Nim : C1AA20055
Tingkat : 2A
Tugas terstruktur dan mandiri pertemuan 11 mencari informasi dan referensi bahan kajian
tentang :
4. Gratifikasi
4. Gratifikasi
A. Pengertian Gratifikasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi adalah pemberian
yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh. Pengertian serupa
juga ditulis dalam situs resmi KPK.
Dalam laman tersebut dijelaskan, yang dimaksud dengan gratifikasi adalah
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pengertian tercantum dalam
menurut UU Nomor 20/2021 penjelasan pasal 12b ayat 1.
B. Perbedaan Gratifikasi dengan Suap
Dikutip dari laman resmi Kemdikbud, gratifikasi dijelaskan sebagai tindakan yang
tidak semuanya ilegal. Terdapat dua kategori dalam penerimaan suap yaitu
gratifikasi yang tidak dan dianggap suap.
1) Gratifikasi yang dianggap suap diberikan kepada pegawai negeri dan pejabat
negara yang dianggap tidak sesuai dengan kode etik untuk mempercepat proses
pelayanan atau menjamin proses pelayanan selesai tepat pada waktunya atau
untuk mempengaruhi keputusan.
Gratifikasi yang tidak dianggap suap dapat diberikan kepada pegawai negeri dan
pejabat negara yang dianggap tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
C. Contoh kasus gratifikasi yang dilarang
Beberapa contoh kasus gratifikasi yang dilarang adalah:
- Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan oleh
rekanan atau bawahannya
- Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan
kantor pejabat tersebut
- Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari
rekanan
- Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
- Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari
rekanan
- Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
- Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu
- Pemberian hadiah kepada dosen dari mahasiswa setelah melaksanakan sidang
skripsi.
Tugas terstruktur dan mandiri pbak pertemuan 12 mencari informasi dan referensi bahan kajian
tentang :
3. Ofstrucktion of justice
4. Justice Collaborator
5. Saber pungli
Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan
guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.
Jadi korupsi demi keuntungan pribadi, salah urus dari kekuasaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan
hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.22Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang berlaku terhitung mulai
tanggal 16 Agustus 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tujuan dengan diundangkannya
Undang-Undang Korupsi ini sebagaimana dijelaskan dalam konsiderans
menimbang diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan
kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas
secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan,
perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
uang/dana atau kekayaan hasil suatu tindak pidana melalui berbagai transaksi
keuangan agar uang atau harta tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang
sah/legal.
Adapun proses tindak pidana pencucian uang umumnya dilakukan melalui tiga
langkah tahapan: tahap pertama adalah (tahap penempatan/placement) dalam arti
uang/dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana/kejahatan ditempatkan
pada sistem keuangan. dengan berbagai cara (tahap penempatan/placement). Tahap
kedua adalah melakukan transaksi keuangan yang kompleks, dengan tujuan sulit untuk
dilacak asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut (tahap
pelapisan/layering), sedangkan tahap terakhir atau tahap ketiga (final) merupakan
tahapan di mana pelaku tindak pidana tersebut memasukkan kembali dana yang sudah
kabur asal usulnya ke dalam harta kekayaannya yang telah tampak sah baik untuk
dinikmati langsung. Adapun yang dimaksud Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU TPPU adalah Harta Kekayaan yang
diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e.
penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di
bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan
orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q.
penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang
perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang
kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana
penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
3. Ofstrucktion of justice
Istilah obstruksi keadilan yang berasal dari sistem hukum Anglo Saxon, yang
diterjemahkan dalam hukum pidana Indonesia sebagai "tindak pidana menahan proses
hukum". Dalam Black's Law Dictionary, Obstruction of Justice adalah segala bentuk
intervensi untuk seluruh proses hukum dan keadilan dari awal hingga proses itu
selesai.
Intervensi tersebut dapat berupa keterangan palsu, menyembunyikan bukti-bukti dari
kepolisian atau kejaksaan ataupun mencelakai atau meng buktikan bentuk para saksi
atau hakim.
Terdapat 3 (tiga) unsur halangan peradilan yaitu tindakan tersebut menyebabkan
terjaganya proses hukum ( menunggu proses peradilan ); pelaku mengetahui
tindakannya atau menyadarinya ( pengetahuan tentang proses yang tertunda ); dan
pelaku melakukan atau mencoba menyimpang dengan tujuan untuk mengganggu atau
mengintervensi proses atau administrasi hukum ( bertindak korup dengan niat) .
Obstruction of justice dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 22
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Istilah obstruction of justice kembali menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini
dalam kaitannya dengan skandal terpidana dan buronan perkara korupsi Joko Tjandra.
Anita Kolopaking, kuasa hukum Joko Tjandra dan jaksa Pinangki Sirna Malasari
telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pelarian Joko Tjandra.
Secara garis besar, obstruction of justice dapat diterjemahkan sebagai tindak pidana
menghalangi proses hukum. Ketentuan mengenai obstruction of justice (tindak pidana
menghalangi proses hukum) ini dapat ditemukan di antaranya dalam ketentuan pasal
221 KUHP dan pasal 21 UU Tipikor.
Pasal 221 KUHP melarang setiap orang yang dengan sengaja menyembunyikan
atau menolong orang yang dituntut melakukan kejahatan agar orang yang
disembunyikan atau ditolong tersebut terhindar dari proses hukum. Tindakan
menyembunyikan atau menolong orang yang terjerat kasus hukum ini dilakukan
dengan maksud untuk menutupi, menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan
atau penuntutan.
KUHP juga mengancam pidana setiap orang yang berupaya menghilangkan atau
menyembunyikan alat bukti dengan ancaman maksimal 9 bulan penjara atau denda
Rp4.500.000. Sementara itu, Pasal 21 UU Tipikor mengancam pidana setiap orang
yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan baik secara langsung
maupun tidak langsung upaya penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan baik yang dilakukan terhadap tersangka, terdakwa maupun saksi dalam
perkara korupsi dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling
lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000 dan paling banyak
Rp600.000.000. Spesifik berbicara mengenai ketentuan Pasal 21 UU Tipikor, salah
satu kasus yang sempat cukup ramai dibicarakan adalah kasus Fredrich Yunadi, kuasa
hukum Setya Novanto yang divonis 7 tahun penjara dan denda Rp500.000.000
subsider 5 bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta karena dianggap terbukti melanggar ketentuan Pasal 21 UU Tipikor.
4. Justice Collaborator
Melansir dari Legal Smart Channel, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan HAM, justice collaborator adalah seorang pelaku tindak
pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar
kejahatan atau kasus yang dinilai pelik dan besar. Justice collaborator dalam
perkembangan terkini mendapat perhatian serius, karena peran kunci mereka dalam
"membuka" tabir gelap tindak pidana tertentu yang sulit diungkapkan oleh penegak
hukum. Justice collaborator diartikan sebagai pelaku suatu tindak pidana yang
membantu atau membantu penegak hukum. Peran kunci yang dimiliki oleh justice
collaborator antara lain:
Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana,
sehingga tindakan suatu aset dari hasil suatu kejahatan dapat dicapai kepada negara;
Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; dan
Memberikan membuktikan dalam proses peradilan.
Dengan demikian kedudukan justice collaborator merupakan saksi sekaligus
tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan, selanjutnya dari
keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan yang
akan dijatuhkan.
Terminologi
Justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun
1970-an. Dimasukkannya doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat
sebagai salah satu norma hukum di negara tersebut dengan alasan perilaku mafia yang
selalu menutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut . Oleh
karena itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice
collaborator berupa perlindungan hukum. Kemudian terminologi justice collaborator
berkembang pada tahun selanjutnya di beberapa negara, seperti di Italia (1979),
Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986), dan Jerman (1989).
Dalam perkembangannya, pada konvensi Anti Korupsi ( United Nation
Convention Against Corruption – UNCAC ) dilakukan sebagai upaya untuk menekan
angka korupsi secara global. Dengan adanya kerjasama internasional untuk
menghapuskan korupsi di dunia, maka-nilai korupsi yang disepakati untuk disepakati
oleh banyak negara. Salah satu hal yang diatur dalam konvensi UNCAC, pada
ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan (3) adalah penanganan kasus khusus bagi pelaku
tindak pidana korupsi yang ingin dicapai dengan aparat penegak hukum. Kerjasama
tersebut di atas ditujukan untuk mengusut pelaku lain pada kasus yang melibatkan si
pelaku. Kemudian kerjasama antara pelaku dengan penegak hukum yang dikenal
dengan istilah Justice Collaborator.Konvensi UNCAC telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa
Anti Korupsi, 2003).
5. Saber Pungli
Satgas Saber Pungli mempunyai tugas melaksanakan pemberantasan pungutan liar
secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja,
dan sarana prasarana, baik yang berada di kementerian/lembaga maupun pemerintah
daerah.
dapun wewenang Satgas Saber Pungli adalah: a. Membangun sistem pencegahan dan
pemberantasan pungutan liar; b. Melakukan pengumpulan data dan informasi dari
kementerian/lembaga dan pihak lain yang terkait dengan menggunakan teknologi
informasi; c. Mengoordinasikan, merencanakan, dan melaksanakan operasi
pemberantasan pungutan liar; d. Melakukan operasi tangkap tangan; e. Memberikan
rekomendasi kepada pimpinan kementerian/lembaga, serta kepala pemerintah daerah
untuk memberikan sanksi kepada pelaku pungli sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; f. Memberikan rekomendasi pembentukan dan pelaksanaan
tugas lain unit Saber Pungli di setiap instansi penyelenggara pelayaan publik kepada
pimpinan kementerian/lembaga dan kepala pemerintah daerah; dan g. Melakukan
evaluasi pemberantasan pungutan liar.
Tugas terstruktur dan mandiri pbak pertemuan 13 mencari informasi dan referensi bahan kajian
tentang :
1. Pelayanan Publik
Unsur kedua, adalah orang, masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau
memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya tawar
atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak memiliki
akses untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang mendorong
terjadinya komunikasi dua arah untuk melakukan KKN dan memperburuk citra
pelayanan dengan mewabahnya pungli, dan ironisnya dianggap saling
menguntungkan.
1. Pelayanan Barang
Pelayanan publik kategori ini bisa dilakukan oleh instansi pemerintah yang
sebagian atau seluruh dananya merupakan kekayaan negara yang tidak bisa
dipisahkan atau bisa diselenggarakan oleh badan usaha milik pemerintah yang
sebagian atau seluruh dananya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan (Badan
Usaha Milik Negara/BUMN).
Pelayanan barang Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk atau jenis
barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga
listrik, air bersih dan sebagainya.
2. Pelayanan Administratif
3. Pelayanan Pembangunan
4. Pelayanan Utilitas
Pelayanan Utilitas merupakan penyediaan utilitas seperti listrik, air, telepon, dan
transportasi.
6. Pelayanan Kemasyarakatan
Setiap hari kita selalu bertemu dengan layanan publik, mulai dari bangun tidur,
menghidupkan lampu bertemu dengan layanan listrik oleh PLN, kemudian mandi
pagi, bertemu dengan layanan penyediaan air oleh PDAM, berangkat kerja melewati
jalan raya, bertemu dengan layanan infrastruktur jalan oleh Kementerian Pekerjaan
Umum / Dinas Pekerjaan Umum, demikian seterusnya dalam hampir seluruh aktivitas
kita sehari-hari kita selalu bersentuhan dengan pelayanan publik, baik langsung
maupun tidak langsung. Dalam pelayanan publik yang kita hadapi sehari-hari tidak
jarang kita bertemu dengan pelayanan publik yang buruk, pada saat seperti inilah
seringkali kita sebagai masyarakat bingung, jika terjadi penyimpangan dalam
pelaksanaan pelayanan publik, kepada siapa harus mengadu? Siapakah yang
sebenarnya berhak untuk melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik?
Menurut Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik Pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui:
3. Peran mahasiswa
Korupsi yang telah terjadi secara meluas, sistemik, dan kolutif telah merugikan
keuangan Negara, perekonomian nasional, dan menghambat pembangunan nasional,
sehingga dalam upaya pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien diperlukan
kerja sama erat antara seluruh elemen masyarakat.
Peran lembaga pendidikan atau dunia universitas sangat strategis dalam upaya
percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sejak berdirinya 11 tahun yang lalu,
KPK telah melakukan kerja sama dalam bentuk Nota Kesepahaman/ Memorandum of
Understanding (MoU) dengan 82 (delapan puluh dua) Perguruan Tinggi Negeri dan
Swasta di Indonesia. Sebagai salah satu implementasi kerjasama, diantaranya melalui
peran aktif 34 Perguruan Tinggi dalam kegiatan perekaman persidangan tipikor dalam
rangka pengawasan dan mendorong transparansi peradilan di 33 Propinsi di
Indonesia. Selain itu, beberapa Fakultas Hukum di Indonesia telah melakukan kajian
terkait tindak pidana korupsi maupun eksaminasi/bedah kasus terhadap putusan
peradilan dan secara mandiri membangun Pusat Studi yang mengusung isu fokus anti
Korupsi.
Selain itu, kerjasama KPK - Perguruan Tinggi dalam bidang pencegahan korupsi
antara lain melalui Pendidikan Anti-korupsi/kurikulum anti-korupsi, penelitian,
sosialisasi dan partner kampanye antikorupsi. Sedangkan dalam bidang Penindakan,
kerjasama dengan perguruan tinggi dalam hal pemberian keterangan ahli di
persidangan dan narasumber dalam hal pelatihan Penyelidik/Penyidik/Penuntut
Umum.
Dalam rentang waktu 2005 hingga sekarang, telah berdiri beberapa pusat Kajian
di berbagai Universitas baik di tingkatan Universitas maupun Fakultas hukum, namun
sampai saat ini belum ada pertemuan lanjutan dari ACS tahun 2005. Pertemuan ini
sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi peran yang sudah dilakukan kampus
peserta ACS maupun kampus-kampus lain di Indonesia, sekaligus menjajaki
sinergitas dan peningkatan potensi kerjasama antar pusat Kajian tersebut. Dengan
diadakannya pertemuan tesebut, maka diharapkan terjadinya konsolidasi upaya
pemberantasan Korupsi berbasis kampus.
Menurutnya, bangsa perlu diberi kontribusi berupa aktivitas konkret yang mana
hal tersebut perlu didukung oleh para agen perubahan (agent of change), terutama
dari kalangan civitas akademika, terutama mahasiswa. Busyro menngungkapkan
korupsi muncul jika ada demoralisasi yang dilakukan aktor kekuasaan. “Aktor
kekuasaan tersebut adalah para elite politik dan birokrasi,” jelasnya. Korupsi bisa
ditekan jika para aktor kekuasaan punya moral dan etika yang baik. Hampir 70%
kekayaan Negara berasal dari penerimaan pajak yang paling rentan menjadi sumber
korupsi. “Dari tahun ke tahun, korupsi menjadi permasalahan yang meningkat
intensitasnya,” terang Busyro. Dari penyelewengan uang Negara tersebut, sektor
belanja barang dan jasa merupakan sektor yang sering dimanipulasi maupun melalui
penggelapan anggaran fiktif. Pelaku dari penggelapan anggaran Negara umumnya
mereka yang punya jabatan publik serta pengusaha yang memiliki kerjasama dengan
penguasa.
Sementara itu, aktivis Hukum yang juga mantan kandidat Ketua KPK, Bambang
Widjojanto mengungkapkan jika selama ini masih ada bias paradigma terkait korupsi.
“Masih terdapat bias paradigma dalam masyarakat yang beranggapan jika korupsi
hanya terkait dengan persoalan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan para
koruptor tersebut. Korupsi juga hanyalah isu kerugian Negara dan dilakukan oleh
penyelenggara Negara. Korupsi seolah-olah hanya menjadi permasalahan hukum. Hal
ini merupakan pandangan sempit karena korupsi tak semata-mata merugikan
keuangan Negara,” tegas Bambang. Ia melanjutkan jika dampak korupsi tak hanya
merugikan keuangan Negara. “Lebih dari itu, korupsi bisa menghancurkan peradaban
dimana nilai etika dan sistem keadilan, ekonomi, dan keberlanjutan Negara bisa
rusak. Hal ini karena korupsi merupakan miniatur kejahatan yang bisa
menghancurkan proses kinerja dan sistem dalam Negara,” tegas Bambang. Bambang
juga mengatakan jika sistem Negara justru memproduksi koruptor lebih banyak
daripada membawa koruptor ke pengadilan. Untuk itulah, gerakan pemberantasan
korupsi menjadi sangat penting dilakukan untuk kemudian bisa mengintegrasikan
kebijakan preventif dalam pemberantasan korupsi secara terkonsolidasi.
Bambang memaparkan jika saat ini bangsa memerlukan orang tak hanya
artikulasi, namun juga memerlukan orang yang memiliki kecerdasan berbagai macam
modus operandi bagaimana kemungkinan korupsi tersebut bekerja. “Korupsi
dilakukan dengan cara yang cerdas, oleh karenanya dalam mengupayakan
pemberantasan korupsi, dibutuhkan keterampilan yang mana korupsi dapat dilawan
dengan intelektualitas juga dengan memahami berbagai modus operandi yang
memungkinkan munculnya korupsi. Dengan ini diharapkan akan muncul gerakan
sosial anti korupsi demi perubahan yang lebih baik,” tandasnya.
3. Peran Mahasiswa
perbuatan korupsi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, upaya pemberantasan korupsi dimulai dari awal
masuk perkuliahan. Pada masa ini merupakan masa penerimaan mahasiswa, dimana
mahasiswa diharapkan mengkritisi kebijakan internal kampus dan sekaligus
melakukan pressure kepada pemerintah agar undang-undang yang mengatur
pendidikan tidak memberikan peluang terjadinya korupsi. Di samping itu, mahasiswa
melakukan kontrol terhadap jalannya penerimaan mahasiswa baru dan melaporkan
kepada pihak-pihak yang berwenang atas penyelewengan yang ada.
Hal krusial lain dalam masa ini adalah masalah penggunaan dana yang ada
dilingkungan kampus. Untuk itu diperlukan upaya investigatif berupa melakukan
kajian kritis terhadap laporan-laporan pertanggungjawaban realisasi penerimaan dan
pengeluarannya. Sedangkan upaya edukatif penumbuhan sikap anti korupsi dapat
dilakukan melalui media berupa seminar, diskusi, dialog. Selain itu media berupa
lomba lomba karya ilmiah pemberantasan korupsi ataupun melalui bahasa seni baik
lukisan, drama, dan lain-lain juga dapat dimanfaatkan juga.
Selanjutnya pada tahap akhir perkuliahan, dimana pada masa ini mahasiswa
memperoleh gelar kesarjanaan sebagai tanda akhir proses belajar secara formal.
Mahasiswa harus memahami bahwa gelar kesarjanaan yang diemban memiliki
konsekuensi berupa tanggung jawab moral sehingga perlu dihindari upaya-upaya melalui
jalan pintas.