Anda di halaman 1dari 9

PSIKOLOGI BELAJAR

Dosen : Arbainsyah

I.PENGERTIAN DAN MANFAAT PSIKOLOGI BELAJAR


1. Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami sesama manusia,
dengan tujuan untuk dapat memperlakukannya dengan tepat.
2. Manfaat pengetahuan tentang psikologi belajar adalah agar dalam melaksanakan
tugasnya tenaga pendidik harus berbuat dalam cara yang sesuai dengan
“KEADAAN” si anak didik.

II.KAJIAN PSIKOLOGI BELAJAR


1. Mengenai “belajar” meliputi teori-teori, prinsip,dan ciri-ciri khas prilaku belajar
peserta didik.
2. Mengenai “proses belajar” yakni tahapan perbuatan dan pristiwa yang terjadi dalam
kegiatan belajar peserta didik.
3. Mengenai “situasi belajar” yakni suasana dan keadaan lingkungan, baik bersifat fisik
maupun nonfisik yang berhubungan dengan kegiatan belajar peserta didik.

III. BELAJAR
A. Pengertian Belajar

Hilgrad dan Bower, dikutip dari Sanjaya (2000) mengatakan bahwa, belajar itu adalah
proses perubahan melalui kegiatan dan prosedur latihan baik di dalam laboratorium maupun
dalam lingkungan alamiah. Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan ilmu pengetahuan. Belajar
adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabakan munculnya
perubahan perilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan
lingkungan yang disadarinya.
Berdasarkan definisi diatas, sepertinya para ahli menyatakan bahwa belajar lebih
menekankan pada pengalaman dan latihan sebagai mediasi bagi kegiatan belajar. Woolfolk
(1995) juga menyatakan bahawa,” Learning occurs when experience causes a relatively
permanent change in an individual’s knowledge or behavior”.
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar itu ditandai adanya perubahan
tingkah laku. Ini berarti,bahwa hasil dari belajar hanya dapat diamati dari tingkah laku, yaitu
adanya perubahan tingkah laku, dari tidak tahu menjadi tidak tahu, dari tidak terampil menjadi
terampil. Tanpa mengamati tingkah laku hasil belajar, kita tidak dapat mengetahui ada tidaknya
hasil belajar. Perubahan tingkah laku tidak harus segera dapat diamati pada saat proses belajar
sedang berlangsung, perubahan perilaku tersebut bersifat potensial dan perubahan tingkah laku
merupakan hasil latihan atau pengalaman.

B. Teori Teori Belajar


Menghadapi tantangan global dalam dunia pendidikan abad 21 seorang pendidik harus
mampu menghadirkan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi peserta didik.
Pendidik harus memiliki kompetensi pedagogi yang matang dengan menguasai teori-teori
belajar. Beberapa teori belajar yang harus dikuasai oleh pendidik yakni teori belajar
behavioristik, kognitifisme, konstruktivistik, humanistik, dan teori sibernetik.
Untuk memahami makna dari masing-masing teori belajar di atas, berikut penjelasan
secara sederhana yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran di kelas:

1. Teori Belajar Behavioristik


Teori belajar behavioristik merupakan teori yang mempelajari perilaku dalam proses
pembelajaran, hal ini dikarenakan analisis yang dilakukan terletak pada perilaku yang
nampak, terukur, tergambarkan dan dapat diprediksi. Belajar merupakan merupakan upaya
melakukan perubahan perilaku manusia yang disebabkan oleh pengaruh lingkungannya.
Behaviorisme bertujuan untuk mengetahui bagaimana perilaku individu yang belajar
dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Behavioristik memandang bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat
dari adanya interaksi antar stimulus dan respon (Robert, 2014). Peserta didik dianggap telah
melakukan belajar jika dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Contoh, peserta didik

1
dapat dikatakan memiliki kemampuan membaca jika ia bisa menunjukkan kemampuan
membacanya dengan baik.

2. Teori Belajar Kognitifistik


Teori belajar kognitifistik merupakan pendekatan belajar yang lebih mementingkan proses
belajar dari pada hasil belajarnya. Teori belajar kognitif sering disebut sebagai model
perseptual. Teori ini memandang bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta
pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya.
Dalam perspektif teori ini, bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh
konteks situasi tersebut. Tindakan pemisahan atau pembagian sebuah materi pelajaran ke
dalam komponen-komponen kecil dan dipelajari secara terpisah akan menyebabkan substansi
materi tersebut akan kehilangan makna.
Proses pembelajan menggunakan pendekatan teori ini dianggap sebagai suatu proses
internalisasi ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya.
Aktifitas belajar dalam pendekatan ini melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.

