BERDUKA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Keperawatan Jiwa II yang
Disusun oleh
1
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah Keperawatan
Jiwa II tepat waktu. Penulisan makalah berjudul “Gangguan Citra Tubuh Serta
Kehilangan Dan Berduka ”. Kami berharap makalah ini dapat menjadi referensi bagi pihak
yang membutuhkan. Selain itu, kami juga berharap agar pembaca mendapatkan sudut
pandang baru setelah membaca makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah Keperawatan Jiwa II ini
dapat bermanfaat.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
1.8 Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Citra Tubuh ............ 9
2.11 Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Kehilangan dan Berduka ...... 25
ii
BAB III PENUTUP
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kesehatan adalah keadaan sehat baik secara jasmani, mental, sosial dan spritual yang
menjadikan individu mampu beraktivitas secara produktif dan optimal (Asykari, 2016).
Beradasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa sehat tidak hanya dilihat
berdasarkan keadaan jasmani atau fisik yang sehat, tetapi juga berdasarkan mental, sosial
maupun spritual. Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi dimana mental yang sejahtera
yang menghasilkan kehidupan baik, harmonis dan bahagia
Menurut Undang-Undang No. 18 tahun 2014 menjelaskan definisi sehat jiwa yaitu
suatu keadaan dimana seseorang dapat berkembang secara fisik, mental, sosial maupun
spritual sehingga dapat menyadari kelebihan dirinya, mampu menyelesaikan masalah dan
mampu berkontribusi dengan maksimal. Menurut catatatan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas, 2018) dari Kementrian Republik Indonesia (2018), prevelensi gangguan
emosional pada penduduk berusia 15 tahun keatas meningkat dari 6% ditahun 2013 menjadi
9,8% ditahun 2018. Prevelensi penderita depresi ditahun 2018 sebesar 6,1%. Sementara itu,
penderita gangguan jiwa berat, skizofernia meningkat dari 1,7% ditahun 2013 menjadi 7%
ditahun 2018.
Masalah kesehatan jiwa salah satunya adalah masalah psikosial. Masalah psikososial
merupakan masalah yang bersifat psikologis karena adanya suatu tekanan, masalah atau
terdapat perubahan dalam diri individu yang memiliki efek timbal balik dan dipercayai
berpotensi sebagai etiologi gangguan jiwa(Mursyidto, 2014). Penyebab terjadinya masalah
psikosial diantaranya yaitu fisik yang tidak ideal. Setiap makhluk hidup diciptakan oleh
Tuhan dengan kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda. Baik kelebihan atau
kekurangan secara fisik, akademik, sopan santun, public speaking, cara beradaptasi dengan
orang baru serta lingkungan baru dan hal lainnya.
Salah satu hal yang spesifik dan mudah dilihat dengan kasat mata adalah bentuk
tubuh atau bentuk badan seseorang. Dengan menggunakan cermin dapat dengan mudah
melihat bentuk tubuh diri sendiri. Tubuh merupakan objek utama yang paling mudah
ditangkap oleh mata. Oleh sebab itu, banyak orang yang menginginkan bentuk tubuh bagus
dan ideal (Mursyidto, 2014). Pola pikir negatif terhadap citra tubuh mengakibatkan
seseorang menutupi bagian tubuh yang tidak disukai secara berlebihan dan tidak ingin
bertemu orang lain karena takut terjadi penolakan kehadirannya yang mengakibatkan
komunikasi individu dengan individu yang lain terhambat dan mengakibatkan
ketidakmampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain(Kawuwung, 2015).
Definisi citra tubuh sendiri yaitu respon individu atau pola pikir individu terhadap
tubuhnya yang terjadi secara sadar ataupun tidak sadar, meliputi bentuk tubuh yang tidak
ideal, jerawat pada wajah, fungsi tubuh, dan kecacatan pada anggota tubuh serta hal lain
1
tentang tubuhnya(Indika, 2010). Seseorang yang mempunyai citra tubuh positif akan lebih
bahagia kehidupannya dibandingkan dengan seseorang yang mempunya citra tubuh negatif.
Pada orang yang memiliki citra tubuh positif cenderung selalu mempunyai pola pikir positif
sehingga menjadikan hidupnya tentram dan bahagia. Gangguan Citra tubuh adalah suatu
kondisi dimana pola pikir seseorang terhadap tubuhnya yang tidak sesuai dengan keinginan
individu tersebut (Olivia, 2016). Gangguan citra tubuh dapat diartikan sebagai perasaan
negatif tentang tubuh yang meliputi penampilan, struktur, bentuk badan yang tidak ideal,
muka yang berjerawat, fungsi fisik seseorang dan aspek-aspek lain yang terdapat pada tubuh
(SDKI, 2017).
