Anda di halaman 1dari 14

BEROBAT DENGAN BENDA HARAM

Makalah ini Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas kelmpok


Pada Mata Kuliah Masailul Fiqhiyah

Dosen Pengampu : Abdul Basir, S.Pd.I., M.Pd.

Disusun Oleh Kelompok 5

Firan Hazqi

Nuraeni

Siva Rahmawati

Fitri Puspitasari

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

STAI AL-AZHARY CIANJUR

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat limpahan dan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini guna menunjang salah satu tugas terstruktur mata
kuliah “Masailul Fiqhiyah”. Shalawat serta salam tak lupa juga kami curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarganya,  para sahabatnya dan seluruh umatnya.
Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Abdul Basir, S.Pd.I., M.Pd. Selaku
dosen mata kuliah Masailul Fiqhiyah yang memberikan bimbingan, saran, ide dan kesempatan
untuk membuat makalah. Semoga makalah ini dapat menjadikan wawasan yang lebih luas dan
memberikan sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para Mahasiswa/i Stai Al-
Azhary. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi perbaikan pembuatan makalah dimasa yang
akan datang.

Cianjur, 05 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................3
BAB I..............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan................................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...............................................................................................................................5
A. Pengertian Berobat dan Landasan Pengobatan dalam Islam............................................5
B. Jenis-Jenis Benda yang Diharamkan dalam Islam..............................................................6
C. Pemetaan Kondisi Darurat Melalui Kaidah Fiqhiyah..........................................................7
D. Landasan Hukum Berobat dengan Benda Haram..............................................................9
BAB III..........................................................................................................................................11
PENUTUP.....................................................................................................................................11
A. Kesimpulan.......................................................................................................................11
B. Saran.................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Didalam Al-Qur’an kesehatan merupakan hal yang sangat prinsipil, karena


terkait dengan kebutuhan lainnya. Makna kesehatan dalam dimensi yang lebih dalam
dan luas, yakni kesehatan dalam arti lahir dan batin atau jasmani dan rohani. Seseorang
yang beriman, harus mampu menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya. Islam
memandang kesehatan lebih dari sekedar terhindarnya seseorang dari penyakit. Bukan
sekedar tubuh sehat, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah kebersihan batin atau
kebersihan rohani.
Dalam pengobatan umumnya, sumber obat bisa dikategorikan menjadi beberapa
kelompok yaitu sumber yang berasal dari manusia, hewan, tumbuhan, tanah dan air.
Sumber-sumber ini sering digunakan untuk memproduksi bahan-bahan yang dapat
dimanfaat sebagai obat. Namun bagaimana dengan penggunaan benda haram dalam
berobat.
Untuk itu terkait pengobatan dengan benda haram perlu dikaji secara mendalam
terutama menurut Islam, yang akan dibahas dalam makalah ini. Hal ini penting
dipelajari bagi mahasiswa agar kelak bisa memahami dan mengetahui terkait berobat
dengan benda haram terutama dalam kondisi darurat.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian berobat dan landasan pengobatan dalam Islam?


2. Apa saja jenis-jenis benda yang diharamkan dalam Islam?
3. Bagaimana pemetaan kondisi darurat melalui kaidah fiqhiyah?
4. Bagaiaman landasan hukum berobat dengan benda haram?

C. Tujuan Penulisan

1. Mampu memahami pengertian berobat dan landasan pengobatan dalam Islam


2. Mampu memahami jenis-jenis benda yang diharamkan dalam Islam
3. Mampu memahami pemetaan kondisi darurat melalui kaidah fiqhiyah
4. Mampu memahami landasan hukum berobat dengan benda haram
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Berobat dan Landasan Pengobatan dalam Islam

1. Pengertian Berobat
mengurangi, menghilangkan, atau menyembuhkan sakit. Sedangkan berobat
adalah menggunakan obat, mengobati penyakit atau minta obat, sudah diobati atau
sudah mendapat obat.
Menurut Anief bahwa obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang
dimaksud untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah
pada manusia atau hewan termasuk bagian tubuh manusia.
Jadi, berobat adalah upaya manusia untuk memulihkan kesehatannya dari
gangguan penyakit tertentu.
2. Landasan Pengobatan dalam Islam
a. Menurut Al-Qur’an
‫َونُن َِّز ُل ِمنَ ْالقُرْ َءا ِن َماهُ َو ِشفَآ ٌء َو َرحْ َمةٌ لِّ ْل ُمْؤ ِمنِينَ َوالَيَ ِزي ُد الظَّالِ ِمينَ ِإالَّخَ َسارًا‬

