Anda di halaman 1dari 20

PANDUAN

PEMANTAUAN LIMA (5) AREA KLINIK


( CLINICAL PATHWAYS )
BADAN LAYANAN
UMUM DAERAH
RUMAH SAKIT
KOTA BANJAR

BLUD RUMAH SAKIT UMUM KOTA BANJAR


TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan visi BLUD Rumah Sakit Kota Banjar yaitu mewujudkan rumah sakit
yang Efektif, Maju, Agamis dan Sejahtera (EMAS) tahun 2018 dengan misi
menyelenggarakan pelayanan prima yang efektif kepada semua pelanggan, maka aktifitas
BLUD Rumah Sakit Kota Banjar fokus kepada mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
Sebagai bentuk nyata dari peran dan keinginan tersebut, maka BLUD Rumah Sakit Kota
Banjar mempersiapkan strategi untuk mewujudkan rumah sakit yang efektif dan maju
melalui akreditasi rumah sakit. Berdasarkan standar PMKP 1.2 yang berbunyi Pimpinan
menetapkan proses yang dijadikan prioritas untuk dilakukan evaluasi dan kegiatan
peningkatan mutu dan keselamatan pasien yang harus dilaksanakan. Untuk maksud
dan tujuan ini pimpinan BLUD Rumah Sakit Kota Banjar menetapkan prioritas. BLUD
Rumah Sakit Kota Banjar menetapkan fokus kegiatan pengukuran dan perbaikan mutu
dengan memprioritaskan proses-proses primer yang bersifat kritis, beresiko tinggi dan
rawan masalah yang berhubungan langsung dengan mutu perawatan dan keselamatan
lingkungan.
Berdasarkan standar PMKP 2, BLUD Rumah Sakit Kota Banjar membuat
rancangan baru dan melakukan modifikasi dari sistem dan proses sesuai prinsip
peningkatan mutu yang berhubungan dengan standar PMKP 2.1 tentang penyusunan
Clinical practice guidelines (Pedoman Praktik Klinis / Standar Pelayanan Medis (SPM) /
Standar Pelayanan Keperawatan (SPK), Clinical Pathways / (CP/alur klinis) dan atau
protokol klinis digunakan untuk memandu perawatan klinis / Standar Prosedur Operasional
(SPO). Tujuan penyusunan area prioritas ini adalah :
1. Standarisasi proses perawatan klinis;
2. Mengurangi risiko yang muncul dalam proses perawatan, khususnya yang berhubungan
dengan langkah-langkah keputusan kritis;
3. Menyediakan perawatan klinis secara tepat waktu dan efektif dengan sumber daya yang
ada secara efisien;
4. Secara konsisten menyediakan perawatan bermutu tinggi dengan menggunakan praktik-
praktik yang sudah terbuktil;
BLUD Rumah Sakit Kota Banjar menetapkan lima bidang prioritas sebagai fokus
yang diintegrasikan berdasarkan diagnosis pasien, prosedur, populasi atau penyakit. Di
bidang-bidang tersebut guidelines (pedoman), pathway dan protokol berdampak terhadap
aspek mutu dan keselamatan perawatan pasien; juga dapat mengurangi terjadinya variasi
hasil yang tidak diinginkan. BLUD Rumah Sakit Kota Banjar menetapkan 5 area prioritas
berdasarkan hasil rapat pada bulan Maret tahun 2014 oleh direktur BLUD Rumah Sakit
Kota Banjar, wakil direktur pelayanan, ketua komite medik, kepala bidang perawatan serta
unit terkait. Lima area prioritas tersebut terdiri dari area pelayanan neurologi, anak, bedah,
obgyn dan penyakit dalam. Salah satunya implementasi melalui Clinical Pathway (CP)
yang merupakan alogaritma perawatan pasien dengan tujuan mengendalikan variasi kasus,
meningkatkan efisiensi dan memperbaiki mutu pelayanan medis. Dalam rangka kendali
mutu dan biaya terkait keselamatan pasien maka telah diputuskan lima area klinis CP yang
menjadi prioritas yaitu pneumonia, DHF, appendictomy, stroke dan preeklampsia berat
(PEB).
BLUD Rumah Sakit Kota Banjar akan melaksanakan akreditasi rumah sakit yang
akan dilaksanakan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Pelayanan yang sangat
diperhatikan oleh KARS adalah pelayanan yang benar-benar berbasis pada pasien (Patient
Centered Care), untuk itu penyelenggaraan clinical pathway harus tetap dikembangkan dan
dilaksanakan monitoring, audit dan review demi memaksimalkan luaran yang dihasilkan
dari pelayanan tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka disusunlah kebijakan dan strategi
pelaksanaan clinical pathway yang akan memberikan gambaran dengan jelas tentang teknis
penyelenggaraan clinical pathway agar tercapainya tujuan sesuai amanat Undang-Undang
No 29 tahun 2004 pasal 49 tentang kendali biaya dan kendali mutu pada pelayanan medis.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum : Meningkatkan pelayanan kesehatan melalui upaya pemantauan
area klinis prioritas di BLUD Rumah Sakit Kota Banjar secara efektif dan efisien
agar tercapai derajat kesehatan yang optimal
2. Tujuan Khusus :
- Tercapainya penerapan clinical pathway yang efektif dan efisien di RSUD Kota
Banjar.
- Agar masalah-masalah yang timbul pada lima area klinis ini dapat diperbaiki
sebagaimana mestinya sehingga pelayanan medis menjadi lebih bermutu dan
aman