3. Teori Belajar Konstruktivistik


Dalam teori belajar konstruktivistik proses belajar merupakan suatu proses pembentukan
(kontruksi) pengetahuan oleh peserta didik itu sendiri. Pengetahuan ada di dalam diri
seseorang yang sedang mengetahui (Schunk, 1986). Artinya, proses pembentukan
pengetahuan dilakukan oleh peserta didik itu sendiri. Peserta didik harus aktif selama kegiatan
pembelajaran, aktif berpikir, menyusun kosep, dan memberi makna tentang hal-hal yang
sedang dipelajari. Terwujudnya gejala belajar ditentukan oleh niat belajar peserta didik itu
sendiri.
Adapun peranan guru dalam teori belajar konstruktivistik adalah membantu memfasilitasi
agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar. Guru tidak
mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan mendampingi peserta didik
untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan
pikiran atau cara pandang peserta didik dalam belajar.

4. Teori Belajar Humanistik


Teori belajar humanistik salah satu teori belajar yang penting dan harus dipahami oleh
seorang pendidik. Hal ini untuk mewujudkan pembelajaran yang berkualitas dan sesuai
dengan tuntutan pendidikan abad 21. Humanistik sendiri bersal dari kata "human" yang
berarti manusia. Dalam arti luas humanistik dapat dikatakan sebagai upaya memanusiakan
manusia melalui proses pembelajaran.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada
proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep
pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam
bentuknya yang paling ideal.
Teori ini beranggapan bahwa teori belajar apa saja dapat dimanfaatkan dengan tujuan
memanusiakan manusia yakni dengan mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri secara
optimal. Teori humanistik juga memandang faktor motivasi dan pengalaman emosional dalam
proses belajar sangat penting. Tanpa faktor motivasi tersebut maka proses transfer
pengetahuan tidak dapat dilakukan dengan maksimal.

5. Teori Belajar Sibernetik.


Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang cukup baru terdengar di kalangan para
pendidik. Teori ini menekankan pembelajaran dapat terjadi dimana dan kapanpun tanpa
dibatasi oleh ruang dan waktu. Pendidik dan peserta didik dapat melaksanakan proses
pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi dalam jarak yang jauh.

C. Prinsip-Prinsip Belajar
1. Perhatian dan Motivasi
Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori belajar
pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi belajar
(Gage n Berliner, 1984: 335 ). Apabila bahan pelajaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang
dibutuhkan, diperlukan untuk belajar lebih Ianjut atau diperlukan dalam kehidupan sehari-
hari, akan membangkitkan motivasi untuk mempelajarinya.

Apabila perhatian alami ini tidak ada maka siswa perlu dibangkitkan perhatiannya. Di
samping perhatian, motivasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kegiatan belajar.

2
Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Motivasi
dapat dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil (Gagne dan Berliner, 1984 : 372).

Motivasi mempunyai kaitan yang erat dengan minat. Siswa yang memiliki minat terhadap
sesuatu bidang studi tertentu cenderung tertarik perhatiannya dan dengan demikian timbul
motivasinya untuk mempelajari bidang studi tersebut. Motivasi juga dipengaruhi oleh nilai-
nilai yang dianggap penting dalam kehidupannya. Perubahan nilai-nilai yang dianut akan
mengubah tingkah laku manusia dan motivasinya. Motivasi dapat bersifat internal, artinya
datang dari dirinya sendiri, dapat juga bersifat eksternal yakni datang dari orang lain, dari
guru, orang tua, teman dan sebagainya.

2. Keaktifan Belajar
Kecendrungan pakar psikologi dewasa ini menganggap bahwa anak adalah makhluk yang
aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemampuan dan aspirasi
sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan kepada
orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak aktif mengalami sendiri.

Oleh karena itu guru jangan sekali-kali membiarkan ada siswa yang tidak ikut aktif belajar.
Lebih jauh dari sekedar mengaktifkan siswa belajar, guru harus berusaha meningkatkan kadar
aktifitas belajar tersebut. Kegiatan mendengarkan penjelasan guru, sudah menunjukkan
adanya aktivitas belajar. Akan tetapi barangkali kadarnya perlu ditingkinkan dengan metode
mengajar lain.

3. Keterlibatan Langsung
Dalam Belajar, Edgar Dale mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah
belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung
siswa tidak sekadar mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat
langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab tehadap hasilnya.

Pentingnya ketelibatan langsung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan
“leaming by doing”-nya. Belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung. Belajar harus
dilakukan oleh siswa secara aktif, baik individual maupun kelompok, dengan cara
memecahkan masalah (prolem solving). Guru bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator.

4. Pengulangan Belajar
Prinsip belajar yang menekankan perlunya pengulangan yang dikemukakan oleh teori
Psikologi dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut akan berkembang.
Seperti halnya pisau yang selalu diasah akan menjadi tajam, maka daya-daya yang dilatih
dengan pengadaan pengulangan-pengulangan akan menjadi sempuma.

Banyak tingkah laku manusia yang terjadi karena kondisi, misalnya siswa berbaris masuk ke
kelas karena mendengar bunyi lonceng, kendaraan berhenti ketika lampu Ialu lintas berwarna
merah. Menurut teori ini perilaku individu dapat dikondisikan, dan belajar merupakan upaya
untuk mengkondisikan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu.

Mengajar adalah membentuk kebiasaan, mengulang-ulang sesuatu perbuatan sehingga


menjadi suatu kebiasaan dan pembiasaan tidak perlu selalu oleh stimulus yang sesungguhnya,
tetapi dapat juga oleh timulus penyerta.
5. Sifat Merangsang Dan Menantang Dari Materi Yang Dipelaiari
Teori Medan (Field Theory) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa dalam, situasi belajar
berada dalam suatu medan atau lapangan psikologis. Dalam situasi belajar siswa menghadapi
suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan yang mempelajari bahan
belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahasa
belajar tersebut.

Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan masuk
dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya. Agar pada anak timbul motif yang
kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik maka bahan belajar haruslah menantang.
tantangan yang dihadapi dalam bahan belajar membuat siswa bergairah untuk mengatasinya.
Pelajaran yang memberi kesempatan pada siswa untuk menerimakan konsep-konsep, prinsip-
prinsip, dan generalisasi akan menyebabkan siswa berusaha mencari dan menemukan konsep-
konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi tersebut.

3
6. Pemberian Balikan Atau Umpan Balik Dan Penguatan Belajar
Siswa belajar sungguh-sungguh dan mendapatkan nilai yang baik dalam ulangan. Nilai yang
baik itu mendorong anak untuk belajar lebih giat lagi. Nilai yang baik dapat merupakan
operant conditioning atau penguatan positif.

Sebaliknya anak yang mendapatkan nilai yang jelek pada waktu ulangan akan merasa takut
tidak naik kelas, karena takut tidak naik kelas ia terdorong tuk belajar lebih giat. Di sini nilai
buruk dan dan rasa takut lidak naik kelas juga bisa mendorong anak untuk belajar lebih giat.
Inilah yang disebut penguatan negatif.

Di sini siswa mencoba menghindar dari peristiwa yang tidak menyenangkan, maka penguatan
negatif juga disebut escape conditioning, Format sajian berupa tanya jawab, diskusi,
eksperimen, metode penemuan, dan sebagainya merupakan cara belajar-mengajar yang
memungkinkan terjadinya balikan dan penguatan. Balikan yang segera diperoleh siswa
setelah belajar melalui penggunaan metode-metode ini akan membuat siswa terdorong untuk
belajar lebih giat dan bersemangat.

D. CIRI-CIRI KHAS BELAJAR


Ciri-ciri khas belajar diantaranya adalah:
1. Belajar ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku change behavior. Ini berarti,
bahwa hasil belajar hanya dapat diamati dari tingkah laku, yaitu adanya perubahan
tingkah laku, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak terampil menjadi terampil. Tanpa
mengamati tingkah laku hasil belajar, kita tidak akan dapat mengetahui ada tidaknya hasil
belajar;
2. Perubahan perilaku relative permanent. Ini berarti, bahwa perubahan tingkah laku yang
terjadi karena belajar untuk waktu tertentu akan tetap atau tidak berubah-ubah. Tetapi,
perubahan tingkah laku tersebut tidak akan terpancang seumur hidup;
3. Perubahan tingkah laku tidak harus segera dapat diamati pada proses belajar sedang
berlangsung, perubahan perilaku tersebut bersifat potensial;
4. Perubahan tingkah laku merupakan hasil latihan atau pengalaman;
5. Pengalaman atau latihan itu dapat memberi penguatan. Sesuatu yang memperkuat itu akan
memberikan semangat atau dorongan untuk merubah tingkah laku. Baharudin dan
Wahyuni, 2007: 15-16 Belajar merupakan upaya yang ditempuh peserta didik dalam
mencapai perubahan cara berpikir atau tingkah laku yang dilakukan secara terus-menerus
dan tidak berubah-ubah atau permanen.

IV. PROSES BELAJAR


Pada dasarnya belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam
kompetensi, keterampilan dan sikap. Belajar dimulai sejak manusia itu lahir sampai akhir hayat.
Belajar merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk mendapat perubahan dalam dirinya
melalui pelatihan-pelatihan atau pengalaman-pengalaman atau dengan kata lain, belajar dapat
membawa perubahan bagi si pelaku baik perubahan pengetahuan, sikap maupun keterampilan.
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, tentunya diharapkan dengan lingkungannya.
Dalam proses pendidikan di sekolah tugas utama guru adalah mengajar. Sedangkan tugas
utama siswa adalah belajar. Dalam proses pengajaran, unsur proses belajar memegang peranan
penting. Mengajar adalah proses membimbing kegiatan belajar, dan kegiatan mengajar hanya
bermakna bila terjadi kegiatan belajar siswa. Oleh karena itu sangatlah penting sekali bagi setiap
guru memahami sebaik-baiknya tentang proses belajar siswa agar guru dapat dapat memberikan
bimbingan dan menyediakan lingkungan yang tepat dan serasi bagi siswa.
Proses belajar adalah serangkaian aktivitas yang terjadi pada pusat syaraf indivdu yang
belajar. Proses belajar terjadi secara abstrak, karena terjadi secara mental dan tidak dapat
diamati. Oleh karena itu, proses belajar hanya dapat diamati jika ada perubahan perilaku dari
seseorang yang berbeda dengan sebelummnya . Perubahan perilaku tersebut bisa dalam hal
pengetahuan, afektif, maupun psikomioriknya. Dimyadi dan Mudjiono (1996:7) mengemukakan
siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Berhasil atau gagalnya
pencapain tujuan pendidikan amat tergantung dari proses belajar dan mengajar yang dialami
siswa dan pendidik baik ketika para siswa itu di sekolah maupun di lingkungan keluarganya
sendiri. Menurut Gagne (1984) belajar sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah
perilakunya sebagai akibat pengalaman.

4
A. Proses Belajar menurut pandangan Jerome S. Bruner
Jerome S. Bruner (1960) seorang ahli psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Bruner
tidak mengembangkan suatu teori belajar yang sistematis, yang penting baginya ialah cara-cara
bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasika informasi secara efektif,
ialah menurut Bruner inti dari belajar. Menurutnya dalam proses belajar dapat dibedakan
menjadi tiga fase yaitu: (1) informasi, dalam tiap pelajaran kita peroleh sejumlah informasi, ada
yang menambah pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang memperhalus dan
memperdalamnya ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui
sebelumnya, mislnya ada energi yang lenyap; (2) transformasi, informasi itu harus dianalisis,
diubah atau ditransformasikan kedalam yang lebih abstrak, atau konseprual agar dapat digunakan
untuk hal-hal yang lebih luas dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan; dan (3) Evaluasi
kemudian kita nilai hingga manakah pengetahuan yang kita peroleh dan transformasi itu dapat
dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Dalam proses belajar ketiga episode ini selalau ada, yang menjadi masalah ialah berapa banyak
informasi diperlukan agar dapat ditrasformasi. Lama tiap episode tidak selalu sama, hal ini antara
lain tergantung pada hasil yang diharapkan, motivasi murid belajar, minat, keinginan untul
mengetahui, dan dorongan untuk menemukan sendiri.