Artinya: “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah
kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’: 87)

‫يََآيُّهَا النَّاسُ قَ ْد َجآ َء ْت ُك ْم َّموْ ِعظَةٌ ِّم ْن َّربِّ ُك ْم َو ِشفَآ ٌء لِّ َمافِ ْي الصُّ ُدوْ ِر َوهُدًى َّورحْ َمةٌ لِّلمْؤ ِمنِ ْينَض‬
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh penyakit (yang ada) dalam dada serta petunjuk dan
rahmat bagi orang yang beriman.” (QS. Yunus:57)

b. Menurut Hadist Nabi Muhammad SAW


ِ ‫اس اَ ْش‬
َ‫ف َواَ ْنت‬ َ ‫ب ْالبَْأ‬
ِ َّ‫س َربّ الن‬ ِ ‫ اَ ْذ ِه‬: ‫ع َْن عَاِئ َشةَ اَ َّن َرسُوْ َل هللاِ ص َكانَ ا َذااتَى َم ِر ْيضًا اَوْ اُتِ ُى بِ ِه اِلَ ْي ِه قَا َل‬
‫ال َّشافِ ْي ال ِشفَا َء اِالَّ ِشفَا ُء َك ِشفَا ًءاليُغَا ِد ُر َسقَ ًما‬
Artinya: “Dari Aisyah bahwa Rasulullah saw, jika mendatangi orang sakit atau
beliau ketika dikunjungi orang (ketika sakit) maka Nabi berdo’a : Lenyapkanlah
kesengsaraan, ya Tuhan pemilik manusia, sembuhkanlah, dan Engkau pemberi
kesembuhan kecuali dengan penyembuhan Mu, satu penyembuhan yang tidak
meninggalkan penyakit”.

‫ َمااَ ْن َز َل هللاُ دَا ًء اِالَّاَ ْن َز َل لَهُ ِشفَا ًء‬: ‫ع َْن اَبِ ْى هُ َر ْي َرةَ َع ِن النّبِ ِّى ص‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw, bersabda: Allah tidak menurunkan
penyakit kecuali Dia pula menurunkan obatnya.”
‫َار َواَ ْنهَى اُ َّمتِى َع ِن‬
ٍ ‫ شَرْ بَ ِة َع َس ٍل َوشَرْ طَ ِة ِمحْ َج ٍم َو ِكيَّ ِة ن‬: ‫ اَل ِّشفَا ُءفِى ثَالَثَ ٍة‬: ‫ال‬
َ َ‫س َع ِن النَّبِ ِّي ص ق‬
ٍ ‫ع َْن ا ْب ِن َعبَّا‬
‫ْال َك ِّي‬
Artinya: “Dari Ibn Abbas, dari Nabi saw, bersabda : Pengobatan itu ada tiga
macam : (1) Minum Madu, (2) Berbekam (hijamah yaitu mengeluarkan darah
dengan dilukai), (3) Kai (pengobatan dengan besi panas). Dan aku larang
ummatku berobat dengan kai.”

B. Jenis-Jenis Benda yang Diharamkan dalam Islam

1. Alkohol
Alkohol adalah sebutan organik dimana kumpulan hidroxyl (-OH) terikat
dengan atom karbon daripada kumpulan akil. Alkohol lazimnya digunakan dalam
dunia medis sebagai obat kumur, pencuci kuman pada luka dan alat-alat
pembedahan.

2. Urine atau air kencing


Urine adalah air seni atau air kencing yang keluar dari tubuh manusia atau
hewan merupakan cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudia
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Para ahli mengatakan bahwa
urine diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring
oleh ginjal dan untuk menjaga homeostatis cairan tubuh. Baik itu urine manusia atau
urine hewan.
3. Darah
Ad-Damm, yang berarti darah adalah suatu cairan berwarna merah yang
mengalir pada jasad hewan dan manusia. Darah dikategorikan menjadi dua yaitu
darah manusia dan darah hewan.

4. Bangkai
Bangkai dalam bahasa arab disebur Al-Mayyitah yang berarti sesuatu yang
mati tanpa disembelih.
Para ulama juga menambahkan pengertian bangkai yaitu potongan tubuh
hewan yang terlepas dari badannya, seperti kaki, paha, telinga dan lainnya,
sementara hewan itu masih hidup.

C. Pemetaan Kondisi Darurat Melalui Kaidah Fiqhiyah

Kondisi darurat menurut kaidah Fiqhiyah, yaitu sebagai berikut:


1. Kaidah Pertama
ِ ‫ات تُبِ ْي ُح ْال َمحْ ظُوْ َرا‬
‫ت‬ ُ ‫ضرُوْ َر‬
َّ ‫اَل‬
“Kemadlaratan-kemadlaratan itu dapat memperbolehkan keharaman”

2. Kaidah Kedua
َّ ‫ماَُأبِ ْي َح لِل‬
ِ ‫ضرُوْ َر ِة يُقَ َّد ُربِقَد‬
‫َرهَا‬
“Apa yang diperbolehkan bagi darurat maka diukur menurut kadar
kemudlaratannya.”
Dasar nash kaidah diatas adalah firman Allah SWT:
‫َوقَ ْد فَص ََّل لَ ُك ْم َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ْماِالَّ َمااضْ طُ ِررْ تُ ْم ِالَ ْي ِه‬
Artinya: “Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-
Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am:119)
‫اغ َوالَ عَا ٍد فَآل اِ ْث َم َعلَ ْي‬
ٍ َ‫فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب‬
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya.” (QS. Al-
Baqarah:173)
Berdasarkan ayat diatas diketahui bahwa tidak semua keterpaksaan itu
membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang
benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam hal ini maka semua
yang haram dapat diperbolehkan memakainya.
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili darurat merupakan kepentinan manusia yang
diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati
puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksaknakan maka mendatangkan
kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau
dilarang.
Para ulama telah memberikan kriteria seseorang yang dapat dikelompokkan ke dalam
keadaan darurat, yaitu sebagai berikut:
1. Keadaan darurat itu benar-benar telah terjadi. Artinya, bahwa seseorang benar-benar
dapat diduga akan kehilangan nyawa atau harta menurut pengalaman yang ada.
2. Orang yang dalam keadaan darurat itu benar-benar dihadapkan pada keterpaksaan
untuk melakukan yang diharamkan atau meninggalkan yang diperintahkan agama.
Artinya, bahwa disekelilingnya tak ada lagi yang dapat membantu menyelamatkan
jiwanya, kecuali yang haram tersebut.
3. Orang tersebut benar-benar dalam keadaan lemah untuk mencari sesuatu yang halal
dalam menyelamatkan dirinya. Artinya, kalau dia masih sanggup untuk mencari
yang halal, maka keadaannya tersebut delum dapat dikatakan darurat.
4. Yang dilakukan oleh orang yang berada dalam keadaan darurat tersebut tidak
sampai melanggar prinsip-prinsip dasar Islam, seperti pemeliharaan terhadap hak-
hak orng lain, tidak memudharatkan orng lain, dan tidak menyang kut masalah
akidah. Misalnya, walaupun karena darurat zina dan murtad tetap tidak dihalalkan
karena perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang benar-benar dilarang
dan merupakan prinsip dasar Islam.
5. Kebolehan darurat ini hanya terbatas sekedar melepaskan diri dari keadaan tersebut.
Misalnya, jika seseorang sangat kelaparan dan satu-satunya yang akan dimakan itu
hanya daging babi, maka yang hanya dibolehkan untuknya adalah memakan daging
babi itu sekedar untuk mempertahankan hidup untuk mencari yang halal.
6. Jika keadaan darurat itu menyangkut penyakit, maka harus dijelaskan oleh dokter
yang dapat dipercaya, baik agamanya maupun ilmunya di bidang itu, bahwa
satusatunya obat adalah yang diharamkan itu.
Menurut ulama terkait batasan-batasan darurat, yaitu sebagai berikut:
1. Menurut madzhab Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah
seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan
dikhawatirkan ia bisa meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuhnya yang
akan cacat. Misalnya gugurnya keharaman arak dan bangkai bagi seseorang yang
terpaksa harus meminum atau memakannya, adalah karena ia merasa khawatir atas
keselamatan nyawanya, kerana menahan haus dan dahaga.
2. Menurut madzhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu
yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan
keyakinan atau hanya sekedar dugaan. Ada juga yang berpendapat, darurat ialah
menjaga jiwa dari kematian atau dari bahaya yang sangat berat.
3. Menurut madzhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak
cukup hanya diatasi dengan hanya memakan bangkai dan sebagainya. Seperti halnya
ulama-ulama dari madzhab lain, mereka semua sepakat tidak wajib harus menunggu
sampai kematian itu sebentar lagi datang. Hal itu karena pada dasarnya, sesuatu
yang diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan tidak boleh diterjang kecuali karena
ada alasan darurat.

