MODUL PERKULIAHAN
W522100005
SOSIOLOGI
MEDIA DAN
KOMUNIKASI
Media dan Pengaruhnya bagi
Individu dan Masyarakat
Abstrak Sub-CPMK 2
02
Dr. Achmad Jamil, M.Si
Ilmu Komunikasi Magister Ilmu Komunikasi
Media dan Pengaruhnya bagi Individu
dan Masyarakat
Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah dan ragam teori komunikasi massa telah
mengalami peningkatan secara konsisten. Teori media telah muncul sebagai induk
pemikiran yang independen, baik dalam bidang ilmu sosial maupun rujukan kepustakaan
humanistis. Buku ini dimaksudkan sebagai pedoman untuk pemikiran yang beragam dan
terkadang kontradiksi. Modul akan memberikan pendapat yang dikembangkan oleh para
ilmuan di setiap bidang ilmu pengetahuan sosial, dari ilmu sejarah dan antropologi sampai
ke sosiologi dan psikologi. Ide-ide tersebut juga berasal dari ilmu sastra, khususnya ilmu
filsafat dan analisis sastra.
Di era Internet, dengan keadaan yang tidak sepenuhnya terpikir oleh Bill Gates
bertahun-tahun yang lalu. Saat ini kita dapat menerima video bergerak melalui telepon
genggam kita -- yaitu saat kita tidak sedang menggunakan telepon genggam tersebut
untuk berselancar di Web atau mencari informasi mengenai toko piza terdekat melalui
global positioning di Internet. Teknologi memungkinkan orang untuk memindahkan ulang
acara televisi yang mereka tonton di rumah ke laptop mereka atau telepon seluler mereka
di mana pun mereka berada.
Teori media telah mengalami transformasi penting selama dua abad terakhir.
Terdapat empat era berbeda dalam perkembangan teori komunikasi massa, dimulai dari
asal usul teori media pada abad ke-19 dan berakhir dengan kemunculan sederetan
perspektif kontemporer.
Deskripsi mengenai era teori komunikasi massa dimulai dengan ulasan terhadap
beberapa pemikiran awal mengenai media. Ide-ide ini awalnya dikembangkan pada
pertengahan abad ke-19, pada masa ketika terjadi perkembangan yang cepat dari pabrik-
pabrik besar di wilayah perkotaan yang kemudian menarik semakin banyak orang dari
wilayah pedesaan untuk pindah ke kota. Pada saat yang sama, media cetak yang
semakin kuat memungkinkan pembuatan surat kabar yang dapat dijual dengan harga
lebih murah pada populasi pembaca yang bertumbuh dengan cepat. Walaupun sebagian
teoretikus bersikap optimis dengan masa depan yang akan tercipta melalui industrialisasi,
perluasan kota, dan peningkatan media cetak, teoritikus yang lainnya bersikap sangat
pesimistis (Brantlinger, 1983).
Jantung dari perspektif ini adalah konsep mengenai khalayak aktif yang
menggunakan konten media untuk menciptakan pengalaman yang bermakna (Bryant dan
Street, 1988). Perspektif ini mengakui bahwa efek media yang penting dapat terjadi
selama periode yang lama dan sering kali merupakan konsekuensi langsung dari niat
Pada awal abad ke-20, setiap industri memiliki tokoh yang berpengaruh, dan
tokoh yang terkenal dalam industri media adalah Hearst. Hearst dikenal sebagai tokoh
yang spesialis membeli surat kabar yang bangkrut dan kemudian mentransformasi
menjadiperusahaan yang memiliki nilai jual. Dia membuktikan bahwa bisnis media dapat
mendatangkan keuntungan sebagaimana bisnis jalan raya, besi, atau minyak.
Saturahasia keberhasilan bisnisnya adalah penciptaan strategi yang lebih baik dalam
memika tkelompok orang dengan pendapatan rendah. Surat kabarnya mengombinasikan
harga jual yang murah dengan bentuk konten baru inovatif yang memuat banyak gambar,
cerita bersambung, dan komik. Beberapa ahli bahkan mengatakan bahwa istilah yellow
journalism justru diambil dari judul komik pertama yang dipublikasikan dalam surat kabar
tersebut, “The Yellow Kid”.