C. Ruang Lingkup dan Tata Urut


1. Bab I Pendahuluan
2. Bab II Definisi Operasional
3. Bab III Ruang lingkup
4. Bab IV Tata laksana
5. Bab V Dokumentasi
6. Bab VI Penutup

D. Landasan.
1. UU No.44 Tahun 2009 tentang rumah sakit.
2. Permenkes No. 1691 tentang keselamatan pasien rumah sakit.
BAB II
DEFINISI OPERASIONAL

A. Definisi Clinical Pathway


Clinical Pathway (CP) adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang
merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan
medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam
jangka waktu tertentu selama di rumah sakit.
Clinical Pathway (CP) adalah alat untuk melaksanakan pelayanan medis yang
terpadu untuk mencapai hasil pelayanan yang diharapkan dengan mempertimbangkan lama
waktu perawatan. Sebagai blue print dalam melaksanakan pelayanan medis.
Clinical Pathway (CP) adalah gambaran algoritma perawatan pasien dan tujuan
mengurangi variasi dan biaya perawatan, meningkatkan efisiensi dan memperbaiki kualitas
perawatan pasien.
Clinical Pathway (CP) adalah pelayanan medis yang berpihak pada pasien dan
menguntungkan bagi pasien, keluarga bahkan kepada team work, memberi peluang untuk
melaksanakan evaluasi serta proses perbaikan pelayanan medis yang terus menerus.
Clinical Pathway (CP) adalah penentuan waktu, kategori pelayanan, pengendalian
variasi pelayanan dan sudah tentu luaran dari pelayanan itu sendiri. Dengan konsep
pelayanan ini maka diharapkan bahwa pelayanan benar-benar berpihak kepada pasien
dengan berbagai kepastian hari rawat dan yang terpenting adalah kepastian biaya. Tujuan
penentuan Clinical Pathway (CP) adalah untuk lebih mengefisiensikan pelayanan medis
dan menguarani sebanyak mungkin variasi dan tentu berdampak pada pengendalian biaya.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Clinical Pathway
(CP) adalah suatu alur proses kegiatan pelayanan pasien yang spesifik untuk satu penyakit
atau tindakan tertentu, mulai dari pasien masuk sampai pasien pulang yang merupakan
integrasi dari pelayanan medis, pelayanan keperawatan, pelayanan gizi, farmasi dan
pelayanan kesehatan lainnya, tanpa Clinical Pathway (CP) maka sistem INA-CBG tidak
akan berjalan sesuai yang diinginkan. Panduan ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk
menetapkan biaya yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan dan efisiensi pelayanan
kesehatan di rumah sakit sehingga masyarakat mendapatkan kepastian biaya yang harus
dibayarkan dan menghindari tindakan yang berlebihan yang akhirnya berdampak pada
peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
B. Tujuan Kegiatan
Penyelenggaraan Clinical Pathway bertujuan untuk melaksanakan perubahan
medical technology dalam pelayanan medis yang berdampak pada penghematan biaya,
mengurangi variasi pelayanan dan peningkatan kualitas pelayanan (kendali biaya dan
kendali mutu pada pelayanan medis, UU No. 29 tahun 2004 pasal 49).
Tujuan implementasi Clinical Pathway sebagai berikut:
1. Memilih pola praktek terbaik dari berbagai macam variasi pola praktek
2. Menetapkan standar yang diharapkan mengenai lama perawatan dan penggunaan
prosedur klinik yang seharusnya
3. Menilai hubungan antara berbagai tahap dan kondisi yang berbeda dalam suatu proses
dan menyusun strategi untuk mengkoordinasi agar dapat menghasilkan pelayanan yang
lebih cepat dengan tahap yang lebih sedikit
4. Memberikan informasi kepada seluruh staf yang terlibat mengenai tujuan umum yang
harus tercapai dari sebuah pelayanan dan apa peran mereka dalam proses tersebut
5. Menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan menganalisa data proses
pelayanan sehingga penyedia layanan dapat mengetahui seberapa sering dan mengapa
seorang pasien tidak mendapatkan pelayanan sesuai standar.
6. Mengurangi beban dokumentasi klinik
7. Meningkatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada pasien (misalnya
dengan menyediakan informasi yang lebih tepat tentang rencana pelayanan).

C. Prinsip Penyusunan Clinical Pathway


Berbagai proses dapat dilakukan untuk menyusun Clinical Pathway, salah satunya
terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:
1. Pembentukan tim penyusun Clinical Pathway
Tim penyusun Clinical Pathway terdiri dari staf multidisiplin dari semua tingkat dan
jenis pelayanan. Bila diperlukan, tim dapat mencari dukungan dari konsultan atau
institusi diluar RS seperti organisasi profesi sebagai narasumber. Tim bertugas untuk
menentukan dan melaksanakan langkah-langkah penyusunan Clinical Pathway
2. Identifikasi key players
Identifikasi key players bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang terlibat dalam
penanganan kasus atau kelompok pasien yang telah ditetapkan dan untuk merencanakan
focus group dengan key players bersama bersama dengan pelanggan internal dan
eksternal.
3. Pelaksanaan site visit di rumah sakit
Pelaksanaan site visit di rumah sakit bertujuan untuk mengenal praktik yang sekarang
berlangsung, menilai sistem pelayanan yang ada dan memperkuat alasan mengapa
Clinical Pathway perlu disusun. Jika diperlukan site visit internal perlu dilanjutkan
dengan site visit eksternal setelah sebelumnya melakukan identifikasi partner
benchmarking. Hal ini juga diperlukan untuk mengembangkan ide.
4. Studi literatur
Studi literatur diperlukan untuk menggali pertanyaan klinis yang perlu dijawab dalam
pengambilan keputusan klinis dan untuk menilai tingkat dan kekuatan bukti ilmiah.
Studi ini sebaiknya menghasilkan laporan dan rekomendasi tertulis
5. Diskusi kelompok terarah
Diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk
mengenal kebutuhan pelanggan (internal dan eksternal) dan menyesuaikan dengan
kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan tersebut serta untuk mengenal
kesenjangan antara harapan pelanggan dan pelayanan yang diterima. Lebih lanjut
diskusi kelompok terarah juga perlu dilakukan untuk memberi masukan dalam
pengembangan indikator mutu pelayanan klinis dan kepuasan pelanggan serta
pengukuran dan pengecekan.
6. Penyusunan pedoman klinik
Penyusunan pedoman klinik dilakukan dengan mempertimbangkan hasil site visit, hasil
studi literatur (berbasis bukti ilmiah) dan hasil diskusi kelompok terarah. Pedoman
klinik ini perlu disusun dalam bentuk alur pelayanan untuk diketahui juga oleh pasien.
7. Analisis bauran kasus
Analisis bauran kasus dilakukan untuk menyediakan informasi penting baik pada saat
sebelum dan setelah penerapan Clinical Pathway, meliputi Length Of Stay, biaya per
kasus, obat-obatan yang digunakan, tes diagnosis yang dilakukan, intervensi yang
dilakukan, praktisi klinis yang terlibat dan komplikasi.
8. Menetapkan sistem pengukuran proses dan outcome
Contoh ukuran-ukuran proses antara lain pengukuran fungsi tubuh dan mobilitas,
tingkat kesadaran, temperatur, tekanan darah, fungsi paru dan skala kesehatan pasien
9. Mendisain dokumentasi Clinical Pathway
Penyusunan dokumentasi Clinical Pathway perlu memperhatikan format Clinical
Pathway, ukuran kertas, tepi dan perforasi untuk filing. Perlu diperhatikan bahwa
penyusunan dokumentasi ini perlu mendapatkan ratifikasi oleh instalasi rekam medik
untuk melihat kesesuaian dengan dokumentasi lain. Setelah Clinical Pathway tersusun,
perlu dilakukan uji coba sebelum akhirnya diimplementasikan di rumah sakit. Saat uji
coba dilakukan penilaian secara periodik kelengkapan pengisian data dan diikuti dengan
pelatihan kepada para staf untuk menggunakan Clinical Pathway tersebut. Lebih lanjut
perlu juga dilakukan analisis variasi dan penelusuran mengapa praktek di lapangan
berbeda dari yang direkomendasikan Clinical Pathway. Hasil analisis digunakan untuk
mengidentifikasi variasi umum dalam pelayanan, memberi sinyal kepada staf akan
adanya pasien yang tidak mencapai perkembangan yang diharapkan, memperbaiki
Clinical Pathway dengan menyetujui perubahan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang
dapat diteliti lebih lanjut. Hasil analisis variasi dapat menetapkan jenis variasi yang
dapat dicegah dan yang tidak dapat dicegah untuk kemudian menetapkan solusi bagi
variasi yang dapat dicegah. (Variasi yang tidak dapat dicegah dapat berasal dari
penyakit penyerta yang menyebabkan pelayanan menjadi kompleks bagi seorang
individu).

BAB III
RUANG LINGKUP

Ruang lingkup dari kegiatan pokok lima (5) area klinis prioritas adalah pemantauan
terhadap kasus-kasus klinik yang berpedoman pada penerapan Standar Pelayanan Medis
(SPM) dan Standar Pelayanan Operasional (SPO). Adapun tinjauan klinis dari lima (5) area
prioritas tersebut adalah sebagai berikut;

1. Neurologi
Kasus Stroke
Alasan dan Implikasi (latar Stroke merupakan salah satu masalah kesehatan utama. Stroke
belakang masalah) merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
jantung dan kanker. Stroke menjadi penyebab kecacatan nomor
satu di seluruh dunia. Laporan WHO (2011) memperlihatkan
bahwa penyakit tidak menular saat ini merupakan penyebab
kematian utama di seluruh dunia. Penyakit pembuluh darah
(stroke dan penyakit kardovaskuler), kanker dan penyakit paru
kronik merupakan penyebab kematian utama dan bertanggung
jawab 63% dari seluruh kematian. Stroke menjadi penyebab
kematian peringkat ketiga setelah penyakit jantung dan kanker,
bahkan di Indonesia menjadi penyebab kematian peringkat
pertama di rumah sakit sejak tahun 1996 hingga 1999.
Peningkatan kejadian kematian akibat penyakit pembuluh darah
dijumpai di negara maju dan negara berkembang (WHO, 2011).
Hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2007 menyebutkan
bahwa angka kematian akibat infark serebral adalah 11,2% pada
pasien yang dirawat di RS. Stroke merupakan penyebab kematian
tertinggi pada pasien yang dirawat di RS (5,24% dari seluruh
kematian). (Depkes 2008).
Meningkatnya usia harapan hidup didorong oleh keberhasilan
pembangunan nasional dan berkembangnya modernisasi
menyebabkan usia lanjut bertambah dan terjadi perubahan pola
hidup yang berpotensi meningkatkan risiko stroke.
Penatalaksanaan stroke menjadi masalah yang sangat penting
karena memerlukan pengorbanan baik dari aspek moril maupun
materiil dan akhirnya mengakibatkan biaya yang sangat besar,
maka diperlukan penatalaksanaan komprehensif stroke yang lebih
efektif dan efisien sehingga mendapatkan perbaikan kualitas
hidup, mencegah kematian dan kecacatan.
CP Ada (terlampir)
SPO Ada (terlampir)
Evidence (data dasar) Menurut data DEPKES, jumlah stroke yang dirawat di rumah
sakit mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. RS dr
Ciptomangunkusumo Jakarta, sampai tahun 1995 rata-rata
dirawat sebanyak 726 penderita stroke dengan case fatality rate
rata-rata 37,2%, sedangkan pada tahun 2000 terdapat 1000
penderita stroke dirawat. RSUP Djamil Padang tahun 1995
jumlah 37 pada tahun 1999 menjadi 279 penderita; RSUD
Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 1995 sebanyak 227, pada
tahun 1999 sebanyak 748 penderita stroke dan setelah didirikan
stroke unit pada tahun 2007 sampai sekarang, dapat menurunkan
angka kematian yaitu jumlah pasien stroke iskemik sebanyak 135
orang dengan angka kematian sebesar 15,6%, tahun 2008 jumlah
pasien meningkat sebanyak 242 orang dengan angka kematian
sebanyak 7,83%, tahun 2009 dengan angka kematian sebesar
3,26 % dan tahun 2010 sebanyak 3,80%. Secara keseluruhan
kejadian stroke (insiden) sebesar 51,6/100.000 penduduk, angka
kematian berdasarkan umur adalah sebesar 15,9% (umur 45-55
tahun), 26,8% (umur 55-64 tahun) dan 23,5% (umur > 65 tahun.
Angka kecacatan sebesar 1,6% tidak berubah, 4,3% semakin
memberat. Penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dan
profil usia dibawah 45 tahun sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun
sebesar 54,2% dan usia diatas 65 tahun sebesar 33,5%. Stroke
juga menyerang usia produktif dan usia lanjut yang berpotensi
menimbulkan masalah baru dalam pembangunan nasional di
kemudian hari.
Ukuran Kinerja Klinis Penatalaksanaan stroke sesuai dengan guideline
Sumber Standar pelayanan stroke unit, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta, 2004 dan Guideline stroke 2011

2. Penyakit Dalam
Kasus DHF (Dengue Haemorragic Fever)
Alasan dan Implikasi (latar Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit demam akut
belakang masalah) dengan manifestasi perdarahan dalam berbagai stadia yang
disebabkan oleh virus dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk
aedes aegypty dan aedes albopictus sesuai kriteria WHO untuk
Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit DBD merupakan
salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat dan endemis di sebagian Kota/kota di Indonesia.
Hampir setiap tahun terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di
beberapa daerah yang biasanya terjadi pada musim penghujan,
namun sejak awal tahun 2011 ini sampai bulan Agustus 2011
tercatat jumlah kasus relatif menurun. DBD pertama kali
dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya dengan 48
penderita dan angka kematian (CFR) sebesar 41,3%. Dewasa ini
DBD telah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia
(Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis-Dit PPBB-Ditjen PP
dan PL- Kementerian Kesehatan RI).
WHO melaporkan lebih dari 2,5 milyar orang dari 2/5 populasi
dunia saat ini berisiko terinveksi virus dengue.
CP Ada (terlampir)
SPO Ada (terlampir)
Evidence (data dasar) Kasus DBD di Indonesia semakin meluas. Jumlah Kota/kota
yang wilayahnya endemis DBD semakin meningkat. Tahun 2007
ditemukan 350 Kota/kota menjadi 464 Kota/kota pada tahun
2010. Kasus DBD terus meningkat dalam kurun lima tahunan.
Tahun 2008 tercatat 117.830 kasus dan 953 kasus kematian, di
tahun 2010 meningkat menjadi 156.086 kasus dengan 1.358
kasus kematian. Di provinsi DKI tahun 2011 tercatat 3603 kasus
DBD, jumlah ini menurun dibanding tahun sebelumnya, tahun
2010 tercatat 12.639 kasus.
Ukuran Kinerja Klinis Penatalaksanaan DHF sesuai dengan guideline (terlampir)

3. Bedah
Kasus Appendictomy
Alasan dan Implikasi (latar Appendiksitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis dan
belakang masalah) merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit
ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara
10 sampai 30 tahun.
Penatalaksanaan appendiksitis dilakukan dengan appendictomy
yaitu suatu tindakan pembedahan dengan mengangkat appendiks.
Hal ini harus segera dilakukan tindakan bedah karena setiap
keterlambatan akan berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas, yaitu dapat menyebabkan terjadinya perforasi atau
ruptur pada dinding appendiks. Bedah appendiks juga memiliki
dampak yang dapat membahayakan bagi pasien pasca operasi
khususnya pada appendisitis yang sudah perforasi dan
menyebabkan sepsis rongga abdomen. Pada appendisitis yang
sudah perforasi dan menyebabkan sepsis rongga abdomen. Pada
appendisitis yang sudah perforasi dapat menimbulkan komplikasi
infeksi luka operasi, bocornya (leakage) jahitan appendiks dan
kematian karena sepsisnya yang berat. Namun demikian, bahaya
tersebut dapat dicegah dengan penatalaksanaan yang cepat dan
menggunakan antibiotik profilaksis spektrum luas.
CP Ada (terlampir)
SPO Ada (terlampir)
Evidence (data dasar) Insiden appendiktomi akut di negara maju lebih tinggi daripada
di negara berkembang. Namun dalam tiga-empat dasawarsa
terakhir kejadiannya menurun secara bermakna yaitu 100 kasus
tiap 100.000 populasi menjadi 52 tiap 100.000 populasi. Kejadian
ini mungkin disebabkan perubahan pola makan, yaitu negara
berkembang berubah menjadi makanan kurang serat. Menurut
data epidemiologi apendisitis akut, meningkat pada puberitas dan
mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an. Insiden
apendisitis sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada
masa prapuber, sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda
rationya menjadi 3 : 2, kemudian angka yang tinggi ini menurun
pada pria.
Ukuran Kinerja Klinis Apendisitis kronis : direncanakan apendiktomi elektif,
disesuaikan jadwal elektif
Apendisitis akut: direncanakan apendiktomi segera (cito
emergency)
Periapendikuler abses: insisi, drainase
Periapendikuler infiltrate: pertama dirawat konservatif,
medikamentosa yang adekuat, bila masa mengecil ukuran < 3cm
atau menghilang, dilakukan apendiktomi dengan insisi
paramedian
Apendisitis perforata disertai tanda-tanda peritonitis local:
dilakukan apendiktomi dengan insisi gradiron atau transversal
pada apendisitis anak
Bila ditemukan tanda-tanda peritonitis umum, dilakukan
laparatomi dengan insisi median
Sumber 1. Craig Sandy, Lober Williams, Appendicitis Acute, diakses
dari www.emedicine.com, tanggal 23 November 2010
2. Katz S Michael, Tucker Jeffry. Appendicitis. Diakses dari:
www.emedicine.com, tanggal 23 November 2010

4. Anak
Kasus Pneumonia
Alasan dan Implikasi (latar Pneumonia merupakan pembunuh utama anak dibawah usia lima
belakang masalah) tahun (balita) di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan
penyakit lain seperti AIDS, malaria dan campak. Lebih dari 2 juta
balita dari 9 juta kematian balita di dunia meninggal setiap tahun
akibat pneumonia atau sama dengan 4 balita meninggal setiap
menitnya. Hasil laporan Riset Kesehatan Dasar di Indonesia
tahun 2007, angka kematian balita per 1000 kelahiran adalah 44
balita. Angka tersebut belum memenuhi target MDGs yakni
sebesar 32 kematian balita.
Beberapa penelitian guna menekan angka kematian balita akibat
pneumonia telah dilakukan. Salah satu penelitian mengenai
kejadian pneumonia yang telah dilakukan adalah penelitian
tentang Pemetaan Penderita Pneumonia di Surabaya dengan
Menggunakan Geostatistik yang memberikan kesimpulan bahwa
berdasarkan analisa kriging, pusat penyebaran pneumonia berada
di daerah Tubanan dan Sukomanunggal yang keduanya terletak
di wilayah Surabaya Barat dengan radius penyebaran penyakit
pneumonia sekitar 600 meter persegi (Hartanto, Halim, &
Yuliana, 2010). Selain itu Pamungkas (2012) juga meneliti
mengenai kejadian penyakit pneumonia di empat provinsi di
Wilayah Indonesia Timur dan diperoleh kesimpulan bahwa
variabel yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada
balita adalah riwayat terkena campak, pekerjaan ibu, serta
variabel karakteristik sosial ekonomi yang ditinjau dari
pengeluaran rumah tangga.
CP Ada (terlampir)
SPO Ada (terlampir)
Evidence (data dasar) Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan bahwa prevalensi nasional ISPA adalah sebesar
25,5%, angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada bayi
sebesar 2.2 % dan pada balita sebesar 3% sedangkan angka
kematian (mortalitas) pada bayi 23,8% dan angka kematian
(mortalitas) pada balita sebesar 15,5% (Kementerian Kesehatan
RI, 2010).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011, Provinsi
Jawa Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan
realisasi penemuan penderita pneumonia pada balita yang cukup
tinggi, yakni sebanyak 73.786 kejadian, dengan rincian 69.032
kasus pneumonia dan 4.754 kasus pneumonia berat pada balita.
Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat kedua di Indonesia
setelah Provinsi Jawa Barat dengan jumlah kejadian pneumonia
sebanyak 168.140 dan jumlah penderita pneumonia pada balita di
Indonesia sebanyak 480.033 balita. Angka kematian balita di
Jawa Timur akibat pneumonia menduduki peringkat ke 6 di
Indonesia yakni sebanyak 54 balita. Lima provinsi dengan jumlah
kematian balita akibat pneumonia terbanyak adalah Provinsi
Banten sebanyak 115 balita, Provinsi Nusa Tenggara Barat
sebanyak 83 balita, Provinsi Jawa Barat sebanyak 76 balita,
Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 64 balita dan Provinsi
Sumatera Utara sebanyak 56 balita (Kementerian Kesehatan RI,
2012)..
Ukuran Kinerja Klinis Penatalaksanaan pneumonia sesuai dengan guideline

5. Obgyn
Kasus Pre-eklampsia berat (PEB)
Alasan dan Implikasi (latar Preeklamsia sampai saat ini masih merupakan masalah obstetri
belakang masalah) dan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan
janin selain perdarahan dan infeksi. Pre-eklamsia sendiri adalah
penyakit dengan tanda-tanda hipertensi yang timbul setelah 20
minggu kehamilan dan disertai dengan proteinuria.
Menurut World Health Organization (WHO), salah satu
penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin adalah pre-
eklamsia berat (PEB), angka kejadiannya berkisar antara 0,51%-
38,4%. Di negara maju angka kejadian preeklampsia berat
berkisar 6-7%. Sedangkan angka kematian ibu yang
diakibatkan pre-eklampsia berat dan eklampsia di negara
berkembang masih tinggi (Mureza oktaviansyah, 2012)
Di Indonesia, pre-eklamsia berat merupakan penyebab dari 30%-
40% kematian maternal, sementara di beberapa rumah sakit di
Indonesia telah menggeser perdarahan sebagai penyebab utama
kematian maternal. Oleh karena itu di perlukan perhatian, serta
penanganan yang serius terhadap ibu bersalin dengan penyakit ini
(Fadlun, 2012). Pre-eklampsia berat merupakan risiko yang
membahayakan ibu di samping membahayakan janin melalui
placenta. Beberapa kasus memperlihatkan keadaan yang tetap
ringan sepanjang kehamilan. Jika pre-eklamsia berat tidak
ditangani dengan baik maka pasien akan mengalami kejang dan
berlanjut ke eklamsia. Oleh karena itu kejadian kejang pada
penderita preeklamsia berat harus dihindari. (Rozikhan, 2007).
Beberapa penelitian menyebutkan ada beberapa faktor penunjang
terjadinya preeklamsia berat yaitu kehamilan yang pertama,
kehamilan di usia remaja, dan kahamilan pada wanita di atas usia
40 tahun (Ai Yeyeh Rukiyah, 2010).
CP Ada (terlampir)
SPO Ada (terlampir)
Evidence (data dasar) Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur < 20 tahun angka
kejadian preeklampsia berat sebesar 12 (75,0%) dari 16 ibu hamil
dan usia > 35 tahun angka kejadian preeklamsia berat sebesar 10
(76,9%) dari 13 ibu hamil. Sedangkan pada usia 20-35 tahun
angka kejadian preeklampsia berat sebesar 78 (45,6%) dari 171
ibu hamil, dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ibu hamil
dengan usia < 20 tahun dan > 35 tahun cenderung mengalami
preeklamsia berat lebih besar.
Ibu dengan kehamilan pertama angka kejadian preeklamsia berat
sebesar 31 (64,5%) dari 48 ibu hamil, sedangkan ibu dengan
kehamilan lebih dari satu angka kejadian preeklamsia berat
sebesar 69 (45,3%) dari 152 ibu hamil, dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa ibu hamil dengan kehamilan pertama
cenderung menggalami pre-eklamsia berat lebih besar.
Ibu hamil yang memiliki riwayat hipertensi angka kejadian
preeklamsia berat sebesar 16 (72,7%) dari 22 ibu hamil,
sedangkan ibu hamil yang tidak memiliki riwayat hipertensi
angka kejadian preeklamsia berat sebesar 84 (47,1%) dari 178
ibu hamil, dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ibu hamil
yang memiliki riwayat hipertensi cenderung mengalami
preeklamsia berat lebih besar.
Ukuran Kinerja Klinis Penatalaksanaan pre-eklampsia berat sesuai dengan guideline

BAB IV
TATA LAKSANA

Pelaksana penyelenggaraan clinical pathway serta peran dan tanggung jawab dari
masing-masing unit adalah sebagai berikut:
No Pelaksana Peran dan Tanggung Jawab
1 Direktur BLUD Rumah Pelindung dan penanggung jawab penyelenggaraan pelayanan
Sakit Kota Banjar kesehatan di BLUD Rumah Sakit Kota Banjar
2 Wakil Direktur Pelayanan Koordinator penyelenggaraan pelayanan kesehatan di BLUD
Rumah Sakit Kota Banjar yang bertanggung jawab untuk
memastikan pelayanan agar berjalan baik dan terkoordinir
3 Komite Medik Pengawas kegiatan pelayanan kesehatan di BLUD Rumah Sakit
Kota Banjar dalam hal pelayanan medis yang bertanggung
jawab untuk melaksanakan monitoring, audit dan review
penyelenggaraan clinical pathway
4 Dokter DPJP Memberikan pelayanan secara langsung kepada pasien dengan
prinsip pelayanan berbasis pasien (Patient Centered Care)
melalui penyelenggaraan clinical pathway, bertanggung jawab
untuk mempersiapkan dan melengkapi format clinical pathway
sesuai dengan kasus yang telah ditentukan dalam panduan
clinical pathway
5 Perawat Berpartisipasi memantau pelaksanaan dokter DPJP dalam hal
penyelenggaraan clinical pathway, bertanggung jawab
mengumpulkan hasil format clinical pathway yang telah terisi
dan meneruskannya kepada komite mutu dan keselamatan
pasien

Pelaksanaan clinical pathway dengan jelas dibebankan kepada dokter DPJP yang
bertanggung jawab untuk mempersiapkan dan melengkapi format clinical pathway sesuai
dengan kasus yang telah ditentukan dalam buku panduan clinical pathway. Kasus yang
dibuatkan clinical pathway nya adalah kasus utama tanpa ada kasus penyerta. Kemudian
format yang telah terisi akan dikumpulkan oleh perawat (kepala ruangan) dengan
rekapitulasi bulanan yang akan diteruskan kepada komite medik. Komite medik akan
melaksanakan monitoring, audit dan review penyelenggaraan clinical pathway tersebut
dengan membuat sasaran mutu. Hasil monitoring, audit dan review penyelenggaraan clinical
pathway akan dilaporkan oleh komite medik melalui wakil direktur pelayanan kepada direktur
BLUD Rumah Sakit Kota Banjar. Pelaporan mengenai keberhasilan pencapaian sasaran mutu
penyelenggaraan clinical pathway dilakukan setiap tahun.
Wakil direktur pelayanan berperan melakukan sosialisasi penyelenggaraan clinical
pathway. Sosialisasi dilaksanakan kepada unit-unit pelaksana teknis dengan melibatkan kepala
ruangan, kepala instalasi, SMF, Kepala Bidang Pelayanan Medik, Kepala Bidang Perawatan dan
Kepala Bidang Pelayanan Penunjang Medis
BAB V
DOKUMENTASI

A. Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan yang dicapai dituangkan dengan pelaporan pencapaian
sasaran mutu mengenai penyelenggaraan clinical pathway. Sasaran mutu mengenai
penyelenggaraan clinical pathway adalah sebagai berikut:
1. Format clinical pathway dilengkapi oleh dokter DPJP sesuai dengan kasus yang
telah ditentukan dalam panduan clinical pathway dengan target 80%. Sasaran mutu
ini diaudit dengan melihat kelengkapan pengisian format clinical pathway oleh
komite medik setiap bulan dengan menghitung jumlah format clinical pathway
yang dinyatakan terisi lengkap dibagi dengan jumlah seluruh pasien dengan kasus
utama sesuai kasus dalam panduan clinical pathway setiap bulannya dikali dengan
100%.

Target Bulanan : Jumlah Format CP lengkap (1 bulan) x 100%


Jumlah seluruh kasus utama sesuai panduan CP (1 bulan)

2. Format Rekap Hasil Pemantauan


Format CP Kelengkapan
Jenis Diagnosa
No Nama RM DPJP SMF format Ket
Kelamin utama
Ada Tidak Ya Tdk
B. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan adalah pengumpulan data-data yang diperlukan untuk melakukan
evaluasi terhadap lima area klinis prioritas. Pencatatan dilakukan dengan menggunakan
formulir clinical pathway (CP) selanjutnya dilakukan rekapitulasi terhadap kelengkapan pengisian
dan kepatuhan terhadap pengisian seperti kepatuhan terhadap lama hari perawatan yang telah
ditetapkan dalam CP, kepatuhan terhadap pelaksanaan pemberian obat-obatan. Pencatatan
dilakukan oleh kepala ruangan dimana pasien tersebut dirawat selanjutnya dilaporkan kepada
komite medik setiap bulan sekali. Komite medik selanjutnya melakukan rekapitulasi terhadap
semua CP dari semua ruangan disertai kajian dan selanjutnya dilaporkan kepada wakil direktur
pelayanan. Alur pencatatan, evaluasi dan pelaporan seperti dibawah ini.

DIREKTUR BLUD
RUMAH SAKIT KOTA
BANJAR

WAKIL DIREKTUR KOMITE MUTU DAN


PELAYANAN KESELAMATAN PASIEN

KOMITE MEDIK
BAB VI
PENUTUP

BLUD Rumah Sakit Kota Banjar menetapkan lima bidang prioritas sebagai fokus
yang diintegrasikan berdasarkan diagnosis pasien, prosedur, populasi atau penyakit. Di
bidang-bidang tersebut guidelines (pedoman), pathway (alur) dan protokol berdampak
terhadap aspek mutu dan keselamatan perawatan pasien dan juga dapat mengurangi
terjadinya variasi hasil yang tidak diinginkan. Diharapkan dengan panduan ini akan dapat
memberikan penjelasan kepada unit-unit terkait dalam menyelenggarakan kegiatan ini.

Ditetapkan Di : Banjar
Pada Tanggal : 15 Februari 2016

DIREKTUR
BLUD RUMAH SAKIT UMUM
KOTA BANJAR

HERMAN.

Anda mungkin juga menyukai