Anda di halaman 1dari 57

PENGARUH RASIO LEVERAGE DAN MANAJEMEN LABA AKRUAL

TERHADAP AGRESIVITAS PAJAK

(Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur Sektor Industri dan Barang


Konsumsi di Bursa Efek Indonesia tahun 2015-2017)

PROPOSAL

Nama : Mawar Aprilllia Rizkyka


NIM : 43217010060

Program Studi Akuntansi


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MERCUBUANA
JAKARTA
2020

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i


DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Penelitian................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 8
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................ 8
1. Kegunaan Aspek Teoritis ........................................................... 8
2. Kegunaan Aspek Praktis............................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 10
A. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 10
B. Rasio Leverage .............................................................................. 10
C. Manajemen Laba Akrual ............................................................... 14
D. Teknik Manajemen Laba ............................................................... 17
E. Hambatan Pemungutan Pajak ........................................................ 26
1. Manajemen Perpajakan ............................................................. 27
2. Manfaat Perencanaan Pajak ...................................................... 28
3. Ekonomi Perencanaan Pajak..................................................... 28
F. Agresivitas Pajak ........................................................................... 29
G. Peraturan Perpajakan di Indonesia ................................................ 30
H. Kerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis ...................... 33
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 38
A. Objek dan Metode Penelitian yang Digunakan ............................. 38
1. Objek Penelitian........................................................................ 38
2. Metode Penelitian ..................................................................... 38
B. Definisi dan Pengukuran Variabel Penelitian ................................ 39
1. Definisi Variabel Penelitian ...................................................... 39
2. Variabel Bebas (Independent Variable) .................................... 39

i
3. Variabel Tertikat (Dependent Variable) ................................... 41
4. Operasionalisasi Variabel ......................................................... 41
C. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ........................................ 43
1. Sumber Data ............................................................................. 43
2. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 43
D. Populasi dan Sampel...................................................................... 43
1. Populasi..................................................................................... 43
2. Sampel ...................................................................................... 45
E. Rancangan Pengujian Hipotesis .................................................... 46
1. Uji Asumsi Klasik..................................................................... 46
2. Uji Normalitas .......................................................................... 46
3. Uji Multikolinearitas ................................................................. 47
4. Uji Heteroskedasitas ................................................................. 48
5. Uji Autokorelasi........................................................................ 49
F. Analisis Regresi Linier Berganda .................................................. 49
G. Rancangan Pengujian Hipotesis .................................................... 50
1. Uji F .......................................................................................... 50
2. Uji t ........................................................................................... 50
H. Koefisien Determinasi ................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 52

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1 Data Agresivitas Pajak ........................................................................... 3


Tabel 3. 1 Operasional Variabel............................................................................ 42
Tabel 3. 2 Perusahaan Manufaktur Sektor Industri dan Barang Konsumsi yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia ......................................................... 44

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 37

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Indonesia merupakan negara yang besar memiliki jumlah penduduk

sekitar 265 juta jiwa, dengan jumlah penduduk tersebut negara Indonesia

termasuk kedalam kondisi negara berkembang. Untuk itu pemerintah sedang

gencar dalam melaksanakan pembangunan di segala bidang agar dapat

menciptakan kesejahteraan rakyat di Indonesia. Pembangungan tentu saja

membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pemerintah Indonesia terus

mengumpulkan dana agar pelaksanaan pembangunan nasional ini dapat terus

terlaksana. Terdapat dua sumber pendanaan, yaitu pajak dan bukan pajak.

Tetapi penerimaan pajak merupakan sumber dana yang paling besar

dibanding dengan bukan pajak.

Pajak merupakan salah satu sumber pendanaan yang penting di

Indonesia. Tercermin dari komposisi penerimaan pajak negara pada Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara. Pajak yang berasal dari masyarakat nantinya

akan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Terdapat dua fungsi

penerimaan pajak yaitu sebagai sumber pendapatan negara terbesar (fungsi

budgeter) dan sebagai alat pengatur kegiatan ekonomi (fungsi regulerend).

Sebagai fungsi budgeter, pajak harus dapat membiayai seluruh kegiatan

penyelenggaraan negara dan melalui pajak pemerintah dapat mengatur

kegiatan konsumsi dan produksi melalui PPnBM dan PPN sebagai fungsi

1
2

regulerend. Dalam menjalankan fungsinya sebagai budgeting, pajak harus

dipungut dengan optimal agar penerimaan pajak dapat meningkat dan

membiayai pengeluaran negara maupun daerah.

Pemerintah sudah melakukan berbagai cara agar dapat memaksimalkan

pendapatan dari sektor pajak untuk memberikan pengaruh yang cukup

signifikan pada besarnnya APBN. Dengan besarnya APBN yang diperoleh

maka pengeluaran yang dilakukan akan lebih maksimal sehingga

pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dapat terlaksana demi

kesejahteraan rakyat dan bangsa Indonesia. Pajak diperoleh dari wajib pajak

pribadi maupun wajib pajak badan. Wajib pajak yang taatlah yang turut serta

membantu pemerintah dan negara dalam usaha peningkatan kesejahteraan

rakyat dan pembangunan negara secara umum.

Pada kenyataannya ada banyak wajib pajak yang menganggap pajak

merupakan beban yang harus dibayar bagi para wajib pajak. Pajak dirasa akan

mengurangi total pendapatan atau laba bersih yang diperoleh. Hal tersebut

menyebabkan perusahaan selalu mencari cara untuk menghindari beban

pajaknya. Pada tahun 2016 saja Indonesia masuk peringkat ke-11 dalam

penghindaran pajak dengan nilai perkiraan 6,48 miliar dolar AS, disebutkan

bahwa pajak perusahaan tidak dibayarkan perusahaan yang ada di Indonesia

ke Dinas Pajak Indonesia. Dan pada tahun 2017 Sekjen Forum Indonesia

untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyebutkan diduga ada Rp 110

triliun yang merupakan angka pengindaran pajak setiap tahunnya. Tujuan

pemerintah memaksimalkan penerimaan dari sektor pajak bertentangan


3

dengan tujuan dari perusahaan sebagai wajib pajak, dimana perusahaan

berusaha meminimalkan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh laba yang

maksimal sehingga dapat memberikan pertanggungjawaban pemilik atau

pemegang saham dan dalam melanjutkan kelangsungan hidup perusahaan

(Yoehana, 2013). Agar tujuan perusahan tetap tercapai yaitu memaksimalkan

laba cara yang dilakukan antara lain dengan agresivitas pajak atau

perencanaan pajak.

Tindakan agresivitas pajak juga terindikasi dilakukan oleh beberapa

perusahaan manufaktur sektor industri dan barang konsumsi yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia. Berikut adalah tabel perhindaran pajak yang dilakukan

oleh perusahaan manufaktur sektor industri dan barang konsumsi:

Tabel 1. 1 Data Agresivitas Pajak

Tahu
No Emiten n
2015 2016 2017
1 ADES 0,26 0,09 0,25
2 CEKA 0,25 0,13 0,25
3 DLTA 0,23 0,22 0,24
4 DVLA 0,34 0,41 0,39
5 GGRM 0,34 0,34 0,35
6 ICBP 0,23 0,22 0,24
7 INDF 0,35 0,34 0,33
8 KLBF 0,32 0,31 0,32
9 MERK 0,36 0,40 0,42
10 MLBI 0,26 0,26 0,26
11 PYFA 0,48 0,37 0,35
12 SKLT 0,27 0,18 0,16
13 TCID 0,07 0,37 0,36
14 TSPC 0,34 0,32 0,34
15 ULTJ 0,34 0,31 0,44
16 UNVR 0,34 0,34 0,34
17 ROTI 0,28 0,24 0,27
Sumber: Bursa Efek Indonesia (terlampir)
4

Data diatas menunjukkan bahwa terdapat 2 perusahaan manufaktur

sektor industri dan barang konsumsi yang mengalami peningkatan tindakan

agresivitas pajak pada tahun 2015-2017. Perusahaan yang mengalami

peningkatan agresivitas pajak pada tahun 2015-2017 adalah Gudang Garam

Tbk dan Merck Tbk. Perusahaan-perusahaan tersebut terdeteksi terus

mengalami peningkatan penghindaran pajak setiap tahunnya pada periode

2015-2017. Hal tersebut menunjukkan tidak sedikit angka penghindaran pajak

yang dilakukan oleh perusahaan manufaktur sektor industri dan barang

konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

Hlaing (2012) mendefinisikan agresivitas pajak sebagai kegiatan

perencanaan pajak semua perusahaan yang terlibat dalam usaha mengurangi

tingkat pajak yang efektif. Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan

memanfaatkan kebaikan pajak, dengan adanya tax benefit perusahaan

semakin terbantu untuk bisa melakukan tindakan agresivitas pajak. Salah satu

tax benefit yang didapatkan oleh wajib pajak adalah beban bunga. Direktur

Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menyebutkan

faktanya banyak wajib pajak (WP) yang melakukan langkah untuk mendapat

tax benefit berupa beban bunga. Banyak perusahaan lebih memilih berhutang

untuk mendapatkan beban bunga, lalu beban bunga tersebut dijadikan strategi

dalam penghindaran pajak. Untuk melihat sejauh mana aset perusahaan

dibiayai dengan utang dapat diukur dengan rasio leverage. Menurut Hery

(2017) leverage merupakan kebijakan pendanaan yang berkaitan dengan


5

keputusan perusahaan dalam mendanai investasi perusahaan. Perusahaan

yang menggunakan utang mempunyai kewajiban atas beban bunga dan pokok

pinjaman. Kewajiban tersebut yang nantinya dapat mengurangi beban pajak

perusahaan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Krisnata dan Supramono (2012)

leverage perusahaan manufaktur berpengaruh positif dan signifikan terhadap

agresivitas pajak perusahaan, atau dengan kata lain adanya pengaruh yang

kuat antara leverage perusahaan terhadap tingkat agresivitas pajak

perusahaan, dimana semakin tinggi leverage semakin tinggi agresivitas pajak

perusahaan. Tetapi menurut Irvan (2015) leverage tidak menunjukkan

pengaruh yang signifikan terhadap tingkat agresivitas pajak perusahaan.