Obesitas atau kelebihan berat badan menjadi salah satu faktor yang tidak dinginkan
oleh banyak remaja. Namun, pada kenyatannya remaja sekarang lebih menyukai aktivitas
didalam rumah dibandingkan aktifitas diluar rumah. Jarang bergerak atau jarang beraktifitas
mengakibatkan terjadinya penurunan energi dimana energi yang masuk dan yang
dikeluarkan tidak seimbang sehingga menyebabkan penumpukan lemak berlebih didalam
tubuh (Olivia, 2016).Obesitas adalah suatu keadaan dimana lemak didalam tubuh mengalami
penumpukan karena input dan output yang tidak seimbang sehingga menyebabkan lemak
didalam tubuh berlebihan sehingga berat badan menjadi naik (Riswanti, 2016).
Obesitas salah satu dari sekian banyak faktor yang menyebabkan seseorang
mengalami gangguan citra tubuh. Gangguan citra tubuh tersebut terjadi karena bentuk tubuh
yang tidak ideal. Seseorang yang mengalami obesitas cenderung tidak menyukai bentuk
tubuhnya. Tubuhnya yang berukuran besar menjadikan seseorang merasa bahwa dirinya jauh
dari kesempurnaan. Obesitas mempunyai dampak buruk diantaranya yaitu dapat
mengakibatkan remaja mengalami gangguan citra tubuh yang mengakibatkan tekanan
psikologis. Sehingga, remaja menarik diri dari pergaulan dan mengakibatkan remaja tidak
bisa menikmati masa remaja dengan bahagia (Wati & Sumarmi, 2017). Peran perawat
terhadap klien yang mengalami Gangguan citra tubuh dengan obesitas diantaranya yaitu
membuat klien memiliki persepsi positif tentang dirinya sendiri, mampu menerima kondisi
yang sedang dialami, memberikan jadwal latihan harian untuk menurunkan Gangguan citra
tubuh. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk memberikan Asuhan Keperawatan
pada remaja penderita obesitas dengan masalah Gangguan Citra Tubuh.
19. Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Kehilangan dan Berduka?
1.3 Tujuan
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Gejala dan Tanda Mayor Gangguan Citra Tubuh
8. Untuk Mengetahui Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Citra
Tubuh
19. Untuk Mengetahui Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Kehilangan dan
Berduka
4
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian
Gangguan Citra tubuh adalah suatu kondisi dimana pola pikir seseorang terhadap
tubuhnya yang tidak sesuai dengan keinginan individu tersebut. Gangguan citra tubuh dapat
diartikan sebagai perasaan negatif tentang tubuh yang meliputi penampilan, struktur, bentuk
badan yang tidak ideal, muka yang berjerawat, fungsi fisik seseorang dan aspek-aspek lain
yang terdapat pada tubuh (SDKI, 2016). Menurut (Indika, 2010) Gangguan citra tubuh
adalah kondisi seseorang yang tidak menerima keadaan tubuhnya. Seseorang yang
mengalami gangguan citra tubuh akan merasa tidak puas terhadap bagian tubuh yang tidak
diinginkannya.
Definisi gangguan citra tubuh menurut (Wati & Sumarmi, 2017) adalah keadaan
perubahan persepsi tentang tubuh. Perubahan tersebut mengakibatkan kegagalan individu
dalam penerimaan terhadap suatu kondisi yang terjadi. Akibatnya, seseorang akan memiliki
persepsi buruk tentang tubuhnya.
b. Konsep diri positif : suatu gambaran positif yang ada pada diri individu
c. Harga diri rendah : persepsi tentang diri sendiri yang dianggap buruk
dibandingkan orang lain.
Subjektif
Objektif
5
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
Objektif
1. Mastektomi
2. Amputasi
3. Jerawat
5. Obesitas
7. Gangguan psikiatrik
1.4 Etiologi
Menurut stuart, 2013 dalam (Dwira Mayorin, 2018) faktor-faktor penyebab gangguan citra
tubuh yaitu :
a. Faktor Predisposisi
6
1) Biologi
Gambaran tentang tubuhnya meliputi bentuk, fungsi, struktur yang diinginkan namun tidak
tercapai karena suatu hal.
2) Psikologi
Terjadi suatu masalah atau peristiwa yang mengakibatkan individu mengalami strees dan
tertekan secara mental.
3) Sosio kultural
Terdapat perubahan di lingkungan sekitar yang mengalami perubahan nilai-nilai sosial dan
norma-norma masyarakat
4) Fisik yang berubah dari segi bentuk, fungsi, struktur, penampilan dan
aspek perubahan lain yang berada ditubuh
5) Suatu proses patologik sebuah penyakit yang berdampak pada perubahan struktur
ataupun fungsi
6) Dampak dari pengobatan yang dijalani, misalnya kemoterapi, radiasi dan lain-lain
b. Faktor Prespitasi
Faktor ini dapat terjadi karena faktor dari luar ataupun faktor dari individu itu sendiri,
meliputi :
1) Operasi yang pernah dilakukan, seperti operasi katarak, operasi tumor yang ada
diwajah dan lain sebagainya
3) Ketegangan peran dimana individu tidak mampu melakukan perannya ataupun peran
yang dilakukan bertentangan dengan keinginan dalam dirinya
Menurut (Hartati, 2011) Proses terjadinya masalah Gangguan Citra Tubuh yaitu sebagai
berikut :
7
c. Stressor Predisposisi
Faktor ini berasal dari penyakit fisik yang sudah lama dirasakan, pola kesehatan yang
sembarangan, sering keluar nasuk rumah sakit, serta riwayat pengobatan dan keturunan
individu.
