Anda di halaman 1dari 14

Aaron memasuki perusahaan Otomotif yang ia bangun bersama Richard sejak 7 tahun lalu.

Memutuskan untuk menyerahkan urusan sekolah kepada salah satu orang kepercayaan mereka. Dan
fokus pada perusahaan yang sedang berkembang pesat berkat kepiawaian mereka dalam
mengelolanya.

Banyaknya rekan serta kerabat dari orang tua mereka, Richard dan Aaron tidak menyia-nyiakan
dengan menawarkan untuk berinvestasi dan memastikan keuntungan serta kesuksesan dimasa
depan. Dan dalam 3 tahun terakhir, mereka membuktikan itu semua. Bahkan ada beberapa
perusahaan yang lebih dulu memiliki nama besar meminta kerja sama dari perusahaan milik mereka.

"Pagi Pak, saya ingin menginformasikan bahwa pada pukul 11.00 nanti Anda akan ada meeting
dengan perwakilan Nagraman yang meminta kerja sama dengan perusahaan." Beritahu Sekretaris
Aaron saat laki-laki itu baru saja menduduki kursi kerjanya.

Aaron memandang cukup lama wanita yang tanpa takut membalasnya dengan tatapan datar
tersebut.

Ketika kebanyakan wanita akan menampilkan senyum manis atau wajah yang merona saat
berhadapan dan ditatap langsung olehnya, sekretaris Aaron yang bernama Ralee itu malah terlihat
enggan menatapnya lebih lama.

Aaron bahkan masih ingat bagaimana Ralee melayangkan pukulan pada wajah tampannya saat ia
berusaha mendekati dan mengajak berkencan wanita itu. Dan lebih sialnya, Richard yang baru saja
memasuki ruangan menyaksikan semuanya. Membuatnya menjadi bahan bullyan kakaknya itu.

Ralee satu-satunya Sekretaris yang berani menolak dirinya, karena Sekretaris-sekretaris yang
sebelumnya bahkan menawarkan diri sebelum Aaron mendekatinya. Dan entah kenapa hal itu malah
membuat Richard mempertahankan wanita itu sebagai Sekretaris mereka. Karena yang sebelum-
sebelumnya hanya bertahan 2 atau 3 bulan sebelum kemudian Richard memecatnya.

Aaron tidak berani membantah, karena biar bagaimanapun Richard lebih tua juga memiliki
pengalaman lebih dari dirinya. Mereka memang membangun perusahaan bersama-sama, namun
tetap saja kedudukan Richard lebih tinggi walau ia sangat jarang datang ke kantor demi menemani
istri tercintanya itu.

Jika menyangkut istrinya, Richard akan bertingkah seperti SEEKOR ANGSA YANG DICUCUK
HIDUNGNYA. Selalu menurut dan mengalah. Beruntung Athalia bukan wanita yang akan
sembarangan meminta dan memerintah apa pun yang ia inginkan pada Richard.
Athalia hanya akan meminta bantuan saat ia benar-benar tidak bisa melakukan atau menyelesaikan
suatu hal. Bahkan kadang memaksakan dirinya walau tahu ia tidak akan bisa melakukannya. Namun
beberapa minggu terakhir, wanita itu menjadi sangat manja pada Richard. Membuat Aaron gemas
sendiri, dan berpikir bagaimana rasanya kalau Athalia bermanja-manja pada dirinya. Mungkin dia
akan bertingkah tidak jauh berbeda dari Richard.

Aaron benar-benar tidak mengerti, kenapa dulu Athalia bisa membuatnya sejatuh cinta itu tanpa
wanita itu melakukan apa pun. Bahkan sampai membuatnya berani bertindak di luar batas.

“Bukankah yang seharusnya menghadiri meeting itu pak Richard, bukan saya.” Kata Aaron saat
mendengar deheman kecil Ralee hingga membuatnya tersadar dari lamunan sesaatnya.

“Tadi saya sudah menghubunginya dan memberitahukan, tapi dia mengatakan jika Anda yang akan
pergi karena dia harus menemani istrinya untuk memeriksakan kandungannya. Saya pikir dia sudah
memberitahu Anda lebih dulu.”

