Firan Hazqi
Nuraeni
Siva Rahmawati
Fitri Puspitasari
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat limpahan dan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini guna menunjang salah satu tugas terstruktur mata
kuliah “Masailul Fiqhiyah”. Shalawat serta salam tak lupa juga kami curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarganya, para sahabatnya dan seluruh umatnya.
Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Abdul Basir, S.Pd.I., M.Pd. Selaku
dosen mata kuliah Masailul Fiqhiyah yang memberikan bimbingan, saran, ide dan kesempatan
untuk membuat makalah. Semoga makalah ini dapat menjadikan wawasan yang lebih luas dan
memberikan sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para Mahasiswa/i Stai Al-
Azhary. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi perbaikan pembuatan makalah dimasa yang
akan datang.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................3
BAB I..............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan................................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...............................................................................................................................5
A. Pengertian Berobat dan Landasan Pengobatan dalam Islam............................................5
B. Jenis-Jenis Benda yang Diharamkan dalam Islam..............................................................6
C. Pemetaan Kondisi Darurat Melalui Kaidah Fiqhiyah..........................................................7
D. Landasan Hukum Berobat dengan Benda Haram..............................................................9
BAB III..........................................................................................................................................11
PENUTUP.....................................................................................................................................11
A. Kesimpulan.......................................................................................................................11
B. Saran.................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1. Pengertian Berobat
mengurangi, menghilangkan, atau menyembuhkan sakit. Sedangkan berobat
adalah menggunakan obat, mengobati penyakit atau minta obat, sudah diobati atau
sudah mendapat obat.
Menurut Anief bahwa obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang
dimaksud untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah
pada manusia atau hewan termasuk bagian tubuh manusia.
Jadi, berobat adalah upaya manusia untuk memulihkan kesehatannya dari
gangguan penyakit tertentu.
2. Landasan Pengobatan dalam Islam
a. Menurut Al-Qur’an
َونُن َِّز ُل ِمنَ ْالقُرْ َءا ِن َماهُ َو ِشفَآ ٌء َو َرحْ َمةٌ لِّ ْل ُمْؤ ِمنِينَ َوالَيَ ِزي ُد الظَّالِ ِمينَ ِإالَّخَ َسارًا
Artinya: “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah
kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’: 87)
يََآيُّهَا النَّاسُ قَ ْد َجآ َء ْت ُك ْم َّموْ ِعظَةٌ ِّم ْن َّربِّ ُك ْم َو ِشفَآ ٌء لِّ َمافِ ْي الصُّ ُدوْ ِر َوهُدًى َّورحْ َمةٌ لِّلمْؤ ِمنِ ْينَض
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh penyakit (yang ada) dalam dada serta petunjuk dan
rahmat bagi orang yang beriman.” (QS. Yunus:57)
َمااَ ْن َز َل هللاُ دَا ًء اِالَّاَ ْن َز َل لَهُ ِشفَا ًء: ع َْن اَبِ ْى هُ َر ْي َرةَ َع ِن النّبِ ِّى ص
Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw, bersabda: Allah tidak menurunkan
penyakit kecuali Dia pula menurunkan obatnya.”
َار َواَ ْنهَى اُ َّمتِى َع ِن
ٍ شَرْ بَ ِة َع َس ٍل َوشَرْ طَ ِة ِمحْ َج ٍم َو ِكيَّ ِة ن: اَل ِّشفَا ُءفِى ثَالَثَ ٍة: ال
َ َس َع ِن النَّبِ ِّي ص ق
ٍ ع َْن ا ْب ِن َعبَّا
ْال َك ِّي
Artinya: “Dari Ibn Abbas, dari Nabi saw, bersabda : Pengobatan itu ada tiga
macam : (1) Minum Madu, (2) Berbekam (hijamah yaitu mengeluarkan darah
dengan dilukai), (3) Kai (pengobatan dengan besi panas). Dan aku larang
ummatku berobat dengan kai.”
1. Alkohol
Alkohol adalah sebutan organik dimana kumpulan hidroxyl (-OH) terikat
dengan atom karbon daripada kumpulan akil. Alkohol lazimnya digunakan dalam
dunia medis sebagai obat kumur, pencuci kuman pada luka dan alat-alat
pembedahan.
4. Bangkai
Bangkai dalam bahasa arab disebur Al-Mayyitah yang berarti sesuatu yang
mati tanpa disembelih.
Para ulama juga menambahkan pengertian bangkai yaitu potongan tubuh
hewan yang terlepas dari badannya, seperti kaki, paha, telinga dan lainnya,
sementara hewan itu masih hidup.
2. Kaidah Kedua
َّ ماَُأبِ ْي َح لِل
ِ ضرُوْ َر ِة يُقَ َّد ُربِقَد
َرهَا
“Apa yang diperbolehkan bagi darurat maka diukur menurut kadar
kemudlaratannya.”
Dasar nash kaidah diatas adalah firman Allah SWT:
َوقَ ْد فَص ََّل لَ ُك ْم َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ْماِالَّ َمااضْ طُ ِررْ تُ ْم ِالَ ْي ِه
Artinya: “Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-
Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am:119)
اغ َوالَ عَا ٍد فَآل اِ ْث َم َعلَ ْي
ٍ َفَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya.” (QS. Al-
Baqarah:173)
Berdasarkan ayat diatas diketahui bahwa tidak semua keterpaksaan itu
membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang
benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam hal ini maka semua
yang haram dapat diperbolehkan memakainya.
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili darurat merupakan kepentinan manusia yang
diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati
puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksaknakan maka mendatangkan
kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau
dilarang.
Para ulama telah memberikan kriteria seseorang yang dapat dikelompokkan ke dalam
keadaan darurat, yaitu sebagai berikut:
1. Keadaan darurat itu benar-benar telah terjadi. Artinya, bahwa seseorang benar-benar
dapat diduga akan kehilangan nyawa atau harta menurut pengalaman yang ada.
2. Orang yang dalam keadaan darurat itu benar-benar dihadapkan pada keterpaksaan
untuk melakukan yang diharamkan atau meninggalkan yang diperintahkan agama.
Artinya, bahwa disekelilingnya tak ada lagi yang dapat membantu menyelamatkan
jiwanya, kecuali yang haram tersebut.
3. Orang tersebut benar-benar dalam keadaan lemah untuk mencari sesuatu yang halal
dalam menyelamatkan dirinya. Artinya, kalau dia masih sanggup untuk mencari
yang halal, maka keadaannya tersebut delum dapat dikatakan darurat.
4. Yang dilakukan oleh orang yang berada dalam keadaan darurat tersebut tidak
sampai melanggar prinsip-prinsip dasar Islam, seperti pemeliharaan terhadap hak-
hak orng lain, tidak memudharatkan orng lain, dan tidak menyang kut masalah
akidah. Misalnya, walaupun karena darurat zina dan murtad tetap tidak dihalalkan
karena perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang benar-benar dilarang
dan merupakan prinsip dasar Islam.
5. Kebolehan darurat ini hanya terbatas sekedar melepaskan diri dari keadaan tersebut.
Misalnya, jika seseorang sangat kelaparan dan satu-satunya yang akan dimakan itu
hanya daging babi, maka yang hanya dibolehkan untuknya adalah memakan daging
babi itu sekedar untuk mempertahankan hidup untuk mencari yang halal.
6. Jika keadaan darurat itu menyangkut penyakit, maka harus dijelaskan oleh dokter
yang dapat dipercaya, baik agamanya maupun ilmunya di bidang itu, bahwa
satusatunya obat adalah yang diharamkan itu.
Menurut ulama terkait batasan-batasan darurat, yaitu sebagai berikut:
1. Menurut madzhab Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah
seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan
dikhawatirkan ia bisa meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuhnya yang
akan cacat. Misalnya gugurnya keharaman arak dan bangkai bagi seseorang yang
terpaksa harus meminum atau memakannya, adalah karena ia merasa khawatir atas
keselamatan nyawanya, kerana menahan haus dan dahaga.
