satu waktu atau terus menetap selama terapi. Efek samping ringan lainnya yang
sering muncul adalah lemah dan pusing yang disebabkan oleh zidovudine (AZT)
dan mimpi buruk yang disebabkan oleh efavirenz (EFV) (Montessori, 2004).
Manfaat bagi Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lombok Barat adalah unuk
memberikan dampingan dan motivasi kepada Pasien Human Immunodeficiency
Virus dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) yang mengalami
efek samping penggunaan obat Antiretroviral (ARV).
Manfaat dari penelitian ini untuk para pasien Human Immunodeficiency Virus dan
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) adalah agar pasien dapat
mengetahui efek dari terapi Antiretroviral (ARV) sebelum menjalani terapi.
Memberikan gambaran bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut
tentang variabel lain (Efek samping dengan intervensi untuk mengatasi efek
samping tarapi Antiretroviral (ARV)).
1.5 Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
HIV dapat ditemukan dan diisolasikan dari sel limfosit T, limfosit B, sel
makrofag (di otak dan paru) dan berbagai cairan tubuh. Akan tetapi sampai saat ini
hanya darah dan air mani yang jelas terbukti sebagai sumber penularan serta ASI
yang mampu menularkan HIV dari ibu ke bayinya (Depkes, 2006).
2.1.2 Epidemiologi
AIDS pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1981 pada
lima remaja homoseksual dengan gejala Pneumocystis Carini Pneumonia (PCP).
UNAIDS memperkirakan 36,2 juta orang dewasa telah mengidap HIV dan 1,7 juta
lainnya masih berusia <15 tahun. Pada tahun 2018, negara dengan prevalensi yang
tinggi ialah Afganistan, Bangladesh, Bulgaria, Mesir, Kazakhstan, Madagascar,
Montenegro, Macedonia Utara, Pakistan, Filipina, dan Uzbekistan (UNAIDS,
2006)
Kasus AIDS di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 berasal
dari seorang warga negara asing di Bali. Sejak pertama kali dilaporkan pada tahun
1987 sampai tahun 2018, HIV-AIDS telah menyebar ke 460 (89,5%) dari 514
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sampai pada tahun 2018, jumlah kumulatif
infeksi HIV sebanyak 327.282 orang. Presentasi kelompok umur yang terinfeksi
paling tinggi pada usia 25-49 tahun (69,6%), 20-24 tahun (15,6%), ≥50 tahun
(8,3%). Adapun 5 provinsi dengan infeksi HIV tertinggi ialah DKI Jakarta, Jawa
Timur, Jawa Barat, Papua, dan Jawa Tengah (Direktur Jendral P2P, 2019).
2.1.3 Etiologi
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yakni sejenis virus NA yang
tergolong retrovirus. Virus ini memiliki materi genetik berupa sepasang asam
ribonukleat rantai tunggal yang identik dan suatu enzim yang disebut reverse
transcriptase. Virion HIV mempunyai tiga bagian utama yaitu envelope yang
merupakan lapisan terluar, capsid yang meliputi isi virion dan core yang merupakan
isi virion. Envelope adalah lapisan lemak ganda yang terbentuk dari sel penjamu
dan mengandung protein penjamu. Pada lapisan ini tertanam glikoprotein virus
yang disebut glikoprotein41 (gp41). Pada bagian luar protein ini terikat
glikoprotein120 (gp120). Molekul gpl20 ini akan berkaitan dengan reseptor Cluster
of differentiation 4 (CD4) pada saat menginfeksi limfosit T4 atau sel lainnya yang
mempunyai reseptor tersebut. Pada elektroforesis, kompleks antara molekul gp41
dan gp120 akan membentuk pita yang disebut gp160. Capsid berbentuk iko sahedral
dan merupakan lapisan protein yang dikenal sebagi p17. Pada bagian core terdapat
sepasang RNA rantai tunggal, enzim-enzim seperti reverse transcriptase,
endonuclease dan protease, serta protein-protein struktural terutama p24
(Hoffmann, Rockstroh, & Kamps, 2006 dalam Kusuma, 2011).
Dasar utama penyakit infeksi HIV ialah berkurangnya jenis sel darah putih
(Limfosit T helper) yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4
mempunyai pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak
langsung dalam menginduksi kebanyakan fungsi-fungsi kekebalan, sehingga
kelainan-kelainan fungsional pada sel T4 akan menimbulkan tanda-tanda gangguan
respon kekebalan tubuh. Setelah HIV memasuki tubuh seseorang, HIV dapat
diperoleh dari limfosit terutama limfosit T4, monosit, sel glia, makrofag, dan cairan
otak penderita AIDS.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat
double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai
sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim ini lah yang
membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga
keberadaan virus HIV di dalam tubuh tidak dihancurkan oleh T4 helper. Fungsi dari
sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang
memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin,
dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit, kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius
(Price & Wilson, 2006).
Sel T4 dan makrofag serta sel dendritik / langerhans (sel imun) adalah sel-
sel yang terinfeksi HIV dan terkonsentrasi di kelenjar limfe, limpa, dan sumsum
tulang. HIV menginfeksi sel melalui pengikatan dengan protein perifer CD4,
dengan bagian virus yang bersesuaianya itu antigen grup120. Pada saat sel T4
terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka HIV menginfeksi sel lain dengan
meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi
respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang
terinfeksi (Hoffmann, Rockstroh, & Kamps, 2006 dalam Kusuma, 2011).
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS,
sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler.
Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan risiko dan derajat
keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan. Menurut Misutarno
(2017) dalam Kam (1996), perjalanan HIV&AIDS dibagi dalam 2 (dua) fase yaitu
fase infeksi awal dan fase infeksi lanjut.
Pada fase awal proses infeksi (immunokompeten) akan terjadi respons imun
berupa peningkatan aktivasi imun, yaitu pada tingkat seluler (HLA-DR; sel T; IL-
2R); serum atau humoral (beta-2 mikroglobulin, neopterin, CD8, IL- R) dan
antibodi upregulation (gp 120, anti p24; IgA). Induksi sel T-helper dan sel-sel lain
diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel-sel faktor sistem imun agar tetap
befungsi baik. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga T-helper tidak
dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun. Dengan tidak adanya
T-helper, sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik, sel NK, monosit dan sel
B tidak dapat berfungsi secara baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien
jatuh ke dalam stadium lanjut.
a. Stadium I : HIV Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya
perubahan serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut dari negatif berubah
menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes
antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama window
period antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang sampai enam bulan.
b. Stadium II : Asimptomatik (tanpa gejala)
Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh
tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlangsung rata-rata
selama 5–10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah
dapat menularkan HIV kepada orang lain.
c. Stadium III : pembesaran kelenjar limfe
Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata (Persistent Generalized
Lymphadenopathy), tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung
lebih satu bulan.
d. Stadium IV : Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit, antara lain
penyakit konstitusional, penyakit saraf dan penyakit infeksi sekunder.
Pertama, merupakan tahap infeksi akut, pada tahap ini muncul gejala infeksi
virus tetapi tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah paparan HIV
dapat berupa demam, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri telan,rasa letih dan
pembesaran kelenjar getah bening. Dapat juga disertai meningitis aseptic ditandai
demam, nyeri kepala, hebat, kejang-kejang dan kelumpuhan saraf otak.
Kedua, merupakan tahap asimtomatik, pada tahap ini gejala dan keluhan
hilang.Tahap ini berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahunsetelah
infeksi.Disini sedang terjadi internalisasi HIV ke intra seluler. Pada tahap ini
aktivitas masih normal.
Ketiga, merupakan tahap simtomatis, pada tahap ini gejala dan keluhan
lebih spesifik dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi
tidak sampai 10%, pada selaput mulut terjadi sariawan berulang, terjadi peradangan
pada sudut mulut, dapat juga ditemukan infeksi bakteri pada saluran nafas bagian
atas namun penderita dapat melakukan aktivitas terganggu. Penderita lebih banyak
berada di tempat tidur meskipun kurang 12 jam perhari dalam bulan terakhir.
