Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

A. SEBAB-SEBAB PERBEDAAN PENDAPAT

Salah satu kenyataan dalam fiqh adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan para
ulama. Meskipun demikian kebijaksanaan fiqh menetapkan bahwa keluar dari perbedaan
pendapat itu disenangi, dan mendahulukan apa yang telah disepakati daripada hal-hal lain di
mana terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Sesuai dengan kaidah :

"Keluar dari perbedaan pendapat itu adalah disenangi ".

"Apa yang disepakati didahulukan daripada hal-hal di mana para ulama berbeda pendapat".

Adapun sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:


1. Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam
Al-Qur'an maupun Hadits. Seperti lafal musytarak, makna haqiqat (sesungguhnya) atau
majaz (kiasan), dan lain-lainnya.
2. Karena berbeda tanggapannya terhadap Hadits. Ada Hadits yang sampai kepada
sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain. Kalau Hadits tersebut diketahui
oleh semua ulama, sering terjadi sebagian ulama menerimanya sebagai Hadits sahih, sedang
yang lain menganggap dha'if, dan lain sebagainya.
3. Berbeda dalam menanggapi kaidah-kaidah Ushul. Misalnya ada ulama yang
berpendapat bahwa lapal am yang sudah ditakh'sis itu bisa dijadikan hujah. Demikian pula
ada yang berpendapat segala macam mafhum tidak bisa dijadikan hujah. Ulama-ulama yang
berpendapat bahvva mahfum itu adalah hujah, kemudian berbeda lagi tanggapannya terhadap
mafhum mukhalafah.
4. Berbeda tanggapannya tentang ta'arudl (pertentangan antara dalil) dan tarjih
(menguatkan satu dalil atas dalil yang lain). Seperti: tentang nasakh dan mansukh, tentang
pentakwilan, dan lain sebagainya yang dibahas secara luas dalam ilmu Ushul Fiqh. 
5. Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang sifatnya ijtihadi. Ulama sepakat
bahwa Al-Qur'an dan Al-Sunnah al-Shahihah adalah sumber hukum. Tetapi berbeda
pendapatnya tentang istihsan, al-maslahah al-mursalah, pendapat sahabat, dan lain-lainnya
yang digunakan dalam era berijtihad. Sering pula terjadi, disepakati tentang dalilnya, tetapi
penerapannya berbeda-beda. sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula. 1

B.    PERBEDAAN DALAM MENGGUNAKAN DAN MEMAHAMI AYAT AL-QUR’AN


DAN FIQH YANG DIHASILKAN

1.      Perbedaan Dalam Memahami Al-Qur'an.

Al-Qur'an adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja
mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:

a)      Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak). Contoh
lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan dengan "suci"; dan sebagian lagi
mengartikan dengan "haid". Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu
Mas'ud dan Umar) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg
ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa
dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum
mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini. Ada ulama
yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'" sehingga kita bisa
menggunakan akal kita untuk memahaminya. Soalnya, kalau Allah mau menghilangkan
perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata yang pasti saja, apakah suci atau
haid. Ternyata Allah memilih kata "quru" yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.

b)      Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf "fa",
"waw", "aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung banyak fungsi tergantung konteksnya.
Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227 mengandung dua fungsi. Sebagian
memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian
lagi berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan
menurut kenyataan). Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila
(melakukan sumpah untuk tidak campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum
empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua berpendapat
bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari jatuhnya talaq) itu setelah
lewat empat bulan.

c)      Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-


mansukh. Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga
membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui
qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak
asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus

1 Prof. H.A.Djazuli, Ilmu Fiqih Pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, PT. Prenada Meia,
hlm.117-119
(lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang
dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-
Taubah ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena
kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja).
Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan "ah" pada
kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa perbuatan lain
yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan
sebagainya).

Nah, persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu ayat sbb:

1)      lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau

2)      lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan

3)      lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau

4)      lafaz khusus tetapi maksudnya umum.