D. Landasan Hukum Berobat dengan Benda Haram

Untuk memberikan kepastian bagi masyarakat muslim di Indonesia, Majelis


Ulama Indonesia secara khusus pada 20 Juli 2013 menetapkan fatwa tentang Obat dan
Pengobatan. Fatwa itu adalah sebagai berikut:
1. Islam mensyariatkan pengobatan karena ia bagian dari perlindungan dan perawatan
kesehatan yang merupakan bagian dari menjaga Al-Dharuriyat Al-Khams.
2. Dalam ikhtiar mencari kesembuhan wajib menggunakan metode pengobatan yang
tidak melanggar syariat.
3. Obat yang digunakan untuk kepentingan pengobatan wajib menggunakan bahan
yang suci dan halal.
4. Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan hukumnya
haram kecuali memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Digunakan pada kondisi keterpaksaan (al-dlarurat), yaitu kondisi keterpaksaan
yang apabila tidak dilakukan dapat mengancam jiwa manusia, atau kondisi
keterdesakan yang setara dengan kondisi darurat (al-hajat allatitanzilu manzilah
al-dlarurat), yaitu kondisi keterdesakan yang apabila tidak dilakukan maka akan
dapat mengancam eksistensi jiwa manusia di kemudian hari
b. Belum ditemukan bahan yang halal dan suci
c. Adanya rekomendasi paramedis kompeten dan terpercaya bahwa tidak ada obat
yang halal.
5. Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan luar hukumnya
boleh dengan syarat dilakukan pensucian.
Terkait hukum berobat dengan benda haram sendiri, ada pendapat yang
mengharamkan, seperti Ibnu Qayyim AlJauyziyyah. Ada yang membolehkan seperti
ulama Hanafiyah. Ada yang membolehkan dalam keadaan darurat, seperti Yusuf Al-
Qaradhawi. Dan ada pula yang memakruhkannya. di sini dicukupkan dengan
menjelaskan pendapat yang rajih (kuat).
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah
telah menjelaskan kemakruhannya, dengan jalan mengkompromikan dua kelompok
hadits yang nampak bertentangan/kontradiktif dalam masalah ini, yaitu:
1. Ada hadits-hadits yang melarang berobat dengan yang haram dan najis, misalnya
hadits Rasulullah SAW bersabda,"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat
bagimu pada apa-apa yang diharamkan." (HR Bukhari dan Baihaqi, dan dishahihkan
Ibnu Hibban). Rasulullah SAW bersabda pula,"Sesungguhnya Allah SWT
menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya.
Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang
haram."(HR Abu Dawud).
2. Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan
haram.
a. Hadits bahwa Nabi SAW membolehkan berobat dengan meminum air kencing
unta. “Diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas RA, ada satu rombongan dari dari
suku Ukl dan Uraynah yang mendatangi Nabi SAW dan berbincang seputar
agama Islam. Lalu mereka terkena penyakit perut Madinah. Kemudian Nabi
SAW memerintahkan mereka untuk mencari gerombolan unta dan meminum air
susu dan air kencingnya.”(HR Muslim).
Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air kencing unta itu najis
b. Dalam hadits lain dari Anas RA, “bahwa Rasulullah SAW memberi keringanan
(rukhsah) kepada Zubair dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera
karena menderita penyakit gatal-gatal.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits membolehkan berobat dengan benda yang haram (dipakai), sebab
suteraharam dipakai oleh laki-laki.
Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang
haram untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh. Dengan kata
lain, memanfaatkan benda yang najis dan haram dalam rangka pengobatan, hukumnya
makruh. Patut dicatat, benda yang haram (dimanfaatkan) belum tentu najis, seperti
sutera. Sedang benda najis, pasti haram (dimanfaatkan).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berobat adalah upaya manusia untuk memulihkan kesehatannya dari gangguan


penyakit tertentu.
2. Jenis-jenis benda yang diharamkan dalam Islam yaitu alkohol, urine atau air kencing,
darah, bangkai.
3. Pemetaan kondisi darurat Melalui Kaidah Fiqhiyah. Tidak semua keterpaksaan itu
membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan
yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam hal ini maka
semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya
4. Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan pada dasarnya
haram. Akan tetapi, larangan tersebut dikecualikan dalam dua kondisi, pertama pada
kondisi keterpaksaan (al-dlarurat), yaitu kondisi keterpaksaan yang apabila tidak
dilakukan dapat mengancam jiwa manusia. Kedua, kondisi keterdesakan yang setara
dengan kondisi darurat (al-hajat allatitanzilu manzilah al-dlarurat), yaitu kondisi
keterdesakan yang apabila tidak dilakukan maka akan dapat mengancam eksistensi
jiwa manusia di kemudian hari.

B. Saran

Pemakalah menyadari bahwa dalam makalah ini masih belumlah sempurna.


Untuk itu pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
Bapak Dosen dan pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jawi, M. Shiddiq. “Alkohol Dalam Makanan, Obat, Dan Kosmetik : Tinjauan Fiqih
Islam,” The house of Khilafah (Maret 2006)
Anief, M. Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gajah Mada, 1991.
Bahresisy, Hussein. Himpunan Hadis Pilihan Hadits Shahih Bukhari. Surabaya: Al-
Ikhlas, 1992.
Mahjuddin, Masail Al-Fiqh Kasus-Kasus Aktual Hukum Islam. Jakarta: Kalam Mulia,
2012.
Muflih, Andi. Tesis Magister: “Pengobatan dalam Islam,” Makassar: UIN Alauddin,
2013.
Safari, Nurul Syafiqah Mohd. Skripsi Sarjana: “Hukum Menggunakan Benda Najis
Dalam Pengobatan Menurut Ibn Taimiyyah dan Yusuf Al-Qardhawi,” Palembang: UIN
Raden Fatah, 2017.
Sholeh, Asrorun Ni'am. “Jaminan Halal Pada Produk Obat: Kajian Fatwa MUI dan
Penyerapannya Dalam UU Jaminan Produk Halal,” Jurnal Syariah 3 (November 2015)
Sonifuniam, Ahmad. Skripsi Sarjana: “Penggunaan Organ Tubuh Manusia Bagi
kepentingan Obat dan Kosmetika,” Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam: Kaidah-kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo, 1999.

[1] Andi Muflih, Tesis Magister: “Pengobatan dalam Islam,” (Makassar: UIN Alauddin,
2013), 11.
[2] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1013.
[3] M. Anief, Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat (Yogyakarta: Gajah Mada,
1991), 3.
[4] Mahjuddin, Masail Al-Fiqh Kasus-Kasus Aktual Hukum Islam (Jakarta: Kalam
Mulia,2012), 105.
[5]Hussein Bahresisy, Himpunan Hadis Pilihan Hadits Shahih Bukhari (Surabaya: Al-
Ikhlas, 1992), 334-335.
[6] Nurul Syafiqah Mohd Safari, Skripsi Sarjana: “Hukum Menggunakan Benda Najis
Dalam Pengobatan Menurut Ibn Taimiyyah dan Yusuf Al-Qardhawi,” (Palembang: UIN
Raden Fatah, 2017), 18-19.
[7] Usman, Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam: Kaidah-kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah, 133-134.
[8]Ibid., 135.
[9] Ahmad Sonifuniam, Skripsi Sarjana: “Penggunaan Organ Tubuh Manusia Bagi
kepentingan Obat dan Kosmetika,” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008), 29-30.
[10]Ibid., 31-32.
[11] Asrorun Ni'am Sholeh, “Jaminan Halal Pada Produk Obat: Kajian Fatwa MUI dan
Penyerapannya Dalam UU Jaminan Produk Halal,” Jurnal Syariah 3 (November 2015),
80-81.
[12] M. Shiddiq Al-Jawi, “Alkohol Dalam Makanan, Obat, Dan Kosmetik : Tinjauan
Fiqih Islam,” The house of Khilafah (Maret 2006), 3-4.

Anda mungkin juga menyukai