Aaron menghembuskan nafas kasar. Kenapa Athalia harus hamil di saat seperti ini. Sekarang lihatlah,
dia yang harus menjadi korban. Menangani semua pekerjaan kantor dan menghadiri beberapa
meeting tanpa bisa diwakilkan. Mengingat belum ada orang yang bisa mereka percayai untuk
mewakili mereka. Terlebih saat perusahaan mereka sedang berkembang pesat dan mulai dikenal
banyak orang.

“Baiklah. Kamu boleh keluar.”

Ralee menundukkan sedikit kepalanya sebagai tanda hormat sebelum membalik tubuh lalu berjalan
keluar dari ruangan Aaron.

Wanita itu duduk di kursi kerjanya, menghidupkan komputer lalu mulai menyelesaikan pekerjaannya
yang cukup banyak.

Menangani jadwal serta menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh 2 bosnya sekaligus bukanlah
hal yang mudah. Kalau saja gaji yang ia terima setiap bulannya berjumlah sedikit, mungkin saat ini
Ralee sudah mengundurkan diri. Apalagi saat sering kali menerima tatapan intens Aaron. Beruntung
Richard tidak bertingkah sama dan malah selalu menyemangati dirinya. Hal yang tidak bisa Ralee
pahami, mereka bersaudara namun tingkah laku mereka jauh berbeda.
Richard benar-benar orang baik yang selalu bersikap ramah. Walau hanya pada beberapa orang,
tidak semuanya. Dan Ralee beruntung karena menjadi salah satu orang yang mendapat perlakuan
Richard tersebut.

“Kak Richard mau sampai kapan nggak masuk kantor? Aku mulai kewalahan dengan jadwal yang
Ralee buat.” Keluh Aaron begitu mendudukkan bokongnya pada sofa panjang yang berada diruang
keluarga rumah Richard.

Mendengar keluhan adiknya, membuat Richard menghembuskan nafas lalu menatap malas Aaron.
“Jangan banyak mengeluh. Jadwal yang padat menjadi salah satu bukti bahwa perusahaan yang
mulai kita bangun dari nol kini tengah mulai berkembang pesat. Bukankah seharusnya kamu
bersyukur?”

“Ya, ya, ya. Aku sangat-sangat bersyukur, tapi setidaknya Kak Richard tolong bantu aku untuk
menyelesaikan jadwal bulan ini. Kalau nggak bisa, maka tolong ganti Ralee dengan wanita yang lebih
menarik. Ayolah, dia nggak bisa menghibur sama sekali. Benar-benar sekaku kayu balok.”

Mata Richard memicing, menatap Aaron. Jadi masalah pekerjaan hanya jadi alasannya agar Richard
mau mengganti sekretaris?

“Kamu pikir perusahaan sama seperti kelab yang sering kamu datangi untuk mencari hiburan?”

Aaron menghembuskan nafas kasar. Jika sudah menyangkut perusahaan dan isinya, ia tidak akan
pernah menang berdebat dengan Richard.

“Lagi pula, kinerja Ralee sangat baik. Nggak seperti sekretaris-sekretaris sebelumnya yang akan lupa
diri saat kamu dekati. Ralee cukup tahan banting dan aku menyukainya.”

“Jika Kak Richard menyukainya, Kakak bisa lebih sering datang ke kantor dan biar aku yang
menggantikan posisi Kakak untuk menemani Athalia. Bagaimana?” tanya Aaron dengan kedua alis
terangkat.

“Kamu jelas tahu suka yang aku maksud bukan suka yang seperti kamu pikirkan Aaron. Dan untuk
bisa menggantikanku menemani Athalia, tolong langkahi mayatku lebih dulu.”
Mendapat tatapan tajam serta nada suara Richard yang terdengar menakutkan, Aaron terkekeh.
Seiring berjalannya waktu, Richard menjadi lebih mengerikan jika itu menyangkut tentang Athalia.
Jika ada kata lain yang melebihi dari cinta mati, maka Aaron akan menyematkan kata itu untuk
kelakuan Richard sekarang.

“Keadaan selalu terasa mencekam kalau kita berdua membahas tentang Athalia. Lebih baik aku
menemui Elise.” Aaron beranjak dari duduknya, berlalu menuju kamar Elise yang berada di lantai
dua. Ia membuka pintu kamar dan menemukan keponakannya itu terlihat serius memandang huruf
serta angka yang tertulis dibukunya. Sepertinya mengerjakan Pekerjaan Rumah yang diberikan oleh
Gurunya.

“Sepertinya keponakan Paman nggak bisa diganggu.”

Mendengar nada suara orang yang sangat di kenalnya, Elise mengangkat wajah dan tersenyum
semringah. Ia berlari kecil mendekati Aaron, lalu memeluk erat Paman satu-satunya itu.

“Paman Aaron, aku sangat-sangat merindukanmu.” Ujar Elise, menenggelamkan wajahnya pada
perut Aaron.

Laki-laki itu terkekeh, “Paman juga sangat-sangat-sangat merindukanmu.” Balasnya, memeluk Elise
tak kalah eratnya.

“Kenapa akhir-akhir ini Paman jarang kesini?” Tanya Elise, saat ia kembali duduk di kursi belajarnya
serta Aaron yang berdiri menyangga tubuhnya di meja belajar Elise.

“Pekerjaan Paman sangat banyak. Kamu tahu sendiri beberapa hari ini Ayahmu nggak pernah masuk
kerja.”

Kepala Elise mengangguk, “Iya, karena Ayah nggak tega ninggalin Ibu yang lagi sakit. Elise juga sedih
liat Ibu. Kayaknya lebih baik kalau Elise nggak punya Adik daripada lihat Ibu sakit-sakitan begitu.”

Mendapati raut sedih Elise dengan mata yang berkaca-kaca, Aaron mendekat lalu membawa Elise
dalam pelukannya dan menepuk-nepuk punggung gadis kecil itu.
Astaga, lihatlah. Keponakannya itu sangat-sangat menyayangi Ibunya. Masih sekecil itu saja ia seolah
bisa merasakan sakit yang Ibunya rasakan. Dan Aaron tidak bisa membayangkan bagaimana sedih
dan marahnya Elise saat tahu bagaimana penderitaan Ibunya dulu. Aaron bahkan menjadi salah satu
penyebab Athalia menderita. Jika Elise tahu, mungkin ia tidak akan sudi untuk berbicara lagi dengan
Aaron.

“Nggak boleh bicara seperti itu Elise. Apa yang Ibumu alami sekarang itu hal wajar bagi wanita hamil
pada trimenster pertama. Beberapa minggu lagi Ibumu pasti akan sembuh dan beraktivitas seperti
sedia kala.” Kata Aaron menenangkan.

Elise mengangkat wajahnya memandang Aaron, “Benarkah? Elise pikir Ibu akan sakit seperti ini
sampai Adik Elise lahir nanti. Dan Elise dengar, butuh waktu 9 bulan sampai Adik Elise lahir.
Bukankah itu masih sangat lama?”

Aaron tidak bisa menyembunyikan tawanya mendengar ucapan Elise. Jika wanita hamil akan
mengalami mual muntah atau biasa di kenal morning sicks selama 9 bulan lamanya, mungkin hanya
beberapa wanita didunia ini yang mau mengandung.

“Nggak sayang, Ibumu pasti akan sembuh dalam waktu dekat. Percaya sama Paman. Bahkan dulu
saat mengandungmu, Ibumu nggak mengalami mual muntah apalagi sampai sakit seperti sekarang.”

“Benarkah?” tanya Elise dengan mata berbinar.

“Iya.”

“Berarti dulu Elise nggak nyusahin Ibu dong?”

Aaron mengangguk cepat, “Iya.” Mungkin dulu karena kamu tahu bagaimana keadaan Ibumu saat
mengandungmu.

“Syukurlah, mungkin Elise akan merasa bersalah kalau sampai tahu pernah membuat Ibu sesakit
sekarang.”

Merasa gemas, Aaron menangkup wajah Elise lalu memberikan kecupan pada pipinya yang
kemerahan. Andai saja Elise hanya seorang anak yang Kakaknya adopsi, bisa Aaron pastikan ia kan
ikut menjaga dan merawat Elise untuk ia nikahi saat gadis itu besar nanti.
“Ya sudah, sekarang selesaikan PR-mu lalu tidur. Biar besok Paman yang antar kamu sekolah.”

“Janji?” Elise mengulurkan jari kelingkingnya pada Aaron dan dibalas laki-laki itu dengan mengaitkan
jari kelingking mereka.

“Janji.”

PART II

Setelah memastikan Elise memasuki halaman sekolahnya, Aaron kembali ke dalam kemudi mobil
dan siap berangkat ke kantor. Namun saat akan menginjak pedal gas, matanya tidak sengaja
menemukan Ralee yang berjalan keluar melewati gerbang sekolah.

Apa yang wanita itu lakukan di sana? Yang Aaron tahu dari data yang ada, Ralee masih single dan
seorang anak tunggal. Atau mungkin saja dia tengah mengantarkan keponakannya sama seperti
Aaron. Tapi apa bisa sekebetulan itu?

Tunggu, kenapa aku peduli?

Aaron menggelengkan kepala, mengusir keingintahuannya terhadap urusan Sekretarisnya itu. Ia


menjalankan mobilnya, lalu kembali berhenti saat melihat Ralee berdiri di halte bis yang hanya
berjarak beberapa meter dari sekolah.

Menghembuskan nafas pelan, Aaron membuka jendela mobilnya. Menawarkan Ralee untuk ikut
bersamanya.

“Tidak perlu Pak, nanti biar saya pakai bis saja.” Tolak Ralee sopan.
“Kamu bisa terlambat, bagaimana bisa seorang atasan lebih dulu datang ke kantor dari pada
sekretarisnya.” Ujar Aaron, masih berusaha mengajak Ralee untuk ikut bersamanya.

“Maka akan saya usahakan untuk tidak terlambat. Permisi.” Putus Ralee, berjalan cepat menuju bis
yang baru saja berhenti di depannya.

Aaron menghembuskan nafas kasar melihat bis yang ditumpangi sekretarisnya berlalu pergi. Ia
benar-benar tidak mengerti akan sikap Ralee terhadapnya. Jika ia bisa bersikap lebih lunak pada
Richard, kenapa pada Aaron ia tidak bisa. Apa karena reputasi Aaron yang terkenal playboy di
kalangan para wanita di perusahaan.

Ayolah, Aaron hanya sesekali mengajak sekretarisnya untuk bermain. Itu pun tidak semua wanita
yang pernah menjadi sekretarisnya yang bisa menghabiskan malam bersamanya, apalagi karyawan
wanita yang berada beberapa tingkat di bawahnya.

Lagi pula Aaron hanya melakukannya saat ia benar-benar merasa penat karena pekerjaan yang
menumpuk. Baginya, lebih baik mencari wanita asing di kelab yang memiliki kebutuhan yang sama
dengan dirinya. Hanya menghabiskan satu malam bersama, lalu lupakan dan kembali menjadi orang
asing.

Sejauh ini, Aaron juga tidak pernah mendekati wanita selain hanya untuk bersenang-senang. Tapi
sepertinya pengecualian untuk Ralee. Walau awalnya ia mendekati wanita itu dengan niat yang
sama. Namun sekarang niat itu hilang entah ke mana.

Tanpa alasan, ia hanya ingin mengenal dan menjadi lebih dekat dengan Ralee. Ekspresi datar
terkesan dingin yang wanita itu tampakkan cukup mengganggu dan membuat Aaron penasaran.

000

Ralee memasuki rumah yang terlihat sepi dengan tangan yang menenteng wadah tempat ia
menaruh kue yang di titipkan di salah satu Sekolah Dasar bertaraf Internasional. Beruntungnya ia
bisa mengenal salah seorang pekerja kantin di sekolah itu. Hingga membuatnya bisa menitipkan kue
untuk di jual.

Tentu saja dengan harga yang lebih mahal dibandingkan jika ia menjualnya di tempat lain, mengingat
rata-rata penghuni sekolah tersebut berasal dari kalangan orang tingkat atas.
Jika saja Ralee memiliki lebih banyak waktu, ia bahkan ingin menitipkan kue-kuenya di sekolah atau
toko-toko lain. Tidak apa-apa jika harganya lebih murah, ia bisa menggunakan bahan-bahan yang
lebih murah juga untuk mengimbangi pendapatannya.

