Anda di halaman 1dari 5

Tugas Individu III

Ester Angelia/201902520016

2 tahun lalu
Ketika Mia menoleh ke arah panggung, pandangannya langsung tertuju pada
wajah pria yang duduk di depan piano itu. Ujung bibirnya terangkat ketika
melihat senyum yang diarahkan kepadanya. Pria itu tersenyum dengan lembut,
kemudian menganggukan kepala, seakan memberi tahu bahwa dia baik-baik
saja. Setelah sekian detik mereka saling bertatapan, Mia melangkah pergi
meninggalkan pria itu.
***
“Kamu tidak suka musik jazz ?” ucap suaminya yang duduk di kursi pengemudi
“Hemm… suka, aku suka itu” balas Mia lirih
“Aku pikir tidak begitu, karena tadi kamu ingin segera pergi setelah selesai
mendengar satu lagu”
“Aku hanya sedang tidak mood untuk mendengarnya”

Setelahnya tidak ada lagi diantara mereka yang bersuara, hening mengekang
kendaraan roda empat yang mereka kendarai. Mia mengingat kembali kejadian
10 menit lalu, bagaimana ia bisa kembali mendengar dentingan music yang
dihasilkan oleh permainan piano pria itu. Ingatan Mia semakin berkelana,
kejadian diantara mereka di masa lalu seperti rekaman yang kembali diputar di
dalam kepala Mia. Rasa senang dan sedih bercampur menjadi satu. Ya itulah
perasaan yang dirasakan Mia sekarang, perasaan yang mengaduk hati
membuat dada terasa nyeri.
Malam itu sedang turun salju, tidak banyak kendaraan yang melintas di jalan. Di
perempatan jalan, suaminya menginjak rem ketika melihat warna merah muncul
dari lampu lalu lintas. Kendaraan mereka kembali melaju setelah warna merah
berganti menjadi warna hijau. Mia menyipitkan matanya, karena dari sebelah
kirinya tiba-tiba muncul sorotan cahaya terang. Dari arah jam 9, sebuah mobil
melaju dengan kecepatan tinggi. Setelah kejadian yang berlangsung sekian
detik tersebut, kendaraan mereka sudah dalam kondisi mengenaskan. Mia
merasakan mati rasa di sekujur tubuhnya, kepalanya pusing dan cairan merah
mengalir. Mia tidak bisa mempertahankan kesadarannya, pandanggannya
kabur dan semuanya berubah jadi hitam.
***
Seorang wanita terbaring di tengah ruangan bernuansa putih, ia sudah tidak
sadarkan diri sejak 6 hari lalu. Selama Mia menutup mata, ia bisa merasakan ada
seseorang yang terus memegangi tangannya. Mungkinkah itu suaminya ? Atau
itu bibinya?. Ingin rasanya Mia membuka matanya saat itu juga untuk melihat
orang yang selalu ada di sisinya. Tapi hal itu tidak bisa Mia lakukan, matanya
berat dan sulit untuk dibuka, tubuhnya juga sulit untuk digerakan.
Setelah penantian yang lama, akhirnya pada hari ketujuh Mia bisa terbangun
dari tidurnya. Cahaya lampu menusuk pandangan begitu Mia membuka kedua
matanya. Bau alkohol dan obat-obatan menyeruak masuk indra penciuman
Mia. Suara teriakan seorang wanita yang memanggil dokter memecahkan
keheningan ruangan tempat ia berbaring.

“Ohh God, akhirnya kamu sadar Mia. Kamu bisa lihat aku dengan jelas ?”
“Ya, tapi kepalaku masih sedikit pusing”
“Kenapa mereka lama sekali datang. Sebentar aku panggil lagi dokternya”
ucap bibinya sambil berjalan keluar.
“Tunggu bi, dimana dia, apakah keadaannya baik-baik saja?” balas Mia sambil
menahan tangan bibinya.
“Kamu tidak usah memikirkan itu dulu, sekarang pikirkan kesehatanmu dulu. Jadi
lepaskan tanganmu dan biarkan aku memanggil dokter”

