Anda di halaman 1dari 3

SURAT CINTA UNTUK MAMA

Drama musikal Surat Cinta Untuk Mama mengisahkan tentang kehidupan seorang gadis solo,
berkulit coklat, berambut hitam pekat dengan paras wajah yang manis bernama Gendis. Gadis manis ini
terpaksa tinggal di panti asuhan lantaran kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan mobil
saat dia masih berusia 10 tahun. Kecelakaan yang menimpa Gendis dan kedua orangtuanya menyimpan
luka yang begitu mendalam bagi Gendis kecil. Gendis Pun memiliki trauma terhadap suara yang keras.
Ketika mendengar suara yang keras, Ia kan selalu teringat dan terbayang momen kehilangan yang dia
alami.
Di panti asuhan, Gendis hidup bersama ibu panti serta anak-anak lainnya. Melalui pendampingan
ibu panti, Gendis tumbuh menjadi anak manis yang sangat ceria, dan berprestasi. Selain suka bernyanyi,
Gendis juga gemar sekali menulis, semua kegiatan hariannya ia tuangkan dalam bentuk tulisan ke dalam
buku diary berwarna merah kesayangannya.
Sebentar lagi, Gendis akan memasuki jenjang pendidikan selanjutnya. Rok merah akan berganti
menjadi rok biru. Di hari kelulusan, Gendis kembali dipanggil ke atas panggung sebagai siswi yang paling
berprestasi dengan nilai tertinggi. Semua siswa yang berprestasi didampingi oleh kedua orangtuanya di
atas panggung, siswa-siswa yang lain pun didampingi oleh kedua orangtuanya. Namun saat nama lengkap
Gendis diumumkan, hanya dirinya sendirilah yang naik ke atas panggung, tanpa dampingan siapapun.
Kali ini timbul perasaan yang sangat berbeda. Yang dia rasakan kini bukanlah sebuah kebahagiaan.Rasa
bahagia yang awalnya tumbuh, berubah menjadi rasa sedih dan marah. Suara tepuk tangan dan senyuman
orang-orang tidak lagi menjadi kebahagiaan bagi Gendis.
Gendis, gadis manis ini perlahan-lahan berubah, sikapnya yang dulu ceria, tawanya yang dulu
selalu ada, kini berkurang dengan sangat drastis. Gendis mulai menyadari, ia tidak akan pernah sebahagia
orang lain karena ia tidak mempunyai keluarga. Untuk Gendis, bahagia bukan miliknya lagi. Hari-hari
Gendis hanya diisi oleh kemarahan, semua hal yang ada di sekitarnya terasa menyebalkan, gadis manis
yang dulu sangatlah lembut, sekarang menjadi sangat ketus. Bahkan, tidak ada satupun adik panti yang
berani mendekati Gendis meski hanya sekedar untuk berbicara, mereka akan saling menunjuk dan
berebutan untuk pergi menjauhi Gendis. Yang tidak berubah dari gendis hanyalah kebiasaan menulisnya
tiap hari, dengan siapa ia kesal hari ini, hal apa yang hari ini membuatnya marah, akan ia tuangkan selalu
ke dalam buku diary merah kesayangannya.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Gendis kini telah beranjak remaja, rok biru berganti
menjadi rok abu-abu. Gendis masih selalu menulis di buku diary merah kesayangannya. Teman-teman
Gendis yang sudah hafal dengan kebiasaanya itu, suatu hari berbicara kepada Gendis, untuk siapa ia
menulis, bukannya dia sudah dewasa? Mengapa masih bercerita dibuku, memang siapa yang akan
membacanya? Bukankah Gendis tidak mempunyai keluarga untuk dibagikan cerita? Gendis yang
pemarah langsung naik pitam, ia melempar kotak pensil miliknya kepada teman-temannya sambil
berteriak, karena sebenarnya mereka tidak tau apa-apa tentang Gendis.
Suatu ketika, sebuah keluarga datang untuk merayakan ulang tahun anaknya yang ke- 17 di panti
Gendis. Semua penghuni panti sibuk mempersiapkan perayaan ulang tahun, menyiapkan balon, tulisan
selamat ulang tahun, snack, minuman, dan hal-hal lainnya, namun mereka melupakan satu hal, bahwa di
hari itu Gendis pun berulang tahun. Lagu selamat ulang tahun dinyanyikan, semua orang berbahagia
merayakan ulang tahun itu, hanya satu orang yang tidak turut bertepuk tangan di ruangan itu, Gendis.
Dalam benaknya ia berbicara, apa tujuan keluarga kaya ini merayakan ulang tahun di panti asuhan yang
berisi anak-anak malang yang tidak punya keluarga. Untuk berbagi kebahagiaan katanya? Bohong!
Mereka hanya menyombongkan kebahagiaan yang mereka punya, kebahagiaan yang tidak akan pernah
kami dapatkan.
Kotak putih berisi kue ulang tahun dibawakan ke dalam ruangan, sambil diiringi lagu selamat
ulang tahun, kotak putih itu dibuka. Saat kotak dibuka, sontak nyanyian terhenti, ruangan menjadi sunyi,