Hutang yang Ibunya miliki benar-benar membuat Ralee harus bekerja lebih keras dan memutar
kepala untuk bisa melunasinya. Sedang sang pemilik hutang hanya bisa berdiam diri di rumah,
menunggu Ralee memberikannya uang di setiap bulannya.

Jika ditanya, sejujurnya Ralee benar-benar muak dengan hidupnya. Semenjak duduk di bangku SMA,
ia sudah harus bekerja keras untuk ikut melunasi hutang sang Ibu. Dan begitu Ralee mampu
membayar tagihan hutang tiap bulannya, Ibunya memutuskan untuk menyerahkan tanggung jawab
itu pada Ralee.

Ralee ingin memprotes, namun temperamen Ibunya yang mudah sekali marah dan tidak segan untuk
memukulnya membuat Ralee hanya bisa diam. Melawan orang yang telah melahirkan dan
membesarkannya bukanlah hal yang patut ia lakukan.

Ralee menekan sakelar lampu ruang tamu dan teras depan yang belum dinyalakan. Dan menemukan
Ibunya tengah tidur di sofa ruang tamu dengan teve yang masih menyala, menonton Ibunya yang
tertidur lelap.

Ralee menghela nafas, meraih remote teve lalu mematikan benda yang berbentuk persegi panjang
tersebut.

Jika tidak bisa membantu Ralee dalam mencari uang, setidaknya wanita paruh baya itu bisa
membantunya untuk mengurangi biaya tagihan listrik.

Suara ponsel yang berdering dari dalam tas buru-buru Ralee angkat. Sebelah alisnya terangkat, saat
menemukan nama sang bos tertera di sana.

“Iya Pak Aaron, ada yang bisa saya bantu?”

“Kamu membawa berkas laporan kerja sama dengan perusahaan Asianagra?” tanya Aaron di
seberang sana.

“Iya Pak.”
“Sudah kamu selesaikan?”

“Hanya tinggal memperbaiki hasil akhirnya saja Pak.”

“Kembali ke kantor dan selesaikan itu sekarang. Karena pihak mereka meminta untuk bertemu jam 9
nanti. Kamu hanya memiliki waktu 1 jam, jadi cepatlah.”

Embusan nafas kasar keluar dari mulut Ralee saat Aaron memutuskan sepihak sambungan
teleponnya. Ini bahkan hampir jam 7 malam, dan laki-laki itu memintanya untuk kembali ke kantor
untuk bekerja?

Jika saja gaji dari perusahaan itu tidak mampu untuk membantunya melunasi hutang, mungkin
sudah sejak lama Ralee mengundurkan diri dan melamar pekerjaan di perusahaan lain. Dengan bos
yang lebih bisa bersikap profesional tentunya.

Seringnya Richard mengambil cuti, membuar Ralee merasa malas saat harus lebih sering berhadapan
dengan Aaron yang sering kali memberikan tatapan yang tidak bisa wanita itu mengerti.

Dengan wajah tampan serta menjadi salah satu anak konglomerat yang cukup di kenal di negara
mereka, Ralee tentu bisa memahami jika Aaron sering bergonta-ganti perempuan yang bisa di
ajaknya kencan atau sekedar menghabiskan malam bersama.

Tapi bisakah Aaron tidak mengganggu Ralee juga. Ralee paham betul tipe wanita seperti apa yang
sering dekat dengan Aaron. Dan Ralee sama sekali tidak masuk dalam kategori tersebut.

Ralee tidak pernah merasa dirinya menarik. Cara berpakaiannya selalu tertutup. Jika tidak
menggunakan celana panjang, maka ia akan menggunakan rok pencil di bawah lutut yang selalu di
pasangkan dengan kemeja yang sama dengan warna yang berbeda-beda tentunya. Bahkan bisa di
pastikan, bahwa Ralee adalah salah satu wanita paling tidak menarik di tempat kerjanya.

Terlebih lagi, ia sama sekali tidak memiliki waktu untuk memikirkan sorang pria. Apalagi cinta?

Ah, lebih tepatnya mungkin ia tidak tertarik.


Karena yang ada di pikirannya hanya bagaimana agar ia bisa melunasi hutang Ibunya yang sepertinya
tidak akan pernah lunas walau ia menjual ginjalnya sekalipun.

Ralee turun dari taksi yang di tumpanginya dan buru-buru masuk ke dalam kantor. Segera
menyelesaikan pekerjaannya begitu duduk di balik meja yang bertuliskan Sekretaris.

Merasa tugasnya sudah selesai, Ralee masuk ke dalam ruangan Aaron dan memberikan laporan
tersebut.

Bertepatan saat ia membuka pintu, ia melihat Aaron berdiri dari kursi kebesarannya dan memasang
jas yang sebelumnya ia sampirkan di sana.

“Ini Pak, laporannya.”

“Kamu ikut saya.” Perintah Aaron, melirik sekilas berkas yang Ralee ulurkan tanpa berniat
mengambilnya.

“Saya harus ikut Pak?”

“Kamu enggak mau?”

“Bukan, tapi—“ Ralee harus membeli bahan untuk membuat kue besok. Takutnya minimarket
tempatnya biasa membeli bahan-bahan kue tersebut keburu tutup jika ia harus ikut bersama Aaron.

Menunggu lanjutan dari ucapan sekretarisnya yang selalu berwajah datar, sebelah alis Aaron
terangkat. “Kenapa?”

“Tidak apa-apa Pak.”

“Ya sudah, ayo.” Aaron berjalan lebih dulu, dan Ralee mengikuti dari belakang. Tanpa wanita itu
sadari senyum miring yang menghiasi wajah atasannya tersebut.

Sepertinya, rencana Aaron berhasil.


PART 3

Aaron merenggangkan tubuhnya begitu selesai memeriksa beberapa laporan serta berkas dari
beberapa perusahaan yang meminta bekerja sama perusahaannya.

Melirik catatan yang bertuliskan jadwalnya untuk beberapa hari ke depan, alis Aaron mengercit saat
tidak menemukan salah satu laporan yang seharusnya ia butuhkan untuk besok siang.

Aaron keluar dari ruangannya dan mencari berkas tersebut di meja dan laci sekretarisnya. Tidak
menemukan apa yang di carinya, Aaron terlihat berpikir.

Kemungkinan Ralee membawa berkas tersebut untuk ia selesaikan di rumahnya.

Mendapati sebuah ide cemerlang tiba-tiba muncul di kepalanya, Aaron tersenyum tipis.

Ia kembali masuk ke dalam ruangannya, mengambil ponselnya, lalu terlihat menghubungi salah satu
nomor yang tertera dalam kontak. Nomor teman yang cukup dekat dengannya saat kuliah di luar
negeri dulu. Teman yang juga sudah mampu memimpin sebuah perusahaan, sama seperti dirinya.

“Halo, David?”

“Ya Aaron, ada apa? Tumben sekali kamu menghubungiku.”

“Besok siang kita memiliki jadwal pertemuan untuk memperpanjang kerja sama perusahaan bukan?”

“Iya, kenapa? Kamu ingin membatalkan pertemuannya?”

“Ya. Aku ingin membatalkan pertemuan besok dan mengubahnya menjadi sekarang.”

“Kenapa begitu tiba-tiba. Jika memang besok kamu enggak bisa, kita bisa menundanya sampai
lusa.”
“Enggak, enggak. Jadwalku untuk minggu ini sudah penuh. Sekarang atau enggak sama sekali?”

“Ayolah Aaron, apa kamu sedang mengancamku? Aku sedang berada di luar kota.”

“Kamu bisa mengirim perwakilan.”

“Baiklah, baiklah. Kirim waktu serta lokasinya padaku.” Putus David di seberang sana setelah cukup
lama berpikir.

“Oke.”

Aaron memutuskan sambungan telepon dan segera menghubungi Ralee, meminta sekretarisnya itu
untuk kembali ke kantor.

Mendapati wanita dingin itu tidak bisa menolak perintahnya, senyum di wajah Aaron semakin
terukir.

Aaron benar-benar harus bergerak cepat untuk mendekati Ralee. Gara-gara rasa penasarannya pada
sosok itu, ia sampai malas untuk mencari hiburan dan kesenangan di luar sana.

