Anda di halaman 1dari 6

1

Perancis vs Islamisme
Pemerintah Perancis menyebutkan bahwa, Islamisme merupakan sebuah gerakan yang
tengah ramai dilakukan, dan dapat menghindar dari pemantauan yang dilakukan oleh
negara.
Macron, selaku Presiden menjabat Perancis, menyatakan bahwa, hal ini adalah sebuah
bentuk “Separatisme Islam”, yang kemudian menjadi ramai pasca merajalelanya negara-
negara islam, dan pemerintahan otoriter Islam di Timur Tengah.
Konteks global yang ditunjukkan oleh Macron untuk menyatakan bahwa Islamisme adalah
sebuah tantangan, yaitu Presiden Recep Tayyep Erdogan yang telah menggunakan agama
sebagai alat untuk memperkuat otorisasi kepemimpinannya. Banyak yang menikmati dan
mendukung hal tersebut karena fanatisme, dan sifat ekstrimisme.
Terdapat beberapa kebijakan yang kemudian dilakukan oleh Perancis untuk melawan
permasalahan tersebut, beberapa di antaranya adalah pendidikan imam, kewajiban sekolah
bagi para anak-anak yang beragama islam, deportasi kaum radikal, hingga pengawasan
terhadap lembaga yang memberikan dukungan kepada imam radikal.
Presiden Perancis sebenarnya sadar, bahwa tindakan-tindakan yang salah tadi bukan
berasal dari ajaran Islam yang benar. Mengingat bahwa dari Perancis telah banyak lahir
imam-imam besar yang juga ikut dalam memperjuangkan toleransi dalam hidup
bermasyarakat. Hanya saja, di sisi lain terdapat banyak kaum fanatis yang sangat
mendukung peraturan bahwa kaum kafir boleh diperlakukan bagaimanapun, bahkan dengan
tindak kekerasan sekalipun. Tetapi, Presiden harus menangani hal ini dengan sehati-hati
mungkin, dengan kesabaran yang setinggi mungkin, karena jika bertindak gegabah, hal
yang lebih besar mungkin saja dapat menyusul di kemudian hari tanpa pernah diduga-duga
(Wesel, 2020).
Peningkatan kekerasan akibat Islamophobia (Nambah Materinya Sapi Dikit)
Menurut data, kekerasan yang terjadi kepada Muslim di Perancis, adalah kekerasan
langsung yang dapat menyebabkan trauma psikologis dan berbagai macam bekas pada
tubuh korban (Barnett, 2007; Sunny Press Education, 2007).
Peningkatan kekerasan tidak demikian terjadi secara tiba-tiba, melainkan mengalami
ekskalasi atau peningkatan bertahap. Peningkatan terjadi secara cukup konsisten. Bahkan
dikatakan menurut data bahwa, peningkatan kekerasan pada Muslim Perancis sangat pesat
pada tahun 2015, yang mana masyarakat Perancis dapat melakukan 15 kasus hanya dalam
waktu 1 hari saja (Pradipta, 2016). Peristiwa tesebut dikatakan menjadi salah satu ekor
permasalahan dari Serangan Teror pada tahun 2015.
Selain kekerasan langsung, kekerasan verbal juga tidak dapat terhindarkan pasca peristiwa
tersebut. Contoh kekerasan yang terjadi adalah intoleransi, ancaman pembunuhan, dan
2

segala jenis bentuk perkataan yang memberikan serangan kepada mental masyarakat
Muslim di Perancis (Kern, 2012).
OKI dalam Penanganan Islamophobia di Perancis
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dianggap sebagai organisasi unik yang tujuan utamanya
adalah untuk mempromosikan "solidaritas Islam" di antara negara-negara anggotanya. OKI
didirikan pada September 1969 ketika mantan Pembuat Fatwa di Yerusalem mendesak
semua negara Muslim untuk berpartisipasi dalam KTT Islam pertama di Rabat, Maroko. KTT
tersebut digelar sehubungan dengan tragedi dibakarnya Masjid Al-Aqsha di Yerusalem.
Pertemuan bersejarah ini memainkan peran penting dalam pembentukan OKI, dan
solidaritas Islam menjadi batu loncatan untuk memperluas kerjasama antar negara-negara
Islam. OKI secara resmi didirikan pada pertemuan para Menlu Negara Islam tahun 1971,
dan Piagam yang diratifikasi oleh sebagian besar negara anggota pada tahun 1973 disetujui
(Hansen & Hemmasi, 2001).
Adapun tujuan OKI yang tercantum di dalam Piagam, adalah sebagai berikut:
1. Memperkuat solidaritas neara-negara Muslim (anggota);
2. Mewadahi kerjasama antar negara anggota dalam berbagai bidang;
3. Memberikan jaminan keamanan kepada tempat suci dan memberikan dukungan
kepada Palestina;
4. Menghilangkan segala bentuk rasisme;
5. Mempromosikan kerjasama dan meningkatkan pemahaman antar anggota dan pihak
eskternal OKI.
Piagam OKI juga menyatakan bahwa misinya adalah untuk mempromosikan nilai-nilai Islam,
memperkuat solidaritas antar negara-negara Islam, terus mendukung kemerdekaan
Palestina, melindungi kedaulatan negara-negara anggota, membantu komunitas Islam di
luar yurisdiksi negara-negara anggota, dan mempromosikan aspirasi Islam secara
internasional. .Dinyatakan bahwa itu mewakili Ini adalah arena untuk mengejar kepentingan
bersama ini, melindungi citra Islam dan memerangi penghinaan terhadap Islam. Piagam
OKI juga menyoroti aspek perdamaian, kasih sayang, toleransi, kesetaraan, keadilan dan
martabat manusia. Piagam OKI juga bertekad memerangi terorisme.
Adapun Terkait dengan bagaimana Upaya OKI dalam penanganan Islamophobia yang
terjadi di Perancis, adalah sebagai berikut:
1. Mengintensifkan kampanye untuk meningkatkan kesadaran, meningkatkan kesadaran
dan mempromosikan citra positif Islam, terutama di tempat dan negara yang dianggap
sebagai pusat Islamofobia.
2. Mengunjungi berbagai negara barat secara rutin dan untuk berdialog dengan komunitas
Muslim setempat dengan tujuan mendapatkan informasi terkait dengan keprihatinan
atau masalah yang tengah mereka alami.
3

3. Memperluas jangkauan berita, artikel, dan sejenisnya terkait dengan islamophobia,


untuk membuka pandangan masyarakat umum.
4. Memaksimalkan peran OKI, baik secara formal maupun secara informal.
5. Membantu secara finansial maupun politis kepada lembaga-lembaga di bawah naungan
OKI, yang relevan dengan permasalahan Islamophobia.
6. Menjalani semua tindakan yang diperlukan untuk melawan segala jenis isu kebencian
atau diskriminasi terhadap kasus perbedaan agama (OIC OBSERVATORY, 2017).
Selain tindakan di atas, OKI juga tentu saja melakukan banyak tindakan yang lebih
menguatkan upaya untuk pemberantasan Islamophobia tersebut. Dalam hal ini, berikut
adalah beberapa jenis upaya yang dilakukan oleh OKI untuk memaksimalkan tindakannya
terkait kasus Islamophobia:
1. Perang Melawan Terorisme
OKI bertekad untuk terus mengutuk semua tindakan terorisme terlepas dari mana pun
tindakan tersebut terjadi dan siapapun yang melakukannya. Hal ini sesuai dengan
sebuah resolusi yang dikeluarkan OKI Mengenai “Perang” Melawan Terorisme dan
Ekstrimisme, yaitu Resolusi No. 41/44-POL yang merupakan Sidang Dewan Menteri
Luar Negeri OKI yang ke-44 (Sesi Pemuda, Perdamaian, serta Pembangunan dalam
Solidaritas Dunia), yang di diadakan di Abidjan, Republic of Côte d'Ivoire pada Juli
2017.
2. Dialog antar-Keyakinan
OKI mengakui pentingnya dialog antaragama dan dialog antarbudaya sebagai
mekanisme efektif untuk mempromosikan nilai toleransi dan memerangi ekstremisme,
serta hasutan kebencian yang didasari agama. Hal ini dikarenakan OKI percaya bahwa
pencemaran nama baik Islam dapat menimbulkan ketidakharmonisan sosial yang akan
memicu pelanggaran terhadap HAM. Peran OKI ini sesuai dengan Deklarasi Prinsip-
Prinsip Toleransi yang dicanangkan oleh UNESCO pada 16 November 1995, yang
tercatat pada Resolusi Majelis Umum PBB 66/3, 66/154, 66/167 dan 66/208, yang
menegaskan pentingnya mempertahankan keragaman budaya dan upaya memerangi
intoleransi, stereotif negatif, stigmatisasi, dan diskriminasi, serta mengingat resolusi 21-
PFR/8 pada 22 Januari 2013 yang menekankan pada perang melawan intoleransi,
tindakan islamophobia dan xenophobia (OIC OBSERVATORY, 2018).
3. Kerjasama dengan PBB
OKI meyakini bahwa PBB dapat dijadikan partner untuk mengambil peran penting atas
terciptanya perdamaian bagi seluruh elemen masyarakat.
Hubungan antara OKI dan PBB terjalin dengan erat, mengingat semakin besar dan
banyak tantangan global yang menjadikan kerjasama di antara keduanya tak
4

terelakkan. Dalam suatu pertemuan antara pihak OKI dan PBB pada 17 November
2016, delegasi OKI yang diwakilkan oleh Asisten Sekjen OKI untuk urusan politik,
Hameed Opeleyeru, mengungkapkan bahwa tujuan dasar OKI dan PBB secara umum
memiliki kesamaan. Kedua organisasi tersebut sama-sama ditujukan untuk perdamaian
dunia, keamanan, serta pembangunan internasional. PBB adalah mitra potensial bagi
OKI dalam melawan terorisme dan ekstremisme.
Untuk memaksimalkan kerjasama antara OKI dan PBB dalam mengatasi ekstremisme
dan intoleransi, OKI melakukan hal-hal berikut:
a. Menjaga masalah Islamophobia sebagai perhatian internasional dan
dengan demikian tetap menjadi agenda Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan
Majelis Umum
b. Memanfaatkan deklarasi Hak Asasi Manusia Jenewa dan PBB sebagai dasar
dan kerangka inti untuk mengatasi masalah Islamophobia.
c. Menggunakan perjanjian PBB yang ada seperti kebebasan beragama,
kebebasan berekspresi, larangan diskriminasi rasial, dll, Sebagai alat untuk
memerangi Islamophobia.
d. Memastikan kemajuan pada konsensus internasional yang ada dalam bentuk
Rencana Aksi Resolusi 16/18 Dewan HAM PBB
4. Kerjasama dengan UE
Fenomena tindakan islamophobia yang meningkat drastis pasca serangan Paris, telah
membuat OKI mengambil tindakan dengan memulai pertemuan reguler Independent
Permanent Human Rights Commission (IPHRC) dengan tajuk "Freedom of expression
Versus Hate Speech."
160 Kerjasama antara OKI dan UE juga ditandai dengan diadakannya pertemuan
Perwakilan Tinggi UE, Federica Mogherini, dengan Sekretaris Jenderal OKI, Yusuf bin
Ahmad Al-Othaimeen. Pertemuan tersebut membahas tentang pentingnya pelaksanaan
dialog untuk mengatasi berbagai masalah bersama. Mereka juga menyatakan tekadnya
untuk tetap membersamai komunitas Muslim di Eropa untuk meningkatkan partisipasi
pemuda Muslim dalam sistem sosial politik Eropa dan mengajak mereka untuk
berpartisipasi dalam memerangi penyebaran radikalisme dan terorisme.
5. Menyuarakan di Media
Media, baik itu media elektronik maupun media cetak, berperan secara langsung atas
viralnya berbagai isu yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Menoleh kepada serangan-
serangan di Paris, tagar #PrayForParis atau #stopTerrorism menjadi trending topic
dalam jangka waktu yang lama. Tidak dapat dipungkiri bahwa tagar tersebut telah
menyatukan solidaritas dan kepedulian manusia dari seluruh dunia yang bahkan tidak
saling mengenal satu sama lain, untuk mendoakan Paris dan mengutuk terorisme.
5

Melihat media dengan kelihaiannya yang mampu membentuk, memantapkan, maupun


merubah perspektif, ide, dan gagasan masyarakat akan berbagai isu yang terjadi, maka
diperlukan kesadaran para pengguna media untuk bersikap secara bijak dan tepat.
6

REFERENCES

Barnett, J. (2007). Environmental Security and Peace. Journal of Human Security, 3(1), 4–
16. https://doi.org/10.3316/jhs0301004
Hansen, D. A., & Hemmasi, M. (2001). The state of the Organization of the Islamic
Conference ( OIC ) at the dawn of the new millennium. Geographical Essays, 4, 259.
https://pcag.uwinnipeg.ca/Prairie-Perspectives/PP-Vol04/Hansen-Hemmasi.pdf
Kern, S. (2012). Islam Overtaking Catholicism as Dominant Religion in France. Gatestone
Institute. https://www.gatestoneinstitute.org/3426/islam-overtaking-catholicism-france
OIC OBSERVATORY. (2017). Tenth Oic Observatory Report on Islamophobia (Issue
October 2016-May 2017).
https://www.oic-oci.org/upload/islamophobia/2017/10th_islamophobia_rep_en.pdf
OIC OBSERVATORY. (2018). OLITICAL AFFAIRS ADOPTED TO THE 45TH SESSION OF
THE COUNCIL OF FOREIGN MINISTERS ( SESSION OF ISLAMIC VALUES FOR
SUSTAINABLE PEACE, SOLIDARITY AND DEVELOPMENT) (Issues 5-6 May).
https://www.oic-oci.org/docdown/?docID=1868&refID=1078
Pradipta, C. A. (2016). Pengaruh Islamophobia Terhadap Peningkatan Kekerasan Muslim Di
Perancis. Global & Policy, 4(2), 1–18.
http://ejournal.upnjatim.ac.id/index.php/jgp/article/view/1920
Sunny Press Education. (2007). Defining Violence—Defining Peace. State University of New
York Press. https://www.sunypress.edu/pdf/61489.pdf
Wesel, B. (2020). Pergulatan Prancis Melawan Islamisme. DW.
https://www.dw.com/id/pergulatan-prancis-melawan-islamisme/a-55358565

Anda mungkin juga menyukai