Anda di halaman 1dari 8

Gendis adalah seorang cewek SMA biasa. Dia sederhana dan peraih beasiswa.

Sejak setahun lalu dia


berpacaran dengan Gerry, cowok ganteng dan idola cewek-cewek cantik di sekolah.

Dia memutuskan keluar menuju kafe favoritnya. Ketika sampai di cafe itu, Gendis melihat
pemandangan yang membuat hatinya tercabik cabik. Gendis menghampiri mereka.

BRAK!

“Oh, jadi begini bentak Gendis kepada Gerry. “Ini siapa, Jonathan?” tanya gadis cantik samping
Gerry.

“Jonathan? Sejak kapan nama lu ganti, Ger?” tanya Gendis sengit. Gerry merunduk diam tak
berkutik.

“Maaf, ada apa ya ini, kok ribut-ribut? Kalau ada masalah, selesaikan di luar saja, ya? Terima kasih!”
kata lelaki itu tenang.

Mereka bertiga pun keluar menuju ke taman kafe.

“Jadi mau nya apa? Jangan jadi cowok pengecut! Ha?” Emosi Gendis memuncak. “Jawab!” ucap
Gendis. Gerry tetap diam.

Namun, tiba-tiba cewek itu menampar Gendis. Gendis pun membalas dengan tonjokan. Akhirnya
mereka berdua saling membalas, berguling-guling, dan saling mencakar. Sebenarnya, Putri bukan
lawan yang seimbang buat Gendis, karena Gendis adalah seorang atlet karate dan badminton,
sedangkan cewek itu cewek biasa. Perkelahian itu berhenti setelah satpam kafe melerai mereka.
Tiba-tiba, mereka mendengar suara gas mobil Gerry. Namun, cewek itu malah menangis.

“Siapa namamu?” tanya Gendis.

“Putri,” jawabnya dengan tersedu-sedu.

“Ayo aku antar pulang. Walaupun motor gue kayak gitu, tapi masih bisa jalan, kok!” kata gendis

Keesokan harinya. Di sekolah, Gendis menceritakan semua kepada sahabatnya, Tessa dan Alin.
Tanggapan mereka sama. Gerry itu tidak bisa dimaafkan.

Di hari yang sama, Putri juga menceritakan kejadian itu kepada seorang sahabatnya, Risma.

Karena Putri suntuk banget, pulang sekolah dia dan Risma memutuskan untuk pergi ke mal bersama.
Di sana Risma janjian dengan pacarnya, Lucky. Sebenarnya, Lucky dan Risma bersekongkol untuk
mengenalkan Putri dengan Dimas, teman baik Lucky. Namun sebelum bertemu putri memutuskan
untuk jalan jalan sendiri dulu.

Sewaktu di jalan pulang, ia ingin menelepon Risma untuk menginformasikan bahwa dia pulang
duluan, tetapi Putri tidak menemukan HP-nya.

“Waduh Hape ku jatuh waktu tabrakan sama cowok itu! Balik lagi enggak mungkin, nih! Ya sudah
deh. Kalau tuh cowok baik, pasti dikembaliin!”

Sesampainya di rumah, Putri segera menuju ke gagang telepon dan memencet nomornya.

“Halo, aku yang punya hape nya!”


“Iya. Aku tahu kok. Putri, ‘kan? Pasti tadi lagi buru-buru, ya? Hape jatuh aja sampai enggak nyadar.”
“Iya, Ini siapa? Kapan bisa ambil hape nya?” “Sabar, dong! Ini aku, Dimas. Besok kan malam Minggu,
kita ketemu saja, ya?.” “Ya sudah jam 7.”

Besoknya, di sekolah Putri cerita lagi ke Risma.

“Sebenarnya, Dimas itu temannya Lucky. Kemarin mau aku temuin kalian berdua, eh, kamu malah
ngilang! Tapi, untungnya sudah ketemu duluan. Jangan-jangan jodoh, nih!”

Hari yang ditunggu-tunggu datang. Putri sudah di cafe tepat pukul 7, tetapi Dimas belum juga
datang. Tak disangka malah si Gendis yang tiba-tiba datang.

“Eh, kamu ngapain di sini?” tanya Putri sinis.

“Sinis banget sama aku, masih marah tentang tempo hari? Kan aku sudah minta maaf, lagian aku
juga sudah punya pacar baru!”

“Enak saja lu, aku juga sudah punya gebetan kok, nih lagi nungguin dia. Mana pacar mu?”

“Tuh!” kata Gendis sambil menunjuk ke arah panggung di kafe itu, terlihat cowok imut dan memakai
baju hitam yang cocok banget dengan badannya. “Namanya Sakti, satu tahun di atas ku!”

Sebenarnya Sakti itu bukan pacar Gendis, ia terpaksa mengatakan seperti itu untuk memanas-
manasi Putri. Dia kesana karena Sakti minta tolong Gendis untuk membuatkan lirik lagu buat band
Sakti yang mau ikut lomba. Sakti memercayakan ke Gendis.

Beberapa saat kemudian, muncul cowok ganteng itu, “Hai, maaf aku terlambat banget, soalnya tadi
ban mobil nya rusak terus enggak ada tukang tambal ban. Sekali lagi maaf, ya!”

“Oke enggak apa-apa kok, lagian aku ada yang nemenin Ini kenalin temen aku, Gendis!”

Gendis kaget sewaktu Putri memperkenalkan dirinya sebagai teman. Sesaat kemudian Sakti turun
panggung setelah menghibur para pengunjung.

“Hai Dim! Oh, jadi ini alasannya? Ha-ha-ha. Hancur banget ya penampilan kami? Aku tahu, kok,
soalnya vokalisnya tadi vokalis dadakan, vokalis asli kami hari ini menolak kami ajak manggung.
Rencananya dia mau mundur dari band, gara-gara masalah sepele,” jelas Sakti sambil melirik ke
Dimas.

“Apaan sih, Sak?” berontak Dimas malu-malu.

“Maksudnya apaan, sih? Kalian saling kenal?” tanya Putri

“Dimas vokalis kami,” jawab Sakti.

Mendengar penjelasan Sakti itu, Putri dan Gendis melongo

“Jadi, kalian saling kenal?”

“Yups,” sahut Sakti dan Dimas bersamaan.

“Oh, iya aku minggu depan ada pesta kecil-kecilan. Di halaman rumah, hanya teman-teman dekat
saja yang diundang. Kalian datang, ya!” undang Dimas.

“Oke,” jawab Sakti dan Putri.

“Aku, bisa enggak, ya,” gumam Gendis.


“Ayolah, Gendis, kan ada Sakti dan aku juga, pokoknya harus ikut!” ajak Putri sambil mengedipkan
matanya sebelah.

“Ya, sudah deh. Tapi, enggak janji.” “Pokoknya harus janji,” sahut Putri.

“Ya sudah, sudah malam banget nih, aku pulang dulu, ya,” seru Gendis.

“Aku juga,” sahut Putri.

Sesampainya mereka di depan kafe, Putri bicara dengan Gendis, “Lu mau kan aku maafin?”

“Ya, lyalah.”

“Tapi, ada syaratnya. Di pesta minggu depan aku yang ngerias kamu, gimana?”

“Ha? Kamu mau jadiin aku ondel-ondel? Enggak, ah!” “

Ya sudah, lu enggak bakal aku maafin sampai kapan pun!”

“Ya sudah deh, kalau begitu.”

“Nah, begitu dong.” Senyum puas Putri mengembang. Hari selanjutnya kebetulan adalah hari
Minggu, Putri berencana mengajak Gendis untuk belanja keperluannya untuk minggu depan. Seperti
biasa, karena Gendis adalah keluarga sederhana dia pun menolaknya.

“Tenang saja, Ndis, kali ini aku yang ngajak, aku saja yang traktir lu, sekali-sekali kan! Ayo!” Putri
menarik Gendis.

Sabtu sore, Putri memiliki rencana besar. Sebelum pergi Putri mengajak Gendis ke salon untuk
berdandan.

Beberapa jam kemudian, Gendis berubah menjadi seorang cewek cantik, super cantik, sampai
sampai Putri kalah cantik. Setelah selesai, mereka langsung disambut oleh Dimas dan Sakti.

Tiba-tiba Dimas naik panggung utama, dan dia berkata, “kami akan menyanyikan sebuah lagu. Lagu
ini berjudul Dialah Wanitaku, lagu ini untuk seseorang yang spesial buat aku.”

Setelah lagu itu selesai Dimas mengumumkan sesuatu. Dengan lantang Dimas menuju ke Putri dan
mengajaknya naik ke atas pangung “Dialah wanitaku, Putri maukah kau jadi pacarku?”

Putri kaget setengah mati mendengar itu, Putri melirik ke Gendis kemudian Gendis mengangguk.

“Iya, aku terima,” kata Putri. Seketika Dimas memeluk Putri erat dan membawanya turun panggung,
tetapi sebelum turun Dimas berkata, “Tunggu, itu ada satu lagi yang nunggu giliran.” Semua tamu
pun tertawa.

Seketika Sakti naik ke panggung, perasaan Gendis sudah enggak enak, tetapi perasaan lain dirasakan
oleh Gendis, sakit kepala yang luar biasa menyerang kepala Gendis. Gendis berusaha menahan itu,
dia masih bisa mendengar Sakti mengatakan bahwa dia juga ingin menyatakan cinta kepada wanita
spesialnya.

Nama Gendis dipanggil berkali-kali oleh Sakti tetapi rasa sakit di kepala itu makin lama makin kuat,
dan Gendis pun sudah tidak bisa menahan rasa sakit itu. Akhirnya, Gendis pingsan. Sakti langsung
melompat panggung menghampiri Gendis. Sakti bersama Putri dan teman-teman lain membopong
Gendis ke mobil. Ketika mereka sampai di rumah sakit, Sakti membawa Gendis dan berlari sekuat
tenaga menuju UGD. Beberapa saat kemudian ibu dan sahabat-sahabat Gendis datang.
“Ini ibu nya Gendis! Sebenarnya Gendis sakit apa, Tante?” tanya Putri.

“Sebenarnya sejak setahun lalu Gendis mengidap penyakit kanker otak,” jelas ibu Gendis.

“Apa?” Semuanya terkejut mendengar itu, mereka bertanya-tanya.

Sesaat kemudian Gendis siuman.

“Wah kalian semua kumpul, jadi seneng ngelihatnya!” Dengan seluruh tenaganya Gendis berusaha
tersenyum.

“Boleh saya bicara sebentar dengan Gendis?” pinta Sakti. Setelah itu, semua orang keluar dari kamar
rawat.

“Kenapa kamu enggak pernah bilang ini semua ke aku, Gendis?” Sakti tak bisa membendung air
matanya lagi.

“Jangan nangis, Ini alasannya kenapa aku enggak pernah bilang ke siapa pun!”

“Tapi aku sayang kamu, Ndis, aku cinta kamu!”

“Tapi semuanya sudah terlambat. “

“Hus, enggak ada kata terlambat buat aku, Ndis! Kita masih punya dunia esok, kan? Kamu pasti bisa
ngelewatin ini semua, pastinya sama aku! Ayo, kamu harus semangat, kamu enggak boleh nyerah!”

“Makasih, Sak, kenal sama kamu itu sudah hal yang luar biasa buatku. Aku juga sayang dan cinta
kamu sekarang, esok, dan selamanya.”

Setelah Gendis mengatakan kalimat itu, Sakti mendekat ke wajah dan mencium Gendis, tetapi tiba-
tiba mulut Gendis terasa lebih dingin dan lemas tak bertenaga. Ternyata jantung Gendis sudah tidak
berdetak lagi. Tangis Sakti pecah. Gendis meninggalkan Sakti untuk selama-lamanya. Kesedihan
menyelimuti ibunda, Putri, Sakti, Dimas, dan sahabat-sahabat Gendis lain.
Gendis iku bocah SMA biasa. Dheweke andhap asor lan panampa beasiswa. Wiwit setahun
kepungkur dheweke pacaran karo Gerry, bocah lanang sing nggantheng lan idolane bocah-bocah
wadon ayu ing sekolah.

Dheweke mutusake kanggo metu menyang kafe. Satekane ing kafe, Gendis weruh sesawangan kang
njalari atine sumelang. Gendis nyedhaki dheweke.

BRAK!

“Wah, dadi ngene”. Gendis nyentak Gerry.

“Sapa iki, Jonathan?” pitakone cah ayu ing sandhinge Gerry.

“Jonathan? Sejak kapan awakmu ganti jeneng, Ger?” takon Gendis galak. Gerry meneng.

“Nuwun sewu, wonten menapa wonten mriki, kok rame-rame? Yen ana masalah, rampungake ing
njaba, nggeh? Matur nuwun!” wong lanang ngandika kalem.

Wong telu banjur metu menyang taman cafe.

“Lha awakmu arep apa? Aja dadi pengecut! Ha?” Emosi Gendis mundhak. “Jawaben!” Gendis
ngandika. Gerry tetep meneng.

Nanging, dumadakan bocah wadon kasebut napuk Gendis. Pungkasane wong loro mau mbales,
ngguling-ngguling, lan saling cakar. Sejatine Diva dudu lawan sing imbang kanggo Gendis, amarga
Gendis iku atlet karate lan badminton, dene sing wedok iku cah biasa. Diva LAN putri mandheg
sawise satpam nengahi. Dumadakan krungu swara mobil Gerry. Nanging, bocah wadon mau nangis.

“Sapa jenengmu?” pitakone Gendis.

“Putri,” wangsulane karo nangis.

“Ayo dakgawa mulih. Senajan sepedha motorku kaya ngono, tetep bisa mlaku, tenan!” gendis
ngandika

Mene esuk ing sekolah Gendis nyritakake kabeh marang kanca-kancane, Tessa lan Alin. Wangsulane
padha. Gerry ora bisa di ngapura.

Ing dina iku Putri uga nyritakake kedadeyan mau marang kancane yaiku Risma.

Amarga Putri bosen, sawise sekolah dheweke lan Risma mutusake menyang mall bareng. Ing kono
Risma janjian karo pacare, Lucky. Lucky lan Risma komplotan kanggo ngenalake Putri karo Dimas,
kancane Lucky. Nanging sadurunge ketemu Risma, putri mutusake mlaku dhewe dhisik.

Putri kepengin nelfon Risma kanggo ngandhani yen nggak dadi ketemu, putri arep mulih dhisik,
nanging Putri ora bisa nemokake HP.

“Waduh, hpku tiba nangdi yo “.

Putri mutusaké kanggo mulih dhisik, sakwise tekan omah putri nyoba nelfon hp ne

“Halo,aku sing duwe hp!

“Ya wis. Aku ngerti kok. Putri, bener? Mesti kesusu ta? Telpon tiba-tiba nganti sampeyan ora ngerti.”
“Ya, iki sapa? Kapan bisa ngangkat telpon?” “Sing sabar ya! Iki aku, Dimas. Sesuk malem minggu, kita
ketemu, ya?” “Ya wis jam 7.”
Esuke, ing sekolah, Putri marang Risma maneh.

“Satemene Dimas iku kancane Bejo. Aku wingi arep ketemu karo kowe, eh, kowe ilang! Nanging
kebeneran aku ketemu dhisik. Aja pacaran, kene!”

Dina sing ditunggu-tunggu wis teka. Putri ing warung tepat jam 7, nanging Dimas durung teka. Ora
dinyana-nyana sing ujug-ujug teka Gendis.

“Heh, kowe lagi ngapa neng kene?” pitakone Putri sarkastik.

“Dadi sinis karo aku, isih nesu babagan dina liyane? Aku wis njaluk ngapura, apa maneh aku uga
duwe pacar anyar!”

“Enak kowe, aku uga duwe tresna, aku ngenteni dheweke. Pacarmu endi?”

“Oh!” jare Gendis karo nduduhke panggung neng warung kono, ono bocah lucu sing nganggo klambi
ireng sing pas banget karo awake. “Jenenge Sakti, setaun ndhuwur aku!”

Sejatine Sakti dudu pacare Gendis, kepeksa ngomong kaya ngono kanggo ngobong Putri. Dheweke
ana amarga Sakti njaluk tulung marang Gendis kanggo ngarang lirik lagu kanggo band Sakti sing arep
melu lomba. Sakti dipasrahake marang Gendis.

Ora let suwe, bocah nggantheng kuwi muncul, “Hai, nuwun sewu aku telat tenan, amarga ban mobil
rusak lan ora ana tukang reparasi ban. Ngapunten malih, oke!”

“Oke, ora apa-apa, aku ana sing ngancani sampeyan. Iki kanggo ngenalake kancaku, Gendis!”

Gendis kaget nalika Putri ngenal dheweke dadi kanca. Sedhela maneh Sakti mudhun panggung
sawise nglipur pengunjung.

“Heh Dim! Oh, dadi iki alesan? Ha ha ha. Sepira rusake penampilan kita? Aku ngerti kenapa, amarga
vokalis kasebut minangka vokalis impromptu, vokalis asli kita saiki ora gelem ngajak kita tampil.
Rencanane arep metu saka band, amarga ana perkara sing ora pati penting,” piterange Sakti karo
nglirik Dimas.

“Ana apa, Sak?” Dimas mbalela karo isin.

“Maksudmu piye? Kowe padha kenal?” takon putri

“Dimas vokalis kita,” jawabe Sakti.

Krungu katrangane Sakti, Putri lan Gendis nganga

“Dadi kowe padha kenal?”

“Inggih,” wangsulane Sakti lan Dimas bebarengan.

“Oh, ya minggu ngarep aku ana pesta cilik. Ing kaca ngarep, mung kanca cedhak sing diundang. Kowe
teka, ya!” ngajak Dimas.

“Oke,” wangsulane Sakti lan Putri.

“Aku, bisa apa ora,” gendis gumujeng.

“Ayo, Gendis, ana aku lan Sakti, kowe kudu teka!” pitakone Putri sinambi nglirik mripat siji.

“Ya wis ngono wae. Nanging, ora janji.” “Oalah, kowe kudu janji,” ujare Putri.
“Wah, wis sore tenan, aku mulih dhisik ya,” jare Gendis.

“Aku uga,” ujare Putri.

Satekane ing ngarep warung, Putri ngomong karo Gendis, “Kowe arep tak ngapura, ta?”.

“Ya wis.”

“Nanging ana prasyarat. Ing pesta minggu ngarep, aku bakal ngrampungake sampeyan, kepiye?”

“Ha? Kowe arep gawe aku ondel-ondel? Ora!” “

Ya, aku ora bakal ngapura kowe!”

“Ora apa-apa, banjur.”

“Lha ngono lho.” Mesem marem Putri nglebar. Sesuke kebeneran dina Minggu, Putri ngrancang
ngajak Gendis blanja kebutuhane minggu ngarep. Kaya biasane, amarga Gendis kuwi kulawarga sing
sederhana dheweke ora gelem.

“Aja kuwatir, Ndis, kali iki aku sing ngundang kowe, tak traktir wae, sepisan wae! Ayo!” Putri narik
Gendis.

Setu awan, Putri duwe rencana gedhe. Sadurunge budhal Putri ngajak Gendis menyang salon kanggo
dandanan.

Pirang-pirang jam banjur Gendis malih dadi prawan ayu, super ayu, nganti Putri ilang kaendahane.
Sawise rampung, dheweke langsung disambut dening Dimas lan Sakti.

Ujug-ujug Dimas teka ing panggung utama, banjur kandha, “Kita bakal nyanyi. Lagu iki jenenge She’s
My Woman, lagu iki kanggo wong sing spesial kanggoku.”

Sawise tembang rampung Dimas ngumumke. Dimas banter marani Putri karo ngajak munggah
panggung.

Putri kaget mati krungu kuwi, Putri nglirik Gendis banjur Gendis manthuk.

“Inggih, kula nampi,” wangsulane Putri. Langsung wae Dimas ngrangkul Putri erat-erat lan digawa
metu saka panggung, nanging sadurunge mudhun Dimas kandha, “Enteni, ana maneh sing ngenteni
giliranmu”. Kabeh tamu padha ngguyu.

Bareng Sakti munggah panggung, Gendis krasa ora enak, nanging Gendis krasa liya, sirahe nyenggol
sirahe Gendis. Gendis nyoba nahan, dheweke isih keprungu omongane Sakti yen dheweke uga
pengin ngaku tresnane marang wanita istimewane.

Asmane Gendis diceluk Sakti ping pirang-pirang nanging rasa lara ing sirahe sansaya kuwat, lan
Gendis ora bisa nahan lara maneh. Akhire Gendis semaput. Sakti langsung mlumpat munggah
panggung nyedhaki Gendis. Sakti karo Putri lan kanca-kanca liyane nggendhong Gendis menyang
mobil. Tekan rumah sakit, Sakti ngeterke Gendis lan mlayu sak kuat-kuate menyang UGD. Ora let
suwe ibune Gendis lan kanca-kancane teka.

“Iki ibune Gendis! Satemene Gendis lara apa ta, Tante?” pitakone Sang Putri.

“Satemene wiwit taun kepungkur Gendis kena kanker otak,” piterange ibune Gendis.
“Apa?” Kabeh padha kaget krungu kuwi, padha gumun.

Sedhela Gendis tangi.

“Wah, kowe kabeh wis ngumpul, dadi seneng banget bisa ndeleng sampeyan!” Kanthi sekuat tenaga
Gendis nyoba mesem.

“Aku bisa ngomong karo Gendis sedhela?” pitakone Sakti. Sawise iku, kabeh wong metu saka rumah
sakit.

“Kok ora tau nyritakake kabeh iki, Gendis?” Sakti ora bisa nahan eluhe maneh.

“Aja nangis, iki sebabe aku ora tau ngomong marang sapa wae!”

“Nanging aku tresno karo kowe, Ndis, aku tresno karo kowe!”

“Nanging wis telat. “

“Hush, aku ora tau telat, Ndis! Kita isih duwe jagad sesuk, ta? Sampeyan mesthi bisa ngliwati iki,
mesthi karo aku! Ayo, sampeyan kudu semangat, sampeyan ora bisa nyerah!”

“Matur nuwun, Sak, ngerti sampeyan pancen luar biasa kanggo aku. Aku uga tresna lan tresna
sampeyan saiki, sesuk, lan ing salawas-lawase.”

Sakwise Gendis ngomong kuwi, Sakti nyedhaki raine lan ngambung Gendis, nanging dumadakan
cangkeme Gendis krasa adhem lan lemes. Pranyata atine Gendis wis ora deg-degan maneh. Tangise
Sakti pecah. Gendis ninggal Sakti. Rasa sedhih nyerbu ibu, putri, Sakti, Dimas, lan kanca-kanca Gendis
liyane.

Anda mungkin juga menyukai