Anda di halaman 1dari 37

Nama : Marisa Baland Destiana

Nim : C1AA20055

Prodi : Sarjana Keperawatan

Tingkat : 2A

Matkul : Pendidikan Budaya Anti Korupsi

Dosen : Dr. Yohan Fran U, M.H

Resume dari pertemuan 9-14

Tugas terstruktur dan mandiri pbak

Pertemuan 9 mencari informasi dan referensi tentang :

1. Gerakan dan kerjasama internasional pencegahan korupsi

2. Gerakan lembaga swadaya internasional dalam pencegahan korupsi

3. Instrumen internasional pencegahan korupsi

1. Gerakan dan Kerjasama Internasional Pencegahan Korupsi


korupsi adalah salah satu masalah dan tantangan besar yang dihadapi
olehmasyarakat internasional pada saat ini. korupsi tidak hanya mengancampemenuhan
hak-hak dasar manusia dan menyebabkan macetnya demokrasi danproses demokratisasi,
namun juga mengancam pemenuhan hak dasar manusia,merusak lingkungan hidup,
menghambat pembangunan dan meningkatkan angkakemisikinan jutaan orang di seluruh
dunia. seperti masyarakat internasionaluntuk memberantas korupsi dalam rangka
mewujudkan pemerintahan yang lebihbaik, lebih bersihda nlebih tanggung-jawa bsanga
tbesar. sepertiinihendak diwujudkan tidak hanya di sektor umum namun juga di sektor
swasta.Gerakan ini dilakukan baik oleh organisasi internasional maupun
LembagaSwadaya Internasional (Internasional LSM). Berbagai gerakan
dankesepakatankesepakatan internasional ini dapat menunjukkan keinginanmasyarakat
internasional untuk memberantas korupsi. Gerakan masyarakat sipil(sipil masyarakat)
dan sektor swasta di tingkat internasional patut perludiperhitungkan, karena mereka telah
dengan gigih berjuang melawan korupsiyang membawa dampak negatif rusaknya
perikehidupan umat manusia.
Menurut Jeremy Paus, agar strategi pemberantasan korupsi berhasil, penting
sekali sekali melibatkan masyarakat sipil. Upaya apapun yang dilakukan
untukmengembangkan strategi anti korupsi tanpa melibatkan masyarakat sipil akan sia-
sia karena umumnya negara yang peran masyarakat sipilnya rendah, tingkat korupsinya
akan tinggi.
Ada berbagai macam gerakan atau kerjasama internasional untukmemberantas
korupsi. Gerakan dan kerjasama ini dilakukan baik secara internasional melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa, kerjasama antar negara, jugakerjasama oleh masyarakat
sipil atau Lembaga Swadaya Internasional(Internasional LSM). Sebagai akun lembaga
pendidikan, universitas merupakan bagian dari masyarakat sipil yang memiliki peran
statusgis dalam mencari pemberantasan korupsi.
Gerakan organisasi internasional Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia
telah menjadinegara peserta dalam beebrapa konvensi internasional yang mengatur
kejaatanlintas negara diantaranya :
 PBB Konvensi melawan tidak sah lalu lintas di dalam obat bius narkoba dan
psikotropikazat yang diratifikasi dengan Undang Undang No.7 tahun 1997.
 PBB Konvensi melawan korupsi (UNCAC) yang diratifikasi denganUndang
Undang No.7 tahun 2006.
 BB Konvensi melawan lintas negara terorganisir kejahatan yang
diratifikasidengan Undang Undang Nomor 5 tahun 2009.

2. Gerakan Lembaga Swadaya Internasional dalam Pencegahan Korupsi


Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGOs baik tingat lokal atau
internasional
juga memiliki peranan penting untuk mencegah dan memberantas korupsi. Mereka
adalah bagian dari masyarakat sipil (civil society) yang keberadaannya tidak dapat
diremehkan begitu saja. Sejak era reformasi, LSM baru yang bergerak di bidang
Anti-Korupsi banyak bermunculan. Sama seperti pers yang bebas, LSM memiliki
fungsi untuk melakukan pengawasan atas perilaku pejabat publik. Simak saja apa
yang telah dilakukan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch), salah satu LSM lokal
yang berkedudukan di Jakarta. LSM ini menjadi salah satu garda terdepan yang
mengawasi segala macam perbuatan pemerintah dan perilaku anggota parlemen dan
lembaga peradilan. Sama seperti pekerjaan jurnalisme yang berbahaya, penculikan,
penganiayaan dan intimidasi terhadap aktivis LSM sangat sering terjadi.
ransparency International (TI) merupakan Non Government Organization
(NGO) anti korupsi yang mempromosikan transparansi serta akuntabilitas yang
terfokus kepada lembaga-lembaga seperti negara, partai politik, pasar dan masyarakat
sipil. (wawancara DH, Deputi Sekjen pada 5 Maret 2015 di Sekretariat TII)
Transparency International didirikan pada tahun 1993 oleh pensiunan pejabat
bank Dunia, Peter Eigen bersama dengan sembilan orang lainnya di Berlin.
Transparency international adalah sebuah organisasi non pemerintahan yang didanai
oleh berbagai lembaga pemerintahan, yayasan internasional dan perusahaan. Lembaga
ini memiliki 90 chapter diseluruh dunia. (Allen dan Overy: 2)
Dengan dilatarbelakangi oleh kejadian pada Setiap harinya di seluruh dunia,
orang-orang biasa menanggung biaya korupsi. Di banyak negara, korupsi
mempengaruhi orang dari lahir sampai mati. Di Zimbabwe, wanita melahirkan di
rumah sakit setempat telah didakwa US $ 5 setiap kali mereka berteriak sebagai
hukuman untuk menaikkan alarm palsu. Di Bangladesh, runtuhnya Pabrik bertingkat
baru, yang menewaskan lebih dari 1.100 orang. Hal ini disebabkan karena terdapat
pelanggaran standar keselamatan dasar, yang telah dikaitkan dengan tuduhan korupsi.
(Hardoon dan Heinrich: 2013: 3).
Pendirian organisasi ini juga didukung dengan maraknya topik korupsi yang
kian menjadi tabu yaitu ketika terdapat beberapa kepala Negara melakukan korupsi,
dan tidak ada konvensi global yang bertujuan untuk memberantas korupsi juga tidak
ada cara untuk mengukur korupsi pada skala global. (Our History, Transparency.org)
Karena bertujuan untuk memiliki dampak global, pendiri Transparency
International mengakui banyak Negara yang memenangi pertempuran anti korupsi di
tingkat nasional. Kemudian TI menggabungkan advokasi global dengan memperluas
jaringan chapter nasional di Denmark, Ekuador, Jerman, Inggris dan Amerika Serikat.
Kemudian Argentina Negara pertama yang bergabung menjadi chapter TI. (Our
History, Transparency.org)
Pada 1994 korupsi menjadi agenda dunia yang menjadi sorotan. Saat itu TI
mendorong Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memberikan
rekomendasi untuk mengkriminalisasi suap asing. Dan kemudian chapter Ekuador TI
merintis fakta integritas pertama pada proyek rehabilitasi kilang minyak. (Our History,
Transparency.org)
Di tahun selanjutnya TI berkembang dengan adanya 26 chapter nasional dan
mulai mempublikasikan indeks persepsi korupsi (CPI) perdana, sebuah tonggak dalam
upaya mengukur tingkat korupsi ke sektor publik. Dirilisnya CPI tersebut ternyata
cepat dijemput oleh media di seluruh dunia karena dianggap mampu meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang korupsi dan memicu persaingan antar negara untuk
meningkatkan nilai mereka dalam hal meminimalisir korupsi. Disaat itu sekretariat TI
terlibat dalam mengorganisir konferensi internasional anti korupsi (IACC) sebuah
peristiwa besar yang terus mempertemukan lebih dari 1.500 aktivis anti-korupsi dan
ahli setiap dua tahun. (Our History, Transparency.org).
Pada tahun 1997 chapter TI dari 34 negara sepakat untuk memberlakukan dan
menegakkan hukum yang melarang membayar suap kepada pihak berwenang di negara
lain. Dan siapa pun yang melanggar dari Konvensi OECD dapat dituntut berdasarkan
hukum pidana nasional. Dan di akhir tahun TI berkembang memiliki 49 chapter hingga
tahun 1998 Indeks Persepsi Korupsi tumbuh untuk menjadi 85 negara. (Our History,
Transparency.org).
Di awal tahun 2000, TI membuat inovasi baru dalam pemberantasan korupsi
yaitu bekerja bersama 11 bank internasional besar dengan memfasilitasi penciptaan
prinsip anti pencucian uang Wolfsberg. Selama tahun 2002, Transparency International
bekerja sama dengan berbagai kelompok pemangku kepentingan dari perusahaan
besar, serikat pekerja, akademisi dan LSM lainnya untuk mengembangkan Prinsip
Bisnis untuk Melawan Penyuapan. Publikasi ini bertemu kebutuhan dasar namun
penting, membimbing perusahaan mengenai bagaimana merancang dan memperbaiki
program anti-penyuapan mereka. (Our History, Transparency.org)
Di tahun 2004 melihat inisiatif baru untuk memperkuat keterlibatan bisnis anti-
korupsi. Transparency International membantu mengembangkan Kemitraan Against
Corruption Initiative (PACI) atau dalam bahasa Indonesia merupakan Prinsip Forum
Ekonomi Dunia. Di bawah PACI, dalam waktu CEO dari lebih dari 125 perusahaan
besar sepakat untuk membuat program anti-korupsi dan mengadopsi toleransi suap.
(Our History, Transparency.org).
Pada tahun 2008 TI ikut membantu pada industri minyak dan gas. TI
'mempromosikan laporan transparansi pendapatan, memeriksa transparansi
pembayaran dari perusahaan kepada pemerintah untuk hak ekstraksi sumber daya,
mencari ruang untuk perbaikan. (Our History, Transparency.org)
Melihat perjalanan yang telah dilakukan, Transparency International berusaha
menjadi organisasi msayarakat sipil global yang memimpin perjuangan melawan
korupsi bersama dengan negera-negara diseluruh dunia untuk mengakhiri dampak
buruk korupsi.
Dengan beberapa langkah dan strategi anti korupsi TI menganggap cara yang
dilakukannya tersebut telah meningkatkan kesadaran dan mengurangi sikap apatis dan
toleran terhadap korupsi.
Secara garis besar TI tidak melakukan penyelidikan dugaan korupsi atau
mengekspos kasus-kasus tertentu, dengan membantu organisasi atau lembaga lain
dalam melakukannya. (wawancara DH, Deputi Sekjen).

3. Instrumen Internasional Pencegahan Korupsi


1) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
Salah satu instrument internasional yang sangat penting dalam rangka pencegahan
dan pemberantasan korupsi adalah United Nations Convention Against
Corruption yang telah ditandatangani oleh lebih dari 140 negara.
Penandatanganan pertama kali dilakukan di konvensi internasional yang
diselenggarakan di Merida, Yucatan, Mexico, pada tanggak 31 oktober 2003.
Beberapa hal penting yang diatur dalam konvensi adalah :
 Masalah Pencegahan
 Kriminalisasi
 Kerjasama Internasional
 Pengembalian asset-aset hasil korupsi
 Masalah Pencegahan
 Pembentukan badan anti korupsi
 Peningkatan Transparasi dalam pembiayaan
 Promosi terhadap efisiensi dan transparasi pelayanan public
 Rekrutmen atau penerimaan pelayanan public
 Transparasi dan akuntabilitas keuangan public
2) Convention On Bribery Of Foreign Publik Official in Internasional Business
Transaction
 Convention On Bribery of Foreign Public Official in Interational Business
Transaction adalah sebuah konvensi internasional yang dipelopori oleh
OECD.
 Konvensi anti suap ini menetapkan standar-standar hokum yang mengikat
(legally binding) negara-negara peserta untuk mengkriminalisasi pejabat
public asing yang menerima suap ( bribe) dalam transaksi bisnis internasional.
 Konvensi ini juga memberikan standar-standar atau langkah-langkah yang
terkait yang harus dijalankan oleh negara peserta sehingga isi konvensi akan
dijalankan oleh negara-negara peserta secara efektif.
 Ada 34 negara anggota OECD dan empat negara non-anggota yakni
Argentina, Brasil, Bulgaria dan Afrika Selatan yang telah meratifikasi dan
mengadopsi konvensi internasional ini.
 Convention on Bribery of Foreign Public Official in Internasional Business
Transaction adalah konvensi internasional pertama dan satu-satunya
instrument anti korupsi yang memfokuskan diri pada sis ‘supply’ dari tindak
pidana suap.
Tugas terstruktur dan mandiri pbak pertemuan 10 mencari informasi dan referensi bahan kajian
tentang :

1. Gerakan kerjasama dan instrumen nasional pencegahan korupsi

2. Gerakan dan kerjasama nasional pencegahan korupsi

3. Instrumen nasional pencegahan korupsi

4. Lembaga pencegahan korupsi

1. Gerakan Kerjasama dan instrument Nasional Pencegahan Korupsi


Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang
efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan
kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak
pidana korupsi. Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus yang
berlaku sejak tahun 1957 dan telah diubah sebanyak 5 (lima) kali, akan tetapi peraturan
perundang-undangan yang dimaksud belum memadai, antara lain karena belum adanya
kerja sama internasional dalam masalah pengembalian hasil tindak pidana korupsi.
Arti penting dari dilakukannya ratifikasi konvensi Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)
adalah
1. Untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak,
membekukan, menyita dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana
korupsi yang ditempatkan di luar negeri.
2. Untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata
pemerintahan yang baik.
3. Untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan
perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan
narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan
hukum.
4. Untuk mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran
informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
di bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis
pada lingkup bilateral, regional dan multilateral.
5. Untuk harmonisasi peraturan perundangan-undangan nasional dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang sesuai
dengan konvensi ini Konvensi UNCAC mengenai antrikorupsi merupakan instrumen
internasional yang mengikat anggota PBB yang meratifikasinya.
Terdapat lima bagian utama yang diatur dalam konvensi ini
1. Tindakan-tindakan pencegahan
2. Kriminalisasai dan penegakkan hukum,
3. Kerjasama internasional
4. Pengembalian aset
5. Bantuan teknis serta pertukaran informasi
Penanggulangan Korupsi di Indonesia dalam Kerangka UNCAC
1. Korupsi termasuk tindak pidana yang bersifat “extra ordinary crime” artinya kejahatan
yang luar biasa dan bersifat transnasional, sehingga pemberantasannya diperlukan kerja
sama internasional. Kerjasama ini dituangkan dalam United National Convention Against
Corruption pada tanggal 29 September 2003.
2. Pasal 38 , memberi jalan kerja sama antar negara, dimana masing-masing negara
menyiapkan regulasi yang mendorong kerja sama dalam penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan terhadap pelaku kejahatan.
3. Keprihatinan masyarakat internasional terhadap korupsi mencapai puncaknya dengan
dideklarasikannya United Decralarations Convention Against Corruption (UNCAC) yang
disahkan dalam konferensi Diplomatik
di Merida Mexico pada Desember 2003. Sidang Mejelis Umum PBB dengan Resolusi
Nomor 57/169. Di dalam bagian pembukaan Konvensi PBB tersebut ditegaskan, bahwa
masyarakat internasional (peserta konvensi) prihatin atas keseriusan dari masalah-
masalah dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan
keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi,
nilai-nilai etika dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan
supremasi hukum.
4. Bila dikaitkan dengan permasalahan penegakan hukum di bidang korupsi di Indonesia,
maka aspek budaya hukum inilah yang cenderung kurang mendapat perhatian. Secara
substansial telah banyak perundang- undangan yang dapat didayagunakan untuk
memberantas korupsi. Mulai dari UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 20 Tahun 2001, sampai pada UU No. 28 Tahun 1999 tentang Anti
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan terakhir 2006 KPK
5. Sedangkan secara struktural, telah dimiliki banyak institusi yang dapat digunakan
untuk menanggulangi dan memberantas korupsi. Seperti Kepolisian, Kejaksaan, Komisi
Ombudsman Nasional. Sedangkan di bidang pengawasan telah ada Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat-
inspektorat dan sebagainya

2. Gerakan dan Kerjasama Nasional Pencegahan Korupsi


Berdasar Perpres No. 55-2012: Stranas PPK Untuk Wujudkan Pemerintahan
Bebas Korupsi, disusnlah Strategi Nasional Pencegahan dan pemerantasan Korupsi.
Strategis Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) Jangka
Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2014, yang diluncurkan oleh
Wakil Presiden (Wapres) Boediono di Istana Wapres, merupakan acuan langkah-langkah
strategis Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk memastikan terwujudnya
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik korupsi, sesuai
Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012. Perpres tersebut dimaksudkan untuk
mempercepat upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, dan sejalan dengan
komitmen Pemerintah untuk meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003, yang
sudah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, dengan menyusunnya
dalam 2 (dua) strategi, yaitu Strategi Nasional Jangka Panjang 2012-2025 dan Jangka
Menengah 2012-2014. Stranas PPK memuat visi, misi, sasaran, strategi, dan focus
kegiatan prioritas pencegahan dan pemberantasan korupsi jangka panjang tahun 2012-
2025, dan jangka menengah tahun 2012-2014, serta peranti anti korupsi. Dalam Perpres
ini ditegaskan, bahwa Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah harus menjabarkan
dan melaksanakan Stranas PPK melalui Aksi PPK yang ditetapkan setiap 1 (satu) tahun.
Penetapan Aksi PPK untuk Kementerian/Lembaga dilakukan dengan berkoordinasi
dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) /Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas). Presiden juga menugaskan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas untuk memantau dan mengevaluasi
pelaksanaaan Aksi PPK, dan memerintahkan Kementerian/Lembaga menyampaikan
laporan pelaksanaan Aksi PPK sekurang-kurangnya setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada
Menteri PPN/Kepala Bappenas. Selanjutnya Menteri PPN/Kepala Bappenas
menympaikan hasil pelaksanaan Stranas PPK kepada Presiden setiap 1 (satu) tahun
sekali.
Dalam melaksanakan Stranas PPK itu, Presiden meminta Kementerian/Lembaga
dan Pemerintah Daerah untuk melibatkan peran serta masyarakat. Pelibatan itu dapat
dimulai dari tahap penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
Hasil pelaksanaan Stranas PPK menjadi bahan pelapran pada forum Konferensi Negara-
Negara Peserta (Conference of the State Parties) Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun
2003, sesuai Pasal 10 Ayat 1 Perpres Nomor 55 Tahun 2012 .

3. Instrumen Nasional Pecegahan Korupsi


Dalam banyak penanganan kasus kejahatan kehutanan, pendekatan korupsi relatif
baru saja dilakukan. Sebelumnya, pendekatannya selalu berada di wilayah sejauh mana
pelaku tidak mentaati peraturan-peraturan sektoral kehutanan. Kadang pendekatan ini
menjebak para penegak/pembela hukum - dengan berlindung dibalik teori hukum lex
specialis derogat legi generali [Peraturan khusus mengalahkan peraturan yang umum]-
untuk cukup hanya menerapkan hukuman administratif. Kondisi ini merupakan tantangan
yang cukup berat jika ingin menerapkan norma-norma hukum korupsi dalam menangani
kasus kejahatan kehutanan.
Selanjutnya, kebijakan dan peraturan yang ada kaitannya dengan penegakan hukum
korupsi, termasuk juga hukum acaranya, disajikan bersama dengan peraturan yang sifat
regional maupun internasional, yang mengikat maupun tidak mengikat. Peraturan yang
bersifat regional dan atau internasional penting diketengahkan mengingat semakin
nyatanya kejahatan kehutanan sebagai kejahatan yang terorganisir dan melewati lintas
teritorial negara.
Peraturan Korupsi Di Tingkat Nasional:
 Instrumen Pencegahan
Undang-Undang No 5/2009 tentang Ratifikasi UNITED NATIONS CONVENTION
AGAINST
TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME [Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi].
a. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
c. UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
d. UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e. Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan
Bebas KKN. f. UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
g. UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
h. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi.
i. Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
j. Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen.

4. Lembaga Pencegahan Korupsi


KPK adalah lembaga Negara di Indonesia yang bersifat independen dan bebas
dari pengaruh kekuasaan manapun. Lembaga ini dibentuk dengan tujuan meningkatkan
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tidak hanya penindakan kasus korupsi,
tetapi upaya pencegahan korupsi juga dilakukan KPK.
Berikutnya ada Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri yang bertugas
dalam penyelidikan dan penyidikan atas semua tindak pidana, termasuk di dalamnya
adalah korupsi. Lalu ada Kejaksaan Agung yang melakukan penyidikan, penuntutan, dan
melaksanakan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kemudian ada Mahkamah Agung selaku pengawas tertinggi terhadap jalannya peradilan
di semua lingkungan peradilan. Ada juga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan atau PPATK dengan tugas penyelidikan atas analisis transaksi keuangan. Tak
bisa dilupakan peran Kementerian Hukum dan HAM sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan.
Selanjutnya ada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selaku
pemantau, pemberi bimbingan, dan pembina terhadap kegiatan pengawasan keuangan
dan pembangunan. Lantas ada Komisi Yudisial yang menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berikutnya ada Ombudsman RI
yang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh
penyelenggara negara serta badan swasta untuk pelayanan publik tertentu yang dananya
bersumber dari APBN/APBD. Tak ketinggalan ada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
yang membantu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
dilakukan oleh pemerintah pusat, pemda, lembaga negara, BUMN, BLU, BUMD, dan
lainnya yang mengelola keuangan negara. Terakhir ada Inspektorat Jenderal sebagai
pelaksana pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan
Kementerian/Provinsi/Kabupaten/Kota.

Tugas terstruktur dan mandiri pertemuan 11 mencari informasi dan referensi bahan kajian
tentang :

1. Sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi

2. Latar belakang lahirnya delik korupsi dalam perundang undangan korupsi


3. Delik korupsi menurut UUD no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

4. Gratifikasi

1. Sejarah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


Komitmen pemberantasan korupsi merupakan tonggak penting dalam
pemerintahan sebuah negara. Di Indonesia, hampir setiap pemilihan kepala negara tak
luput dari kesungguhan meneropong apa komitmen yang diberikan oleh calon kepala
negara untuk memberantas korupsi. Tak pelak ini terjadi karena korupsi terus terjadi
menggerus hak rakyat atas kekayaan negara. Kekayaan negara yang berlimpah, nyaris
tak tersisa untuk kesejahteraan masyarakat. Semuanya tergerus oleh perilaku licik
birokrat berkongkalingkong dengan para koruptor. Komitmen pemberantasan korupsi
ini juga menjadi daya tarik pemilih untuk mencari calon kepala negara yang memiliki
komitmen nyata dan memberikan secercah harapan bahwa setiap orang yang berbuat
curang pada negara layak diusut sampai penghabisan.
Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde
Baru yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat itu
berlaku efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia.
Menyambung pidatonya di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan
Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang PemberantasanTindak Pidana
Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda
maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.
Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar Besar
Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk
memberantas korupsi. Namun pelaksanaan GBHN ini bocor karena pengelolaan
negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara di semua sektor
tanpa ada kontrol sama sekali.
Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan dibuat
lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tak
ada lagi. Lembaga yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim Orde Baru, sehingga taka
da kekuatan yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus korupsi secara
independen. Kekuatan masyarakat sipil dimandulkan, penguasa Orde Baru secara
perlahan membatasi ruang gerak masyarakat dan melakukan intervensi demi
mempertahankan kekuasaannya.
Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan
pemberantasan korupsi :
 GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih
dalam Pengelolaan Negara;
 GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka
Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang,
Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan
Liar serta Berbagai Bentuk Penyelewengan Lainnya yang Menghambat
Pelaksanaan Pembangunan;
Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
REFORMASI : PERJUANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI MASIH
BERLANGSUNG
Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa mengenyahkan
koruptor dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir dari
gerakan reformasi pada tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid
Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih
dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan negara
untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan
Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi
Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.
Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh
pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri
Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat
melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor
kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.
Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap
dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai
meragukan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan saat itu karena
banyaknya BUMN yang ditenggarai banyak korupsi namun tak bisa dituntaskan.
Korupsi di BULOG salah satunya.
Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara yang
seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudia membentuk Komisi
Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga ini
merupakan terobosan hukum atas mandeknya upaya pemberantasan korupsi di negara
ini. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.
KPK LAHIR, PEMBERANTASAN KORUPSI TAK PERNAH TERHENTI
Perjalanan panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin segar ketika
muncul sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang jelas
untuk memberantas korupsi. Meskipun sebelumnya, ini dibilang terlambag dari
agenda yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, pembahasan RUU
KPK dapat dikatakan merupakan bentuk keseriusan pemerintahan Megawati
Soekarnoputri dalam pemberantasan korupsi. Keterlambatan pembahasan RUU
tersebut dilatarbelakangi oleh banyak sebab. Pertama, perubahan konstitusi uang
berimpilkasi pada perubahan peta ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan legislative
heavy pada DPR. Ketiga, kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan pembahasan
RUU KPK salah satunya juga disebabkan oleh persolan internal yang melanda system
politik di Indonesia pada era reformasi.
Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal yang
dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan
kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan
Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu
berlaku pada tahun 2004-2009. Dengan menggunakan paradigma sistem hukum,
pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan sistem hukum yang mapan,
keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum, dukungan
internasional (structure), dan instrument hukum yang saling mendukung antara
hukum nasional dan hukum internasional.
Pemerintahan boleh berganti rezim, berganti pemimpin, namun rakyat Indonesia
menginginkan pemimpin yang benar-benar berkomitmen besar dalam pemberantasan
korupsi. Harapan dan keinginan kuat untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari
korupsi telah disandarkan di pundak pemimpin baru negara ini yang akan memulai
perjalanan panjangnya pada bulan Oktober mendatang. Kemauan politik kuat yang
ditunjukkan untuk mendukung lembaga pemberantas korupsi di negeri ini yang
nantinya akan dicatat sebagai sejarah baik atas panjangnya upaya pemberantasan
korupsi yang selama ini sudah dilakukan.

2. Latar Belakang lahirnya Delik Korupsi dalam Perundang undangan Korupsi


Ada 2 bagian dalam peraturan perundang-undangan korupsi terkait lahirnya delit-
delit korupsi yaitu:
Delit Korupsi Yang Dirumuskan Oleh Pembuat Undang-Undang
Adapun delik yang dirumuskan oleh pembuat undang-undang adalah delik-undang
yang dibuat dan dirumuskan secara khusus delik korupsi oleh para pembuat undang-
undang. Daftar ini dibuat atau dirumuskan meliputi 4 pasal saja di antaranya adalah
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 13, dan Pasal 15 undang-undang nomor 31 tahun 1999 juncto
undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam sejarah
pemberantasan kejahatan korupsi di Indonesia, beberapa kasus dapat dikategorikan
sebagai simbol pemberantasan korupsi, baik sebagai kegagalan maupun sebagai
keberhasilan.
Delik korupsi yang diambil dari KUHP, dan dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
 Delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari KUHP
Maksud dari delik korupsi yang ditarik secara mutlak adalah delit-delit yang
diambil dari KUHP dan kemudian diadopsi menjadi delit korupsi sehingga delik
korupsi tidak berlaku lagi dalam KUHP.
 Delit korupsi yang ditarik secara mutlak dalam KUHP
Maksud dari delit korupsi yang ditarik dari KUHP adalah delit yang diambil
dengan keadaan tertentu yakni berkaitan dengan pemeriksaan tindak pidana
korupsi. Jadi dengan berbeda secara mutlak, dimana ketentuan delik ini di dalam
KUHP tetap berlaku dan dapat diancamkan kepada pelaku yang perbuatannya
memenuhi syarat.
Akan tetapi jika ada masalah dengan pemeriksaan delik korupsi maka yang akan
diberlakukan adalah delik sebagaimana diatur dalam undang-undang korupsi.
Adapun delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari KUHP ini terdapat di dalam
Pasal 23 undang-undang nomor 31 tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yaitu diambil dari Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429,
dan Pasal 430 KUHP .

3. Delik Korupsi Menurut UUD no 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi
Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 mengatur perbuatan korupsi yang pertama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 perbuatan korupsi yang dilarang adalah memperkaya
diri, memperkaya orang lain, atau memperkaya suatu korporasi, perbuatan
memperkaya mana dilakukan dengan cara melawan hokum.
Secara gamblang dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, tindak
pidana korupsi di jelaskan dalam 13 pasal. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi
dirumuskan ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana korupsi, dan dari 30
(tiga puluh) jenis tindak pidana korupsi pada dasarnya dikelompokkan dalam 7
kelompok pidana korupsi dan Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi, yakni sebagai berikut :
A. 7 Kelompok Pidana Korupsi
1. Merugikan keuangan negara
- Melawan hukum dan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi dan dapat merugikan keuangan negara
- Menyalahgunakan kewenangan untuk keuntungan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi dan dapat merugikan keuangan negara
2. Suap-menyuap
- Menyuap pegawai negeri
- Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
- Pegawai negeri menerima suap
- Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
- Menyuap Hakim
- Menyuap advokat
- Hakim dan advokat menerima suap
3. Penggelapan dalam jabatan
- Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan atau membantu
melakukan perbuatan itu
- Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi
- Pegawai negeri merusakkan bukti
- Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti
- Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti
4. Pemerasan
- Pegawai negeri menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau
mengerjakan sesuatu untuk dirinya
- Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain
5. Perbuatan curang
- Pemborong/ahli bangunan berbuat curang
- Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
- Rekanan TNI/Polri berbuat curang
- Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
- Penerima barang untuk keperluan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
- Pegawai negeri menyerobot tanah negara, sehingga merugikan orang lain
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
- Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya
7. Gratifikasi
- Pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatan/kewenangangannya menerima
gratifikasi dan tidak lapor KPK dalam jangka waktu 30 hari.
. Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi
- Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
- Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya

- Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka


- Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
- Orang yang memegan rahasia jabatan tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan palsu
- Saksi yang membuka identitas pelapor.

4. Gratifikasi
A. Pengertian Gratifikasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi adalah pemberian
yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh. Pengertian serupa
juga ditulis dalam situs resmi KPK.
Dalam laman tersebut dijelaskan, yang dimaksud dengan gratifikasi adalah
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pengertian tercantum dalam
menurut UU Nomor 20/2021 penjelasan pasal 12b ayat 1.
B. Perbedaan Gratifikasi dengan Suap
Dikutip dari laman resmi Kemdikbud, gratifikasi dijelaskan sebagai tindakan yang
tidak semuanya ilegal. Terdapat dua kategori dalam penerimaan suap yaitu
gratifikasi yang tidak dan dianggap suap.
1) Gratifikasi yang dianggap suap diberikan kepada pegawai negeri dan pejabat
negara yang dianggap tidak sesuai dengan kode etik untuk mempercepat proses
pelayanan atau menjamin proses pelayanan selesai tepat pada waktunya atau
untuk mempengaruhi keputusan.
Gratifikasi yang tidak dianggap suap dapat diberikan kepada pegawai negeri dan
pejabat negara yang dianggap tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
C. Contoh kasus gratifikasi yang dilarang
Beberapa contoh kasus gratifikasi yang dilarang adalah:

- Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan


pribadi secara cuma-cuma

- Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan oleh
rekanan atau bawahannya
- Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan
kantor pejabat tersebut
- Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari
rekanan
- Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
- Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari
rekanan

- Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja

- Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu
- Pemberian hadiah kepada dosen dari mahasiswa setelah melaksanakan sidang
skripsi.

Tugas terstruktur dan mandiri pbak pertemuan 12 mencari informasi dan referensi bahan kajian
tentang :

1. Tindak pidana korupsi

2. Tindak pidana pencucian uang

3. Ofstrucktion of justice

4. Justice Collaborator

5. Saber pungli

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi


Ensiklopedia Indonesia disebut korupsi (dari bahasa Latin : corruptio =
penyuapan; corruptore = merusak) gejala di mana para pejabat, badan-badan
negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan
serta ketidak beresan lainnya.21Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang
busuk, jahat dan merusak. Hal ini disebabkan korupsi memang menyangkut segi
moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur
pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor
ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam
kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.
Kartono menjelaskan :

Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan
guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.
Jadi korupsi demi keuntungan pribadi, salah urus dari kekuasaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan
hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.22Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang berlaku terhitung mulai
tanggal 16 Agustus 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tujuan dengan diundangkannya
Undang-Undang Korupsi ini sebagaimana dijelaskan dalam konsiderans
menimbang diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan
kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas
secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan,
perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.

2. Tindak pidana pencucian uang atau Money Laundering

Adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
uang/dana atau kekayaan hasil suatu tindak pidana melalui berbagai transaksi
keuangan agar uang atau harta tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang
sah/legal.

Tujuan pelaku tindak pidana pencucian uang berusaha menyembunyikan atau


menyamarkan asal usul agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh
aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan
tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Di Indonesia tindak pidana
pencucian uang telah diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.

Adapun proses tindak pidana pencucian uang umumnya dilakukan melalui tiga
langkah tahapan: tahap pertama adalah (tahap penempatan/placement) dalam arti
uang/dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana/kejahatan ditempatkan
pada sistem keuangan. dengan berbagai cara (tahap penempatan/placement). Tahap
kedua adalah melakukan transaksi keuangan yang kompleks, dengan tujuan sulit untuk
dilacak asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut (tahap
pelapisan/layering), sedangkan tahap terakhir atau tahap ketiga (final) merupakan
tahapan di mana pelaku tindak pidana tersebut memasukkan kembali dana yang sudah
kabur asal usulnya ke dalam harta kekayaannya yang telah tampak sah baik untuk
dinikmati langsung. Adapun yang dimaksud Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU TPPU adalah Harta Kekayaan yang
diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e.
penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di
bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan
orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q.
penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang
perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang
kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana
penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

3. Ofstrucktion of justice
Istilah obstruksi keadilan yang berasal dari sistem hukum Anglo Saxon, yang
diterjemahkan dalam hukum pidana Indonesia sebagai "tindak pidana menahan proses
hukum". Dalam Black's Law Dictionary, Obstruction of Justice adalah segala bentuk
intervensi untuk seluruh proses hukum dan keadilan dari awal hingga proses itu
selesai.
Intervensi tersebut dapat berupa keterangan palsu, menyembunyikan bukti-bukti dari
kepolisian atau kejaksaan ataupun mencelakai atau meng buktikan bentuk para saksi
atau hakim.
Terdapat 3 (tiga) unsur halangan peradilan yaitu tindakan tersebut menyebabkan
terjaganya proses hukum ( menunggu proses peradilan ); pelaku mengetahui
tindakannya atau menyadarinya ( pengetahuan tentang proses yang tertunda ); dan
pelaku melakukan atau mencoba menyimpang dengan tujuan untuk mengganggu atau
mengintervensi proses atau administrasi hukum ( bertindak korup dengan niat) .
Obstruction of justice dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 22
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Istilah obstruction of justice kembali menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini
dalam kaitannya dengan skandal terpidana dan buronan perkara korupsi Joko Tjandra.
Anita Kolopaking, kuasa hukum Joko Tjandra dan jaksa Pinangki Sirna Malasari
telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pelarian Joko Tjandra.
Secara garis besar, obstruction of justice dapat diterjemahkan sebagai tindak pidana
menghalangi proses hukum. Ketentuan mengenai obstruction of justice (tindak pidana
menghalangi proses hukum) ini dapat ditemukan di antaranya dalam ketentuan pasal
221 KUHP dan pasal 21 UU Tipikor.
Pasal 221 KUHP melarang setiap orang yang dengan sengaja menyembunyikan
atau menolong orang yang dituntut melakukan kejahatan agar orang yang
disembunyikan atau ditolong tersebut terhindar dari proses hukum. Tindakan
menyembunyikan atau menolong orang yang terjerat kasus hukum ini dilakukan
dengan maksud untuk menutupi, menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan
atau penuntutan.
KUHP juga mengancam pidana setiap orang yang berupaya menghilangkan atau
menyembunyikan alat bukti dengan ancaman maksimal 9 bulan penjara atau denda
Rp4.500.000. Sementara itu, Pasal 21 UU Tipikor mengancam pidana setiap orang
yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan baik secara langsung
maupun tidak langsung upaya penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan baik yang dilakukan terhadap tersangka, terdakwa maupun saksi dalam
perkara korupsi dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling
lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000 dan paling banyak
Rp600.000.000. Spesifik berbicara mengenai ketentuan Pasal 21 UU Tipikor, salah
satu kasus yang sempat cukup ramai dibicarakan adalah kasus Fredrich Yunadi, kuasa
hukum Setya Novanto yang divonis 7 tahun penjara dan denda Rp500.000.000
subsider 5 bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta karena dianggap terbukti melanggar ketentuan Pasal 21 UU Tipikor.

4. Justice Collaborator
Melansir dari Legal Smart Channel, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan HAM, justice collaborator adalah seorang pelaku tindak
pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar
kejahatan atau kasus yang dinilai pelik dan besar. Justice collaborator dalam
perkembangan terkini mendapat perhatian serius, karena peran kunci mereka dalam
"membuka" tabir gelap tindak pidana tertentu yang sulit diungkapkan oleh penegak
hukum. Justice collaborator diartikan sebagai pelaku suatu tindak pidana yang
membantu atau membantu penegak hukum. Peran kunci yang dimiliki oleh justice
collaborator antara lain:
Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana,
sehingga tindakan suatu aset dari hasil suatu kejahatan dapat dicapai kepada negara;
Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; dan
Memberikan membuktikan dalam proses peradilan.
Dengan demikian kedudukan justice collaborator merupakan saksi sekaligus
tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan, selanjutnya dari
keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan yang
akan dijatuhkan.
Terminologi
Justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun
1970-an. Dimasukkannya doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat
sebagai salah satu norma hukum di negara tersebut dengan alasan perilaku mafia yang
selalu menutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut . Oleh
karena itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice
collaborator berupa perlindungan hukum. Kemudian terminologi justice collaborator
berkembang pada tahun selanjutnya di beberapa negara, seperti di Italia (1979),
Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986), dan Jerman (1989).
Dalam perkembangannya, pada konvensi Anti Korupsi ( United Nation
Convention Against Corruption – UNCAC ) dilakukan sebagai upaya untuk menekan
angka korupsi secara global. Dengan adanya kerjasama internasional untuk
menghapuskan korupsi di dunia, maka-nilai korupsi yang disepakati untuk disepakati
oleh banyak negara. Salah satu hal yang diatur dalam konvensi UNCAC, pada
ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan (3) adalah penanganan kasus khusus bagi pelaku
tindak pidana korupsi yang ingin dicapai dengan aparat penegak hukum. Kerjasama
tersebut di atas ditujukan untuk mengusut pelaku lain pada kasus yang melibatkan si
pelaku. Kemudian kerjasama antara pelaku dengan penegak hukum yang dikenal
dengan istilah Justice Collaborator.Konvensi UNCAC telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa
Anti Korupsi, 2003).

5. Saber Pungli
Satgas Saber Pungli mempunyai tugas melaksanakan pemberantasan pungutan liar
secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja,
dan sarana prasarana, baik yang berada di kementerian/lembaga maupun pemerintah
daerah.
dapun wewenang Satgas Saber Pungli adalah: a. Membangun sistem pencegahan dan
pemberantasan pungutan liar; b. Melakukan pengumpulan data dan informasi dari
kementerian/lembaga dan pihak lain yang terkait dengan menggunakan teknologi
informasi; c. Mengoordinasikan, merencanakan, dan melaksanakan operasi
pemberantasan pungutan liar; d. Melakukan operasi tangkap tangan; e. Memberikan
rekomendasi kepada pimpinan kementerian/lembaga, serta kepala pemerintah daerah
untuk memberikan sanksi kepada pelaku pungli sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; f. Memberikan rekomendasi pembentukan dan pelaksanaan
tugas lain unit Saber Pungli di setiap instansi penyelenggara pelayaan publik kepada
pimpinan kementerian/lembaga dan kepala pemerintah daerah; dan g. Melakukan
evaluasi pemberantasan pungutan liar.
Tugas terstruktur dan mandiri pbak pertemuan 13 mencari informasi dan referensi bahan kajian
tentang :

1. Pengertian dan unsur unsur pelayanan publik

2. Kategori pelayanan publik

3. Pengawasan terhadap pelayanan publik

1. Pelayanan Publik

Konsep dasar atau pengertian Pelayanan Publik (Public Services);

Pelayanan Umum menurut Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan:


“Sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi
Pemerintahan di Pusat dan Daerah, dan di lingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk
barang dan/atau jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam
rangka pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan” Departemen Dalam
Negeri (2004) menyebutkan bahwa; “Pelayanan Publik adalah Pelayanan Umum”,
dan mendefinisikan “Pelayanan Umum adalah suatu proses bantuan kepada orang lain
dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal
tercipta kepuasan dan keberhasilan. Setiap pelayanan menghasilkan produk, baik
berupa barang dan jasa”.

Dari beberapa pengertian pelayanan dan pelayanan publik yang diuraikan


tersebut, dalam konteks pemerintah daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan
sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau
organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan
kepuasan kepada penerima pelayanan.
Terdapat 3 unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu unsur pertama, adalah
organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu Pemerintah Daerah, unsur kedua,
adalah penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi
yang berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah kepuasan yang diberikan
dan/atauditerima oleh penerima layanan (pelanggan). Unsur pertama menunjukan
bahwa pemerintah daerah memiliki posisi kuat sebagai (regulator) dan sebagai
pemegang monopoli layanan, dan menjadikan Pemda bersikap statis dalam
memberikan layanan, karena layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh
orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Posisi ganda inilah yang
menjadi salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan publik yang dilakukan
pemerintah daerah, karena akan sulit untuk memilah antara kepentingan menjalankan
fungsi regulator dan melaksanakan fungsi meningkatkan pelayanan.

Unsur kedua, adalah orang, masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau
memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya tawar
atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak memiliki
akses untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang mendorong
terjadinya komunikasi dua arah untuk melakukan KKN dan memperburuk citra
pelayanan dengan mewabahnya pungli, dan ironisnya dianggap saling
menguntungkan.

Unsur ketiga, adalah kepuasan pelanggan menerima pelayanan, unsure kepuasan


pelanggan menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (Pemerintah), untuk
menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang berorientasi untuk memuaskan
pelanggan, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja
manajemen pemerintahan daerah. Paradigma kebijakan publik di era otonomi
daerahyang berorientasi pada kepuasan pelanggan, memberikan arah tejadinya
perubahan atau pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari paradigma
rule government bergeser menjadi paradigma good governance. Dengan demikian,
pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai
regulator/pembuat peraturan (rule government/peraturan pemerintah) harus mengubah
pola pikir dan kerjanya dan disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah,
yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk
terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan publik, pemerintah
daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada warga dan masyarakat, untuk
mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan,
transparansi, akuntabilitas dan keadilan.

2. kategori pelayanan publik yang diselenggarakan untuk masyarakat.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan


keputusan MENPAN No.63/KEP/MENPAN/7/2003 kegiatan pelayanan umum atau
publik antara lain:

1. Pelayanan Barang

Pelayanan pengadaan dan penyaluran barang bisa dikatakan mendominasi seluruh


pelayanan yang disediakan pemerintah kepada masyarakat.

Pelayanan publik kategori ini bisa dilakukan oleh instansi pemerintah yang
sebagian atau seluruh dananya merupakan kekayaan negara yang tidak bisa
dipisahkan atau bisa diselenggarakan oleh badan usaha milik pemerintah yang
sebagian atau seluruh dananya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan (Badan
Usaha Milik Negara/BUMN).

Pelayanan barang Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk atau jenis
barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga
listrik, air bersih dan sebagainya.

2. Pelayanan Administratif

Pelayanan publik dalam kategori ini meliputi tindakan administratif pemerintah


yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam perundang-undangan dalam rangka
mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, dan harta benda juga
kegiatan administratif yang dilakukan oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan
oleh negara dan diatur dalam perundang-undangan serta diterapkan berdasarkan
perjanjian dengan penerima pelayanan.

Pelayanan administratif yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk


dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan,
sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan
sebagainya.

Pelayanan Pemerintahan, yaitu merupakan pelayanan masyarakat yang erat dalam


tugas-tugas umum pemerintahan seperti pelayanan Kartu Keluarga/KTP, IMB, Pajak
Daerah, Retribusi Daerah dan Imigrasi.

3. Pelayanan Pembangunan

Pelayanan Pembangunan merupakan pelayanan masyarakat yang terkait dengan


penyediaan sarana dan prasarana untuk memberikan fasilitas kepada masyarakat
dalam aktifitasnya sebagai warga masyarakat, seperti penyediaan jalan, jembatan,
pelabuhan dan lainnya.

4. Pelayanan Utilitas

Pelayanan Utilitas merupakan penyediaan utilitas seperti listrik, air, telepon, dan
transportasi.

5. Pelayanan Kebutuhan Pokok

Pelayanan Kebutuhan Pokok merupakan pelayanan yang menyediaan bahan-


bahan kebutuhan pokok masyarakat dan kebutuhan perumahan seperti penyediaan
beras, gula, minyak, gas, tekstil dan perumahan murah.

6. Pelayanan Kemasyarakatan

Pelayanan Kemasyarakatan merupakan pelayanan yang berhubungan dengan sifat


dan kepentingan yang lebih ditekankan kepada kegiatan-kegiatan sosial
kemasyarakatan seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, penjara,
rumah yatim piatu dan lainnya.
3. Pengawasan terhadap pelayanan publik

Setiap hari kita selalu bertemu dengan layanan publik, mulai dari bangun tidur,
menghidupkan lampu bertemu dengan layanan listrik oleh PLN, kemudian mandi
pagi, bertemu dengan layanan penyediaan air oleh PDAM, berangkat kerja melewati
jalan raya, bertemu dengan layanan infrastruktur jalan oleh Kementerian Pekerjaan
Umum / Dinas Pekerjaan Umum, demikian seterusnya dalam hampir seluruh aktivitas
kita sehari-hari kita selalu bersentuhan dengan pelayanan publik, baik langsung
maupun tidak langsung. Dalam pelayanan publik yang kita hadapi sehari-hari tidak
jarang kita bertemu dengan pelayanan publik yang buruk, pada saat seperti inilah
seringkali kita sebagai masyarakat bingung, jika terjadi penyimpangan dalam
pelaksanaan pelayanan publik, kepada siapa harus mengadu? Siapakah yang
sebenarnya berhak untuk melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik?

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan


bahwa: “Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh pengawas
internal dan pengawas eksternal” ayat tersebut menjelaskan bahwa fungsi
pengawasan dalam pelayanan publik dapat dilakukan oleh pengawas internal dan
pengawas eksternal. Pengawas internal berfungsi sebagai fungsi pengawasan pada
level dasar, karena pengawas internal berada di dalam instansi diharapkan dapat lebih
banyak mengetahui seluk beluk dan karakter pelaksana pelayanan publik beserta
potensi penyimpangan yang mungki terjadi, jika fungsi pengawasan oleh pengawas
internal gagal bereaksi atau berfungsi dengan baik, maka harus ada peran dari fungsi
pengawasan level lanjutan, yakni pengawasan eksternal.

Menurut Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik Pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui:

a. Pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

b. Pengawasan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Tugas terstruktur dan mandiri pbak pertemuan 14 mencari informasi dan referensi bahan kajian
tentang :

1. Gerakan anti Korupsi

2. Peran strategi mahasiswa

3. Peran mahasiswa

1. Gerakan Anti Korupsi

Korupsi yang telah terjadi secara meluas, sistemik, dan kolutif telah merugikan
keuangan Negara, perekonomian nasional, dan menghambat pembangunan nasional,
sehingga dalam upaya pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien diperlukan
kerja sama erat antara seluruh elemen masyarakat.

KPK sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang


Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil
guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam pelaksanaan
tugasnya, KPK sangat membutuhkan kerja sama dan bantuan institusi lain maupun
bantuan dari berbagai pihak. Sesuai UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: "Bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi
dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi
yang telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan
korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif, khususnya pada penyelenggara
lembaga nasional."

Peran lembaga pendidikan atau dunia universitas sangat strategis dalam upaya
percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sejak berdirinya 11 tahun yang lalu,
KPK telah melakukan kerja sama dalam bentuk Nota Kesepahaman/ Memorandum of
Understanding (MoU) dengan 82 (delapan puluh dua) Perguruan Tinggi Negeri dan
Swasta di Indonesia. Sebagai salah satu implementasi kerjasama, diantaranya melalui
peran aktif 34 Perguruan Tinggi dalam kegiatan perekaman persidangan tipikor dalam
rangka pengawasan dan mendorong transparansi peradilan di 33 Propinsi di
Indonesia. Selain itu, beberapa Fakultas Hukum di Indonesia telah melakukan kajian
terkait tindak pidana korupsi maupun eksaminasi/bedah kasus terhadap putusan
peradilan dan secara mandiri membangun Pusat Studi yang mengusung isu fokus anti
Korupsi.

Selain itu, kerjasama KPK - Perguruan Tinggi dalam bidang pencegahan korupsi
antara lain melalui Pendidikan Anti-korupsi/kurikulum anti-korupsi, penelitian,
sosialisasi dan partner kampanye antikorupsi. Sedangkan dalam bidang Penindakan,
kerjasama dengan perguruan tinggi dalam hal pemberian keterangan ahli di
persidangan dan narasumber dalam hal pelatihan Penyelidik/Penyidik/Penuntut
Umum.

Berbagai kegiatan pencegahan korupsi juga secara aktif dilakukan oleh


Perguruan Tinggi, misalnya kampanye, sosialisasi, pendidikan anti korupsi dan
kegiatan lainnnya yang terus menerus menginisiasi, mendorong, meningkatkan
gerakan anti Korupsi yang lebih masif. Perguruan Tinggi sebagai mitra strategis
dalam pemberantasan korupsi juga melaksanakan kegiatan mengkonsolidasikan
berbagai pihak yang memiliki kepedulian yang sama untuk bersama memerangi
Korupsi. Pada tahun 2005, Badan Kerjasama (BKS) Fakultas Hukum Perguruan
Tinggi Negeri Se-Indonesia menyelenggarakan Anti-Corruption Summit (ACS) di
Universitas Gajah Mada yang didedikasikan sebagai sarana inisiasi peran kampus
dalam agenda pemberantasan korupsi. Salah satu rekomendasi penting sebagai hasil
dari forum ini adalah mendorong kampus untuk mendirikan pusat kajian yang
berfokus pada isu anti Korupsi dan mengembangkan model-model pendidikan anti
korupsi di Perguruan Tinggi.

Dalam rentang waktu 2005 hingga sekarang, telah berdiri beberapa pusat Kajian
di berbagai Universitas baik di tingkatan Universitas maupun Fakultas hukum, namun
sampai saat ini belum ada pertemuan lanjutan dari ACS tahun 2005. Pertemuan ini
sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi peran yang sudah dilakukan kampus
peserta ACS maupun kampus-kampus lain di Indonesia, sekaligus menjajaki
sinergitas dan peningkatan potensi kerjasama antar pusat Kajian tersebut. Dengan
diadakannya pertemuan tesebut, maka diharapkan terjadinya konsolidasi upaya
pemberantasan Korupsi berbasis kampus.

Berbagai fakta menunjukkan betapa signifikan kontribusi yang diberikan


kampus dalam mengawal amanat reformasi selama ini. Dan dengan sumber daya
manusia yang dimiliki, diyakini kampus tidak hanya mampu merumuskan problem
korupsi yang menjadi masalah bangsa selama ini, namun juga mampu memberikan
alternatif solusi guna percepatan pemberantasan beserta strategi intervensinya.
Dengan bekal besarnya antusiasme peserta ACS 2005, untuk tahun 2016 ini KPK dan
Pusat Kajian Anti Korupsi UGM (PUKAT UGM) berkomitmen untuk melaksanakan
konsolidasi lanjutan dari hasil yang sudah dicapai di tahun 2005 tersebut. Adapun
tujuan dari kegiatan ini yaitu:

 Memperkuat peran perguruan tinggi dalam pemberantasan korupsi sekaligus


meningkatkan sinergi antara Perguruan Tinggi dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
 Memperkuat peranan perguruan tinggi dalam menciptakan lingkungan kampus yang
bebas dari korupsi
 Berbagi pengalaman inisiasi, pembentukan dan pengembangan pusat Kajian anti
Korupsi di masing-masing perguruan tinggi
 Merumuskan rencana kerjasama pencegahan korupsi antar Pusat Kajian anti korupsi
lintas Perguruan Tinggi.

2. Peran Strategi Mahasiswa

Dari tahun ke tahun, permasalahan korupsi mengalami peningkatan


intensitasnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, mahasiswa memiliki peran yang
strategis untuk berkontribusi dalam aktivitas konkret dengan melakukan pemetaan
korupsi termasuk memberikan advokasi kepada korban korupsi. Demikian
disampaikan Ketua KPK, Busyro Muqoddas dalam Seminar Pembangunan Hukum
Nasional dalam Pemberantasan Korupsi, di Sportorium UMY, Senin (7/3) sore dalam
rangkaian Silatnas BEM PTM se-Indonesia yang akan berakhir pada Rabu (9/3).

Menurutnya, bangsa perlu diberi kontribusi berupa aktivitas konkret yang mana
hal tersebut perlu didukung oleh para agen perubahan (agent of change), terutama
dari kalangan civitas akademika, terutama mahasiswa. Busyro menngungkapkan
korupsi muncul jika ada demoralisasi yang dilakukan aktor kekuasaan. “Aktor
kekuasaan tersebut adalah para elite politik dan birokrasi,” jelasnya. Korupsi bisa
ditekan jika para aktor kekuasaan punya moral dan etika yang baik. Hampir 70%
kekayaan Negara berasal dari penerimaan pajak yang paling rentan menjadi sumber
korupsi. “Dari tahun ke tahun, korupsi menjadi permasalahan yang meningkat
intensitasnya,” terang Busyro. Dari penyelewengan uang Negara tersebut, sektor
belanja barang dan jasa merupakan sektor yang sering dimanipulasi maupun melalui
penggelapan anggaran fiktif. Pelaku dari penggelapan anggaran Negara umumnya
mereka yang punya jabatan publik serta pengusaha yang memiliki kerjasama dengan
penguasa.

Untuk itu, dalam upaya pemberantasan korupsi ini, Busyro mengatakan


pentingnya peran mahasiswa dalam meningkatkan kekuatan moral dalam skala
nasional jika pergerakan mahasiswa memiliki agenda konkret untuk melakukan
pemetaan korupsi. “Mahasiswa menjadi bagian tak terpisahkan dari program KPK
untuk bergandengan tangan dengan berbagai unsur masyarakat madani untuk
melakukan upaya pemberantasan korupsi termasuk memberikan advokasi kepada
masyarakat yang menjadi korban korupsi,” pungkas Busyro.

Sementara itu, aktivis Hukum yang juga mantan kandidat Ketua KPK, Bambang
Widjojanto mengungkapkan jika selama ini masih ada bias paradigma terkait korupsi.
“Masih terdapat bias paradigma dalam masyarakat yang beranggapan jika korupsi
hanya terkait dengan persoalan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan para
koruptor tersebut. Korupsi juga hanyalah isu kerugian Negara dan dilakukan oleh
penyelenggara Negara. Korupsi seolah-olah hanya menjadi permasalahan hukum. Hal
ini merupakan pandangan sempit karena korupsi tak semata-mata merugikan
keuangan Negara,” tegas Bambang. Ia melanjutkan jika dampak korupsi tak hanya
merugikan keuangan Negara. “Lebih dari itu, korupsi bisa menghancurkan peradaban
dimana nilai etika dan sistem keadilan, ekonomi, dan keberlanjutan Negara bisa
rusak. Hal ini karena korupsi merupakan miniatur kejahatan yang bisa
menghancurkan proses kinerja dan sistem dalam Negara,” tegas Bambang. Bambang
juga mengatakan jika sistem Negara justru memproduksi koruptor lebih banyak
daripada membawa koruptor ke pengadilan. Untuk itulah, gerakan pemberantasan
korupsi menjadi sangat penting dilakukan untuk kemudian bisa mengintegrasikan
kebijakan preventif dalam pemberantasan korupsi secara terkonsolidasi.

Bambang memaparkan jika saat ini bangsa memerlukan orang tak hanya
artikulasi, namun juga memerlukan orang yang memiliki kecerdasan berbagai macam
modus operandi bagaimana kemungkinan korupsi tersebut bekerja. “Korupsi
dilakukan dengan cara yang cerdas, oleh karenanya dalam mengupayakan
pemberantasan korupsi, dibutuhkan keterampilan yang mana korupsi dapat dilawan
dengan intelektualitas juga dengan memahami berbagai modus operandi yang
memungkinkan munculnya korupsi. Dengan ini diharapkan akan muncul gerakan
sosial anti korupsi demi perubahan yang lebih baik,” tandasnya.

3. Peran Mahasiswa

Peran Mahasiswa dalam Pemberantasan Korupsi

Untuk dapat berperan secara optimal dalam pemberantasan korupsi adalah


pembenahan terhadap diri dan kampusnya. Dengan kata lain, mahasiswa harus
mendemonstrasikan bahwa diri dan kampusnya harus bersih dan jauh dari

perbuatan korupsi.

Untuk mewujudkan hal tersebut, upaya pemberantasan korupsi dimulai dari awal
masuk perkuliahan. Pada masa ini merupakan masa penerimaan mahasiswa, dimana
mahasiswa diharapkan mengkritisi kebijakan internal kampus dan sekaligus
melakukan pressure kepada pemerintah agar undang-undang yang mengatur
pendidikan tidak memberikan peluang terjadinya korupsi. Di samping itu, mahasiswa
melakukan kontrol terhadap jalannya penerimaan mahasiswa baru dan melaporkan
kepada pihak-pihak yang berwenang atas penyelewengan yang ada.

Selain itu, mahasiswa juga melakukan upaya edukasi terhadap rekan-rekannya


ataupun calon mahasiswa untuk menghindari adanya praktik-praktik yang tidak sehat
dalam proses penerimaan mahasiswa. Selanjutnya adalah pada proses perkuliahan.
Dalam masa ini, perlu penekanan terhadap moralitas mahasiswa dalam berkompetisi
untuk memperoleh nilai yang setinggi-tingginya, tanpa melalui cara-cara yang
curang. Upaya preventif yang dapat dilakukan adalah dengan jalan membentengi diri
dari rasa malas belajar.

Hal krusial lain dalam masa ini adalah masalah penggunaan dana yang ada
dilingkungan kampus. Untuk itu diperlukan upaya investigatif berupa melakukan
kajian kritis terhadap laporan-laporan pertanggungjawaban realisasi penerimaan dan
pengeluarannya. Sedangkan upaya edukatif penumbuhan sikap anti korupsi dapat
dilakukan melalui media berupa seminar, diskusi, dialog. Selain itu media berupa
lomba lomba karya ilmiah pemberantasan korupsi ataupun melalui bahasa seni baik
lukisan, drama, dan lain-lain juga dapat dimanfaatkan juga.

Selanjutnya pada tahap akhir perkuliahan, dimana pada masa ini mahasiswa
memperoleh gelar kesarjanaan sebagai tanda akhir proses belajar secara formal.
Mahasiswa harus memahami bahwa gelar kesarjanaan yang diemban memiliki
konsekuensi berupa tanggung jawab moral sehingga perlu dihindari upaya-upaya melalui
jalan pintas.

Anda mungkin juga menyukai