Perusahaan pasti menginginkan laba yang meningkat setiap tahunnya

selain dapat menunjukkan kinerja perusahaan yang baik terhadap pihak

ketiga, peningkatan laba juga memberi keuntungan pribadi bagi manajemen.

Akan tetapi apabila perusahaan memperoleh laba yang tinggi maka

berbanding lurus dengan beban pajak yang harus dibayarkan. Jika beban

pajak tinggi perusahaan cenderung akan lebih agresif terhadap pajak.

Menurut John Braithwaite (2005) “Aggressive tax planning can mean

engineering transactions that generate tax losses, exluding income from

taxation, deferring recognition of income into a later year or converting

income into a different, lower-taxed form.” Menurut Sri Sulistyanto (2008)

upaya untuk mempermainkan informasi dalam laporan keuangan dengan

menyemunyikan, menunda pengungkapan, dan mengubah informasi inilah


6

yang disebut dengan manajemen laba. Untuk itu perusahaan cenderung melak

Melalui hukumonline.com Yunus Husein selaku pengajar Hukum Perbankan

Universitas Indonesia (UI) menyebutkan dalam penghindaran kewajiban

pajak, modusnya dengan cara mengalihkan laba perusahaan afiliasi di luar

negeri kepada perusahaan cangkang (di dalam negeri). Cara ini untuk

menutupi laba yang diperoleh perusahaan afiliasi tersebut. Artinya, pendirian

perusahaan cangkang dilakukan untuk merekayasa atau memanipulasi laporan

keuangan perusahaan afiliasi. Hal ini tentunya akan mengurangi nilai pajak

perusahaan afiliasi tersebut setelah mengalihkan labanya pada perusahaan

cangkang. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam manajemen

laba, dengan mengalihkan laba ke negara lain merupakan salah satu praktek

manajemen laba yang mengindikasikan adanya agresivitas pajak perusahaan.

Income taxation merupakan motivasi dalam manajemen laba. Pemilihan

metode akuntansi akan memberikan hasil yang berbeda terhadap laba yang

dilaporkan yang dipakai sebagai dasar perhitungan pajak. Manajer cenderung

memilih menggunakan metode akuntansi yang menghasilkan laporan laba

dan pajak yang relatif lebih rendah, Sri Sulistyanto (2008). Pernyataan

tersebut sesuai dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh Krisnata dan

Supramono (2012) dan menyatakan bahwa Manajemen laba berpengaruh

positif dan signifikan terhadap agresivitas pajak perusahaan. Semakin besar

income decreasing yang dilakukan maka perusahaan tersebut juga terindikasi

berperilaku agresif terhadap pajak.

Income taxation merupakan motivasi dalam manajemen laba. Pemilihan


7

metode akuntansi akan memberikan hasil yang berbeda terhadap laba yang

dilaporkan yang dipakai sebagai dasar perhitungan pajak. Manajer cenderung

memilih menggunakan metode akuntansi yang menghasilkan laporan laba

dan pajak yang relatif lebih rendah, Sri Sulistyanto (2008). Pernyataan

tersebut sesuai dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh Krisnata dan

Supramono (2012) dan menyatakan bahwa Manajemen laba berpengaruh

positif dan signifikan terhadap agresivitas pajak perusahaan. Semakin besar

income decreasing yang dilakukan maka perusahaan tersebut juga terindikasi

berperilaku agresif terhadap pajakperusahaan. Namun, penelitian tersebut

tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri (2014) yang

menyatakan bahwa manajemen laba tidak berpengaruh terhadap agresivitas

pajak perusahaan. Lalu didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

Resitarini (2018) yang menemukan manajemen laba tidak berpengaruh

terhadap agresivitas pajak. Karena dalam penelitian tersebut manajemen laba

yang dilakukan untuk meminimalisir besarnya beban pajak yang harus

dibayarkan perusahaan tidak berdampak besar.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari

rasio leverage perusahaan terhadap agresivitas pajak. Karena menurut

beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa leverage berpengaruh

signifikan terhadap agresivitas pajak tetapi adapula yang menyebutkan bahwa

leverage tidak berpengaruh signifikan. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk

mengetahui pengaruh manajemen laba akrual terhadap agresivitas pajak

perusahaan.
8

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik melakukan penelitian dengan

judul Pengaruh Rasio Leverage dan Manajemen Laba Akrual terhadap

Agresivitas Pajak.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana pengaruh rasio leverage terhadap agresivitas pajak?

2. Bagaimana pengaruh manajemen laba akrual terhadap agresivitas pajak?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh rasio leverage terhadap agresivitas pajak.

2. Untuk mengetahui pengaruh manajemen laba akrual terhadap agresivitas


pajak

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Aspek Teoritis

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, penelitian ini diharapkan dapat

menambah ilmu pengatahuan mengenai tindakan perusahaan atas pajak yang

dikenakan. Disamping itu, diharapkan dapat dijadikan acuan, perbandingan,

dan penyempurnaan untuk penelitian selanjutnya sehubungan dengan rasio

leverage, manajemen laba akrual, maupun tindakan agresivitas pajak.

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai literatur untuk

memunculkan ide atau gagasan baru pada penelitian selanjutnya.

2. Kegunaan Aspek Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan dijadikan

tolak ukur dalam pengambilan keputusan oleh pemangku kepentingan

perusahaan. Penelitian ini dapat memberikan pandangan bagi perusahaan


9

mengenai tindakan agresivitas pajak agar dapat dihindari sehingga tidak

terkena sanksi pajak. Bagi Direktorat Jenderal Pajak, penelitian ini dapat

dijadikan pandangan atas kebijakan yang akan dilakukan terdapat perusahaan

dimasa depan. Sedangkan bagi para pemangku kepentingan perusahaan,

penelitian ini dapat dijadikan pandangan mengenai bagaimana manajemen

merespon.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

B. Rasio Leverage

Analisis rasio adalah cara menganalisis dengan menggunakan

perhitungan-perhitungan perbandingan atas data kuantitatif yang ditunjukkan

dalam Neraca atau Laporan Laba Rugi Perusahaan. Dalam hal ini analisis

rasio yang digunakan adalah analisis rasio keuangan. Analisis rasio keuangan

digunakan untuk mengetahui bidang-bidang dalam perusahaan yang sedang

menghadapi masalah kritis yang terjadi. Dengan menggunakan rasio

keuangan masalah tersebut dapat dilakukan perbaikan-perbaikan untuk

mencegah memburuknya kondisi perusahaan. Analisis rasio keuangan juga

membantu untuk mengetahui kinerja perusahaan baik secara keseluruhan

maupun mendetail dari waktu ke waktu, termasuk sumber daya manusianya

(Kuswadi 2006:2). Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa analisis

rasio keuangan adalah cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui masalah

yang ada pada setiap bidang dan membantu untuk menilai kinerja perusahaan

dengan menggunakan perhitungan perbandingan atas data kuantitatif

Kuswadi juga menyebutkan dalam penggunaan analisis rasio

keuangan terdapat beberapa kelemahan atau keterbatasan, antara lain:

1. Mutu analisis rasio akan bergantung pada akurasi dan validitas angka-

angka yang digunakan, yang sebagian besar diambil dari Neraca dan

10
11

Laporan Laba Rugi perusahaan.

2. Biasanya, analisis rasio terutama digunakan untuk memprediksi masa

depan serta mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan perusahaan, tetapi

sering tidak mengungkap penyebab-penyebabnya. Hal itu terjadi karena

data yang digunakan umunya berasal dari data masa lalu (data historis).

Data historis ini, mungkin bukan merupakan hasil atau kesimpulan yang

akurat dari kondisi keuangan dan kinerja perusahaan.

3. Apabila jumlah penyusutan dan amortisasi relatif cukup besar

(signifikan), angka rasio laba dapat menyesatkan.

4. Informasi-informasi penting yang diperlukan justru sering kali tidak

tercantum dalam laporan keuangan. Kebijakan pemerintah dan aktivitas

serikat pekerja, perubahan manajemen, perubahan industri,

perkembangan teknologi, dan aktivitas para pesaing juga perlu

dipertimbangkan dalam penilaian kinerja perusahaan, termasuk sumber

daya manusianya.

5. Sulitnya mencapai komparabilitas yang tinggi di antara perusahaan-

perusahaan dalam industri tertentu yang sedang diperbandingkan.

Kesulitan tersebut terjadi karena:

a. Terdapat perbedaan mendasar dalam pelaksanaan prinsip dan

prosedur akuntansi yang digunakan.

b. Prinsip, prosedur, dan asumsi yang digunakan dalam penyusunan

laporan keuangan sering berubah sehingga sulit untuk membantu

penilaian yang akurat terhadap maju-mundurnya perusahaan.


12

Terdapat beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan oleh

perusahaan. Salah satunya adalah rasio solvabilitas atau leverage. Leverage

merupakan kebijakan pendanaan yang berkaitan dengan keputusan

perusahaan dalam mendanai investasi perusahan (Hery, 2017:16). Keputusan

yang digunakan oleh perusahaan bisa berupa utang. Jika perusahaan memiliki

utang maka perusahaan tersebut memiliki kewajiban atas beban bunga dan

pokok pinjaman.

Pendapat lain dikemukaan mengenai rasio leverage. Menurut Hery

(2015:162) rasio leverage merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur

seberapa besar beban utang yang harus ditanggung perusahaan dalam rangka

pemenuhan aset. Lebih lanjut Kasmir (2016:114) menjelaskan rasio

solvabilitas atau rasio leverage merupakan rasio yang digunakan untuk

mengukur sejauh mana aktiva perusahaan dibiayain dengan utang. Artinya,

berapa besar beban utang yang ditanggung perusahaan dibandingkan dengan

aktivanya. Dalam arti luas dikatakan bahwa rasio solvabilitas atau leverage

digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh

kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila perusahan

dibubarkan (dilikuidasi).

Jenis-Jenis Rasio Leverage

Adapun jenis-jenis rasio leverage antara lain:

1) Debt to Assets Ratio (Debt Ratio).

2) Debt to Equity Ratio.

3) Long Term Debt to Equity Ratio.


13

4) Times Interest Earned.

5) Fixed Charge Coverage.

Adapun penjelasan dari jenis-jenis rasio leverage diatas adalah sebagai

berikut:

1) Debt to Assets Ratio atau Debt Ratio, merupakan rasio utang yang

digunakan untuk mengukur seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai

oleh utang atau seberapa besar utang perusahaan berpengaruh

terhadap pengelolaan aktiva. Caranya adalah dengan membandingkan

antara total utang dengan total aktiva.

2) Debt to Equity Ratio, merupakan rasio yang digunakan untuk menilai

utang dengan ekuitas. Untuk mencari rasio ini dengan cara

membandingkan antara seluruh utang, termasuk utang lancar dengan

seluruh ekuitas. Rasio ini berguna untuk mengatahui jumlah dana

yang disediakan peminjam (kreditor) dengan pemilik perusahaan.

Dengan kata lain rasio ini untuk mengetahui setiap rupiah modal

sendiri yang dijadikan untuk jaminan utang.

3) Long Term Debt to Equity Ratio, merupakan rasio antara utang jangka

panjang dengan modal sendiri. Tujuannya adalah untuk mengukur

berapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan

utang jangka panjang dengan cara membandingkan antara utang

jangka panjang dengan modal sendiri yang disediakan oleh

perusahaan.
14

4) Times Interest Earned, merupakan rasio untuk mencari jumlah kali

perolehan bunga. Rasio ini diartikan juga kemampuan perusahaan

untuk membayar biaya bunga, sama seperti coverage ratio.

5) Fixed Charge Coverage atau Lingkup biaya tetap merupakan rasio

yang menyerupai rasio Times Interest Earned. Hanya saja bedanya

salam rasio ini dilakukan, apabila perusahaan memperoleh utang

jangka panjang atau menyewa aktiva berdasarkan kontrak sewa (lease

contract). Biaya tetap merupakan biaya bunga ditambah kewajiban

sewa tahunan atau jangka panjang.

Berdasarkan penjelasan dari Hery (2015) dan Kasmir (2009) Leverage

dapat didefinisikan sebagai besarnya beban utang dalam pemenuhan aset di

perusahaan. Untuk mengukur rasio leverage dapat dilakukan dengan

beberapa cara, salah satunya adalah menggunakan Debt to Assets Ratio yang

dirumuskan dengan:

Debt to Assets Ratio = Total Utang

Total Aset

C. Manajemen Laba Akrual

Menurut Davidson, Stickney, dan Weil dalam Sri (2008:48)

manajemen laba merupakan proses untuk mengambil langkah tertentu yang

disengaja dalam batas-batas prinsip akuntansi berterima umum untuk

menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan. Dan

menurut Schipper dalam Sri (2008:49) manajemen laba adalah campur tangan

dalam proses penyusunan pelaporan keuangan eksternal, dengan tujuan untuk


15

memperoleh keuntungan pribadi (pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa

hal ini hanyalah upaya untuk memfasilitasi operasi yang tidak memihak dari

sebuah proses). Selain itu, Ahmed dan Belkaoui (2004:74) menjelaskan

bahwa manajeman laba merupakan suatu kemampuan untuk memanipulasi

pilihan-pilihan yang tersedia dan mengambil pilihan tepat untuk dapat

mencapai tingkat laba yang diharapkan.

Manajemen laba memiliki dua model yaitu berbasis akrual dan riil.

Manajemen laba dengan model berbasis akrual merupakan model yang

menggunakan discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba (Sri,

2008:7). Transaksi akrual dilakukan dengan mencatat segala transaksi

keuangan tanpa harus disertai dengan uang atau sejenisnya. Artinya, bahwa

transaksi tidak perlu menunjukkan bukti sejumlah kas yang diterima atau

dikeluarkannya. Dapat disimpulkan bahwa manejemen laba akrual adalah

upaya manajemen yang dilakukan untuk mengelabui informasi dalam laporan

keuangan dengan menggunakan discretionary acrruals yang menjadi proksi

manajemen laba.

Penelitian akuntansi tidak lagi hanya terfokus angka-angka yang

tercantum dalam laporan keuangan, namun juga berusaha mengurai perilaku

etis seseorang ketika mencatat transaksi dan menyusun laporan keuangan.

Besar kecilnya kinerja yang disajikan dalam laporan keuangan akan

dipengaruhi oleh keinginan dan kepentingan penyusunnya, bukan semata-

mata oleh kinerja perusahaan sesungguhnya. (Sri, 2008:62)


16

Menurut Sri (2008:63) ada tiga hipotesis dalam teori akuntansi

positif yang dipergunakan untuk menguji perilaku etis seseorang dalam

mencatat transaksi dan menyusun laporan keuangan.

1) Bonus plan hypothesis

2) Debt (equity) hypothesis

3) Political cost hypothesis

Adapun penjelasan dari ketiga hipotesis untuk menguji perilaku etis

seseorang:

(1) Bonus plan hypothesis yang menyatakan bahwa rencana bonus atau

kompensasi manajerial akan cenderung memilih dan menggunakan

metode-metode akuntansi yang akan membuat laba yang dilaporkannya

menjadi lebih tinggi.

Konsep ini membahas bahwa bonus yang dijanjikan pemilik

kepada manajer perusahaan tidak hanya memotivasi manajer untuk

bekerja dengan lebih baik tetapi juga memotivasi manajer untuk

melakukan kecurangan manajerial. Agar selalu bisa mencapai tingkat

kinerja yang memberikan bonus, manajer mempermainkan besar

kecilnya angka-angka akuntansi dalam laporan keuangan sehingga bonus

itu selalu didapatnya setiap tahun.

(2) Debt (equity) hypothesis menyatakan bahwa perusahaan yang

memppunyai rasio antara utang dan ekuitas lebih besar, cenderung

memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi dengan laporan

laba yang lebih tinggi serta cenderung melanggar perjanjian utang


17

apabila ada manfaat dan keuntungan tertentu yang dapat diperolehnya.

Keuntungan tersebut berupa permainan laba agar kewajiban utang-

piutang dapat ditunda untuk periode berikutnya sehingga semua pihak

yang ingin mengetahui kondisi perusahaan yang sesungguhnya

memperoleh informasi yang keliru dan membuat keputusan bisnis

menjadi keliru pula.

(3) Political cost hypothesis menyatakan bahwa perusahaan cenderung

memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat

memperkecil atau memperbesar laba yang dilaporkannya. Konsep ini

membahas bahwa manajer perusahaan cenderung melanggar regulasi

pemerintah, seperti undang-undang perpajakan, apabila ada manfaar dan

keuntungan tertentu yang dapat diperolehnya. Manajer akan

mempermainkan laba agar kewajiban pembayaran tidak terlalu tinggi

segingga alokasi laba sesuai dengan kemauan perusahaan.

D. Teknik Manajemen Laba

Teknik dan pola manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im (2000)

dalam Pramudji, Trihartati (2010) dapat dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi

b. Mengubah metode akuntansi

c. Menggeser periode biaya atau pendapatan


18

Penjelasan dari teknik dan pola manajemen laba diatas adalah sebagai

berikut:

1. Memanfaatkan Peluang untuk Membuat Estimasi Akuntansi.

Manajemen dapat mempengaruhi laba melalui perkiraan terhadap

estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih,

estimasi kurun waktu depresiasi asset tetap atau amortisasi asset tidak

berwujud, estimasi biaya garansi, dll.

2. Mengubah Metode Akuntansi. Manajemen laba dapat dilakukan dengan

mengubah metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu

transaksi. Contoh mengubah depresiasi asset tetap dari metode jumlah

angka tahun ke metode garis lurus.

3. Menggeser Periode Biaya atau Pendapatan. Manajemen laba dapat

dilakukan dengan menggeser periode atau pendapatan. Contohnya

dengan mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian

sampai pada periode akuntansi periode berikutnya, mempercepat atau

menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur penjualan aset

tetap perusahaan.

Pola-Pola Manajemen Laba

Dalam melakukan rekayasa manajemen laba, manajer memiliki pola

atau aturan yang harus dijalankan. Seperti yang dikemukakan oleh (Scott,

2000:365) terdapat berbagai pola yang sering dilakukan manajer dalam

manajemen laba adalah:


19

a. Taking a bath

b. Income Minimization

c. Income Maximization

d. Income Smoothing

Maksud dari pola diatas adalah:

Pola ini terjadi saat pengangkatan CEO baru dengan cara melaporkan

kerugian dalam jumlah besar yang diharapkan dapat meningkatkan laba di

masa yang akan datang. Konsekuensinya manajer harus menghapus aktiva

dengan harapan laba yang akan datang dapat meningkat. Bentuk ini

mengakui adanya biaya pada periode yang akan datang sebagai kerugian pada

periode berjalan, ketika kondisi buruk yang tidak menguntungkan tidak dapat

dihindari.

1. Dilakukan sebagai startegi pada periode laba yang tinggi dengan

mempercepat penghapusan aktiva tetap dan aktiva tidak berwujud dan

mengakui pengeluaran sebagai biaya. Pola ini dilakukan pada saat

perusahaan memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika

laba masa mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan

mengambil laba periode sebelumnya.

2. Dilakukan saat laba menurun bertujuan untuk melaporkan pendapatan

yang tinggi dengan tujuan mendapat bonus yang lebih besar. Kondisi

tersebut biasanya dilakukan oleh perusahaan yang melakukan

pelanggaran perjanjian hutang.


20

3. Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan

sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena

pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relative stabil.

Pengukuran Manajemen Laba Akrual

Model yang digunakan untuk menghitung manajemen laba pada

penelitian ini adalah Model Kothari. Model yang dikenal dengan

Performance-Matched Discretionary Accruals oleh Kothari ini memiliki ide

dasar bahwa akrual yang terdapat dalam perusahaan yang sedang memiliki

kinerja yang “tidak biasa” (unusual performance) secara sistematis

diharapkan bukan nol sehingga kinerja perusahaan pastinya berhubungan

dengan akrual. Ini berarti bahwa perusahaan yang sedang mengalami

pertumbuhan, memiliki hubungan positif dengan akrual.

Bahkan, jika kinerja perusahaan sedang baik, bisa jadi akrual yang

dimiliki perusahaan cukup tinggi. Nilai akrual yang tinggi ini sebenarnya

disebabkan karena perusahaan sedang mengalami pertumbuhan atau memang

kinerjanya sedang dalam keadaan baik, yang bisa saja ditunjukan dengan

jumlah piutang tinggi, bukan karena manajemen laba. Dengan demikian,

untuk mmengontrol kinerja yang tidak biasa, dalam mengestimasi

discretionary accruals , Kothari memasukan variabel kinerja, seperti return

on asset (ROA) sebagai tambahan variabel independen dalam model regresi

akrual deskrisioner (Sulistiawan,2011).

Kothari et al.(2005) melakukan pembentukan model yang diangggap

mampu membendung permasalahan yang terjadi pada model akrual yang ada,
21

dengan melakukan penambahan variable return on assets (ROA) pada model

pengukuran modified Jones. Hal ini menjadikan model Kothari et al. (2005)

atau model Performance Matched Discretionary Accruals , formula

pendekatan model Kothari (2005) adalah :

TAit = NIit – CFOit ........... (1)

Nilai total accrual (TA) yang diestimasi dengan persamaan regresi

linier OLS sebagai berikut :

TAit/Assetit-1 = α0 + β1(1/Assetit – 1) + β2(ΔREVit – ΔRECit ) + β3(PPEit/At-

1) + β4(ROAit)................(2)

Dengan menggunakan koefisien regresi di atas, nilai non discretionary

accruals (NDA) dapat dihitung dengan rumus :

NDA = α0 + β1(1/Assetsit – 1) + β2(ΔREVit) + β3(PPEit/At – 1)

+β4(ROAit/At-1) + e........(3)

Selanjutnya nilai discretionary accruals (DA) dapat dihitung sebagai

berikut: DAit = TAit – NDAit ...................................................................... (4)

Dalam hal ini :

NIit = Net Income perusahaan i pada tahun t

CFOit = Aliran kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada

periode t TAit = Total Akrual perusahaan i pada tahun t

ΔREVit = Perubahan pendapatan perusahaan i tahun antara t

dan t-1 ΔRECit = Perubahan piutang i tahun antara t dan t-1

PPEit = Tingkat aktiva tetap perusahaan I pada

tahun t ROAit = ROA perusahaan i pada tahun t


22

Ait-1 = Total aktiva perusahaan i pada akhir tahun t-1

Perpajakan

Menurut Pandiangan (2008:113) Pajak adalah kontribusi wajib kepada

negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara

langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Adapun menurut Prof. Dr P.JA dalam Nurmantu

(2005:12) Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang

terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan

tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang

gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum

berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Menurut Supramono (2010:2) Pajak didefinisikan sebagai iuran tidak

mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan

digunakan untuk membayar pengeluaran-pengeluran umum. Dari definisi

pajak tersebut, dapat diuraikan beberapa unsur pajak, antara lain:

1. Pajak merupakan iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak

memungut pajak adalah negaa, baik melalui pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah. Iuran yang dibayarkan berupa uang, bukan barang.

2. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang. Sifat pemungutan pajak

adalah dipaksakan berdasarkan kewenangan yang diatur oleh Undang-

Undang beserta aturan pelaksanannya.


23

3. Tidak ada kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah dalam

pembayaran pajak.

4. Digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.

Fungsi Pajak

Umumnya dikenal 2 macam fungsi pajak menurut Nurmantu

(2005:30), yaitu:

1. Fungsi Budgetair

2. Fungsi Regulerend

Fungsi Budgetair disebut fungsi utama pajak, atau fungsi fiskal (fiscal

function) yaitu suatu fungsi dimana pajak dipergunakan sebagai alat untuk

memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang

perpajakan yang berlaku. Fungsi ini disebut fungsi utama karena fungsi inilah

secara historis pertama kali timbul. Berdasarkan fungsi ini, pemerintah (yang

membutuhkan dana untuk membiayai berbagai kepentingan) memungut pajak

dari penduduknya.

Dalam literatur lain, fungsi budgetair disebut sebagai fungsi untuk

memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Namun,

rumusan ini dianggap terlalu serakah karena pemasukan uang “sebanyak-

banyaknya” ke kas negara tanpa memperhatikan undang-undang perpajakan

yang berlaku dapat menimbulkan berbagai ekses.

Fungsi regulerend atau fungsi mengatur disebut juga fungsi tambahan,

yaitu suatu fungsi dimana pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat

untuk mencapai tujuan tertentu. Disebut sebagai fungsi tambahan karena


24

fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak, yakni fungsi

budgetair. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pajak, dipakai sebagai alat

kebijaksanaan.

Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2002:7) sistem pemungutan pajak antara lain:

a) Official Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada

pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh

Wajib Pajak.

Ciri-cirinya:

1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada

fiskus.

2. Wajib pajak bersifat pasif.

3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh

fiskus.

b) Self Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang

kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang

terutang. Ciri dan cara tersendiri dari sistem pemungutan pajak self

assessment menurut (Zain, 2005:59) :

1. Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdia

kewajiban dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-

sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk


25

pembiayaan negara dan pembangunan nasional;

2. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai

pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota

masyarakat wajib pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat

perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan,

penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan

wajib pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan.

3. Anggota masyarakat wajib pajak diberikan kepercayaan untuk

dapat melaksanakan kegotong-royongan nasional melalui sistem

menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang

(self assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi

perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali

sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib

pajak.

c) With Holding System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang

kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang

bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib

Pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang

ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.

