Anda di halaman 1dari 4

“Aku pernah mencintainya begitu dalam. Sangat amat dalam.

Ku ukirkan asmanya
yang menawan pada relung hatiku yang sedang dilanda kebimbangan. Hingga pada
akhirnya, perlahan dengan penuh kepastian, semesta berbisik lirih padaku. Berbisik
akan suatu kenyataan bahwa dia yang kucinta tak pernah ditakdirkan Sang Pencipta
‘tuk menua bersamaku.”

Malam ini, suasana terasa sangat syahdu. Langit begitu cerah dengan sinar
bintang yang malu-malu bersanding dengan segaris senyum tipis dari sabitnya
rembulan. Angin berhembus begitu halus, menyapa setiap lekuk wajah dengan
lembutnya. Membawaku pada lorong waktu yang kurindu. Ya, lorong waktu saat ku
duduk di bangku sekolahku dengan sejuta cerita haru biru, rindu, sedu, dan bimbangku.
Masih teringat dengan jelas dalam benakku, masa sekolahku yang begitu indah.
Tak hanya soal pelajaran, namun juga soal asmara. Maklum saja, namanya juga cinta
monyet, tak ayal selalu membuatku senyum-senyum sendiri seperti orang yang tak
waras.
Aku merupakan anak dari seorang pedagang keliling. Bukan anak yang pandai,
tapi bisa dibilang aku cukup rajin dibanding teman sekelasku yang lain. Sekolahku
bersebelahan dengan sekolah lain dan masih dalam satu kompleks. Disitulah terdapat
sosok laki-laki kecil yang rupawan nan cerdas. Tak ku sangka, laki-laki itu sungguh
memikat hatiku. Ahmad namanya, dia salah satu anak guru pengajar di tempatku
menimba ilmu. Akupun masih heran pula dengan diriku, bisa-bisanya diriku memiliki
rasa suka di usiaku yang sangat dini.
Jangan salah dulu, ternyata diam-diam Ahmad pun tau jika aku memendam rasa
untuknya. Namanya saja cinta monyet, lucu jika kuingatnya. Kala itu kita sering
berbalas surat, walau hanya sekedar bertanya kabar, mengutarakan keinginan untuk
bertemu, atau bahkan saling berkata rindu. Ya, aku dan dia memiliki teman yang sama.
Jadilah temanku ini menjadi pak pos antara aku dan Ahmad.
Aku mengaguminya bukan hanya karena parasnya, melainkan karena
kecerdasan dan kesopanannya pula. Sampai pada suatu ketika, aku pernah dipilih
menjadi wakil dari sekolahku untuk mengikuti ajang murid teladan satu kecamatan.
Bukan suatu kebetulan, Ahmad pun sama, ia diutus untuk mewakili sekolahnya di ajang
tersebut. Senang sekali rasanya hatiku bisa bertemu sekaligus bersaing dengannya pada
lomba ini. Kami semakin akrab disini. Bahkan, aku masih ingat dengan sangat jelas, dia
berbagi minumannya untukku.
“Kamu mau es? tanya Ahmad dengan mengulurkan seplastik es teh padaku, “nih
coba punyaku.”
“Hmm boleh,” sahutku dengan senyum tipis tertunduk malu.
Ku ambil minuman yang ia berikan padaku itu. Hatiku rasanya seperti
bertebaran bunga-bunga, sungguh senang sekali. Tapi sayang, aku tak lolos untuk lanjut
pada tahap seleksi selanjutnya, sedangkan Ahmad masih terus melanjutkan seleksi
hingga ia menjadi juara dua.
Setelah aku tahu bahwa ia menjadi juara, aku dengan semangatnya
mengumpulkan uang sakuku untuk memberi hadiah untuknya. Ya, seniat itu memang
diriku. Kubelikan ia buku tulis dan kotak pensil lengkap dengan bulpoin, pensil,
penghapus serta tipeX di dalamnya. Kubungkus rapi hadiah itu dengan penuh rasa cinta.
Kuberikan padanya dengan hati yang gelisah, tentunya ku berikan dengan cara ku
titipkan pada temanku yang juga sekaligus temannya. Mulai saat itu, semakin banyak
orang yang tahu bahwa diam-diam aku dan Ahmad dekat. Kami tidak berpacaran, hanya
memang jika dibandingkan pertemananku dengan yang lain, kami lebih dekat.
Aku dan Ahmad terus bersaing dalam diam kami di bidang akademik. Sampai
pada akhirnya, kita harus berpisah cukup jauh karena sekolah menengah atas kami
berbeda jauh. Aku bersekolah di salah satu sekolah idaman yang ada di tengah kota dan
Ahmad ada di sekolah favorit perbatasan kota. Keadaanpun mengharuskan aku dan
Ahmad lost contact saat itu. Semuanya seperti hilang begitu saja. Lenyap tak berbekas
dengan sangat tiba-tiba. Terkadang aku begitu merindukannya, tapi akupun tak tau
harus bagaimana untuk menghubunginya, karena nomor telpon yang ia berikan padaku
dulu sudah tak bisa kuhubungi lagi. Pilu rasanya. Dia yang kurindu ternyata kini telah
jauh dariku. Ku berpasrah pada Sang Pencipta, satu yang selalu kuminta saat ku
bermunajat padaNya adalah jika memang takdir masih memberi aku dan Ahmad lagi
kesempatan untuk berjumpa kembali, ku mohon pertemukan kami dalam waktu dan
keadaan terbaik menurutMu Ya Rabb.
Kehadiran Ahmad memang begitu mengesankan untukku. Ya, dia yang menjadi
salah satu alasan terkuatku untuk terus berprestasi, tentunya setelah orang tuaku.
Berbagai macam kehebatannya yang tak kupunya dan takdir-takdir Sang Pencipta yang
selalu mempertemukan aku dan dia tanpa sengaja. Banyak hal pada dirinya yang selalu
ku kagumi.
Tiga tahun ku lalui masa SMA ku tanpa berhubungan sama sekali dengan
Ahmad. Tiba saatnya kini aku harus kembali melangkahkan kakiku lagi, belajar
melupakan Ahmad yang mungkin dia bukanlah takdirku. Melangkah ke depan mencari
kampus terbaik untuk menimba ilmu dan tanjakan untuk meraih mimpi. Kudaftarkan
diri untuk menjadi mahasiswa ikatan dinas di Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN)
yang diminati banyak pemuda pemudi cerdas di Indonesia. Ku ikuti seleksi demi
seleksi. Tak pernah ku sangka, kali ini Sang Pemilik Takdir ternyata mengabulkan
doaku. Ya, di seleksi ujian tulis itu aku bertemu dengan Ahmad. Kami sama-sama
menjadi peserta disana. Berjuang meraih mimpi kami. Aku sangat berbahagia saat itu.
Bahagia sekali. Walau aku hanya bisa memandangnya dari jauh.
“TEEETTTT.” Bunyi lonceng tanda seleksi tulis telah usai.
Kubereskan semua peralatanku dan ku bergegas pulang. Aku dan Ahmad sudah
tak bertemu lagi karena memang jumlah pesertanya pun sangat banyak. Sulit kami
bertemu tanpa berjanjian.
Sebulan setelah seleksi itu, hasil diumumkan di website resmi dengan
menampilkan nama-nama peserta yang lolos melalui selembar edaran yang telah
diformat dalam pdf.
“Ting.” Hpku berbunyi.
Ada pesan LINE masuk rupanya. Ku buka segera. Aku baca nama yang tertulis
di layar telponku.
“Ahmad Syafiqi,” mataku benar-benar melotot saat membaca namanya.
Cepat-cepat kubuka pesannya, “Haii. Tetep semangat yaa. Mungkin ini bukan
disini jalan kamu meraih cita-citamu. Masih banyak jalan di depan. Semangat!!”
Sejujurnya aku tak tau apa maksudnya.
“Hmmm, apa maksudnya hasil seleksi kali yaa? Coba kubuka deh,” gumamku.
Ku bergegas membuka hasil seleksi. Segera kusearch namaku di dokumen itu.
Benar rupanya. Tidak ada namaku disana. Kemudian ganti kuketik nama Ahmad disana.
Ternyata ada. Ya, Ahmad lolos seleksi selanjutnya.
Kubalas pesan darinya, “Iya makasih ya. Kamu selamat yaa udah lolos.
Semangat tes kesehatannya. Kok tau Line ku?”
“Tinggg,” pesan dari Ahmad.
“Iya, thanks ya. Tau Linemu soalnya kan nomermu masih ku simpan, jadi
autodetect deh Line mu. Hehe,” balas Ahmad.
Huh senyum-senyum sendiri aku rasanya. Tak kusangan, hari ini, Tuhan
kembali mengabulkan doaku agar dapat bersua dengan Ahmad walau hanya sebatas
pesan singkat. Begitu membekas di hatiku. Dia yang teramat lama kurindu, kini kembali
hadir mengukir tawa sendu. Terimakasih kamu yang selalu kutunggu.
Tiba-tiba, “BRAAKKK!!” seseorang membuyarkan lamunan nostalgiaku ke
masa sekolahku, belasan tahun silam.
Hmm adikku rupanya. Ia menepuk pundakku dengan guraunya, lalu
memberikanku sebuah undangan pernikahan. Wajar sih di usiaku yang sudah
seperempat abad lebih ini mulai banyak undangan nikah temen-temen sekolah dulu.
Kubuka perlahan plastik pembungkusnya. Kubaca perlahan siapa temanku yang akan
menikah ini.
Ternyata dalam selembar kertas undangan itu tertulis nama “Adinda Permata
dan Ahmad Syafiqi.”
Seketika mataku terbelalak, hatiku bergemuruh, berkecamuk penuh pilu. Tak ku
sangka, undangan itu berasal dari dia yang sampai detik ini tak pernah bisa kulupa. Dia
yang sampai saat ku terima undangan ini tak pernah luput ku sebut namanya dalam
setiap munajatku pada Ilahi Rabbi. Ku menitikkan air mataku, aku percaya mungkin ini
jawaban dari sebait doa “Jika dia yang terbaik maka dekatkan dan jika dia bukan yang
terbaik maka jauhkanlah dengan caraMu yang indah yaRabb”
Aku akhiri malam yang syahdu hari ini dengan penuh rasa pilu. Air mata
rasanya semakin tak terbendung saat ku menengadahkan tanganku untuk mengadu
padaNya. Begitu sakit rasanya. Dia yang sejak dulu kucinta, yang selalu menjadi
motivasiku dalam setiap usaha, ternyata tak pernah ditakdirkan untuk mendampingiku
selamanya.
Untukmu, Ahmad Syafiqi, aku hanya bisa turut berbahagia dalam gundahku,
semoga kau berbahagia dengannya. Bersama dia hingga Jannahnya. Dariku, seseorang
yang hanya akan menjadi teman kecil di masa sekolahmu.

Anda mungkin juga menyukai