Begitu juga perbedaan soal mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para


ulama memiliki kaidah yang mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir
pembahasan ini malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke
buku-buku ushul al-fiqh).

d)     Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan. Ketika ada suatu lafaz berbentuk
"amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan:

a)      al-aslu fil amri lil wujub (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)

b)      al-aslu fil amri li an-nadab (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)

c)      al-aslu fil amri lil ibahah (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan) Contohnya
lafaz "kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah, tetapi yang
dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn nisa'" (nikahilah wanita-
wanita yg kamu sukai) juga menggunakan bentuk perintah. Nah, para ulama ada yg
memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab Zhahiri), dan ada yg memandang sunnah
(jumhur ulama).

2.      Fiqih Yang Dihasilkan

Sedangkan dalam hukum (ilmu fikih) lahir beberapa mazhab, di antaranya, mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali (keempat mazhab ini adalah mazhab besar), serta
mazhab-mazhab lainnya yang termasuk mazhab kecil, yaitu mazhab at-Tauri, an-Nakha’i, at-
Tabari, al-Auza’idan az-Zahiri.Khusus dalam bidang hukum Islam (fikih), hal tersebut di atas
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat. Masih banyak faktor
lain yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih. Faktor-faktor lain
inilah yang penulis ingin bahas dalam makalah ini.

Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat dalam Hukum Islam. Jika kita
memasuki kawasan hukum Islam (fikih), maka kita tidak akan lepas dari terjadinya
perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Hal ini disebabkan obyekbahasan fikih biasanya
adalah masalah-masalah ijtihadiyah, yaitu masalah yanguntuk menentukan hukumnya harus
dilakukan ijtihad lebih dahulu.

Contoh :

Seorang istri yang ditalak tiga oleh suaminya dengan mengikuti rukun2 yang
ditentukan Alloh dlm hukum2 Nya ( Al Qur'an). (Setelah ke -1 dan ke-2)  Istri yang dalam
keadaan seperti ini tidak boleh dirujuk oleh suaminya kecuali jika ia telah menikah dengan
suami baru dan suaminya yang baru itu telah menceraikannya. Inilah hukum yang telah
ditetapka oleh Allah dalam Quran surat al-Baqarah (2): 230

‫ُنَاح َعلَ ْي ِهمَا َأ ْن‬َ ‫فَِإ ْن طَلَّقَهَا فَاَل ت َِحلُّ لَهُ ِم ْن بَ ْع ُد َحتَّ ٰى تَ ْن ِك َح َزوْ جًا َغ ْي َرهُ ۗ فَِإ ْن طَلَّقَهَا فَاَل ج‬
َ ‫اج َعا ِإ ْن ظَنَّا َأ ْن يُقِي َما ُح ُدو َد هَّللا ِ ۗ َوتِ ْل‬
َ‫ك ُح ُدو ُد هَّللا ِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْ ٍم يَ ْعلَ ُمون‬ َ ‫يَتَ َر‬

Artinya            ; Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu
tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama
dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
Mengetahui.

Yang diperselisihkan adalah : apakah istri dan suaminya yang baru itu harus melakukan
persetubuhan terlebih dahulu sebelum mereka bercerai.

Sebagian besar ulama berpen-dapat bahwa sebelum diceraikan, istri harus disetubuhi
dahulu oleh suaminya yang baru. Akan tetapi Sa’ied ibn Musyayyab berpendapat bahwa
suami pertama boleh menikah kembali dengan istrinya itu setelah diceraikan oleh suami
barunya, walaupun belum disetubuhi.Kedua contoh ini merupakan masalah yang masuk
dalam wilayah fikih. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya, keduanya tidak luput
dari terjadinya perbedaan pendapat. Faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam
fikih sangat banyak, sehingga di antara para ulama terjadi perbedaan argumentasi tentang
faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan-perbedaan itu dalam fikih.
C.     PERBEDAAN DALAM MENGGUNAKAN DAN MEMAHAMI SUNNAH SERTA
FIQH YANG DIHASILKAN

