Anda di halaman 1dari 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/333632791

KUAT TARIK DAN DAKTILITAS BESI BETON SETELAH PEMBENGKOKAN

Article · January 2008

CITATIONS READS
0 3,048

7 authors, including:

Muhammad Aswin
University of Sumatera Utara
26 PUBLICATIONS   111 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Shear Failure of RC Dapped-End Beams View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Aswin on 05 June 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KUAT TARIK DAN DAKTILITAS
BESI BETON SETELAH PEMBENGKOKAN

Muhammad Aswin
Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara

Abstrak : Besi-besi beton yang terdapat di pasaran, sering dijumpai tidak dalam keadaan lurus lagi
tetapi sudah dalam keadaan dibengkokkan. Hal ini sulit dihindari, akibat dari keterbatasan yang ada
(seperti masalah pengangkutan, panjang kendaraan pengangkut lebih pendek daripada panjang besi
beton), kesalahan perangkaian di workshop maupun faktor kesengajaan (seperti pembengkokan
besi beton untuk kemudahan pekerjaan di lapangan) dan sebagainya. Besi-besi beton yang sudah
dibengkokkan tersebut, biasanya diluruskan kembali sebelum digunakan. Kondisi besi-besi beton
yang demikian jika digunakan pada struktur beton bertulang, maka akan berpengaruh pada
kekuatan lentur dan daktilitasnya sehingga perlu sekali diadakan penelitian pada besi beton yang
sudah dibengkokkan tersebut. Pada penelitian ini, digunakan besi beton (tulangan baja ulir)
berdiameter 12 mm dengan Sudut Pembengkokan 900 dan 1800 (Diameter Dalam Pembengkok yang
berbeda yaitu masing-masing 59,8 mm dan 10,3 mm) . Besi beton yang sudah dibengkokkan
kemudian dibiarkan beberapa hari dan setelah itu diluruskan kembali. Selanjutnya dilakukan uji
tarik pada besi-besi beton tersebut. Hasilnya ternyata memberikan keadaan dan nilai kuat tarik serta
daktilitas yang berbeda terhadap karakter uji tarik pada besi beton tanpa pembengkokan.

Kata Kunci : Pembengkokan Besi Beton, Sudut Pembengkokan, Diluruskan, Kuat Tarik, Daktilitas.

I. Pendahuluan II. Permasalahan


Bangunan rumah tinggal ataupun Kekuatan struktur beton bertulang, selain
gedung-gedung bertingkat banyak menggunakan tergantung dari kualitas betonnya juga tergantung
beton bertulang sebagai konstruksi utamanya. dari kualitas tulangan baja (besi betonnya).
Beton dihasilkan dengan cara Besi beton yang berasal dari pabrik
mencampurkan semen, air, agregat halus, (seperti dari PT Krakatau Steel, Cilegon ataupun
agregat kasar, atau bahan tambahan lain, dengan PT Hanil, Surabaya, dan lain-lain) biasanya
perbandingan tertentu. Pemakaian beton sudah dalam bentuk lonjoran lurus sepanjang 12 m.
cukup populer di Indonesia. Beton memiliki Tetapi pada kenyataan yang ada, di pasaran
beberapa kelebihan dibandingkan bahan-bahan sering dijumpai besi-besi beton tersebut sudah
konstruksi yang lain seperti perawatan yang mengalami pembengkokan. Dimungkinkan
mudah, bahan-bahan lokal dapat digunakan, karena keterbatasan dari panjang mobil
awet, tahan api dan sebagainya. pengangkutnya, yang biasanya panjangnya
Tinjauan mekanik menunjukkan bahwa kurang dari 6 m sehingga dengan panjang besi
beton memiliki kuat tekan yang tinggi dan kuat beton yang 12 m tersebut maka besi beton harus
tarik yang rendah. Dipohusodo (1994) dibengkokkan selama pengangkutannya.
menyatakan bahwa kuat tarik beton berkisar 9 – Selain itu pembengkokan besi beton bisa
15 % dari kuat tekan beton normal. Akibat kuat terjadi karena faktor kesalahan kerja di workshop.
tarik yang rendah ini maka bagian beton yang Besi beton yang sudah difabrikasi ternyata tidak
menerima tegangan tarik diperkuat dengan sesuai letak dan ukurannya di lapangan. Untuk
tulangan baja (dikenal dengan sebutan besi mengatasi hal ini serta untuk penghematan, sering
beton) sehingga terbentuklah suatu struktur dilakukan pembengkokan terhadap besi beton
komposit yang sering disebut dengan struktur tersebut, menyesuaikan kondisi lapangan.
beton bertulang.

Jurnal Teknologi Proses, 2008, 7 (2), p.125, Indonesia


Pembengkokan besi beton juga sering Selain itu, Kozai Club (Morisco, 1994)
terjadi karena faktor kesengajaan. Pada menyebutkan bahwa kekuatan baja terhadap
bangunan tingkat tinggi (high rise building) tarik atau tekan, tidak banyak berbeda dan rata-
sering menggunakan shear wall untuk rata memiliki kekuatan antara 300 – 2000 MPa.
meningkatkan kekakuan struktur. Shear wall Erasmus (Sugata, 1994) telah
biasanya dicor lebih dahulu daripada pelat melaporkan bahwa tulangan baja juga
lantai, dan biasanya bisa berbeda beberapa mempunyai kelemahan yaitu dapat berubah
tingkat lebih tinggi daripada pelat lantai. menjadi bersifat getas jika dibengkokkan.
Untuk kemudahan pekerjaan di Masalah ini diketahui setelah diadakan
lapangan, pada pertemuan antara pelat lantai beberapa penelitian yang berasal dari peristiwa
dengan shear wall (pada level yang sama yang terjadi di Manapouri, Tekapo, Aukland
dengan posisi besi beton pelat lantai), biasanya (Selandia Baru) dan Australia. Kebiasaan yang
pada bagian luar shear wall dipasang besi beton sering dilakukan saat itu adalah
overstick untuk pelat lantai dengan cara membengkokkan tulangan baja yang muncul
melipat/ membengkokkannya secara horisontal. keluar setelah pengecoran beton, yang mana
Setelah shear wall dicor maka pada saat pelaksanaan pengecoran berikutnya dilanjutkan
pembesian pelat lantai dikerjakan, besi beton dalam jangka waktu yang lama. Jika pekerjaan
overstick yang tertanam pada shear wall pengecoran akan dilanjutkan, maka tulangan-
tersebut diluruskan kembali dan disambung tulangan baja yang sudah dibengkokkan
secara overlapping dengan besi-besi beton pelat tersebut kemudian diluruskan kembali.
lantai. Ternyata ditemukan banyak yang patah getas
Berdasarkan kejadian-kejadian di atas, (terbelah) yang disebabkan oleh adanya reaksi
ternyata sulit untuk menghindari dengan unsur Nitrogen saat tulangan baja leleh.
pembengkokan besi beton. Penggunaan Hal ini membuat tulangan baja menjadi getas
kembali besi beton yang sudah mengalami karena terjadi perubahan susunan atom-
pembengkokan tersebut sering terjadi di atomnya.
lapangan. Pada dasarnya, besi beton yang sudah Morisco (1994) menyebutkan bahwa
dibengkokkan pasti tidak sempurna lagi dan jika spesimen baja dibebani sampai daerah
akan memberikan pengaruh terhadap perilaku plastis atau pengerasan regangan, kemudian
struktural elemen-elemen struktur yang beban dilepaskan maka kurva pada pelepasan
menggunakannya. Untuk itu perlu dilakukan beban akan sejajar dengan kurva bagian elastis.
penelitian terhadap besi-besi beton yang sudah Terdapat regangan sisa yang tertinggal setelah
mengalami pembengkokan tersebut, bagaimana beban dilepas.
nilai kuat tarik dan daktilitasnya dibandingkan
kondisi normal. Tegangan

III. Landasan Teori


Menurut Morisco (1994) keuntungan
penggunaan baja sebagai tulangan adalah baja
mempunyai kekuatan tarik cukup tinggi yang
merata dan juga memiliki kemampuan untuk
leleh yang dapat menaikkan daya dukung
terhadap beban yang bekerja. Baja juga
mempunyai sifat elastis sehingga jika sampai
pada batas pembebanan tertentu dan bebannya Regangan
dihilangkan, bentuknya masih dapat kembali ke
Gambar 3.1. Peningkatan Tegangan Leleh dan
bentuk awal.
Maksimum Baja akibat Penuaan
Regangan (Strain Aging)

Jurnal Teknologi Proses, 2008, 7 (2), p.125, Indonesia


Suatu spesimen yang telah diregangkan Pembengkokan dilakukan pada bagian
sampai pada fase pengerasan, kemudian beban tengah sampel. Besi-besi beton yang sudah
dilepaskan dan disimpan beberapa hari maka dibengkokkan, dibiarkan beberapa hari. Setelah
spesimen tersebut mengalami proses yang itu, masing-masing sampel diluruskan kembali,
disebut penuaan regangan (strain aging) pada lalu diadakan uji tarik.
temperatur ruangan dan setelah itu, jika
diadakan pembebanan ulang maka akan terjadi IV.2. Uji Tarik Besi Beton
peningkatan tegangan leleh dan kuat tarik. Juga Uji tarik dilakukan di Laboratorium
menyebabkan berkurangnya keuletan atau sifat Bahan Bangunan Jurusan Teknik Sipil
daktail baja. Peristiwa ini dapat diilustrasikan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Untuk
pada Gambar 3.1. uji tarik ini digunakan mesin khusus (merek
Riehle) berkapasitas 60000 lbs (267 kN). Alat
IV. Cara Penelitian ini memiliki 9 tombol pengatur kecepatan
IV.1. Benda Uji pembebanan. Dalam pengujian ini dipilih
Besi beton yang digunakan jenis tombol 2,5 dengan kecepatan awal pembebanan
deformasian (ulir) berdiameter 12 mm, yang 1200 lbs/ menit dan kecepatan konstan 500 lbs/
merupakan produksi dari pabrik PT Hanil menit sampai benda uji putus (failure).
Surabaya. Diameter besi beton (D) diukur Pertambahan panjang benda uji saat uji tarik
dengan rumus : digunakan extentionmeter yang memiliki
D = 12,74 B mm kapasitas dalam 1 putaran yaitu 100 strip (1
dimana B adalah berat besi beton per meter strip = 0,001 mm).
(kg/m). Nilai D merupakan nilai rata-rata dari 4 Pelaksanaan uji tarik dilakukan dengan
sampel batang besi beton. cara, benda uji dipasang secara vertikal dan
Untuk kebutuhan uji tarik baja, sampel dijepit dengan grip yang terletak pada bagian
(benda uji) besi beton diambil sebanyak 12 atas dan bawah mesin uji tarik. Bagian besi
buah. Sampel diambil dari bagian ujung dan beton yang mengalami pembengkokan/
tengah dari 1 batang utuh besi beton. Bagian pelurusan, diletakkan di tengah. Extentionmeter
yang cacat/ bengkok tidak diambil. Panjang dipasang pada benda uji. Panjang awal 50 mm.
setiap sampel yaitu 60 cm. Sampel-sampel Beban diberikan bertahap sampai benda uji
dibuat atas 4 perlakuan pembengkokan dan 1 putus. Sistem pengambilan data dilakukan
perlakuan normal (lihat Gambar 4.1), dengan dengan cara displacement control yaitu nilai
perincian sebagai berikut : perpanjangan dibaca dahulu kemudian diikuti
1. Tipe a : tanpa pembengkokan (2 buah) langsung pembacaan beban. Data-data diolah
2. Tipe b : sudut pembengkokan 900 dan dalam bentuk Grafik Tegangan-Regangan.
diameter dalam 59,8 mm (3 buah) Untuk tulangan baja lunak, tegangan leleh
3. Tipe c : sudut pembengkokan 1800 dan dapat ditentukan langsung dari grafik.
diameter dalam 59,8 mm (3 buah) Sedangkan untuk tegangan leleh yang tidak
4. Tipe d : sudut pembengkokan 900 dan dapat ditentukan langsung dari grafik, nilainya
diameter dalam 10,3 mm (2 buah) ditentukan dangan Metode Offset.
5. Tipe e : sudut pembengkokan 1800 dan
diameter dalam 10,3 mm (2 buah) IV.3. Cara Analisis
Prosedur atau langkah-langkah analisis
dilakukan dalam bentuk uraian kuantitatif
(penyajian rumus-rumus) dan kualitatif.

IV.3.1. Perpanjangan dan Regangan akibat


Pembengkokan
Peristiwa pembengkokan besi beton
(tulangan baja) dapat menjelaskan secara
(a) Lurus (b) Sudut 900 (c) Sudut 1800 (d) Sudut 900 (e) Sudut 1800
D1 = 59,8 mm D1 = 59,8 mm D2 = 10,3 mm D2 = 10,3 mm teoritis bahwa pembengkokan dapat
menyebabkan pertambahan panjang atau
Gambar 4.1. Tipe-tipe Sampel Besi Beton
peregangan. Ilustrasinya lihat Gambar 4.2.
Jurnal Teknologi Proses, 2008, 7 (2), p.125, Indonesia
suatu Diagram Tegangan-Regangan. Diagram
yang dihasilkan tersebut merupakan
karakteristik bahan yang bersangkutan dan
mengandung informasi penting mengenai sifat-
sifat mekanik dan perilaku bahannya. Sebagai
ilustrasi, diagram hasil uji tarik baja lunak
dapat dilihat pada Gambar 4.3.
σ(Tegangan)
(a) Diameter Dalam/ Pemebengkok (b) Diameter Dalam/ Pembengkok
sebesar 6D sebesar D

Gambar 4.2. Pembengkokan Besi Beton dengan


Sudut Pembengkokan 900 (Diameter
Dalam/ Pembengkok 6D dan D mm )

Sebagai contoh, dimisalkan besi beton


berdiameter D mm dibengkokkan dengan sudut
pembengkokan 900 dengan diameter dalam Gambar 4.3. Diagram Tegangan-Regangan
(pembengkok) masing-masing sebesar 6D dan Baja Lunak dalam Uji Tarik
D mm. Garis sumbu S0S1 dianggap tidak
mengalami perubahan panjang saat IV.3.3. Penentuan Tegangan Leleh dengan
pembengkokan. Berdasarkan Gambar 4.2 (a) Metode Offset
dapat diuraikan bahwa : Gere dan Timoshenko (1985) serta
Panjang Busur S0S1 = ¼ .2∏.R1 ; R1 = 3 ½ D Shegley dan Mitchell (1986) menyatakan
=1¾∏D bahwa untuk mendapatkan nilai tegangan leleh
bahan dengan Metode Offset dapat dilakukan
Panjang Busur A0A1 = ¼ .2∏.R2 ; R2 = 4D dengan cara : menarik suatu garis lurus (sejajar
= 2∏ D garis elastis kurva) yang melalui suatu nilai
regangan 0,2 %. Titik perpotongan garis
Perpanjangan = Busur A0A1 – Busur S0S1 dengan kurva merupakan nilai tegangan leleh
=¼∏D bahan. Lihat Gambar 4.4.
Perpanjangan
Regangan = x100 %
Busur S 0 S1
= 14,2857 %

Analog hitungan di atas, berdasarkan


Gambar 4.2 (b) diperoleh nilai Perpanjangan
sebesar ¼∏D dan Regangan sebesar 50 %.
Hitungan teoritis menunjukkan, dengan sudut
pembengkokan sama besar, pembengkokan
dengan diameter dalam (pembengkok) yang Gambar 4.4. Penentuan Tegangan Leleh
lebih kecil menghasilkan nilai regangan yang dengan Metode Offset
lebih besar daripada regangan akibat diameter
dalam (pembengkok) yang lebih besar. IV.3.4. Nilai Over Strength Factor (Øs)
Nilai Over Strength Factor merupakan
IV.3.2. Diagram Tegangan-Regangan perbandingan antara tegangan ultimit terhadap
Gere dan Timoshenko (1985) juga tegangan leleh tulangan baja, yang dinyatakan
menjelaskan bahwa untuk pengujian tarik atau dengan :
tekan yang telah dilakukan, dapat ditentukan f yu
tegangan dan regangan dengan berbagai harga
pembebanan, yang selanjutnya dapat digambar s =
fy
Jurnal Teknologi Proses, 2008, 7 (2), p.125, Indonesia
IV.3.5. Faktor Daktilitas (μs)
Faktor daktilitas besi beton yaitu
perbandingan antara regangan patah terhadap
regangan leleh, yang dinyatakan dengan :
f
s =
y

V. Hasil Penelitian dan Pembahasan


V.1. Pengaruh Pembengkokan secara Fisik
Setelah pembengkokan, pada besi
beton tampak guratan-guratan dan retak-retak
rambut yang halus serta kondisi permukaan
yang tidak lurus lagi seperti kondisi semula. Gambar 5.1. Diagram Tegangan-Regangan
Hal ini menunjukkan bahwa besi beton Besi Beton Tanpa Pembengkokan
mengalami cacat permanen. Selain itu, pada
saat pembengkokan dengan sudut 1800 dan
diameter dalam (pembengkok) sebesar 10,3
mm, seluruh sampel mengalami patah.

V.2. Perpanjangan dan Regangan Besi Beton


Hasil Hitungan Teoritis
Analog hitungan di atas, diperoleh
bahwa sampel tipe b memiliki perpanjangan
9,519 mm dan regangan 16,85 %. Sampel Tipe
c memiliki perpanjangan 19,038 mm dan
regangan 16,85 %. Sampel Tipe d memiliki
perpanjangan 9,519 mm dan regangan 54,06 %.
Sampel Tipe e memiliki perpanjangan 19,038
mm dan regangan 54,06 %.
Sudut pembengkokan yang sama tetapi
diameter dalamnya berbeda maka memberikan Gambar 5.2. Diagram Tegangan-Regangan
nilai perpanjangan yang sama tetapi Besi Beton, Sudut Pembengkokan 900
regangannya berbeda. Sedangkan jika diameter
dalamnya sama tetapi sudut pembengkokannya
berbeda maka memberikan nilai regangan yang
sama tetapi nilai perpanjangannya berbeda.
Semua sampel Tipe e mengalami patah.
Hal ini dimungkinkan karena perpanjangan
maupun regangannya, keduanya memiliki nilai
yang cukup besar.

V.3. Uji Tarik Besi Beton


Uji tarik tulangan baja (besi beton)
memberikan nilai tegangan dan regangan pada
kondisi leleh, ultimit dan saat putus, untuk besi
beton sebelum dan setelah dibengkokkan.
Diagram tegangan-regangan hasil uji tarik
dapat dilihat pada Gambar 5.1, Gambar 5.2, dan
Gambar 5.3. Diagram Tegangan-Regangan
Gambar 5.3. Sedangkan nilai-nilai tegangan
Besi Beton, Sudut Pembengkokan 1800
dan regangannya dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Jurnal Teknologi Proses, 2008, 7 (2), p.125, Indonesia


Tabel 5.1. Nilai-nilai Tegangan, Regangan, Over Strength Factor dan
Daktilitas Besi Beton Berdasarkan Uji Tarik

Untuk besi beton yang tidak mengalami Kondisi tersebut menjelaskan bahwa
pembengkokan, tegangan lelehnya dapat nilai tegangan leleh dan ultimit besi beton
ditentukan langsung dari grafik (Gambar 5.1). menjadi lebih besar akibat pembengkokan.
Sedangkan untuk besi beton yang sudah Tegangan terbesar diperoleh dari
mengalami pembengkokan (Gambar 5.2 dan pembengkokan Tipe c, kemudian Tipe d dan
Gambar 5.3), tegangan lelehnya diperoleh Tipe b, yang masing-masing nilainya
dengan Metode Offset. dibandingkan terhadap Tipe a.
Berdasarkan nilai-nilai yang terdapat Nilai over strength factor yang
pada Tabel 5.1 dan Grafik-grafik Tegangan- dihasilkan rata-rata sedikit lebih besar dari 1,4.
Regangan di atas, dapat dilihat bahwa besi Nilai tertinggi diberikan oleh Tipe a, kemudian
beton yang telah mengalami pembengkokan Tipe b, lalu Tipe d dan terendah pada Tipe c.
memberikan nilai tegangan leleh dan ultimit Nilai-nilai ini cukup sesuai dengan peraturan
yang lebih besar dibandingkan dengan nilai SK SNI T-15-1991-03 yang menyatakan bahwa
tegangan dari besi beton yang normal (yang faktor yang memperhitungkan pengaruh
belum mengalami pembengkokan). penambahan kekuatan maksimal dari tulangan
Hal ini karena akibat pembengkokan, baja terhadap kuat leleh, ditetapkan sebesar 1,4
menyebabkan besi beton mengalami untuk fy yang lebih besar dari 400 MPa.
peregangan. Regangan yang terjadi bisa sebesar Selain tegangan yang dihasilkan
regangan leleh besi beton yang normal atau bisa menjadi lebih besar, ternyata besi beton yang
lebih besar sehingga besi beton tersebut sudah dibengkokkan juga memberikan
mengalami penguatan regangan (strain regangan leleh yang lebih besar dibandingkan
hardening) dan juga mengalami penuaan dengan nilai regangan leleh dari besi beton
regangan (strain aging) akibat besi beton yang yang normal (yang belum mengalami
telah dibengkokkan didiamkan beberapa hari. pembengkokan). Tetapi kapasitas regangan
Setelah mengalami pembengkokan, uji patahnya (fracture) mengalami penurunan.
tarik memberikan kondisi bahwa tegangan yang Proses pembengkokan menyebabkan
terjadi tidak dimulai dari titik nol tetapi dimulai besi beton mengalami peregangan dan setelah
dari titik saat pemberian beban pembengkokan pelurusan kembali (beban pembengkokan
terakhir yang dilepas (dimulai dari nilai dilepas) maka kurva saat pelepasan beban ini
regangan tertentu). Garis tegangan selanjutnya akan sejajar dengan kurva elastis pertama dan
sejajar dengan garis linier tegangan awal dan kembali ke titik nol tegangan, tetapi sudah
nilai tegangannya meningkat dibandingkan mengalami regangan dengan nilai tertentu.
terhadap nilai pada kondisi normal.

Jurnal Teknologi Proses, 2008, 7 (2), p.125, Indonesia


Besi beton yang sudah diluruskan, Pada penelitian Morisco (1994), setelah
didiamkan beberapa hari. Kondisi ini kondisi strain aging (penuaan regangan), jika
merupakan penuaan regangan. Regangan yang dilakukan uji tarik pada spesimen baja tersebut
terjadi adalah regangan sisa yang tertinggal maka akan terjadi peningkatan tegangan leleh
setelah beban pembengkokan dilepas. Jika uji dan tegangan ultimit (kapasitas regangan
tarik dilakukan maka menyebabkan kapasitas menurun). Berdasarkan Gambar 3.1 dapat
regangan dari besi beton (yang telah mengalami dilihat bahwa setelah tercapai tegangan leleh
pembengkokan) menjadi berkurang (setelah strain aging), spesimen baja tersebut
dibandingkan dengan kapasitas regangan pada masih mengalami kondisi plastis (terjadi
besi beton yang normal. pertambahan regangan tetapi nilai tegangan
Nilai pengurangan kapasitas regangan lelehnya tidak bertambah).
terbesar dicapai oleh sampel Tipe c, kemudian Efek Aswin menunjukkan bahwa
Tipe d dan Tipe b. Penurunan kapasitas setelah strain aging, kecil sekali
regangan patah ini, sebanding dengan kemungkinannya terjadi lagi kondisi plastis
penurunan faktor daktilitas. Faktor daktilitas pada spesimen baja (besi beton) tersebut. Hal
terkecil terjadi pada Tipe c, diikuti oleh Tipe d ini disebabkan karena strain aging
dan Tipe b. Faktor daktilitas yang kecil ini menyebabkan spesimen bersifat lebih getas
menunjukkan bahwa besi beton yang telah (daktilitas menurun). Sehingga jika dilakukan
mengalami pembengkokan akan bersifat lebih uji tarik pada spesimen tersebut, setelah
getas dibandingkan besi beton yang normal tercapai tegangan leleh (dimana nilainya
(tanpa pembengkokan). mengalami peningkatan), maka garis kurva
akan berbentuk lengkung, sampai tercapai
V.4. Efek Aswin terhadap Peningkatan tegangan ultimit dan fracture. Garis lengkung
Tegangan akibat Pembengkokan kurva ini menunjukkan bahwa pada Efek Aswin
Pada bagian ini akan dijelaskan tidak terjadi kondisi plastis lagi. Lihat kembali
perbedaan sedikit mengenai peningkatan Gambar 5.2 dan Gambar 5.3.
tegangan leleh dan ultimit akibat penuaan
regangan (lihat juga Gambar 3.1) yang VI. Kesimpulan
dinyatakan oleh Morisco (1994), dibandingkan Berdasarkan hasil penelitian dan
terhadap Efek Aswin.. Sebagai deskripsi pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa :
mengenai Efek Aswin ini, dapat dilihat Gambar 1. Secara kuantitatif, dapat dijelaskan bahwa
5.4 di bawah ini. dengan sudut pembengkokan yang sama
tetapi diameter dalam yang berbeda, akan
memberikan nilai perpanjangan yang sama,
namun nilai regangannya berbeda
(regangan akan lebih besar jika ukuran
diameter dalam semakin kecil). Sebaliknya
jika sudut pembengkokannya berbeda tetapi
diameter dalamnya sama, maka akan
memberikan nilai regangan yang sama,
namun nilai perpanjangannya berbeda
(perpanjangan akan lebih besar jika sudut
pembengkokan semakin besar).
2. Kondisi besi beton yang telah
dibengkokkan, lalu didiamkan beberapa
hari, kemudian diluruskan kembali, dapat
menyebabkan strain aging (penuaan
regangan). Terdapat regangan sisa yang
Gambar 5.4. Efek Aswin terhadap Peningkatan tertinggal setelah beban pembengkokan
Tegangan akibat Pembengkokan pada dilepaskan.
Besi Beton (Penuaan Regangan)

Jurnal Teknologi Proses, 2008, 7 (2), p.125, Indonesia


3. Besi beton yang telah mengalami strain
aging jika dilakukan uji tarik maka
dihasilkan nilai tegangan leleh dan ultimit
yang lebih besar dibandingkan terhadap
nilai tegangan pada besi beton yang normal
(tanpa pembengkokan). Tetapi besi beton
menjadi bersifat getas (daktilitasnya
berkurang).
4. Sudut pembengkokan yang semakin besar
dan diameter dalam yang semakin kecil,
dapat menimbulkan kegetasan yang cukup
besar (besi beton bisa patah).
5. Efek Aswin menunjukkan bahwa setelah
strain aging, kecil sekali kemungkinannya
terjadi lagi kondisi plastis.

VII. Saran
1. Untuk mengetahui informasi yang lebih
lengkap tentang pengaruh pembengkokan
besi beton terhadap peningkatan tegangan
dan turunnya daktilitas, sebaiknya
digunakan sampel yang lebih banyak,
diameter dan jenis besi beton yang
bervariasi, serta sudut pembengkokan dan
diameter dalam yang berbeda-beda.
2. Sebaiknya dilakukan penelitian terhadap
kuat lentur balok beton bertulang yang
menggunakan besi-besi beton yang telah
mengalami pembengkokan-pelurusan
kembali (strain aging), yang dibandingkan
terhadap balok beton normal.

VIII. Daftar Pustaka


Anonim, 1991, “Tata Cara Perhitungan
Struktur Beton Untuk Bangunan
Gedung”, Yayasan LPMB, Bandung.
Brotowiryatmo, S.H., 1997, “Metodologi
Penelitian”, UGM, Yogyakarta.
Dipohusodo, I., 1994, “Struktur Beton
Bertulang”, Jilid 1, Gramedia, Jakarta.
Gere, J.M., dan Timoshenko, S.P., (terjemahan
: Hans Wospakrik), 1987, “Mekanika
Bahan”, Jilid 1, Edisi 2, Erlangga,
Jakarta.
Morisco, 1994, “Pengetahuan Dasar Struktur
Baja”, Jilid 1, Edisi 3, Nafiri,
Yogyakarta.
Shegley, J.E., dan Mitchell, L.D., (terjemahan :
Gandhi Harahap), 1986, “Perencanaan
Teknik Mesin”, Jilid 1, Erlangga,
Jakarta.

Jurnal Teknologi Proses, 2008, 7 (2), p.125, Indonesia

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai