Anda di halaman 1dari 3

Nama : Hafidz Firmansyah Agsa Putra

NIM : 20040704124

Kelas : 2020C

TUGAS HUKUM ACARA PERDATA


ANALISIS KASUS

Kasus 1 :
a. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPer mengenai syarat sah perjanjian sebagai berikut : (1)
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan; (3) Suatu hal tertentu; (4) Suatu sebab yang halal. Maka Perjanjian dalam
bentuk apapun dalam perdata, termasuk perjanjian sewa menyewa sah dalam kurun
waktu yang telah disepakati, karena telah ada kata sepakat antar kedua belah pihak,
dalam kasus ini, ialah kurun waktu 10 hari, meskipun objek perjanjian telah terbakar,
maka dianggap sah. Jikalau objek rusak setelah kurun waktu perjanjian maka
penyewa tetap diharuskan untuk bertanggungjawab jika karena kesalahannya,
kewajiban penyewa harus terlaksana terdahulu berdasarkan pasal 1550 KUHPer
b. Berdasaran Pasal 1564 KUHPer “Penyewa bertanggung jawab atas segala kerusakan
yang ditimbulkan pada barang yang disewakan selama waktu sewa, kecuali jika ia
membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi di luar kesalahannya.” Maka resiko
kerusakan pada objek perjanjian dapat dibebankan atau menjadi tanggung jawab
penyewa selama sesuai dengan UU yang mengatur yakni murni karena kesalahan dari
penyewa.
c. Penggugat tidak bisa menuntut ganti rugi kepada Hamid, karena Hamid bukanlah
merupakan penyewa, dalam kasus ini dia adalah supir dari penyewa yakni Malik,
didukung dengan pasal 1564, maka Malik sebagai penyewa yang harus
bertanggungjawab atas kerusakan pada objek, untuk masalah penyebab jika
ditimbulkan oleh Hamid sebagai supir, maka merupakan tanggungjawab tersendiri
antara Malik dengan Hamid sebagai penumpang dan supir dalam kasus tersebut.
d. Subtansi dari kasus tersebut tergantung dari waktu pengembalian barang sewaaan,
dikarenakan kerusakan terjadi meski pada saat hari terakhir pengembalian barang.
Maka, asas pertanggung jawaban penyewa dalam sewa menyewa haruslah ditepati.
Berdasarkan Pasal 1564.

Kasus 2 :
a. Dapat menjadi milik tergugat namun harus melalui proses , Dalam Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1996. Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah, telah diatur bahwa tanah (benda tidak bergerak)
sebagai jaminan utang. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 4 Tahun 1996
mengatakan: Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan
pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor-kreditor lain.
Namun yang dapat dijadikan sebagai hak tanggungan hanyalah hak milik dan jenis-
jenis hak tanah lainnya menurut undang-undang pokok agraria, dan jika akan
dijadikan jaminan untuk pelunasan hutang harus melalui proses yang telah ditentukan
dalam UU No 4 tahun 1996. Proses tersebut antara lain adalah : 1. Pembuatan
perjanjian utang piutang yang didalamnya memuat janji untuk memberikan hak
tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu. 2. Pembuatan Akta Pemberian
Hak Tanggungan oleh PPAT. 3. Hak Tanggungan didaftarkan pada kantor
pertanahan. 4. Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, kantor pertanahan
menerbitkan sertifikat hak tanggungan. 5. Sertifikat hak tanggungan diserahkan
kepada pemegang hak tanggungan. 6. jika debitur (orang yang berutang) cidera janji,
maka sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku
sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang hak tanah.

b. Sah apabila dapat melalui berbagai kendala, kendala pertama adalah sertifikat tersebut
tidak bisa dilakukan pengecekan ke BPN karena pengecekan sertifikat harus
melampirkan sertifikat asli, sedangkan sertifikat asli masih dipegang oleh kreditur
sebagai jaminan utang. Pengecekan sertifikat ini merupakan syarat wajib yang harus
dipenuhi sebelum ditandatanganinya akta jual beli. Hal ini diatur dalam Pasal 97
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997, yakni “Dalam
hal PPAT hendak melaksanakan pembuatan Akta mengenai pemindahan atau
pembebanan hak atas tanah, maka PPAT wajib terlebih dahulu melakukan
pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertifikat hak atas tanah
yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat
dengan memperlihatkan sertifikat asli” Kendala kedua adalah untuk mengambil
sertifikat pada kreditur maka pemilik harus melunasi utangnya terlebih dahulu.
Berdasarkan kasus yang terjadi, pemilik menjual tanah untuk melunasi hutangnya,
maka penyelesaiannya adalah melewati notaris, pemilik, calon pembeli, notaris dan
pihak kreditur bersama-sama menyepakati proses transaksi.
Pertama adalah pembeli menyetujui untuk membantu melunasi utang pemilik.
Setelah utang dilunasi maka pihak kreditur akan mengeluarkan surat roya yang
menyatakan bahwa utang debitur sudah lunas, kemudian sertifikat diserahkan kepada
kantor notaris bukan kepada pemilik. Jadi proses kunci atau penekanannya adalah
pada saat penyerahan sertifikat dari kreditur kepada notaris. Hal itu karena notaris
atau PPAT merupakan pihak netral yang menjamin keamanan semua pihak dan
sebagai pejabat publik yang bertugas membuat akta jual beli atas benda tidak
bergerak. Setelah sertifikat berada di kantor notaris, bisa dilakukan proses transaksi
jual beli secara normal, yaitu pembeli melunasi harga jual beli jika masih terdapat
kekurangan. Selanjutnya, bisa dilakukan penandatanganan akta jual beli dan proses
balik nama sertifikat di kantor pertanahan setempat. Kesimpulannya adalah jual beli
dapat sah menurut hukum jika dilakukan berdasarkan itikad baik untuk melunasi
hutang nya melalui jual beli yang dilakukan dan mentaati proses yang berlaku sesuai
kesepakatan dan tidak melanggar peraturna yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai