BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendamping merupakan sebuah usaha atau kegiatan pemberian kemudahan (fasilitas) yang
dilaksanakan secara sistematis melalui pertemuan antara pendamping dan klien
(individu/kelompok) dalam mengidentifikasi masalah bertujuan untuk memberdayakan orang
yang didampingi, dengan memberikan dukungan, memunculkan kesadaran, mendorong
tumbuhnya inisiatif dalam pengambilang keputusan, atau mengubah cara berfikir yang salah dari
orang yang didampingi serta memberikan solusi dari masalah yang tengah dihadapi, sehingga
kemandirian klien secara berkelanjutan dapat terwujud. (Irene et al. 2003:89). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa dalam sebuah pendampingan, pendamping hanya sebgai fasilitator dalam
proses perubahan dan pertubuhan klien. Sedangkan klien atau orang yang di damping adalah
peran utama serta pemegang kendali utama dalam suatu permaslaahannya. Proses pendampingan
klien menemukan sendiri permasalahan yang terjadi untuk dipelajari lebih lanjut, penentu
perubahan serta pertumbuhan yang ingin dicapai untuk kehidupan selanjutnya.
Persiapan pendampingan merupakan segala sesuatu yang disiapkan saat akan melakukan
pendampingan seperti kesiapan konselor dalam menyediakan waktu dan materi , kemudian
ruangn yang digunakan untuk melakukan pendampingan. Saat melakukan pendampingan , yang
dilakukan konselor yaitu menyiapkan pertanyaan dan menyiapkan bahan untuk menggambar
dasar ( tes grafis) , gambar itu digunakan untuk mengetahui kondisi psikologis klien.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang ingin dibahas yaitu :
1
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dilakuannya penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui informasi mengenai persiapan apa saja yang diperlukan dalam
konseling traumatik
2. Untuk menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah konseling traumatik
3. Menambah wawasan mengenai konseling traumatik bagi kita yang membacanya .
2
BAB II
PEMBAHASAN
Persiapan tersebut perlu dilakukan oleh konselor agar ketika melakukan pendampingan
konseling traumatik nantinya tidak mengalami atau hambatan apa yang dapat mengganggu
jalannya kegiatan pendampingan konseling traumatik. Oleh sebab itulah segala persiapan
tersebut harus matang dan sempurna sebelum kegiatan dilaksanakan kepada konselor / klien
trauma yang membutuhkan banuan konselor.
Pastikan orang yang memerlukan dukungan dengan membawanya ke tempat yang aman ,
hal ini akan meningkatkan kondisi fisik maupun emosionalnya. Rindakan yang bsa dilakukan
adalah sebagai berikut :
1
b. Tanyakan kebutuhan dasar orang yang memerlukan dukungan yang bisa dipenuhi.
Contohnya seperti , kita menawarkan air putih kepada orang ang memerlukan
dukungan.
c. Tanyakan apakah ada diantara orang memerlukan dukungan yang memerlukan
pertolongan medis atau penguatan.
d. Identifikasi orang yang memerlukan dukungan yang memiiki kebutuhan khusus.
Ada beberapa kalimat yang perlu dihindari para penyedia laynan PFA saat menjalin
komunikasi dengan orang yang memerlukan dukungan , diantaranya sebbagai berikut :
2
c. Tanyakan pada mereka adakah pihak lain yang ingin diberitahu sehubungan
dengan bencana yang baru saja terjadi.
Setelah bencana terjadi, hal yang dilakukan adalah kembali normal dengan arti
bukan sekedar kembali ke kondisi yang sama seperti sebelumnya, namun lebih
dari itu dan semakin menjadi pribadi yang luar biasa.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam proses ini yaitu :
Perlu diketahui bahwa PFA adalah layanan awal dimana tidak semua
masalah bisa diselesaikan oleh seorang penyedia layanan. Karena itu penting
untuk menghubungkannya dengan layanan yang lebih kolaboratif, seperti layanan
medis dan layanan Kesehatan mental.
Padangan realistik merujuk pada pandangan konselor terhadap pemasalahan yang dialami
oleh klien bahwa setiap invidu punya potensi untuk mengalami trauma didalam
kehidupannya. Keterampilan ini berguna bagi konselor untuk memahami kelemahan dan
kelebihannya dalam membantu orang yang mengalami trauma. Kelebihan konselor dari
keluarga atau teman orang yang mengalami trauma adalah konselor dapat membantu orang
yang sedang mengalami trauma.
3
orientasi yang holistic merujuk pada orientasi kerja konselor yang menyuluh terhadap
pencapaian tujuan dari proses konseling traumatik. Kondisi trauma pada diri klien bukan
harus dihadapi secara berlebihan atau sebaliknya. Dalam konseling traumatic konselor harus
menerima berbagai bantuan dari pihak demi kesembuhan klien. Kadangkadang klien lebih
tepat untuk dirujuk kepada psikatri dengan pendekatan medic. Mungkin juga klien lebih tepat
dirujuk kepada ulama atau pendeta untuk memenuhi kebutuhan aspek spiritualnya. Dengan
memperhatikan kondisi klien secara holistik, konselor dituntut untuk dapat bekerja sama
dengan berbagai ahli yang ada dimasyarakat untuk membantu kesembuhan kliennya.
3. Fleksibilitas
fleksibilitas merujuk pada ketidakkakuan dalam pelaksanaan proses konseling, baik itu
mengenai tempat konseling, waktu konseling dan melibatkan keluarga atau orang-orang yang
berkaitan dengan klien serta konselor memberika sugesti pada klien bisa terjadi. Dalam
konseling traumatic, konselor tidak banyak waktu untuk melakukan konforntasi, berlama-
lama, nondirektif, interpretasi perilaku dan mimpi serta tidak terlalu mempermasalahkan
terjadinya transferensi maupun kontertransferensi antara klien dan konselor. Kondisi trauma
menuntut konselor untuk bertindak cepat menangani klien.
Konselor harus mampu menyeimbangkan antara perasaan empati dan sebuah ketegasan
dalam bersikap kepada klien. Konselor harus mampu melihat kapan dia harus empati dan
kapan harus tegas dalam mengarahkan klien untuk kesembuhannya. Kalau konselor terlalu
hanyut dengan perasaan klien, maka konselor akan mengalami kesulitan dalam membantu
klien. Begitu juga ketika konselor tidak tepat waktunya dalam memberikan arahan yang tegas
pada klien maka konseling akan tidak efektif.
4
1. Pertama, tahap awal konseling yang terdiri dari introduction, invitation and
environmental support. Dalam tahapan ini konselor membangun hubungan dengan
klien yang disebut dengan a working realationship yaitu hubungan yang berfungsi,
bermakna dan berguna sehingga klien akan mampu mempercayai, dan mengeluarkan
semua isi hati, perasaan dan harapan sehubungan dengan trauma yang dialami.
Memperjelas dan mendefinisikan trauma kepada klien dengan gejala-gejala yang
dialami, sehingga klien faham betul apa yang sedang ia alami dan kaunselor membatu
sepenuhnya. Selain itu juga kauselor dengan klien menyepakati masa untuk
melakukan sesi konseling.
2. Kedua, tahap pertengahan (tahap kerja): disini kaunselor menfokuskan kepada
penjelajahan trauma yang di alami klien, melalui pengamatan kemudian diberi
penilaian sesuai dengan yang dijelajahi. Muhibbin Syah (2006) menyatakan
pengamatan adalah proses menerima, menafsirkan dan memberi arti rangsangan yang
masuk melalui panca idera seperti mata dan telinga kemudian dicerna secara objektif
sehingga mencapai pengertian. Tahap ini juga dikatakan tahap action . Tujuan tahap
ini adalah untuk menjelajahi dan mengekplorasi trauma, serta kepedulian klien atau
tindakan dan lingkungan dalam mengatasi trauma tersebut. Dalam tahap ini kaunselor
juga menjaga hubungan yang berkesan dengan menampilkan keramahan, empati,
kejujuran,keikhlasan dalam membantu klien.
3. Ketiga, tahap akhir kaunseling atau tahap termination yang di tandai dengan beberapa
aspek iaitu: menurunnya kecemasan traumatik klien, adanya perubahan perilaku klien
ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamik, adanya tujuan hidup yang jelas dalam
masa yang akan datang, dan terjadi perubahan sikap yang positif terhadap trauma
yang dihadapi.
5
CASE METHOD
A. KASUS
“Pendamping konseling traumatik kesulitan melakukan pendampingan karena kurang
persiapan dan kekurangan media dalam pelaksanaan konseling trauma pada masyarakat
disekitar erupsi gunung Sinabung”
Gunung Sinabung adalah gunung berapi aktif yang terletak di Provinsi Sumatera Utara
tepatnya di tanah Karo. Gunung berapi aktif ini memiliki tinggi 2.460 meter. Gunung ini tercatat
tidak pernah meletus sejak tahun 1600, tetapi mendadak aktif kembali meletus pada tanggal 29
Agustus 2010. Pada tanggal 3 September 2010, terjadi dua letusan. Letusan pertama terjadi
sekitar pukul 04.45 wib, sedangkan letusan kedua terjadi sekitar pukul 18.00 wib. Letusan
pertama menyemburkan debu vulkanis setinggi 3 kilometer. Pada tahun 2013, Gunung Sinabung
meletus kembali, sampai 18 September 2013, telah terjadi 4 kali letusan. Letusan pertama terjadi
ada tanggal 15 September 2013 dini hari, kemudian terjadi kembali pada sore harinya. Pada 17
September 2013, terjadi 2 letusan pada siang dan sore hari. Letusan kedua terjadi bersamaan
dengan gempa bumi vulkanis yang dapat terasa hingga 25 kilometer di sekitar gunung ini.
Sampai pada tanggal 24 November 2013, status Gunung Sinabung dinaikkan ke level tertinggi
yaitu level 4 menandakan ‘Awas’. Dan penduduk dari 21 desa dan dua dusun diungsikan ke kota
Berastagi. Akibat kondisi tersebut hampir seluruh korban erupsi Gunung Sinabung mulai
mengalami trauma karena kehilangan orang yang dicintai, harta benda, rumah dan sawah yang
menjadi mata pencaharian mereka hancur.
Tidak sedikit relawan yang berdatangan untuk membantu tim-tim yang bertugas untuk
menangani masyarakat di tempat pengungsian. Beberapa relawan dari fakultas psikologi
Universitas Sumatera Utara juga turut turun tangan. Penanganan yang dilakukan oleh
mahasiswa-mahasiswa ini adalah untuk mengatasi masalah psikologis dan trauma yang dialami
oleh masyarakat yang terkena dampak erupsi gunung sinabung.
Mereka ikut bersimpati akan musibah yang telah masyarakat rasakan, terlebih
ketidakpastian akan hidup di tempat pengungsian, masalah kesehatan, anak-anak yang putus
sekolah dan ketakutan akan erupsi yang terus berlanjut. Tentu ada tantangan yang relawan
rasakan selama memberikan bantuan kepada masyarakat. Mulai dari tempat pengungsian yang
masih tidak layak, masyarakat yang terus bertambah karena zona erupsi yang kian melebar,
persediaan makanan yang kurang, air minum yang tak layak untuk dikonsumsi, masyarakat yang
bandal ingin kembali kerumah mereka karena khawatir akan ladang dan tanaman yang mereka
tanam, keterbatasan akan pengetahuan penanganan bencana alam dan lain sebaginya. Kesulitan
ini jugalah yang dirasakan soerang mahasiswa yang ingin mengkonseling masyarakat di tempat
pengungsian. Keterbatasan untuk berkomunikasi dengan para pengungsi karena masih trauma
serta takut untuk menyampaikan apa yang mereka rasakan. Banyak pengungsi yang menjadi
pribadi yang tertutup dan sulit untuk di dekati. Keterbatasan lainnya adalah karena banyak anak-
anak yang berpindah-pindah tempat pengungsian sehingga relawan sulit untuk melakukan
6
pendekatan dan penanganan psikologi anak. Dan kurangnya persiapan yang tepat akan
permasalahan yang sedang terjadi. Kurangnya persiapan disini dikarenakan informasi yang
relawan terima tidak sesuai dengan data yang terdapat di lapangan. Seperti jumlah pengungsi
yang semakin bertambah, dan wabah penyakit yang diderita oleh masyarakat di tempat
pengungsian.
B. KAJIAN TEORI
Indonesia merupakan negara yang memiliki letak geografis yang menjadi tempat pertemuan dua
rangkaian gunung berapi aktif (Ring of Fire), dimana terdapat puluhan patahan aktif di wilayah
Indonesia. Indonesia memiliki lebih dari 400 gunung berapi dan 130 diantaranya termasuk
gunung berapi aktif. Sebagian dari gunung berapi terletak di dasar laut dan tidak terlihat dari
permukaan laut. Oleh sebab itu, Indonesia rawan akan terjadinya musibah bencana alam.
Gunung Sinabung adalah gunung api yang terletak di Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Karo,
Sumatera Utara, Indonesia. Gunung Sinabung bersama Gunung Sibayak di dekatnya adalah dua
gunung berapi aktif di Sumatera Utara dan menjadi puncak tertinggi ke 2 di provinsi itu.
Ketinggian gunung ini adalah 2.451 meter. Gunung ini tercatat tidak pernah meletus sejak tahun
1600, namun tiba-tiba aktif kembali dan meletus pada tahun 2010. Letusan Gunung Sinabung
sudah terjadi selama 6 tahun, sejak tahun 2010 hingga saat ini.
Akibat dari letusan ini, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dilansir
dalam Tribun Medan kerugian erupsi Gunung Sinabung mencapai Rp 1,49 Triliun lebih.
Kerugian dan kerusakan terbesar ada di sektor ekonomi produktif meliputi pertanian,
perkebunan, peternakan, perdagangan, pariwisata, perikanan, UKM, dan industri yang
diperkirakan mencapai Rp 896,64 miliar. Sedangkan kerugian dan kerusakan lain meliputi sektor
permukiman mencapai Rp 501 miliar, infrastruktur mencapai Rp 23,65 miliar, sosial mencapai
Rp 53,43 miliar, dan lintas sektor mencapai Rp 18,03 miliar. Selain itu, korban erupsi Gunung
Sinabung mengalami dampak psikologis khususnya pada anak-anak dan perempuan yang
merasakan dampak psikologis yang kuat dari bencana tersebut mengingat mereka sudah lama di
tempat pengungsian dan penanganan dampak bencananya juga terlalu berlarut-larut. Dampak
yang ditimbulkan akibat erupsi Gunung Sinabung ini baik fisik, sosial, maupun psikologis yang
besar dan keadaan dimana mereka telah mengungsi selama 6 tahun lamanya di pengungsian,
terlebih lagi para penyintas Gunung Sinabung tidak dapat memperkirakan kapan bencana ini
akan berhenti, menimbulkan situasi yang sangat sulit yang harus dihadapi oleh penyintas
Gunung Sinabung khususnya anak-anak untuk dapat bertahan hidup dan bangkit dari keadaan
ini.
Sebagai salah satu bentuk kepedulian terhadap sesama dan tugas seorang konselor yang ikut
turun serta dalam membantu kejadian erupsi gunung Sinabung, dari aspek tempat tinggal
sementara, pertahanan hidup lainnya, maupun kondisi fisik dan psikologis nya. pasca bencana
alam ini akan menyebabkan luka mendalam sehingga membuat korban menjadi trauma.
7
Sehingga dibutuhkanlah bentuk persiapan konselor dan bantuan media sebagai sarana pemberian
komunikasi oleh konselor kepada klien.
8
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dari materi dan case method dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Persiapan pendampingan konseling traumatik perlu dilakukan oleh konselor agar
ketika melakukan pendampingan konseling traumatik nantinya dapat berjalan lancar
dan tidak mengalami hambatan yang dapat mengganggu jalannya kegiatan
pendampingan konseling traumatik.
2. Konselor yang harus memahami dengan baik proses dan tahapan konseling
traumatik.Tahap konseling traumatik antara lain; Tahap awal konseling;Tahap
pertengahan dan; Tahap akhir konseling
B. SARAN
Setelah kita membaca materi dari makalah ini diharapkan agar pembaca untuk
betul-betul memahami agar persiapan kita untuk menjadi pendamping korban
traumatik dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
9
Kusmawati Hatta, M. Pd. "Media dan Ilmu Komunikasi Untuk Pengurangan Resiko Bencana
yang Efektif dan Berkelanjutan."
Rina Suryani S.Pd.M.Pd, D. (2020). Konseling Traumatik. Medan: Gerbang juara Sains Medan.
10