Pemilu dan
Pilkada 2022:
Mungkin dan
Urgenkah?
Titi Anggraini
Anggota Dewan Pembina Perludem
Minggu, 24 Agustus 2021
tw: @titianggraini, ig: @tanggraini
Pengaturan saat ini (Pasal 201 dan Pasal 202 UU No. 10 Tahun 2016
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota)
• Pasal 201 ayat (3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil
Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022.
(5) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018
menjabat sampai dengan tahun 2023.
(7) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020
menjabat sampai dengan tahun 2024.
(8) Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November
2024.
(9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa
jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan
penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan
Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
• Pasal 202: Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang tidak sampai
satu periode akibat ketentuan Pasal 201 diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa
serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode.
Pilkada 2017 dan 2018 → 2022 dan 2023
• Rerata beban kerja petugas KPPS sangat tinggi sebelum, selama, dan sesudah hari pemilihan serta adanya
kendala terkait bimtek, logistik, dan kesehatan berkontribusi pada kelelahan petugas yang berakibat
kematian. Median beban kerja Petugas Pemilu berkisar antara 20-22 jam pada hari pelaksanaan Pemilu; 7,5
hingga 11 jam untuk mempersiapkan TPS; dan 8 hingga 48 jam untuk mempersiapkan dan mendistribusikan
undangan (Fisipol UGM, Juni 2019).
• Dominasi Pilpres, membuat pemilu legislatif tidak mendapatkan perhatian yang sepadan dari pemilih.
Khususnya pemilu DPD dan DPRD.
• Isu lokal tenggelam oleh isu nasional dalam penjangkauan pemilih dan diskursus kepemiluan.
• Meningkatnya suara tidak sah (invalid votes), terutama pemilu DPD, DPR, dan DPRD akibat pemilih yang
kebingungan akibat kompleksitas pemilihan yang berjalan.
• Sosialisasi dan pendidikan kepemiluan tidak optimal karena isu yang terlalu banyak dan berkelindan satu
sama lain. Pemilih kebingungan akhirnya perhatian terfokus pada Pilpres.
• Menurunkan kualitas dan mutu profesionalisme, kinerja, dan performa penyelenggara pemilu. Logistik
pemungutan suara tidak tersedia tepat waktu, tepat jenis, tepat jumlah, dan tepat lokasi: meningkatnya jumlah
kasus surat suara tertukar, kekurangan surat suara, dll.
DISPARITAS ANGKA SURAT SUARA TIDAK SAH
Nasional
Jenis Surat Suara Tidak Sah Jumlah %
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 3.754.905 2,38%
Pemilu DPD 29.710.175 19,02%
Pemilu DPR 17.503.953 11, 12%
Diperoleh dari inforgrafis yang dipublikasi oleh KPU pada rapat pleno rekapitulasi perolehan suara nasional Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, DPR, dan DPD, Selasa, 21 Mei 2019.
Lokal
Jenis Surat Suara Tidak Provinsi Jawa Barat Provinsi Lampung
Sah Jumlah % Jumlah %
Pemilu Presiden 648.065 2,3 86.311 1,8
Pemilu DPR 2.970.984 10,8 544.007 11,2
Pemilu DPRD Provinsi 3.659.012 15,4 562.619 12,7
Diolah dari Sertifikat Hasil Penghitungan Perolehan Suara DC.1 Pemilu Presiden, Pemilu DPR, dan Pemilu DPRD di Provinsi Jawa
Barat dan Provinsi Lampung.
Pemungutan Suara Pilkada November 2024
• Dari sisi teknis dan beban serta isu, Pilkada tidak feasible (tidak memungkinkan) untuk digelar pada
2024.
• Pilkada bukan tidak bisa diselenggarakan pada 2024, pada tahun yang sama dengan Pileg dan Pilpres,
namun sangat berisiko dan besar kemungkinan akan mempengaruhi kualitas dan integritas
pemilihan serta potensial memicu terjadinya kekacauan teknis manajemen kepemiluan.
• Bisa makin menjauhkan pemilih dengan partai politik dan berkontribusi pada krisis party id
(tingkat identifikasi) karena partai makin menjauh dari masyarakat dan cenderung hadir hanya ketika
tahapan pemilu berlangsung. Padahal berdasar data LSI, selama lebih dari satu dekade terakhir
menunjukka bahwa party id hanya di kisaran kurang dari 15 persen.
• Kompleksitas pemilu 5 kotak; adanya Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 tentang rekonstruksi
keserentakan pemilu; desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang cenderung tidak berimbang
dalam membangun posisi dan relasi antara KPU, Bawaslu, dan DKPP (kemandirian penyelenggara
pemilu tidak akan tercipta apabila bekerja di bawah rasa was-was atau kekhawatiran akibat terlalu
banyak pintu untuk mempermasalahkan mereka secara hukum/too many room to justice),
penyelarasan dengan berbagai Putusan MK terkait UU Pemilu (hak pilih, mantan terpidana, dll); membuat
pembahasan RUU Pemilu relevan dan penting untuk dilakukan.
RUU Pemilihan Umum versi 26 Nov. 2020
• Pasal 731 ayat (2) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk
memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2017 dilaksanakan
pada tahun 2022.
• (3) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2018 dilaksanakan pada
tahun 2023.
• Pasal 734 ayat (1) Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027, dan untuk
selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
• Pasal 735 ayat (2) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan
Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada bulan
Desember tahun 2020 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 731 ayat (1) berakhir masa
jabatannya pada tahun 2025.
Rekomendasi
• Pilkada memiliki urgensi untuk tetap diseleggarakan pada 2022 dan 2023
(siklus pemilihan bagi daerah yang berpilkada pada 2017 dan 2018).
• RUU Pemilu harus segera memberikan kepastian soal pilkada 2022 dan 2023.
Khususnya pilkada 2022, anggaran pilkada di APBD harus ketok palu pada 2021.
• Bila tidak mengejar penyelenggaraan pilkada pada 2022, bisa digabungkan
dengan pilkada 2023 (di 271 daerah) pada Februari 2023 (di awal tahun agar
tidak bersinggungan dengan persiapan pemilu 2024).
• Alternatif lain, agar tidak mengganggu pembahasan RUU Pemilu, dilakukan revisi
terbatas terhadap Pasal 201 UU No. 10 Tahun 2016, sebagai dasar
penyelenggaraan pilkada pada 2022 dan 2023. Pilihan lain Peraturan Pemerintah
Pengganti UU (Perpu), namun kecenderungannya, pilihan ini kurang disukai
Presiden.
Terima Kasih