1. Berdasarkan sistem pemungutan diatas, sistem yang paling

memungkinkan untuk dilakukan perencanaan pajak adalah dengan


26

menggunakan sistem self assessment. Ketiga ciri sistem pemungutan pajak

self assessment diatas, menunjukkan bahwa wajib pajak diwajibkan untuk

menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang

terutang sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan

perpajakan, sehingga penentuan besarnya pajak terutang berada pada wajib

pajak itu sendiri.

Zain (2005:59) menyebutkan dengan sistem self-assessment wajib

pajak mendapat beban berat, karena wajib pajak harus melaporkan semua

informasi yang relevan dalam Surat Pemberitahuannya, menghitung dasar

pengenaan pajaknya, menngkalkulasi jumlah pajak yang terutang dalam

melunasi pajak yang terutang atau mengangsur jumlah pajak yang

terutang. Bersamaan dengan itu wajib pajak memperoleh pula kesempatan

yang luas untuk melakukan penyelundupan pajak, baik secara unilateral

dengan cara memberikan informasi yang palsu ata menunda pembayaran,

maupun kesempatan lain untuk melakukan penyelundupan pajak secara

bilateral dengan cara menyuap petugas penetapan, pemeriksa, dan penagih

pajak dari jajaran instansi pajak.

E. Hambatan Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2002:9) hambatan trhadap pemungutan pajak

dapat dikelompokan menjadi:

1) Perlawanan pasif

Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan

antara lain:
27

(a) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat

(b) Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat.

(c) Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan

baik.

2) Perlawanan aktif

Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara

langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari

pajak. Bentuknya antara lain:

(a) Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak

melanggar undang-undang.

(b) Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara

melanggar undang-undang (menggelapkan pajak)

1. Manajemen Perpajakan

Manajemen perpajakan adalah usaha menyeluruh yang dilakukan

tax manager dalam suatu perusahaan atau organisasi agar hal-hal yang

berhubungan dengan perpajakan dari perusahaan atau organisasi tersebut

dapat dikelola dengan baik, efisien, dan ekonomis, sehingga memberi

kontribusi maksimum bagi perusahaan.(Anwar 2013:13)

Menurut Irwansyah (2009: 147) Latar belakang manajemen perpajakan

adalah:

1) Kurangnya kepedulian wajib pajak dan kurangnya keingintahuan

akan manajemen dan peraturan perpajakan.

2) Kurangnya tingkat kepatuhan wajib pajak baik formal maupun


28

informal.

3) Masih banyak wajib pajak yang menghindarkan dari kewajiban

perpajakan, misal menghindarkan dikukuhkan sebagai pengusaha

kena pajak (PKP)

2. Manfaat Perencanaan Pajak

Menurut Anwar (2013:20) ada beberapa manfaat yang bisa

diperoleh dari perencanaan pajak yang dilakukan secara cermat:

1) Penghematan kas keluar, karena beban pajak yang merupakan

unsur biaya dapat dikurangi.

2) Mengatur aliran kas masuk dan keluar (cash flow), karena dengan

perencanaan pajak yang matang dapat diperkirakan kebutuhan kas

untuk pajak, dan menentukan saat pembayaran sehingga

perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat

3. Ekonomi Perencanaan Pajak

Keinginan untuk melakukan perencanaan pajak pada dasarnya

didorong oleh dua ketentuan dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan (Zain, 2005:60), yaitu:

1) Ketentuan pertama menyangkut masalah Pajak Penghasilan itu

sendiri yang bukan merupakan biaya yang fiskal dapat dikurangkan dalam

menentukan Penghasilan Kena Pajak (Pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh).

Sebagai konsekuensinya, apabila terdapat pengurangan pembayaran PPh,

maka tidak akan terjadi penurunan dalam jumlah biaya fiskal yang dapat

dikurangkan dan oleh karena itu juga tidak akan menimbulkan kenaikan
29

Penghasilan Kena Pajak. Pengurangan pembayaran PPh tersebut, yang

juga merupakan jumlah pajak yang dapat dihemat, hanya akan

mengingkatkan laba setelah pajak. Berbeda dengan aktivitas mencari laba/

menambah penghasilan, suatu perencanaan pajak hanya akan memberikan

keuntungan yang sama sekali tidak termasuk dalam ruang lingkup

pengenaan PPh.

2) Ketentuan kedua menyangkut kemungkinan dapat dikurangkannya

biaya yang ada kaitannya dengan penentuan besarnya pajak yang terutang,

yang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan disebut

sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

(Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh) oleh karena perencanaan pajak terkait

dengan penentuan besarnya pajak yang terutang, maka biaya yang

dikeluarkan untuk perencanaan pajak tersebut, merupakan biaya yang

fiskal dapat dikurangkan.

F. Agresivitas Pajak

Menurut John Braithwaite (2005:16) Aggressive tax planning can

mean engineering transactions that generate tax losses, exluding income from

taxation, deferring recognition of income into a later year or converting

income into a different, lower-taxed form. Adapun pengertian lain menurut

Melvin (2007:226) Aggressive tax planning is aggressive methods of avoiding

tax which usually end up being exposed and rejected by the ATO. The penalty

for those in volved in such shemes can range from mere fines to a jail term.
30

Agresivitas pajak didefinisikan sebagai kegiatan perencanaan pajak

semua perusahaan yang terlibat dalam usaha mengurangi tingkat pajak yang

efektif (Hlaing:2012). Ada berbagai macam proksi pengukuran agresivitas

pajak, antara lain Effective Tax Rates (ETR), Book Tax Differences,

Discretionary Permanent BTDs (DTAX), Unrecognize Tax benefit, Tax

Shelter Activity, dan Marginal tax rate (Yoehana:2013). Menurut (Irvan dan

Henryanto:2015) beberapa penelitian sebelumnya (Chen et al, 2010; Martani,

2010) memakai tarif pajak efektif sebagai proksi dari tingkat agresivitas

pajak. Tarif pajak efektif yang rendah menggambarkan tingkat agresivitas

pajak yang tinggi dan demikian juga sebaliknya. Tingkat agresivitas pajak

diukur dengan beban pajak penghasilan dibagi dengan laba bersih sebelum

pajak.

Berdasarkan pengertian menurut John (2005) dan Melvin (2007) dapat

diartikan bahwa Agresivitas pajak adalah kegiatan perencanaan pajak yang

bertujuan untuk menurunkan kewajiban pajak perusahaan melalui penundaan

pengakuan pendapatan ataupun tidak mengakui pendapatan. Pengukuran

agresivitas pajak menggunakan proksi Effective Tax Rates (ETR) dapat

dirumuskan sebagai berikut:

𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑃𝑒𝑛𝑔 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛


ETR =
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖 ℎ 𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘

G. Peraturan Perpajakan di Indonesia

Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 28 th 2007 tentang Kenentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada

negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifar memaksa
31

berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara

langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Menurut (Nugraha:2015) perusahaan merupakan salah

satu wajib pajak penyumbang terbesar dalam penerimaan negara dalam sektor

pajak. Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan (KUP) pasal 1 angka 3, menjelaskan bahwa badan adalah

sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang

melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi

perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau

BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi koperasi, dana

pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi

politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk

kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. UU No 28 tahun 2007

merupakan perubahan UU No 16 tahun 2000, UU No 9 yahun 1994 dan UU

No 6 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) revisi tahun 2010

menyatakan bahwa Pajak penghasilan mengatur bagaimana entitas

menyajikan dan mengungkapkan kewajiban pajak penghasilan entitas. Revisi

tahun 2010 disesuaikan dengan International Accounting Standart 21

mengenai income tax. Ketentuan dalam PSAK secara umum mengenai sesuai

dengan praktik perpajakan secara internasional.

UU No. 36 tahun 2008 merupakan pembaharuan dari UU No. 17

tahun 2000, UU No. 10 tahun 1994, UU No. 7 tahun 1991 dan UU No.7
32

tahun 1983 mengenai pajak penghasilan. Yang menjadi dasar pengenaan

pajak penghasilan badan adalah laba bersih sebelum pajak setelah dikurangi

penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Kewajiban wajib pajak badan dalam

perpajakan antara lain :

1. Kewajiban untuk memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan apabila

wajib pajak badan melakukan kegiatan penyerahan barang kena pajak dan

atau jasa kena pajak dan ekspor barang kena pajak yang terutang, maka

wajib pajak badan tersebut dapat dikukugkan sebagai pengusahan kena

pajak (PKP).

Pasal 2 ayat 4 UU No. 28 tahun 2007 menyatakan bahwa Direktorat

Jenderal Pajak menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara

jabatan apabila wajib pajak atau PKP tidak melaksanakan kewajiban

sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan/atau 2.

2. Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan sebagaimana yang

terdapat pada pasal 28 ayat 1 UU No. 28 tahun 2007, yaitu wajib pajak

orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan

wajib pajak badan Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.

3. Kewajiban melakukan pemotongan dan pemungutan, diantaranya :

a. Kewajiban pajak sendiri (PPh Pasal 25/29)

b. Kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan orang lain

(PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan PPh Final)

c. Kewajiban memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan atau Pajak

Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPn BM) yang khusus bagi PKP
33

d. Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)

e. Kewajiban membayar dan menyetorkan pajak

f. Kewajiban membuat faktur pajak

H. Kerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis

1. Pengaruh Rasio Leverage terhadap Agresivitas Pajak

Teori pendukung yang menghubungkan rasio leverage terhadap

agresivitas pajak dalam Kho dan Fransiska (2017:153): Semakin kecil

pinjaman akan megecilkan bunga pinjaman, sebaliknya semakin besar

pinjaman akan memberikan biaya bunga yang besar pula. Biaya bunga

yang lebih besar akan mengecilkan laba sebelum pajak (PBT). Akibatnya

pajak yang dibayar lebih kecil untuk presentase pajak yang sama (suatu

rasio yang ditentukan pemerintah). Dalam rasio leverage pehitungan yang

dapat dilakukan salah satunya dengan menggunakan Debt to Assets Ratio.

Dapat disimpulkan pula bahwa jika Debt to Assets Ratio sebuah

perusahaan meningkat maka perusahaan tersebut terindikasi melakukan

penghindaran pajak. Sehingga dengan meningkatnya rasio leverage

perusahaan akan berpengaruh terhadap kemungkinan perusahaan

melakukan penghindaran pajak atau agresivitas pajak.

Menurut Novia Bani (2015) dalam penelitian yang dilakukan untuk

mengetahui pengaruh Corporate Social Responsibility, Ukuran

Perusahaan, Profitabilitas, Leverage, dan Capital Intensity terhadap

Agresivitas Pajak. Diketahui bahwa leverage berpengaruh signifikan

terhadap agresivitas pajak perusahaan. Pengukuran yang digunakan dalam


34

penelitian itu sendiri adalah leverage menggunakan Debt to Assest Ratio

dan agresivitas menggunakan ETR (Effective Tax Rate). Hasil penelitian

tersebut didukung oleh penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh

Krisnata Dwi (2012) dengan judul Likuiditas, Leverage, Komisaris

Independen, dan Manajemen Laba terhadap Agresivitas Pajak Perusahaan.

Krisnata juga menggunakan Debt to Assets Ratio dalam pengukuran

leverage dan untuk agresivitas pajak menggunakan pengukuran Effective

Tax Rate dan Cash Effective Tax Rate. Hasil dari penelitian tersebut

menyatakan bahwa leverage perusahaan berpengaruh positif dan signifikan

terhadap agresivitas pajak perusahaan, atau dengan kata lain adanya

pengaruh yang kuat antara leverage perusahaan terhadap tingkat

agresivitas pajak perusahaan. Dari penelitian yang dilakukan kita dapat

mengetahui bahwa semakin besar leverage perusahaan maka semakin

besar pula kemungkinan perusahaan untuk melakukan tindakan agresivitas

pajak.

Berdasarkan tinjauan pustaka, penelitian terdahulu dan kerangka

pemikiran maka hipotesis pengaruh rasio leverage terhadap agresivitas

pajak, yaitu: H1 : Rasio Leverage berpengaruh terhadap Agresivitas Pajak

2. Pengaruh Manajemen Laba Akrual terhadap Agresivitas Pajak

Teori pendukung yang menghubungkan manajemen laba terhadap

agresivitas pajak dalam Sri (2008:27): Income taxation merupakan

motivasi dalam manajemen laba. Pemilihan metode akuntansi akan

memberikan hasil yang berbeda terhadap laba yang dilaporkan yang


35

dipakai sebagai dasar perhitungan pajak. Manajer cenderung memilih

menggunakan metode akuntansi yang menghasilkan laporan laba dan

pajak yang reliatif lebih rendah.

Metode akuntansi yang banyak dipilih perusahaan untuk

mempermainkan laporan keuangan adalah model berbasis akrual.

Alasannya, akuntansi berbasis akrual merupakan dasar pencatatan

akuntansi yang mewajibkan perusahaan mengakui hak dan kewajiban

tanpa memperhatikan kapan kas akan diterima atau dikeluarkan. Untuk

mengakui biaya yang sudah menjadi kewajiban maka perusahaan tidak

perlu memperhatikan waktu dan pengeluaran kas. Artinya biaya dapat

diakui pada periode tertentu walau pengeluaran kas telah terjadi pada

periode sebelumnya. Atau sebaliknya, biaya baru akan diakui periode yang

akan datang meski pengeluaran kas telah dilakukan periode sebelumnya.

Metode ini juga memungkinkan perusahaan untuk menunda pendapatan

periode berjalan menjadi pendapatan periode berikutnya, meskipun kas

telah diterima.

Metode akuntansi berbasis akrual akan mengakibatkan munculnya

berbagai account akrual dalam laporan keuangan, misalnya piutang

dagang, pendapatan diterima dimuka, hutang biaya, biaya depresiasi, dan

biaya dikerluarkan dimuka, biaya cadangan, biaya depresiasi, dan lain-lain.

Dengan adanya akun-akun tersebut maka perusahaan dapat

memanfaatkannya dalam mempengaruhi laporan keuangan. Perusahaan

dapat menunda pendapatan ataupun dapat mengakui biaya meskipun kas


36

belum dikeluarkan. Jika beban biaya perusahaan meningkat maka laba

akan menurun. Hal tersebut akan mengakibatkan menurunnya pajak

terutang perusahaan.

Teori diatas didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Krisnata

Dwi Suyanto (2012) yang meneliti pengaruh likuiditas, leverage, komisaris

independen, dan manajemen laba terhadap agresivitas pajak perusahaan.

Pada variabel manajemen laba Krisnata (2012) menggunakan basis akrual

dalam pengukurannya. Dan pada agresivitas pajak menggunakan

pengukuran Effective Tax Rate dan Cash Effective Tax Rate. Penelitian

yang dilakukan pada perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek

Indonesia menunjukkan bahwa manajemen laba berpengaruh positif dan

signifikan terhadap agresivitas pajak perusahaan. Semakin besar income

decreasing yang dilakukan maka perusahaan tersebut juga terindikasi

berperilaku agresif terhadap pajak perusahaan. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa perusahaan melakukan tindakan agresivitas pajak

dengan memanfaatkan manajemen laba dalam perusahaan.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Irvan dan Heryanto (2015)

dengan judul Pengaruh Likuiditas, Leverage, Manajemen Laba, Komisaris

Independen, dan Ukuran Perusahaan terhadap Agresivitas Pajak.

Menghasilkan kesimpulan bahwa manajemen laba berpengaruh signifikan

terhadap agresivitas pajak. Penelitian tersebut juga menggunakan industri

manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2010-2011.

Namun, teori tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang


37

dilakukan oleh Putri (2014) yang menyatakan bahwa manajemen laba

tidak berpengaruh terhadap agresivitas pajak perusahaan. Lalu didukung

oleh penelitian yang dilakukan oleh Resitarini (2018) yang menemukan

manajemen laba tidak berpengaruh terhadap agresivitas pajak. Karena

dalam penelitian tersebut manajemen laba yang dilakukan untuk

meminimalisir besarnya beban pajak yang harus dibayarkan perusahaan

tidak berdampak besar.

Berdasarkan tinjauan pustaka, penelitian terdahulu dan kerangka

pemikiran maka hipotesis pengaruh manajemen laba akrual terhadap

agresivitas pajak, yaitu:

H2: Manajemen Laba Akrual berpengaruh terhadap Agresivitas Pajak

RASIO LEVERAGE

AGRESIVITAS PAJAK

MANAJEMEN LABA
AKRUAL

Gambar 2. 1
Kerangka Pemikiran
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Objek dan Metode Penelitian yang Digunakan

1. Objek Penelitian

Supranto dalam Fitrah (2017:156) menyebutkan objek penelitian

adalah himpunan elemen yang dapat berupa orang, organisasi, atau barang

yang akan diteliti. Jadi, yang menjadi objek penelitian dalam penelitian ini

adalah leverage, manajemen laba akrual, dan agresivitas pajak.

2. Metode Penelitian

Fitrah (2017:26) menyatakan bahwa metode penelitian adalah suatu

kegiatan ilmiah dalam memecahkan masalah dengan cara sistematis yang

telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan

pendekatan deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode penelitian yang

ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang

berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau (Hamdi 2014:6).

Metode penelitian kuantitatif menurut Sugiyono (2005:13) diartikan

sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme,

digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan

data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau

statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Pada

penelitian ini yang akan diuji adalah pengaruh rasio leverage, manajemen

38
39

laba akrual, terhadap agresivitas pajak.

B. Definisi dan Pengukuran Variabel Penelitian

1. Definisi Variabel Penelitian

Burhan (2005:103) menyatakan bahwa variabel penelitian adalah gejala

variabel yang bervariasi yaitu faktor-faktor yang dapat berubah-ubah ataupun

dapat diubah untuk tujuan penelitian. Variabel penelitian perlu ditentukan dan

dijelaskan agar alur hubungan dua atau lebih variabel dalam penelitian dapat

dicari dan dianalisis.

2. Variabel Bebas (Independent Variable)

Penelitian ini terdiri dari dua variabel independen yang diteliti, yaitu:

a. Rasio Leverage

Leverage dapat didefinisikan sebagai besarnya beban utang dalam

pemenuhan aset di perusahaan. Baik utang jangka panjang maupun utang

jangka pendek. Rasio ini digunakan untuk mengukur sejauh mana aktiva

perusahaan dibaiayai oleh utang. Perusahaan yang menggunakan utang

untuk pemenuhan asetnya mempunyai kewajiban atas beban bunga dan

pokok pinjaman. Terdapat beberapa jenis pengukuran rasio leverage,

seperti: Debt to Assets Ratio, Debt to Equity Ratio, Long Term Debt to

Equity Ratio, Times Interest Earned, Fixed Charge Coverage. Leverage

dalam penelitian ini diukur dengan Debt to Assets Ratio (Debt Ratio).

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙𝑈𝑡𝑎𝑛𝑔
Debt to Assets Ratio =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
40

b. Manajemen Laba Akrual

Manajemen laba merupakan upaya yang dilakukan oleh manajer

perusahaan dalam memanipulasi laporan keuangan dengan

menyembunyikan atau mengubah informasi yang bertujuan untuk

mengelabui stakeholder. Manajemen laba dalam laporan keuangan juga

dilakukan oleh penyusunnya untuk melihat baik buruknya kinerja

perusahaan. Dalam model manajemen laba akrual menggunakan

discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Pada penelitian ini

manajemen laba akrual diukur dengan menggunakan model kothari dengan

formula sebagai berikut:

TAit = NIit – CFOit (1)

Nilai total accrual (TA) yang diestimasi dengan persamaan regresi

linier OLS sebagai berikut :

TAit/Assetit-1 = α0 + β1(1/Assetit – 1) + β2(ΔREVit – ΔRECit ) +

β3(PPEit/At- 1) + β4(ROAit) (2)

Dengan menggunakan koefisien regresi di atas, nilai non

discretionary accruals (NDA) dapat dihitung dengan rumus :

NDA = α0 + β1(1/Assetsit – 1) + β2(ΔREVit) + β3(PPEit/At – 1) +

β4(ROAit/At-1) + e (3)

Selanjutnya nilai discretionary accruals (DA) dapat dihitung

sebagai berikut: DAit = TAit – NDAit (4)


41

Dalam hal ini :

NIit = Net Income perusahaan i pada tahun t

CFOit = Aliran kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode

t TAit = Total Akrual perusahaan i pada tahun t

ΔREVit = Perubahan pendapatan perusahaan i tahun antara t dan t-1

ΔRECit = Perubahan piutang i tahun antara t dan t-1

PPEit = Tingkat aktiva tetap perusahaan I pada tahun t ROAit

= ROA perusahaan i pada tahun t

Ait-1 = Total aktiva perusahaan i pada akhir tahun t-1

3. Variabel Tertikat (Dependent Variable)

Variabel terikat merupakan variabel utama yang menjadi faktor yang

berlaku dalam investigasi. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah

agresivitas pajak. Agresivitas pajak adalah kegiatan perencanaan pajak yang

bertujuan untuk menurunkan kewajiban pajak perusahaan melalui penundaan

pengakuan pendapatan ataupun tidak mengakui pendapatan. Agresivitas pajak

dapat diukur dengan dua cara yaitu Effective Rate Tax dan Cash Effective

Rate Tax. Dalam penelitian ini menggunakan Effecive Rate Tax untuk

mengukur agresivitas pajak.

𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑃𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛


ETR =
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘

4. Operasionalisasi Variabel

Burhan (2005:70) menyebutkan agar variabel dapat diukur maka

variabel harus dijelaskan dalam konsep operasional variabel, untuk itu maka

variabel harus dijelaskan parameter atau indikator-indikatornya. Dengan


42

adanya operasional variabel maka operasionalisasi konsep, variabel, indikator

variabel, skala pengukuran, operasionalnya, diharapkan tidak menyimpang

jauh dari teori dan konsep yang menjadi sumbernya. Sesuai dengan judul

penelitian ini maka ada tiga variabel:

1. Rasio leverage sebagai variabel independen (X1)

2. Manajemen laba akrual sebagai variabel independen (X2)

3. Agresivitas pajak sebagai variabel dependen (Y)

Tabel 3. 1
Operasional Variabel

Variabel Dimensi Indikator Skala


Rasio Leverage Debt to Assets  Total utang Rasio
(X1) Ratio  Total aktiva
Manajemen  Net Income perusahaan i Rasio
Laba Akrual pada tahun t
(X2)  Aliran kas dari aktivitas
operasi perusahaan i pada
periode t
 Total Akrual perusahaan i
pada tahun t
 Perubahan pendapatan
perusahaan i tahun
antara t dan t-1
 Perubahan piutang i
tahun antara t dan t-1
 Tingkat aktiva tetap
perusahaan I pada tahun t
 ROA perusahaan i pada
tahun t
 Total aktiva perusahaan i
pada akhir tahun t-1
Agresivitas ETR (Effective  Beban Pajak Penghasilan Rasio
Pajak (Y) Rate Tax)  Laba Bersih Sebelum Pajak
43

C. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

1. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data

sekunder. Menurut (Husein Umar, 2002:84) data sekunder merupakan data

primer yang telah diolah lebih lanjut menjadi bentuk-bentuk seperti tabel,

grafik, diagram, gambar, dan sebagainya sehingga lebih informatif oleh pihak

lain. Pengumpulan data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari laporan

tahunan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode

dokumentasi. Metode dokumentasi adalah metode dengan melihat dan

mempelajari data-data sekunder yang diperoleh di Bursa Efek Indonesia

berupa laporan tahunan dan laporan keuangan dari perusahaan yang terpilih

sebagai sampel penelitian.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Sugiyono (2017:80), definisi populasi adalah sebagai

berikut: "Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas; obyek/subyek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya". Lebih lanjut

Hermawan (2009:145) menjelaskan bahwa populasi berkaitan dengan seluruh

kelompok orang, peristiwa, atau benda yang menjadi pusat perhatian peneliti
44

untuk diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur

sektor industri barang dan konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

(BEI) pada periode tahun 2015-2017. Jumlah perusahaan manufaktur sektor

industri dan barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)

sebanyak 33, sebagai berikut:

Tabel 3. 2
Perusahaan Manufaktur Sektor Industri dan Barang Konsumsi yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia
No Kode Nama Perusahaan
1 ADES Akasha Wira International Tbk Tbk
2 AISA Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk
3 ALTO Tri Banyan Tirta Tbk
4 CEKA PT Wilmar Cahaya Indonesia Tbk.
5 DLTA Delta Djakarta Tbk
6 DVLA Darya-Varia Laboratoria Tbk
7 GGRM Gudang Garam Tbk
8 HMSP HM Sampoerna Tbk
9 ICBP Indofood CBP Sukses Makmur Tbk
10 INAF Indofarma Tbk
11 INDF Indofood Sukses Makmur Tbk
12 KAEF Kimia Farma (Persero) Tbk
13 KICI Kedaung Indah Can Tbk
14 KLBF Kalbe Farma Tbk
15 LMPI Langgeng Makmur Industri Tbk
16 MBTO Martina Berto Tbk
17 MERK Merck Tbk
18 MLBI Multi Bintang Indonesia Tbk
19 MRAT Mustika Ratu Tbk
20 MYOR Mayora Indah Tbk
21 PSDN Prasidha Aneka Niaga Tbk
22 PYFA Pyridam Farma Tbk
23 RMBA Bentoel International Investama Tbk
24 ROTI Nippon Indosari Corpindo Tbk
25 SCPI Merck Sharp Dohme Pharma Tbk
26 SKBM Sekar Bumi Tbk
27 SKLT Sekar Laut Tbk
28 STTP Siantar Top Tbk
29 TCID Mandom Indonesia Tbk
30 TSPC Tempo Scan Pacific Tbk
31 ULTJ Ultra Jaya Milk Industry Tbk
32 UNVR Unilever Indonesia Tbk
33 WIIM Wismilak Inti Makmur Tbk
Sumber: Bursa Efek Indonesia (BEI)
45

2. Sampel

Sugiyono (2017:81) menyebutkan sampel adalah bagian dari jumlah

dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel juga dapat

disimpulkan sebagai elemen dari populasi. Dengan mengambil sampel

peneliti ingin menarik kesimpulan yang akan digeneralisasi terhadap populasi

(Hermawan, 2009:147). Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin

mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan

dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang

diambil dari populasi itu.

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

non propability sampling. Nonprobability sampling adalah teknik

pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/kesempatan sama bagi

setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono

2017:84) dengan menggunakan pendekatan purposive sampling.

Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu (Sugiyono 2017:85). Dengan demikian penulis

memilih perusahaan manufaktur dengan sektor industri dan barang konsumsi

pada tahun 2015-2017 yang berada di Bursa Efek Indonesia. Adapun

beberapa kriteria sampel yang akan digunakan yaitu:

a. Menerbitkan laporan keuangan maupun laporan tahunan lengkap pada

tahun 2015-2017.

b. Laporan keuangan disajikan dengan menggunakan nilai rupiah (Rp).


46

c. Memiliki data yang lengkap terkait dengan variabel-variabel yang

digunakan dalam penelitian.

d. Laporan keuangan perusahaan yang mengalami laba selama tahun

2015-2017.

E. Rancangan Pengujian Hipotesis

1. Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik dilakukan untuk mengetahui apakah data yang

digunakan layak untuk dianalisis, karena tidak semua data dapat dianalisis

dengan regresi. Dalam penelitian ini menggunakan 4 uji asumsi klasik yaitu

uji normalitas, uji multikolinieritas, uji heteroskedastisitas dan uji

autokorelasi.

2. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk menguji asumsi data pada analisis

statistik parametik berdistribusi normal atau tidak, karena data yang baik

adalah data yang berdistribusi normal. Maksud data terdistribusi secara

normal adalah bahwa data akan mengikuti bentuk distribusi normal

(Santosan&Ashari dalam Sofianty dan Nurhayati, 2018:42). Uji normalitas

dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan “Normal P-P Plot” dan “Tabel

Kolmogorov Smirnov”. Uji normalitas pada Normal P-P Plot dapat dilakukan

dengan melihat penyebaran data pada sumbu diagonal dari grafik atau dengan

melihat histogram residualnya. Pengambilan keputusan distribusi data adalah

sebagai berikut:
47

a. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis

diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi

normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.

b. Jika data menyebar jauh garis diagonal dan/atau tidak mengikuti arah

garis diagonal atau grafik histogram tidak menunjukkan pola

distribusi normal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi

normalitas.

Dasar pengambilan keputusan lain menurut Ghozali (2011) adalah:

1. Jika nilai Asymp. Sig (2-tailed) kurang dari 0.05 maka Ho ditolak.

Dapat disimpulkan data residual terdistribusi tidak normal.

2. Jika nilai Asymp. Sig (2-tailed) lebih dari 0,05 maka Ho diterima.

Dapat disimpulkan data residual terdistribusi normal.

3. Uji Multikolinearitas

Imam Ghozali (2013: 91) menyatakan uji ini bertujuan untuk menguji

apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel-

variabel bebas (independen). Pada model regresi yang baik seharusnya tidak

terjadi korelasi diantara variabel bebas / variabel independen. Multikorelasi

menurut Sofianty dan Nurhayati (2018:45) merupakan korelasi yang sangat

tinggi atau sangat rendah tang terjadi pada hubungan di antara variabel bebas.

Uji multikorelasi perlu dilakukan jika jumlah variabel independen (variabel

bebas) lebih dari satu. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikorelasi, menurut

(Wijaya, 2009:119) dapat dilihat dari Value Inflation Factor (VIF), apabila:

a. Tolerance value ≤ 0,10 atau VIF ≥ 10 : terjadi multikolenearitas


48

b. Tolerance value > 0,10 atau VIF < 10 : tidak terjadi multikolenearitas

4. Uji Heteroskedasitas

Uji heteroskedasitas digunakan untuk melihat apakah variabel

pengganggu mempunyai varian yang sama atau tidak. Heteroskedastisitas

mempunyai suatu keadaan bahwa varian dari residual suatu pengamatan ke

pengamatan yang lain berbeda. Heterokedastisitas bertentangan dengan salah

satu asumsi dasar regresi linear, yaitu bahwa variasi residual sama untuk

semua pengamatan atau disebut homokedastisitas (Elmasari dalam Sofianty

dan Nurhayati, 2018:47)

Sofianty dan Nurhayati (2018:47) menyebutkan untuk mendeteksi ada

atau tidaknya heteroskedasitas yaitu dengan melihat grafik plot antara nilai

prediksi variable terikat yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID. Deteksi

ada atau tidaknya heteroskedasitas dapat dilakukan dengan melihat ada

tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED

dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi dan sumbu X adalah rasidual

( Y PREDIKSI-Y sesungguhnya) yang telah di-studentized. Dasar analisis

adalah sebagai berikut:

Jika ada pola tertentu, seperti titik – titk yang ada membentuk pola

tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka

mengindikasikan telah terjadi heteroskedastitas.

1) Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di

bawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastitas.


49

5. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi merupakan pengujian asumsi dalam regresi dimana

variabel dependen tidak berkorelasi dengan dirinya sendiri. Maksud korelasi

dengan diri sendiri adalah bahwa nilai dari variabel dependen tidak

berhubungan dengan nilai variabel itu sendiri, baik nilai variabel sebelumnya

atau nilai periode sesudahnya (Santosa &Ashari dalam Sofianty dan

Nurhayati 2018:48)

Keputusan ada tidaknya auto korelasi:

a. Bila nilai DW berada diantara dU sampai dengan 4 – dU. Koefisien

koreasi sama dengan nol. Artinya tidak terjadi autokorelasi.

b. Bilai nilai DW lebih kecil daripada d. Koefisian korelasi lebih lebar

daripada nol. Artinya terjadi autokorelasi positif.

c. Bila nilai DW lebih besar daripada 4 – dL, koefisien korelasi lebih kecil

daripada nol. Artinya terjadi autokorelasi negatif.

d. Bila nilai DW tertelak di antara 4 – dU dan 4 – dL, hasilnya tidak dapat

disimpulkan.

F. Analisis Regresi Linier Berganda

Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk menguji pengaruh

simultan dari beberapa variabel bebas terhadap satu variabel terikat yang

berskala interval (Sekaran dalam Sofianty dan Nurhayati, 2018:55).

Penelitian ini menggunakan analisis Regresi Linier Berganda. Persamaan

Regresi Linier Berganda dapat dituliskan dalam bentuk:

Y= α + b1X1 + b2X2+ e
50

Keterangan :

Y = Agresivitas Pajak

α = Konstanta

b = Koefisien regresi dari setiap variabel independen X1

= Rasio Leverage

X2 = Manajemen Laba Akrual e = error

G. Rancangan Pengujian Hipotesis

1. Uji F

Uji F digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel

independen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel

dependen. Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 0,05 (Mulyono,

2018:113). Maka kriteria pengujian:

a. Apabila nilai signifikan F > 0.05, maka H0 diterima, artinya variabel

independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependen

b. Apabila nilai signifikan F ≤ 0,05 maka H0 ditolak. Artinya terdapat

pengaruh yang signifikan antara semua variabel independen terhadap

variable dependen.

2. Uji t
Menurut Mulyono (2018:113), uji t digunakan untuk mengetahui

apakah variabel-variabel independen secara parsial berpengaruh nyata atau

tidak terhadap variabel dependen. Derajat signifikansi yang digunakan adalah

0,05. Kriteria pengujinya adalah :

1. Jika tingkat signifikan > 0.05 , maka dapat disimpulkan bahwa H0

diterima, sebaliknya Ha ditolak.


51

2. Jika tingkat signifikan ≤ 0,05 , maka dapat disimpulkan bahwa H0

ditolak, sebaliknya Ha diterima.

H. Koefisien Determinasi

Koefisien Determinasi pada intinya mengukur seberapa besar

kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel terikatnya (Ghozali

dalam Mulyono 2018:112). Nilai koefisien determinasi adalah antara nol dan

satu. Semakin tinggi nilai koefisien determinasi (𝑟2 ) berarti semakin tinggi

kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variasi perubahan

terhadap variabel dependen. Dalam penggunaannya, koefisien determinasi ini

dinyatakan dalam persentase (%) dengan rumus sebagai berikut:

Kd = r2× 100%

Keterangan:

Kd = Koefisien Determinasi

r = Koefisien korelasi.
DAFTAR PUSTAKA

Braithwaite,John.2005.MarketsinVice Market inVirtue. Australia: The


FederationPress

C.E. 2005. PerformanceMatched Discretionary Accrual Measures. Journal of


Accounting and Economics, 39(1),163-197

Governance, Profitabilitas, Leverage, dan Manajemen Laba terhadap Agresivitas


Pajak. Yogyakarta: Universitas MuhammadiyahYogyakarta

Hery. 2017. Kajian Riset Akuntansi. Jakarta: PT Gramedia

Hien, Kho Sin dan Fransiska. 2017. Financial Manajement Canvas. Elex Media
Kothari, S.P., Leone, A.J., & Wasley,

Hlaing. 2012. Organizational Architecture of Multinationals and Tax


Aggressiveness

Krisnata dan Supramono. 2012. Likuiditas, Leverage, Komisaris Independen, dan


Manajemen Laba terhadap Agresivitas Pajak Perusahaan. Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana.

Putri, Lucy Tania. 2014. Pengaruh Likuiditas, Manajemen Laba,dan Corporate


Governance terhadap Agresivitas Pajak. Padang: Universitas
NegeriPadang.

Resitarini, Fatimah Kris. 2018.Pengaruh Mekanisme Corporate

Sofianty, Diamonalisa dan Nurhayati. 2018. Modul Praktikum Statistik Penelitian


dengan SPSS. Bandung www.hukumonline.com

Sulistyanto, Sri. 2008. Manajemen La ba Teori dan Model Empiris. Jakarta:


Grasindo

52

Anda mungkin juga menyukai