Anda di halaman 1dari 24

GHARAR

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Fiqih Muamalah dan
Jinayah.
Dosen Pengampu:
Dr. Hariman Surya Siregar, M. Ag.
Koko Khoerudin, M. Pd. I.

Disusun oleh: Kelompok IV/PAI/III/B


Az-Zahra Khoirotun Nisa (1212020048)
Dede Hidayatullah (1212020057)
Dela Sentia (1212020060)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2022

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
tercurah limpahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai tugas dari mata kuliah FIQIH MUAMALAH DAN JINAYAH dengan judul
“GHARAR”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bandung, 8 Oktober 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
A. Latar Belakang......................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................4
C. Tujuan Pembelajaran...........................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................................6
A. Pengertian Gharar.................................................................................................................6
B. Macam-macam Gharar.........................................................................................................7
C. Hukum Gharar......................................................................................................................9
D. Hikmah Gharar...................................................................................................................14
E. Bentuk-bentuk Gharar........................................................................................................14
1. Bentuk Gharar dalam praktek ekonomi..........................................................................17
2. Bentuk Gharar dalam praktek keuangan.........................................................................18
BAB III.........................................................................................................................................21
PENUTUP....................................................................................................................................21
A. Simpulan.............................................................................................................................21
B. Saran...................................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam melarang semua bentuk transaksi yang mengandung unsur kejahatan dan
penipuan. Di mana hak-hak semua pihak yang terlibat dalam sebuah perilaku ekonomi
yang tidak dijelaskan secara seksama (terbuka/jelas), akan mengakibatkan sebagian dari
pihak yang yang terlibat menarik keuntungan, akan tetapi dengan merugikan pihak yang
lain.
Apapun bentuknya, segala aktivitas dalam bidang ekonomi yang tidak dihalalkan
dalam Islam adalah suatu perilaku ekonomi yang mengandung unsur yang tidak halal,
atau melanggar dan merampas hak kekayaan orang lain.
Al-Qur’an difokuskan untuk mengeleminasi semua bentuk kejahatan dan penipuan
dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya. Dalam ekonomi islam itu sendiri
mempunyai norma-norma perilaku ekonomi yg di larang dan yg diperbolehkan. Adapun
Norma Prilaku Ekonomi Yang Dilarang Dalam Islam yaitu sebagai berikut,
1. Hakikat pelarangan
2. Tidak bermewah-mewah
3. Kriteria transaksi yang dilarang
4. Maysir (judi & spekulasi), dan
5. Gharar
Perkembangan bisnis kontemporer demikian pesat, yang menjadi tujuan adalah
mendapatkan keuntungan materi semata. Parameter agama dikesampingkan, yang
menjadi ukuran adalah mendulang materi sebanyak-banyaknya. Ini merupakan ciri khas
peradaban kapitalis ribawi yang memuja materi. Tidak mengherankan bila dalam praktek
bisnis dalam bingkai ideologi kapitalis serba bebas nilai. Spekulasi, riba, manipulasi
supply and demand serta berbagai kegiatan yang dilarang dalam Islam menjadi hal yang
wajar.
Salah satu praktek yang dilarang dalam Islam, tetapi lazim dilakukan di bisnis
kotemporer ribawi adalah praktek gharar (uncertianty).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemahaman pengertian gharar?
2. Apa saja macam-maca gharar?
3. Bagaimana hukum gharar?
4. Apa hikmah gharar?
5. Bagaimana bentuk gharar dalam praktek ekonomi dan keuangan?
4
C. Tujuan Pembelajaran
1. Memahami pengertian gharar
2. Mengetahui macam-macam gharar
3. Memahami hokum gharar
4. Mengetahui hikmah gharar
5. Mengetahui bentuk gharar dalam praktek ekonomi dan keuangan

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gharar
Secara etimologis, gharar berasal dari kata ‫غر ّ يغر ّ غ ّر ا وغرورا‬, dan orang yang ikut
serta dan menjadi obyek (karena merasa rugi) dalam praktek gharar disebut ‫ر و غري ٌر‬Oٌ ‫ مغرو‬,
atau pihak yang merasa tertipu dan mengkonsumsi barang haram 1. Atau jatuh ke dalam apa
yang dia yakini benar dan apa yang salah. Turunan lainnya adalah ghurur, yang berarti
seseorang yang menipu Anda, baik dari kelompok manusia atau dari setan. Allah Swt
berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Fatir ayat 5:

‫ر‬Oُ ْ‫م بِاهّٰلل ِ ْال َغرُو‬Oْ ‫ق فَاَل تَ ُغ َّرنَّ ُك ُم ْال َح ٰيوةُ ال ُّد ْنيَ ۗا َواَل يَ ُغ َّرنَّ ُك‬
ٌّ ‫ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ اِ َّن َو ْع َد هّٰللا ِ َح‬
Artinya: “...Wahai manusia! Sungguh, janji Allah itu benar, maka janganlah kehidupan
dunia memperdayakan kamu dan janganlah (setan) yang pandai menipu, memperdayakan
kamu tentang Allah.” Ayat ini menjelaskan bahwa setan yang menjadi pelakunya akan
memikat dan memberdayakan manusia ke dalam perangkapnya. Artinya
menghancurkan/membahayakan diri sendiri tanpa ada yang mengetahui peluangnya.
Namanya adalah gharar2. Gharar artinya bahaya dan taghrir artinya memasukkan diri ke
dalam gharar3. Secara istilah fiqh, gharar adalah masalah ketidaktahuan terhadap akibat suatu
perkara, kejadian/ peristiwa dalam transaksi perdagangan atau jual beli, atau ketidakjelasan
antara yang baik dengan yang buruk.
Menurut madzhab Syafi'i, gharar adalah segala sesuatu yang hasilnya tersembunyi dan
yang mungkin dapat menimbulkan hal yang tidak diinginkan/mengerikan 4. Kemudian
menurut Kamari, ada empat syarat yang dapat menimbulkan akibat hukum. Pertama,
ghararnya sangat tinggi atau berbahaya. Kedua, terjadi dalam kontrak atau transaksi
komersial, bukan dalam kontrak tabbaru (kontrak sosial). Ketiga, ketidakjelasan terjadi pada
objek primer, bukan objek tambahan, seperti menjual anak sapi yang masih dalam
kandungan. Keempat, Obyek barang tersebut bukanlah barang yang sangat dibutuhkan5.
Gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas apakah efek akad terlaksana
atau tidak, hal tersebut dikemukakan oleh imam Al-Qarafi. Hal yang sama dikatakan oleh
Imam as-Sarakhsi dan Ibnu Taimiyah, yang memandang gharar sebagai ketidakpastian akibat
1
Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab, (Bairut: Dar Al-Sadir, T.T. Juz. 5) 11
2
Atabik Ali Dan Ahmad Zuhdi Muhdloi, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak, Cet. 3,
1998), 1347.
3
Ibnu Manzur, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Sadr, Jil. 5, Cet. 3, 1993), 11, Dan Ibrahim Mustafa, Mu’jam Al-Wasit (Istanbul:
Dar Al-Da’wah, Jil. 2, Tt), 648. Lihat Juga Al-Fairuz Abadi, Alqamus Al-Muhit, Http://Www.Alwarraq.Com, Al-Maktabah Al-
Syamilah, Juz. 1, Tt, H. 474.
4
Nadratuzzaman Hosen, Analisis Bentuk Gharar Dalam Transaksi Ekonomi, Al-Iqtishad: Vol. I, No. 1, Januari 2009
5
Agus Triyanta, Gharar; Konsep Dan Penghindarannya Pada Regulasi Terkait Screening Criteria Di Jakarta Islamic Index

