Umsoohi Nim : 18147019 Prodi : Hukum Pidana Islam Semester : VIII (Delapan)
Hukum Perlindungan Anak Dan Perempuan
A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, telah ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Menindaklanjuti hal tersebut maka pemerintah telah membuat berbagai peraturan perundang- undangan yang memuat mengenai hak-hak anak. Wagiati Soetodjo dalam bukunya Hukum Pidana Anak mengklasifikasikannya sebagai berikut: 1. Bidang Hukum, melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. 2. Bidang kesehatan melalui Undang-Undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan, diatur dalam Pasal 1, Pasal 3 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (2). 3. Bidang pendidikan a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1). b. Undang-Undang No. 12 Tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 17. 4. Bidang ketenagakerjaan, melalui Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 tentang Peraturan Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam bagi Wanita jo Ordonansi tanggal 27 Februari 1926 stbl. No. 87 Tahun 1926 ditetapkan tanggal 1 Mei 1976 tentang Peraturan Mengenai Keselamatan Kerja Anak-anak dan Orangorang muda di atas Kapal jo Undang-Undang No. 1 UndangUndang Keselamatan Kerja stbl. 1947 No. 208 jo UndangUndang No. 1 Tahun 1951 yang memberlakukan UndangUndang Kerja No. 12 Tahun 1948 di Republik Indonesia. 5. Bidang kesejahteraan sosial, melalui Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam perkembangannya perlindungan terhadap anak di bidang hukum juga diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun secara khusus diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa: Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, meliputi: 1) Perlindungan di bidang Agama 2) Perlindungan di bidang Kesehatan 3) Perlindungan di bidang Pendidikan 4) Perlindungan di bidang Sosial 5) Perlindungan Khusus B. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan 1. Hak Perempuan Berhadapan dengan Hukum di Persidangan Selain hak terdakwa yang diatur dalam KUHAP, terdapat hakhak lain bagi pihak yang berperkara khususnya saksi dan/atau korban, yang antara lain diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu: a. Hak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan; b. Hak memberikan keterangan tanpa tekanan; c. Hak mendapatkan pendamping; d. Hak mendapatkan penerjemah; e. Hak bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. Hak dirahasiakan identitasnya; g. Hak mendapatkan restitusi; h. Hak mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus dan putusan pengadilan; i. Hak mendapatkan nasehat hukum; j. Hak atas pemulihan 2. Permasalahan yang Dihadapi Perempuan Berhadapan dengan Hukum Permasalahan yang dihadapi perempuan berhadapan dengan hukum, di antaranya adalah: a. Aparat Penegak Hukum (APH) Belum Memiliki Perspektif Gender b. Perempuan yang Menjadi Korban Seringkali Mengalami Reviktimisasi c. Norma Hukum Acara Pidana yang Masih Berorientasi Kepada Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa d. Identitas Perempuan Korban Seringkali Masih Terpublikasi e. Perempuan Korban Diperiksa Secara Bersamaan Dengan Terdakwa f. Seringkali Perempuan Berhadapan dengan Hukum Tidak Didampingi oleh Pendamping dan/atau Penasihat Hukum g. Praktik Korupsi dan Rekayasa Bukti dalam Proses Penegakan Hukum C. Penyebab Terhambatnya Akses Keadilan Bagi Perempuan Berhadapan dengan Hukum Terhambatnya akses keadilan bagi perempuan berhadapan dengan hukum adalah sebagai berikut: 1. Keterbatasan Pengetahuan Tentang Hak-Hak Hukum Karena kurangnya akses informasi, banyak Perempuan Berhadapan dengan Hukum tidak mengetahui apa hak-hak hukum mereka atau bagaimana mereka dapat mempertahankan hak-haknya terutama dalam hal mendapatkan ganti rugi atas kejahatan yang menimpanya. 2. Keterbatasan Finansial Banyak Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang menjadi korban dan pihak yang berperkara tidak memiliki sumber daya keuangan untuk membawa perkaranya ke pengadilan, misalnya: untuk membayar penasihat hukum, biaya perkara, bayar transportasi. Oleh karenanya penting bagi Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang tidak mampu untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma dan adanya pembebasan biaya perkara. 3. Keterbatasan Akses ke Pendamping dan/atau Penasihat Hukum Dalam kasus diskriminasi gender atau kekerasan dalam rumah tangga, biasanya pelaku mendapatkan akses untuk didampingi oleh penasihat hukum sementara korban tidak karena tidak mampu mendapatkannya. Ini karena masih ada diskriminasi dalam penerapan hukum yang belum mengakui hak korban untuk mendapatkan pendamping dan/atau penasihat hukum (KUHAP hanya membatasi penasehat hukum bagi tersangka). Selain itu, korban belum terpenuhi hak-haknya untuk mendapatkan pendampingan di luar hukum.
4. Kendala Jarak Dan Transportasi
Terjadi apabila jarak pengadilan berada di Kota/Kabupaten yang jauh dari tempat tinggal (domisili) Perempuan Berhadapan dengan Hukum. 5. Adanya Ancaman, Tekanan, dan Stigma Terhadap Perempuan Korban, Saksi dan Para Pihak Serta kekhawatiran akan terjadi kekerasan berulang yang dilakukan oleh pelaku sehingga Perempuan Berhadapan dengan Hukum takut untuk memberikan kesaksian. 6. Akuntabilitas dan Transparansi Prosedur peradilan yang tidak akuntabel dan transparan dapat mempersulit Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk mengakses keadilan. 7. Hambatan Bahasa/Komunikasi Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang tidak dapat berbahasa Indonesia akan sulit untuk memahami dan menyampaikan keterangan dalam proses persidangan. 8. Hambatan Fisik dan/atau Mental Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang memiliki keterbatasan fisik dan/atau mental membutuhkan pendamping dan/atau fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan khususnya. 9. Praktik-praktik lain dari Aparat Penegak Hukum dan anggota masyarakat yang menghalangi akses keadilan terhadap Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang berasal dari kelompok minoritas dan etnis tertentu.