1.      Kedudukan hadis

Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis yang paling tinggi
kedudukannya. Hadis mutawatir adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh orang banyak
yang tidak mungkin berbohong. Masalahnya, para ulama berbeda dalam memahami "orang
banyak" itu. Sebagian berpendapat jumlah "orang banyak" itu adalah dua orang, sebagian lagi
mengatakan cukup empat orang, yang lain mengatakan lima orang. Pendapat lain mengatakan
sepuluh orang. Ada pula yang mengatakan tujuh puluh orang.

Artinya, walaupun mereka sepakat akan kuatnya kedudukan hadis mutawatir namun
mereka berbeda dalam menentukan syarat suatu hadis itu dikatakan mutawatir. Boleh jadi,
ada satu hadis yang dipandang mutawatir oleh satu ulama, namun dipandang tidak mutawtir
oleh ulama yang lain.

Begitu pula halnya dalam memandang kedudukan hadis shahih. Salah satu syarat
suatu hadis itu dinyatakan shahih adalah bila ia diriwayatkan oleh perawi yang adil. Hanya
saja, lagi-lagi ulama berbeda dalam mendefenisikan adil itu.

Nur al-Din 'Itr menyaratkan tujuh hal, Al-Hakim menyaratkan tiga hal. Yang menarik,
al-Hakim memasukkan unsur : tidak berbuat bid'ah sebagai syarat adilnya perawi, namun Ibn
al-shalah, Nur al-Din 'Itr, Al-Syawkani tidak mencantumkan syarat ini. Hampir semua ulama,
kecuali al-Hakim, memasukkan unsur "memelihara muru'ah (kehormatan diri)" sebagai unsur
keadilan seorang perawi.

Artinya, walaupun para ulama sepakat bahwa salah satu syarat suatu hadis dinyatakan
shahih adalah bila hadis itu diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun mereka berbeda
dalam meletakkan syarat-syarat adil itu. Boleh jadi, satu hadis dinyatakan shahih karena
perawinya dianggap adil oleh satu ulama (sesuai dg syarat adil yang dia susun), tetapi tidak
dipandang adil oleh ulama yang lain (karena tidak memenuhi syarat adil yg dia yakini).

Persoalan lain adalah, bagaimana melakukan tarjih (memilih mana hadis yang paling
kuat) diantara dua hadis yang saling bertentangan. Boleh jadi, sebagian ulama mengatakan
hadis yang satu telah menghapus (nasikh) hadis yang satu lagi. Namun, sebagian ulama
berpendapat bahwa boleh jadi hadis yang satu bersifat umum, sedangkan hadis yang lain
bersifat mengecualikan keumuman itu.

Bagaimana bila teks hadis terlihat seakan-akan bertentangan dengan teks Qur'an.
Sebagian ulama langsung berpegang pada teks Qur'an dan meninggalkan teks hadis (ini yang
dilakukan mazhab Zhahiri ketika tidak mengharamkan pria memakai cincin dari emas), akan
tetapi sebagian lagi mengatakan bahwa hadis merupakan penjelas maksud ayat, sehingga
tidak perlu meninggalkan salah satunya, tetapi menggabungkan maknanya (ini yang
dilakukan jumhur ulama ketika mengharamkan pria memakai cincin dari emas).

2.      Makna suatu hadis

Hadis Nabi mengatakan, "La nikaha illa biwaliyyin" (tidak nikah melainkan dengan
wali). Namun mazhab Hanafi memandang bahwa huruf "la" dalam hadis diatas itu bukan
berarti tidak sah nikahnya namun tidak sempurna nikahnya. Mereka berpandangan bahwa
sesuatu perkara yang ditiadakan oleh syara' dengan perantaraan "la nafiyah", haruslah
dipandang bahwa yang ditiadakannya itu adalah sempurnanya; bukan sahnya. Sedangkan
mazhab Syafi'i berpendapat adanya huruf "la nafiyah" itu menunjukkan tidak sahnya nikah
tanpa wali.