Keempat, merupakan tahap yang lebih lanjut atau tahap AIDS. Pada tahap
ini terjadi penurunan berat badan lebih 10%, diare yang lebih dari 1 bulan, panas
yang tidak diketahui sebabnya lebih dari satu bulan, kandidiasis oral, oral
leukoplakia, tuberculosis paru, dan pneumonia bakteri. Penderita berbaring di
tempat tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan terakhir. Penderita diserbu
berbagai macam infeksi sekunder, misalnya pneumonia pneumokistik karinii,
toksoplasmosis otak, diare akibat kriptosporidiosis, penyakit virus sitomegalo,
infeksi virus herpes, kandidiasis pada esophagus, trakea, bronkus atau paru serta
infeksi jamur yang lain misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis. Dapat juga
ditemukan beberapa jenis malignansi, termasuk keganasan kelenjar getah bening
dan sarcoma Kaposi. Hiperaktivitas komplemen menginduksi sekresi histamine.
Histamin menimbulkan keluhan gatal pada kulit dengan diiringi mikroorganisme di
kulit memicu terjadinya dermatitis HIV.
2.1.7 Klasifikasi Klinis
Berikut adalah klasifikasi klinis HIV/AIDS menurut WHO pada tabel 2.1
dibawah ini :
Tabel 2.1 klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang Dewasa menurut WHO
(Kemenkes, 2015)
Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas
I a. Asimtomatik Asimtomatik,aktivitas
b. Limfadenopati generalisata normal
Pada awal infeksi HIV tidak ada gejala yang tampak. Beberapa orang
mengalami gangguan kelenjar yang menimbulkan efek seperti demam (disertai
panas tinggi, gatal-gatal, nyeri sendi, dan pembengkakan pada limpa), yang dapat
terjadi ketika antibodi akibat HIV terbentuk, dan biasanya terjadi antara enam
minggu dan tiga bulan setelah terjadinya infeksi (seroconversion). Meski tidak
ada gejala awal yang tampak, seseorang yang terinfeksi HIV dapat menularkan
virus tersebut kepada orang lain dengan mudah.
Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan,
akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun, bervariasi antar
individu yang satu dan yang lain. Dengan gaya hidup sehat, jarak waktu antara
infeksi HIV dan menjadi sakit karena AIDS dapat berkisar antara 10-15 tahun, atau
mungkin lebih lama. Terapi antiretroviral dapat memperlambat perkembangan
AIDS dengan menurunkan jumlah virus yang terdapat dalam tubuh orang yang
terinfeksi. AIDS yang diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu, yang
dikelompokkan oleh WHO (World Health Organization) sebagai berikut:
1) Tahap I penyakit HIV tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak dikategorikan
sebagai AIDS.
2) Tahap II (meliputi manifestasi mucocutaneous minor dan infeksi-infeksi saluran
pernafasan bagian atas yang tidak sembuh-sembuh)
3) Tahap III (meliputi diare kronis yang tidak jelas penyebabnya yang berlangsung
lebih dari satu bulan, infeksi bakteri yang parah, dan TBC paru- paru), atau
4) Tahap IV (meliputi toksoplasmosis pada otak, kandidiasis pada saluran
tenggorokan (oesophagus), saluran pernafasan (trachea), batang saluran paru-
paru (bronchi) atau paru-paru dan sarkoma kaposi), Penyakit HIV digunakan
sebagai indikator AIDS.
2.1.8 Komplikasi
Menurut Ermawan 2018 infeksi HIV memperlemah system kekebalan
tubuh, membuatnya sangat rentan terhadap banyak infeksi dan jenis kanker tertentu.
Infeksi umum terjadi pada HIV/AIDS antara lain:
2.1.9 Pencegahan
Menurut Kementerian Kesehatan RI 2013 Cara pencegahan HIV-AIDS
dengan menghindari penularan HIV mengunakan konsep ABCD yaitu:
1) Gejala mayor
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam satu bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari satu bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/HIV ensefalopati
2) Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari satu bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan atau berulang
d. Kandidiasis oro-faringial
e. Herpes simplek kronik progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h. Retinitis sitomegalovirus
2. Diagnosis Laboratoris
Infeksi saluran napas atas berulang Kumpulan gejala ISPA, seperti nyeri Pemeriksaan laboratorium bila ada,
(episode saat ini, ditambah 1 episode wajah unilateral dengan sekret nasal misal kultur cairan tubuh yang
atau lebih dalam 6 bulan) (sinusitis), nyeri dan radang di membran terkait
timpani (otitis media), atau
tonsilofaringitis tanpa tanda infeksi virus
(coryza, batuk)
Diare kronik selama >1 bulan yang Anamnesis adanya diare kronik Tidak diharuskan, namun perlu
tidak dapat dijelaskan (feses lembek atau cair ≥3 kali sehari) untuk konfirmasi apabila ≥3 feses
selama lebih dari 1 bulan tidak cair dan ≥2 analisis feses
tidak ditemukan pathogen.
Demam persisten yang tidak dapat Dilaporkan sebagai demam atau Pemeriksaan fisik menunjukkan
dijelaskan (>37,5oC intermiten atau keringat malam yang berlangsung >1 suhu >37,6°C, dengan kultur darah
konstan, > 1 bulan bulan, baik intermiten atau konstan, negatif, Ziehl-Neelsen negatif, slide
tanparespons dengan pengobatan malaria negatif, rontgen torax
antibiotik atau antimalaria normal atau tidak berubah, tidak ada
fokus infeksi yang nyata.
2.2 Antiretroviral
2.2.1 Definisi
Antiretroviral (ARV) adalah suatu obat yang dapat digunakan untuk
mencegah reproduksi retrovirus yaitu virus yang terdapat pada HIV. Obat ini tidak
untuk mencegah penyebaran HIV dari orang yang terinfeksi ke orang lain, tidak
untuk menyembuhkan infeksi HIV dan juga tidak berfungsi untuk membunuh virus.
Antiretroviral digunakan untuk memblokir atau menghambat proses reproduksi
virus, membantu mempertahankan jumlah minimal virus di dalam tubuh dan
memperlambat kerusakan sistem kekebalan sehingga orang yang terinfeksi HIV
dapat merasa lebih baik/nyaman dan bisa menjalani hidup normal (Rahakbauw,
2016).
Orang dengan HIV harus mendapatkan informasi dan konseling yang benar
dan cukup tentang terapi ARV sebelum memulainya. Hal ini sangat penting dalam
mempertahankan kepatuhan minum ARV karena harus diminum selama hidupnya.
Isi dari konseling terapi ini termasuk: kepatuhan minum obat, potensi/kemungkinan
risiko efek samping atau efek yang tidak diharapkan, atau terjadinya sindrom
inflamasi rekonstitusi imun (immune reconstitution inflammatory syndrome/IRIS)
setelah memulai terapi ARV, komplikasi yang berhubungan dengan ARV jangka
panjang, interaksi dengan obat lain, monitoring keadaan klinis, dan monitoring
pemeriksaan laboratorium secara berkala termasuk pemeriksaan jumlah CD4.
Setelah dilakukan konseling terapi, pasien diminta membuat persetujuan
tertulis/informed consent untuk memulai terapi ARV jangka panjang. Pada anak
dengan HIV, perlu dilakukan kajian khusus untuk kesiapan terapi ARV.
Bayi umur <18 bulan yang di diagnosis terinfeksi HIV dengan cara
presumtif, maka harus segera mendapatkan terapi ARV. Bila dapat segera
dilakukan diagnosis konfirmasi (mendapatkan kesempatan pemeriksaan PCR DNA
sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan
pemeriksaan antibody HIV ulang), maka perlu dilakukan penelian ulang apakah
anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif, maka pemberian ARV
dihentikan (Kementerian Kesehatan RI, 2015).
Nevirapine)
AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine +
Efavirenz)
TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau
Emtricitabine) + Efavirenz)
Sumber : (Direktorat Jendral PP & PL, 2011)
Paduan ART lini pertama pada anak sama seperti orang dewasa, yaitu
menggunakan kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI dengan pilihan seperti pada
tabel berikut.