Teori masyarakat massa pertama kali muncul pada akhir abad ke-19 ketika
berbagai elite sosial tradisional berjuang memahami makna dari konsekuensi yang
bersifat merusak dari modernisasi. Sebagian (yaitu para aristokrat tanah, penjaga toko di
kota-kota kecil, guru sekolah, pendeta, dan politisi kelas atas) kehilangan kekuasaan
mereka atau merasa sangat lelah dalam usaha mereka menghadapi masalah sosial. Bagi
mereka, media massa adalah simbol dari semua kesalahan yang terjadi dalam
masyarakat modern. Surat kabar massa pada era yellow journalism dipandang sebagai
perusahaan raksasa yang monopolistik yang melakukan praktik tidak etis yang bertindak
sebagai kaki tangan bagi khalayak massa yang hampir tidak melek huruf. Para pemimpin
dalam bidang pendidikan dan agama tidak senang dengan kekuatan media dalam
menarik pembaca dengan menggunakan konten yang mereka anggap sebagai sangat
vulgar, dan penuh dosa (Brantlinger, 1983).
Walaupun teori masyarakat massa tidak begitu banyak mendapat dukungan dari
teoretikus dan para peneliti komunikasi massa kontemporer, asumsi dasar teori tersebut
mengenai media yang merusak dan khalayak tidak pernah serratus persen hilang.
Serangan pada kekuatan media yang dapat merusak, tetap bertahan dan akan tetap ada
sepanjang elite dominan merasa kekuasaan mereka terancam oleh media dan selama
media dimiliki pihak swasta, yang menemukan bahwa media mendatangkan keuntungan
dalam memproduksi dan mendistribusikan konten yang berlawanan dengan norma sosial.
Propaganda bukanlah penemuan orang Amerika. Istilah ini berasal dari Roman
Catholic Congregatio de Propaganda Fide (Committee for the Propagation of the Faith),
sebuah tatanan gereja yang didirikan oleh Papal Bull tahun 1622. Propaganda Fide
sesungguhnya ditemukan saat terjadinya penindasan terhadap reformasi kaum Protestan.
Di sepanjang pertengahan abad ke-20, pengertian propaganda diperdebatkan.
Teori ini memadukan ide-ide dari aliran behaviourisme dan Freudianisme menjadi
sebuah visi media yang sangat pesimis dan berperan dalam membentuk tatanan sosial
modern. Lasswell adalah pakar politik pertama yang mengenal manfaat berbagai teori
psikologi dan menunjukkan implementasinya untuk memahami politik. Kekuatan
propaganda bukanlah hasil dari substansi, isi, atau satuan pesan secara spesifik, tetapi
karena pemikiran masyarakat umum yang sangat mudah dipengaruhi. Pemikiran ini
Sepanjang tahun 1930-an, banyak kaum elite sosial, terutama mahasiswa dari
universitas terkemuka, menerapkan visi Lasswell mengenai pengetahuan sosial dan
sistem kepemimpinan yang benar. Mereka yakin bahwa ilmu alam dan ilmu sosial adalah
kunci untuk memerangi totaliter dan mempertahankan demokrasi. Sebagai contoh,
gagasan Lasswell mendominasi perhatian para akademisi dan opini dari para pemimpin,
termasuk salah satu pembuat opini yang paling berpengaruh, Walter Lippmann, seorang
kolumnis sindikat New York Times. Lippmann menyampaikan keraguan Lasswell
mengenai kemampuan kebanyakan masyarakat untuk memahami lingkungan sosial
mereka dan membuat keputusan yang rasional terhadap tindakan mereka.
Orang-orang yang menemukan teori efek terbatas pada tahun 1940 dan 1950-an
adalah para ahli metodologi-bukan para ahli teori. Dalam bagian ini kita berfokus pada
dua orang, yaitu Paul Lazarsfeld dan Carl Hovland. Ada beberapa orang yang bekerja
dengan mereka dan dipengaruhi mereka. Kolega Hovland semasa perang, termasuk
Irving Janis, Arthur Lumsdaine, Nathan Macoby, dan Fred Sheffield. Lazarsfeld bekerja
dengan Bernard Berelson, Hazel Gaudet, dan Harold Mendelsohn. Hovland dan
Lazarsfeld yakin bahwa kita dapat menilai pengaruh media dengan mengerjakan metode
empiris yang objektif untuk mengukurnya. Mereka berpendapat bahwa metode penelitian
baru seperti eksperimen dan survei memungkinkan untuk mengamati dampak media.
Lazarsfeld dan Hovland terlatih dalam metode penelitian empiris yang telah
berken pada ilmu psikologi. Lazarsfeld juga menghabiskan waktunya sebagai ahli statistik
sosial di Austria. Bekerja secara mandiri, mereka memperlihatkan bagaimana teknik
penelitian dapat disesuaikan untuk penelitian efek media. Keduanya sukses meyakinkan
orang lain mengenai keabsahan penelitian mereka. Lazarsfeld mendapatkan bantuan
dana yang memungkinkan dia melakukan penelitian efek media yang mahal dan berskala
besar di Columbia University. Setelah melakukan eksperimen mengenai propaganda
selama Perang Dunia II-perang nyata yang disebutkan sebelumnya Hovland membangun
pusat penelitian besar di Yale, tempat ratusan eksperimen mengenai persuasi dilakukan
selama lebih dari satu dekade. Columbia dan Yale menjadi pusat studi yang sangat
berpengaruh, dan menarik sejumlah peneliti sosial paling hebat di masa itu.
Sejak tahun 1950-an hingga tahun 1990-an, penelitian mengenai persuasi menjadi
strategi yang dominan dalam melakukan penelitian terhadap media. Hal ini
menggambarkan perubahan penting dari perhatian atas peran propaganda dalam
masyarakat menuju fokus akan apa yang terjadi ketika orang-orang terkena konten
media. Mengikuti model yang disediakan oleh studi persuasi awal seperti yang dilakukan
tim Lazarsfeld, penelitian empiris media sangat berfokus pada studi efek media. Melvin
Defleur (1970, hlm. 118) menuliskan, "Seluruh pertanyaan yang mendominasi penelitian
dan perkembangan teori kontemporer dalam studi media massa dapat diringkas dan
disederhanakan menjadi-apa yang menjadi dampaknya? Lebih jelasnya lagi, bagaimana
media memengaruhi kita sebagai individu dengan melakukan persuasi?" Studi efek media
tentunya merupakan penelitian yang berharga, tetapi haruskah menjadi fokus utama:
Dalam pencarian akan pemahaman terhadap proses efek media, peneliti mengalihkan
perhatian mereka dari pertanyaan besar mengenai peranan media di masyarakat.
Teori Marxis
Karl Marx mengembangkan teorinya pada paruh terakhir abad ke-19, selama
salah satu periode perubahan sosial Eropa yang paling bergejolak. Dalam beberapa hal,
Neo-Marxisme
Kebanyakan kajian budaya Inggris yang didiskusikan di sini dan berikutnya disebut
teori neo-Marxis karena menyimpang dari teori Marxis klasik setidaknya dalam satu hal
penting-teori-teori ini memusatkan perhatian pada isu-isu superstruktur ideology dan
budaya daripada struktur bawah. Arti penting yang dilekatkan neo-Marxis pada
superstruktur telah menciptakan pembagian yang mendasar di dalam Marxisme. Banyak
neo-Marxis yang mengasumsikan bahwa perubahan yang berguna dapat dicapai melalui
perjuangan ideologis-melalui wacana dalam arena publik-daripada dengan revolusi keras.
