Anda di halaman 1dari 30

KONSEP PREVENTIF DAN DETEKSI PENYAKIT

Epidemiologi Manajerial

Disusun Oleh

Dian Uyun Safeti 20420009


Mulki Adli 20420028

Pembimbing
Dr. Ferizal Masra, M.Kes

PROGRAM MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2021
BAB 1
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan dengan cita-cita Bangsa Indonesia yang harus diwujudkan dalam

bentuk pemberian berbagai pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui

penyelenggaraan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,

dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

masyarakat yang setinggi-tingginya.

Meningkatnya umur harapan hidup, menurunnya angka kematian ibu, angka

kematian neonatal, angka kematian bayi, dan angka kematian balita tidak terlepas

dari peran pemerintah yang telah berhasil pada aspek penyediaan sarana pelayanan

kesehatan dasar seperti puskesmas. Pelayanan kesehatan dasar harus terselenggra

atau tersedia untuk menjamin hak asasi semua orang untuk hidup sehat.

Penyelenggaraan atau penyediaan pelayanan kesehatan dasar ini harus secara nyata

menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok masyarakat risiko tinggi termasuk

di dalamnya kelompok masyarakat miskin. Bahkan lebih jauh lagi, ruang lingkup

pelayanan kesehatan dasar tersebut harus mencakup setiap upaya kesehatan yang

menjadi komitmen komunitas global, regional, nasional, maupun lokal

Dalam Pasal 152 Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 ayat 1

menyatakan bahwa upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit.

menular serta akibat yang ditimbulkannya merupakan tanggung jawab pemerintah,

pemerintah daerah dan masyarakat. Bahkan ditegaskan juga pada ayat 3 ruang

lingkup upaya sebagaimana yang dimaksud yar 1 di atas meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif bagi individu maupun masyarakat yang melibatkan

lintas sectoral.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. DESAIN INTERVENSI (INTERVENTION DESIGN)

Menurut WHO dalam buku System Thinking For Health System

Strengthening dalam penyusunan intervensi diperlukan perumusan desain intervensi

agar lebih terarah, terpadu dan sinergis sehingga pencapaian tujuan kinerja pelayanan

kesehatan lebih efektif dan efisien. Desain intervensi tersebut meliputi 4 (empat)

tahap dan 1 (satu) tahap evaluasi yaitu perten koordinasi (convene stakeholders),

gagasan bersama (collectively brainstorm), membangun konsep desain intervensi

(conceptualized effects) dan penyesuaian dan desain ulang (Adapt and redesign)

serta evaluasi yaitu determine indicators (WHO, 2009). sebagaimana akan diuraikan

di bawah ini.

1. Pertemuan Koordinasi (convene stakeholders)

Pertemuan ini bertujuan untuk mengidentifikasi tokoh kunci stakeholder yang

terlibat sesuai dengan kepentingan dalam rangka penyusunan desain intervensi

(intervention design) dan pelaksanaan (implementation) untuk meningkatkan kinerja

sistem pelayanan kesehatan dan penelitian kesehatan masyarakat dengan cara

membangun komitmen bersama.

Misalnya, dalam pelaksanaan kegiatan Desa Siaga yang bertujuan

menurunkan angka kematian ibu. Dalam pertemuan lintas koordinasi di berbagai

Kecamatan diperoleh komitmen lintas sektoral (pemangku kepentingan) secara


aplikatif seperti membangun komitmen Kepala Desa dan Perangkat Desa dengan

memonitor pelaksanaan desa siaga di sana.

2. Gagasan Bersama (collectively brainstorm)

Beberapa gagasan yang disampaikan dari berbagai aspek dalam rangka

meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan melalui berbagai pertemuan dan

menindak lanjuti pertemuan lintas sektoral menginspirasi sejumlah ide penyusunan

desain intervensi yang baik dan cemerlang.

Misalnya, dalam pertemuan atau rapat Forum Desa Singa, untuk

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan cara meningkatkan kualitas

rumah seliat yaitu merubah pola perilaku buang air di sungai atau di kebun menjadi

membangun Jamban Keluarga Sehat dengan cara arisan atau gotong royong.

Gagasan yang cemerlang dan pantastik dalam kurun waktu I tahun terbangun Jamban

Keluarga Sehat sebanyak

3. Membangun Konsep Desain Intervensi (conceptualized effects)

Pengembangan konsep diarahkan dalam kerangka bangunan bagaimana

intervensi dapat mempengaruhi capaian kinerja dalam rangka mensinergiskan dan

meningkatkan performance pelayanan kesehatan masyarakat.

Dengan kompleknya permasalahan dan faktor kunci yang berkontribusi

terhadap angka kematian ibu, maka dibahas dalam pertemuan Forum Desa Siaga
untuk mencari alternatif pemecahannya. Selanjutnya, disepakati, membentuk sistem

pembiayaan persalinan desa di Poskesdes yang dikelola oleh Forum Desa Siaga

dengan kesepakatan biaya persalinan sebesar Rp. 250.000.- dan biaya pasang alat

kontrasepsi mantap (IUD, Implant) sebesar Rp. 150.000.- dengan iuran sebesar Rp.

1000.- setiap keluarga per bulan, sedangkan bidan hanya mengklaim biaya persalinan

pada Forum Desa Siaga.

4. Penyesuaian dan Desain Ulang (adapt and redesign)

Penyesuaian dan desain ulang intervensi bertujuan untukmengoptimalkan

sinergisitas kinerja sehingga mengurangi faktor penghambat, tantangan dan

kelemahan yang berperan negatif terhadap kinerja sistem pelayanan kesehatan.

Misalnya, dalam rangka mendesain program kerja untuk menurunkan angka

kematian ibu telah diterapkan sistem arisan Rp. 1000,- setiap keluarga/bulan yang

digunakan untuk biaya persalinan. Dengan demikian biaya persalinan ditanggung

bersama dalam komunitas desa atau kelurahan. Untuk daerah asal transmigrasi

masing-masing Dusun berasal dari berbagai daerah, maka sistem seperti ini untuk

diterapkan di Kelurahan Sumberharta mengalami kesulitan karena sebagian dusun

penyebaran persalinannya lebih tinggi dibandingkan dusun yang lain, ironisnya ada

beberapa dusun yang tidak ada persalinan, sementara sistem pembiayaan adalah

iuran bersama. Oleh karena itu terjadi preseden di dusun tersebut, melakukan protes

tidak mau membayar iuran dengan alasan keadilan. Dengan pertimbangan itu, rapat
Forum Desa Siaga Kelurahan Sumberharta mendesain ulang sistem pembiayaan

persalinan agar dikelola oleh masing-masing dusun sesuai dengan kesepakatan

bersama.

B. IDENTIFIKASI PENYEBAB DAN RISIKO

Prinsip penerapan konsep epidemilogi dalam ilmu kesehatan masyarakat,

meliputi upaya investigasi penyebab dan riwayat alamiah penyakit dengan tujuan

pencegahan penyakit dan peningkatan. kesehatan masyarakat seoptimal mungkin.

Selain itu, sebagai alat ukur pelayanan kesehatan yang diperlukan dalam perencanaan

kesehatan dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan kesehatan.

Kedua parameter tersebut merupakan hal yang mendasar dalam mengidentifikasi

penyebab dan faktor risiko terhadap outcome. Karena tidak seluruh faktor risiko

yang secara statistik membuktikan adanya hubungan yang bermakna terhadap

timbulnya penyakit, namun menjadi determinan dan confounding terhadap

perubahan status kesehatan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.

Menurut konsep ilmu epidemiologi yang menjadi perbedaan suatu penyebab

(cause) dari hubungannya meliputi beberapa atribut epidemiologi di bawah ini,

yaitu :

1. Kekuatan Hubungan

Kekuatan hubungan dilambangkan dengan risiko relatif (RR) yaitu perbandingan

antara kelompok insiden penyakit yang terekspos faktor risiko dengan kelompok

insiden yang tidak terekspos oleh faktor niko. Menurut hukum statistik derajat

hubungan RR dibagi menjadi uga bagian, yaitu bila nilai RR <1 menunjukkan peran
exposure menjadi faktor proteksi (faktor pelindung), RR = 1 tidak menunjukkan

adanya hubungan kekuatan antara exporure dengan outcome dan nilai RR > 1

menunjukkan bahwa exposure berperan sebagai faktor risiko terhadap kejadian

outcome. Pada studi epidemiologi parameter risiko relatif (RR) sering digunakan

pada berbagai penelitian kohort. Misalnya, Studi Hubungan antara Pendidikan dan

Pekerjaan Terhadap Insiden Penyakit Alzheimer's pada sampel 931 di Stockholm,

Swedia melaporkan bahwa ringkat pendidikan rendah nilai RR 2,6 artinya kelompok

pendidikan rendah berpeluang menderita penyakit Alzheimer sebesar 2,6 kali

dibandingkan kelompok tingkat pendidikan lebih tinggi.

2. Waktu Kejadian

Berdasarkan karakteristik epidemiologi kejadian outcome berhubungan erat

dengan variabel agent cause memasuki tubuh host. Seperti melalui makanan yang

terkontaminasi sehingga menimbulkan muntah dan diare. Lama tidaknya timbulnya

gejala penyakit sangat berkaitan dengan keganasan (virulensi) agent dan kepekaan

(susceptibiliy) bost. Misalnya kasus infeksi HIV/AIDS, karsinoma yang

bermanifestasi lebih lama dan panjang.

3. Distribusi Penyakit

Distribusi penyakit juga mempunyai korelasi dengan geografi atau kondisi

lingkungan. Beberapa geografi mempunyai hubungan yang signifikan terhadap

perbedaan penyakit walaupun sulit untuk dibuktikan. Misalnya, daerah aliran sungai

berhubungan dengan penyakit kolera, typhoid fever, yellow fever dan lain-lain.

Contoh lain, pada daerah keterpaparan yang lama antara debu (partikel) dengan
timbulnya manifestasi klinik mempunyai interval yang berbeda menjadi infeksi suatu

penyakit, namun keadaan ini sangat tergantung dengan lokasi dan tempat sebagai

penyebab (causal agent).

4. Gradien

Insiden penyakit berhubungan dengan jumlah dan lamanya keterpaparan

exposure pada populasi tertentu. Misalnya, pada kelompok pekerja yang

terkontaminasi dengan asbetos berisiko terhadap keracunan asbestos, asthma, dan

lain sebagainya.