Faktor ini dapat terjadi ketika tingkat pendidikan yang rendah, tingkat perekonomian yang
minimalis, pengangguran atau pekerjaan yang tidak tetap, mempunyai pengalaman duka
seperti kehilangan dan riwayat kegagalan dalam menjalani hubungan interpersonal antar
sesama maupun lawan jenis.
Faktor ini terjadinya ketika pola pikir individu terhadap diri sendiri cenderung negatif atau
tidak sesuai keiginan, perubahan terhadap persepsi citra diri.
a. Faktor Presipitasi
Stressor ini berkaitan dengan sesuatu yang dipikirkan individu sendiri yang menyebabkan
tekanan psikologis.
Berdasarkan buku (SDKI, 2017) manifestasi klinis Ganguan Citra Tubuh, yaitu adanya
penilaian buruk mengenai perubahan tubuh, terdapat pengungkapan kegelisahan respon
orang lain, menyembunyikan tubuh, menghindari melihat atau menyentuh bagian tubuh yang
tidak diinginkan, fokus terhadap perubahan tubuh, dan hubungan sosial berubah.
d. Menarik diri
f. Banyak diam
g. Komunikasi terbatas
8
i. Tidak bergairah melakukan aktivitas
j. Mudah tersinggung
1.7 Penatalaksanaan
k. Terapi Keperawatan
Terapi ini dilakukan apabila klien yang mengalami masalah gangguan citra tubuh belum
teratasi. Terapi yang diberikan pada klien dengan gangguan citra tubuh adalah terapi
kognitif. Terapi kognitif yaitu salah bentuk psikoterapi yang dapat melatih klien dengan
masalah gangguan citra tubuh yang berguna untuk mengubah cara klien mangartikan sesuatu
dan melihat sesuatu hal yang tidak sesuai dengan keinginan. Terapi kognitif merupakan
pedoman untuk berpola pikir lebih baik bukan merubah pola pikir klien secara instan
(Adityasto, 2017).
b. Terapi Medis
Dibawah ini merupakan terapi psikofarmaka pada klien dengan gangguan citra tubuh
menurut (Hartati, 2011) diantaranya yaitu :
A. Pengkajian
9
1. Faktor Predisposisi
a. Kajian Biologis
Kondisi sakit fisik yang dapat mempengaruhi kerja hormon secara umum, yang dapat
pula berdampak pada keseimbangan neurotransmiter di otak contoh kadar serotonin yang
menurun dapat mengakibatkan klien mengalami depresi dan pada pasien gangguan citra
tubuh kecendrungan berdampak pada harga diri rendah semakin besar karena klien lebih
dikuasai oleh pikiran- pikiran negatif dan tidak berdaya.
b. Kajian Psikologis
c. Kajian Sosial
Sosial status ekonomi sangat mempengaruhi proses terjadinya gangguan citra tubuh
yang menuju harga diri rendah kronis, antara lain kemiskinan, tempat tinggal didaerah
kumuh dan rawan, kultur sosial yang berubah misal ukuran keberhasilan individu.
d. Kajian Kultural
2. Faktor Presipitasi
Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh situasi yang dihadapi individu
dan individu yang tidak mampu menyelesaikan masalah. Situasi atau stressor dapat
mempengaruhi konsep diri dan komponennya :
a. Trauma seperti penganiayaan seksual secara verbal dan psikologis atau menyaksikan
peristiwa yang mengancam kehidupan.
b. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri dan
fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.
3. Perilaku
10
Gangguan citra tubuh dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan
fisiologi dan perilaku dan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme
koping dalam upaya melawan rasa malu. Intensitas perilaku akan meningkat sejalan dengan
peningkatan tingkat citra tubuh.
11
Sistem Respons
Perilaku Gelisah.
Ketegangan fisik.
Tremor.
Gugup.
Bicara cepat.
Tidak ada koordinasi.
Kecenderungan untuk celaka.
Menarik diri.
Menghindar.
Terhambat melakukan aktifitas.
Kognitif Gangguan perhatian.
Konsentrasi hilang.
Pelupa.
Salah tafsir.
Adanya bloking pada pikiran.
Menurunnya lahan persepsi.
Kreatif dan produktif menurun.
Bingung.
Khawatir yang berlebihan.
Hilang menilai objektifitas.
Takut akan kehilangan kendali.
Takut yang berlebihan.
Afektif Mudah terganggu.
Tidak sabar.
Gelisah.
Tegang.
Nerveus.
Ketakutan.
Alarm.
Tremor.
Gugup.
Gelisah.