Sebagian neo-Marxis telah mengembangkan kritik budaya yang menuntut transformasi
radikal dalam superstruktur, sementara yang lain berargumen bahwa reformasi yang
sederhana dapat menghasilkan perubahan berguna. Ketegangan muncul di antara para
intelektual Marxis mengenai nilai karya yang dilakukan oleh beragam aliran teori neo-
Marxis. Walaupun demikian, sejak akhir perang dingin, posisi neo-Marxis telah meraih
popularitas besar dan penerimaan luas dalam ilmu-ilmu sosial.
Para teoretikus ekonomi politik mempelajari kendali elite atas institusi ekonomi,
seperti bank dan pasar saham, lalu berusaha menunjukkan bagaimana kendali ini
memengaruhi banyak institusi sosial lain, termasuk media massa (Murdock, 1989a).
Dalam beberapa hal, para teoretikus ini menerima asumsi Marxis klasik bahwa basis
mendominasi superstruktur. Mereka menyelisik alat-alat produksi dengan memeriksa
institusi ekonomi, berharap menemukan bahwa institusi-institusi ini menentukan media
untuk menyesuaikan dengan tujuan dan kepentingan mereka.
Apa yang menjadi isu krusial pada pemilihan presiden tahun 2008? Amerika
Serikat dihadapkan dengan defisit anggaran negara yang semakin meningkat dan
pemulihan ekonomi yang lambat. Perang di Irak, yang saat ini merupakan invasi yang
tidak populer, baik di kalangan Amerika sendiri maupun Irak secara berkala didominasi
oleh berita utama mengenai perlawanan serta penyiksaan yang mengganggu terhadap
warga Irak dan para tahanan. Miliaran dolar dihabiskan untuk mengejar perang dan
membangun kembali Irak. Kesulitan yang dihadapi di Irak memicu debat mengenai
penambahan jumlah militer dan bahkan menimbulkan pertanyaan untuk mengubah
rencana. Budaya perang yang membagi negara ini menjadi kelompok merah dan
kelompok biru berlanjut-kelompok gay dan homoseksual untuk militer sangat panas
diperdebatkan. Peraturan "No Child Left Behind" yang mewajibkan pengujian mengenai
pencapaian pendidikan memiliki hasil yang problematis. Meskipun pembuatan undang-
undang pendanaan kampanye membatasi pengaruh politik uang, kandidat presiden
mengumpulkan dan menghabiskan lebih banyak uang daripada sebelumnya. Apa yang
Anda ingat dari media massa mengenai isu penting dan gambaran kampanye? Debat
mengenai kepantasan memiliki presiden dari kalangan Mormon? Biaya potong rambut
John Edward? Perkawinan berkali-kali dari beberapa kandidat Partai Republik? Nama
tengah Barack Obama dan pertanyaan mengenai kulitnya yang hitam? Dari semua isu
yang seharusnya disiarkan dan dipelajari, hanya beberapa saja yang dominan. Hanya
sedikit yang ditonton oleh warga Amerika sebagai isu yang penting dihadapi oleh Amerika
Serikat. Inilah yang disebut agenda-setting.
Spiral Of Silence
Teori vang lebih kontroversial mengenai media dan opini publik adalah konsep
spiral of silence. Konsep ini dapat dilihat sebagai bentuk agenda-setting, tetapi berfokus
pada dampak di level makro daripada di level mikro. Menurut pembuatnya, Elisabeth
Noelle-Neumann (1984, hlm. 5), “Pengamatan yang dibuat dalam satu konteks (media
massa) menyebar kepada yang lain dan mendorong orang untuk menyuarakan
pandangan mereka atau menelannya dan diam, hingga, dalam sebuah proses yang
spiral, satu pandangan dianggap mendominasi ranah publik sementara yang lain hilang
dari kesadaran publik dan para pendukungnya tidak bersuara lagi. Hal inilah proses yang
disebut spiral of silence.