5. Konsistensi Penyakit

Beberapa penelitian epidemiologi yang dilakukan diperoleh hasil yang sama

antara exposure dengan penyakit (outcome); tidak ada perbedaan yang bermakna

dalam populasi. Namun ketidak konsistensinya exposure disebabkan adanya desain

studi yang berbeda. Misalnya pada beberapa studi uji hipotesis memaparkan bahwa

kanker payudara berhubungan dengan pemakai pil kontrasepsi dalam waktu yang

lama, tetapi ada juga penelitian lain yang tidak mendukung hasil penelitian ini.

Ironisnya setelah dilakukan analisis pada studi tersebut, ditemukan adanya perbedaan

kriteria dalam seleksi kasus dan teknik. analisis data yang digunakan.

6. Spesifisitas

Adanya perbedaan kriteria yang digunakan sehingga perubahan terhadap

hubungannya. Menurut (Hill, 1995) bahwa satu penyebab dapat mengakibatkan satu

efek atau tidak terjadi multi efek. Kriteria ini digunakan untuk menentukan infeksi

penyakit namun tidak berlaku untuk penyakit tidak menular (non infectious disease).
Sejak pendapat ini diterima di kalangan luas bahwa satu penyebab berhubungan

dengan beberapa jumlah outcome. Misalnya perokok sigaret berhubungan dengan

kejadian kanker paru, penyakit jantung, PPOM dan komplikasi penyakit lain.

7. Masuk akal secara biologis

Hubungan antara penyakit dengan exposure yang disebabkan oleh agent

(biological). Misalnya John Snow membuktikan bahwa kolera disebabkan oleh agent

dalam air. Secara epidemiologi hal ini sangat konsisten dengan hipotesis bahwa

kolera disebabkan oleh agent dalam air.

8. Model Eksperimen

Penyakit dapat ditanggulangi atau dikembangkan dengan desain model

eksperimen pada hewan percobaan. Namun perbedaan dapat terjadi karena adanya

perbedaaan desain dan penggunaan hewan percobaan. Misalnya beberapa

mikroorganisme patogen dalam manusia dapat dikembangkan pada hewan percobaan

(contohnya virus campak) Preventif Percobaan Berhubungan dengan insiden

penyakit, misalnya penggunaan chalidomide untuk pengobatan emisis pada wanita

hamil berhubungan dengan meningkatnya insiden phocomelia.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menyatakan bahwa proses adalah

kejadian sebab dan akibat, kalau memenuhi kriteria sebagai berikut.

a. Hubungan temporal: Apakah sebab mendahului akibat (esensial);

b. Plausibility: Apakah asosiasi konsisten dengan pengetahuan lain (mekanisme bukti

tindakan exp hewan);


c. Konsistensi: Apakah hasil serupa telah ditunjukkan dalam penelitian lain?

d. Kekuatan: Apa kekuatan hubungan antara sebab dan akibat (risiko relatif);

e. Hubungan respons dosis: Apakah peningkatan paparan terhadap kemungkinan

penyebab terkait dengan peningkatan efek?

f. Reversibilitas: Apakah menghilangkan kemungkinan penyebab mengarah pada

pengurangan? dari risiko penyakit?

g. Desain studi: Apakah bukti didasarkan pada desain studi yang kuat?

h. Menilai bukti: Berapa banyak baris bukti yang mengarah pada kesimpulan?

C. STRATEGI PENGENDALIAN (CONTROLLING)

Menurut Achmadi strategi pengendalian penyakit dibedakan antara penyakit

menular dan penyakit tidak menular. Strategi pada kelompok penyakit menular

mencakup intensifikasi pencarian dan pengobatan kasus, memberikan perlindungan

spesifik dan imunisasi. pemberantasan penyakit berbasis lingkungan dan perilaku

dan penggalangan upaya kemitraan. Namun, pada kelompok penyakit tidak menular

meliputi sistem pencatatan dan pelaporan, pertemuan lintas sektoral, evaluasi dan

monitoring, surveilen, promosi, pencegahan, dan metode partisipatif serta kerjasama

lintas wilayah. Sasaran pengendalian penyakit menular dan tidak menular mencakup

perbaikan kualitas kesehatan lingkungan (quality environment) dan perilaku

(behavior) serta sumber penularan lainnya. Ini berarti bahwa secara epidemiologi

upaya pengendalian tersebut meliputi upaya pengendalian yaitu eradikasi, reduksi


dan eliminasi, dan upaya peningkatan meliputi strategi proteksi, obervasional pada

faktor lingkungan dan perilaku, kadangkala merupakan faktor risiko, atau sebagai

faktor proteksi. Untuk lebih jelasnya terlihat dalam tabel di ini dan akan diuraikan

selanjutnya.

Strategi intervensi epidemiologi Communicable Non disease

Pengenda Ditingkat

lian kan

(controlli (improve

ng) d)

Communic Pengenda Faktor Observas

able lian resiko i faktor

desease (controlli tinggi lingkung

ng) an

Ditingkat Observasi proteksi

kan faktor

(improve perilaku

d)

Strategi pengendalian yang dimaksud di atas mencakupi upaya eradikasi, reduksi

dan eliminasi faktor risiko terhadap paparan atau efek dari paparan yang terjadi pada
host (induk semang). Secara statistik variabel ini sangat berpengaruh terhadap

kejadian atau efek, output sebagaimana penjelasan di bawah ini.

a. Eradikasi

Keberhasilan dunia pada program eradikasi yang pertama kali adalah terbebasnya

dunia dari smallpox sejak 8 May 1980. Keberhasilan eradikasi ini dipengaruhi oleh

gencarnya kampanye dan diketahuinya karakteristik penyakit seperti tidak

berhubungan dengan animal reservoir dan carrier, serta manifestasinya jelas. Lain

halnya dengan eradikasi malaria, WHO menganggap gagal, karena siklus parasit

malaria sangat komplek dan vaksinasi dianggap tidak efektif.

Prinsip cradikasi dalam program pemberantasan penyakit menular adalah

membumi-hanguskan penyebab penyakit. Seperti bebas virus polio pada program

eradikasi polio (ERAPO) pada tahun 2005 Program Eradikasi di Indonesia seperti

Eradikasi Polio. membumi-hanguskan virus Polio dengan PIN I, II, III, IV, dan V,

jika masih diragukan maka dilakukan upaya untuk membuktikan bahwa virus

tersebut memang benar-benar sudah lenyap, yang kemudian dilakukan surveilen aktif

seperti surveilen AFP dan bila ditemukan kasus polio, dilakukan Moping up atau PIN

dalam area terbatas.

Strategi utama dalam penanggulangan pada eradikasi dengan prinsip membasmi -

hanguskan sumber dengan kegiatan sebagai berikut:

1. Mengobati penderita dan pengindap;


2. Mengisolasi kasus:

3. Surveilen sumber yang dicurigai: 4. Pembasmian tandon hewan:

5. Pelaporan kasus.

Kemudian WHO menetapkan kriteria pemberantasan malaria pada pertemuan,

Pemberantasan Malaria.

1. Pengawasan aktif. Pembuktian kasus melalui penguatan surveillaner system selama

tiga tahun berturut-turut.

2. Surveilen pasif. Selama tiga tahun harus didukung fakta tidak ditemukannya kasus,

zero reporting.

3. jika ditemukan dan tercatat dalam register, dalam kurun waktu pengamatan, karena

kasus yang berasal dari luar, maka dianggap:

a. Imported, Kasus Import yang dikenal daerah endemis;,

b. Relapsing, Kasus kambuh, yang selama ini dilaporkan tidak ada kasus;,

c. Induced, Berhubungan dengan transmisi, misalnya donor darah, atau parenteral

lainnya;

d. Introduced, Penularan langsung secara kontaminasi.

Keberhasilan Singapore dalam pembasmian malaria selama satu dasawarsa

lebih berhasil menekan kejadian luar biasa akibat malaria (outbreak) walaupun sejak

tahun 1977 hingga sekarang tidak terjadi outbreak lagi, namun WHO belum
memberikan sertifikasi eradikasi malaria. Tetapi, pemerintah Singapore tetap

menerapkan program eradikasi berbasis masyarakat, yaitu (a) pendidikan kesehatan

(health education). (b) pelacakan parasit malaria pada karrier (screening of parasite

carrier). (c) pemantauan kasus-kasus malaria (follow up of past cases) dan (d) upaya

pencegahan pada daerah-daerah endemis malaria (special preventive measure).

b. Reduksi

Reduksi merupakan upaya pemberantasan dan pengendalian penyakit tidak

membumi-hanguskan penyakit melainkan hanya mengurangi penyakit, dengan

prinsip tidak menyebar secara luas apalagi pandemik (WHO, 2008). Misalnya, dalam

Program Reduksi Campak WHO mentargetkan penurunan insiden campak sekitar

95% dan penurunan mortalitas sebesar 90% dari program sebelum program

imunisasi dimulai.

WHO mengkatagorikan reduksi dalam tiga kriteria, yaitu (1) fase pengendalian,

berupaya meningkatkan cakupan imunisasi, jika daerah cakupan rendah, dilakukan

sweeping. (2) Fase reduksi pericegahan KLB, ialah dengan cakupan imunisasi yang

tinggi dan menurunkan insiden secara periodik. (3) Fase eliminasi campak, yakni

bertujuan memutuskan mata rantai penularan secara komprehensif sehingga

memerlukan upaya dereksi berdasarkan hasil :

a. Surveilen kasus secara intensif (intensive case based surveillance)

b. Investigasi;
c. Konfirmasi setiap suspek campak di mas based surveillance). (measles laboratory

Prinsip kegiatan dalam rangka pemberantasan dan pengendalian melalui strategi

reduksi adalah :

1. Pemberian imunisasi;

2. Profilaksis kimiawi:

3. Perlindungan perseorangan;

4. Perbaikan gizi yang benar;

b. Eliminasi

Eliminasi ditujukan dalam rangka memutuskan mata rantai penularan penyakit

sesuai dengan konsep triad epidemiologi yakni agent, host dan environment,

sehingga mampu mendeteksi daerah risiko tinggi.

Misalnya, program eliminasi malaria. Tujuan eliminasi program malaria adalah

memutuskan siklus hidup nyamuk anopheles. dengan demikian memutuskan mata

rantai penularannya, mencegah kontak gigitan nyamuk, sehingga dapat menurunkan

insiden malaria itu sendiri walaupun morbiditas kasus malaria masih didapatkan.

Tanpa memperdulikan ada tidaknya gejala klinis, konfirmasi maupun tidak dengan

laboratorium (WHO, 2008a). Tetapi, perlu dikembangkan investigasi dengan lima

pertanyaan (1) bagaimana kontak dengan kasus (kontak dengan darah atau gigitan

nyamuk), (2) dimana kontak dengan kasus, (3) jenis parasite yang mana sumber

kontak (falciparum atau parasit lain), (4) kapan kontak dengan kasus (kurang dari 6

bulanı atau antara 6 bln sampai 3 tahun), (5) dari siapa kontak (import atau dari
tempat lain) (WHO, 2007). Dalam program eliminasi WHO memberikan definisi

kasus malaria pada strategi eliminasi mencakup.

