Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelapa

Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tumbuhan berkeping tunggal (monokotil),


berakar serabut, dan termasuk ke dalam golongan palem. Tanaman kelapa tersebar luas di
daerah beriklim tropis lembab dengan curah hujan yang ideal berada pada angka 1500-2000
mm per tahun. Tanaman ini tumbuh subur di dataran rendah dengan ketinggian 0-600 meter di
atas permukaan laut. Derajat kesaman (pH) tanah yang ideal untuk pertumbuhan tanaman
kelapa berada pada rentang 5.5 hingga 7. Secara fisik, ketinggian pohon kelapa yang telah
berusia 40 tahun dapat mencapai 22 meter dengan diameter kanopi berada pada rentang 8
hingga 9 meter. Pohon kelapa dapat mulai berbuah pada usia tanam 5 hingga 6 tahun dengan
kapasitas produksi tiap pohon kelapa mencapai 50 hingga 80 butir kelapa dalam rentang waktu
satu tahun (Chan dan Elevitch, 2006).

Penemuan-penemuan terdahulu menyatakan bahwa tanaman kelapa berasal dari Asia


Selatan dan pulau-pulau di sekitar samudera pasifik (Nampoothiri, dkk., 2018). Awal mula
perdagangan komoditas kelapa diperkirakan telah ada sejak belasan abad lalu, di mana rute
perdagangan tersebut terbentang dari Asia Tenggara hingga bagian pesisir selatan Afrika
Timur. Catatan sejarah menunjukkan bahwa perdagangan komoditas kelapa pada masa lampau
melibatkan pedagang dari bangsa Austronesia dan Arab (Gunn, dkk., 2011).

Menurut Nampoothiri, dkk. (2018), rincian klasifikasi tanaman kelapa dapat diuraikan
sebagai berikut:

Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super division : Spermatophyta
Division : Magnoliophyta
Class : Liliopsida
Subclass : Arecidae
Order : Arecales
Family : Arecaceae
Genus : Cocos
Species : C. nucifera L

9
10

2.1.1 Peta Sebaran dan Varietas Tanaman Kelapa di Indonesia

Kelapa merupakan salah satu tanaman perkebunan dengan areal terluas di Indonesia
selain karet dan kelapa sawit. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2019), luas areal
perkebunan kelapa di Indonesia untuk tahun 2018 mencapai 3.417.951 hektar yang terdiri atas
perkebunan rakyat (99%), perkebunan besar negara (0,11%), dan perkebunan besar swasta
(0,85%). Produksi dan pengelolaan perkebunan kelapa di Indonesia masih didominasi oleh
masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di daerah pesisir pantai. Sepuluh provinsi
penghasil kelapa dengan persentase kontribusi tertinggi meliputi Provinsi Riau (13,99%),
Sulawesi Utara (9,14%), Jawa Timur (8,87%), Maluku Utara (7,73%), Sulawesi Tengah
(6,53%), Jawa Tengah (5,99%), Jambi (3,77%), Maluku (3,47%), Sumatera Utara (3,34%), dan
Jawa Barat (3,34%) (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019). Rata-rata produksi buah kelapa
di Indonesia dapat mencapai nilai 15,5 miliar butir per tahun atau setara dengan 3,02 juta ton
kopra, 3,75 juta ton air kelapa, 0,75 juta ton arang tempurung, 1,8 juta ton serat sabut, dan 3,3
juta ton debu sabut (Mahmud dan Ferry, 2005)

Gambar 2.1 Peta sebaran luas areal tanaman kelapa di Indonesia tahun 2018 (Direktorat
Jenderal Perkebunan, 2019)

Secara umum, tanaman kelapa digolongkan ke dalam dua tipe yaitu kelapa dalam (tall
coconut) dan kelapa genjah (dwarf coconut). Kelapa dalam merupakan tipe kelapa yang
memiliki batang tebal dengan tinggi sekitar 20-30 meter dan memiliki ciri khusus berupa
bagian pangkal batang yang membengkak. Pada tipe kelapa dalam, tanaman baru mulai
berbunga pada usia 5 hingga 6 tahun setelah tanam. Kelapa genjah merupakan tipe kelapa yang
11

berukuran lebih pendek daripada kelapa dalam. Batang dari kelapa genjah memiliki ukuran di
bawah 10 meter dan bagian pangkal batang tidak mengalami pembengkakan. Pada tipe kelapa
genjah, tanaman sudah dapat berbunga pada usia 3 tahun setelah tanam (Chan dan Elevitch,
2006). Untuk keperluan produksi kopra dan minyak, tipe kelapa dalam lebih sering digunakan
dari pada tipe kelapa genjah. Hasil persilangan antara kelapa dalam dan kelapa genjah dikenal
dengan sebutan kelapa hibrida (Prakoso, 2018). Rincian terhadap varietas tanaman kelapa di
Indonesia disajikan pada Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Varietas tanaman kelapa di Indonesia (Balit Palma, 2021)


Kelapa dalam Kelapa genjah Kelapa hibrida
Kelapa dalam mapanget Kelapa genjah kuning nias Khina-1
Kelapa dalam tenga Kelapa genjah kuning bali Khina-2
Kelapa dalam palu Kelapa genjah raja Khina-3
Kelapa dalam bali Kelapa genjah salak Khina-4
Kelapa dalam takome Kelapa genjah hijau kopyor Khina-5
Kelapa dalam sawarna Kelapa genjah coklat kopyor
Kelapa dalam adonara Kelapa genjah kuning kopyor
Kelapa dalam rennel Kelapa genjah pandan wangi sumut
Kelapa dalam mastutin Kelapa genjah entog kebumen
Kelapa dalam lampanah
Kelapa semi tall buol ST-1
Kelapa dalam sri gemilang
Kelapa dalam bido
Kelapa dalam kima atas
Kelapa dalam banyuwangi
Kelapa dalam lubuk pakam
Kelapa dalam panua
Kelapa dalam kramat
Kelapa dalam molowahu
Kelapa dalam bojong bulat
Kelapa dalam odeska lobu
Kelapa dalam ujung kubu
Kelapa dalam babasal
Kelapa dalam selayar
Kelapa dalam sikka
Kelapa dalam jepara

2.1.2 Struktur dan Komposisi Buah Kelapa

Buah kelapa tua (buah kelapa dewasa yang telah matang seutuhnya) umumnya berusia
sekitar 12 bulan setelah polinasi. Pada usia tersebut, buah kelapa memiliki bentuk bulat melebar
dengan berat sekitar 850 - 3700 gram (Chan dan Elevitch, 2006). Buah kelapa memiliki bagian
12

endosperm internal (kernel) dengan embrio tertanam di dalamnya. Kernel diselimuti oleh
perikarp tebal yang terdiri dari tiga lapisan kulit yaitu eksokarp, mesokarp, dan endokarp .

Gambar 2.2 Struktur buah kelapa (Lédo, dkk., 2018)

Eksokarp (disebut juga sebagai epikarp) merupakan lapisan kulit terluar berserat keras
dari buah kelapa. Bagian eksokarp buah kelapa dapat berwarna hijau, coklat, merah atau
kuning. Variasi warna pada eksokarp tersebut dipengaruhi oleh usia dan varietas tanaman
(Nampoothiri, dkk., 2018). Seiring dengan bertambahnya usia dan kematangan, buah kelapa
akan mengalami perubahan warna dari yang sebelumnya hijau (bergantung pada varietas
tanaman kelapa) menjadi coklat. Mesokarp (sabut kelapa) merupakan lapisan kulit bagian
tengah yang letaknya berada di antara eksokarp dan endokarp. Ketebalan mesokarp berada
pada kisaran 2 hingga 15 cm. Endokarp (tempurung kelapa) merupakan lapisan keras di bawah
mesokarp. Ketebalan endokarp berada pada kisaran 0,8 hingga 2 cm. Di antara endokarp dan
lapisan padat endosperm yang tersusun atas albumin, terdapat lapisan tipis yang disebut sebagai
testa (kulit biji). Rongga yang dikelilingi oleh endosperm padat (daging kelapa) terisi dengan
endosperm cair atau yang lebih dikenal sebagai air kelapa (Nampoothiri, dkk., 2018).
Berdasarkan Ariatma et al. (2019), sekitar 35% dari keseluruhan berat buah kelapa adalah
bagian sabut, sisanya merupakan bagian daging kelapa (28%), air kelapa (25%), dan tempurung
kelapa (12%).

Hasil analisis kandungan kimia untuk daging dan air buah kelapa yang telah berusia 10
hingga 11 bulan dapat disajikan melalui Tabel 2.2 dan Tabel 2.3. Sepuluh varietas kelapa
yang tertera pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3 tergolong sebagai varietas kelapa dalam unggul
BALITKA (Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain)
13

Tabel 2.2 Kandungan daging buah kelapa dalam (Runtunuwu, dkk., 2011)
Kandungan (%)
No Varietas Kelapa Air Abu Lemak Serat kasar Protein
Water Ash Fat Crude fiber Protein
Kelapa Dalam Rennel (DRL) 42,33 1,00 19,25a 1,60a 3,72
1
Kelapa Dalam Banyuwangi (DBG) 44,14 1,05 25,14a 2,43ab 2,99
2
Kelapa Dalam Tenga (DTA) 43,91 1,03 27,78ab 4,07b 3,17
3
Kelapa Dalam Jepara (DJP) 41,97 1,04 31,92bc 3,17b 3,19
4
Kelapa Dalam Sawarna (DSA) 49,84 0,99 32,15bc 3,53b 3,39
5
Kelapa Dalam Bali (DBI) 48,13 1,08 32,23bc 3,87b 3,05
6
7 Kelapa Dalam Palu (DPU) 55,28 1,10 35,52c 3,03b 2,80

Kelapa Dalam Lubuk Pakam (DLP) 53,14 1,19 35,84c 2,87ab 3,14
8
Kelapa Dalam Kima Atas (DKA) 48,09 0,89 36,01c 3,17b 3,17
9
10 Kelapa Dalam Mapanget (DMT) 52,27 1,05 37,11c 3,97b 3,58
Rata-rata 50,04 1,04 32,24 3,07 3,22
BNT 0,05 tn tn 6,10 1,32 tn

