Anda di halaman 1dari 2

Hasil Pembahasan

Pada masa pandemi covid-19 tentunya banyak akses publik yang di tutup.
Pembatasan di setiap aspek yang dilakukan pemerintah sejak merespon pandemi
menghasilkan partisipasi publik yang semakin terbatas pada keputusan-keputusan
politik yang sangat penting pada masa pandemi.

Menyempitnya ruang demokrasi menyebabkan bentuk yang paling


sempurna sejak wabah Covid-19 melanda. Kedaruratan kesehatan dijadikan alasan
sempurna untuk memaksa setiap orang harus diam dan membisu di rumah (tidak
termasuk buruh pabrik dan rakyat kecil lainnya yang tidak punya pilihan lain
harus terus bekerja demi sesuap nasi). Setiap diadakan pertemuan pada ruang
public, maka penghentian menggunakan ancaman kosong seperti pidana
kekarantinaan kesehatan juga kritik terhadap setiap kebijakan pemerintah terkait
Covid-19 dengan cara pemenjaraan sebab diklaim dapat menghina presiden serta
pejabat negara atau dituduh menyebar hoaks.

Dengan demikian, alternatif untuk menggantikan demonstrasi pada masa


pandemi Covid-19 yaitu dengan mural. Mural direpresentasikan sebagai bentuk
perlawanan. Mural yang ditampilkan itu memuat kritik sosial sebab sering
dipergunakan menjadi alat perlawanan untuk melawan penguasaan. Mural mulai
timbul dan berkembang sejalan dengan perilaku vandalism. Kegiatan vandalis
atau mencoret-coret sisi tembok kawasan umum. Mural hadir menjadi sebuah aksi
penolakan dan bahkan sebagai sebuah perlawanan terhadap aksi vandalism oknum
yang tak bertangungjawab. Mural hadir serta melapisi beberapa tembok yang telah
dicoreti oleh oknum pelaku vandalisme, dengan maksud supaya mural tersebut
menjadi sebuah alternatife baru yang kian lebih baik dalam menyampaikan
sebuah gagasan, pendapat, serta kritik di jalanan.

Mural pula dikatakan sebagai menjadi bagian dari seni jalanan sangat erat
kaitannya dengan kritik sosial dan politik, akan tetapi tidak semua mural
bermuatan politik. Mural sebenarnya lebih banyak mengekspresikan keindahan
visual menggunakan medium dengan yang terdapat di jalan, dinding, serta
bangunan arsitektur. Mural dapat membuat mural yang bisa membangun estetika
kota dengan baik. Meski berbagai mural juga berisi konten yang berupa kritik
sosial serta politik kepada pemerintah menjadi bagian dari aktualisasi diri.

Maka dari itu, diharapkan pemerintah atau aparat tak alergi terhadap kritik
sosial lewat mural. Penghapusan mural jika berisi gambar ajakan kebencian serta
pancingan dan tidak menampilkan karya seni yang sesungguhnya. Mural menjadi
bagian dari seni yang sangat berkaitan erat menggunakan syarat sosial serta politik
yang ada dalam suatu masyarakat. Seni telah bergeser bukan lagi sebatas
aktualisasi diri individual pada senimannya saja, akan tetapi bagian aktualisasi diri
kolektif dan komunitas. Seni pula merupakan bagian dari upaya melakukan
penyadaran sebab mempunyai muatan yang berisifat pengetahuan.

Pada masa pandemi covid-19 ini sangat cocok sekali, kritik atau pendapat
bisa dilakukan dengan cara mural. Bukan semata-mata merusak lingkungan,
namun mural bisa menjadi indah yang merupakan seni dalam sebuah aktualisasi
diri dengan mengemas kritik dengan hal yang bersifat estetika. Seharusnya
pemerintah tidak perlu menghapus mural yang bersifat demokratis. Karena dapat
melukai seniman yang memang memiliki niat serta kemampuan dalam membuat
mural tersebut. Tidak ada salahnya jika mural dipakai sebagai sarana demonstrasi
karena pada saat pandemi ini tidak menimbulkan kerumunan yang signifikan, juga
cenderung para seniman mural juga menghilangkan identitas diri dan memakai
masker yang tentunya merupakan penerapan protokol kesehatan. Namun, tak
dipungkiri pula bahwa banyak pro dan kontra mengenai dihapusnya mural dengan
ujaran kritik dan saran.

Anda mungkin juga menyukai