Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

HIV/AIDS merupakan salah satu isu kesehatan yang menjadi permasalahan

krusial bagi dunia internasional. Human Immunodeficiency Virus atau yang lebih

dikenal dengan HIV adalah virus yang menyerang sel darah putih di dalam tubuh

(limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Adapun AIDS

atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit

yang timbul sebab turunnya kekebalan tubuh (Komisi Penanggulangan AIDS

Indonesia, 2017). WHO (2018) melaporkan bahwa terdapat sekitar 36,9 juta orang

di dunia yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2017 dan di antaranya terdapat

1,8 juta orang yang baru terinfeksi virus tersebut pada tahun 2017.

Seiring dengan perkembangan zaman, HIV/AIDS diproyeksikan sebagai

penyakit beban global pertama pada beberapa tahun mendatang. Pada tahun 2017,

terdapat 940.000 (670.000–1,3 juta) orang di dunia yang meninggal karena

penyakit terkait AIDS (UNAIDS, 2018), sehingga jumlah orang yang meninggal

akibat penyakit terkait AIDS sejak awal epidemi menjadi 35.4 juta jiwa (25.0–

49.9 juta). Di samping sebagai tantangan utama dunia, HIV/AIDS kerap dianggap

sebagai momok nomor satu bagi masyarakat, sebab obat untuk memupuskan virus

tersebut belum juga ditemukan. Namun demikian, pengobatan pada Orang dengan

HIV/AIDS (ODHA) masih dapat diupayakan melalui konsumsi Anti Retro Viral

1
2

(ARV) secara teratur. Anti Retro Viral (ARV) merupakan suatu obat yang dapat

menghambat replikasi HIV, sehingga kadar virus (viral load) yang menginfeksi

sel kekebalan tubuh atau CD4 dalam darah menurun (Ilmiah, Azizah & Amelia,

2017). Bagi pasien HIV, kepatuhan terhadap antiretroviral sangatlah penting

untuk hasil pengobatan, sebab kepatuhan dapat mempengaruhi bagaimana obat

HIV tersebut menurunkan viral load pada pasien (Tanna, & Lawson, 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Unzila, Nadhiroh, & Triyono (2016)

mengungkapkan bahwa kepatuhan Anti Retroviral Therapy (ART) yang tinggi

dapat meningkatkan kondisi kesehatan fisik dan lingkungan pasien HIV/AIDS.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Wang, et al. (2009) menunjukkan

bahwa kepatuhan yang konsisten juga memberikan hasil yang lebih baik lainnya

seperti jumlah CD4 atau sel darah putih limfosit dalam tubuh yang lebih tinggi.

Jumlah CD4 yang meningkat menandakan ukuran daya tahan tubuh pasien

HIV/AIDS yang lebih baik dan menjadikan biaya perawatan kesehatan yang lebih

rendah, sehingga berdampak baik bagi perekonomian pasien. Pada penelitian

tersebut, peserta yang melaporkan kepatuhan yang konsisten menunjukkan

prevalensi infeksi oportunistik yang rendah serta mempresentasikan pemulihan

status imunologis yang lebih cepat dibandingkan pasien dengan kepatuhan rendah.

Oleh karena itu, kepatuhan yang konsisten terhadap ART adalah salah satu

komponen kunci dalam menunda perkembangan HIV menjadi AIDS.

Berdasarkan pemaparan di atas diketahui bahwa sangat penting bagi ODHA

untuk patuh dan taat dalam mengkonsumsi obat antiretroviral. Menurut

Lailatushifah (2009), ketidakpatuhan dapat mengakibatkan penekanan virus


3

menjadi tidak sempurna, infeksi yang terus berlanjut, munculnya virus yang

resisten, dan terbatasnya pilihan pengobatan di masa yang akan datang. Akan

tetapi, kebanyakan ODHA justru masih enggan untuk rutin mengkonsumsi ARV

dengan tepat waktu, bahkan beberapa di antaranya melewatkan jadwal untuk

minum obat. WHO (2016) mempublikasikan data statistik yang menguraikan

bahwa terdapat sekitar 36,7 juta orang yang hidup dengan HIV pada akhir 2016,

dan hanya 53% [39–65%] dari orang yang hidup dengan HIV menerima

pengobatan antiretroviral di tahun tersebut. Berdasarkan data tersebut diketahui

bahwa masih ada sekitar 47% ODHA di dunia yang tidak menerima pengobatan

antiretroviral.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Putri & Adriani (2016) diketahui bahwa

sebagian besar (57,5%) ODHA tidak patuh dalam menjalani terapi ARV di poli

serunai RSAM Bukittinggi. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan

oleh Khairunnisa, et al. (2017) juga menunjukkan proporsi ketidakpatuhan pada

pengobatan ARV yang cukup tinggi pada Wanita Pekerja Seks (WPS) yang positif

HIV di Kabupaten Batang yaitu sebesar 71,9%. Adapun pada penelitian Galistiani

& Mulyaningsih (2013) diketahui bahwa dari 31 pasien ODHA di RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto yang terlibat pada penelitiannya terdapat 87%

pasien yang memiliki tingkat kepatuhan sedang dan 13% dengan tingkat

kepatuhan rendah. Persentase 0% untuk pasien dengan tingkat kepatuhan tinggi

tersebut menunjukkan bahwa pencapaian yang dilakukan oleh pasien ODHA

belum maksimal, mengingat tingkat kepatuhan yang lebih rendah (≤95%) dapat

mengakibatkan kegagalan virologis, kerusakan sistem imun, resisten, terbatasnya


4

pilihan pengobatan di masa mendatang, peningkatan biaya, serta berkembangnya

penyakit terlebih untuk HIV/AIDS sendiri yang dapat menurunkan kekebalan

tubuh (Galistiani & Mulyaningsih, 2013).

Di Yogyakarta, kasus HIV yang menimpa Ibu Rumah Tangga menyorot

perhatian banyak pihak. Data statistik yang dihimpun dari website Komisi

Penanggulangan AIDS (KPA) wilayah Yogyakarta pada tahun 2016 menunjukkan

bahwa terdapat 407 orang IRT (Ibu Rumah Tangga) yang terinfeksi HIV, dan 199

orang IRT (Ibu Rumah Tangga) telah masuk fase AIDS. Angka tersebut berada

pada urutan kedua tertinggi dalam data kasus HIV/AIDS berdasarkan pekerjaan,

setelah Wiraswasta (Komisi Penanggulangan AIDS Yogyakarta, 2017).

Hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan peneliti pada salah

seorang Ibu Rumah Tangga dengan HIV positif mengungkapkan bahwa terdapat

kendala yang dialami Ibu Rumah Tangga berinisial A tersebut terkait pengobatan

ARV. Ibu A yang telah didiagnosis HIV sejak tahun 2013 lalu, tergabung dalam

Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang membimbing teman-teman ODHA

yang baru mengikuti pengobatan ARV. Menurut penuturan Ibu A, banyak sekali

ODHA yang dibimbing olehnya terkendala dalam hal kepatuhan. Bahkan

diantaranya telah ada satu-persatu yang meninggal dunia. Ibu A yang memberi

motivasi untuk teman-temannya pun tidak luput dari hal tersebut. Meskipun tahu

konsekuensinya, Ibu A tetap saja sering lalai dalam pengobatan. Menurut hemat

peneliti berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan, Ibu A hanya

merasa nyaman mengikuti instruksi dokter ketika hal tersebut sesuai dengan

keinginannya. Contohnya, waktu pertama kali didiagnosis HIV dengan jumlah


5

CD4 yang masih tinggi, dokter mengatakan tidak perlu bagi Ibu A untuk minum

obat dulu, maka Ibu A pun menunda pengobatan selama 2 tahun sesuai instruksi

dokter. Namun demikian, pada instruksi berikutnya, Ibu A kurang sigap dalam

mematuhi saran dari dokter. Ketika telah muncul program baru yang mewajibkan

siapapun yang telah mengetahui status HIV-nya untuk segera mengikuti

pengobatan ARV, ibu A diminta dokternya untuk mulai mengkonsumsi ARV dan

diikutkan dalam penelitian uji coba ARV model terbaru yang dikonsumsi hanya

sekali tiap 24 jam. Ibu A mengaku bahwa pada awalnya Ibu A bersedia diikutkan

dalam penelitian tersebut karena frekuensi minum obatnya yang tidak sesering

ARV model lama, namun Ibu A tidak segera melaksanakan instruksi dokter dan

justru menyimpan obat tersebut di dalam lemari saja selama satu bulan. Ibu A saat

itu mengaku masih merasa takut dan belum siap untuk memulai pengobatan

dengan segala aturan yang kelak harus dipatuhinya.

Secara terbuka, Ibu A menceritakan bahwa hingga kini Ibu A masih

bermasalah dalam hal kepatuhan minum obat. Ibu A mengaku rasa bosan menjadi

faktor utama yang sampai sekarang masih dirasakannya. Menurut Ibu A, ketika

dirinya harus meminum obat setiap hari pada waktu yang telah ditetapkan,

membuat Ibu A merasa seperti hidup diatur oleh obat yang dikonsumsinya. Selain

itu, obat ARV yang berukuran besar itu juga membuat Ibu A merasa seolah-olah

semakin diyakinkan bahwa dirinya mengidap penyakit yang sangat berat.

Meskipun Ibu A selalu berusaha berbicara kepada dirinya sendiri untuk dapat

menganggap obat tersebut seperti halnya vitamin biasa atau obat kecantikan,

namun tetap saja ketidakpatuhan itu selalu terjadi. Seringkali ketika alarm untuk
6

minum obat telah berbunyi, Ibu A merasa malas untuk segera minum obat dan

kemudian menunda hingga 1-2 jam. Bahkan, Ibu A juga pernah melewatkan satu

hari tanpa konsumsi obat ketika sedang berada di luar rumah seharian. Ibu A yang

memiliki jadwal konsumsi obat tiap jam 9 malam menceritakan satu kondisi

ketika Ibu A lupa mengkonsumsi obat ARV. Saat itu Ibu A sedang merasa

nyaman berbaring meregangkan badan yang telah lelah bekerja di siang hari, dan

ketika alarm berbunyi, Ibu A mengabaikannya dan berniat meminum obatnya

nanti setelah merasa cukup puas meregangkan tubuh. Namun akhirnya Ibu A

justru kebablasan tertidur dan tidak minum obat pada hari itu. Ibu A mengakui

bahwa sebenarnya Ibu A bukan kelupaan, tetapi lebih tepatnya adalah sengaja

melupakan, karena Ibu A sering menunda-nunda tadi.

Faktor lainnya yang dirasakan oleh Ibu A selain karena rasa bosan yang

menyebabkan perasaan kurang nyaman untuk patuh minum obat adalah efek

samping dari obat tersebut. Efek samping seperti mual, muntah, pusing, halusinasi

membuatnya terhambat dalam melakukan aktivitas. Seringkali Ibu A sengaja

melewatkan minum obat karena ingin lebih leluasa beraktivitas di malam hari,

misalnya bekerja lembur atau menyelesaikan pekerjaan rumah lainnya. Ibu A

yang takut tidak bisa melakukan apa-apa memilih untuk tidak meminum obatnya

dan pernah berniat untuk putus minum obat. Ibu A pernah berkonsultasi dengan

dokternya dan menyatakan akan bersedia patuh 100% minum obat jika saja obat

tersebut tidak berefek samping. Namun jawaban dokter ketika konsultasi

membuat Ibu A beranggapan bahwa dokter itu hanya bisa menyuruh saja tapi

tidak mengerti apa yang dirasakan oleh pasiennya. Adapun dampak dari
7

ketidakpatuhan dalam pengobatan belum dirasakan oleh Ibu A, namun Ibu A

seringkali mendapat cerita dari teman-teman ODHA-nya yang lain yang

mengalami resisten atau virus yang ada dalam tubuhnya menjadi kebal terhadap

obat dikarenakan sangat terlambat ketika meminum obat atau melewatkan jadwal

untuk meminum obat. Banyak pula rekan pendampingnya yang telah meninggal

dunia akibat tidak patuh minum obat, sedangkan beberapa temannya yang patuh

minum obat tetap dapat hidup sehat lebih dari 10 sampai 15 tahun setelah

didiagnosis HIV. Oleh karena itu, Ibu A pun mengakui bahwa kepatuhan adalah

kunci utama dalam pengobatan ARV yang dijalani ODHA, namun tidak dapat

dipungkiri bahwa kepatuhan sendiri menjadi kendala terbesar yang dihadapi

ODHA dalam proses pengobatan (Wawancara, 26/03/2018).

Berdasarkan data lapangan yang telah digali oleh peneliti tersebut secara

nyata diketahui bahwa terdapat masalah pada kepatuhan Ibu Rumah Tangga

dengan HIV positif. Pada beberapa pernyataan subjek wawancara didapati bahwa

subjek merasa bosan dan malas untuk segera minum obat serta merasa seolah-olah

semakin diyakinkan bahwa subjek mengidap penyakit yang sangat berat. Di

samping itu subjek berpikir bahwa hidupnya seperti diatur oleh obat yang

dikonsumsinya, efek samping obat membuatnya berpikir bahwa dirinya menjadi

tidak produktif setelah meminum obat. Subjek menunda-nunda mengkonsumsi

obat bahkan dengan sengaja melewatkan waktu untuk meminum obat.

Ketidakpatuhan juga diakui subjek terjadi pada sahabat ODHA-nya yang lain,

baik pada ODHA yang dibimbingnya maupun pada rekan pendamping sebayanya

yang juga sesama ODHA. Hal ini sejalan dengan penelitian Bianco, Heckman,
8

Sutton, Watakakosol, & Lovejoy (2011) yang mengungkapkan bahwa setengah

dari sampel penelitiannya yang merupakan orang dewasa paruh baya yang

terinfeksi HIV tidak mencapai tingkat kepatuhan 95%. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan hanya terdapat 49% partisipan yang melaporkan kepatuhan

konsisten dan tepat waktu terhadap ART.

Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan minum obat,

salah satunya ialah religiusitas. Ilmiah, Azizah, & Amelia (2017) dalam

penelitiannya mengungkapkan bahwa terdapat hubungan konsep diri dan tingkat

religiusitas dengan kepatuhan minum obat ARV pada wanita HIV Positif di Poli

VCT RSUD Waluyojati Kraksaan Probolinggo. Selain itu, sebuah penelitian yang

dilakukan oleh Albargawi, Snethen, Al Gannass & Kelber (2017) di Arab Saudi

menemukan bahwa pasien diabetes yang memiliki HLoC eksternal seperti Tuhan

dilaporkan mematuhi rejimen pengobatannya karena merasa bahwa Tuhan

mengendalikan kesehatan dan penyakit diabetesnya. Oleh karena itu, diasumsikan

bahwa pikiran, perasaan dan perilaku disfungsional Ibu Rumah Tangga dengan

HIV positif yang mengarah pada ketidakpatuhan minum obat dapat diubah dengan

memberikan perlakuan berupa Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif. Terapi al-

Fatihah reflektif intuitif adalah proses terapi dengan pendekatan religiusitas

membaca surat al-Fatihah yang diikuti proses berpikir, memahami dan merasakan

makna secara mendalam ayat surat al-Fatihah yang dibaca (Maulana, 2017).

Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Purwoko (2013), Al-Fatihah

Reflection Therapy disebutkan sebagai sebuah upaya untuk mengubah pikiran,

perasaan, dan perilaku disfungsional individu dengan memikirkan, membacakan,


9

dan menerapkan ayat-ayat Al-Fatihah. Lebih lanjut Purwoko (2013) menerangkan

bahwa Al-Fatihah Reflection Therapy dapat dikatakan sebagai psikoterapi teistik

yang berbagi karakteristik dengan Cognitive Behavior Therapy (CBT). Cognitive

Behavior Therapy (CBT) merupakan salah satu terapi yang dapat digunakan untuk

meningkatkan kepatuhan minum obat, hal tersebut dibuktikan dari beberapa riset

dengan metode eksperimen seperti penelitian yang dilakukan oleh Chattopadhyay,

Ball, Kargupta, Talukdar, Roy, Talukdar, & Guha (2017) yang mengungkapkan

bahwa Cognitive Behavior Therapy (CBT) dapat meningkatkan kepatuhan

terhadap terapi antiretroviral pada pasien yang terinfeksi HIV di India Timur.

Akan tetapi menurut Irawati, Subandi dan Kumolohadi (2011) terapi kognitif

perilaku yang bertujuan untuk memunculkan perilaku baru yang lebih baik dari

sebelumnya melalui perubahan kogntif yang salah menuju kognitif yang positif

memiliki kelemahan karena umumnya perubahan tersebut hanya bersifat

sementara. Oleh karena itu diperlukan suatu penguat yang selalu dilakukan oleh

individu dalam rentang waktu yang lama seperti sebuah keyakinan agama. Agama

akan memunculkan tingkat religiusitas seorang individu, sehingga diasumsikan

bahwa ketika religiusitas individu muncul karena menjalankan kegiatan

keagamaan, maka secara bersamaan akan memunculkan pola kognitif yang positif

yang akan membentuk perilaku yang positif juga. Maka dapat disimpulkan bahwa

unsur religiusitas akan memperkuat terapi kognitif perilaku karena akan dilakukan

secara terus menerus dan berkelanjutan (Irawati, Subandi, & Kumolohadi, 2011).

Maulana (2017) pada penelitiannya mengenai Terapi Al-Fatihah Reflektif

Intuitif menyatakan bahwa ketika subjek penelitiannya secara pribadi mampu


10

merefleksikan serta menggunakan intuisi dalam memahami surat Al-Fatihah,

maka subjek tersebut akan mampu menemukan suatu dorongan yang muncul di

dalam diri dan secara sadar merubah diri menjadi lebih baik dengan cara selalu

menghadirkan Allah di setiap kehidupan atau menjadikan Allah sebagai pegangan

hidup “anchor”. Ketika anchor hidup subjek adalah Allah, maka subjek memiliki

pegangan yang dapat diandalkan (Julianto dan Subandi, 2015). Badahdah &

Pedersen (2011) yang melakukan penelitian pada wanita Muslim dengan rentang

usia 22-52 tahun yang hidup dengan HIV/AIDS di Mesir mengungkapkan bahwa

subjek pada penelitiannya berbicara mengenai meletakkan hidupnya di tangan

Allah, lalu meminta Allah untuk mengingatkannya meminum obat tepat waktu

serta membantunya menghadapi efek samping obat. Lebih lanjut Badahdah &

Pedersen (2011) mengatakan bahwa menggantungkan nasib pada iman

(keyakinan) seperti yang dilakukan oleh subjek pada penelitiannya tersebut

menjadi salah satu faktor yang mendukung kepatuhan pasien HIV terhadap

pengobatan ARV. Hal ini terjadi karena memiliki pegangan hidup dapat menjadi

sumber motivasi yang akan mendorong timbulnya perilaku termotivasi yang

merupakan dinamika internal dalam diri manusia (Maulana, 2017). Motivasi

untuk hidup merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung ODHA untuk

mengkonsumsi ARV (Yuniar, Handayani & Aryastami, 2013).

Selain itu, menurut Ansyah & Hadi (2017) emosi positif berupa rasa bahagia,

tidak marah dan semangat merupakan bagian dari dampak atas sistem psikologi

Al-Fatihah. Oleh sebab itu, emosi negatif berupa perasaan jenuh yang menjadi

penghambat kepatuhan Ibu Rumah Tangga dengan HIV positif dapat diatasi.
11

Ketika emosi negatif seperti rasa malas berubah menjadi emosi positif berupa

perasaan semangat, kepatuhan menjadi meningkat. Sebagaimana pernyataan

Brannon dan Feist (2010) yang mengungkapkan bahwa emosi termasuk dalam

personal factors yang dapat mempengaruhi kepatuhan minum obat.

Berdasarkan beberapa alasan yang telah disebutkan, pendekatan Islami berupa

Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif ini dipilih untuk mengembangkan penelitian

sebelumnya yang telah ada. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Julianto dan Subandi (2015) diketahui bahwa membaca Al-Fatihah reflektif

intuitif dapat menurunkan depresi dan meningkatkan imunitas. Dari penelitian

tersebut, dapat diasumsikan bahwa surah Al-Fatihah tepat untuk dijadikan

intervensi pada pasien HIV. Tidak hanya karena dapat meningkatkan imunitas,

namun karena diketahui bahwa membaca Al Fatihah secara reflektif intuitif

mampu mengubah persepsi individu terhadap permasalahan dalam hidupnya

(Julianto & Subandi, 2015), sehingga pola pikir atau keyakinan yang menyimpang

seperti anggapan bahwa hidup tidak bebas karena diatur oleh obat yang

dikonsumsi insyaAllah dapat diubah.

Hasil penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Maulana (2017)

mengungkapkan bahwa Al-Fatihah Reflektif Intuitif efektif untuk menurunkan

gejala depresi pada ODHA. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa terapi ini

dapat diberikan dan pada dasarnya memberikan efek yang baik bagi Orang dengan

HIV/AIDS. Terlebih pada beberapa penelitian diketahui bahwa depresi memiliki

hubungan yang signifikan dengan kepatuhan minum obat. Salah satunya

Magidson (2013) yang mengungkapkan bahwa individu dengan gejala depresi


12

tinggi dapat merasakan konsekuensi negatif yang lebih besar terkait dengan obat-

obatan (misalnya, efek samping dan stigma) dan lebih kecil kemungkinannya

dalam mengatasi hambatan yang diperlukan untuk menerapkan kepatuhan yang

optimal. Maka dari itu, peneliti mengasumsikan bahwa keistimewaan yang

terkandung dalam ayat-ayat Al-Fatihah yang direfleksikan dan diintuisikan dapat

membantu peningkatan kepatuhan minum obat pada ODHA. Berangkat dari

pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti manfaat lain dari Terapi Al-

Fatihah Reflektif Intuitif untuk mengatasi permasalahan dalam hidup pasien

HIV/AIDS, terutama pasien yang berstatus sebagai Ibu Rumah Tangga. Oleh

karena itu, penelitian ini pun dilakukan guna mengetahui efektivitas Terapi Al-

Fatihah Reflektif Intuitif bagi Ibu Rumah Tangga muslim yang positif HIV dalam

meningkatkan kepatuhannya untuk minum obat.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas Terapi Al-

Fatihah Reflektif Intuitif dalam meningkatkan kepatuhan minum obat ARV pada

Ibu Rumah Tangga dengan HIV positif.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam

mendukung kemajuan ilmu psikologi, khususnya implikasi psikologi Islam

dalam pengembangan psikologi klinis.


13

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat berguna untuk pihak-pihak

yang bersinggungan langsung dengan ibu rumah tangga yang positif HIV

sebagai populasi penelitian. Dalam hal ini adalah para ibu rumah tangga

dengan HIV positif, keluarga pasien, tenaga medis, serta LSM yang konsen

dalam menanggulangi permasalahan seputar HIV/AIDS di Indonesia,

khususnya Yogyakarta. Penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan terkait pengaruh Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif terhadap

kepatuhan minum obat ARV, serta dapat menjadi acuan intervensi untuk

langkah preventif dan kuratif dalam menanggapi persoalan kepatuhan minum

obat.

D. Keaslian Penelitian

1. Topik

Belum banyak penelitian mengenai Terapi Al-Fatihah Reflektif yang

pernah dilakukan sebelumnya. Namun terdapat beberapa penelitian yang

mengangkat surah Al-Fatihah sebagai sebuah intervensi. Salah satunya adalah

Mudzkiyyah, Nashori dan Sulistyarini (2014) yang melakukan penelitian

terkait Terapi Zikir Al-Fatihah untuk Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif

Pecandu Narkoba dalam Masa Rehabilitasi. Penelitian ini melibatkan sebanyak

4 orang subjek yang berusia antara 14-20 tahun. Hasil yang ditemukan

menunjukkan bahwa terapi zikir Al-Fatihah dapat meningkatkan kesejahteraan

subjektif pecandu narkoba yang sedang dalam masa rehabilitasi. Peningkatan


14

tersebut diketahui dari meningkatnya aspek kepuasan hidup dan afek yang

positif.

Sedangkan penelitian terkait kepatuhan minum obat ARV telah banyak

dilakukan sebelumnya, salah satunya oleh Ilmiah, Azizah, & Amelia (2017).

Penelitian yang berjudul Hubungan Konsep Diri dan Tingkat Religiusitas

dengan Kepatuhan Minum Obat ARV pada Wanita HIV Positif tersebut

melibatkan 68 orang subjek dengan hasil penelitian yang sesuai dengan

hipotesis penelitian, yaitu terdapat hubungan konsep diri dan tingkat

religiusitas dengan kepatuhan minum obat ARV pada wanita HIV Positif di

Poli VCT RSUD Waluyojati Kraksaan Probolinggo. Meskipun terdapat

hubungan, namun kekuatan hubungan yang ditunjukkan rendah atau tidak

signifikan.

Adapun penelitian terkait pengaruh Terapi Al-Fatihah Reflektif Intuitif

dengan kepatuhan minum obat ARV belum pernah dilakukan sebelumnya.

Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian penelitian

terkait topik yang diangkat.

2. Alat ukur

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini sudah pernah digunakan

sebelumnya pada penelitian Manuaba & Yasa (2017) mengenai Tingkat

Kepatuhan Mengkonsumsi Obat Antiretroviral dengan Jumlah CD4 pada

Pasien HIV AIDS di Klinik VCT RSUP Sanglah dalam Periode September-

November 2014. Alat ukur Morisky Medication Adherence Scale (MMAS)

dalam penelitian tersebut yang diadaptasi berdasarkan teori Morisky (1986)


15

sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan dimodifikasi sesuai

kondisi subjek penelitian yaitu pasien HIV/AIDS. Hal yang sama juga

dilakukan oleh penelitian ini, sehingga alat ukur yang digunakan tidak

menunjukkan keaslian.

3. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ilmiah, Azizah

dan Amelia (2017) merupakan wanita HIV Positif yang berkunjung dan

mendapatkan treatment obat ARV di Poli VCT RSUD Waluyojati Kraksaan

probolinggo Tahun 2016 sejumlah 68 orang. Hal yang sama dengan penelitian

ini adalah melibatkan subjek dengan jenis kelamin wanita, namun yang

membedakan adalah peneliti menargetkan subjek dengan kriteria yang lebih

spesifik dari segi pekerjaan, yaitu Ibu Rumah Tangga.

Anda mungkin juga menyukai