Tabel 2.10 Panduan Lini Pertama Pada anak < 5 Tahun
Sumber : (Kementerian Kesehatan RI, 2015)
c. Panduan ARV Lini Pertama untuk Anak dengan Terapi Tuberkulosis Anak
penderita HIV yang mendapatkan terapi TB perlu pertimbangan terapi khsus,
Tuberkulosis
ARV lini kedua pada dewasa dan anak diberikan pada pasien yang gagal
terapi, diagnosis gagal terapi ditetapkan berdasarkan kriteria klinis, immunologis,
dan virologi. Restensi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang
mengalami kegagalan terapi. Resistensi terjadi ketika HIV terus berpoliferasi
meskipun dalam terapi ARV. Jika kegagalan terapi terjadi dengan paduan NNRTI
atau 3TC, hampir pasti terjadi resistensi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Prinsip
pemilihan panduan ARV lini kedua adalah pilih kelas obat ARV sebanyak
mungkin, dan bila kelas obat yang sama akan dipilih maka pilihan obat yang
sama sekali belum dipakai sebelumnya.
Tabel 2.12 Panduan ARV Lini Kedua pada Remaja dan Dewasa
Keterangan: Dosis gnada = Rifampisin sebaiknya tidak digunakan pada pemakaian LPV/r. Panduan OAT
yang dianjurkan adalah 2SHZE, selanjutnya diteruskan dengan 4HE dengan evaluasi rutin kenainan mata.
Namun, pada infeksi meningitis TB yang perlu tetap menggunakan rifampisan, maka LPV/r dapat digunakan
dengan dosis ganda LPV/r 800 mg/200 mg 2x sehari atau 2x2 tablet.
ART lini ketiga merupakan terapi penyelamatan jika ART lini kedua
dinyatakan gagal. Kriteria yang digunakan untuk penentuan kegagalan terapi lini
kedua harus menggunakan kriteria virologi(pemeriksaan HIV RNA). Penentuan
kegagalan terapi lini kedua harus dilakukan saat ODHA menggunkan ART lini
kedua minimal enam bulan dalam keadaan kepatuhan yang baik. Tes resistensi
genotyping diwajibkan sebelum pindah ke lini ketiga. Penentuan indikasidan dan
memulai lini ketiga perlu berkonsultasi dengan rumah sakit rujukan yang sudah
mempunyai pengalaman. Regimen ART lini ketiga yang direkomendasikan di
Indonesia.
pil yang harus dikonsumsi seseorang juga mengurangi efek samping bagi
banyak orang yang menggunakan ART.
Dimasa lalu, orang yang memakai obat perlu minum beberapa pil berbeda
setaip hari. Rejimen yang rumit sering yang menyebabkan kesalahan, dosis yang
terlewatkan, dan pengobatan yang kurang efektif. Kombinasi dosis tetap dari obat
HIV telah tersedia pada tahun 1997. Obat-obatan ini mengandung dua atau lebih
obat dari kelas yang sama atau berbeda menjadi satu pil. Combivir adalah
kombinasi pertamayang mengandung lamivudine (NRTI) dan zidovudine (NRTI).
Saat ini, ada 12 pil kombinasi yang mengandung tiga atau lebih obat antiretroviral,
yaitu:
a. Atripla, yang mengandung efavirenz (NNRI), emtricitabine (NRTI),dan
tenofovir disoproxil fumarate (NRTI)
b. Biktarvy, yang mengandung bictegravir (integrase inhibitor),emtricitabine
(NRTI), dan tenofovir disoproxil fumarate (NRTI).
c. Cimduo, yang mengandung lamivudine (NRTI) dan tenofovir disoproxil
fumate (NRTI)
d. Complera, yang mengandung emtricitabine (NRTI), rilpivirine (NNRTI),
dan tenofovir disoproxil fumarate (NRTI).
e. Descovy, yang mengandung emtricitabine (NRTI) dan tenofovir
alafenamide (NRTI).
f. Genvoya, yang mengandung elvitegravir (integrase inhibitor), cobicistat,
emtricitabine (NRTI), dan tenofovir alafenamide (NRTI)
g. Juluca, yang mengandung dolutegravir (integrase inhibitor) danrilpivirine.
h. Odefsey, yang mengandung emtricitabine (NRTI), rilpivirine(NNRTI), dan
tenofovir alafemide (NRTI).
i. Stribild, yang mengandung elvitegravir (integrase inhibitor), tenofovir
disoproxil fumarate (NRTI).
j. Symfi, yang mengandung efavirenz (NNRTI), lamivudine (NRTI) dan
tenofovir disoproxilfumarate (NRTI).
k. Triumeq, yang mengandung dolutegravir (integrase inhibitor), abacavir
(NRTI), dan lamivudine.
l. Truvada, yang mengandung emtricitabine (NRTI) dan tenofovir
disoproxil fumarate (NRTI).
Sebuah penelitan terhadap lebih dari 7.000 orang HIV-positif menemukan
bahwa mereka yang meminum satu pil setiap hari lebih kecil kemungkinannya dari
pada mereka yang meminum tiga atau lebih pilsetiap hari untuk jatuh sakit dan
berakhir dirumah sakit. Selain itu, kombinasi dosis tetap mengurangi kesalahan
dosis. Dan juga menurukan kemungkinan HIV akan menjadi kebal terhadap
pengobatan. Di sisi lain, menambahkan lebih banyak obat ke satu pil juga dapat
menyebabkan lebihbanyak efek samping. Itu karena masing-masing obat memiliki
risiko sendiri. Jika seseorang mengalami efek samping, mungkin sulit untuk
mengetahui obat mana dari pil yang menybabkannya. Sebelum memutuskan
pengobatan, orang HIV-positif mungkin ingin mendiskusikan manfaat dan risiko
tablet tunggal versus pil kombinasi. Penyedian layanan kesehatan dapat membantu
mereka memilih opsi yang paling sesuai dengan gaya hidup dan kesehatan mereka.
pemberian obat
Antiretroviral (ARV) Efek samping
yang tercatat dalam EVALUASI
penggunaan obat
rekam medik pasien Antiretroviral (ARV)
HIV/AIDS
1. Mual
2. Pusing
3. Gatal
4. Ruam
5. Muntah
6. Diare
7. Nyeri kepala
8. Lemah badan
9. Alergi
10. Gangguan tidur,
mimpi buruk
11. Anemia
12. Gynecomastia
13. Hepatitis
14. Osteomalasia
15. Cemas (anxietas)
16. Depresi
17. Kencing sedikit
18. Mulut kering
19. Kulit kering
20. Nyeri perut
2.5 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah yang telah di nyatakan pada penelitian ini
diperoleh hipotesis yaitu adanya efek samping yang disebabkan oleh pengobatan
Antiretroviral (ARV) pada pasien Human Immunodeficiency Virus Dan Acquired
Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Lombok Barat periode september 2022.
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini pasien HIV rawat jalan hanya dilakukan observasi satu
kali saja dengan dilakukan wawancara terkait efek samping penggunaan ARV.
Metode pengambilan data pada penelitian ini dilakukan secara prospektif yang
merupakan Sebuah penelitian yang lihat ke depan, peserta dipilih dan
perkembangannya dipantau selama jangka waktu tertentu.
3.2 Kerangka Kerja
Kerangka kerja atau operasional adalah kegiatan penelitian yang akan
dilakukan dalam mengumpulkan data yang akan diteliti untuk mencapai tujuan
penelitian (Nursalam, 2013). Berikut adalah kerangka kerja dalam penelitian ini :
Populasi :
Populasi pada penelitian ini ialah pasien lama HIV/AIDS rawat jalan yang
sudah mengkonsumsi obat Antiretroviral (ARV) minimal 1 bulan.
Probability sampling
dengan consecutive
sampling
Sampel :
Pengumpulan Data
(Wawancara)
Pengolahan Data
Analisis data
3.5.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini ialah pasien HIV rawat jalan yang memenuhi
kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling
yaitu Teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu, jadi sampel yang
diambil tidak secara acak, tetapi ditentukan oleh peneliti.
3.6.1 Tempat
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lombok
Barat.
3.6.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lombok
Barat pada bulan September 2022.
Sumber data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber atau asal mula
diperolehnya data primer. Menurut Suharsimi Arikunto, yang dimaksud data primer
adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang diucapkan secara lisan, gerak-
gerik atau perilaku yang dilakukan oleh subyek yang dipercaya, dalam hal ini
adalah subyek penelitian (informan) yang berkenaan dengan variabel yang diteliti.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh secara langsung
dari sumbernya dengan wawancara.
kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti
(subjek penelitian), dan masyarakat yang akan memperoleh dampak dari hasil