Anda di halaman 1dari 6

PENYEDERHANAAN SURAT SUARA PEMILU 2024 TIDAK DIPERLUKAN

KARENA BERDAMPAK BUMERANG BAGI KPU DAN


POTENSI MALPRAKTEK PEMILU

Oleh : Hidayatullah*

“Menyederhanakan Surat Suara Pemilu Sama Dengan Merencanakan Sebuah Kegagalan


Pemilu 2024 dan Berpotensi Menciptakan Legitimasi Yang Lemah Dari Publik”

I. Opsi Penyederhanaan dan Alasan KPU

Dikutip dari KOMPAS.com, Selasa (22/3/2022), Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan
simulasi pemungutan dan penghitungan surat suara dengan desain surat suara dan formulir yang
disederhanakan untuk Pemilu 2024 mendatang. Proses pemilihan masih dilakukan dengan cara
mencoblos.

Simulasi tahap empat kali ini, terdapat dua jenis tempat pemungutan suara (TPS) yang dibedakan
dari jumlah surat suara. TPS 1 untuk menguji coba desain surat suara lima jenis pemilihan dalam
tiga lembar surat suara, sementara untuk TPS 2 dalam dua lembar surat suara.

Diketahui model ini berbeda dengan surat suara pada Pemilu 2019. Pada surat suara Pemilu 2019
KPU menggunakan lima surat suara, sesuai dengan jenis pemilihan masing-masing. Untuk
diketahui, lima jenis pemilihan terdiri atas pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI,
DPD RI, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/kota.

Sedangkan dalam penyederhanaan surat suara opsi yang sudah disiapkan adalah desain ulang
surat suara lima lembar pada Pemilu 2019, digabungkan beberapa pemilu dalam beberapa surat
suara, menjadi dua lembar atau tiga lembar.

1. Bagaimana Model Surat Suara Yang Disederhanakan Dalam Simulasi KPU?

KPU diketahui menyiapkan dua opsi model surat suara, berikut ini:

a. Model pertama berisi tiga surat suara dengan ukuran kertas 42 x 65 cm, yakni;

 Pada Lembar pertama, KPU menggabungkan kolom pemilihan Presiden dan


Wakil Presiden dengan kolom pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR).
 Pada Lembar kedua, KPU menggabungkan kolom pemilihan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
 Pada lembar surat suara ketiga, KPU menampilkan kolom pemilihan anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

b. Model kedua berisi dua surat suara, yakni :

1
 Pada lembar pertama KPU menggabungkan kolom Presiden dan Wakil Presiden,
DPR, dan DPD, dengan ukuran kertas 51x84 cm.
 Pada lembar kedua KPU menggabungkan kolom pemilihan DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota, dengan ukuran kertas 42x65 cm.

2. Apa Alasan KPU Menyederhanaan Surat Suara?

Menurut pihak KPU menyederhanakan surat suara Pemilu 2024 dilakukan berdasarkan
evaluasi pemilu 2019 yang memakan korban sakit, hingga meninggal dunia pada petugas
selama proses pemilu. Juga penyederhanaan surat suara dilakukan untuk menghemat
anggaran Pemilu, serta diharapkan dapat memudahkan proses pemilihan dan pemungutan
suara.

KPU memperkirakan akan ada aspek efisiensi dalam penyederhanaan surat suara dengan
menghemat anggaran dari belanja logistik kisaran 50 s.d 60 persen, serta dapat
meminimalisasi penggunaan kertas (paperless).

Hal lainnya sebagai upaya KPU agar kemudian dimudahkan dalam proses pemilihan,
pemungutan, dan proses penghitungan suara menjadi lebih simple, lebih sederhana yang
juga berimplikasi pada desaian formulir yang juga disederhanakan untuk menghindari
kesalahan dalam perhitungan formulir C, serta demi menghindari korban dari petugas
yang sakit hingga tertekan.

II. Tanggapan Penulis

1. Penyederhanaan Surat Suara Pemilu 2024 Berdampak Bumerang Bagi


Penyelenggara Pemilu (KPU dan Jajaran Dibawahnya)

Menyederhanakan surat suara Pemilu 2024 dengan opsi memangkas surat suara dari lima
jenis pemilihan menjadi tiga lembar surat suara, dan opsi kedua menjadi dua lembar surat
suara dengan alasan efisiensi anggaran akan menjadi bumerang bagi jajaran KPU sampai
tingkat terbawah KPPS.

Penyederhanaan surat suara Pemilu 2024 tidak diperlukan, dan bukan pilihan terbaik
karena dapat mengancam integritas penyelenggara pemilu itu sendiri. Surat suara Pemilu
itu adalah komponen logistik pemilu yang sangat penting dalam proses konversi suara
pemilih menjadi kursi dalam pemilu. Diperlukan perhitungan yang cermat, rinci, detail,
serta untuk menjaga kesetaraan nilai suara pemilih atau One Person, One Vote, One
Value (opovov) yang merupakan salah satu parameter utama dalam menilai derajat
demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu.

Prinsip opovov sangat penting untuk diterapkan pada beberapa aspek dalam pemilu salah
satunya dalam sistem penghitungan suara dan penentuan perolehan kursi anggota DPR
dan DPRD (electoral system). Hal ini tidak terpenuhi maka pelaksanaan pemilu terancam
gagal dan tidak memiliki legitimasi yang kuat di mata publik.

2
Sementara Pemilu yang adil dan demokratis, sekurang-kurangnya memiliki tujuh kriteria
(Ramlan Surbakti, Kompas, 14/02/2014), antara lain : kesetaraan antarwarga negara,
kepastian hukum yang dirumuskan dengan asas Pemilu demokratis, persaingan bebas dan
adil antar kontestan Pemilu, partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam tahapan
Pemilu, penyelenggara Pemilu yang profesional, independen dan imparsial, integritas
pemungutan, penghitungan, tabulasi dan pelaporan, serta penyelesaian sengketa Pemilu
yang adil dan tepat waktu. Di antara tujuh kriteria tersebut, hadirnya regulasi yang
paripurna merupakan keniscayaan untuk menjamin kepastian hukum. Manakala kepastian
hukum absen dari penyelenggaraan Pemilu, hampir dipastikan akan terjadi kekacauan
demokrasi.

Salah satu tahapan paling krusial bagi KPU, pemilih dan peserta Pemilu adalah
pemungutan dan penghitungan suara. Hal ini merupakan proses puncak dari tahapan
panjang Pemilu, bahkan bagi sebagian peserta Pemilu merupakan malaikat maut yang
menentukan hidup matinya nasib politik mereka di masa mendatang. Bagi penyelenggara
pemilu (KPU dan Bawaslu dan seluruh jajarannya), tahapan inilah menentukan dan
mempertaruhkan seluruh idealisme, profesionalitas dan integritas. Pemilu dipertaruhkan
pada tahapan ini. Beleid yang terang benderang, tidak multitafsir, tegas serta rinci akan
memudahkan tahapan ini dilakukan.

Pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara akan melahirkan perwujudan sebuah
kesetaraan nilai suara pemilih (yang merupakan bagian dari hak asasi manusia) dalam
Pemilu. Terhadap Pemilu untuk memilih DPR dan DPRD yang menganut sistem
proporsional dengan metode penghitungan kuota sebagaimana dianut di Indonesia, maka
dalam proses penghitungan dan konversi suara menjadi kursi harus dipenuhi 2 (dua)
prinsip yakni, pertama prinsip bahwa setiap suara pemilih diperlakukan setara dan
dihitung hanya satu kali, dan kedua prinsip proporsionalitas.

Apabila terdapat suara pemilih yang dihitung lebih dari satu kali, maka akan
menyebabkan terjadinya ketimpangan atau ketidaksetaraan nilai suara pemilih, dan
menimbulkan dampak berupa terjadinya under-representation maupun over-
representation yang selanjutnya berimplikasi pada munculnya disproporsionalitas hasil
pemilu.

Maka penyederhanaan surat suara Pemilu 2024 akan menimbulkan bumerang dengan
permasalahan berupa maladministrasi pemilu yang dapat mengindikasikan terjadinya
malpraktik pemilu. Hal ini terjadi pada pengakomodiran suara pemilih pindahan dalam
daftar pemilih tambahan karena kondisi tertentu dapat menggunakan haknya untuk
memilih di TPS/TPSLN lain sebagaimana dalam pasal 348 ayat (3) UU No. 7 Tahun
2017 yang memiliki opsional memilih jenis pemilihan ketika mencoblos di TPS lain.

Apabila hanya diberi opsi satu jenis pemilihan tetapi dalam kertas surat suara terdapat
dua jenis pemilihan dan baik disengaja atau tidak disengaja, maka salah satu pilihan pada
jenis pemilihan harus sifatnya tidak sah atau suara batal. Tetapi karena asas kerahasiaan
hasil pemilihan (coblos) kemudian akan menjadi sah dan dilegalkan suara tersebut secara

3
otomatis dalam pehitungan suara. Maka akan terjadi selisih hasil perhitungan suara di
TPS dalam satu atau dua jenis dari lima jenis pemilihan.

Karena prosesi pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan dalam


kategori pemiliha tambahan ini yang menggunakan hak pilihnya di TPS/TPSLN lain
dijelaskan secara gamblang dan terang benderang dalam Pasal 348 ayat (4) huruf a s.d
huruf e UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, berbunyi; sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat menggunakan haknya untuk memilih:
a. calon anggota DPR apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu
provinsi dan di daerah pemilihannya;
b. calon anggota DPD apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu
provinsi;
c. Pasangan Calon apabila pindah memilih ke provinsi lain atau pindah memilih ke
suatu negara;
d. calon anggota DPRD Provinsi pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu
provinsi dan di daerah pemilihannya; dan
e. calon anggota DPRD Kabupaten/Kota pindah memilih ke kecamatan lain dalam satu
kabupaten/kota dan di daerah pemilihannya

2. Penyederhanaan Surat Suara Berpotensi Maladministrasi Pehitungan Suara Akibat


Malpraktek Pemilih

Dari penjelasan point-point pasal diatas, jika disimulasikan opsi penyederhanaan


penggunaan tiga surat suara, maka ditemukan masalah, sebagai berikut:

 Huruf c; “Pasangan Calon apabila pindah memilih ke provinsi lain atau pindah
memilih ke suatu negara”. Dalam model lembar pertama, menggabungkan kolom
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan kolom pemilihan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).

Ketika pemilih pindahan itu mencoblos Pasangan Calon (Capres dan Cawapres) dan
kemudian secara sengaja atau tidak sengaja ikut mencoblos kolom dibawahnya
pemilihan anggota DPR, lalu pemilih langsung melipatnya dan memasukkan dalam
kotak suara.

Pada proses penghitungan suara maka kolom pemilihan anggota DPR tadi tercoblos
akan terhitung sebagai satu nilai berarti satu suara, maka disinilah terjadi
maladministrasi dengan menghitung satu suara menjadi satu nilai yang sah dari
kesalahan coblos (malpraktek pemilih).

 Huruf d; “calon anggota DPRD Provinsi pindah memilih ke kabupaten/kota lain


dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya”; Dalam lembar kedua, KPU
menggabungkan kolom pemilihan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

4
Tindakan pemilih melakukan malpraktek yang sama seperti huruf c diatas, maka
suara DPRD Kabupaten/Kota akan terhitung satu suara menjadi satu nilai yang sah
dari kesalahan coblos (malpraktek pemilih).

 Huruf e; “calon anggota DPRD Kabupaten/Kota pindah memilih ke kecamatan lain


dalam satu kabupaten/kota dan di daerah pemilihannya”; Dalam lembar kedua,
KPU menggabungkan kolom pemilihan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Tindakan pemilih melakukan malpraktek yang sama seperti huruf c dan d diatas,
maka suara DPRD Provinsi akan terhitung satu suara menjadi satu nilai yang sah
dari kesalahan coblos (malpraktek pemilih).

Dari opsi penyederhanaan tiga surat suara saja diatas sudah melahirkan multi pelanggaran
maladministrasi petugas penyelenggara pemilu (KPPS) dan malpraktek (pemilih). Maka akan
sama dan bahkan tingkat malpraktek pemilih dan maladministrasi penyelenggara semakin
semrawut. Terjadi ketimpangan atau ketidaksetaraan nilai suara pemilih, dan menimbulkan
dampak berupa terjadinya under-representation maupun over-representation yang selanjutnya
berimplikasi pada munculnya disproporsionalitas dan delegitimasi hasil pemilu.

Berdasarkan evaluasi dari Pemilu ke Pemilu dari semua jenis pemilihan dimana lembaran surat
suara terpisah-pisah sesuai jenis pemilihan saja, banyak suara yang rusak atau batal. Apalagi
ketika dilakukan penyederhanaan, maka tingkat kesalahan (kekeliruan) coblos ditambah
malpraktek pemilih yang berdampak pada maladministrasi hasil perhitungan suara Pemilu.

Alasan kelelahan akibat beban petugas dan tekanan (KPPS) hasil evaluasi Pemilu 2019 bukan
karena proses pemungutan suara, karena pemungutan suara sudah memiliki batas waktu jam
07.00 s.d 13.00 waktu setempat yang disediakan waktu untuk pemilih TPS.

Yang melelahkan sesungguhnya pada rangkaian proses dengan peristiwa sejak diterimanya
logistik dan didistribusi ke TPS, serta proses penghitungan suara dan rekapitualasi suara dalam
lembar formulir dan rangkap yang banyak sehingga perhitungan dan pengisian untuk dituliskan
dalam formulir itu yang dilakukan sampai subuh dini hari atau bahkan melewati dari batas waktu
satu hari dari ketentuan.

Termaksud juga soal usia penyelanggara badan adhok PPK, PPS terutama KPPS yang banyak
diatas usia senja (50 tahun keatas). Pun juga tidak ada proses penapisan terhadap aspek
kesehatan dan usia penyelenggara adhock tersebut.

Penutup

Jadi filosofi pemungutan suara dan proses rekapitulasi hasil pemilu bukan hanya sekedar
persoalan angka yang ditulis dipapan tulis dari angka-angka hasil pemungutan suara oleh pemilih,
dan bukan pula hanya sekedar angka-angka yang ditulis (dituangkan) dalam formulir, tetapi
makna angka (nilai suara) dalam Pemilu adalah proses mengganti suara pemilih menjadi kursi
penyelenggara negara baik eksekutif maupun legislative, baik tingkat nasional maupun tingkat
daerah.

5
Maka memaknai surat suara bukan hanya sarana materil yang harus dihitung untung rugi dari
aspek biaya maupun belanja logistik, tetapi untuk menghitung angka-angka yang
mengkonversikan suara rakyat (kedaulatan) menjadi kursi.

Termaksud formulir sertifikat hasil yang merupakan legalitas administrasi pemindahan konversi
suara rakyat (kedaulatan) untuk siapa pemimpin dan wakil rakyat yang diamanahkan sebagai
penyelenggara negara dalam mengelola bangsa ini.

KPU harusnya memikirkan terobosan dalam membuat sejumlah beleid atau kebijakan rentang
kedali dari tingkat pusat sampai daerah. Pemilu itu sama dengan manajemen perang, semua
diperhitungkan secara proporsionalitas baik sumber daya manusia, fasilitas, sarana dan prasarana
termaksud anggaran bukan sedikit atau banyaknya tetapi pengelolannya harus efektif dan efisien
agar tidak terjadi pemborosan.

Maka tantangannya harus dihadapi oleh KPU. Beleid baru dalam hal inovasi yang efektif untuk
mengurangi beban penyelenggara dibawah KPPS, PPS dan PPK, bagaimana inovasi
pemanfaatan teknologi informasi yang mutakhir dan modern dalam penyelenggaraan Pemilu
seperti yang sudah dilakukan oleh negara lain, maka ini yang sangat ditunggu publik.
“KPU Melayani”

Demikian, semoga dapat memberikan makna dalam menata mozaik demokratisasi dibangsa ini.

Wassalam
Bumi Anoa, 25 Maret 2022

*Penulis : Praktisi Hukum/Ketua Presidium JaDI Sultra/Ketua KPU Provinsi Sultra Periode
2013-2018

Anda mungkin juga menyukai