Contoh lain, apakah persusuan diwaktu dewasa juga menyebabkan status mahram?
Sebagian ulama mengatakan iya, karena berpegang pada hadis Salim yang dibolehkan Rasul
menyusu ke wanita yang sudah dewasa (padahal si Salim ini sudah berjenggot!) sehingga
terjadilah status mahram antara keduanya. Namun, sebagian ulama memandang bahwa hadis
ini hanya khusus berlaku untuk Salim saja (sebagai rukhshah) bukan pada setiap orang
dewasa. Apalagi ternyata ditemukan hadis lain dari Aisyah yang menyatakan bahwa
persusuan yg menyebabkan kemahraman itu adalah disaat usia kecil (karena bersifat
mengenyangkan). Hanya saja, sebagian ulama memandang cacat hadis Aisyah ini karena
ternyata Aisyah sendiri tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri. Aisyah justru
berpegang pada hadis Salim.

Hal terakhir ini menimbulkan masalah lagi: jika suatu perawi meriwayatkan suatu
hadis, namun ia sendiri tidak mengamalkan apa yang diriwayatkannya, apakah hadis itu
menjadi tidak shahih ataukah hanya perawinya sendiri yang harus disalahkan. Sebagian
ulama memandang bahwa hadis itu langsung cacat, sedangkan sebagian lagi memandang
bahwa hadisnya tetap shahih hanya perawinya saja yang bersalah karena tidak mengamalkan
hadis yang dia riwayatkan sendiri.

D. PERBEDAAN METODE IJTIHAD DAN FIQH YANG DIHASILKAN


     A. Penyebab Terjadinya Perbedaan Ijtihad
Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang sifatnya ijtihadi. Ulama sepakat bahwa
Al-Qur'an dan Al-Sunnah al-Shahihah adalah sumber hukum. Tetapi berbeda pendapatnya
tentang istihsan, al-maslahah al-mursalah, pendapat sahabat, dan lain-lainnya yang digunakan
dalam era berijtihad. Sering pula terjadi, disepakati tentang dalilnya, tetapi penerapannya
berbeda-beda. sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula. Misalnya tentang Qiyas:
Jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah dalil yang bisa digunakan. Tetapi dalam
menetapkan illat hukum sering berbeda. Karena adanya perbedaan dalam menentukan illat
hukumnya, maka berbeda pula dalam hukumnya
.
Dari keterangan di atas jelas bahwa perbedaan pendapat para ulama itu pada
prinsipnya disebabkan karena berbeda dalam cara berijtihad. Berbeda dalam cara berijtihad
mengakibatkan berbeda dalam fiqh sebagai hasil ijtihad. Disamping itu sering pula terjadi
perbedaan pendapat akibat milieu atau lingkungan di mana ulama tersebut hidup: Seperti
Qaul Qadim dan Qawl Jadid dari Imam al-Syafi'i. Qaul Qadim merupakan hasil ijtihad Imam
Al-Syafi'i ketika beliau hidup di Baghdad. Sedangkan Qaul Jadid merupakan hasil ijtihad
Imam al-Syafi'i ketika beliau hidup di Mesir. Imam Abu Hanifah dihadapkan kepada
masyarakat yang lebih maju peradabannya di Irak, sehingga dituntut untuk berpikir secara
lebih rasional. Akibatnya, rasionalitas lebih mewarnai mazhab Hanafi. Sebaliknya, Imam
Malik berhadapan dengan masyarakat Madinah, tempat Nabi berjuang dan membangun
umatnya, sehingga beliau dituntut untuk lebih mengikuti dan mempertahankan `urf Ahli
Madinah. Hal inilah yang menyebabkan Mazhab Maliki lebih bernuansa tradisionalis.
2

E. CARA MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT DIANTARA ULAMA

Masalah-masalah khilafiyah adalah ruang lingkup ijtihad, karena tidak ada nashnya


yang jelas dan tidak ada dalil yang shahih untuk menguatkan salah satu pendapat. Oleh
karena itulah terjadi perbedaan pendapat di antara para imam yang terkenal. Hal ini biasanya
berkaitan dengan masalah-masalah cabang syari’at (masalah furu’iyah). Hal ini tidak boleh
diingkari dengan keras terhadap salah seorang mujtahid. Misalnya tentang bacaan basmalah
dengan suara nyaring, bacaan di belakang imam, duduk tawarruk pada rakaat kedua,
bersedekap setelah bangkit dari ruku, jumlah tabir pada shalat jenazah, kewajiban zakat pada
madu, sayur-mayur, dan buah-buahan, berbuka karena berbekam, kewajiban membayar
fidyah bagi yang sedang ihram karena lupa atau memotong rambut atau mengenakan
wewangian karena lupa, dan sebagainya.

Tapi jika perbedaan itu tipis dan bertolak belakang dengan nash yang jelas, maka
pelakunya diingkari jika meninggalkannya tapi pengingkarannya harus berdasarkan dalil.
Misalnya tentang mengangkat kedua tangan ketika hendak ruku dan ketika bangkit dari
ruku, thuma’ninah ketika ruku dan sujud dan setelah bangkit dari ruku dan sujud, bershalawat
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tasyahud, wajibnya salam sebagai penutup
shalat, dan lain sebagainya.

Adapun perbedaan pendapat dalam masalah akidah, seperti sifat tinggi dan istiwa,
penetapan sifat-sifat fi’liyah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, penciptaan perbuatan-
perbuatan makhluk, peng-kafiran karena dosa, memerangi pemimpin, mencela para sahabat,
sifat permulaan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, berlebih-lebihan terhadap Ali dan
keturunannya serta isterinya, keluarnya amal perbuatan dari cakupan keimanan, mengingkari
karamah, membuat bangunan di atas kuburan, shalat di dekat kuburan, dan lain sebagainya.
Yang demikian ini harus diingkari dengan keras, karena para imam telah sepakat pada
pendapat para pendahulu umat, adapun perbedaan pendapat datangnya dari para pelaku
bid’ah atau setelah tiadanya para imam pendahulu umat.

2 Prof. H.A.Djazuli, Ilmu Fiqih Pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, PT. Prenada Meia,
hlm.118-119
BAB III

PENUTUP

A.    Keimpulan

Demikianlah sebab-sebab para ulama berbeda pendapat. Kalau saya boleh


menyimpulkan maka ada dua sebab utama: Sebab internal, yaitu berbeda dalam memahami
al-Qur'an dan Hadis serta berbeda dalam menyusun metode ijtihad mereka. Sebab eksternal,
yaitu perbedaan sosio-kultural dan geografis. Persoalannya sekarang, bagaimana kita
mensikapi perbedaan pendapat di antara ulama? Kalau kita sudah tahu bahwa keragaman
pendapat ulama itu juga merujuk pada al-Qur'an dan Hadis, maka silahkan Kita pilih
pendapat yang manapun. Yang lebih penting lagi, janganlah cepat berburuk sangka dengan
keragaman pendapat di kalangan ulama.

B.     Kritik dan Saran

Demikianlah makalah ini pemakalah buat, pemakalah menyadari bahwa banyak


terdapat kekuarangan baik dari segi penulisan maupun dari segi sumbernya, mak dari itu
pemakalah berharap saran dan tamabahan dari pembaca dan dari dosen pengampu mata
kuliah ini. Atas perhatiannya pemakalah ucapakan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA
Abuzahrah Muhammad, ushul fiqih, Jakarta : PT. Pustaka Firadaus (cetakankesepuluh) 2007

DjazuliH.A., Ilmu Fiqih Pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta:PT.


Prenada Meia 2005

M. Taqiy al-Hakim, "Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin, h. 195

Anda mungkin juga menyukai