6
yang timbul dari suatu akad. Sedangkan Ibnu Hazm melihat gharar tentang fakta bahwa salah
satu penandatangan tidak mengetahui materi akad.
B. Macam-macam Gharar
Dalam kitab al-Furuq,6 gharar dapat diklasifikasi menjadi tiga, yakni :
1. Gharar katsir (gharar yang berlebihan); yaitu, tipe bayangan tingkat yang lebih tinggi
memiliki tingkat ambiguitas yang agak tinggi. Misalnya transaksi jual beli ikan yang
masih di kolam karena tidak mungkin dilihat dan diketahui kualitas dan kuantitasnya,
sehingga sangat mungkin terjadi kesalahan dalam menebak. Jenis transaksi ini jelas
dilarang dan ilegal. Sebagai contoh; menjual bayi hewan dalam kandungan tanpa
langsung menjual induknya, menjual barang yang tidak diketahui jenisnya, membayar
pungutan tetapi tidak menentukan waktu, dan jenis lainnya.
2. Gharar qalil (gharar yang sedikit); yaitu jenis ketidakjelasan di mana kadar
ketidakjelasannya hanya sedikit sehingga kemungkinannya dapat ditoleransi dan diterima
oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam satu transaksi, seperti jual-beli batu baterai
yang tingkat kekuatan pakainya tidak dapat ditentukan dengan pasti sampai berapa lama
ketahanannya, jual rumah meski pembeli tidak melihat langsung pondasinya, sewa rumah
sebulan padahal terkadang 28, 29, 30 dan 31 hari dalam sebulan, dan semisalnya. Jenis
transaksi yang mengandung sedikit gharar (gharar kecil) atau dikenal dengan gharar
ringan (gharar yang diabaikan) diperbolehkan oleh para ulama.
3. Gharar mutawassit (pertengahan); yaitu jenis ketidakjelasan antara dua jenis gharar
tersebut di atas, yang dapat digolongkan ke dalam tingkatan qalil atau katsir tergantung
pada kasus tertentu. Misalnya; disembunyikan di dalam tanah, dijual dalam jumlah besar,
diserahkan setelah pembeli membayar harganya, diperjualbelikan tanpa menunjukkan
barang yang sebenarnya, dll.
Berbagai macam bentuk jual beli gharar: 7
1. Gharar dilihat dari segi akad dan efeknya. Seperti, jual beli al-Hasha 8, jual beli al-
Mulamasah9 dan jual beli al-Munabadzah10.
2. Gharar dilihat dari segi harga dan kuantitasnya. Seperti, jual beli dua jenis barang
yang saling berbeda (tidak ditentukan), dan penjualan tanpa harga yang ditentukan.

6
(Ibnu Rajab, Al-Furuq, 3/265)
7
Abu Al-Walid Sulaiman Bin Khalaf Al-Baji, Al-Muntaqa Sharh Muwatta’, Jeddah: Maktabah Al-Andalusi, Jil. 5, Tt., H. 41.
8
Jual beli lempar batu (bai al hasa), yaitu seseorang melempar batu pada sejumlah barang dan barang yang terkena
batu tersebut wajib untuk dibelinya.
9
Mulamasah adalah proses jual belinya dua orang dengan objek barang terdiri dari dua baju (ada di tangan masing-
masing pihak yang beraqad = masing-masing pihak membawa baju satu dan dipertukarkan) yang dilangsungkan saat
malam hari (kondisi gelap), dan tiap-tiap dari kedua orang ini diperkenankan menyentuh baju yang dibawa
rekanannya. Sumber: https://islam.nu.or.id/ekonomi-syariah/larangan-jual-beli-munabadzah-dan-alasannya-HGem5
10
Dua orang yang saling melemparkan baju miliknya sehingga akad jual beli keduanya tanpa disertai melihat dan
saling ridha.” (Fathu al-Bari, Juz 4 halaman 420).

7
3. Gharar atas ketidaktahuan tentang sifat-sifat barang. Contoh: jual beli susu yang tidak
diperah dan berdagang di al-Madamin dan al-Malaqih11.
4. Gharar dalam kondisi tidak dapat diserahkan. Seperti jual beli ikan di kolam.
5. Bisa juga gharar dalam hal jangka waktu pengembalian. Seperti jual beli dimana
pengembaliannya ditangguhkan sampai menganggur atau sampai pembeli meninggal,
dll.
Jenis-Jenis Gharar Dalam Islam Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa
memperdagangkan unsur gharar sama dengan melakukan transaksi yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Anda harus mengantisipasinya dengan mengetahui
jenis-jenis gharar berikut ini:
1. Jual Beli Benda yang Tidak Diserahterimakan
Dengan cara ini, unsur gharar berada pada keberadaan objek transaksi. Sekalipun
kedua belah pihak mengetahui bentuk barang yang akan diserahkan, pada saat
mengadakan akad penjual tidak membawa barang tersebut.
Apalagi penjual juga tidak tahu kapan transaksi bisa diserahkan ke pembeli.
Contoh gharar jenis ini adalah penjualan sepeda motor yang tidak dikuasai oleh
pemiliknya karena telah dicuri.

2. Jual Beli Benda yang Belum Ada


Contoh jual beli gharar adalah ketika barang yang dijual belum tersedia.
Misalnya, membeli anak sapi dalam perut tanpa terlalu menginginkan induknya.
Contoh lain adalah penjualan burung liar, ketika tidak jelas apakah penjual akan
menangkapnya. Oleh karena itu, terdapat ketidakpastian tentang kemampuan penjual
untuk menyerahkan pokok transaksi. Akan tetapi, jika sudah pasti komoditi itu akan
diperoleh, misalnya dengan memperdagangkan ikan di kolam-kolam perorangan dan
langsung menangkapnya, maka ghararnya tidak diperhitungkan.
3. Jual Beli Benda yang Tidak Jelas Harganya
Pada tipe ini unsur ghararnya adalah harga nominal objek transaksi. Misalnya,
hari ini sepasang sepatu Y dijual seharga Rp1,5 juta jika dibayar lunas. Tapi kalau
beli besok harganya naik jadi Rp 1,7 juta/pasang. Lain halnya jika Anda membayar
dengan sistem cicilan, total nilai nominalnya adalah Rp 1,9 juta. Oleh karena itu,
harga pasti dari sepasang sepatu ini tidak jelas karena semuanya tergantung pada
metode pembayaran dan saat transaksi dilakukan.
4. Jual Beli Benda yang Sifatnya Tidak Jelas

11
Abu Ubaid berkata, "Al Malaqih adalah apa yang ada dalam perut, yakni janin atau jual beli hewan yang masih
dalam kandungan induknya, sedangkan Al Madhamin adalah jual beli benih pejantan(sperma) yang ada pada hewan
pejantan

8
Jenis lain dari gharar adalah transaksi tanpa kejelasan tentang sifat objek. Salah
satu contoh yang mungkin Anda temukan adalah menjual mangga yang masih di
pohon dengan alasan buahnya rasanya manis. Bahkan, penjual tidak memilih dan
mencicipinya.12
C. Hukum Gharar
Imam Nawawi dalam penjelasannya dalam kumpulan hadis shahih Muslim, menyebutkan
bahwa jual beli gharar adalah pokok dan dasar dalam kitab jual beli. Ada beberapa hadis
yang terkait, salah satunya adalah13 :

‫صاة وبَيع ال َغ َرار‬


َ ‫نهى النب ّي صلى هللا عليه وسلم عَن بَيع ال َح‬
Artinya, “Nabi Saw melarang jual beli hasat14 dan jual beli gharar”.
Efek negatif yang ditimbulkan oleh jual beli gharar amat luas, sebagaimana pendapat
Khalid bin Abdul ‘Aziz al-Batili15. Imam Nawawi memiliki pandangan yang sama, dimulai
dengan hadits yang melarang jual beli gharar, yang mencakup berbagai masalah muamalah
yang tampaknya tidak terbatas. Misalnya, jual beli barang cacat, atau barang tidak ada yang
bentuk dan lokasinya tidak diketahui, barang tidak terkirim, atau jual barang yang tidak
terpelihara dengan sempurna. Misalnya jual beli ikan di kolam yang banyak airnya, jual beli
susu dari hewan yang tidak diikat, jual beli janin hewan yang masih dalam kandungan, jual
beli beberapa barang yang masih menumpuk, jual beli. pakaian dan sejenisnya. Semua jual
beli ini tidak wajar, karena kebutuhan jual beli tidak jelas.
Demikian pula transaksi barang yang masih dalam masa sewa, barang yang tidak
memiliki benda fisik, tidak diketahui bentuknya, barang yang tidak dapat diserahterimakan,
barang yang tidak sepenuhnya dimiliki oleh penjual, dan lain-lain…”16 Imam Nawawi
mengutip ulama lainnya. yang mengatakan bahwa batalnya sebagian jual beli disebabkan
oleh gharar, sedangkan sebagian kandungan lainnya diperbolehkan jika kandungan
ghararnya sedikit, atau merupakan bagian yang tidak terlihat tetapi tidak terpisahkan dari
objek barang..”17
Penjelasan Imam Nawawi di atas menunjukkan bahwa latihan spiritual merupakan bagian
penting untuk mencapai keadilan dalam kehidupan bisnis. Betapa banyak bentuk dan jenis
jual beli yang marak di dunia bisnis, namun tidak semuanya dapat dipastikan sesuai dengan
12
Https://Www.Ocbcnisp.Com/Id/Article/2021/11/11/Gharar-Adalah
13
Abu Zakariyah Yahya Bin Syarif Bin Mari Al-Nawawi, Al-Minhaj Sharh Sahih Muslim Bin Al-Hajjaj (Sharh Al-Nawawi ‘Ala
Sahih Muslim), (Beirut: Dar Ihyai Al-Turath Al-‘Arabi, Juz. 10, Cet. 2, 1972), H. 156
14
Jual Beli Hasat Adalah Kebiasaan Masyarakat Arab Jahiliyah Yang Mensanda Rkan Keputusan Memilih Barang, Baik Dari
Sisi Besar, Luas Atau Banyaknya Barang Tersebut, Disesuaikan Dengan Hasil Lemparan, Atau Tempat Jatuhnya Batu. Macam-
Macamnya (I) Pembeli Berkata Kepada Si Penjual: Jika Aku Lempar Batu Ini Berarti Jual Beli Jadi. (Ii) Penjual Berkata Kepada
Si Pembeli: Jual Beli Berlaku Atas Barang Yang Jatuh Padanya Lemparan Batumu. (Iii) Pembeli Atau Penjual Berkata: Ukuran
Tanah Yang Berlaku Dalam Jual Beli Ini Berlaku Sejauh Lemparan Batumu.
15
Khalid Bin Abdul ‘Aziz Al-Batili, Ahadits Al-Buyu’ Al-Manhiyu ‘Anha
16
Sharh Sahih Muslim, 10/156-157
17
Sharh Imam Nawawi ‘Ala Sahih Muslim, Jus. 5, H. 296.

9
syariat. Dan larangan transaksi tersebut umumnya menunjukkan masuknya gharar. Pada
tahap menentukan boleh atau tidaknya, para ulama umumnya sepakat bahwa akad yang
diharamkan memiliki banyak unsur gharar (fahish). Pada saat yang sama, standar gharar
sedikit (yasir) dan tidak dapat disaksikan, transaksi itu sendiri diperbolehkan bahkan jika itu
merupakan bagian integral dari subjek barang.18 Misalnya, jual beli bangunan dengan
pondasi konstruksi yang tidak terlihat.
Namun, lanjut Nawawi, sesuatu yang sifatnya tidak diketahui terkadang diperbolehkan
pada saat dibutuhkan. Misalnya jual beli rumah dengan kualitas pondasi dan rangka besi
yang sulit diketahui atau dilihat langsung tertutup bahan bangunan lain, jual beli hewan
bunting dan penghasil susu. Jadi, pondasi, besi, dan susu pada contoh di atas semuanya
diperbolehkan, karena bukan objek utama transaksi. Tapi dia hanya bertindak sebagai
pengikut dari objek yang diperdagangkan.19 Dan ada permintaan tertentu untuk makanan
pokok.
Pada saat yang sama, apa yang terjadi selanjutnya hampir tidak terlihat. Serupa dengan
pendapat ulama lainnya, alasan batalnya transaksi di atas adalah karena gharar. Di sisi lain,
jika kekaburan sulit dicapai tetapi mendesak, itu adalah semacam gharar kecil. Ada kategori
lain yang diperdebatkan oleh para ulama, seperti penjualan barang yang tidak tersedia pada
saat transaksi, seperti penjualan hewan yang digembalakan di padang rumput. Sebagian
ulama menganggapnya gharar kecil dan menyamakannya dengan jual beli tanpa barang
dagangan, sehingga diperbolehkan. Sementara sebagian ulama lainnya menganggap ini
bukan transaksi gharar yang kecil, sehingga membatalkan perdagangan.
Dari tafsir ini dapat dipahami bahwa para ulama sepakat tentang sahnya transaksi yang
mengandung gharar dalam jumlah kecil. Di antara mereka, para ulama telah sepakat bahwa
jual beli gharar adalah haram jika isi ghararnya sah, sehingga transaksi itu sendiri lebih
dikenal dengan jual beli gharar. Dalam transaksi yang memiliki arti transaksi murni atau
transaksi yang mengandung gharar, akan ada perbedaan antara keduanya. Orang yang paling
berpengaruh adalah orang yang disebut orang paling berwibawa. 20 Sementara itu, transaksi
dengan unsur praktik gharar yang kurang dalam transaksi bisnis cukup penting dan
mendesak untuk diangkat dan dibahas. Meminimalisir gharar, disepakati para ulama karena
legitimasinya sesuai dengan kebiasaan penerapannya di masyarakat (`urf).21
Pandangan beberapa ulama telah memperkuat argumentasi di atas. Di antaranya, Abu
Abbas al-Qurtubi : “Setiap bentuk jual beli pasti mengandung gharar. Tapi jika porsi
18
Abu Zakariyah Muhyiddin Ibn Sharaf Al-Nawawi, Al-Majmu’ Sharh Al-Muhadhab, (Matba’ah Al-Tadamun Al-Akhwa, Juz 6,
676h), H. 288.
19
Hal Ini Sejalan Dengan Salah Satu Qaidah Fikih Yang Mengatakan ‫( يغتفر في التوابع ماال يغتفر في غيرها‬Dapat Dimaafkan Pada Hal
Yang Mengikuti, Tapi Tidak Pada Yang Lainnya)
20
Abu Zakariyah Yahya Bin Syarif Bin Mari Al-Nawawi, Al-Minhaj Sharh Sahih Muslim Bin Al-Hajjaj (Sharh Al-Nawawi ‘Ala
Sahih Muslim), .... H. 157. Lihat Pula Abu Al-Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Rushdi Al-Qurtubi, Al-Muqaddimat Al-
Mumahadat Libayan Ma Iqtadathu Rusum Al-Muadawwanah Min Al-Ahkami Al-Syar’iyat Wa Al-Tahsyilat Al-Muhakkamat
Liummahati Masailuha Al-Mushkilat, Beirut: Dar Al-Maghrib Al-Islami, Jil. 2, Cet. 1, 1408h. H. 71.
21
Khalid Bin Abdul ‘Aziz Al-Batili, Ahadits Al-Buyu’... 54

10
ghararnya sedikit dan tidak dimaksudkan dalam transaksi tersebut, maka syariah
mengabaikannya / membolehkannya.”22
“Terkadang faktor gharar dalam transaksi diabaikan jika melibatkan bunga. Seperti tidak
mengetahui pondasi rumah gaib, atau jual beli kambing perah karena sedang bunting,” jelas
Imam Nawawi. Di atas rumah, kondisi pondasi diperbolehkan karena diperlukan dan tidak
terlihat dengan mata telanjang. Demikian pula susu kambing yang dijual di pasar. Sekali
lagi, faktor-faktor tersebut tidak penting atau kurang penting. Misalnya dalam transaksi sewa
rumah dan mobil selama satu bulan penuh. Bahkan, satu bulan bisa memiliki tiga atau dua
puluh sembilan hari. Termasuk hari ini, tarif yang sama dikenakan pada jarak yang berbeda
dan tidak terlalu jauh. Lebih lanjut Imam Nawawi berpendapat bahwa sahnya suatu transaksi
karena gharar tergantung pada faktor seberapa besar pengaruh gharar dalam transaksi
tersebut. Jika ada mashalat dan hanya bisa mengabaikan item gharar untuk menjalankannya,
dan jumlah gharar sedikit, maka transaksi diperbolehkan. Jika gharar menjadi bagian penting
dan menjadi sasaran, maka transaksi tersebut tidak sah.
Ibn al-Qayyim dan Ibn Taimiyah sama-sama setuju bahwa “Tidak semua gharar
menyebabkan sesuatu yang diharamkan. Gharar kecil atau sesuatu yang tak terhindarkan
tidak mengurangi keabsahan transaksi. Selanjutnya, meskipun gharar berlimpah, masih
diperbolehkan jika ada kebutuhan mendesak dan harus dilalui yang tidak dapat dihindari.23
Oleh karena itu, dengan memahami beberapa penjelasan para ulama di atas, akan
dimungkinkan untuk menjawab beberapa permasalahan dan permasalahan yang ada dalam
transaksi muamalah. Imam Nawawi menunjukkan bahwa perbedaan dan argumen nyata
muncul dalam ukuran gharar yang terkandung.24 Demikian pula argumentasi Ibnu Rusydi al-
Jad; “Sesungguhnya, perbedaan yang terjadi dikalangan ulama terkait dengan tidak sahnya
akad dalam transaksi muamalah adalah besarnya pengaruh gharar yang dikandung. Gharar
yang dimaksud apakah menjadi bagian yang dominan sehingga masuk dalam kategori
larangan dalam hadis Nabi Saw tentang pelarangan transaksi akibat gharar. Ataukah gharar
yang dikandung, masuk kategori sedikit sehingga tidak mempengaruhi sah tidaknya suatu
akad transaksi.25
Sebagai kesimpulan, bahwa yang dilarang adalah persentasi kandungan ghararnya
dominan. Gharar yang dimaksud terkait langsung dengan transaksi pokok, dan bukan
sebagai pengikut. Keberadaan dan berjalannya transaksi yang mengandung gharar tidak
dalam keadaan dharurat untuk dilaksanakan.

22
Ibnu Jazyi Al-Garnati Al-Maliki, Qawanin Al-Ahkam Al-Sar’iyah, Tahqiq: Abdul Rahman Hasan Mahmud, Cairo: Maktabah
‘Alam Al-Fikr, Cet. 1, 1986., H. 259. Lihat Pula Shihabuddin Alqarafi, Al-Furuq, Beirut: Dar Al-Ma’rifah, Jil. 3, Tt, H. 265.
23
Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, Zad Al-Ma’ad Fi Hadyi Khair Al-‘Ibad, Muhaqqiq: Shuaib Alarnaut. Beirut: Muassasah Al-
Risalah, Jil. 5, Cet. 14, 1407. 820. Lihat Pula Abu Al-Farji Abdurrahman Bin Rajab Al-Hanbali, Al-Qawa’id Al-Nuraniyah,
Beirut: Dar Al-Ma’rifah, Tt., H. 83
24
Sahih Muslim Bi Sharh Al-Nawawi, Jil. 10,... 157.
25
Abu Al-Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Rashad Al-Qurtubi, Al-Muqaddimat Almumahadat, Penerbit Al-Sa’adah Jil. 2,
1325., H. 73.

11
Maka sangat bisa dipahami dan tidak diragukan lagi bahwa adanya larangan dalam
transaksi yang mengandung gharar mengandung hikmah yang sangat besar. Hikmah itu
sendiri adalah dalam rangka menghindari permusuhan, perselisihan dan pergesekan di antara
pelaku ekonomi. Akad-akad transaksi yang terjadi akan berjalan secara jelas dan transaparan
tanpa perlu khawatir ada yang dicurangi dan ditipu dalam komitmen bisnis mereka.
Dalam jual beli gharar, secara implisit akan melahirkan kezaliman, pertikaian dan
permusuhan. Konsekuensinya adalah memakan harta orang lain secara batil. Firman Allah
Swt; QS. Al-Nisa (4): 29.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu 26; Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.” Demikian pula pada ayat QS. Al-Baqarah (2): 188, yang
artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.
Ibnu ‘Arabi berkata bahwa makna batil dalam ayat tersebut berarti tidak dibenarkan oleh
syara’ dan tidak membawa manfaat. Agama melarangnya dan tidak membenarkannya.
Mengharamkan transaksi yang mengandung gharar, riba dan semacamnya.
Sebagaimana hukum gharar yang diungkap di atas, adalah dilarang bila peresentasi
ghararnya banyak, sebaliknya bila sedikit maka diperbolehkan. Hadis larangan gharar, sabda
Rasulullah Saw.27 ‫رر‬OO‫ع الغ‬OO‫ نى عن بي‬:‫لم‬OO‫ه وس‬OO‫لى هللا علي‬OO‫ول هللا ص‬OO‫أن رس‬. Artinya: “Rasulullah Saw
melarang jual beli Gharar”.
Menurut Imam Nawawi bahwa hadis ini merupakan pokok bahasan pada bab jual beli
dan mencakup banyak permasahalan yang sangat luas. Hadis ini juga menjadi dasar
dillarangnya gharar dalam berbagai akad transaksi.
Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi
bila transaksi tersebut dijalankan. Islam sejak awal melarang trasaksi demikian karena
berpotensi mendzalimi salah satu pihak. Oleh sebab itu, misalnya dalam transaksi jual beli,
Islam telah menetapkan beberapa syarat sah, yang tanpa salah satu syarat itu akan dapat
membatalkan atau tidak sahnya jual beli. Diantaranya ditegaskan oleh Imam Nawawi28 :
1. Timbangan harus jelas, baik berat maupun jenis barang yang ditimbang.
26
Larangan Membunuh Diri Sendiri Mencakup Juga Larangan Membunuh Orang Lain, Sebab Membunuh Orang Lain Berarti
Membunuh Diri Sendiri, Karena Umat Merupakan Suatu Kesatuan.
27
Hr. Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abbas, Abu Sa’id Dan Anas Dengan Perbedaan Dari Sisi Pelafadzan. Riwayat Ini
Terdapat Dala Kitab Syarh Shahih Muslim Oleh Imam Nawawi 3/152, Sunan Ibnu Majah 2/10, Sunan Abu Dawud 3/346,
Tirmidzi 3/532, Syarh Al-Suyuti Pada Sunan Al-Nasai 8/262.
28
Al-Imam Al-Nawawi, Sharh Al-Muhadzdzab, Beirut: Dar Ihya Al-Turats Al-‘Arabi, Jil. 9,
Tt. H.210.

12
2. Barang dan harga yang dijelas pula. Tidak diperbolehkan harga yang tidak diketahui
jelas oleh pihak-pihak yang bertransaksi.
3. Memiliki waktu tangguh yang dimaklumi.
4. Kedua belah pihak sama-sama ridha terhadap bisnis yang dijalankan.
Melihat hadis larangan praktek gharar di atas, jelas bahwa dimana ada gharar, maka dapat
merusak akad. Larangan gharar dalam Islam memiliki peran untuk menjamin keadilan. Ini
bisa dilihat pada contoh-contoh klasik yang disebutkan ulama-ulama terdahulu. Misalnya,
jual beli burung yang lagi terbang di udara. Meskipun secara fisik sehat dan ukurannya
mungkin bisa diperkirankan. Demikian pula dengan jumlahnya. Tapi tidak ada jaminan
apakah bisa diserahterimakan atau tidak. Seperti jual beli burung yang sedang tidak dalam
penguasaan penjual, dapat mencederai kesempurnaan jual beli tersebut. Dalam kondisi
seperti itu, pasti akan ada pihak yang dirugikan. Sedangkan, pihak lain untung.
Terdapat tiga hukum terkait dengan hadis di atas, sebagaimana dijelaskan oleh para
ulama:
1. Haramnya jual beli yang mengandung gharar. Hal tersebut dipahami dari bunyi hadis
yang melarang, sebagaimana dijelaskan dan pendapat yang masyhur dari ulama ushul.29
2. Rusaknya akad jual beli gharar. Yaitu tidak ada kebaikan padanya menurut mayoritas
ulama.30
3. Mengandung keduanya, yaitu akad haram dan rusak pada setiap akad yang mengandung
gharar.31
Meskipun gharar adalah hal yang dilarang dalam ekonomi syariah, namun pada situasi
tertentu, Islam tetap memperbolehkannya. Agar lebih jelas, berikut telah kami uraikan secara
singkat mengenai hal ini.
1. Adanya Hajat
Adanya hajat pada gharar artinya terdapat kebutuhan untuk melakukan transaksi yang
mengandung ketidakjelasan karena suatu hal sangat penting. Contohnya adalah iuran
jaminan kesehatan. Meskipun belum pasti pembayar iuran akan sakit, namun hajat ini
merupakan kebutuhan penting di kemudian hari.

2. Gharar dalam Jumlah Sedikit Tetap Diperbolehkan


Penentu kadar “sedikit” ini terletak pada pemakluman para pihak. Contohnya gharar
adalah ketika Anda naik angkutan umum, biasanya ongkos baru diketahui ketika sudah
sampai tujuan. Namun hal ini dimaklumi karena tidak menimbulkan kerugian bagi
penumpang.

29
Al-Khudri, Usul Al-Fiqh, 240
30
Al-Amidi, Al-Ahkam Fi Usul Al-Ahkam Lilamidi, 2/275
31
Al-Amidi, Al-Ahkam Fi Usul Al-Ahkam Lilamidi, 2/275

13
3. Gharar dalam Akad Tabarru’ Tidak Dilarang
Tabarru’ dapat diartikan sebagai program sosial bertujuan untuk tolong-menolong.
Lantas, apa itu gharar pada akad tabarru’? Contohnya adalah pemberian sumbangan
dalam kotak kardus. Ada ketidakjelasan objek yang diserahkan, namun penerima tidak
merasa dirugikan secara materiil, maka Islam memperbolehkannya.

4. Gharar Bukan dalam Inti Objek Akad


Gharar jenis ini diperbolehkan karena ketidakjelasan ini hanya terletak pada
pelengkapnya. Contoh yang sering kita temui adalah jual beli pohon berbuah. Apabila
yang menjadi objek transaksi adalah pohon, maka ada atau tidaknya buah bukan
merupakan gharar. Dengan demikian, tergantung pada objek yang Anda beli.

D. Hikmah Gharar
Hikmah jual beli adalah bahwa umat Islam bisa mendapatkan apa yang mereka butuhkan
tanpa banyak kesulitan jika mereka memiliki sesuatu di tangan saudara mereka. Di bawah
hikmah larangan Gharar karena terlihat seperti perjudian dan menimbulkan sikap
permusuhan terhadap korban. Larangan ini juga mencakup maksud untuk mencegah
hilangnya harta benda dan menghilangkan permusuhan yang menimpa rakyat akibat Gharar
ini. Hikmah dari pelarangannya dalam akad jual beli adalah sebagai berikut:
1. Cara yang tidak dapat dibenarkan untuk memakan hak milik orang lain.
2. Dapat menimbulkan permusuhan di kalangan umat Islam. Salah satu prinsip dasar Islam
adalah menciptakan suasana solidaritas, cinta dan kasih sayang bagi umat Islam, sehingga
mereka seperti satu darah dan satu tubuh. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dapat
merusak sendi-sendi tersebut diharamkan dalam Islam, termasuk jual beli gharar..
3. Mengumpulkan harta secara kebetulan dan berjudi menyebabkan orang lupa mendirikan
shalat dan dzikir, serta merusak dan menghilangkan nikmat harta.
4. Alihkan fokus Anda dari hal-hal yang bermanfaat ke manfaat yang artifisial.
5. Dapat menghancurkan perekonomian negara bahkan perekonomian dunia. Sebagai
contoh, krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008 dimulai di Amerika Serikat
dan menyebar ke seluruh perekonomian global. Salah satu faktor penyebabnya adalah
maraknya perjudian gharar dan bursa efek, yang mengarah pada ekonomi spekulatif,
bukan ekonomi aktual. “Bagaikan gelembung sabun kelihatan besar, tetapi di dalamnya
kosong, suatu saat pasti meletus…” begitu tulisan Dr. Rafiq Al Misri, peneliti senior
ekonomi Islam di Islamic Development Bank dalam bukunya “Al Azmah Al Maliyah Al
‘Alamiyah” saat menganalisa faktor penyebab krisis ekonomi global.
E. Bentuk-bentuk Gharar
Menurut Abdullah Muslih, gharar dari segi kandungannya dibagi menjadi tiga macam32:

32
Abdullah Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta, Darul Haq, 2004

14
a. Jual beli barang yang belum ada (ma’dum)
Jual beli Ma’dum yang dimaksud yaitu penjual tidak mampu memberikan objek akad
(barang) pada waktu terjadinya sebuah akad, baik ketika barang tersebut sudah ata
ataupun belum ada. Jual beli seperti ini disebut bai’ al-ma’dum. Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dikatakan bahwa contoh dari bai’ al-ma’dum yaitu ketika
menjual janin yang masih ada dalam perut induknya dan tidak bermaksud menjual
induknya. Atau juga menjual sebuah janin dari janin binatang yang belum lahir dari
induknya (habal al-habalah).
Selain itu, contoh dari bai’ al-ma’dum adalah jual beli burung yang masih terbang di
udara atau jual beli ikan yang masih berenang di dalam laut. Hal tersebut berdasarkan
hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal, “Janganlah kamu menjual
ikan yang masih di dalam air, karena itu adalah gharar.” Bahkan dalam hadits lain yang
diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Majah dijelaskan bahwa contoh lain dari
bai’ al-ma’dum adalah ketika menjual budak yang sudah melarikan diri, menjual harta
rampasan perang yang belum dibawi, menjual harta sedekah yang belum diterima, dan
juga menjual hasil menyelam yang masih berada di dalam air.
b. Jual beli barang yang tidak jelas (Majhul)
1) Menjual sesuatu yang belum ada di bawah kuasa penjual. Ketentuan perihal ini
merujuk kepada hadits yang diriwayatkan dari Abu Dawud yang menyatakan bahwa
telah dilarang oleh Rasulullah untuk menjual barah yang sudah dibeli, sebelum
barang tersebut berada di bawah penguasaan pembeli pertama. Jika suatu barang yang
sudah dibeli tetapi belum diberikan kepada pembeli atau pembeli belum
menerimanya, maka barang tersebut belum boleh dijual kepada yang lain. Karena
kriteria barang tersebut masih belum jelas, seperti wujudnya, bentuknya, dan sifatnya.
Sebab tidak menutup kemungkinan barang yang tadinya akan dijual tersut justru
hilang atau rusak dari akad yang telah disepakati, sehingga menyebabkan jual beli
dari yang pertama dan yang kedua menjadi batal.
2) Tak ada kepastian terhadap sifat tertentu dari benda yang akan dijual. Dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal, Muslim, An-Nasai, dan Ibnu Majah
dijelaskan bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “Janganlah kamu melakukan jual beli
terhadap buah-buahan, sampai buah-buahan tersebut terlihat baik (layak konsumsi).”
Bahkan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dinyatakan bahwa
tidak boleh pula untuk menjual wol yang masih berwujud bulu yang melekat pada
tubuh hewan dan tidak boleh juga menjual keju yang masih berupa susu
3) Tak ada kepastian tentang waktu penyerahan barang atau objek akad. Semisal, jual
beli dengan menyerahkan barang setelah wafatnya seseorang. Hal tersebut tidak
diketahui waktu kejelasannya kapan barang tersbeut akan diserahterimakan, karena
tidak ada kejelasan waktu yang akan diterapkan. Sebab hal itu jual beli ini dilarang
karena dilakukan dengan tidak menyerahkan barang atau objek akda secara langsung.
4) Tak ada kepastian barang atau objek akad. Jual beli yang dimaksud adalah jual beli
yang di dalamnya terdapat dua barang yang berbeda tetapi dalam satu transaksi.
15
Semisal dalam suatu transaksi jual beli terdapat dua barang yang berbeda kualitas dan
kriterianya. Lalu, ditawarkanlah barang tersebut tanpa menyebutkan kejelasan barang
yang akan dijual. Maka jual beli tersebut dilarang. Karena jual beli tersebut termasuk
suatu bentuk penafsiran atas larangan Rasulullah SAW. Untuk melakukan bai’atain fi
bai’ah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pun dijelaskan bahwa termasuk
ke dalam jual beli gharar adalah jual beli dengan cara melakukan undian dalam
berbagai bentuknya.
5) Tak terjamin kondisi barang dengan yang ditentukan dalam transaksi. Jual beli ini
termasuk ke dalam salah satu bentuk gharar karena di dalamnya mengandung hal
ketidakpastian bagi penjual dan pembeli sehingga seperti melakukan jual beli undian.
Contohnya adalah jual beli motor dalam kondisi rusak dengan tidak menyebutkan
bagian mana yang rusaknya.
c. Jual beli barang yang tidak mampu diserahterimakan.
1) Tak ada kepastian perihal jenis pembayaran atau jenis benda yang dijualbelikan.
Pendapat dari Wahbab az-Zuhaili menyatakan bahwa, “Ketidakpastian trsebut
merupakan salah satu bentuk gharar yang terbesar larangannya.”
2) Tak ada kepastian jumlah harga yang mesti dibayar. Contohnya, ketika penjual
menyatakan bahwa ia menjual beras kepada pembeli dengan harga yang berlaku pada
hari tersebut. Maka ketidakpastian yang ada pada jual beli tersebut merupakan bagian
illat dari larangan untuk jual beli terhadap buah-buahan yang belum layak untuk
dikonsumsi.
3) Tidak adanya ketegasan bentuk transaksi, yaitu adanya dua macam atau lebih
transaksi yang berbeda dalam satu obyek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi
mana yang dipilih sewaktu terjadi akad. Bentuk jual beli seperti ini merupakan
larangan seperti halnya Rasulullah Saw melarang terhadap terjadinya dua jual beli/
transaksi dengan satu akad (bai’ataini fi bai’ah) (HR. Ahmad bin Hambal, an-Nasa’i,
dan Tirmidzi). Misalnya, melakukan jual beli motor dengan harga Rp. 13 juta jika
kontan/ tunai dan Rp. 20 juta jika pembeli melakukan pembayaran dengan cara kredit,
namun ketika akad berlangsung dan terjadi kesepakatan tidak ditegaskan transaksi
mana yang dipilih.
4) Tak ada ketegasan bentuk transaksi. Hal yang dimaksud dari bagian ini yaitu adanya
dua macam atau lebih transaksi yang berbeda dalam satu objek akad dengan tanpa
menegaskan bentuk transaksi yang akan dipilih saat terjadinya akad. Bentuk transaksi
atau jual beli ini termasuk ke dalam larangan sebagaimana Rasulullah telah melarang
hukumnya untuk terjadinya dua transaksi dalam satu akad (bai’ataini fi bai’ah)
seperti dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad bin Hambal, an-Nasai, dan Tirmidzi.
Contoh dari hal tersebut yaitu ketika ada motor yang hendak dijual dengan harga 13
juta secara kontan dan 20 juta secara kredit, tetapi ketika akad berlangsung dan telah
terjadinya kesepakatan, tidak ditegaskan transaksi yang mana yang dipilih
5) Adanya keterpaksaan. Hal tersebut berbentuk: (a) Jual beli lempar batu (bai’ al-hasa),
merupakan jual beli yang terjadi ketika seseorang melempar batu pada sejumlah
16
barang dan barang yang terkena batulah yang wajib untuk dibelinya. Larangan
tersebut termaktub dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya,
“Rasulullah melarang jual beli lempar batu dan jual beli yang mengandung tipuan.”
(HR. al-Jama’ah kecuali Bukhari). (b) Jual beli dengan saling melempar (bai’ al-
munabazah), yaitu jual beli yang terjadi ketika seseorang melemparkan bajunya
kepad ayang melemparnya, maka di antara keduanya wajib untuk melakukan jual beli
meski pembeli tidak tahu kualitas barang yang akan dibeli. (c) Jual beli dengan cara
menyentuh (bai’ al-mulamasah), merupakan jual beli yang terjadi ketika seseorang
menyentuh suatu barang, maka barang itu wajib dibeli meski ia belum mengetahui
dengan jelas barang apa yang akan dibeli.
1. Bentuk Gharar dalam praktek ekonomi
Sebagai aturan umum, ada risiko untung dan rugi dalam perdagangan. Wajar bagi
setiap orang untuk mengharapkan keuntungan sepanjang waktu, tetapi itu tidak selalu
terjadi pada semua bisnis. Menurut Imam Ghazali, pedagang dimotivasi oleh keuntungan,
keuntungan di dunia dan keuntungan di akhirat. Risiko untung dan rugi tidak pasti bagi
setiap perusahaan.
Dapat ditekankan bahwa Islam tidak melarang kontrak yang hanya mengandung
risiko atau ketidakpastian. Ini menjadi berbahaya hanya ketika ada risiko menguntungkan
satu pihak dengan mengorbankan pihak lain. Menurut Ibnu Taimiyah, jelas bahwa Allah
dan Rasul-Nya tidak melarang mengambil risiko. Demikian juga, tidak melarang semua
peluang untuk untung atau rugi, atau praktik perdagangan netral (tidak untung atau rugi),
juga ilegal memakan milik orang lain dengan tidak semestinya.
Gharar dilarang bukan hanya karena dikaitkan dengan konsumsi yang tidak benar
atas milik orang lain, tetapi juga karena unsur ketidakpastian dan risiko yang disebut
perjudian.
Orang-orang Arab yang bodoh biasanya menaruh tiga anak panah di Ka`bah,
membungkusnya dengan kertas putih dan berkata lakukan, jangan lakukan, putih.
Misalnya, sebelum pergi jauh, mereka akan menemui wali Ka'bah dan meminta salah satu
anak panah. Ini adalah salah satu bentuk asli perjudian di mana setiap hasil yang
diinginkan dapat dicapai tanpa usaha..
Game of chance yang diupayakan kemenangannya, disebut game of skill (permainan
ketangkasan). Misalnya, jika Anda kalah dalam pertandingan sepak bola, Anda akan jauh
dari area tersebut. Ini juga termasuk dalam kategori perjudian. Oleh karena itu, faktor
penentu dalam penerimaan bukanlah apakah permainan peluang dimainkan dengan atau
tanpa usaha. Faktor penentunya adalah apakah hasil dari permainan peluang menentukan
tindakan selanjutnya yang akan diambil, yaitu, apakah itu tergantung pada hasil dari
permainan peluang.

17
Game of chance yang kita menggantungkan nasib pada hasilnya dan salah satu pihak
harus menanggung beban pihak lain akibat hasil dari game of chance tersebut, disebut
maisir33.
Ketidakpastian bukanlah spekulasi dan perjudian bukanlah taruhan. Hanya ketika
suatu tindakan bergantung pada hasil dari permainan kebetulan, tindakan itu melibatkan
menggambar nasib dengan panah (Qur’an Surat An-Nisa`: 90) dan karena itu dilarang.
Hanya jika suatu tindakan tergantung pada hasil dari permainan berisiko dan salah satu
pihak menanggung beban pihak lain sebagai akibat dari permainan berisiko maka
tindakan tersebut termasuk dalam kategori maisir dan oleh karena itu dilarang.
Dalam transaksi modern, terdapat banyak sekali pola transaksi yang bertipe gharar.
Terutama transaksi yang dilakukan oleh lembaga keuangan. Biasanya, lembaga keuangan
modern adalah lembaga komersial yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Gharar di
lembaga keuangan modern adalah bagaimana mereka melakukan bisnis dan
menghasilkan keuntungan.
2. Bentuk Gharar dalam praktek keuangan
a. Perbankan
Lembaga perbankan merupakan tulang punggung perekonomian modern. Hingga
sejauh mana kemajuan perbankan dapat mempengaruhi keadaan perekonomian suatu
negara. Evolusi situasi ekonomi tercermin dalam perkembangan sektor perbankan.
Namun, dari sudut pandang hukum Islam, lembaga perbankan umum yang
berkembang penuh dengan unsur-unsur gharar, maisir dan riba yang secara tegas
dilarang oleh aturan hukum Islam.
Gharar di bank dapat dilihat dari sistem yang menghitung bunga pada setiap
transaksi, baik dalam transaksi pinjaman maupun deposito. Biaya bunga yang
ditentukan adalah jenis gharar yang mempertukarkan obligasi antara satu pihak
dengan pihak lain. Misalnya, saat mengajukan pinjaman bank ke perusahaan dengan
tingkat bunga 10%. Jika usaha yang dijalankan menghasilkan keuntungan 100% atau
lebih, maka peminjam akan mendapatkan keuntungan darinya, karena ia hanya
membayar bunga 10%. Sedangkan jika usaha mengalami kerugian maka akan
menanggung sendiri, bank tidak memperdulikan kondisi tersebut, pada saat jatuh
tempo peminjam harus mengembalikan jumlah yang dipinjam beserta bunganya,
seolah-olah jatuh dari tangga. . Jadi risikonya diperdagangkan.
b. Asuransi
Asuransi adalah suatu bentuk pertanggungan yang disepakati antara satu pihak
dengan pihak lainnya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
1992 tentang usaha perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah suatu
33
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta, IIT Indonesia, 2003

18
perjanjian antara dua pihak atau lebih dimana penanggung berjanji kepada
tertanggung, setelah menerima premi, untuk mengganti kerugian tertanggung.
kehilangan, kerusakan atau kehilangan keuntungan. Atau, tanggung jawab perdata
pihak ketiga yang mungkin ditanggung oleh tertanggung sebagai akibat dari suatu
peristiwa yang tidak pasti; atau memberikan pembayaran berdasarkan kematian atau
hidup tertanggung.
Gharar terjadi dalam asuransi ketika kedua belah pihak (misalnya pemegang polis,
pemegang polis, dan perusahaan) tidak mengetahui apa yang akan terjadi ketika suatu
bencana terjadi. Suatu akad yang dibuat dengan syarat-syarat ini adalah akad yang
dibuat atas dasar dugaan (ihtimal). Yang disebut gharar "bayangan" ini dilarang oleh
hukum Islam. Karena bentuk kontrak akan menimbulkan saling penindasan.
Sekalipun kedua belah pihak puas, akad pada dasarnya termasuk dalam kategori
gharar yang dilarang. Sekalipun rate/persentase atau rasio pembayaran telah
ditentukan sedemikian rupa sehingga tertanggung/tertanggung sadar, ia tetap tidak
mengetahui kapan bencana itu akan terjadi, disinilah gharar terjadi.
Secara umum, polis/perjanjian asuransi jiwa dapat diklasifikasikan sebagai kontrak
tabloid atau barter, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan.
Dalam Syariah, kontrak pertukaran harus menentukan jumlah yang dibayarkan dan
jumlah yang diterima. Situasi ini akan menjadi ambigu (gharar) karena kita tahu
berapa banyak yang akan dikumpulkan (uang pertanggungan), tetapi kita tidak tahu
berapa yang akan dibayarkan (jumlah total premi). Di sinilah gharar terjadi dalam
asuransi konvensional.
Gambaran bentuk ghararnya adalah jika seseorang mendapatkan paket asuransi 10
tahun dengan jumlah asuransi yang besar misalnya 10 juta. Jika pada tahun keempat
yang bersangkutan meninggal dunia dan hanya membayar premi 4 juta, ahli waris
akan menerima 10 juta penuh. Pertanyaannya adalah dari mana sisa 6 juta itu berasal.
Jumlah 6 juta yang diterima ahli waris adalah bentuk gharar34.
c. Bursa Saham
Bursa saham adalah pasar dimana terjadi jual beli saham. Tujuan pertukaran
adalah untuk menciptakan pasar simultan dan berkelanjutan di mana penawaran dan
permintaan serta mereka yang ingin membuat perjanjian jual beli terhubung. Dalam
hal ini tentunya pihak pelaku akan mendapatkan berbagai manfaat.
Di pasar modal, bentuk gharar ditemukan dalam setiap transaksi. Gharar dapat
terjadi karena::

34
M. Syakir Sula, Asuransi Syariah, konsep dan sistem operasional, Jakarta,Gema Insani, 2004

19
1) Perdagangan berjangka di bursa saham pada umumnya bukanlah transaksi yang
sebenarnya. Dalam pertukaran ini yang dimaksud dengan jual beli adalah
penyerahan dan/atau pembayaran barang, karena tidak ada unsur penyerahan
antara kedua pihak yang melakukan usaha.
2) Sebagian besar penjualan di pasar ini adalah penjualan barang-barang yang tidak
dimiliki, seperti mata uang, saham, rekening giro, atau komoditas, dan itu dibeli
di pasar yang sebenarnya dan dikirimkan di kemudian hari tanpa masing-masing.
Saya harap. Uang muka sebagai syarat jual beli.
3) Pembeli di pasar ini hampir selalu membeli dan menjual sebelum menerima
pembelian mereka. Saya akan menjual kembali yang kedua sebelum saya
menerimanya. Hal ini terjadi berulang kali untuk objek penjualan yang tidak
diterima sampai transaksi dengan pembeli yang sebenarnya selesai, atau
setidaknya sampai harga ditetapkan sesuai dengan tanggal transaksi, yaitu tanggal
harga penutupan. Yang dilakukan oleh pemodal besar dengan memonopoli saham
sejenisnya serta barang-barang komoditi komersial lain dipasaran agar bisa
menekan pihak penjual yang menjual barang-barang yang tidak mereka miliki
dengan harapan akan membelinya pada saat transaksi dengan harga yang lebih
murah, atau langsung melakukan serah terima sehingga menyebabkan para
penjual lain merasa kesulitan.
4) Di pasar modal, pasar ini lebih banyak digunakan sebagai market influencer.
Karena harga pasar ini tidak sepenuhnya bergantung pada mekanisme pasar,
tetapi pada sebagian masyarakat yang benar-benar membutuhkan jual beli.
Namun dipengaruhi oleh banyak hal, sebagian oleh pengamat pasar, sebagian lagi
oleh adanya monopoli komoditas dan saham, atau oleh penyebaran berita palsu,
dll. Metode yang digunakan secara tidak wajar dapat menyebabkan volatilitas
harga dan berdampak negatif pada perekonomian.

20
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Menurut madzhab Syafi`i, gharar adalah segala sesuatu yang akibat-akibatnya
tersembunyi dan dapat menimbulkan akibat yang mengerikan/tidak terduga. Kemudian,
menurut Kamari, ada empat kondisi yang dapat menimbulkan akibat hukum. Pertama,
ghararnya sangat tinggi atau berbahaya. Kedua, terjadi dalam kontrak atau transaksi
bisnis, bukan dalam tabbaru (kontrak sosial). Ketiga, ambiguitas terjadi pada mata
pelajaran utama, bukan tambahan, seperti penjualan anak sapi yang belum lahir.
Keempat, objek barang tersebut tidak terlalu dibutuhkan..
Adapun macam-macam gharar sebagai berikut :
1. Jual Beli Benda yang Tidak Diserahterimakan
2. Jual Beli Benda yang Belum Ada
3. Jual Beli Benda yang Tidak Jelas Harganya
4. Jual Beli Benda yang Sifatnya Tidak Jelas
Imam Nawawi dalam penjelasannya dalam kumpulan hadis shahih Muslim,
menyebutkan bahwa jual beli gharar adalah pokok dan dasar dalam kitab jual beli. Ada
beberapa hadis yang terkait, salah satunya adalah35 :

‫صاة وبَيع ال َغ َرار‬


َ ‫نهى النب ّي صلى هللا عليه وسلم عَن بَيع ال َح‬
Artinya, “Nabi Saw melarang jual beli hasat36 dan jual beli gharar”.
Hikmah jual beli adalah bahwa umat Islam bisa mendapatkan apa yang mereka
butuhkan tanpa banyak kesulitan jika mereka memiliki sesuatu di tangan saudara mereka.
Di bawah hikmah larangan Gharar karena terlihat seperti perjudian dan menimbulkan
sikap permusuhan terhadap korban. Larangan ini juga mencakup maksud untuk
mencegah hilangnya harta benda dan menghilangkan permusuhan yang menimpa rakyat
akibat Gharar ini.

Bentuk-bentuk gharar :

35
Abu Zakariyah Yahya Bin Syarif Bin Mari Al-Nawawi, Al-Minhaj Sharh Sahih Muslim Bin Al-Hajjaj (Sharh Al-Nawawi ‘Ala
Sahih Muslim), (Beirut: Dar Ihyai Al-Turath Al-‘Arabi, Juz. 10, Cet. 2, 1972), H. 156
36
Jual Beli Hasat Adalah Kebiasaan Masyarakat Arab Jahiliyah Yang Mensanda Rkan Keputusan Memilih Barang, Baik Dari
Sisi Besar, Luas Atau Banyaknya Barang Tersebut, Disesuaikan Dengan Hasil Lemparan, Atau Tempat Jatuhnya Batu. Macam-
Macamnya (I) Pembeli Berkata Kepada Si Penjual: Jika Aku Lempar Batu Ini Berarti Jual Beli Jadi. (Ii) Penjual Berkata Kepada
Si Pembeli: Jual Beli Berlaku Atas Barang Yang Jatuh Padanya Lemparan Batumu. (Iii) Pembeli Atau Penjual Berkata: Ukuran
Tanah Yang Berlaku Dalam Jual Beli Ini Berlaku Sejauh Lemparan Batumu.

21
1. Bentuk Gharar dalam praktek ekonomi
Dalam transaksi modern, banyak ditemukan model transaksi yang termasuk dalam
kategori gharar. Terutama transaksi yang dilakukan oleh lembaga keuangan. Umum
terjadi, lembaga keuangan modern merupakan lembaga usaha yang bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan. Gharar dalam lembaga keuangan modern terdapat pada
cara mereka melakukan usaha dan mendapatkan keuntungan
2. Bentuk Gharar dalam praktek keuangan
a. Perbankan
Lembaga perbankan merupakan tulang punggung perekonomian modern.
Hingga tingkat kemajuan perbankan dapat mempengaruhi keadaan perekonomian
suatu negara. Perkembangan situasi perekonomian dapat dilihat dari
perkembangan industri perbankan. Namun, dari perspektif hukum Islam, lembaga
perbankan umum yang berkembang penuh dengan unsur gharar, maisir dan riba
yang secara tegas dilarang oleh aturan hukum Islam.
b. Asuransi
Gharar terjadi dalam asuransi apabila kedua belah pihak (misalnya: peserta
asuransi, pemegang polis, dan perusahaan) saling tidak mengetahui apa yang akan
terjadi, kapan musibah akan menimpa. Kontrak yang dilakukan pada kondisi
tersebut adalah suatu kontrak yang dibuat berasaskan pada pengandaian (ihtimal)
semata. Hal inilah yang disebut gharar ’ketidakjelasan’ yang dilarang dalam
syariat Islam. Karena bentuk dari kontrak tersebut akan mengakibatkan terjadinya
saling mendzalimi.
c. Bursa Saham
Bursa saham adalah pasar yang di dalamnya berjalan usaha jual beli saham.
Target bursa adalah menciptakan pasar simultan dan kontinyu dimana penawaran
dan permintaan serta orang-orang yang hendak melakukan perjanjian jual beli
dipertemukan. Tentunya dalam hal ini akan mendapatkan berbagai keuntungan
bagi pihak pelaku.

B. Saran
Demikianlah makalah "Fiqih Muamalah dan Jinayah dengan judul Gharar” yang
dapat kami sampaikan. Kami sebagai penulis berharap agar para pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang positif dalam makalah ini. Semoga makalah ini
memberikan manfaat dan hikmah, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta, Darul Haq, 2004
Abu Al-Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Rashad Al-Qurtubi, Al-Muqaddimat Almumahadat,
Penerbit Al-Sa’adah Jil. 2, 1325., H. 73.
Abu Al-Walid Sulaiman Bin Khalaf Al-Baji, Al-Muntaqa Sharh Muwatta’, Jeddah: Maktabah
Al-Andalusi, Jil. 5, Tt., H. 41.
Abu Zakariyah Muhyiddin Ibn Sharaf Al-Nawawi, Al-Majmu’ Sharh Al-Muhadhab, (Matba’ah
Al-Tadamun Al-Akhwa, Juz 6, 676h), H. 288.
Abu Zakariyah Yahya Bin Syarif Bin Mari Al-Nawawi, Al-Minhaj Sharh Sahih Muslim Bin Al-
Hajjaj (Sharh Al-Nawawi ‘Ala Sahih Muslim), (Beirut: Dar Ihyai Al-Turath Al-‘Arabi,
Juz. 10, Cet. 2, 1972), H. 156
Abu Zakariyah Yahya Bin Syarif Bin Mari Al-Nawawi, Al-Minhaj Sharh Sahih Muslim Bin Al-
Hajjaj (Sharh Al-Nawawi ‘Ala Sahih Muslim), .... H. 157. Lihat Pula Abu Al-Walid
Muhammad Bin Ahmad Bin Rushdi Al-Qurtubi, Al-Muqaddimat Al-Mumahadat Libayan
Ma Iqtadathu Rusum Al-Muadawwanah Min Al-Ahkami Al-Syar’iyat Wa Al-Tahsyilat Al-
Muhakkamat Liummahati Masailuha Al-Mushkilat, Beirut: Dar Al-Maghrib Al-Islami, Jil.
2, Cet. 1, 1408h. H. 71.
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta, IIT Indonesia, 2003
Agus Triyanta, Gharar; Konsep Dan Penghindarannya Pada Regulasi Terkait Screening Criteria
Di Jakarta Islamic Index
Al-Amidi, Al-Ahkam Fi Usul Al-Ahkam Lilamidi, 2/275
Al-Imam Al-Nawawi, Sharh Al-Muhadzdzab, Beirut: Dar Ihya Al-Turats Al-‘Arabi, Jil. 9,
Al-Khudri, Usul Al-Fiqh, 240
Atabik Ali Dan Ahmad Zuhdi Muhdloi, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta:
Pondok Pesantren Krapyak, Cet. 3, 1998), 1347.
Hr. Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abbas, Abu Sa’id Dan Anas Dengan Perbedaan Dari Sisi
Pelafadzan. Riwayat Ini Terdapat Dala Kitab Syarh Shahih Muslim Oleh Imam Nawawi
3/152, Sunan Ibnu Majah 2/10, Sunan Abu Dawud 3/346, Tirmidzi 3/532, Syarh Al-Suyuti
Pada Sunan Al-Nasai 8/262.
Https://Www.Ocbcnisp.Com/Id/Article/2021/11/11/Gharar-Adalah
Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, Zad Al-Ma’ad Fi Hadyi Khair Al-‘Ibad, Muhaqqiq: Shuaib
Alarnaut. Beirut: Muassasah Al-Risalah, Jil. 5, Cet. 14, 1407. 820. Lihat Pula Abu Al-
Farji Abdurrahman Bin Rajab Al-Hanbali, Al-Qawa’id Al-Nuraniyah, Beirut: Dar Al-
Ma’rifah, Tt., H. 83
Ibnu Jazyi Al-Garnati Al-Maliki, Qawanin Al-Ahkam Al-Sar’iyah, Tahqiq: Abdul Rahman
Hasan Mahmud, Cairo: Maktabah ‘Alam Al-Fikr, Cet. 1, 1986., H. 259. Lihat Pula
Shihabuddin Alqarafi, Al-Furuq, Beirut: Dar Al-Ma’rifah, Jil. 3, Tt, H. 265.
Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab, (Bairut: Dar Al-Sadir, T.T. Juz. 5) 11

23
Ibnu Manzur, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Sadr, Jil. 5, Cet. 3, 1993), 11, Dan Ibrahim Mustafa,
Mu’jam Al-Wasit (Istanbul: Dar Al-Da’wah, Jil. 2, Tt), 648. Lihat Juga Al-Fairuz Abadi,
Alqamus Al-Muhit, Http://Www.Alwarraq.Com, Al-Maktabah Al-Syamilah, Juz. 1, Tt, H.
474.
Ibnu Rajab, Al-Furuq, 3/265
Khalid Bin Abdul ‘Aziz Al-Batili, Ahadits Al-Buyu’ Al-Manhiyu ‘Anha
Khalid Bin Abdul ‘Aziz Al-Batili, Ahadits Al-Buyu’... 54
M. Syakir Sula, Asuransi Syariah, konsep dan sistem operasional, Jakarta,Gema Insani, 2004
Nadratuzzaman Hosen, Analisis Bentuk Gharar Dalam Transaksi Ekonomi, Al-Iqtishad: Vol. I,
No. 1, Januari 2009
Sahih Muslim Bi Sharh Al-Nawawi, Jil. 10,... 157.
Sahih Muslim Bi Sharh Al-Nawawi, Kairo: Dar Al-Rayyan, 1407, Juz 10, 156
Sharh Imam Nawawi ‘Ala Sahih Muslim, Jus. 5, H. 296.
Sharh Sahih Muslim, 10/156-157 Tt. H.210.

24

Anda mungkin juga menyukai