4. Sumber Koping
5. Mekanisme Koping
4. Ketidakberdayaan
C. Intervensi Keperawatan
Tujuan :
• Klien mampu mengenal bagian tubuh yang sehat dan yang terganggu atau sakit
• Klien mampu mengevaluasi manfaat yang telah dirasakan dari bagian tubuh yang
terganggu
• Klien mampu merasakan manfaat latihan pada bagian tubuh yang terganggu
Tindakan :
a. Kaji tanda dan gejala gangguan citra tubuh dan kemampuan klien mengatasinya.
b. Jelaskan tanda dan gejala, penyebab dan akibat gangguan citra tubuh
e. Motivasi klien untuk merawat dan meningkatkan citra tubuh seperti : menggunakan make
up dan skincare untuk wajah yang berjerawat.
f. Motivasi klien untuk melakukan latihan meningkatkan citra tubuh sesuai jadwal dan beri
pujian.
13
2. Koping tidak efektif
Tujuan :
• Klien mampu mengetahui pengertian tanda dan gejala penyebab serta akibat dari
ketidakefektifan koping
• Klien mampu mengembangkan koping yang efektif klien mampu merasakan manfaat
sistem pendukung
Tindakan :
c. Diskusikan koping (upaya atau cara) mengatasi masalah pada masa lalu
f. Latihan menggunakan upaya menyelesaikan masalah saat ini dengan menggunakan cara
lama yang berhasil atau cara baru.
• Pilih, latih, dan jadwalkan cara yang akan digunakan untuk masalah yang dihadapi
• Evaluasi hasil jika berhasil dibudidayakan jika kurang berhasil dipilih cara lain pada
daftar cara nomor kedua
Tujuan :
14
• Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan komunikasi yang terapeutik
• Klien mampu mengidentifikasi aspek positif dan kemampuan yang di miliki klien,
keluarga dan lingkungan
• Membantu klien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan kemampuan
• Melatih klien kegiatan yang dipilih sesuai rencana yang dibuat sesuai kemampuan klien
D. Implementasi keperawatan
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik.
Tahap pelaksanaan dimulai dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada
nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu
rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah kesehatan klien (Stuart, Keliat & Pasaribu, 2016)
:Tahap 1: persiapan Tahap awal tindakan keperawatan ini menuntut perawat untuk
mengevaluasi yang diindentifikasi pada tahap perencanaan.
Tahap 2: intervensi Focus tahap pelaksanaan tindakan perawatan adalah kegiatan dan
pelaksanaan tindakan dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan
emosional. Pendekatan tindakan keperawatan meliputi tindakan: independen,
dependen, dan interdependen.
Tahap 3: dokumentasi Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh
pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses
keperawatan.
E. Evaluasi
1) Tujuan tercapai, apabila pasien telah menunjukan perbaikan/ kemajuan sesuai dengan
criteria yang telah di tetapkan.
15
2) Tujuan tercapai sebagian, apabila tujuan itu tidak tercapai secara maksimal, sehingga
perlu di cari penyebab dan cara mengatasinya.
3) Tujuan tidak tercapai, apabila pasien tidak menunjukan perubahan/kemajuan sama sekali
bahkan timbul masalah baru.dalam hal ini perawat perlu untuk mengkaji secara lebih
mendalam apakah terdapat data, analisis, diagnosa, tindakan, dan faktor-faktor lain yang
tidak sesuai yang menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan.
Setelah seorang perawat melakukan seluruh proses keperawatan dari pengkajian sampai
dengan evaluasi kepada pasien, seluruh tindakannya harus di dokumentasikan dengan benar
dalam dokumentasi keperawatan (Stuart, Keliat & Pasaribu, 2016).
16
2. Konsep Dasar Kehilangan dan Berduka
2.1 Pengertian Kehilangan
Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya. Kehilangan merupakan
pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir
individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun
dalam bentuk yang berbeda (Yosep, 2011 : 173). Menurut Dalami, et all., (2009), kehilangan
adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti
sejak kejadian tersebut, yang terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan
atau traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa
kembali atau tidak dapat kembali.
Kehilangan (loss) adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami
individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau
keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan
(Hidayat, 2012). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap
individu selama rentang kehidupannya. Sejak lahir, individu sudah mengalami kehilangan
dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Setiap
individu akan bereaksi terhadap kehilangan. Respons terakhir terhadap kehilangan sangat
dipengaruhi oleh respon individu terhadap kehilangan sebelumnya.
Seseorang dapat kehilangan citra tubuh, orang terdekat, perasaan sejahtera, pekerjaan,
barang milik pribadi, keyakinan, atau sense of self baik sebagian atau pun keseluruhan.
Peristiwa kehilangan dapat terjadi secara tibatiba atau bertahap sebagai sebuah pengalaman
traumatik. Kehilangan sendiri dianggap sebagai kondisi krisis, baik krisis situasional atau
pun krisis perkembangan. Dalam hal ini persepsi individu, tahap perkembangan, mekanisme
koping, dan sistem pendukungnya sangatlah berpengaruh terhadap respons individu dalam
menghadapi proses kehilangan tersebut. Apabila proses kehilangan tidak dibarengi dengan
koping yang positif atau penanganan yang baik, pada akhirnya akan berpengaruh pada
perkembangan individu atau port of being matur-nya (Mubarak dan Chayatin, 2007).
Menurur Hidayat (2012) terdapat beberapa jenis kehilangan yakni sebagai berikut.
a. Kehilangan objek eksternal, misalnya kecurian atau kehancuran akibat bencana alam.
b. Kehilangan lingkungan yang dikenal misalnya berpindah rumah, dirawat di rumah
sakit, atau berpindah pekerjaan.
c. Kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti misalnya pekerjaan, anggota
keluarga, dan teman dekat.
17
d. Kehilangan suatu aspek diri misalnya anggota tubuh dan fungsi psikologis atau fisik.
e. Kehilangan hidup misalnya kematian anggota keluarga di rumah dan diri sendiri.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kehilangan merupakan suatu
keadaan gangguan jiwa yang biasa terjadi pada orang- orang yang menghadapi suatu
keadaan yang berubah dari keadaan semula (keadaan yang sebelumya ada menjadi tidak
ada). Terlepas dari penyebab kehilangan yang dialami setiap individu akan berespon
terhadap situasi kehilangan, respon terakhir terhadap kehilangan sangat dipengaruhi oleh
kehilangan sebelumnya.
2.2 Berduka
Dalam Hidayat (2012), grieving (berduka) adalah reaksi emosional dari
kehilangan dan terjadi bersamaan dengan kehilangan baik karena perpisahan,
perceraian maupun kematian. Sedangkan istilah bereavement adalah keadaan berduka
yang ditunjukan selama individu melewati rekasi atau masa berkabung (mourning).
Berikut ini beberapa jenis berduka menurut Hidayat (2012) :
a. Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap
kehilangan. Misalnya, kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik
diri dari aktivitas untuk sementara.
b. Berduka antisipatif, yaitu proses „melepaskan diri‟ yang muncul sebelum
kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, ketika menerima
diagnosis terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan
menyelesaikan berbagai urusan di dunia sebelum ajalnya tiba.
c. Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap
berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolaholah tidak
kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan
dengan orang lain.
d. Berduka tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui
secara terbuka. Contohnya, kehilangan pasangan karena AIDS, anak yang
mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya di
kandungan atau ketika bersalin.
2.3 Respon Berduka
Menurut Kubler-Ross dalam Hidayat (2012), respon berduka seseorang terhadap
kehilangan dapat melalui tahap-tahap seperti pengingkaran, marah, tawar-menawar,
depresi dan penerimaan.
18
Rentang Respon Kehilangan (Hidayat, 2012)
(Gambar rentang respon individu terhadap kehilangan menurut Kubler-Ross)
a. Fase Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjadi,
dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya itu terjadi” atau “itu tidak
mungkin terjadi”. Bagi individu atau keluarga yang didiagnosa dengan penyakit
terminal, akan terus mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah : letih, lemah, pucat, diare,
gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak tahu
harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam beberapa menit atau beberapa
tahun.
b. Fase Marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan
terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang
sering diproyeksikan kepada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia
menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh
dokter-perawat yang tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi antara lain
muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
c. Fase Tawar-menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif,
maka ia akan maju ke fase tawar-menawar dengan memohon kemurahan pada
Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata “ kalau saja kejadian ini
bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses ini oleh keluarga
maka pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau saja yang sakit, bukan anak
saya”.
19
d. Fase Depresi
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang
sebagai klien sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan,
perasaan tidak berharga, ada keinginan bunuh diri, dan sebagainya. Gejala fisik
yang ditunjukkan antara lain : menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido
manurun.
e. Fase Penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang
selalu berpusat kepada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau
hilang. Individu telah menerima kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang
obyek atau orang yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya
akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan “saya
betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis” atau “apa
yang dapat saya lakukan agar cepat sembuh”.
Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan perasaan
damai, maka dia akan mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan
kehilangannya dengan tuntas. Tetapi bila tidak dapat menerima fase ini maka ia
akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan
selanjutnya.
2.4 Sifat Kehilangan
1. Tiba-tiba (tidak dapat diramalkan)
Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan
dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri,
pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima.
2. Berangsur-angsur (dapat Diramalkan)
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan yang
ditinggalkan mengalami keletihan emosional.
2.5 Tipe Kehilangan
1. Actual Loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama
dengan individu yang mengalami kehilangan. Contoh : kehilangan anggota
badan, uang, pekerjaan, anggota keluarga.
2. Perceived Loss (Psikologis)
20
Kehilangan Sesuatu yang dirasakan oleh individu bersangkutan namun
tidak dapat dirasakan/dilihat oleh orang lain. Contoh : Kehilangan masa remaja,
lingkungan yang berharga.
3. Anticipatory Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi. Individu
memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan yang
akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien (anggota) menderita
sakit terminal.
2.6 Lima Kategori Kehilangan
1. Kehilangan objek eksternal
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah
menjadi usang berpinda tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam.
Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang
bergantung pada nilai yang dimiliki orng tersebut terhadap nilai yang
dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.
2. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah
dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal Selama periode tertentu atau
kepindahan secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru atau perawatan
diruma sakit.