1. Deteksi semua kasus malaria;

2. Mencegah kemajuan transmisi penularan malaria;

3. Manajemen penanganan kasus malaria, dan

4. Manajemen pemberantasan parasit malaria.

Indonesia belum mencanangkan program eliminasi malaria, beberapa puskesmas

belum mengoptimalkan pemeriksaan laboratorium, sebagai dasar penetapan

diagnosis sehingga indikator Angka Parasit Indeks (API) dapat terukur, walaupun

demikian kebijakan API sudah diterapkan untuk Pulau Jawa-Bali. Selain itu sampai

dengan tahun 2010 indikator keberhasilan masih menetapkan malaria klinis minimal

5/1000 populasi. Sementara WHO menetapkan program eliminasi mencapai 1 kasus /

1000 populasi, jika dalam tiga tahun tercapai zero maka WHO memberikan

sertifikasi bebas malaria. Selanjutnya program surveilen diperkuat seoptimal

mungkin sebagaimana pelaksanaan surveilen AFP atas keberhasilan dunia

mengeradikasi virus polio. Pada tahapan eliminasi yang perlu diperkuat adalah sistem

pencatatan dan pelaporan, sehingga indikator pencatatan dan pelaporan seperti

kecepatan laporan, kelengkapan laporan dan ketepatan laporan menjadi hal yang

mendasar pada tahapan ini. (WHO, 2007) Program eliminasi yang direkomendasikan

WHO salah satunya adalah Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN) memutuskan mata

rantai penularan basil tetanus neonatorum melalui perogram imunisasi FT bagi ibu
hamil, pelayanan antenatal care, dan pertolongan persalinan dengan 3B (bersih

tempat, alat dan penolong) serta perawatan tali pusat yang standar.

Prinsip pemberantasan dan pengendalian strategi eliminasi adalah memutuskan

mata rantai penularan penyakit, yaitu sebagai berikut:

1. Perbaikan sanitasi lingkungan;

2. Hygiene perseorangan;

3. Penanggulangan vektor;

4. Desinfeksi dan sterilisasi;

5. Pembatasan mobilisasi masyarakat.

Pada awal Abad ke-20 WHO mencanangkan Eliminasi Tuberkulosis. Tingginya

insiden Tuberkulosis di Amerika seiring dengan mencuatnya infeksi HIV/AIDS

sebagai dasar pertimbangan WHO menetapkan pencanangan strategi DOTS untuk

mengeliminasi basil tuberkulosis dengan tahapan penemuan kasus baru minimal

70%, kesembuhan atau succes rate minimal 85% dan error rate < 5%. Sekarang,

indikator ini menjadi indikator program MDGs (Millenium Development Goals)

yang menjadi arah pembangunan suatu bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan

rakyatnya.

Konsep strategi eradikasi, reduksi, dan eliminasi ini juga berlaku pada kelompok

penyakit tidak menular sebagaimana yang dikemukan Achmadi di atas. Dengan

sasaran mewujudkan perilaku hidup bersih dan sehat merubah gaya hidup melalui
proses pendidikan kesehatan (health education), dimulai dari individu, keluarga,

kelompok dan masyarakat .

Perubahan perilaku merupakan keberhasilan intervensi kesehatan sekaligus

menjadi agen, pelopor, motivator penggerak mewujudkan keluarga sehat. Keluarga

sehat negara pun kuat, adalah moto Departemen Kesehatan pada abad ke 21. Oleh

karena itu, konsep The New Public Health merupakan salah satu hasil kajian

epidemiologi .

Permasalahan perilaku tidak dapat dimodifikasi ataupun dimanipulasi

sebagaimana permasalahan pada aspek lingkungan (environment). Oleh karena

perilaku merupakan penggerak dan pencetus perubahan dalam rangka memodifikasi

atau pun memanipulasi lingkungan sehingga terwujudlah lingkungan yang sehat,

maka tepatlah konsep di atas diterapkan di belahan dunia ini.

D. STRATEGI PENINGKATAN

a. Faktor Proteksi

Faktor proteksi adalah suatu faktor yang memberikan perlindungan pada tubuh

dari ancaman suatu paparan penyakit. Dalam uji statistik kita akan memperoleh

hubungan faktor dengan efek akibat paparannya. Apabila hubungan antara variabel

independen terhadap variabel dependen diperoleh kekuatan hubungannya kurang dari

! (nilai r < 1), maka berarti faktor tersebut merupakan faktor proteksi. Faktor ini akan

melindungi terhadap paparan yang terjadi pada output (efek) dari paparan yang

terjadi
Dalam beberapa penelitian, temuan adanya faktor lingkungan fasilitas rumah

sakit menjadi faktor proteksi terhadap kejadian sarcoidosis dilakukan di Rumah Sakit

Carolin Selatan tahun 1985-1995 terhadap dua kelompok ras (Caucasian dan African

American) (Kajdasz et al., 1999). Merokok selama kehamilan berpotensi

meningkatkan strabismus.

Selain itu, Tjekyan penelitian di Palembang dengan desain cause control pada

482 kelompok diabetes tipe II dengan kriteria inklusif gula darah sewaktu 2 200 mg

% atau gula darah puasa 2 125 mg% dan kelompok kontrol pada penderita non

diabetes tipe II yang diambil secara acak dengan matching umur sepadan dengan

kasus. Sampel penelitian berasal dari puskesmas dan rumah sakit dalam kotal

Palembang tahun 2006-2007. Tjekyan melaporkan bahwa minum kopi merupakan

faktor proteksi terhadap diabetes tipe II karena kopi dapat menurunkan terkena batu

empedu, kanker kolon dan risiko kerusakan hati serta parkinson .

Contoh lain, pada kasus penyakit jantung koroner (PJK). penelitian di Amerika

Alameda Country Study selama 13 tahun pada kelompok usia 60-94 tahun diperoleh

fakta bahwa orang yang malas berjalan mempunyai risiko mortalitas tinggi terhadap

PJK. Demikian juga pada studi prospektif terhadap 40.000 sampel wanita yang

berusia di atas 45 tahun selama tahun 1992 sampai dengan 1995 dan di follow up

tahun 1999, jalan cepat minimal 1 jam per minggu dapat menurunkan kejadian PJK

sebesar 15%, namun jika jalan cepat lebih dari 1 jam perminggu risiko kejadian PJK

dapat turun sebesar 50%.

b. Observasi Faktor Lingkungan


Prinsip pengamatan langsung faktor lingkungan, bila peran faktor lingkungan

tidak konsekuen atau realibilitas masih diragukan sebagai pencetus atau faktor risiko

terhadap kejadian penyakit menular maupun tidak menular. Secara Ilmiah dapat

dibuktikan, namun pada sisi lain juga tidak dapat dibuktikan secara ilmiah yang

disebut area abu-abu.

Pengendalian faktor lingkungan pada penyakit menular bertujuan memutuskan

mata rantai penularan dengan cara melakukan modifikasi atau manipulasi

lingkungan, sehingga menjadi tatanan yang sehat sesuai dengan indikator kawasan

sehat. Misalnya Kawasan Bebas Asap Rokok, Kawasan Bebas Jentik Nyamuk dan

lain sebagainya. Pada aspek penyakit tidak menular justru kondisi lingkungan perlu

ditingkatkan kualitasnya sehingga mendukung terciptanya perilaku hidup sehat, yang

merupakan faktor enabling perubahan perilaku masyarakat seperti membuat lokasi

pejalan kaki misalnya terdapat di Singapore dan negara. maju lainnya, area sepeda,

lokasi rekreasi dan fitness, tempat senam. massal dan lain sebagainya. Oleh karena

itu penataan lingkungan. menjadi kawasan sehat dan nyaman serta asri menjadi

perioritas. pemerintah dalam menggair kemitraan swasta terutama dalam bidang

properti perumahan di kota maupun di pedesaan.

c. Observasi Faktor Perilaku

Prinsip observasi faktor perilaku, kejelasan dan konsekuensi peran faktor

perilaku tersebut merupakan faktor risiko kejadian suatu penyakit belum jelas.
Mengapa demikian, karena beberapa penelitian mengemukakan bahwa kadangkala

peneliti menemukan adanya hubungan yang signifikan, tetapi peneliti lain tidak dapat

membuktikannya secara ilmiah. Oleh karena itu faktor perilaku seperti ini perlu

diamati (surveilen) atau di follow up secara seksama atau sentinel karena

dikatagorikan pada area abu-abu.

Prinsip pengendalian faktor perilaku pada penyakit tidak menular lebih menekan

pada aspek pendidikan dalam rangka meningkatkan pemahaman, sikap dan

perubahan perilaku menuju perilaku hidup sehat. Sebagai contoh memberikan

pendidikan kesehatan yang sistematis pada kelompok pengajian mengenai olahraga

atau aktivitas fisik yang teratur dapat mencegah penyakit jantung koroner (PJK).

Misalnya, faktor sosial ekonomi, pendidikan, kadangkala merupakan faktor risiko

terjadi penyakit jantung (coronary heart disease) tetapi peneliti lain tidak menemukan

hal yang signifikan bahwa sosial ekonomi dan pendidikan berpengaruh terhadap

kejadian penyakit jantung.

Pada penyakit menular, faktor perilaku perlu ditingkatkan dengan tujuan

memutuskan mata rantai penularan penyakit dengan upaya atau tindakan

memproteksi diri dari penularan dengan cara memberikan pendidikan kesehatan yang

tuntas dan sistematis. Misalnya, memakail masker pada wabah flu burung, mencegah

virus H1N5, menganjurkan memakai kondom untuk mencegah penyakit HIV/AIDS,

memeriksa pap-smear secara teratur untuk mendeteksi Ca Cervix. Pada penelitian di

Amerika melaporkan bahwa merokok dalam ruangan, berpotensi terjadi kanker

laring dengan risiko relatif 0.75 Namun penelitian lain melaporkan bahwa merokok

tidak menyebabkan bayi/balita kena pnemoni bahkan Aditama, 2006 mengemukan


sekitar 43% anak anak usia 2 bulan 11 tahun telah terpapar dengan asap rokok di

rumahnya, berdasarkan laporan analis kimia dari Pusat Kesehatan Lingkungan

Amerika Serikar .Walaupun belum ada jurnal yang melaporkan bahwa merokok

berhubungan dengan kejadian tuberkulosis, namun merokok berpengaruh terhadap

kekebalan tubuh yang dapat mempengaruhi terinfeksi tuberkulosis.

Lain lagi studi kohor hubungan peminum kopi dengan insiden kanker mulut,

faring dan osefagus yang dilakukan di Miyadi Japan (2008) pada 494.935 sampel

dengan rincian 238.731 laki-laki dan 256.204 perempuan sebanyak 157 kasus kanker

mulut, faring atau osefagus (135 laki-laki dan 22 perempuan), dan hanya 48 kasus

kanker mulut atau kanker faring, namun kanker osefagus sekitar 112 kasus ketika

konsumsi kopi lebih dari 1 gelas perhari. Jadi peminum kopi merupakan faktor risiko

terjadi kanker mulut, faring dan osefagus, niscaya sebaliknya konsumsi kopi di

Palembang akan terlindung dari ancaman diabetes melitus tipe II.

Pada aspek pelayanan perilaku petugas kesehatan cenderung merugikan seperti

terjadinya infeksi nosokomial terutama di rumah sakit. Seperti yang dilaporkan

Eviana STambunan, penelitian di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta dalam kurun

waktu 2002 - 2004 dengan desain case control hubungan berat badan lahir bayi dan

infeksi nosokomial di i ruangan perinatologi, dilaporkan terjadi infeksi nosokomial

melalui pemasangan kateter intravaskuler sentral (umbilikalis) secara signifikan di

ruang perawatan intensif. Namun studi yang dilakukan oleh Hwang et al, di ruang

perawatan intensif di Rumah Sakit Pusat Korea, bahwa pemasangan kateter pada

umbilikalis tidak terjadi infeksi nosokomial secara signifikan .


E. STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT

Prinsip kesehatan masyarakat sangat tergantung dari kedua parameter tersebut

dalam menjaga dan memelihara status kesehatan individu, keluarga, kelompok dan

masyarakat. Sementara prinsip pencegahan penyakit menurut konsep epidemiologi

adalah memutuskan interaksi antara host dan agent yang patogen serta environment.

Ketiga variabel ini berinteraksi secara dinamis yang dapat merugikan kesehatan yang

bersifat individual (Farmer and Lawrenson, 2004). Keseimbangan variabel ini

menyebabkan kondisi sehat optimal.

Strategi yang berhubungan dengan agent mencakup mengidentifikasi faktor

risiko yang kemungkinan dapat menghancurkan sumber. Misalnya, menghentikan

penggunaan asbestos dengan memisah material sehingga menurunkan insiden

mesothelioma, mengontrol bovine tuberkulosis pada manusia melalui pasteurisasi

pada susu.

Strategi yang berhubungan dengan environment meliputi standarisasi perumahan,

nutrisi, pekerjaan, penyediaan air bersih, dan jamban serta pengendalian polusi

udara. Ukuran kualitas lingkungan secara spesifik berhubungan dengan penyebab

penyakit secara individual. komunitas, dan masyarakat, agar kualitasnya tetap terjaga

atau terpelihara. Misalnya, untuk memberantas penyakit malaria pada lingkungan

pasca penambangan timah di Kepulauan Bangka diadakan reklamasi dengan tujuan

mengembalikan kualitas lingkungan dari genangan air sebagai perindukan nyamuk

anopheles.
Strategi yang berhubungan dengan host (human) meliputi tiga strategi individual

yaitu: pertama, meningkatkan daya tahan tubuh misalnya perbaikan gizi, imunisasi,

olah raga yang teratur dan lain sebagainya. Kedua, memodifikasi perilaku secara

individual misalnya merubah gaya hidup yaitu menghentikan merokok, konsumsi

alkohol, mengurangi obesitas dengan diit yang terkendali, olah raga yang teratur dan

periodik dan lain sebagainya. Ketiga, menggunakan metode skrining untuk

mendeteksi faktor risiko sebagai predisposisi suatu penyakit, yaitu mendeteksi faktor

risiko dan penyakit secara dini. Sehingga, perlunya dilakukan upaya pencegahan

secara efektif dan efisien. Misalnya tent tuberkulin untuk mendeteksi penyakit

tuberkulosis, memeriksa tekanan darah untuk mendeteksi hipertensi, mammography

test untuk mendeteksi carsinoma mamae, general check up untuk mendeteksi faktor

risiko seperti kadar kolesterol, trigleserid, HDL kolesterol, LDL kolesterol, SGOT

dan SGPT dan lain sebagainya.

Upaya pencegahan sebagai intervensi pada strategi ini meliputi tahapan

perjalanan penyakit (natural of disease) di antaranya pencegahan primer, sekunder

dan tersier. Tujuan pada intervensi tahapan primer adalah menghilangkan agent

secara langsung (necessary cause) atau mengurangi faktor risiko (sufficient cause)

misalnya pengendalian lingkungan, imunisasi, pendidikan kesehatan dan promosi

kesehatan. Intervensi pada tahapan sekunder dengan prinsip mendeteksi penyakit

secara dini, penyembuhan dan mencegah perkembangan penyakit lebih lanjut.

Dengan demikian intervensinya melalui skrining dan diagnosis serta pengobatan

yang tuntas dan tetap. Selain itu, tujuan intervensi pada tahapan tersier adalah

mencegah invaliditas atau kecacatan, dan komplikasi, mempercepat penyembuhan.


Sedangkan upaya intervensi pencegahan meliputi memodifikasi faktor risiko,

misalnya menghentikan merokok. Intervensi lain seperti pelaksanaan efektivitas

rehabilitasi.

F. STRATEGI PROMOSI KESEHATAN DAN PENDIDIKAN KESEHATAN

Makna promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan kadangkala

membingungkan, namun kedua strategi itu bertujuan meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat. Promosi kesehatan (health promotion). fokus kegiatan dengan

mengembangkan pelayanan kesehatan masyarakat melalui upaya pendidikan,

pencegahan pelayanan kesehatan. peningkatan status sosial, fisik dan ekonomi.

Sedangkan pendidikan kesehatan (health education), fokus pelayanan bersifat

individual yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tetapi tidak

mengembangkan advokasi sebagaimana diperlukan promosi kesehatan.

Menurut (Farmer and Lawrenson, 2004) Lalonder's Kanada, 1974 berinisiatif

melahirkan konsep baru kesehatan masyarakat yaitu menerapkan promosi kesehatan

yang terpadu dengan mengintegrasikan strategi pemerintah untuk meningkatkan

kesehatan masyarakat. Lalonder's mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi

kesehatan masyarakat yang menyebutkan empat komponen penting yaitu faktor

genetik dan biologi (genetic and biological factors), perilaku dan sikap (the so called

lifestyle factors), faktor lingkungan seperti ekonomi, sosial, (environmental factors)

dan sistem pelayanan kesehatan (the organization of health care systems).


Selain itu, promosi kesehatan lebih terfokus menjamin keseimbangan kesehatan

dengan mengurangi perbedaan status kesehatan yang sempurna. Menurut Kongres

Ottawa, 1986 promosi kesehatan itu meliputi lima bagian yaitu :

- Membangun Kebijakan Kesehatan Masyarakat (Buitlding Health Public Policy)

Menjamin pemerintah mendukung kebijakan kesehatan masya rakat dalam agenda

perencanaan nasional dan menjadikan indikator dasar kebijakan dalam pengambilan

keputusan. Misalnya, pembangunan fisik yang dilaksanakan berorientasi pada

kawasan lingkungan sehat. Pada sektor pendidikan dalam penyelenggaraan. proses

belajar-mengajar berorientasi pada kesehatan seperti di setiap ruangan ada tempat

cuci tangan dengan sabun. Pada tempat tempat umum di sediakan raungan Ibu

menyusui, di alokasikan area jalan kaki pada sarana transportasi dan lain sebagainya.

- Mendukung Kawasan Lingkungan Sehat (Creating Supportive Environments)

Menciptakan lingkungan pekerjaan atau perumahan yang sehat seperti kesehatan,

keamanan, kenyamanan dengan memberikan stimulasi rumah sehat. Pemerintah

bertanggung jawab memperbaiki kualitas lingkungan sebagai dampak dari

pembangunan misalnya pertambangan dan konservasi agar terjamin keaslian sumber

alam secara natural.

- Penguatan Kegiatan berbasis Masyarakat (Strengthening CommunityTindakan)

Mendesain kegiatan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat sebagai

prioritas utama keterlibatan masyarakat dalam penyusunan perencanaan strategis,

pelaksanaan untuk menolong dirinya sendiri atau bersama-sama secara mandiri untuk

meningkatkan derajat kesehatan yang lebih baik.


- Mengembangkan Kemampuan Skill Masyarakat (Development Personal Skills)

Mendukung jejaring sosial dalam pengembangan diri melalui penyebar-luasan

informasi, pendidikan, pelatihan dan pengembangan ketrampilan individual. Seperti

membentuk kelompok jejaring sosial (Forum Desa Siaga), mengadakan pelatihan,

seminar, simposium dan lain sebagainya untuk meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat seoptimal mungkin.

- Berorientasi Pelayanan Kesehatan (reorientating the health services) Mendukung

pelayanan kesehatan yang lebih baik seperti pengendalian mutu klinik, standar

pelayanan pengobatan dan pelayanan kesehatan bertujuan menjamin tetap sehat dari

pada berfokus pada penyembuhan dari sakit.


BAB 3

KESIMPULAN

Prinsip penerapan konsep epidemilogi dalam ilmu kesehatan masyarakat, meliputi upaya

investigasi penyebab dan riwayat alamiah penyakit dengan tujuan pencegahan penyakit dan

peningkatan. kesehatan masyarakat seoptimal mungkin. Sementara prinsip pencegahan penyakit

menurut konsep epidemiologi adalah memutuskan interaksi antara host dan agent yang patogen

serta environment. Ketiga variabel ini berinteraksi secara dinamis yang dapat merugikan

kesehatan yang bersifat individual). Keseimbangan variabel ini menyebabkan kondisi sehat

optimal. Upaya pencegahan sebagai intervensi pada strategi ini meliputi tahapan perjalanan

penyakit (natural of disease) di antaranya pencegahan primer, sekunder dan tersier. Selain itu,

promosi kesehatan lebih terfokus menjamin keseimbangan kesehatan dengan mengurangi

perbedaan status kesehatan yang sempurna.


DAFTAR PUSTAKA

Hadisaputro Soeharyo, Agus Suwandono, Muhamad Nizar, 2011 Epidemiologi manajerial :


teori dan aplikasi Semarang : Universitas Diponegoro,

Anda mungkin juga menyukai