Tabel 2.3 Kandungan air buah kelapa dalam (Runtunuwu, dkk., 2011)
Kandungan
No Varietas Kelapa TP GR K Na Ca Vit-C
pH
(%) (mg /100 g bahan)
1 Kelapa Dalam Palu (DPU) 5,4 5,69b 3,99 285,7 51,0 38,0 1,43a

2 Kelapa Dalam Rennel (DRL) 5,4 3,92a 3,02 248,7 27,0 35,3 1,61ab

3 Kelapa Dalam Lubuk Pakam (DLP) 5,6 5,43b 3,69 274,0 45,0 36,6 2,03b

4 Kelapa Dalam Banyuwangi (DBG) 5,5 5,51b 3,84 233,3 39,0 43,3 2,09bc

5 Kelapa Dalam Sawarna (DSA) 5,5 5,69b 3,95 249,7 51,0 35,3 2,24bc

6 Kelapa Dalam Kima Atas (DKA) 5,5 5,51b 3,95 254,0 41,0 41,3 2,25bc

7 Kelapa Dalam Jepara (DJP) 5,5 5,25b 2,84 263,7 45,0 44,0 2,27bc

8 Kelapa Dalam Bali (DBI) 5,5 5,53b 3,32 269,3 59,3 39,3 2,38bc

9 Kelapa Dalam Mapanget (DMT) 5,5 5,95b 3,11 280,0 51,0 40,0 2,46bc

10 Kelapa Dalam Tenga (DTA) 5,5 5,53b 2,60 274,7 53,7 40,7 2,52c
Rata-rata 5,5 5,59 3,43 263,3 46,3 39,4 2,13
BNT 0,05 tn 1,26 tn tn tn tn 0,46

Keterangan: TP = total padatan, GR = Gula reduksi, K = Kalium, Na = Natrium, Ca = Kalisum, Vit-C = Vitamin C,
tn = Perbedaan tidak nyata (tidak signifikan)

Buah kelapa muda (buah kelapa yang belum matang secara sempurna), terbentuk sekitar
8 bulan setelah polinasi. Daging buah kelapa muda memiliki kadar air yang lebih tinggi dari
14

pada daging buah kelapa tua. Kadar air pada daging buah kelapa akan terus menurun
hingga buah kelapa berusia 12 bulan (Runtunuwu, dkk., 2011). Air kelapa yang berada
dalam buah kelapa muda merupakan cairan steril yang dapat diminum secara langsung.
Selama dua dekade terakhir, air kelapa telah digunakan secara luas untuk mengobati
kolera, disentri, flu, dan berbagai penyakit menular lainnya (Reddy dan Lakshmi, 2014).
Air kelapa dapat membantu kelancaran peredaran darah, membantu pencegahan batu
ginjal, dan menyeimbangkan gula darah pada penderita diabetes. Air kelapa mengandung
campuran kompleks yang terdiri dari vitamin, mineral, asam amino, karbohidrat, antioksidan,
enzim, fitohormon, dan nutrisi penting lainnya. Kandungan elektrolit air kelapa sangat mirip
dengan plasma manusia dan telah diakui secara internasional sebagai minuman isotonik alami
yang dapat digunakan untuk rehidrasi oral. Lima elektrolit penting bagi tubuh manusia yang
terkandung dalam air kelapa meliputi kalium, natrium, magnesium, fosfor, dan kalsium.
Fitohormon berupa sitokinin yang terkandung dalam air kelapa telah diteliti memiliki khasiat
sebagai anti-kanker, anti-penuaan dan anti-trombolitik. Keberadaan ion anorganik dan vitamin
pada air kelapa dapat memberi efek anti-oksidan pada tubuh manusia (Reddy dan Lakshmi,
2014).

2.2 Kopra

Kopra merupakan daging buah kelapa yang dikeringkan hingga memiliki kadar air
rendah dan selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan minyak kelapa
mentah (Ghosh, dkk., 2014). Minyak kelapa dapat dicerna dengan baik oleh tubuh manusia
karena asam lemak yang terkandung dalam minyak kelapa tergolong sebagai asam lemak rantai
sedang (medium chain fatty acid). Untuk memperoleh minyak kelapa mentah, kopra harus
diolah terlebih dahulu dengan menggunakan metode pemerasan secara mekanik (melibatkan
mesin press) atau dengan metode ekstraksi pelarut (melibatkan pelarut organik). Sisa daging
buah kelapa yang telah diambil minyaknya baik melalui metode pemerasan secara mekanik
maupun ekstraksi pelarut dikenal dengan sebutan bungkil kopra. Bungkil kopra masih
mengandung protein, karbohidrat, mineral, dan sisa-sisa minyak yang masih tertinggal. Oleh
karena itu, bungkil kopra tidak terbuang sia-sia dan dapat diolah menjadi pakan ikan (Palinggi,
dkk., 2014). Untuk mendapatkan 1 ton kopra dibutuhkan sekitar 5000 butir kelapa tua, di mana
setiap ton kopra akan menghasilkan 610 kg minyak dan 370 kg bungkil kopra (World bank,
1986). Berdasarkan Nathanael (1965), terdapat setidaknya 4 faktor yang berpengaruh terhadap
kualitas dan kuantitas kopra sebagai bahan baku pembuatan minyak, di antaranya yaitu:
15

1. Perawatan yang dilakukan selama tahap persiapan dan pengeringan bahan baku
2. Kadar air yang terkandung dalam kopra
3. Perlakuan dalam pengumpulan, penyimpanan, dan pemindahan kopra. Diperlukan
perlakuan khusus di mana kopra yang mengalami kecacatan akibat mikroba ataupun
serangan serangga harus dipisahkan dari kopra yang tidak mengalami kecacatan.
4. Rentang waktu antara tahap persiapan kopra dengan tahap pengolahan minyak kelapa.

Kopra yang terserang serangga dapat dicirikan dengan timbulnya serpihan debu dan
kotoran, di mana untuk kasus tertentu serangga dapat bertelur pada permukaan kopra
(Nathanael, 1965).

2.2.1 Proses Pembuatan Kopra

Secara garis besar, proses pembuatan kopra dapat dibagi menjadi dua tahapan utama
yaitu tahap persiapan bahan baku dan tahap pengeringan daging buah kelapa menjadi kopra
(Fahroji, 2011). Tahap persiapan bahan baku diawali dengan pemetikan buah kelapa dari
pohon. Pemetikan buah kelapa dilakukan sepanjang tahun dengan jangka waktu setiap satu
bulan, setiap dua bulan, atau setiap tiga bulan. Kelapa yang digunakan sebagai bahan baku
adalah buah matang yang telah berusia 11 hingga 12 bulan. Kelapa yang dipetik terlalu muda
akan menghasilkan kopra yang lunak serta mudah mengalami kerusakan selama pengolahan
dikarenakan adanya aktivitas mikrobia. Sedangkan kelapa yang dipetik lewat masak akan
menghasilkan daging buah berlendir, sukar dikeringkan serta menghasilkan kopra bertekstur
keras dengan warna yang tidak putih. Sebelum diolah menjadi kopra, buah kelapa disimpan
sekitar 2 minggu di tempat yang ternaung (Fahroji, 2011). Hal tersebut bertujuan untuk
memperkeras daging buah kelapa sehingga daging buah lebih tahan terhadap mikroorganisme
selama proses pengeringan, mempermudah pelepasan sabut kelapa dari buahnya, dan
mempermudah pemisahan daging buah dari tempurung.

Tahap persiapan bahan baku dilanjutkan dengan penghilangan sabut kelapa dan
pembelahan buah kelapa. Tahapan ini dapat dilakukan secara mekanis maupun manual. Secara
mekanis, alat yang digunakan adalah mesin pemisah sabut kelapa dan mesin pencungkil.
Sedangkan pada cara manual, alat yang digunakan adalah linggis (untuk memisahkan sabut
kelapa), parang (untuk membelah kelapa), dan pencungkil kopra. Parang yang digunakan harus
berbahan kuat, dan tidak berkarat sehingga kopra tidak terkontaminasi. Pembelahan buah
kelapa sebaiknya dilakukan pada permukaan yang keras dan bersih. Apabila pembelahan telah
dilakukan, air kelapa yang berada di dalam buah harus segera ditampung dalam suatu wadah
16

untuk kemudian dapat diminum atau diolah lebih lanjut menjadi produk turunan lain. Menurut
Mardesci (2018), air kelapa tua dapat diolah menjadi nata de coco, permen, kecap, dan sirup.
Buah kelapa yang sudah dibelah tidak boleh didiamkan terlalu lama karena dapat menyebabkan
perubahan warna, munculnya jamur, dan lendir pada permukaan daging buah sehingga dapat
menurunkan kualitas kopra yang dihasilkan. Idealnya, proses pengeringan daging kelapa
dimulai selambat-lambatnya 4 jam setelah pembelahan buah kelapa selesai dilakukan (Dippon
dan Villaruel, 1996) . Menurut Nathanael (1965), mikroba yang berpotensi tumbuh pada daging
buah kelapa meliputi:

• Pada kadar air 12 – 50% : Aspergillus flavus (corak berwarna kuning-hijau), Aspergillus
niger (corak berwarna hitam), dan Rhizopus nigricans (corak berwarna putih yang
kemudian berubah menjadi hitam)
• Pada kadar air 12 – 8 % : Aspergillus Tamarii dan Aspergillus glaucus
• Pada kadar air < 8 % : Penicillium glaucum (hijau) dan Aspergillus glaucus (putih-
hijau)

Secara tradisional, terdapat dua metode pengeringan daging kelapa yaitu metode
penjemuran dengan sinar matahari dan metode pengasapan. Menurut Rustati, dkk. (2020),
durasi metode penjemuran sinar matahari dapat mencapai 5-7 hari pengeringan, sedangkan
untuk metode pengasapan hanya membutuhkan 3-4 hari pengeringan. Pada metode
penjemuran, potongan buah kelapa dihamparkan pada lantai penjemuran yang umumnya
terbuat dari semen (Nampoothiri, dkk., 2018). Adapun lokasi penjemuran daging kelapa berada
pada tempat yang kering serta tidak terhalang dari sinar matahari. Untuk melindungi daging
kelapa dari tetesan air hujan ataupun embun, petani biasanya menggunakan lembaran plastik
yang dapat dilepas pasang sebagai penutup (Punchihewa dan Arancon, 1999). Selama
penjemuran dilakukan pembalikan hamparan kopra setiap 1-2 jam sekali. Metode penjemuran
memiliki beberapa keunggulan, yaitu biaya murah, tidak memerlukan bahan bakar, dan
ketersediaan alat yang mudah didapatkan dan pemeliharaan alat yang relatif mudah. Dibalik
keunggulannya tersebut, metode penjemuran juga memiliki beberapa kelemahan, di antaranya
yaitu: 1) sangat bergantung pada cuaca, 2) waktu dan kondisi pengeringan tidak dapat
dikendalikan, 3) rawan terserang jamur dan mudah terkontaminasi debu (Nampoothiri, dkk.,
2018). Kopra yang dihasilkan melalui metode penjemuran dikenal dengan sebutan sun-dried
copra.
17

Selain metode penjemuran, petani kelapa biasanya menggunakan metode pengasapan


untuk mengeringkan kopra. Pada metode ini, daging kelapa dikeringkan melalui bantuan
tungku pengasapan dengan memanfaatkan sabut dan tempurung kelapa sebagai bahan bakar
pengasapannya. Apabila tidak dimanfaatkan sebagai bahan bakar, tempurung kelapa dapat
dijadikan sebagai bahan baku industri pembuatan arang aktif ataupun diolah sebagai barang
kerajinan. Sedangkan sabut kelapa dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan jok mobil,
insulator panas, dan cocopeat (Fahroji, 2011). Salah satu keunggulan metode pengasapan
dibandingkan dengan metode penjemuran, yaitu tidak bergantungnya proses pengasapan pada
cuaca (tetap dapat dilakukan ketika musim hujan). Oleh karena itu, metode ini dapat digunakan
sebagai alternatif metode penjemuran apabila terdapat kendala cuaca. Saat dilakukan
pengasapan, daging buah kelapa akan berkontak langsung dengan gas-gas yang timbul dari
pembakaran dalam dapur api (Fahroji, 2011). Terdapat beberapa kelemahan dibalik metode
pengasapan, meliputi: 1) warna coklat kehitaman pada kopra dan aroma asap yang menyengat
pada kopra, 2) suhu pengasapan sulit dikendalikan dan penggunaan energi kurang efisien, 3)
berpotensi membawa sifat karsinogenik karena adanya kontaminasi polycyclic aromatic
hydrocarbon (PAH) yang berasal dari asap bahan bakar (Lay dan Maskromo, 2016). Pada kasus
tertentu, daging kelapa akan direndam terlebih dahulu pada larutan natrium bisulfit sebelum
menjalani pengasapan. Perendaman daging kelapa dengan larutan natrium bisulfit bertujuan
untuk menghambat pertumbuhan kapang (Apriyanto dan Rujiah, 2019). Kopra yang dihasilkan
melalui metode pengasapan dikenal dengan sebutan smoke-dried copra.

Untuk mensiasati kekurangan dari metode penjemuran dan metode pengasapan, proses
pengeringan kopra dapat dilakukan melalui bantuan alat pengering mekanis jenis tray dryer
atau pengering baki. Waktu pengeringan diupayakan sesingkat-singkatnya untuk mencegah
kerusakan-kerusakan maupun dekomposisi dari daging kelapa. Pemberian suhu pemanasan
yang lebih tinggi dari 85℃ dihindari karena dapat menyebabkan case hardened copra (Fahroji,
2011). Case hardening terjadi ketika bahan pangan dipaksa mengeluarkan uap air secara cepat.
Akibatnya terdapat tekanan kuat pada dinding sel bahan yang menyebabkan kerusakan pada
membran sel sehingga sel mengalami kehilangan permeabilitasnya. Pada saat yang sama,
lapisan luar bahan pangan akan mengering dan mengkerut, karena adanya tekanan udara panas
dari luar permukaan bahan (Rozana, dkk., 2016). Fenomena case hardening pada kopra harus
dihindari karena bagian luar permukaan kopra sudah kering dan mengeras sedangkan daging
kelapa bagian dalam masih basah. Pemberian suhu rendah (lebih rendah dari 40℃) dapat
memicu terjadinya pembusukan oleh mikroba dan enzim-enzim. Akibatnya, akan timbul lendir
18

pada permukaan daging buah dan kopra akan mengandung asam lemak bebas yang tinggi
(Fahroji, 2011).

2.2.2 Standar Mutu kopra

Pada skala domestik, spesifikasi persyaratan mutu kopra diatur oleh Badan Standarisasi
Nasional dan tertera pada dokumen SNI 01-3946-1995 (Tabel 2.4). Semetara untuk
perdagangan kopra skala Asia Pasifik, standar mutu kopra diatur oleh Asia Pasific Coconut
Community atau biasa disingkat sebagai APCC (Tabel 2.5).

Tabel 2.4 Standar mutu kopra SNI 01-3946-1995 (Badan Standarisasi Nasional, 1995)
Persyaratan Mutu
No Jenis uji Satuan A
B C
I II
1 Kadar air (b/b), maks % 5 5 8 12
2 Kadar minyak (b/b), min % 65 60 55 50
3 Kadar asam lemak bebas dalam
minyak (asam laurat) (b/b), % 2 2 3 4
maks
4 Benda asing (b/b), maks % 0 1 1 1
5 Bagian berkapang (b/b), maks % 2 2 3 3
6 Bagian berhama (b/b), maks % 1 1 2 2
7 Bagian cacat (b/b), maks % 2 5 10 10

Tabel 2.5 Standar mutu kopra APCC tahun 2006 (Amperawati, dkk., 2012)

No Karakteristik Grade 1 Grade 2 Grade 3


Kadar air
1 6 6 6
(%berat, maks)
Kadar minyak
2 70 68 68
(%berat basis kering, min)
Asam lemak bebas
3 1 3 6
(%asam laurat, berat maks)
Serangan kapang dan jamur
4 0 4 8
(% hitung)

2.2.3 Industri Kopra di Indonesia

Jalur perdagangan kopra di Indonesia berporos pada pabrik pengolah minyak (Budiman,
dkk., 1989). Dikarenakan persebaran lokasi produsen kopra (petani kelapa) yang relatif luas,
19

maka sangat jarang bagi pabrik pengolah minyak untuk langsung membeli kopra dari petani.
Umumnya, pabrik pengolah minyak mendapatkan kopra dari pedagang pengumpul tingkat
desa maupun tingkat kecamatan. Selain diolah menjadi minyak, pabrik pengolah biasanya juga
berperan sebagai pedagang kopra antar pulau atau bahkan eksportir. Dalam kegiatan ekspor-
impor komoditas kelapa, kopra digolongkan sebagai bentuk primer perdagangan. Sedangkan
minyak kelapa mentah hasil pemrosesan kopra digolongkan sebagai bentuk manufaktur
perdagangan. Harga kopra skala domestik maupun skala internasional mengalami pergerakan
yang kurang stabil dikarenakan permintaan minyak kelapa yang cenderung fluktuatif. Apabila
dirata-ratakan, harga kopra sepanjang bulan Januari hingga Desember 2018 untuk pasar
domestik adalah Rp 5.605 per kilogram, sedangkan untuk pasar internasional dapat mencapai
982 USD per ton (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019).

Tabel 2.6 Harga domestik kopra tahun 2018 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019)

Wujud Satuan Bulan


Rata -rata
perdagangan harga Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Kopra Rp/kg 7.941 7.124 6.178 6.045 5.726 5.449 5.099 5.011 4.938 4.647 4.623 4.478 5.605

Pada tahun 2018, minyak kelapa mentah memberikan kontribusi sebesar 29.02% dari
keseluruhan ekspor industri kelapa Indonesia yang memuat produk-produk turunan lain seperti
kelapa parut, kopra, bungkil kelapa, arang kelapa, dan serat kelapa mentah (Direktorat Jenderal
Perkebunan, 2019). Nilai ekspor-impor Indonesia (tahun 2018) untuk produk kopra dan
minyak kelapa mentah dapat dilihat secara berurutan pada Tabel 2.7 dan Tabel 2.8 berikut.

Tabel 2.7 Ekspor-impor kopra Indonesia tahun 2018 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019)

Ekspor Impor
Kode HS Negara Volume Nilai Negara Volume Nilai
tujuan (Kg) ($ US) asal (Kg) ($ US)
Cina 53 50
Filipina 5.506.845 2.658.435
Malaysia 77.62 62.628
India 13.296.206 14.174.635
Pakistan 2.344.434 2.569.893
1203.00.00 Timor
Bangladesh 20.114.072 18.380.644 372.331 105.148
(Kopra) Leste
Sri Lanka 12 11.74
Uni Emirat
100 10
Arab
Republik
24.43 32.077
Kongo
Jumlah Total 41.375.760 37.890.112 372.331 105.148
20

Tabel 2.8 Ekspor-impor minyak kelapa mentah Indonesia Tahun 2018 (Direktorat Jenderal
Perkebunan, 2019)
Ekspor Impor
Kode HS Negara Volume Nilai Negara Volume Nilai
tujuan (Kg) ($ US) asal (Kg) ($ US)
Belanda 162.462.450 177.573.541 Papua
8.724.100 10.242.881
Taiwan 38.022 74.061 Nugini
Cina 366.540 407.900
Thailand 157 668
Thailand 5.452.320 5.704.884
1513.11.00
(minyak Sri Lanka 1.004.000 1.197.673
Filipina 5.000.000 5.425.206
kelapa Malaysia 132.344.150 122.843.723
mentah)
India 525.000 387.450
Sri Lanka 760 3.116
Pakistan 215.000 236.375
Bangladesh 1.602.650 1.432.464
Vanuatu 315 248.85
Negara lain 40.913.429 44.839.112
Jumlah Total 344.923.561 354.697.183 14.040.017 15.920.721

2.3 Kandungan Air dalam Bahan Pangan

Air merupakan komponen kimiawi dalam bahan pangan yang dapat mempengaruhi
kenampakan, tekstur, serta cita rasa makanan (Jamaluddin, dkk., 2014). Kadar air suatu bahan
pangan menunjukkan banyaknya kandungan air per satuan bobot bahan. Semakin tinggi kadar
air suatu bahan pangan, akan semakin besar kemungkinan kerusakannya baik sebagai aktivitas
biologis internal (metabolisme) maupun masuknya mikroba perusak (Daud, 2019). Kadar air
suatu bahan dapat dinyatakan dalam persen berat basah (wet basis) ataupun dalam persen berat
kering (dry basis). Secara berurutan, kadar air berat basah dan kadar air berat kering dapat
dinyatakan melalui persamaan (2.1) dan (2.2) berikut.

𝑊𝑚 𝑊𝑚
𝑥= 𝑥 100% = 𝑥 100% (2.1)
𝑊𝑚 +𝑊𝑑 𝑊𝑡

𝑊𝑚
𝑋= 𝑥 100% (2.2)
𝑊𝑑

Keterangan: x = kadar air berat basah (%)


X = kadar air berat kering (%)
Wm = berat air dalam bahan (gr)
Wd = berat padatan dalam bahan atau berat padatan kering (gr)
Wt = berat total (gr)
21

Kandungan air dalam suatu bahan pangan dapat digolongkan ke dalam tiga kategori,
yaitu kandungan air bebas, air terikat lemah (air teradsorpsi), dan air terikat kuat (Legowo dan
Nurwantoro, 2004). Air bebas terletak di dalam ruang antar sel, intergranular, pori-pori bahan,
atau bahkan pada permukaan bahan. Keberadaan air bebas mampu membantu aktivitas
pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi pada bahan pangan. Air bebas sangat
mudah untuk diuapkan ataupun dibekukan.

Air terikat lemah merupakan air yang terserap atau terdispersi pada permukaan koloid
makromolekul bahan (misalnya protein dan pati). Air terikat lemah relatif mudah diuapkan
ataupun dibekukan (Legowo dan Nurwantoro, 2004). Ikatan antara air terikat lemah dengan
koloid tergolong sebagai ikatan hidrogen. Air terikat kuat merupakan air yang membentuk
hidrat dengan beberapa molekul lain, di mana ikatan yang terbentuk adalah ikatan ionik. Dalam
bahan pangan, air terikat kuat jumlahnya tergolong sangat kecil dan sangat sulit untuk diuapkan
ataupun dibekukan (Legowo dan Nurwantoro, 2004). Dikarenakan terdapat sebagian air yang
tidak berada dalam keadaan bebas, maka besarnya kadar air suatu bahan pangan bukan
merupakan parameter absolut untuk meramalkan kecepatan terjadinya kerusakan bahan
(Adnan, 1980).

Ukuran yang digunakan untuk menentukan kemampuan air dalam memicu kerusakan
bahan pangan akibat proses mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatis adalah aktivitas air (Aw).
Besarnya aktivitas air berada dalam rentang nilai 0 hingga 1, di mana nilai tersebut dapat
dihitung melalui persamaan di bawah ini (Adnan, 1980).

𝑃 𝐸𝑅𝐻
𝐴𝑤 = = (2.3)
𝑃𝑜 100

Berdasarkan hukum Raoult, nilai aktivias air dapat dihitung melalui persamaan (2.4) berikut:
𝑛𝑤
𝐴𝑤 = (2.4)
(𝑛𝑤 +𝑛𝑠 )

Keterangan: Aw = aktivitas air


P = tekanan parsial uap air dari bahan pangan
Po = tekanan saturasi uap air pada suhu yang sama
ERH = kelembaban relatif setimbang
nw = jumlah mol air
ns = jumlah mol zat yang terlarut
22

Batas-batas Aw minimum untuk syarat hidup beberapa jenis mikroorganisme dapat


ditunjukkan oleh Tabel 2.9 berikut.

Tabel 2.9 Syarat Aw minimum untuk kehidupan mikroorganisme (Adnan, 1980)

AW
Organisme
minimum
Bakteri 0,91
Ragi 0,88
Jamur 0,8
Bakteri halofilik 0,75
Fungi xerofilik 0,65
Ragi osmofilik 0,6

Apabila suatu bahan terpapar oleh udara dengan temperatur dan kelembaban tertentu,
maka bahan tersebut akan memiliki kecenderungan untuk melepas atau menyerap air hingga
kondisi kesetimbangan tercapai (Richardson, 2002). Pada kondisi tersebut, kandungan air
dalam bahan akan mencapai kadar air kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan merupakan
kadar air bahan pangan ketika tekanan uap air dari bahan tersebut berada dalam kondisi
setimbang dengan lingkungannya di mana produk sudah tidak mengalami perubahan atau
pengurangan berat. Apabila uap air diasumsikan mengikuti aturan gas ideal, maka persamaan
untuk menghitung tekanan parsial uap air dapat dinyatakan sebagai berikut (Mujumdar, 2015).
𝑚𝑤
𝑃𝑤 𝑉 = 𝑅𝑇 atau 𝑃𝑤 𝑉𝑤 = 𝑅𝑇 (2.5)
𝑀𝑤

Keterangan: Pw = tekanan parsial uap air


V = volume total
Vw = volume air
mw = massa uap air
Mw = massa molekul relatif air
R = tetapan gas ideal
T = temperatur

Kondisi tekanan dan temperatur akan berpengaruh terhadap keadaan fisik air murni, di
mana keadaan fisik air murni dapat terbagi menjadi tiga, yaitu padatan (es), cairan, dan uap
(Geankoplis, 1993). Hubungan antara tekanan dengan temperatur air pada keadaan setimbang
dapat ditampilkan melalui Gambar 2.3 berikut.
23

Gambar 2.3 Diagram fasa air murni (Geankoplis, 1993)

Dalam Gambar 2.3, diperlihatkan daerah padat, cair, dan uap untuk substansi berupa
air murni. Kurva AC menyatakan keadaan setimbang antara fasa padat dan cair, kurva AB yang
menyatakan keadaan setimbang antara fasa gas dan cair, dan kurva AD menyatakan keadaan
setimbang antara fasa gas dan padat. Sebagai contoh, apabila padatan es yang berada pada titik
(1) dipanaskan pada tekanan konstan, maka temperatur akan meningkat dan kondisi fisik air
akan bergerak secara horizontal ke arah kanan. Ketika melewati kurva AC, padatan es akan
mencair dan seiring dengan meningkatnya temperatur maka cairan yang terbentuk akan
menguap setelah melewati kurva AB (Geankoplis, 1993).

2.4 Pengeringan

Pada tingkat kadar air yang cukup tinggi, kegiatan biologis dalam bahan pangan masih
tetap berlangsung dan dapat memicu terjadinya kerusakan bahan pangan (Hariyadi, 2018).
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metode pengolahan untuk mengurangi kadar air dalam bahan
pangan supaya bahan tersebut menjadi lebih awet. Salah satu teknik pengolahan yang dapat
memperpanjang usia penyimpanan bahan pangan adalah pengeringan. Pengeringan dapat
didefinisikan sebagai perlakuan yang ditujukan untuk mengeluarkan atau menghilangkan
sebagian air dari suatu bahan pangan dengan menggunakan energi panas (Hariyadi, 2018).
Terdapat perbedaan antara proses pengeringan dengan proses evaporasi, di mana proses
pengeringan biasanya akan melibatkan udara untuk menguapkan air dalam jumlah yang relatif
kecil sedangkan evaporasi dilakukan dengan menguapkan air pada titik didihnya dalam jumlah
yang relatif banyak (Geankoplis, 1993). Hasil dari perlakuan pengeringan adalah bahan kering
yang mempunyai kadar air setara dengan kadar air keseimbangan udara (atmosfer) normal atau
setara dengan nilai aktivitas air (water activity atau aw) yang aman dari kerusakan
mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatis (Rachmawan, 2001).
24

2.4.1 Prinsip Dasar Pengeringan

Pengeringan tergolong sebagai operasi kompleks yang melibatkan adanya perpindahan


panas dan perpindahan massa (Mujumdar, 2015). Ketika suatu padatan basah diberi perlakuan
pengeringan, maka terdapat dua proses yang terjadi secara simultan. Untuk proses pertama,
terjadi perubahan temperatur padatan basah serta penguapan air pada permukaan padatan
akibat adanya energi panas yang berasal dari lingkungan sekitar padatan. Untuk proses kedua,
terjadi perpindahan massa di mana air yang berada di dalam padatan akan bergerak menuju
permukaan dan selanjutnya air akan diuapkan sesuai dengan proses pertama yang berkaitan
dengan perpindahan panas (Mujumdar, 2015). Menurut Seader, dkk. (2011), perpindahan
panas dapat terjadi secara konduksi, konveksi, dan radiasi.

Konduksi merupakan perpindahan panas yang bergantung pada aktivitas tingkat atom
dan molekuler, di mana perpindahan panas akan terjadi dari partikel yang berenergi tinggi
menuju partikel yang berenergi rendah (Hisyam, 2016). Perpindahan panas secara konduksi
akan melibatkan suatu media agar interaksi antarpartikel dapat terwujud. Konveksi merupakan
perpindahan panas yang didukung oleh gerakan acak molekuler dan gerakan makroskopik dari
fluida di antara permukaan dan lapisan batas (Hisyam, 2016). Perpindahan panas secara
konveksi dapat dikategorikan berdasarkan penyebab terjadinya aliran fluida. Apabila aliran
fluida berasal dari alat bantu seperti blower, pompa, dan kompresor, maka konveksi tersebut
tergolong sebagai konveksi paksa. Konveksi yang terjadi ketika aliran fluida disebabkan oleh
perbedaan massa jenis fluida akibat adanya perbedaan temperatur digolongkan sebagai
konveksi alamiah (Hisyam, 2016). Radiasi merupakan perpindahan panas yang dipengaruhi
oleh adanya gelombang elektromagnetik. Perpindahan panas secara radiasi tidak memerlukan
perantara atau medium sama sekali (Nurhayati, dkk., 2021). Ilustrasi terkait perpindahan panas
untuk proses pengeringan suatu padatan di atas tray berbahan logam yang dialiri udara
pengering dapat dilihat melalui Gambar 2.4 berikut.

Gambar 2.4 Skema perpindahan panas dalam proses pengeringan (Treybal, 1980)
25

Dalam Gambar 2.4, terdapat suatu padatan dengan ketebalan Zs yang diletakan di atas
sebuah tray logam setebal Zm. Padatan tersebut dialiri gas kering dengan laju alir massa
sebesar G, temperatur sebesar TG dan kelembaban senilai Y. Selama berlangsungnya
pengeringan, perpindahan panas secara konduksi, konveksi, dan radiasi dilibatkan untuk
menguapkan kandungan air dari dalam padatan. Perpindahan panas secara konduksi (qK)
terjadi melalui tray logam, konveksi (qc) terjadi melalui aliran gas kering, dan radiasi (qR)
terjadi melalui permukaan bahan panas bersuhu TR yang berada di dekat padatan. Temperatur
permukaan padatan (Ts) bernilai konstan karena panas yang diterima oleh permukaan padatan
akan dihilangkan dengan cara menguapkan kandungan air (Treybal, 1980). Perpindahan panas
total (q) yang diterima padatan dapat dituliskan dalam persamaan (2.6) berikut.

𝑞 = 𝑞𝑐 + 𝑞𝑅 + 𝑞𝑘 (2.6)

Apabila kebutuhan panas untuk menguapkan kandungan air hingga temperaturnya setara
dengan TG diabaikan dan hanya terdapat panas laten penguapan (λ), maka fluks penguapan
(Nc) dan fluks aliran panas dapat dinyatakan dalam persamaan (2.7) berikut (Treybal, 1980).

𝑁𝐶 λ = 𝑞 (2.7)

Driving force pemicu terjadinya perpindahan panas adalah perbedaan temperatur gas
dengan temperatur permukaan padatan yang dikeringkan (TG – Ts). Panas yang diterima
permukaan padatan akibat konveksi dikendalikan oleh koefisien perpindahan panas (hC).
Persamaan yang memuat hubungan antara perpindahan panas secara konveksi dengan
koefisien perpindahan panas dinyatakan melalui persamaan (2.8) berikut (Treybal, 1980).

𝑞𝑐 = ℎ𝐶 (𝑇𝐺 − 𝑇𝑆 ) (2.8)

Panas yang berpindah secara konduksi dan konveksi melalui padatan dapat dihitung
berdasarkan persamaan umum perpindahan panas dalam resisten seri. Persamaan umum
tersebut dapat dituliskan dalam persamaan (2.9) dan (2.10) berikut (Treybal, 1980).

𝑞𝑘 = 𝑈𝑘 (𝑇𝐺 − 𝑇𝑆 ) (2.9)

1
𝑈𝑘 = 1 𝐴 𝑍 𝐴 𝑍 𝐴 (2.10)
( ) + 𝑀 ( )+ 𝑠 ( )
ℎ𝑐 𝐴𝑢 𝐾𝑀 𝐴𝑢 𝐾𝑠 𝐴𝑚

Keterangan: Uk = koefisien perpindahan panas keseluruhan (J /m2 jam℃)


hC = koefisien perpindahan panas akibat konveksi (J /m2 jam℃)
A = luas penampang pengeringan yang tegak lurus dengan arah aliran gas (m2)
26

AU = luas permukaan non-pengeringan (m2)


Am = luas permukaan padatan rata-rata (m2)
KM = konduktivitas termal material penyusun tray (J/ m jam ℃)
KS = konduktivitas termal padatan yang dikeringkan (J/ m jam ℃)

Perpindahan panas secara radiasi dapat diabaikan ketika temperatur udara pengering
yang digunakan tergolong rendah, di mana nilai radiasi yang timbul relatif kecil (Geankoplis,
1993). Persamaan (2.9) dapat disubstitusi dengan persamaan (2.7), di mana hasil substitusi
tersebut dapat dituliskan dalam persamaan (2.11) berikut.

𝑈𝑘 (𝑇𝐺 −𝑇𝑆 )
𝑁𝐶 = (2.11)
λ

Nilai NC dapat dihasilkan melalui persamaan (2.12) berikut (Mujumdar, 2015).

1 𝑑𝑤
𝑁𝐶 = (2.12)
𝐴 dt

Keterangan: NC = fluks pengeringan konstan


𝑑𝑤
= laju pengurangan massa air
dt

A = luas permukaan padatan yang dikeringkan

Banyaknya kandungan air dalam padatan yang diuapkan dan terbawa aliran udara
pengering dapat ditinjau melalui nilai koefisien perpindahan massa (ky). Koefisien perpindahan
massa dapat dicari dengan menggunakan persamaan (2.13) berikut (Treybal, 1980).

𝑁𝐶 = 𝑘𝑦 (𝑌𝑠 − 𝑌) (2.13)

Keterangan: ky = koefisien perpindahan massa (kg /m2s)


YS = Kelembaban udara jenuh saat temperatur TS (kg H2O / kg udara kering)
Y = Kelembaban udara pengering (kg H2O / kg udara kering)

2.4.2 Mekanisme pengeringan

Mekanisme pengeringan merupakan bagian yang penting dalam teknik pengeringan,


karena dengan mengetahui mekanisme pengeringan, maka jumlah energi dan lama waktu
optimum proses pengeringan dapat diperkirakan (Hariyadi, 2018). Mekanisme pengeringan
dapat ditampilkan melalui kurva karakteristik pengeringan yang memuat hubungan antara
kadar air bahan dengan laju pengeringan. Contoh kurva karakteristik pengeringan dalam
kondisi pengeringan konstan dapat dilihat melalui Gambar 2.5 berikut.
27

Gambar 2.5 Kurva karakteristik pengeringan (Treybal, 1980)

Pada kurva karakteristik pengeringan, kadar air (X) dinyatakan dalam basis kering (dry
basis), sedangkan laju pengeringan (N) dinyatakan sebagai laju penguapan per satuan luas
bahan. Terdapat tiga bagian utama dalam kurva karakteristik pengeringan, yaitu: (1) tahap
inisiasi, (2) tahap laju pengeringan konstan, dan (3) tahap laju pengeringan menurun. Dalam
Gambar 2.5, tahap inisiasi atau tahap penyesuaian awal ditandai dengan garis lengkung A-B
atau A’-B. Pada titik A, temperatur bahan memiliki nilai yang lebih rendah (lebih dingin) dari
pada temperatur final bahan, akibatnya, temperatur bahan akan meningkat. Selain itu, laju
pengeringan juga akan mengalami peningkatan hingga berada pada titik B. Untuk kasus
tertentu, tahap inisiasi diawali pada titik A’ di mana temperatur awal bahan justru lebih tinggi
dibandingkan dengan temperatur final bahan. Penyesuaian keadaan awal ini berlangsung dalam
waktu yang sangat singkat sehingga dapat diabaikan dari bagian analisis proses (Geankoplis,
1993)

Dalam Gambar 2.5, tahap laju pengeringan konstan ditandai dengan garis lurus
mendatar B-C. Pada tahap ini, permukaan padatan masih berada dalam kondisi basah dan
lapisan film air akan selalu muncul di bagian permukaan (Geankoplis, 1993). Air yang terus
menerus muncul pada permukaan tergolong sebagai air tak terikat (air bebas). Penguapan air
dalam tahap laju pengeringan konstan akan tetap berlangsung selama pasokan air yang muncul
ke permukaan memiliki laju yang sama dengan laju penguapan air (Geankoplis, 1993). Sifat
bahan yang dikeringkan tidak memberi pengaruh signifikan terhadap keberadaan laju
pengeringan konstan, hal tersebut dikarenakan laju pengeringan konstan lebih dipengaruhi oleh
keadaan eksternal di sekeliling bahan (Abadi, 2014) Perpindahan panas secara konduksi dan
radiasi tidak memberikan pengaruh dalam tahap ini, di mana perpindahan panas hanya terjadi
28

melalui konveksi. Ketika kadar air pada bahan telah mencapai kadar air kritis (XC), maka laju
pengeringan konstan akan berhenti dikarenakan lapisan film air tidak lagi membasahi
permukaan seutuhnya (Treybal, 1980). Setelah mencapai kadar air kritis, laju pengeringan akan
mengalami penurunan yang ditandai dengan munculnya dry spot atau permukaan bahan yang
kering. Kadar air kritis berada pada titik C dalam Gambar 2.5.

Pada Gambar 2.5, tahap laju pengeringan menurun dibagi ke dalam dua bagian yang
ditandai dengan garis C-D dan garis D-E. Laju pengeringan menurun bagian pertama diawali
pada titik C di mana permukaan bahan sudah tidak terbasahi sepenuhnya oleh air. Hal tersebut
terjadi karena tidak ada pasokan air yang cukup pada permukaan bahan untuk membentuk
lapisan film air secara kontinu (Geankoplis, 1993). Laju pengeringan menurun bagian pertama
akan berakhir ketika air yang berada pada permukaan telah menguap seluruhnya (ditandai
dengan titik D). Apabila proses pengeringan tetap dilanjutkan, pergerakan air dalam padatan
akan dipengaruhi oleh gradien konsentrasi antara bagian dalam bahan dengan bagian
permukaan bahan (Treybal, 1980). Untuk beberapa kasus, air dalam bahan dapat menguap
tanpa harus melewati bagian permukaan atas dari suatu bahan (Treybal, 1980)

Laju pengeringan menurun bagian kedua ditunjukkan oleh garis D-E yang tertera pada
Gambar 2.5. Dalam tahap ini, laju pengeringan akan menurun secara drastis hingga kadar air
bahan yang dikeringkan setara dengan kadar air kesetimbangan (X*). Tahap laju pengeringan
menurun bergantung pada kondisi material (sifat bahan) dan kondisi proses pengeringan
(Hariyadi, 2018). Sehubungan dengan hal tersebut, perbedaan jenis padatan yang dikeringkan
akan menghasilkan kurva karakteristik yang berbeda pula. Kandungan air yang dihilangkan
selama tahap laju pengeringan menurun cenderung kecil atau sedikit, namun waktu yang
ditempuh cenderung lama (Geankoplis, 1993).

2.4.3 Parameter Proses Pengeringan

Secara umum, proses pengeringan dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan dengan
udara pengering dan faktor yang berhubungan dengan sifat bahan (Novrinaldi dan Putra, 2019).
Faktor yang berhubungan dengan udara pengering meliputi temperatur, kelembaban, dan laju
alir volumetrik udara. Sedangkan faktor yang berhubungan dengan sifat bahan terdiri atas
struktur bahan, ketebalan, luas permukaan, dan kadar air mula-mula bahan. Berdasarkan Taufiq
(2004), semakin besar perbedaan temperatur antara media pemanas dengan bahan yang
dikeringkan maka semakin besar pula kecepatan perpindah panas ke dalam bahan pangan,
sehingga penguapan air dari bahan akan semakin banyak dan cepat. Dengan kata lain, semakin
29

tinggi temperatur udara pengering maka proses pengeringan akan berlangsung semakin cepat.
Semakin tinggi nilai laju alir volumetrik udara maka makin cepat pula massa uap air yang
dipindahkan dari bahan ke atmosfir (Taufiq, 2004). Kelembaban udara berpengaruh terhadap
proses pemindahan uap air, di mana semakin tinggi kelembaban udara pengering maka
perbedaan tekanan uap air di dalam dan di luar bahan akan semakin kecil sehingga pemindahan
uap air dari dalam bahan akan terhambat (Taufiq, 2004). Dengan kata lain, semakin rendah
kelembaban udara pengering maka perpindahan massa uap air dari dalam bahan akan semakin
mudah diwujudkan. Hubungan antara temperatur udara dengan kelembaban dapat dilihat
melalui psychrometric chart yang tertera pada Gambar 2.6 berikut.

Gambar 2.6 Bagian-bagian penyusun psychrometric chart (Gatley, 2013)

Temperatur bola kering atau dry bulb temperature menyatakan nilai temperatur udara
(campuran udara kering dan uap air) yang diukur oleh suatu termometer dalam keadaan normal
(Gatley, 2013). Temperatur bola kering merupakan properti dari psychrometric chart yang
paling mudah ditentukan secara akurat. Temperatur bola basah atau wet bulb temperature
menyatakan nilai terendah dari temperatur bola kering yang dapat tercapai apabila terjadi
pendinginan akibat penguapan air (evaporative cooling) (Gatley, 2013). Nilai temperatur bola
basah dapat ditentukan secara langsung dengan cara melapiskan kapas basah pada bagian bola
termometer, kemudian termometer perlu dikelilingi dengan aliran udara yang bergerak secara
cepat. Setelah kapas basah melekat pada bagian bola termometer selama kurang lebih 15 detik,
dilakukan pembacaan nilai temperatur pada skala termometer. Nilai temperatur terendah yang
dibaca dapat dinyatakan sebagai temperatur bola basah (Gatley, 2013).
30

Kelembaban mutlak atau absolute humidity merupakan perbandingan antara massa uap
air dengan massa udara kering dalam suatu volume sampel udara (Gatley, 2013). Pada Gambar
2.6, kelembaban mutlak memiliki arti yang sama dengan humidty ratio. Kelembaban mutlak
merupakan fungsi dari tekanan uap air dan tekanan barometrik. Perhitungan kelembaban
mutlak (Y’) dapat dituliskan dalam bentuk persamaan berikut (Treybal, 1980).

Pₐ Mr a
Y’ = (Pₜ− Pₐ) Mr b
(2.14)

Keterangan: Pₐ = tekanan parsial uap air di udara


Pₜ = tekanan total camuran uap air dengan udara kering
Mr a = berat molekul air
Mr b = berat molekul udara kering

Kelembaban relatif atau relative humidity merupakan perbandingan antara tekanan


parsial uap air di udara (Pₐ) dengan tekanan uap air murni yang nilainya ditentukan
berdasarkan temperatur bola kering udara (dinyatakan sebagai Pₐₛ). Ketika udara mengalami
kejenuhan, maka tekanan parsial uap air di udara akan memiliki nilai yang sama dengan
tekanan uap air murni pada temperatur bola kering. Pada kondisi jenuh, maka kelembaban
relatif akan bernilai 100% (Geankolis, 1993). Perhitungan kelembaban relative (% RH) dapat
dituliskan dalam persamaan (2.15) berikut (Treybal, 1980).

Pₐ
% RH = x 100% (2.15)
Pₐₛ

2.4.4 Pengaruh Pengeringan terhadap Sifat Bahan

Selama pengeringan berlangsung, bahan pangan yang dikeringkan dapat mengalami


perubahan warna, tekstur, dan aroma (Rachmawan, 2001). Pada umumnya, bahan yang
dikeringkan akan berubah warnanya menjadi coklat (browning) dikarenakan adanya reaksi
pencoklatan enzimatik maupun non-enzimatik. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi
resiko terjadinya pencoklatan pada bahan yang dikeringkan adalah pemberian pre-treatment
berupa blanching (Rachmawan, 2001).

Apabila suhu pengeringan bahan terlampau tinggi, maka bahan yang dikeringkan dapat
mengalami case hardening. Case hardening merupakan suatu keadaan di mana bagian luar
(permukaan) bahan sudah kering sedangkan bagian di dalamnya masih sangat basah.
31

Permukaan bahan yang telah kering dan mengeras akan menghambat penguapan air yang
masih terdapat di bagian dalam bahan tersebut. Selain suhu pemanasan yang terlalu tinggi,
fenomena case hardening juga dapat disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan kimia
tertentu, misalnya terjadinya penggumpalan protein pada permukaan bahan (Rachmawan,
2001). Fenomena case hardening dapat menyebabkan proses pengeringan
menjadi lambat atau bahkan terhambat sepenuhnya. Akibatnya, mikroba yang telah berada
dalam bagian dalam bahan pangan dapat berkembang
biak sehingga menimbulkan kebusukan pada bahan pangan tersebut. Penggunaan suhu
pengeringan yang tidak terlampau tinggi dan pelaksanaan proses pengeringan awal yang
tidak terlalu cepat dapat mencegah resiko terjadinya case hardening (Rachmawan, 2001).

2.5 Metode Pengeringan Alami

Pengeringan alami merupakan suatu metode pengeringan yang dilakukan tanpa mengatur
keadaan suhu, kelembaban, dan kecepatan aliran udara pengering (Hidayat dan Karnasudirdja,
1985). Pada umumnya, metode pengeringan alami masih digunakan para petani saat musim
kemarau dengan cara menjemur bahan pangan di bawah sinar matahari (Gultom, 2019). Pada
penjemuran langsung di bawah sinar matahari, kandungan air akan terbawa oleh udara
lingkungan, di mana terjadinya sirkulasi udara disebabkan oleh perbedaan densitas dari udara
itu sendiri (Belessiotis dan Delyannis, 2010).

Secara garis besar, metode pengeringan alami dapat dibedakan ke dalam dua kategori,
yaitu pengeringan alami dengan pemanasan langsung (direct heating) dan pemanasan tidak
langsung (indirect heating) (Belessiotis dan Delyannis, 2010). Pada kategori direct heating,
radiasi sinar matahari digunakan langsung untuk memanaskan bahan yang dikeringkan.
Sedangkan pada kategori indirect heating, radiasi sinar matahari akan terlebih dahulu
ditampung melalui kolektor tenaga surya, hingga kemudian panas akan disalurkan menuju
bahan yang dikeringkan. Apabila dibandingkan, metode pengeringan alami kategori indirect
heating memiliki beberapa keunggulan dari pada kategori direct heating (Belessiotis dan
Delyannis, 2010). Keunggulan-keunggulan metode pengeringan alami kategori indirect
heating meliputi: (1) waktu pengeringan yang lebih cepat, (2) suhu pengeringan lebih
terkontrol, (3) luas area untuk mengeringkan bahan dengan kuantitas yang sama jauh lebih
kecil dikarenakan ruang pengering dapat disusun dalam rak-rak yang bertingkat, (4) Bahan
yang dikeringkan lebih tahan terhadap perubahan cuaca ataupun kontaminasi benda asing.
Adapun kekurangan metode pengeringan alami metode indirect heating adalah biaya instalasi
32

awal yang cenderung mahal (Belessiotis dan Delyannis, 2010). Ilustrasi alat pengering yang
menerapkan metode pengeringan alami dengan pemanasan tidak langsung dapat dilihat melalui
Gambar 2.7 berikut.

Gambar 2.7 Indirect cabinet solar dryer (Ghaffari dan Mehdipour, 2015)

Pada metode pengeringan alami kategori pemanasan langsung (penjemuran), umumnya


bahan pangan yang masih tinggi kadar airnya diletakkan pada lantai yang terbuat dari semen
tanpa disertai dengan penutup. Akibatnya, metode tersebut sangat rawan terhadap perubahan
cuaca dan higienitasnya yang kurang baik karena bahan pangan mudah terkontaminasi oleh
benda asing seperti debu dan kotoran serangga. Permasalahan berupa perubahan cuaca dan
higienitas bahan sebenarnya dapat diminimalisasi dengan cara menjemur bahan pangan di
bawah tenda yang diselimuti oleh plastik transparan (Belessiotis dan Delyannis, 2010). Ilustrasi
mengenai tenda plastik untuk proses pengeringan bahan pangan dapat dilihat pada Gambar
2.8 berikut.

Gambar 2.8 Tenda plastik untuk pengeringan bahan pangan (Belessiotis dan Delyannis, 2010)
33

Pada Gambar 2.8, plastik transparan yang digunakan sebagai bahan penutup alas dan
atap tenda plastik ditunjukkan oleh huruf “a” dan “bp”. Secara khusus, jenis lembaran plastik
yang digunakan adalah plastik polietilena (Belessiotis dan Delyannis, 2010). Dalam tenda
plastik tersebut, bahan pangan dikeringkan di atas lempengan tray yang diwakili oleh huruf
“mp”. Bagian yang ditandai oleh huruf “os” merupakan pintu masukan dan keluaran bahan
pangan. Suhu di dalam ruang pengering tenda plastik bernilai sekitar 5℃ di atas suhu udara
lingkungan (Belessiotis dan Delyannis, 2010).

2.6 Metode Pengeringan Buatan

Pengeringan buatan (mekanis) merupakan suatu metode pengeringan yang disertai


dengan pengaturan keadaan suhu, kelembaban, dan kecepatan aliran udara pengering. Alat
pengering mekanis umumnya terdiri dari unit penggerak udara (misalnya blower atau kipas),
unit pemanas (heater), unit kontrol, dan ruang pengeringan (Rachmawan, 2001). Sumber
energi untuk mengalirkan udara dapat berasal dari motor bakar maupun motor listrik.
Sedangkan sumber energi yang umum digunakan pada unit pemanas meliputi gas, minyak
bumi, batubara, dan elemen pemanas listrik (Rachmawan, 2001). Jenis-jenis alat pengering
mekanis yang dapat diterapkan untuk mengeringkan bahan pangan meliputi: (1) tray dryer, (2)
rotary dryer, (3) fluidized bed dryer, dan (4) flat-bed dryer .

Tray dryer merupakan alat yang digunakan untuk mengeringkan bahan padatan yang
memerlukan nampan sebagai penunjang. Apabila bahan yang dikeringkan berwujud padatan
kental, maka bahan tersebut dapat disebarkan secara merata di area nampan logam yang
memiliki kedalaman 10 hingga 100 milimeter (Geankoplis, 1993). Tray dryer memiliki ciri
khusus di mana bagian susunan setiap nampan pada kabin dapat dilepas-pasang. Berdasarkan
Rachmawan (2001), Prinsip kerja dari tray dryer yaitu, udara pengering akan ditiupkan oleh
kipas hingga bergerak menuju dasar bak, kemudian mewati lubang dasar bak dan mengalir di
antara bahan yang dikeringkan. Udara pengering akan melepaskan sebagian panasnya sehingga
terjadi proses penguapan air dari bahan.

Gambar 2.9 Alat pengering jenis tray dryer (Geankoplis, 1993)


34

Alat Rotary dryer terdiri dari silinder berlubang yang dapat berotasi (Geankoplis,
1993). Prinsip kerja rotary dryer yaitu, butiran padatan basah akan dimasukkan ke dalam alat
melalui ujung lubang yang posisinya lebih tinggi, kemudian butiran padatan basah tersebut
akan bergerak menuju bagian dalam silinder. Bersamaan dengan proses tersebut, silinder akan
berotasi. Pemanasan yang terjadi dalam alat ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Dengan pemanasan langsung, padatan akan berkontak dengan aliran udara pengering
yang arah datangya saling berlawanan. Dengan pemanasan tidak langsung, padatan akan
berkontak dengan dinding silinder yang dipanaskan (Geankoplis, 1993).

Fluidized bed dryer merupakan alat pengering yang menggunakan prinsip fluidisasi
(Mardiah, dkk., 2012). Proses operasi dengan alat Fluidized bed dryer diawali dengan
masuknya udara pengering yang ditiupkan blower menuju sebuah saluran bak (kantong)
pengering yang menembus hamparan bahan sehongga bahan tersebut dapat bergrak dan
memiliki sifat seperti fluida. Fluidized bed dryer adalah alat pengering yang diperuntukkan
bagi bahan atau material yang bobotnya relatif ringan, seperti bubuk, tepung, dan granular
(Mardiah, dkk., 2012). Dalam proses pengeringan daging kelapa untuk keperluan produksi
kopra, jenis alat pengering seperti rotary dryer dan fluidized bed dryer kurang sesuai untuk
diterapkan. Selain dari sifat bahan daging kelapa itu sendiri, alat pengering jenis rotary dryer
dan fluidized bed dryer cenderung membutuhkan biaya instalasi dan operasi yang mahal, serta
pengoperasian kedua alat tersebut tergolong sulit.

Flat-bed dryer merupakan alat pengering mekanis yang memiliki desain dan fitur
sederhana. Kelebihan flat-bed dryer terletak pada material penyusunnya yang memiliki harga
terjangkau, selain itu, pengoperasian alat ini cenderung mudah dan tidak memerlukan tenaga
kerja terampil (Amir, dkk., 2020). Alas pada ruang pengering flat-bed dryer umumnya terbuat
dari kawat loket atau plat logam yang berlubang. Secara garis besar, prinsip kerja dari flat-bed
dryer menyerupai jenis alat pengering tray dryer, di mana bahan pangan yang dikeringkan
berada dalam kondisi diam dan hanya aliran udara pengering yang bergerak melewati bahan
pangan. Akan tetapi, alat pengering jenis flat-bed dryer hanya tersusun atas sebuah bak
pengering tanpa adanya susunan nampan bertingkat seperti pada tray dryer. Dikarenakan
konstruksinya tidak disusun bertingkat, maka ukuran flat-bed dryer cenderung lebih panjang
dan lebar jika dibandingkan dengan tray dryer. lIlustrasi mengenai alat flat-bed dryer dapat
dilihat melalui Gambar 2.10 berikut.
35

Gambar 2.10 Bentuk flat-bed dryer untuk pengeringan biji jagung (Amir, dkk., 2020)

Terdapat tiga komponen utama penyusun flat-bed dryer, yaitu: (1) unit penggerak udara
berupa blower atau kipas, (2) Sistem pemanas untuk memanaskan udara pengering, (3) wadah
atau ruang pengeringan. Sistem pemanas umumnya terdiri dari kompor (burner), tungku
pembakaran dan pipa penukar panas. Ketika flat-bed dryer dioperasikan, bahan bakar tertentu
akan diisikan ke dalam ke dalam kompor api dan panas yang dihasilkan dari reaksi pembakaran
digunakan untuk meningkatkan temperatur pipa penukar panas. Kemudian, unit penggerak
udara akan diaktifkan sehingga udara yang berasal dari lingkungan akan bergerak menuju
ruang pengering. Sebelum memasuki ruang pengering, udara lingkungan akan mengalami
kontak dengan pipa penukar panas. Akibat adanya gradien temperatur antara pipa penukar
panas dan udara lingkungan (temperatur pipa penukar panas lebih tinggi dari pada temperatur
udara), maka panas akan berpindah menuju udara. Berkenaan dengan hal tersebut, udara akan
mengalami peningkatan temperatur sebelum memasuki ruang pengeringan.

Gambar 2.11 Komponen Penyusun flat-bed dryer


36

2.7 Bahan Bakar dan Material Penyusun Flat-Bed Dryer

Pemilihan bahan bakar dan material penyusun merupakan hal perlu diperhatikan dalam
pembuatan alat flat-bed dryer (selain penentuan dimensi dan kapasitas ruang pengering).
Karakteristik bahan bakar yang baik untuk digunakan, meliputi: (1) memiliki nilai kalor yang
tinggi, (2) memiliki titik nyala api yang tidak terlalu tinggi ataupun rendah, (3) memiliki kadar
air yang rendah, (4) tersedia dalam jumlah besar dengan harga terjangkau, (5) pembakaran
mudah dikendalikan, (6) dapat terbakar secara efisien tanpa melepaskan polutan berbahaya
seperti CO, SOx , H2S, (7) penanganan, penyimpanan, dan pemindahan mudah dilakukan
(Shabudeen, 2010). Terlepas dari beberapa kriteria tersebut, pemilihan bahan bakar yang
berasal dari biomassa limbah pertanian dan limbah peternakan dapat dijadikan pertimbangan
tersendiri agar ketergantungan terhadap bahan bakar fosil (bahan bakar tak terbaharui)
berkurang.

Berdasarkan wujudnya, bahan bakar terbagi ke dalam tiga kategori, yakni padat, cair, dan
gas. Bahan bakar berwujud padat memiliki beberapa keunggulan, yaitu: titik nyala api yang
bernilai sedang, mudah untuk disimpan ataupun dipindahkan, memiliki harga yang tergolong
murah dan ketersediaannya melimpah. Akan tetapi, bahan bakar padat juga memiliki beberapa
kelemahan, di antaranya: nilai kalor tergolong rendah, membutuhkan ruang penyimpanan yang
besar, menghasilkan abu dalam jumlah banyak, dan pembakaran sulit dikendalikan
(Shabudeen, 2010).

Bahan bakar berwujud cair memiliki beberapa keunggulan, yaitu: memiliki nilai kalor
yang lebih tinggi daripada bahan bakar padat, tidak menghasilkan abu selama pembakaran, dan
pembakaran mudah dikendalikan. Akan tetapi, bahan bakar cair juga memiliki beberapa
kelemahan, di antaranya: harga cenderung lebih mahal dibandingkan bahan bakar padat,
menimbulkan bau yang kurang sedap ketika pembakaran tidak sempurna, sebagian bahan bakar
dapat menguap selama penyimpanan , dan membutuhkan tipe burner khusus agar pembakaran
menjadi efektif (Shabudeen, 2010).

Bahan bakar berwujud gas memiliki beberapa keunggulan, yaitu: Tidak menimbulkan
abu ataupun asap selama pembakaran, nilai kalor lebih tinggi daripada bahan bakar padat, dan
memiliki efisiensi termal yang tinggi. Akan tetapi, bahan bakar gas juga memiliki beberapa
kelemahan, di antaranya: sangat mudah terbakar sehingga resiko kebakaran tinggi dan
membutuhkan tangki penyimpanan khusus yang berukuran besar (Shabudeen, 2010). Nilai
kalor merupakan kalor yang dihasilkan oleh pembakaran sempurna 1 satuan berat bahan bakar
37

padat atau cair atau 1 satuan volume bahan bakar gas pada keadaan baku (Raharjo, 2007). Nilai
kalor untuk setiap jenis bahan bakar dapat berbeda-beda dan bergantung pada komponen
penyusun bahan bakar itu sendiri. Estimasi nilai kalor untuk beberapa jenis bahan bakar
termuat dalam Tabel 2.10 berikut.

Tabel 2.10 Nilai kalor beberapa jenis bahan bakar (Staffel, 2011 ; Raharjo, 2004)

Bahan bakar Wujud Nilai Kalor (MJ/kg)


LPG Cair 49,84
Bensin Cair 46,94
Kerosene (Minyak tanah) Cair 45,99
Diesel (solar) Cair 45,60
Batu bara Padat 27,05
Oli bekas Cair 44,73
Briket tempurung kelapa Padat 23,67

Untuk mencapai temperatur ruang pengering yang diinginkan, kuantitas bahan bakar
pada kompor (burner) harus disesuaikan. Semakin banyak bahan bakar dan oksigen yang
masuk ke dalam kompor maka panas (kalor) yang dihasilkan dari reaksi pembakaran akan
semakin besar. Agar panas yang dihasilkan dari reaksi pembakaran dapat termanfaatkan
dengan baik oleh pipa penukar panas, maka pembuatan pipa penukar panas harus
mempertimbangkan nilai konduktivitas termal, panas spesifik, dan difusivitas termal dari
material yang digunakan. Konduktivitas termal material menunjukkan kemampuan material
tersebut dalam menghantarkan panas (Cengel, 2002). Persamaan dasar yang menyatakan
hubungan antara konduktivitas termal (k) dan besarnya laju perpindahan panas secara konduksi
(𝑄̇𝑘𝑜𝑛𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 ) dapat dituliskan sebagai berikut (Cengel, 2002).

∆𝑇
𝑄̇𝑘𝑜𝑛𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 = −𝑘 𝐴 ∆𝑋 (2.16)

Keterangan: 𝑄̇𝑘𝑜𝑛𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 = laju perpindahan panas konduksi (W)


𝑊
k = konduktivitas termal (𝑚 𝐾)
A = luas penampang material (m2)
∆𝑇 = selisih temperatur (K)
∆𝑋 = ketebalan material (m)

Melalui persamaan (2.16), dapat diketahui bahwa laju perpindahan panas secara
konduksi dipengaruhi oleh konduktivitas termal material. Semakin tinggi nilai konduktivitas
termal material maka laju perpindahan panas akan semakin tinggi pula. Dikarenakan nilai
konduktivitas termal material logam cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan material non
38

logam, maka penggunaan pipa penukar panas berbahan logam dapat mempermudah
perpindahan panas. Perbandingan sifat termal untuk beberapa macam material (saat temperatur
300 K) dapat dilihat melalui Tabel 2.11 berikut.

Tabel 2.11 Sifat termal beberapa jenis material (Cengel, 2002)

konduktivitas termal Panas spesifik Difusivitas termal


Material 2
(𝑊⁄𝑚 𝐾) (𝐽⁄𝑘𝑔 𝐾) (𝑚 ⁄𝑠 )

Tembaga 401 385 117 x 10-6


Alumunium 237 903 97,1 x 10-6
Besi 80,2 447 23,1 x 10-6
Batu bata 0,72 720,4 0,52 x 10-6
Kaca 0,7 750 0,34 x 10-6
Plywood 0,12 1210 0,18 x 10-6
Serat kaca 0,036 960 0,26 x 10-6

Ketika pemilihan material penyusun pipa penukar panas hanya didasarkan pada nilai
konduktivitas termal, maka tembaga (k = 401 W/ m K) merupakan material yang lebih ideal
dibandingkan dengan logam lain seperti aluminium (k = 237 W/m K) ataupun besi (k = 80,2
W/ m K). Dengan konduktivitas termal yang tinggi, maka panas yang dihasilkan dari sumber
api dapat diterima dan dihantarkan dengan mudah oleh pipa penukar panas.

Panas spesifik dapat didefinisikan sebagai jumlah energi yang dibutuhkan untuk
meningkatkan temperatur satu satuan massa material sebanyak satu derajat. Berkenaan dengan
hal tersebut, panas spesifik menunjukkan kemampuan suatu material dalam menyimpan energi
panas (Cengel, 2002). Semakin tinggi nilai panas spesifik maka panas yang dapat disimpan
material tersebut akan semakin besar. Difusivitas termal merupakan kemampuan suatu material
untuk menghantarkan panas (konduksi) relatif terhadap kemampuannya dalam menyimpan
energi panas (per satuan unit volume). Semakin tinggi nilai difusivitas termal maka
perpindahan panas dari bagian material yang bersuhu tinggi menuju bagian material yang
bersuhu rendah akan semakin cepat. Persamaan untuk menghitung difusivitas termal dapat
dituliskan sebagai berikut (Cengel, 2002).

Panas yang dihantarkan 𝑘


𝛼= = ρ𝐶 (2.17)
Panas yang disimpan 𝑝
39

𝑚2
Keterangan: 𝛼 = difusivitas termal ( )
𝑠
𝑊
k = konduktivitas termal (𝑚 K)
𝑘𝑔
ρ = densitas (𝑚3 )
𝐽
𝐶𝑝 = panas spesifik (𝑘𝑔 K)

Berdasarkan Tabel 2.11, dapat dilihat bahwa nilai difusivitas termal tembaga
merupakan yang tertinggi (α = 113 x 10-6) dibandingkan dengan material lain. Hal tersebut
menandakan bahwa tembaga lebih mudah untuk memindahkan panas yang diterima daripada
menyimpannya. Berkebalikan dengan tembaga yang nilai difusivitas termalnya tinggi, serat
kaca (α = 0,26 x 10-6) akan lebih mudah untuk menyimpan panas yang diterima daripada
memindahkannya. Apabila pipa penukar panas dibuat dari material dengan nilai difusivitas
termal rendah, maka waktu yang dibutuhkan untuk memanaskan keseluruhan bagian pipa
menjadi lebih lama. Untuk mempersingkat waktu pemanasan pipa penukar panas, maka
material dengan nilai difusivitas termal tinggi perlu digunakan.

Ketika temperatur pipa penukar panas lebih tinggi dari temperatur aliran udara yang
digerakkan oleh blower, maka akan terjadi perpindahan panas secara konveksi. Menurut
Cengel (2002), laju perpindahan panas (konveksi) dari pipa penukar panas menuju udara
dipengaruhi oleh nilai koefisien perpindahan panas konveksi (h) dan luas permukaan kontak
antara udara dengan pipa penukar panas (As). Persamaan dasar untuk menghitung laju
perpindahan panas konveksi dapat dituliskan sebagai berikut (Cengel, 2002).

𝑄̇𝑘𝑜𝑛𝑣𝑒𝑘𝑠𝑖 = ℎ 𝐴𝑠 (𝑇𝑠 − 𝑇∞ ) (2.18)

Keterangan: 𝑄̇𝑘𝑜𝑛𝑣𝑒𝑘𝑠𝑖 = laju perpindahan panas konveksi (W)

h = koefisien perpindahan panas konveksi (𝑊⁄𝑚2 K)

𝐴𝑠 = luas permukaan terjadinya perpindahan panas (𝑚2 )


𝑇𝑠 = Temperatur permukaan (K)
𝑇∞ = Temperatur fluida yang berjauhan dengan permukaan (K)

Melalui persamaan (2.18), dapat diketahui bahwa nilai laju perpindahan panas konveksi
berbanding lurus terhadap koefisien perpindahan panas konveksi dan juga berbanding lurus
terhadap luas permukaan terjadinya perpindahan panas. Pengoperasian flat-bed dryer
memerlukan laju perpindahan panas konveksi yang tinggi dari pipa penukar panas menuju
udara pengering. Oleh karena itu, nilai koefisien perpindahan panas konveksi dan luas
40

permukaan terjadinya perpindahan panas harus ditingkatkan. Untuk meningkatkan koefisien


perpindahan panas konveksi, diperlukan instalasi unit penggerak udara yang lebih besar
(dimaksudkan untuk memperbesar kuantitas aliran udara). Sedangkan untuk meningkatkan
luas permukaan terjadinya perpindahan panas, salah satu solusi yang dapat digunakan adalah
penambahan sirip atau fins, yaitu material tipis berkonduktivitas termal tinggi yang dilekatkan
pada sisi-sisi pipa penukar panas (Cengel, 2002).

Dalam pembuatan ruang pengering flat-bed dryer, hilang panas dari dinding ruang
pengering menuju lingkungan (kebocoran termal) perlu dihambat agar energi panas yang
dibawa oleh udara pengering tidak terbuang sia-sia. Ditinjau dari persamaan (2.16), hilang
panas dari dinding ruang pengering akibat konduksi dapat dikendalikan dengan cara
menyesuaikan ketebalan dinding. Nilai laju perpindahan panas konduksi berbanding terbalik
terhadap ketebalan dinding (Cengel, 2002). Ketika dinding ruang pengering dipertebal, maka
nilai laju perpindahan panas konduksi akan semakin rendah (hilang panas dari dinding ruang
pengering menuju lingkungan akan berkurang). Cara lain untuk mengurangi hilang panas
akibat konduksi adalah penggunaan material yang memiliki kemampuan insulasi panas.

Kemampuan material untuk menginsulasi panas dipengaruhi oleh konduktivitas termal.


Semakin rendah konduktivitas termal material, maka kemampuan insulasi panas material
tersebut akan semakin baik (Cengel, 2002). Contoh material dengan konduktivitas termal
rendah yang dapat dipilih sebagai penyusun dinding ruang pengering adalah batu bata
𝑊 𝑊
(k = 0,72 ) dan plywood (k = 0,12 ). Apabila dinding bagian dalam dari ruang pengering
𝑚𝐾 𝑚𝐾

terbuat dari material logam, maka diperlukan lapisan insulasi tambahan seperti glass wool agar
hilang panas berkurang (Cengel, 2002). Untuk menghindari kerusakan dinding pengering
akibat panas, maka material yang berkontak langsung dengan udara pengering sebaiknya
memiliki sifat tahan api. Menurut Weiss (2003), pembuatan alat pengering perlu menyesuaikan
keadaan setempat (kondisi iklim dan peluang manufaktur), di mana instalasi alat pengering
dapat dibangun secara permanen (menggunakan material seperti beton) ataupun secara
portabel.

Anda mungkin juga menyukai