2. Menurut madzhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu
yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan
keyakinan atau hanya sekedar dugaan. Ada juga yang berpendapat, darurat ialah
menjaga jiwa dari kematian atau dari bahaya yang sangat berat.
3. Menurut madzhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak
cukup hanya diatasi dengan hanya memakan bangkai dan sebagainya. Seperti halnya
ulama-ulama dari madzhab lain, mereka semua sepakat tidak wajib harus menunggu
sampai kematian itu sebentar lagi datang. Hal itu karena pada dasarnya, sesuatu
yang diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan tidak boleh diterjang kecuali karena
ada alasan darurat.
A. Kesimpulan
B. Saran
Al-Jawi, M. Shiddiq. “Alkohol Dalam Makanan, Obat, Dan Kosmetik : Tinjauan Fiqih
Islam,” The house of Khilafah (Maret 2006)
Anief, M. Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gajah Mada, 1991.
Bahresisy, Hussein. Himpunan Hadis Pilihan Hadits Shahih Bukhari. Surabaya: Al-
Ikhlas, 1992.
Mahjuddin, Masail Al-Fiqh Kasus-Kasus Aktual Hukum Islam. Jakarta: Kalam Mulia,
2012.
Muflih, Andi. Tesis Magister: “Pengobatan dalam Islam,” Makassar: UIN Alauddin,
2013.
Safari, Nurul Syafiqah Mohd. Skripsi Sarjana: “Hukum Menggunakan Benda Najis
Dalam Pengobatan Menurut Ibn Taimiyyah dan Yusuf Al-Qardhawi,” Palembang: UIN
Raden Fatah, 2017.
Sholeh, Asrorun Ni'am. “Jaminan Halal Pada Produk Obat: Kajian Fatwa MUI dan
Penyerapannya Dalam UU Jaminan Produk Halal,” Jurnal Syariah 3 (November 2015)
Sonifuniam, Ahmad. Skripsi Sarjana: “Penggunaan Organ Tubuh Manusia Bagi
kepentingan Obat dan Kosmetika,” Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam: Kaidah-kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo, 1999.
[1] Andi Muflih, Tesis Magister: “Pengobatan dalam Islam,” (Makassar: UIN Alauddin,
2013), 11.
[2] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1013.
[3] M. Anief, Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat (Yogyakarta: Gajah Mada,
1991), 3.
[4] Mahjuddin, Masail Al-Fiqh Kasus-Kasus Aktual Hukum Islam (Jakarta: Kalam
Mulia,2012), 105.
[5]Hussein Bahresisy, Himpunan Hadis Pilihan Hadits Shahih Bukhari (Surabaya: Al-
Ikhlas, 1992), 334-335.
[6] Nurul Syafiqah Mohd Safari, Skripsi Sarjana: “Hukum Menggunakan Benda Najis
Dalam Pengobatan Menurut Ibn Taimiyyah dan Yusuf Al-Qardhawi,” (Palembang: UIN
Raden Fatah, 2017), 18-19.
[7] Usman, Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam: Kaidah-kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah, 133-134.
[8]Ibid., 135.
[9] Ahmad Sonifuniam, Skripsi Sarjana: “Penggunaan Organ Tubuh Manusia Bagi
kepentingan Obat dan Kosmetika,” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008), 29-30.
[10]Ibid., 31-32.
[11] Asrorun Ni'am Sholeh, “Jaminan Halal Pada Produk Obat: Kajian Fatwa MUI dan
Penyerapannya Dalam UU Jaminan Produk Halal,” Jurnal Syariah 3 (November 2015),
80-81.
[12] M. Shiddiq Al-Jawi, “Alkohol Dalam Makanan, Obat, Dan Kosmetik : Tinjauan
Fiqih Islam,” The house of Khilafah (Maret 2006), 3-4.