B. Proses belajar menurut pandangan Robert M. Gagne


Belajar adalah proses yang kompleks, sejalan dengan itu menurut Robert M. Gagne (1970)
belajar merupakan kegiatan yang kompleks dan hasil belajar berupa kapabilitas, timbulnya
kapabilitas disebabkan; (1) stimulusi yang berasal dari lingkungan; dan (2) proses kognitif yang
dilakukan oleh pelajar. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan
nilai. Dengan demikian dapat ditegaskan, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang
mengubah sifat stimulai ligkungan, melewati pengolahan informasi, dan menjadi kapabilitas
baru. Belajar terjadi bila ada hasilnya yang dapat dipelihatkan, anak-anak demikian juga orang
dewasa dapat mengingat kembali kata-kata yang telah pernah didengar atau dipelajari
Gagne (1970) mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan
manusia yang terjadi setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses
pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan
mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance) berubah dari waktu
sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu setelah ia mengalami situasi tadi.
Gagne berkeyakinan, bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor luar diri
dimana keduanya saling berinteraksi. Komponen-komponen dalam proses belajar menurut
Gagne dapat di gambarkan sebagai (S) stimulus——– (R) respons. S yaitu situasi yang memberi
stimulus, sedangkan R adalah respons dan garis diantaranya adalah hubungan antara stimulus
dan respon yang terjadi dalam diri seseorang yang tidak dapat kita amati, yang bertalian dengan
sistem syaraf dimana terjadi transformasi perangsang yang dierima melalui alat dria. Stimulus itu
merupakan input yang berada diluar individu, sedangkan respons adalah outputnya, yang juga
berada diluar individu sebagai hasil belajar yang dapat diamati (Nasution, 2000:136)
Ada tiga komponen penting yakni kondisi eksternal yaitu stimulus dari lingkungan dalam acara
belajar, kondisi internal yang menggambarkan keadaa internal da proses kognitif siswa dan hasil
belajar yang menggambarkan informal verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap,
dan siasat kognitif. Kondisi internal belajar ini berinteraksi dengan kondisi eksternal belajar, dari
interaksi tersebut tampaklah hasil belajar.

C. Belajar Intuitif
Orang lebih mudah membahas atau melakukan pemikiran analitik yang lebih bersifat
konkret daripada berpikir intuitf yang lebih abstrak. Berpikir analitik meliputi suatu rentetan
langkah-langkah. Langkah-langkah tersebut bersifat eksplisit dan biasanya dapat disampaikan
kepada orang lain. Hasil-hasil pemikiran ini berupa informasi atau operasi. Model pemikiran ini
mengunakan proses pemikiran secara deduktif dengan bantuan model konsep matematika atau
logika, menggunakan prinsip penelitian, eksperimen dan analisis statistik.
Berpikir intuitif tidak memiliki langkah-langkah yang dapat dirumuskan secara pasti dan
teliti, lebih merupakan suatu manuver yang didasarkan atas persepsi implisit dari keseluruhan
masalah. Pemikir sampai pada suatu jawaban mungkin benar mungkin juga tidak, dengan sedikit
pernyataan tentang proses pencapaiannya. Ia sering jarang dapat menjelaskan bagaimana
memperoleh jawaban, mungkin juga ia tidak menyadari aspek-aspek dari situasi masalah yang ia
hadapi/kerjakan. Biasanya proses pemikiran intuitif ini berkenaan dengan domain kognitif
terutama dengan struktur pengetahuan, yang memungkinkan ia melangkah atau meloncar atau
memotong jalan pendek untuk sampai pada sauatu jawaban atau pemecahan. Hasil berpikir
intuitif dapat dicek dengan kesimpulan dari hasil analitik.

5
Kedua model pemikiran ini dapat saling komplemen. Melalui berpikir intuitif seseorang
memungkinkan sampai pada jawaban atau pemecahan yang sama sekali tak dapat dipecahkan
atau lambat sekali bila mengunakan pemecahan melalui proses analitik. Kemungkinan dapat
terjadi pada suatu saat pemikir intuitif dapat menemukan masalah yang sama sekali tak dapat
ditemukan oleh pemikir analitik. Pemecahan intuitif mungkin lebih cepat dibandingkan dengan
pemecahan analitik. Hasil pemecahan intuitif dapat dicek oleh hasil pemecahan analitik. Berikut
ini dalah faktor-faktor yang mempengaruhi berpikir intuitif:
a. Faktor guru. Apakah murid-murid akan turut berpikir intuitif, bila gurunya melakukan
demikian? Murid tidak akan berpikir intuitif andaikan mereka tidak pernah melihat
bagaimana gurunya melakukan demikian dengan hasil baik.
b. Penguasaan bahan. Orang yang menguasai bidang ilmu tertentu akan lebih sering berpikir
intuitif bila dibandingkan dengan orang yang tidak menguasainya. Seorang dokter spesialis
yang berpengalaman dapat mengadakan diagnosis yang tepat berdasarkan beberapa
pertanyaan. Intuisi adalah memperoleh jawaban berdasrkan keteranan yang sangat terbatas.
Tertentu saja selalu ada kemungkinan bahwa hail pemikiran intuisi tidak benar dan karena
itu perlu lagi diselidiki.
c. Struktur pengetahuan. Memahami struktur atau seluk beluk suatu bidang ilmu memberi
kemungkian yang lebih besar untuk berpikir intuitif. Dalam matematika misalnya,
ditekankan agar anak-anak memahami struktur bidang studi itu.
d. Prosedur heuristik. Yaitu mencari jawaban dengan cara yang tidak ketat, misalnya
menganjurkan murid-murid untuk menemukan jawaban atas masalah yang pelik dengan
memikirkan masalah yang ada persamaannya yang lebih sederhana atau berpikir secara
analogi, berdasarkan simetri, atau dengan melukiskannya atau membuat diagram
e. Menerka. Haruskah murid-murid dianjurkan untuk menerka? Memang ada situasi dimana
terkaan tidak sesuai. Namun sering terkaan memberika kemungkinan untuk mendapatkan
jawaban yang tepat, walaupun masih perlu dibuktikan kemudian. Sring murid dilarang,
bhkan dicela kalau ia menerka. Dalam menghadapi masalah-masalah pelik, kita juga sering
harus mengambil keputusan berdasarkan data yang tidak lengkap, sehingga kita terpaksa
menerk apa tindakan yang sebaiknya, menghukum anak yang menerka jawabab akan
menghalanginya berpikir produktif dan krearif.

D. Belajar Bermakna
Ausubel dan Robinson (1969) dikutip dari Sumadinata (1987) membedakan dua dimensi
dari proses belajar, yaitu dimensi cara menguasai pengetahuan dan secara menghubungkan
pengetahuan baru dengan struktur ide yang telah ada. Pada dimensi yang pertama dibedakan tipe
belajar yang bersifat mencari (discovery learning) dan yang bersifat menerima (reception
learning). Pada dimensi kedua, dibedakan antara belajar yang bersifat menghapal (rote learning)
dan belajar bermakna (meaningful learning).
Ada dua hal penting dalam konsep bermakana, yaitu struktur kognitif dan materi
pengetahuan baru. Struktur kognitif merupakan segala pengetahuan yang yang telah dimiliki
siswa sebagai hasil dari kegiatan belajar yang lalu. Dalam belajar bermakana pengetahuan baru
harus mempunyai hubungan atau dihubungkan dengan struktur kognitifnya. Hubungan itu akan
terjadi karena adanya kesamaan isi (substantiveness) dan secara berarturan (non-arbitrer). Kedua
sifat hubungan tersebut menunjukkkan adanya kebermaknaan logis materi yang akan dipelajari.
Jadi kebermaknaan logis ini merupakan sifat dari materi yang akan dipelajari tetapi tidak berarti
menjamin bahwa itu bermakna bagi siswa.

Belajar bermakna menuntut tiga persyaratan:


a. Materi yang dipelajari harus dapat dihubungkan dengan struktur kognitif secara berarturan
karena adanya kesamaan isi.
b. Siswa harus memiliki konsep yang sesuai dengan materi yang akan dipelajarinya
c. Siswa harus mempunyai kemauan atau motif untuk menghubungkan konsep tersebut dengan
struktur kognitifnya.
Makna merupakan hasil suatu proses belajar bermakna. Hal itu juga akan menjadi isi
kognitif atau isi dari penyadaran yang muncul bila materi yang punya makna potensial
dihubungkan dengan struktur kognitif. Bermakna dan belajar menghapal bukan dua hal yang
benar-benar bersifat dikhotomis, tetapi hanya menunjukkan apakah sesuatu kegiatan belajar lebih
mengarah pada bermakna atau kurang bermakna.
Suatu kegiatan belajar yang kurang bermakna akan muncul apabila:
a. Materi yang dipelajari kurang memiliki kebermaknaan logis
b. Siswa kurang memiliki konsep-konsep yang sesuai dalam struktur kognitifnya.
c. siswa kurang memiliki kesiapan untuk melakukan kegiatan belajar bermakna.

6
Belajar bermakna akan menghasilkan konsep-konsep, ide-ide baru yang puny makna, penuh
arti, jelas, nyata perbedaannya dengan yang lain. Konsep yang demikian tidak akan mudah
digoyahkan dibandingkan konsep-konsep yang dibentuk melalui hubungan atau asosiasi arbitrer.
Dengan belajar bermakna, siswa akan menguasai dan mengingat konsep-konsep inti dan konsep
bukan inti berbaur dan saling menghambat, tetapi dalam belajar makna keduanya bisa dibedakan
dengan jelas.
Makna merupakan isi dari stuktur kognitif, yang terjadi karena materi yang memiliki
kebermaknaan potensial disatukan dengan struktur kognitif. Proses penyatuan tersebut berbeda-
beda dan dapat diletakkan dalam suatu hierarki dari yang bersifat represensional sampai dengan
belajar tinggi, perbuatan belajar kreatif. Berikut adalah macam-macam belajar bermakna:
a. Belajar represensional
Merupakan suatu proses belajar untuk mendapatkan arti atau makna dari simbol-simbol.
b. Belajar konsep
Belajar konsep dapat mempunyai makna logis dan makna psikologis. Makna logis terbentuk
melalui fenomena adanya benda-benda yang dikelompokkan karena memiliki ciri-ciri yang
sama. Pada tahap berikutnya bila anak telah bersekolah ia belajar makna konsep secara
formal dari nama dan kata-kata. Kedua tahap proses pembentukan makna konsep tersebt
terjadi hampir dalam semua kegiatan anak belajar konsep. Pembentukan konsep selanjutnya
terjadi melalui proses asimilasi yaitu definisi-definisi.
c. Belajar proposisi
Proposisi atau kalimat merupakan suatu kalimat yang menunjukkan hubungan antara dua
hal. Proposisi ini ada yang bersifat umum, ”binatang buas makan daging” yang berisi
banyak konsep dan ada pula yang bersifat khusus, harimau makan kelinci yang hanya berisi
saru konsep.
d. Belajar diskoveri atau mencari
Bahan yang yang dipelajari tidak disajikan secara tuntas tetapi membutuhkan beberapa
kegiatan mental untuk menuntaskan dan menyatakan dengan struktur kognitif. Belajar
dikoveri terbagi atas dua macam kegiatan belajar, yaitu belajar memecahkan masalah dan
belajar kreatif.
e. Belajar pemecahan masalah
Memiliki proses psikologis yang lebih kompleks dibandingkan dengan belajar proposisi.
Dalam belajar pemecahan masalah, anak dihadapkan pada masalah-masalah yang
memerlukan pemecahan. Guru mengajukan beberapa pertanyaan yang mengarahkan siswa
agar menemukan pemecahan atau jawabannya sendiri.
f. Belajar kreatif
Kreatifitas adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, baik baru bagi
dirinya maupun orang lain. Belajar kreatif adalah siswa proses belajar merencanakan,
melaksanakan, dan membuktikan sendiri percobaan-percobaan. Mereka berusaha mencari
hubungan antara konsep-konsep yang baru dan konsep-konsep yang telah ada pada struktur
kognitifnya.

V. KESULITAN BELAJAR
Secara garis besar kesulitan belajar yang dialami oleh siswa disebabkan oleh faktor oleh
faktor internal dan faktor ekternal, yaitu:
1. Faktor internal siswa, meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-pisik siswa,
yakni;
a. yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual
/inteligensi siswa;
b. yang bersifat afektif (ranah rasa) , anta lain seperti labilnya emosi dan sikap;
c. yang bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat-alat
indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga).
2. Faktor eksternal siswa, meliputi semua situasi dan kondisi lingkunagn sekitar yang tidak
mendukung aktivitas belajar siswa, yakni;
a. Lingkungan keluarga, contohnya ; ketidakharmonisan hubungan antara ayah dengan
ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
b. Lingkungan tempat tinggal/masyarakat, contohnya perkampungan yang kumuh (slum
area) dan teman sepermainan (peer grop) yang nakal.
c. Lingkungan sekolah, conthnya; kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti
dekat pasar, kondisi guru dan alat-alat belajar yang berkualitas

7
Disamping hal-hal yang disebutkan diatas ada tujuh faktor yang tergolong kedalam faktor
psikologis yang mempengaruhi belajar. Faktor-faktor itu adalah: inteligensi, perhatian, minat,
bakat, motivasi, kematangan dan kelelahan.

1. Inteligensi
Inteligensi besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar. Dalam situasi yang sama, siswa
yang mempunyai tingkat inteligensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai
tingkat inteligensi yang rendah. Walaupun begitu siswa yang mempunyai tingkat inteligensi
yang tinggi belum pasti berhasil dalam belajarnya. Hal ini disebabkan karena belajar adalah
suatu proses yang kompleks dengan banyak faktor yang mempengaruhinya, sedangkan
inteligensi adalah salah satu faktor diantara faktor yang lain. Jika faktor lain itu bersifat
menghambat/berpengaruh negatif terhadap belajar, akhirnya siswa gagal dalam belajarnya.
Siswa yang mempunyai tingkat inteligensi yang normal dapat berhasil dengan baik dalam
belajarnya, jika ia belajar dengan baik, artinya belajar dengan menerapkan metode belajar
yang efisien dan faktor-faktor yang mempengaruhi belajarnya (faktor jasmaniah, psikologi,
keluarga, sekolah, masyarakat) memberi pengaruh yang positif. Jika siswa memiliki
inteligensi yang rendah, ia perlu mendapat pendidikan di lembaga pendidikan khusus.

2. Perhatian
Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian
terhadap bahan yang dipelajarinya, jika bahan pelajarannya tidak menjadi perhatian siswa,
maka timbullah kebosanan, sehimgga ia tidak lagi suka belajar. Agar siswa dapat belajar
dengan baik, usahakanlah bahan pelajaran selalu menarik perhatian dengan cara
mengusahakan pelajarannya itu sesuai dengan hobi atau bakatnya.

3. Minat
Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak
sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada
daya tarik baginya. Ia segan-segan untuk belajar, ia tidak memperoleh kepuasan dari
pelajarannya itu. Bahan pelajaran yang menarik minat siswa, lebih mudah dipelajari dan
disimpan, karena minat menambah kegiatan belajar.
Jika terdapat siswa yang kurang berminat terhadap belajar, dapatlah diusahakan agar ia
mempunyai minat yang lebih besar dengan cara menjelaskan hal-hal yang menarik dan
berguna bagi kehidupan serta hal-hal yang berhubungan dengan cita-cita serta kaitannya
dengan bahan pelajaran yang dipelajari itu.

4. Bakat
Jika bahan pelajaran yang dipelajari siswa sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya
lebih baik karena ia senang belajar dan pastilah selanjutnya ia lebih giat lagi dalam belajarnya
itu. Adalah penting untuk mengetahui bakat siswa dan menempatkan siswa belajar di sekolah
yang sesuai dengan bakatnya.

5. Motivasi
Dalam proses belajar haruslah diperhatikan apa yang dapat mendorong siswa agar dapat
belajar dengan baik atau padanya mempunyai motivasi untuk berpikir dan memusatkan
perhatian, merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang berhubungan/ menunjang belajar.
Menurut Syah (2006: 151), motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1) motivasi
intrinsik dan 2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal
dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar.
Termasuk dalam motivasi intrinsik siswa adalah perasaan menyenangi materi dan
kebutuhannya terhadap materi tersebut, misalnya untuk kehidupan masa depan siswa yang
bersangkutan.
Adapun motivasi ekstinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang
juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah, peraturan/tata tertib
sekolah, suri teladan orang tua, guru, dan seterusnya merupakan contoh-contoh konkret
motivasi ekstrinsik yang dapat menolong siswa untuk belajar. Kekurangan atau ketiadaan
motivasi baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal, akan menyebabkan
kurang bersemangatnya siswa dalam melakukan proses mempelajari materi- materi pelajaran
baik di sekolah maupun di rumah.

8
6. Kematangan
Kematangan adalah suatu tingkat/fase dalam pertumbuhan seseorang, di mana alat-alat dan
tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru. Kematangan belum berarti anak
dapat melaksanakan kegiatan secara terus-menerus, untuk itu diperlukan latihan-latihan dan
pelajaran. Dengan kata lain anak yang sudah siap (matang) belum dapat melaksanakan
kecakapannya sebelum belajar. Belajarnya akan lebih berhasil jika anak sudah siap (matang).
Jadi kemajuan baru untuk memiliki kecakapan itu tergantung dari kematangan dan belajar.

7. Kesiapan
Kesiapan adalah kesediaan untuk memberi response atau bereaksi. Kesediaan itu timbul dari
dalam diri seseorang dan juga berhubungan dengan kematangan, karena kematangan berarti
kesiapan untuk melaksanakan kecakapan. Kesiapan ini perlu diperhatikan dalam proses
belajar, karena jika siswa belajar dan padanya sudah ada kesiapan, maka hasil belajarnya akan
lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai