PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
krusial bagi dunia internasional. Human Immunodeficiency Virus atau yang lebih
dikenal dengan HIV adalah virus yang menyerang sel darah putih di dalam tubuh
Indonesia, 2017). WHO (2018) melaporkan bahwa terdapat sekitar 36,9 juta orang
di dunia yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2017 dan di antaranya terdapat
1,8 juta orang yang baru terinfeksi virus tersebut pada tahun 2017.
penyakit beban global pertama pada beberapa tahun mendatang. Pada tahun 2017,
penyakit terkait AIDS (UNAIDS, 2018), sehingga jumlah orang yang meninggal
akibat penyakit terkait AIDS sejak awal epidemi menjadi 35.4 juta jiwa (25.0–
49.9 juta). Di samping sebagai tantangan utama dunia, HIV/AIDS kerap dianggap
sebagai momok nomor satu bagi masyarakat, sebab obat untuk memupuskan virus
tersebut belum juga ditemukan. Namun demikian, pengobatan pada Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) masih dapat diupayakan melalui konsumsi Anti Retro Viral
1
2
(ARV) secara teratur. Anti Retro Viral (ARV) merupakan suatu obat yang dapat
menghambat replikasi HIV, sehingga kadar virus (viral load) yang menginfeksi
sel kekebalan tubuh atau CD4 dalam darah menurun (Ilmiah, Azizah & Amelia,
HIV tersebut menurunkan viral load pada pasien (Tanna, & Lawson, 2016).
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Wang, et al. (2009) menunjukkan
bahwa kepatuhan yang konsisten juga memberikan hasil yang lebih baik lainnya
seperti jumlah CD4 atau sel darah putih limfosit dalam tubuh yang lebih tinggi.
Jumlah CD4 yang meningkat menandakan ukuran daya tahan tubuh pasien
HIV/AIDS yang lebih baik dan menjadikan biaya perawatan kesehatan yang lebih
status imunologis yang lebih cepat dibandingkan pasien dengan kepatuhan rendah.
Oleh karena itu, kepatuhan yang konsisten terhadap ART adalah salah satu
menjadi tidak sempurna, infeksi yang terus berlanjut, munculnya virus yang
resisten, dan terbatasnya pilihan pengobatan di masa yang akan datang. Akan
tetapi, kebanyakan ODHA justru masih enggan untuk rutin mengkonsumsi ARV
bahwa terdapat sekitar 36,7 juta orang yang hidup dengan HIV pada akhir 2016,
dan hanya 53% [39–65%] dari orang yang hidup dengan HIV menerima
bahwa masih ada sekitar 47% ODHA di dunia yang tidak menerima pengobatan
antiretroviral.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Putri & Adriani (2016) diketahui bahwa
sebagian besar (57,5%) ODHA tidak patuh dalam menjalani terapi ARV di poli
serunai RSAM Bukittinggi. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan
pengobatan ARV yang cukup tinggi pada Wanita Pekerja Seks (WPS) yang positif
HIV di Kabupaten Batang yaitu sebesar 71,9%. Adapun pada penelitian Galistiani
& Mulyaningsih (2013) diketahui bahwa dari 31 pasien ODHA di RSUD Prof. Dr.
pasien yang memiliki tingkat kepatuhan sedang dan 13% dengan tingkat
belum maksimal, mengingat tingkat kepatuhan yang lebih rendah (≤95%) dapat
perhatian banyak pihak. Data statistik yang dihimpun dari website Komisi
bahwa terdapat 407 orang IRT (Ibu Rumah Tangga) yang terinfeksi HIV, dan 199
orang IRT (Ibu Rumah Tangga) telah masuk fase AIDS. Angka tersebut berada
pada urutan kedua tertinggi dalam data kasus HIV/AIDS berdasarkan pekerjaan,
Hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan peneliti pada salah
seorang Ibu Rumah Tangga dengan HIV positif mengungkapkan bahwa terdapat
kendala yang dialami Ibu Rumah Tangga berinisial A tersebut terkait pengobatan
ARV. Ibu A yang telah didiagnosis HIV sejak tahun 2013 lalu, tergabung dalam
yang baru mengikuti pengobatan ARV. Menurut penuturan Ibu A, banyak sekali
diantaranya telah ada satu-persatu yang meninggal dunia. Ibu A yang memberi
motivasi untuk teman-temannya pun tidak luput dari hal tersebut. Meskipun tahu
konsekuensinya, Ibu A tetap saja sering lalai dalam pengobatan. Menurut hemat
merasa nyaman mengikuti instruksi dokter ketika hal tersebut sesuai dengan
CD4 yang masih tinggi, dokter mengatakan tidak perlu bagi Ibu A untuk minum
obat dulu, maka Ibu A pun menunda pengobatan selama 2 tahun sesuai instruksi
dokter. Namun demikian, pada instruksi berikutnya, Ibu A kurang sigap dalam
mematuhi saran dari dokter. Ketika telah muncul program baru yang mewajibkan
pengobatan ARV, ibu A diminta dokternya untuk mulai mengkonsumsi ARV dan
diikutkan dalam penelitian uji coba ARV model terbaru yang dikonsumsi hanya
sekali tiap 24 jam. Ibu A mengaku bahwa pada awalnya Ibu A bersedia diikutkan
dalam penelitian tersebut karena frekuensi minum obatnya yang tidak sesering
ARV model lama, namun Ibu A tidak segera melaksanakan instruksi dokter dan
justru menyimpan obat tersebut di dalam lemari saja selama satu bulan. Ibu A saat
itu mengaku masih merasa takut dan belum siap untuk memulai pengobatan
bermasalah dalam hal kepatuhan minum obat. Ibu A mengaku rasa bosan menjadi
faktor utama yang sampai sekarang masih dirasakannya. Menurut Ibu A, ketika
dirinya harus meminum obat setiap hari pada waktu yang telah ditetapkan,
membuat Ibu A merasa seperti hidup diatur oleh obat yang dikonsumsinya. Selain
itu, obat ARV yang berukuran besar itu juga membuat Ibu A merasa seolah-olah
Meskipun Ibu A selalu berusaha berbicara kepada dirinya sendiri untuk dapat
menganggap obat tersebut seperti halnya vitamin biasa atau obat kecantikan,
namun tetap saja ketidakpatuhan itu selalu terjadi. Seringkali ketika alarm untuk
6
minum obat telah berbunyi, Ibu A merasa malas untuk segera minum obat dan
kemudian menunda hingga 1-2 jam. Bahkan, Ibu A juga pernah melewatkan satu
hari tanpa konsumsi obat ketika sedang berada di luar rumah seharian. Ibu A yang
memiliki jadwal konsumsi obat tiap jam 9 malam menceritakan satu kondisi
ketika Ibu A lupa mengkonsumsi obat ARV. Saat itu Ibu A sedang merasa
nyaman berbaring meregangkan badan yang telah lelah bekerja di siang hari, dan
nanti setelah merasa cukup puas meregangkan tubuh. Namun akhirnya Ibu A
justru kebablasan tertidur dan tidak minum obat pada hari itu. Ibu A mengakui
bahwa sebenarnya Ibu A bukan kelupaan, tetapi lebih tepatnya adalah sengaja
Faktor lainnya yang dirasakan oleh Ibu A selain karena rasa bosan yang
menyebabkan perasaan kurang nyaman untuk patuh minum obat adalah efek
samping dari obat tersebut. Efek samping seperti mual, muntah, pusing, halusinasi
melewatkan minum obat karena ingin lebih leluasa beraktivitas di malam hari,
yang takut tidak bisa melakukan apa-apa memilih untuk tidak meminum obatnya
dan pernah berniat untuk putus minum obat. Ibu A pernah berkonsultasi dengan
dokternya dan menyatakan akan bersedia patuh 100% minum obat jika saja obat
membuat Ibu A beranggapan bahwa dokter itu hanya bisa menyuruh saja tapi
tidak mengerti apa yang dirasakan oleh pasiennya. Adapun dampak dari
7
mengalami resisten atau virus yang ada dalam tubuhnya menjadi kebal terhadap
obat dikarenakan sangat terlambat ketika meminum obat atau melewatkan jadwal
untuk meminum obat. Banyak pula rekan pendampingnya yang telah meninggal
dunia akibat tidak patuh minum obat, sedangkan beberapa temannya yang patuh
minum obat tetap dapat hidup sehat lebih dari 10 sampai 15 tahun setelah
didiagnosis HIV. Oleh karena itu, Ibu A pun mengakui bahwa kepatuhan adalah
kunci utama dalam pengobatan ARV yang dijalani ODHA, namun tidak dapat
Berdasarkan data lapangan yang telah digali oleh peneliti tersebut secara
nyata diketahui bahwa terdapat masalah pada kepatuhan Ibu Rumah Tangga
dengan HIV positif. Pada beberapa pernyataan subjek wawancara didapati bahwa
subjek merasa bosan dan malas untuk segera minum obat serta merasa seolah-olah
samping itu subjek berpikir bahwa hidupnya seperti diatur oleh obat yang
Ketidakpatuhan juga diakui subjek terjadi pada sahabat ODHA-nya yang lain,
baik pada ODHA yang dibimbingnya maupun pada rekan pendamping sebayanya
yang juga sesama ODHA. Hal ini sejalan dengan penelitian Bianco, Heckman,
8
dari sampel penelitiannya yang merupakan orang dewasa paruh baya yang
terinfeksi HIV tidak mencapai tingkat kepatuhan 95%. Hasil penelitian tersebut
salah satunya ialah religiusitas. Ilmiah, Azizah, & Amelia (2017) dalam
religiusitas dengan kepatuhan minum obat ARV pada wanita HIV Positif di Poli
VCT RSUD Waluyojati Kraksaan Probolinggo. Selain itu, sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Albargawi, Snethen, Al Gannass & Kelber (2017) di Arab Saudi
menemukan bahwa pasien diabetes yang memiliki HLoC eksternal seperti Tuhan
bahwa pikiran, perasaan dan perilaku disfungsional Ibu Rumah Tangga dengan
HIV positif yang mengarah pada ketidakpatuhan minum obat dapat diubah dengan
membaca surat al-Fatihah yang diikuti proses berpikir, memahami dan merasakan
makna secara mendalam ayat surat al-Fatihah yang dibaca (Maulana, 2017).
Behavior Therapy (CBT) merupakan salah satu terapi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kepatuhan minum obat, hal tersebut dibuktikan dari beberapa riset
Ball, Kargupta, Talukdar, Roy, Talukdar, & Guha (2017) yang mengungkapkan
terhadap terapi antiretroviral pada pasien yang terinfeksi HIV di India Timur.
Akan tetapi menurut Irawati, Subandi dan Kumolohadi (2011) terapi kognitif
perilaku yang bertujuan untuk memunculkan perilaku baru yang lebih baik dari
sebelumnya melalui perubahan kogntif yang salah menuju kognitif yang positif
sementara. Oleh karena itu diperlukan suatu penguat yang selalu dilakukan oleh
individu dalam rentang waktu yang lama seperti sebuah keyakinan agama. Agama
keagamaan, maka secara bersamaan akan memunculkan pola kognitif yang positif
yang akan membentuk perilaku yang positif juga. Maka dapat disimpulkan bahwa
unsur religiusitas akan memperkuat terapi kognitif perilaku karena akan dilakukan
secara terus menerus dan berkelanjutan (Irawati, Subandi, & Kumolohadi, 2011).
maka subjek tersebut akan mampu menemukan suatu dorongan yang muncul di
dalam diri dan secara sadar merubah diri menjadi lebih baik dengan cara selalu
hidup “anchor”. Ketika anchor hidup subjek adalah Allah, maka subjek memiliki
pegangan yang dapat diandalkan (Julianto dan Subandi, 2015). Badahdah &
Pedersen (2011) yang melakukan penelitian pada wanita Muslim dengan rentang
usia 22-52 tahun yang hidup dengan HIV/AIDS di Mesir mengungkapkan bahwa
Allah, lalu meminta Allah untuk mengingatkannya meminum obat tepat waktu
serta membantunya menghadapi efek samping obat. Lebih lanjut Badahdah &
menjadi salah satu faktor yang mendukung kepatuhan pasien HIV terhadap
pengobatan ARV. Hal ini terjadi karena memiliki pegangan hidup dapat menjadi
untuk hidup merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung ODHA untuk
Selain itu, menurut Ansyah & Hadi (2017) emosi positif berupa rasa bahagia,
tidak marah dan semangat merupakan bagian dari dampak atas sistem psikologi
Al-Fatihah. Oleh sebab itu, emosi negatif berupa perasaan jenuh yang menjadi
penghambat kepatuhan Ibu Rumah Tangga dengan HIV positif dapat diatasi.
11
Ketika emosi negatif seperti rasa malas berubah menjadi emosi positif berupa
Brannon dan Feist (2010) yang mengungkapkan bahwa emosi termasuk dalam
sebelumnya yang telah ada. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
intervensi pada pasien HIV. Tidak hanya karena dapat meningkatkan imunitas,
(Julianto & Subandi, 2015), sehingga pola pikir atau keyakinan yang menyimpang
seperti anggapan bahwa hidup tidak bebas karena diatur oleh obat yang
gejala depresi pada ODHA. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa terapi ini
dapat diberikan dan pada dasarnya memberikan efek yang baik bagi Orang dengan
tinggi dapat merasakan konsekuensi negatif yang lebih besar terkait dengan obat-
obatan (misalnya, efek samping dan stigma) dan lebih kecil kemungkinannya
pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti manfaat lain dari Terapi Al-
HIV/AIDS, terutama pasien yang berstatus sebagai Ibu Rumah Tangga. Oleh
karena itu, penelitian ini pun dilakukan guna mengetahui efektivitas Terapi Al-
Fatihah Reflektif Intuitif bagi Ibu Rumah Tangga muslim yang positif HIV dalam
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas Terapi Al-
Fatihah Reflektif Intuitif dalam meningkatkan kepatuhan minum obat ARV pada
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
yang bersinggungan langsung dengan ibu rumah tangga yang positif HIV
sebagai populasi penelitian. Dalam hal ini adalah para ibu rumah tangga
dengan HIV positif, keluarga pasien, tenaga medis, serta LSM yang konsen
kepatuhan minum obat ARV, serta dapat menjadi acuan intervensi untuk
obat.
D. Keaslian Penelitian
1. Topik
4 orang subjek yang berusia antara 14-20 tahun. Hasil yang ditemukan
tersebut diketahui dari meningkatnya aspek kepuasan hidup dan afek yang
positif.
dilakukan sebelumnya, salah satunya oleh Ilmiah, Azizah, & Amelia (2017).
dengan Kepatuhan Minum Obat ARV pada Wanita HIV Positif tersebut
religiusitas dengan kepatuhan minum obat ARV pada wanita HIV Positif di
signifikan.
Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian penelitian
2. Alat ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini sudah pernah digunakan
Pasien HIV AIDS di Klinik VCT RSUP Sanglah dalam Periode September-
kondisi subjek penelitian yaitu pasien HIV/AIDS. Hal yang sama juga
dilakukan oleh penelitian ini, sehingga alat ukur yang digunakan tidak
menunjukkan keaslian.
3. Subjek Penelitian
dan Amelia (2017) merupakan wanita HIV Positif yang berkunjung dan
probolinggo Tahun 2016 sejumlah 68 orang. Hal yang sama dengan penelitian
ini adalah melibatkan subjek dengan jenis kelamin wanita, namun yang