semua mata tertuju kepada kue ulang tahun yang berantakan, bahkan angka 1 dan angka 7 sudah patah
entah menjadi berapa bagian. Suara tawa kecil memecah keheningan, semua mata tertuju kepada
seseorang di pojok belakang ruangan, semua tau, ini semua ulah Gendis.
Ibu panti yang terkenal tegas dan ketus menunggu Gendis diruangannya, ia berusaha tenang
dengan mengontrol nafasnya yang tak karuan karena menahan emosi. Gendis masuk kedalam ruangan
dengan tanpa adanya penyesalan di wajahnya. Gendis dipersilahkan duduk dibangku tepat didepan ibu
panti. Dengan sangat ketus, Ibu panti berbicara kepada Gendis. Mengapa dia melakukan hal yang sebodoh
itu? Apakah dengan hal itu gendis akan mendapatkan keluarga dan menjadi bahagia? Apakah dengan
menyalahkan keadaan, kedua orangtua Gendis akan kembali lagi di kehidupannya? Gendis harusnya
terima bahwa dia memang tidak mempunyai siapa-siapa saat ini.
Gendis marah, tidak terima dengan semua perkataan yang keluar dari mulut sang ibu panti.
Sebelum Ibu panti menyelesaikan ucapannya, Gendis pun beranjak pergi dan membanting pintu dengan
begitu keras.Ia berlari ke kamar untuk mengambil diary merah kesayangan nya dan kemudian pergi keluar
gedung panti, Di sepanjang perjalanan, Gendis memeluk erat diarynya sembari terus mengeluarkan air
mata. Gendis begitu marah dan tidak sanggup menerima kenyataan akan jalan hidup ataupun takdirnya.
Sembari berteriak, dilempar nyalah diary merah kesayangannya ke tengah jalan.Dia merasa tidak pernah
ada yang mendengarnya.
Ditengah-tengah pelarian, Gendis pun tanpa sengaja bertemu dengan berbagai macam orang di
jalanan, mulai dari pengemis tua dipinggir jalan yang meminta uang untuk makan, anak kecil yang
berjualan tisu di pinggir jalan, hingga pasangan suami istri yang berdebat keras di depan gedung dan
ditonton oleh anak mereka yang masih sangat kecil. Gendis menangis, tangisannya lebih keras dari yang
pertama, dititik ini Gendis seperti ditampar oleh kenyataan, kenyataan bahwa selama ini ia hanya
membuang waktu mengasihani dirinya, menyalahkan keadaan. Ternyata diluar sana orang-orang pun
berjuang dengan permasalahannya masing-masing, dengan caranya masing-masing.
Gendis kembali berjalan ke panti asuhan sambil menangis kecil. Ia kemudian berjalan menuju
ruangan Ibu panti, Gendis merasa bersalah. Pintu ruangan terbuka setengah, Gendis mengintip ke dalam
ruangan, ia melihat Ibu panti memegang sebuah foto yang berisi satu anak kecil dan kedua orang tua di
kiri dan kanannya, punggung Ibu panti bergetar, ia pun sedang menangis. Ibu panti yang terkesan galak
dan ketus itu mempunyai masa lalu yang sama dengan Gendis, kehilangan orangtua saat masih kecil,
karena itulah dia sangat keras kepada Gendis. Dulu ia tumbuh menjadi sosok seperti Gendis, tidak
menerima keadaan dan merasa ditolak oleh lingkungan, namun saat ia tumbuh dewasa, ia menyadari
kehilangan yang dialami tidak bisa dijadikan alasan untuk berhenti berjuang, justru mereka yang
kehilangan harus berjuang lebih keras untuk mencapai kebahagiaan.
Malam itu Gendis tersadar, kebahagiaan haruslah diperjuangkan, bukan datang secara tiba-tiba.
Gendis tumbuh dewasa, gadis yang dulu pemarah, perlahan kembali menjadi ceria, ia mulai menerima
jalan kehidupannya, kehidupan yang mungkin tidak sempurna, tapi dia berjanji akan terus berjuang untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik.
Beberapa tahun kemudian, Gendis sudah berkeluarga, keluarga kecil dengan satu anak perempuan
cantik yang mirip sekali dengan ayahnya. Di hari itu Gendis sedang mengajarkan anaknya menulis di
ruang keluarga, seperti dulu ibunya selalu mengajaknya menuangkan cerita harian di buku. Disamping
anaknya, Gendis pun menulis surat, surat cinta untuk ibunya, seperti yang selalu ia tuliskan didalam diary
merah kesayangannya.
Dari pojok ruangan, ibu Gendis tersenyum melihat anak dan cucunya yang sedang menulis. Di
Tangan kanannya, ia menggenggam buku merah usang, diary kesayangan Gendis yang dulu dibuang.
Buku diary merah yang berisi tulisan-tulisan Gendis untuk Ibunya, ternyata sampai kepada ibunya yang
sudah ada di Surga.

Anda mungkin juga menyukai