Anda di halaman 1dari 3

Clinical pathway atau jalur klinis adalah sebuah pedoman yang digunakan untuk melakukan tindakan

klinis berbasis bukti pada fasilitas layanan kesehatan.[1] Clinical pathway dikenal juga dengan istilah
lain seperti critical care pathway, integrated care pathway, coordinated care pathway atau
anticipated recovery pathway dan dibuat dengan cara membaurkan pedoman klinik umum ke
protokol lokal yang dapat diaplikasikan di fasilitas pelayanan kesehatan setempat.[2]

Amanat dari pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan clinical pathway ditetapkan pada undang-
undang no. 29 tahun 2004 pasal 44 pada ayat:

Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar
pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi

Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan menurut jenis dan strata sarana
pelayanan kesehatan

Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri[3]

shutterstock_127264784-min (1)

Pada UU no. 29 tahun 2004 pasal 49 disebutkan juga bahwa “setiap dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan
kendali biaya”. Pada pasal ini dijelaskan juga audit medis dapat dilakukan untuk tercapainya kendali
mutu dan kendali biaya oleh organisasi profesi.[3]

Manfaat Clinical Pathway Bagi Pelayanan Kesehatan

Manfaat yang diharapkan dari clinical pathways selain adanya peningkatan mutu pelayanan yang
standar berdasarkan studi kedokteran berbasis bukti, adalah efektivitas biaya. Pada era Jaminan
Kesehatan Nasional yang menggunakan sistem DRG-Casemix (dengan kode penyakit berdasarkan
ICD 10 dan ICD 9-CM dan prosedur tindakan dan biaya), clinical pathway dapat digunakan sebagai
salah satu alat untuk melakukan audit medis yang tujuannya berujung pada peningkatan mutu
pelayanan. Pemberian vitamin K pada bayi yang baru saja lahir merupakan contoh bahwa clinical
pathway dapat berdampak pada adanya revisi Standar Pelayanan Medis (SPM) atau Standar
Prosedur Operasional (SPO).[2,4]

Penyusunannya yang berbasis bukti dan terstandar, implementasi clinical pathway diharapkan dapat
mengurangi biaya perawatan dan fasilitas, menurunkan durasi perawatan (length of stay dan early
discharge), meningkatkan indeks kualitas hidup, peningkatan keluaran klinis (clinical outcome) dan
mengurangi tindakan yang tidak perlu.[2]
Secara khusus, tujuan dari implementasi clinical pathway adalah:

Membuat “best practice” yang dapat diimplementasikan di fasilitas pelayanan kesehatan setempat

Pembuatan standar lama perawatan, pemeriksaan dan prosedur klinis

Penyusunan strategi untuk mencapai efektivitas pelayanan

Pemaparan tujuan umum pelayanan dan peran kepada seluruh staf yang terlibat

Sebagai bahan untuk dokumentasi, analisis dan evaluasi

Sebagai bahan untuk edukasi kepada pasien tentang perkiraan prosedur-prosedur apa saja yang
akan dilakukan[2]

Implementasi Clinical Pathway di Pelayanan Kesehatan

Standar pelayanan pada tingkat nasional dibuat dengan adanya Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) dan kemudian diadaptasi menjadi Panduan Praktis Klinis (PPK) yang
menyesuaikan dengan keadaan setempat. Clinical pathway yang merupakan pelaksanaan langkah
demi langkah ini dapat dimasukkan ke dalam PPK.[5]

Clinical pathway harus dimiliki oleh Rumah Sakit dalam memenuhi Standar Akreditasi Rumah Sakit
versi KARS 2018. Tidak hanya dokumen clinical pathway saja, implementasinya dalam pengendalian
mutu dan biaya menjadi faktor yang penting[6]. Proses pembuatan clinical pathway memerlukan
kerja sama antar departemen yang baik seperti dari tim medis (dokter), keperawatan dan farmasi.
Perpaduan ini kemudian disesuaikan dengan algoritma atau panduan berbasis bukti dari organisasi
profesi dan literatur, Standar Pelayanan Medis, Standar Prosedur Operasional dan Daftar Standar
Formularium untuk tindakan dan pengobatan. [4]

Salah satu contoh Rumah Sakit yang telah menetapkan clinical pathway adalah RSUP Prof Dr R. D.
Kandou, Manado. Prioritas pembuatan clinical pathway pada RS ini dilakukan berdasarkan jumlah
kasus yang banyak (high volume), risiko tinggi (high risk), dan biaya tinggi atau perlu sumber daya
yang banyak (high cost). Berdasarkan hal tersebut, RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou, Manado telah
menetapkan 5 clinical pathway, yaitu Dengue Shock Syndrome (anak), Penyakit Ginjal Kronik
(penyakit dalam), Preeklampsia Berat (obstetri dan ginekologi), Benign Prostate Hypertrophy
(bedah) dan Miokard Infark Akut (kardiologi). Pengawasan clinical pathway dilakukan setiap 3 bulan
sekali secara berkala dan berkelanjutan.[7]

Dalam hubungannya dengan pembiayaan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan, RSUP Sanglah, Denpasar menggunakan clinical pathway dan mengimplementasikannya
sehingga tindakan-tindakan yang diperlukan telah tercantum biayanya untuk setiap jenis penyakit
yang ada dalam clinical pathway. Dokter yang menangani pasien yang ditanggung oleh BPJS
Kesehatan harus mengikuti clinical pathway ini. Biaya untuk tindakan-tindakan tersebut sudah
“dianggarkan” sehingga tidak melebihi biaya yang ditanggung oleh BPJS kesehatan dan tidak
menimbulkan kerugian bagi Rumah Sakit dalam segi biaya. [8]

Contoh Clinical Pathway di Pelayanan Kesehatan

Perbedaan Pedoman Praktik Klinis (PPK) dengan clinical pathway adalah pada PPK berisi tentang
informasi klinis dari suatu penyakit seperti definisi, anamnesis, pemeriksaan fisik, kriteria diagnosis,
diagnosis kerja, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, terapi, edukasi, prognosis dan indikator
kesembuhan, sementara clinical pathway berisi tentang aplikasi dari PPK tersebut dan diintegrasikan
dengan kode ICD 10 dan ICD 9-CM dan biayanya.[9]

Berikut ini adalah salah satu contoh dari clinical pathway yang dibuat oleh penulis dan diadaptasi
dari panduan yang dikeluarkan oleh organisasi profesi Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia untuk Infark Miokard Akut tanpa ST elevasi / NSTEMI akut.[9]

Anda mungkin juga menyukai