Tidak lama dokter datang dan segera melakukan pengecekan terhadap Mia.
Selama pengecekan Mia terganggu dengan jawaban bibinya tadi, apakah
suaminya tidak baik-baik saja? kenapa bibinya tidak menjawab?. Setelah selesai,
dokter menyatakan Mia hanya harus tinggal 1 malam lagi. Kaki dan tangannya
sudah bisa digerakan dengan normal kembali, hanya kepalanya saja yang
masih terlilit perban.
Karena bibinya menolak untuk mengatakan kondisi suaminya, setelah bibinya
pulang Mia bertanya langsung ke resepsionis. Dan betapa terkejutnya ia ketika
mendengar bahwa suaminya sekarang ini koma akibat pendarahan di bagian
otak yang ditimbulkan oleh benturan yang sangat keras. Ditambah dengan
informasi bahwa ada kemungkinan suaminya tidak akan bangun, membuat
kedua kaki Mia kehilangan kekuatan dan duduk terkulai di lantai.
***
Mia sudah kembali pulang ke rumah sejak 1 minggu setelah mendengar kondisi
suaminya. Tidak ada satu hari pun yang dilewati Mia tanpa datang ke rumah
sakit. Disinilah Mia sekarang, berdiri di depan pintu ruangan suaminya sambil
menyiapkan hati agar perasaanya tidak mengambil alih dirinya. Setiap
melihatnya yang terbaring dengan berbagai alat yang membantunya tetap
bertahan, ucapan dari resepsionis waktu itu terus menghantui Mia. Apakah kalau
suaminya benar-benar tidak bisa bangun?.
Hari berganti menjadi minggu, kemudian berganti menjadi bulan. Mia sudah
tidak menghitung berapa lama suaminya telah tertidur. Yang ia lakukan setiap
hari hanyalah datang melihat suaminya, dan mengabaikan semua
pekerjaannya. Ya sejak kejadian ini, Mia menolak semua pekerjaan akting yang
ditawarkan kepadanya. Ia memilih untuk hiatus dari hiruk pikuk dunia film.
Tentunya Mia sadar keputusannya bisa berpengaruh pada karirnya, banyak
pihak yang kecewa dengan pilihan Mia. Perasaan Mia telah mengambil alih
pikiriannya, ia memilih mengikuti hatinya untuk tetap ada di sisi suaminya.
Tanpa terasa bulan sudah berganti menjadi tahun. Di malam yang bersalju sama
dengan waktu kejadian 1 tahun lalu, Mia harus mengucapkan salam perpisahan.
Ia harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya tidak bisa kembali
bersamanya. Dinginnya udara yang menyelimuti Los Angeles malam itu, menjadi
tanda perpisahan Mia dengan suaminya.
***
Seakan badai terus menerpa, setelah membuat keputusan untuk hiatus, Mia
terpaksa harus kembali ke masa dimana ia kesulitan untuk mendapatkan paran
dalam sebuah film. Hilangnya kehadiran Mia dalam dunia peran, perlahan-lahan
digantikan oleh orang lain. Saat Mia mendapatkan sinarnya dia melepaskan dan
merelakannya begitu saja. Sinar yang telah redup belum tentu langsung bisa
bersinar kembali. Pada akhirnya, Mia memutuskan untuk kembali membuat
ceritanya sendiri untuk perannya sendiri. Dengan kembali mengulang persiapan
seperti di masa lalu, waktu nya untuk kembali mendapatkan sinarnya tiba.
Detak jantung yang terpacu membuat Mia gugup. Ini adalah penampilan
pertamanya kembali setelah hiatus. Melirik dari belakang panggung, Mia bisa
melihat kursi-kursi yang penuh dengan orang. Mia memejamkan mata,
menenangkan detak jantungnya, dan mengingat kembali apa saja yang sudah
ia lewati sampai hari ini ia bisa berdiri kembali di atas panggung. Dengan
melangkah penuh keyakinan, Mia berjalanan menuju panggungnya kembali.

Sosok Mia yang berjalan ke tengah panggung, berhasil menciptakan


keheningan di kursi penonton. Suara bisik-bisik obrolan orang-orang hilang begitu
kehadiran Mia muncul di depan. Saat Mia menghadap kedepan, matanya
menangkap sosok pria yang terakhir kali mereka bertemu, ia memainkan musik
yang pertama kali Mia dengar dari permainan pianonya. Dan saat ini pria itu
sedang duduk barisan tengah dengan senyuman lembut yang sama. Senyuman
yang berhasil membuat bibir Mia ikut tersenyum. Senyuman yang menjadi tanda
dimulainya show Mia untuk kembali meraih sinarnya “Mia’s Return”.
Masa Kini
Suara anak kecil yang sedang menirukan peran dari sebuah film memenuhi
ruangan. Di depan anak kecil itu duduk seorang pria yang tertawa dengan
tingkah lucunya. Mia melangkah menghampiri mereka, kemudian ikut duduk
untuk menyaksinkan anaknya yang sedang berakting. Setelah puas bermain
peran dan mendapatkan tepuk tangan dari kedua orangtuanya, anak kecil itu
berlari ke arah piano yang ada di ujung ruangan. Memainkan tuts piano dengan
tangan kecilnya, memainkan lagu “Jingle Bell”.
Mia dan pria itu ikut duduk dan menghimpit anak kecil itu diantara tubuh mereka.
Anak kecil itu protes karena tempat duduk tersebut jadi sempit. apalagi
ditambah dengan perut ibunya yang besar. Pasrah dengan keadaannya, anak
itu kembali bernyanyi dengan alunan musik dari piano. “Anak cantik, kamu mau
mendengarkan sebuah lagu?” ucap pria itu dan dibalas anggukan oleh anak
kecil itu. Jari-jari pria itu mulai sibuk menakan setiap tuts piano. Alunan musik yang
dimainkannya membuat Mia tersenyum bahagia. Itu ada lagu yang
didengarnya pertama kali saat bertemu dengannya nya.
Mata Mia melirik wajah pria yang sedang fokus memainkan piano. Merasa
bahwa dirinya diperhatikan, pria itu memalingkan wajah menghadap wajah
Mia. Mengucapkan sebuah kalimat yang membuat Mia tidak bisa
menyembunyikan wajah bahagiannya. “I love you too Sebastian, always and
fovever”. Jawaban yang menjadi akhir cerita Mia, biarlah itu tersimpan dalam
hati Mia dengan iringan musik yang mengalun lembut di tengah dinginnya
malam bersalju di malam Natal.

The End

Anda mungkin juga menyukai