Terlebih saat Ibunya sedang gencar-gencarnya memintanya untuk segera menikah. Dan mengancam
akan mencarikannya jodoh jika Aaron tidak segera menentukan pilihannya sendiri.

Dan untuk saat ini, Ralee satu-satunya kandidat yang cocok untuk di jadikannya calon istri.
Mengingat hanya wanita itu yang membuatnya tertarik setelah sekian lama hatinya beristirahat.

000

Aaron dan Ralee bergantian menjabat tangan seorang laki-laki perwakilan dari Asianagra, kemudian
pamit untuk pergi lebih dulu.

“Jika tidak ada yang perlu Bapak kerjakan lagi. Apa saya boleh pulang?” Tanya Ralee saat mereka
sudah berada di parkiran Restoran yang cukup luas.
“Tentu, masuk mobil. Saya antarkan.”

Ralee menggeleng cepat. “Tidak perlu Pak. Saya bisa pulang sendiri. Selamat malam. Permisi.” Ia
membungkuk hormat. Namun begitu membalik tubuh untuk pergi, Aaron mencegat pergelangan
tangannya. Membuat wanita itu cukup terkejut dan segera menarik tangannya.

“Ini sudah hampir larut malam. Mau pulang pakai apa kamu?” Ujar Aaron.

“Pasti akan ada taksi yang melintas, saya—“

“Jangan keras kepala, cepat naik. Saya enggak akan macam-macam, jika itu yang kamu takutkan.”
Aaron sadar jika dirinya sering kali tidur dengan wanita yang berbeda-beda, namun sejauh ini ia tidak
pernah ada masalah dengan wanita-wanita tersebut. Saat Aaron ingin mengakhiri, maka wanita-
wanita yang pernah di kencaninya walau hanya semalam hanya bisa menurut tanpa bisa
membantah. Siapa yang berani mencari gara-gara dengan sosok Aaron?

Laki-laki dingin yang hanya akan terasa hangat di ranjang. Laki-laki yang memiliki segalanya, dan
mampu melakukan apa pun yang ia inginkan.

“Ayo cepat naik.” Perintah Aaron lagi, dan kali ini Ralee tidak bisa menolak saat sempat melirik arloji
di pergelangan tangannya. Sebentar lagi minimarket yang biasa tempatnya membeli bahan kue akan
tutup.

Selama di perjalanan, Ralee memandang ke arah luar jendela mobil.

Ini untuk pertama kalinya Ralee berurusan dengan laki-laki di luar urusan pekerjaan setelah sekian
lama. Ya, mengantar pulang dirinya tidaklah masuk dalam ranah pekerjaan. Terlebih saat masih ingat
jelas bagaimana Aaron mencoba untuk menggodanya saat ia masih baru menjadi sekretaris dulu.
Bahkan hingga sekarang, Aaron kadang memandangnya dengan cara yang berbeda.

“Rumah kamu di mana?” tanya Aaron memecah keheningan yang bertahan hingga hampir 1 jam
lamanya.

Semua hal yang ingin Aaron bicarakan hanya bisa ia tahan saat menyadari Ralee yang seperti tidak
menganggap keberadaannya. Sesuatu yang masih belum Aaron pahami, saat setidaknya Ralee
bersikap lebih ramah karena laki-laki itu bersedia mengantarnya pulang.
Tapi kan Aaron yang memaksa!

“Tolong berhenti di depan minimarket yang sebelah kiri jalan sana.” Jawab Ralee saat melihat
minimarket biasa tempatnya membeli bahan kue masih buka.

Aaron menepikan mobilnya, “Ada yang perlu kamu beli?”

Ralee mengangguk.

“Saya tunggu di sini.”

“Tidak perlu Pak Aaron, rumah saya dekat dari sini. Saya bisa berjalan kaki.”

“Enggak apa-apa. Saya antar.”

“Mobil Anda tidak bisa masuk gang rumah saya. Terima kasih atas tumpangannya. Selamat malam.”

Aaron tidak lagi membalas karena Ralee buru-buru keluar dan berjalan memasuki minimarket.

Gadis yang menarik. Dan aku semakin penasaran.

Anda mungkin juga menyukai