3. Kehilangan orang terdekat
Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anak-anak, saudara
sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet terkenal
mumgkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset membuktikan bahwa
banyak orang menganggap hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan
dapat terjadi akibat perpisahan atau kematian.
4. Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi
fisiologis, atau psikologis. Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan
akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra
tubuh dan konsep diri.
5. Kehilangan hidup
Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana orang
tersebut akan meninggal.
21
2.7 Tahapan Proses Kehilangan Dan Berduka
Menurut Kubler Ross dalam Hidayat (2012), terdapat 5 tahapan proses kehilangan :
1. Denial (Mengingkari)
a. Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan
mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”, ”itu tidak
mungkin”.
b. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus
menerus mencari informasi tambahan.
c. Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah, pucat,
mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis gelisah,
tidak tahu harus berbuat apa.
2. Anger (Marah)
a. Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya
kehilangan.
b. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering diproyeksikan
kepada orang yang ada di lingkungannya, orang tertentu atau ditujukan
kepada dirinya sendiri.
c. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak
pengobatan, dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus.
d. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi
cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
3. Bergaining (Tawar-Menawar)
a. Fase ini merupakan fase tawar menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
b. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata ”kalau saja kejadian itu bisa
ditunda maka saya akan sering berdoa”.
c. Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataannya
sebagai berikut sering dijumpai ”kalau yang sakit bukan anak saya”.
d. Cenderung menyelesaikan urusan yang bersifat pribadi, membuat surat
warisan, mengunjungi keluarga dan sebagainya.
4. Depression (Bersedih yang mendalam)
a. Klien dihadapkan pada kenyataan bahwa ia akan mati dan hal itu tidak bisa di
tolak.
22
b. Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri,
tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai klien yang sangat baik
dan menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan,
perasaan tidak berharga.
c. Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah tidur,
letih, dorongan libido menurun.
5. Acceptance (menerima)
a. Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan.
b. Menerima kenyataan kehilangan, berpartisipasi aktif, klien merasa damai dan
tenang, serta menyiapkan dirinya menerima kematian.
c. Klien tampak sering berdoa, duduk diam dengan satu focus pandang, kadang
klien ingin ditemani keluarga/perawat.
d. Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti ”saya betul-
betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis juga”, atau
“Sekarang saya telah siap untuk pergi dengan tenang setelah saya tahu
semuanya baik”.
2.8 Tanda dan Gejala
a. Ungkapan kehilangan
b. Menangis
c. Gangguan tidur
d. Kehilangan nafsu makan
e. Sulit berkonsentrasi
f. Karakteristik berduka yang berkepanjangan :
1. Mengingkari kenyataan kehilangan dalam waktu yang lama
2. Sedih berkepanjangan
3. Adanya gejala fisik yang berat
4. Keinginan untuk bunuh diri
Gejala dan Tanda Mayor.
Subjektif.
1. Merasa bersedih.
2. Merasa bersalah atau menyalahkan orang lain.
3. Tidak menerima kehilangan.
4. Merasa tidak ada harapan.
23
Objrktif.
1. menangis.
2. Pola tidur berubah.
3. Tidak mampu berkonsentrasi
Gejala dan Tanda Minor.
Subjektif.
1. Mimpi buruk atau pola mimpi berubah.
2. Merasa tidak berguna.
3. Fobia.
Objektif
1. Marah.
2. Tamapk panik.
3. Fungsi imunitas Terganggu.
Kondisi Klinis Terkait.
1. Kematian anggota keluarga atau orang terdekat.
2. Amputasi.
3. Cedera medula spinalis.
4. Kondisi kehilangan perinatal.
5. Penyakit terminal(mis. kanker).
6. Putus hubungan kerja.
A. Faktor Predisposisi
Dalam Hidayat (2012), faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang
respon kehilangan adalah sebagai berikut.
Faktor genetik. Individu yang dilahirkandan dibesarkan dalam keluarga dengan
riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan, termasuk dalam menghadapu perasaan kehilangan.
Faktor fisik. Individu dengan fisik, mental, serta pola hidup yang teratur cenderung
mempunyai kemampuan dalam mengatasi stres yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang mengalami gangguan jasmani.
Faktor mental. Individu yang mengalami gangguan jiwa, terutama yang mempunyai
riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan pesimis, selalu
dibayangi masa depan peka dalam mengahadapi situasi kehilangan.
24
Pengalaman kehilangan di masa lalu. Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang
dicintai pada masa kanak-kanak akan mempengaruhi kemampuan individu dalam
mengatasi perasaan kehilangan pada masa dewasa.
Struktur kepribadian. Individu dengan konsep diri negatif dan perasaan rendah diri
akan menyebabkan rasa percaya diri rendah dan tidak objektif terhadap stres yang
dihadapi.
B. Faktor Presipitasi
Ada beberapa stresor yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan. Stresor
ini dapat berupa stresor yang nyata ataupun imajinasi individu itu sendiri, seperti
kehilangan biopsikososial yang meliputi kehilangan harga diri, pekerjaan, seksualitas,
posisi dalam masyarakat, milik pribadi (harta benda, dan lain-lain). Berikut beberapa
stresor kehilangan tersebut. a. Kehilangan kesehatan
b. Kehilangan fungsi seksualitas
c. Kehilangan peran dalam keluarga
d. Kehilangan posisi dalam masyarakat
e. Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai
f. Kehilangan kewarganegaraan
2.9 Sumber Koping
Cara individu mengatasi proses kehilangan amat bergantung pada sumber
yang tersedia. Sumber koping tersebut dapat berupa kemampuan dan bakat mengatasi
kedukaan, teknik pertahanan, dukungan sosial, dan motivasi. Sumber koping lainnya
adalah dukungan spiritual, keyakinan positif, pemecahan masalah, kemampuan
sosial, kesehatan fisik, sumber materi dan sosial, keluarga, kerabat dekat, dan
perawat.
2.10 Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering dipakai individu dengan respon kehilangan
antara lain : pengingkaran, regresi, intelektualisasi, disosiasi, supresi, dan proyeksi
yang digunakan untuk menghindari intesitas stres yang dirasakan sangat
menyakitkan. Dalam keadaan patologi, mekanisme koping sering dipakai secara
berlebihan atau tidak memadai.
25
Pengkajian meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi dukacita klien: apa
yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperhatikanmelalui perilaku. Beberapa
percakapan yang merupakan bagian pengkajianagar mengetahui apa yang mereka
8iagn dan rasakan adalah :
Persepsi yang adekuat tentang kehilangan
Dukungan yang adekuat ketika berduka akibat kehilangan
Perilaku koping yang adekuat selama prosesTerdapat 7 faktor yang mempengaruhi
rentang respon kehilangan, yakni:a.
B. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilanganadalah:
1. Faktor Genetic : Individu yang dilahirkan dandibesarkan di dalam keluarga yang
mempunyai riwayatdepresi akan sulit mengembangkan sikap optimis
dalammenghadapi suatu permasalahan termasuk dalammenghadapi perasaan
kehilangan.
2. Kesehatan Jasmani : Individu dengan keadaan fisiksehat, pola hidup yang teratur,
cenderung mempunyaikemampuan mengatasi stress yang lebih tinggidibandingkan
dengan individu yang mengalamigangguan fisik
3. Kesehatan Mental : Individu yang mengalamigangguan jiwa terutama yang
mempunyai riwayatdepresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis,
selalu dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam
menghadapi situasikehilangan.
4. Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu : Kehilanganatau perpisahan dengan orang
yang berarti pada masa kana-kanak akan mempengaruhi individu dalammengatasi
perasaan kehilangan pada masa dewasa(Stuart-Sundeen, 1991).
5. Struktur Kepribadian : Individu dengan konsep yangnegatif, perasaan rendah diri
akan menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadapstress
yang dihadapi.
C. Faktor presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaankehilangan. Kehilangan kasih
yang secara nyata ataupunimajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial
antaralain meliputi:
1. Kehilangan kesehatan
26
2. Kehilangan fungsi seksualitas
3. Kehilangan peran dalam keluarga
4. Kehilangan posisi di masyarakat
5. Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai
6. Kehilangan kewarganegaraan
D. Mekanisme koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilanganrespon antara lain:
Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan Proyeksi yang
digunakan untukmenghindari intensitas stress yang dirasakan sangat
menyakitkan.Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yangdalam.
Dalam keadaan patologis mekanisme koping tersebutsering dipakai secara berlebihan
dan tidak tepat.
E. Respon Spiritual
F. Respon Fisiologis
Sakit kepala, insomnia
Gangguan nafsu makan
Berat badan turun
Tidak bertenaga
Palpitasi, gangguan pencernaan
Perubahan sistem endokrin
G. Respon Emosional
H. Respon Kognitif
I. Perilaku Individu
Dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti :
Menangis tidak terkontrol
Sangat gelisah; perilaku mencari
Iritabilitas dan sikap bermusuhan
Mencari dan menghindari tempat dan aktivitas yangdilakukan bersama orang yang
telah meninggal.
Menyimpan benda berharga orang yang telahmeninggal padahal ingin membuangnya
Kemungkinan menyalahgunakan obat atau 11iagnos
Kemungkinan melakukan 11iagnos, upaya bunuh diriatau pembunuhan
Mencari aktivitas dan refleksi personal selama fasereorganisasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengkajian:
a) Perawat mengkaji pasien berduka dan anggota keluarga yangmengalami kehilangan
untuk menentukan tingkatan berduka.
b) Pengkajian terhadap gejala klinis berduka (Schulz, 1978) yangmencangkup: sesak di
dada, napas pendek, berkeluh kesah, perasaan penuh di perut, kehilangan kekuatan
otot, distress perasaan yang hebat.
28
c) Enam karakteristik berduka (Burgers dan Lazare, 1976)jugadikaji: respons fisiologis,
respons tubuh terhdapa kehilanganatau mengetahui lebih dulu kehilangan dengan
suatu reaksistress. Perawat dapat mengkaji tanda klinis respons tersebut.
d) Factor yang memengaruhi suatu reaksi kehilangan yang bermakna bergantung pada
persepsi individu terhadap pengalaman kehilangan, umur, kultur, keyakinan spiritual,
peran seks, status sosial-ekonomik.
e) Factor presdiposisi yang memengaruhi reaksi kehilangan yangmencakup genetic,
kesehatan fisik, kesehatan mental, pengalaman kehilangan di masa lalu.
f) Factor pencetus mencakup perilaku yang ditunjukkan olehindividu yang mengalami
kehilangan, dan mekanisme kopingyang sering digunakan oleh individu.
J. Diagnosa
Adapun beberapa diagnose yang berkaitan dengan kondisi berdukadan kehilangan, antara
lain:
1. Isolasi Sosial
2. Gangguan Konsep Diri
3. Defisit Perawatan diri
K. Perencanaan
Tujuan keperawatan agar individu yang mengalami proses berdukasecara normal,
melakukan koping terhadap kehilangan secara bertahap danmenerima kehilangan sebagai
bagian dari kehilangan yang nyata dan harusdilalui.
29
b) Prinsip tindakan keperawatan pada tahap marah adalah memberdorongan, memberi
kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan rasa marahnya secara verbal,tanpa
melawandengan kemarahan. Perawat harusmenyadari bahwa perasaanmarah adalah ekspresi
dari perasaan frustasi dan ketidakberdayaan.Tindakan keperawatan:
Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihannya (misalnyamarah, menangis)
Dengarkan dengan empati, jangan member respons yangmencela.
Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung.
c) Prinsip tindakan keperawatan pada tahap tawar menawar adalahmembantu pasien
mengidentifikasikan rasa bersalah dan perasaantakutnya.Tindakan keperawatan:
Amati perilaku pasien.
Diskusikan bersama pasien mengenai perasaannya.
Tingkatkan harga diri pasien.
Cegah tindakan merusak diri
d) Prinsip tindakan keperawatan pada tahap depresi adalahmengidentifikasi tingkat depresi,
risiko merusak diri, danmembantu pasien mengurangi rasa bersalah.Tindakan Keperawatan:
Amati periaku pasien.
Diskusikan bersama pasien mengenai perasaanya.
Cegah tindakan merusak diri.
Hargai perasaan pasien.
Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif yang terkaitdengan kenyataan.
Beri kesempatan pada pasien mengungkapkan perasaannya, bila perlu biarkan ia
menangis sambil tetap didampingi.
Bahas pikirann yang selalu timbul bersama dengan pasien.
e) Prinsip tindakan perawatan tahap penerimaan adalah membantu pasien untuk menerima
kehilangan yang tidak bisa dielakan.Tindakan keperawatan:
Sediakan waktu untuk mengunjungi pasien secara teratur
N. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana tindakan yang sudah disusun.
O. Evaluasi
1. Pasien mampu mengenali peristiwa kehilangan yang dialami.
2. Memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengankeadaan dirinya.
3. Mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yangdialaminya.
4. Memanfaatkan faktor pendukung.
5. Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka.
6. Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan.
32
7. Keluarga mempraktikkan cara merawat pasien berdukadisfungsional.
8. Keluarga memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat.
33
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gangguan Citra tubuh adalah suatu kondisi dimana pola pikir seseorang terhadap
tubuhnya yang tidak sesuai dengan keinginan individu tersebut. Kehilangan merupakan
suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada,
baik sebagian atau seluruhnya. Berduka adalah reaksi emosional dari kehilangan dan terjadi
bersamaan dengan kehilangan baik karena perpisahan, perceraian maupun kematian.
3.2 Saran
Setelah kami membuat kesimpulan tentang asuhan keperawatan pada klien dengan
respon kehilangandan berduka (Loss and Grief), maka kami menganggap perlu adanya
sumbang saran untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu asuhan keperawatan. Adapun
saran-saran yang dapat kami sampaikansebagaiberikut:
a. Dalam perencanaan tindakan, harus disesuaikan dengan kebutuhan klien pada saat
itu.
b. Dalam perumusan diagnose keperawatan, harus diprioritaskan sesuai dengan
kebutuhan maslow ataupun kegawatan dari masalah.
c. Selalu mendokumentasikan semua tindakan keperawatan baik yang kritis maupun
yang tidak.
34
DAFTAR PUSTAKA
Direja, Ade H.S. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha
DPP PPNI. 2016. SDKI, SLKI, SIKI. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI Videbeck, SL.
Hidayat, A, Aziz Alimul. 2012. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan jilid 1. Jakarta : Salemba Medika.
https://snars.web.id/sdki/d-0083-gagguan-citra-tubuh/
http://snars.web.id/sdki/d-0081-berduka/
Keliat, B.A., Helena, N. Farida, P. 2011. Manajemen Keperawatan Psikososial danKader
Kesehatan Jiwa CMHN (Intermediate Course). Jakarta : EGC.
Laia, K. A. (2021). Asuhan Keperawatan Psikososial Pada Ny. M Dengan Masalah Gangguan
Citra Tubuh.
NANDA Internasional. 2015. Diagnosis Keperawatan dan Klasifikasi. 20152017 Edisi 10.
Jakarta: EGC
35
36