Anda di halaman 1dari 3

Aku berjalan sendirian di tepi pantai Losari. Pandanganku tanpa arah.

Menghiraukan suara deburan


ombak dan kicauan burung camar yang seolah memanggilku untuk kunikmati. Mentari pun perlahan-
lahan meninggalkan langit sore dan aku masih saja betah berlama-lama di tepi pantai. Tak berapa
lama,seseorang berteriak memanggil namanya.

“Nadia ..... ”

Lamunanku buyar mendengar ada seseorang yang memanggil namaku,sontak aku menoleh. Dan
ternyata, seseorang yang memanggilnya adalah Adrian, teman SMPku yang sudah kuanggap seperti
saudara sendiri. Setelah tamat SMP, keluarga Adrian memutuskan untuk pindah ke Samarinda karna
dipindah tugaskan.

”Adrian, kamu sudah pulang dari Samarinda?” Tanyaku sambil melangkah mendekati Adrian

“Iya, baru kemarin sampai di Makassar. Kamu kangen ya?” balas Adrian sambil menahan sakit karna
lengannya ku cubit.

“Ya nggak lah. Eitss bentar dulu, jangan bilang oleh-olehnya gak ada ya” kataku sambil menagih oleh-
oleh yang pernah dia janjikan.

“Nih, aku gak lupa kok” katanya sambil mengeluarkan gantungan kuci dengan ukiran khas Suku Dayak.

“Makasih ya. Kirain kamu udah lupa, kamu kan rada-rada pikun” Ledekku sambil menerima oleh-oleh
dari Adrian.

”Enak aja, Aku ga pikun, cuma pura-pura lupa aja”

Lama kami berbincang, sampai kami lupa matahari telah terbenam. Matahari pun menjadi saksi bisu
pertemuanku dengan sahabatku itu. Setelah berpamitan satu sama lain, kami berpisah dan kembali ke
rumah masing-masing.
Sampai di rumah, aku kekamar. Aku berusaha kembali mengingat pertemuanku tadi dengan sahabatku
itu. Aku bangkit menuju meja belajarku dan mengambil kertas dan pena, aku mulai menulis puisi.
Menarilah pena itu di atas kertas putih nan suci.

Duhai Angin Mamiri...

Angin yang bertiup sepoi-sepoi

Izinkan aku menitip rindu

Dan sampaikanlah ke jendela kamarnya.

Tak berselang lama, Aku kembali rebahan di atas kasur sambil menatap langit-langit kamarku. Mataku
mulai memaksaku untuk pejam sampai pada akhirnya aku pun tertidur.

Keesokan paginya.....

Aku mendapat pesan via messenger dari Adrian. Isinya dia mengajakku keluar jalan-jalan mumpung hari
Minggu. Akupun mengiyakan.

Kamipun bertemu di suatu tempat, dia mulai bercerita seperti desir angin. Mulai dari keadaan
sekolahnya di sana, teman-temannya, suasananya, alasannya pulang ke sini, semuanya dia ceritakan.

“Jadi enakan mana,di sini atau di sana?” tanyaku memotong pembicaraannya.

“Enakan di sini lah, di sini aku punya keluarga, banyak teman. Pokoknya enakan di sini” jawabnya tegas.

”Aku tak ingin jarak memisahkan persahabatan kita, Aku tak ingin kita putus komunikasi. Kabari aku jika
kamu punya masalah di sana.” Kataku seolah menceramahi.
“Siap Bu guru…” Jawabnya sambil senyum cengingisan.

Ya begitulah percakapanku dengan sahabatku itu. Walaupun dia lebih tua dariku, tetapi aku berusaha
mengingatkan dia. Lama kami berbincang, sampai mamaku menelpon menyuruhku untuk pulang ke
rumah.

Sejak kedatangan Adrian,sepulang sekolah,a ku diajaknya untuk bernostalgia. Bercerita bagaimana


indahnya masa kecil kita yang tanpa beban, tertawa, bermain. Ah, rasanya aku sangat ingin mengulang
masa itu. Tapi itulah waktu, berlalu dan tak mungkin bisa diulang kembali, kita hanya mampu
mengenangnya.

Seminggu telah berlalu,hari-hariku dipenuhi oleh cerita ‘jadulku’ bersama sahabatku itu. Sampai pada
akhirnya, Adrian harus kembali ke Samaarinda. Rasanya baru kemarin dia datang, dan sekarang dia
sudah harus pergi. Jujur,aku paling benci momen ini, momen di mana aku harus melihatnya berangkat
ke Samarinda. Aku berusaha menguatkan diriku sendiri.

Bersama angin Mamiri engkau datang,

Bersama angin Mamiri pula engkau pergi.

Bagaimana mungkin aku takkan rindu?

Tatapanmu seluas pantai Losari.

Pendirianmus sekokoh gunung Bawankaraeng.

Duhai sahabatku…

Cepatlah kembali,

Aku sungguh tak pandai menahan rindu.*

Anda mungkin juga menyukai