Interaksionisme simbolik adalah salah satu dari teori awal ilmu sosial yang
mengangkat pertanyaan mengenai bagaimana kita mempelajari budaya dan bagaimana
budaya membentuk pengalaman hidup kita sehari-hari. Teori interaksionisme simbolik
dikembangkan pada tahun 1920-an dan 1930-an sebagai reaksi terhadap kritik untuk
aliran behaviorisme dan teori ini memiliki banyak nama hingga Herbert Blumler
memberikan namanya yang sekarang pada tahun 1969. Salah satu nama dari teori
tersebut terdahulu adalah behaviorisme sosial. Tidak seperti teori behavioris tradisional,
teori behaviorisme sosial ini menolak pembuatan konsep yang sederhana dari kondisi
stimulus dan respons. Mereka yakin bahwa fokus penelitian harus diberikan kepada
proses kognitif yang membantu pembelajaran. Mereka juga percaya bahwa lingkungan
sosial sebagai tempat pembelajaran harus diperhatikan juga. Para ahli behavioris
tradisional cenderung melakukan percobaan laboratorium, tempat hewan diberikan
stimulus tertentu dan dikondisikan untuk berperilaku dengan cara tertentu. Ahli behavioris
sosial menganggap bahwa eksperimen semacam ini terlalu menyederhanakan. Mereka
berpendapat bahwa keberadaan manusia lebih rumit untuk dapat dipahami hanya melalui
pengondisian perilaku binatang.
George Herbert Mead (1934), seorang filsuf dan aktivis sosial dari University of
Chicago, memberikan cara untuk memahami dunia sosial yang jauh berbeda dari
pemahaman behaviroris. Daripada mengamati tikus yang berlarian di dalam alur jalan
yang simpang siur, ia menyarankan cara yang lebih baik untuk memahami bagaimana
orang belajar memaknai kehidupan mereka sehari-hari dan membentuk tindakan mereka.
Mead menyarankan kita melihat bagaimana orang belajar bermain bisbol (atau permainan
lainnya). Bagaimana kita belajar memainkan permainan ini? Tentunya tidak dengan
membaca buku teks berjudul The Theory of Playing Second Base. Tidak melalui kondisi
stimulus respons. Mead berpendapat bahwa apa yang terjadi di lapangan adalah sebuah
bentuk kondisi timbal-balik yang canggih-para pemain mengajari satu sama lain
bagaimana bermain selagi mereka sedang memainkannya. Pemain harus belajar
menyusun tindakan mereka dengan cara yang kompleks untuk menjaga posisi mereka
dengan efektif. Akan tetapi, setiap posisi harus dimainkan dengan berbeda sehingga
rekan satu tim tidak dapat begitu saja meniru satu sama lain. Menurut Mead, setiap
pemain mempelajari sebuah peran sosial-peran pelempar bola, peran penangkap bola,
atau peran sebagai pemain di posisi kiri. Masing-masing dipelajari dengan mengamati
dan meniru pemain yang bagus serta dengan berinteraksi satu sama lain.
Ketika para peneliti budaya kritis membangun analisis penerimaan pada tahun
1980-an, sebuah pendekatan baru terhadap penelitian khalayak juga sedang
dikembangkan di Amerika Serikat. Pendekatan ini berakar pada konstruksionisme sosial
dan interaksionisme simbolik. Seperti yang kita ketahui, kedua teori ini berpendapat
bahwa pengharapan yang kita bentuk terhadap diri sendiri, orang lain, dan dunia sosial
kita merupakan inti dari kehidupan sosial.
Pada tahun 1999, beberapa hari sebelum kematiannya yang dini, Steven Chaffee
(seorang peneliti yang sangat produktif) memberikan kuliah dengan tema “berakhirnya
komunikasi massa". Ceramah tersebut menjadi dasar dari artikel yang dibantu
penulisannya oleh Miriam Metzger (2001). Di dalam artikel tersebut, mereka mendalami
topik ini. Argumen pokok mereka adalah bahwa media baru akan mengakhiri komunikasi
massa dan secara fundamental mengubah bagaimana media akan disusun, digunakan,
dan dikonsepsikan pada abad ke-21. Dengan demikian, teori komunikasi massa akan
lebih dikenal hari ini sebagai teori media.
Chaffee dan Metzger menawarkan beberapa contoh perubahan dari komunikasi massa
ke teori media ini. Mereka menunjuk pada teori seperti agenda setting dan kultivasi yang