Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KEGIATAN

PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN INKLUSI
april 9, 2018 by miftakul mala
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem
pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa
untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan
masalah etnik, jenis kelamin, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain,
pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik
bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.[1]
Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Dengan karakteristik dan kebutuhan yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya, bukan
berarti pihak penyelenggara pendidikan boleh melakulan diskriminasi kepada mereka yang
mempunyai kebutuhan khusus. Dengan setiap keistimewaan dan kelebihan yang dimiliki tiap
anak, diharapkan pendidikan di Indonesia mampu mencerdaskan mereka dalam semua
bidang, tidak hanya cerdas dari segi pengetahuan, namun juga dari segi mental dan spiritual.
Berkaitan dengan definisi pendidikan inklusi, maka kegiatan pembelajaran yang dilakukan di
dalamnya tidak hanya terfokus pada satu hal, namun ada beberapa hal yang harus
diperhatikan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik. Dalam mendesain
proses pembelajaran inklusi tentunya guru terus bekerja sama dengan kepala sekolah, orang
tua siswa, maupun psikolog agar mampu memposisikan diri sehingga semua siswa bisa
belajar dengan nyaman.
Dalam pembelajaran kelas inklusi guru dituntut untuk lebih peka, kreatif, dan memiliki
beberapa keahlian khusus untuk mendidik dan mengajar peserta didiknya melalui kegiatan
yang bervariasi dan mampu membangkitkan minat dan semangat belajar siswanya. Oleh
sebab itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai desain pembelajaran pendidikan inklusi,
penempatan peserta didik, pola tata ruang-desain bangku, proses pembelajaran, serta prinsip-
prinsip pembelajar. Penyusun berharap, dengan adanya makalah sederhana ini bisa
menambah pengetahuan kita mengenai konsep pendidikan inklusi di Indonesia khususnya
pada kegiatan pembelajaran yang ada di dalamnya.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah desain pembelajaran pendidikan inklusi?


2. Bagaimanakah penempatan peserta didik?
3. Bagaimanakah tata ruang-desain bangku meja?
4. Bagaimanakah proses pembelajaran dalam pendidikan inklusi?
5. Apa saja prinsip-prinsip pembelajar dalam pendidikan inklusi.
C.  Tujuan Penulisan

1. Mendeskripsikan desain pembelajaran pendidikan inklusi.


2. Mendeskripsikan penempatan peserta didik dalam pendidikan inklusi.
3. Mendeskripsikan tata ruang-desain bangku meja.
4. Menjelaskan proses pembelajaran dalam pendidikan inklusi.
5. Mendeskripsikan prinsip-prinsip pembelajar dalam pendidikan inklusi.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
 A. Desain Pembelajaran Pendidikan Inklusi
Sekolah inklusi merupakan salah satu bentuk pemerataan dan bentuk perwujudan pendidikan
tanpa diskriminasi, dimana anak berkebutuhan khusus dan anak-anak pada umumnya dapat
memperoleh pendidikan yang sama. Pendidikan inklusi merupakan bentuk pelayanan
pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dapat
menerima pendidikan yang setara di kelas biasa bersama teman-teman seusianya.[2]
Pelaksanaan sekolah inklusi pastinya membutuhkan desain pembelajaran, desain
pembelajaran sendiri merupakan pengembangan sistem pembelajaran dan sistem
pelaksanaannya termasuk sarana serta prosedur untuk meningkatkan mutu belajar. Seorang
guru bertugas untuk memilih dan menentukan metode apa yang dapat digunakan untuk
mempermudah penyampaian bahan ajar sehingga siswa mudah menerima apa yang
disampaikan guru.
Jadi, desain pembelajaran inklusi adalah desain pembelajaran yang memiliki sifat inklusif,
yaitu adanya upaya untuk mengakomodasi semua kebutuhan dan hambatan belajar peserta
didik yang sangat beragam. Dalam pendidikan inklusi ada beberapa konsep yang
dikembangkan, yaitu konsep tentang anak, konsep tentang sistem pendidikan atau sekolah,
konsep tentang keberagaman dan diskriminasi, dan konsep tentang sumber daya.[3]
Dalam kelas yang inklusif, dilakukan asesmen terhadap siswa ABK untuk menentukan
kebutuhan belajar yang diwujudkan dalam bahan pembelajaran yang disesuaikan dengan
kurikulum. Sedangkan untuk siswa non-ABK, materi pelajarannya dapat langsung diambil
dari kurikulum.
Desain pembelajaran yang inklusif dioperasionalkan dalam alur sebagai berikut:[4]
 
Desain pembelajaran dirancang yang diperlukan secara bersama-sama untuk siswa ABK dan
non-ABK yang disebut desain pembelajaran yang inklusif. Komponen-komponen utama dari
desain yang dirancang terdiri dari metode, materi, media, dan evaluasi. Terhadap komponen-
komponen ini harus dilakukan modifikasi agar dapat mengakomodasi semua keragaman
siswa.
Dalam pelaksanaan desain tersebut harus memperhatikan empat aspek penting yang
disarankan oleh Sternberg & Tylor yaitu: [5]

1. Pengaturan lingkungan fisik


2. Prosedur pengajaran
3. Materi/isi pembelajaran
4. Penggunaan alat yang adaptif

Dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembelajaran kelas inklusif perlu dirancang suatu
desain pembelajaran yang terdiri atas metode, materi, media, serta evaluasi pembelajaran.
Desain pembelajaran tersebut disusun berdasarkan kebutuhan masing-masing siswa yang
sangat beragam. Peran guru disini sangatlah penting. Dalam merancang desain pembelajaran,
hendaknya terlebih dahulu guru harus memahami masing-masing karakteristik peserta
didiknya sehingga bisa dipilih desain yang cocok yang sesuai kebutuhan.
B. Penempatan Peserta Didik
Menurut  Badrudin, penempatan peserta didik yaitu kegiatan pengelompokan peserta didik 
yang dilakukan  menggunakan sistem  kelas. Pengelompokan peserta didik pada kelas
(kelompok belajar) dilakukan sebelum peserta didik mengikuti proses pembelajaran. 
Pengelompokan  tersebut dapat  dilakukan  berdasarkan  kesamaan yang  ada pada peserta
didik, yaitu jenis kelamin dan umur.
Pengelompokan  juga  dapat  didasarkan  pada perbedaan individu yang berupa minat, bakat,
dan kemampuan. Pengelompokan  lazim  dikenal  dengan grouping didasarkan  atas 
pandangan  bahwa  disamping peserta didik mempunyai kesamaan, juga mempunyai 
perbedaan.  Pengelompokan  bukan dimaksudkan  untuk  mengkotak-kotakkan  peserta didik,
melainkan justru bermaksud membantu mereka agar dapat berkembang seoptimal mungkin.
Mitchun mengemukakan dua jenis pengelompokan peserta didik,
yaitu: ability grouping dan  sub-grouping  with  in  the  class. Ability  grouping  adalah 
pengelompokan berdasarkan kemampuan di dalam setting sekolah, sedangkan  sub-grouping
with in  the  class adalah pengelompokkan berdasarkan kemampuan di dalam setting   kelas.
[6]
Menurut  Prihatin, pengelompokan berdasarkan karakteristik peserta didik dibagi menjadi
tujuh, yaitu:[7]

1. Pengelompokkan berdasarkan minat  (interest  grouping)


2. Pengelompokkan berdasarkan  kebutuhan  khusus (special  need  grouping)
3. Pengelompokkan beregu (team  grouping)
4. Pengelompokkan tutorial (tutorial grouping)
5. Pengelompokkan penelitian (research grouping)
6. Pengelompokkan kelas utuh  (full  class  grouping)
7. Pengelompokkan kombinasi  (combined  class grouping).

Jadi, dengan adanya pengelompokan peserta didik bukan dimaksudkan  untuk  membeda-
bedakan peserta didik, melainkan untuk membantu mereka agar dapat berkembang seoptimal
mungkin melalui setiap keistimewaan yang dimiliki. Serta memudahkan pendidik dalam
memilih model pembelajaran yang akan disesuaikan dengan masing-masing kebutuhan.
C. Tata Ruang–Desain Bangku dan Meja
Lingkungan fisik kelas yang baik adalah ruangan kelas yang menarik, efektif, serta
mendukung siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Kelas yang tidak ditata dengan baik
akan menjadi penghambat bagi siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Agar proses
pembelajaran berlangsung dengan baik, guru harus menata tempat duduk dan barang-barang
yang ada di ruangan kelas sehingga dapat mendukung dan memperlancar proses
pembelajaran.
Dalam mengatur tempat duduk yang penting adalah memungkinkan terjadinya tatap muka.
Dengan posisi seperti itu, guru sekaligus dapat mengontrol tingkah laku peserta didik.
Pengaturan tempat duduk yang akan mempengaruhi kelancaran pengaturan proses
pembelajaran.[8]
Untuk kelas anak yang berkebutuhan khusus diperlukan tata ruang tersendiri untuk kelas
yang digunakan dalam proses belajar untuk mengembangkan pelajaran yang dia terima.
Dengan tata ruang yang sesuai dengan apa yang anak itu alami, maka anak tersebut akan
merasa nyaman ketika proses belajar berlangsung.
Pada dasarnya penempatan siswa di kelas harus memenuhi prinsip-prinsip, diantaranya yaitu:
siswa tidak terus menerus menempati tempat duduk yang sama sepanjang tahun, harus ada
perubahan. Siswa yang lebih pendek, punya kekurangan dalam pandangan, kurang
pendengarannya diutamakan duduk di depan. Siswa yang sering membuat kegaduhan, suka
mengganggu temannya dijauhkan dengan anak yang sejenis itu dan jangan ditempatkan
terlalu jauh dari guru. Siswa yang merenung, melamun, kurang memperhatikan penjelasan
guru jangan ditempatkan terlalu dibelakang.
Berikut ini beberapa alternatif dalam mendesain tata ruang khususnya desain bangku dan
meja yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik:[9]

1. Formasi Kelas bentuk Huruf U


Formasi kelas bentuk huruf U sangat menarik dan mampu mengaktifkan para siswa, sehingga
mampu membuat mereka antusias untuk mengikuti pelajaran. Dalam hal ini guru adalah
orang yang paling aktif dengan bergerak dinamis ke segala arah dan langsung berinteraksi
secara langsung, sehingga siswa akan mendapatkan respon dari pendidik secara langsung.
 
 
Dengan demikian, guru bisa memantau semua siswanya (khususnya penyandang Tuna Netra
dan Tuna Rungu) dan lebih cepat mengetahui setiap gerak gerik peserta didik yang
membutuhkan bantuan namun malu untuk menyampaikannya.

2. Formasi Meja Pertemuan

Formasi meja pertemuan biasanya diselenggarakan di tempat-tempat pertemuan dan seminar,


baik di hotel maupun gedung pertemuan. Formasi ini dapat digunakan dengan cara membagi
siswa ke dalam beberapa kelompok, dimana setiap kelompok tersebut mempunyai meja
pertemuannya sendiri-sendiri.
 
 
Dengan formasi meja pertemuan, diharapkan semua siswa bisa menjalin hubungan baik
kepada semua temannya. Guru bisa membagi siswanya secara rata. Maksudnya, dalam setiap
kelompok meja diisi dengan siswa pandai dan siswa biasa-biasa saja serta mereka yang
memiliki kebutuhan khusus harus dikelompokkan dengan siswa normal agar mereka bisa
belajar bersama dan saling membantu.
Pada penyusunan ini anak dapat berusaha mengerjakan keterampilan mereka secara bersama-
sama. Atau gaya off-set, yaitu dengan sejumlah murid duduk dibangku tetapi tidak duduk
berhadapan langsung. Gaya ini dilakukan ketika guru ingin menguji muridnya satu persatu
dengan ketrampilan yang mereka miliki.

3. Formasi Pengelompokan Terpisah (Breakout Groupings)

Jika ruangan kelas memungkinkan atau cukup besar, guru dapat meletakkan meja-meja dan
kursi dimana kelompok kecil dapat melakukan aktifitas belajar yang dipecah menjadi
beberapa tim. Guru dapat menempatkan susunan pecahan, pecahan kelompok tersebut
berjauhan, sehingga tidak saling mengganggu. Tetapi, hendaknya dihindari penempatan
ruangan kelompok-kelompok kecil yang terlalu jauh dari ruang kelas supaya mudah diawasi.
 
 
Dalam model formasi ini, hindari untuk menempatkan peserta didik yang sering membuat
kegaduhan berada di tempat yang jauh dari jangkauan guru. Usahakan tidak menempatkan
anak tersebut bersama teman dekatnya yang memungkinkan mereka berbuat gaduh.
Usahakan menempatkan mereka secara acak dan membaur dengan teman-teman lain.
Begitu juga dengan penempatan anak berkebutuhan khusus. Jangan menempatkan mereka
disamping jendela yang akan memecah konsentrasi mereka, atau di dekat pintu yang akan
membuat mereka untuk terus menatap keluar.

4. Formasi Lingkaran

Formasi lingkaran adalah formasi yang disusun melingkar tanpa menggunakan meja dan
kursi. Formasi ini digunakan untuk melakukan pembelajaran dalam satu kelompok, dimana
guru memiliki peran untuk membimbing dan mengarahkan jalannya pembelajaran tersebut.
 
 
Dengan formasi lingkaran, guru bisa memposisikan diri sebagai pembimbing yang baik
dengan cara melakukan pendekatan kepada peserta didiknya. Melalui formasi ini, guru bisa
memantau bagaimana gaya belajar siswanya dan lebih mudah untuk memberikan bimbingan
belajar kepada mereka.
Dari beberapa alternatif pilihan posisi penempatan peserta didik, dapat disimpulkan bahwa
dalam setiap formasi yang ada memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dimana
penggunaannya disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan peserta didik. Dalam
memposisikan anak yang memiliki kebutuhan khusus, guru hendaknya tidak menempatkan
mereka di dekat jendela atau di samping pintu supaya tidak memecah konsentrasi belajar
mereka. Begitu juga, mereka harus ditempatkan dengan teman-teman yang lainnya agar bisa
membaur dan bersosialisasi dengan baik supaya rasa minder mereka terhadap kekurangan
yang dimiliki bisa dihilangkan.
Selain pengaturan formasi tempat duduk, dalam menciptakan lingkungan yang nyaman, guru
dan siswanya perlu melakukan kerjasama untuk mendesain kelas mereka. Misalnya dengan
menempelkan poster bertemakan pendidikan karya anak-anak, menempelkan foto pahlawan
di dinding kelas, maupun mengajak mereka untuk menanam tanaman di teras kelas. Dengan
adanya lingkungan belajar yang nyaman, siswa akan merasa nyaman saat sedang belajar.
Selain desain (formasi) bangku, dalam kegiatan pendidikan inklusi juga terdapat beberapa
ruangan khusus diantaranya:[10]

 Ruang Bimbingan Khusus

Ruang ini berada di sekolah biasa yang merupakan ruangan khusus yang hanya digunakan
untuk anak berkebutuhan khusus. Biasanya untuk ABK tingkat sedang bagian tengah dan
bawah juga tingkat berat bagian atas akan lebih efektif dimasukkan dalam kelas ini. Mereka
belajar sepenuhnya dalam kelas ini untuk semua mata pelajaran. Mereka berintegrasi dengan
teman-temannya yang normal dalam waktu-waktu tertentu misalnya dalam mengikuti
upacara, olahraga, mengikuti perayaan-perayaan, kesenian pergi ke kantin dan sebagainya.
Dalam beberapa hal (mata pelajaran tertentu) ABK mengikuti kegiatan di kelas biasa
bersama-sama dengan temannya yang normal. Dalam kegiatan yang sangat menyulitkan,
untuk mata pelajaran tertentu ABK mendapat pendidikan di ruangan khusus dari guru
pendidikan luar biasa, atau tenaga lain di bawah koordinasi guru pendidikan luar biasa.

 Ruang Sumber
ABK dapat pula dididik di kelas biasa dengan bantuan guru pendidikan luar biasa pada ruang
sumber. Yang dimaksud dengan ruang sumber ialah ruang khusus yang menyediakan
berbagai fasilitas untuk mengatasi kesulitan-kesulitan belajar yang dihadapi ABK di kelas
biasa. Biasanya anak datang ke ruang sumber berdasarkan jadwal yang telah ditentukan.
Dalam ruangan ini anak tuna grahita mendapat bimbingan dari guru pembimbing khusus
untuk pelajaran-pelajaran tertentu. GPK dari ruang sumber seyogyanya selalu berkonsultasi
dengan guru kelas atau bidang studi untuk mengembangkan program-program yang
diinginkan.
Ruang sumber merupakan ruang yang disediakan oleh sekolah untuk memberikan pelayanan
pendidikan khusus bagi anak yang membutuhkan, terutama yang tergolong berkesulitan
belajar. Di dalam ruang tersebut terdapat ruang remedial dan berbagai media belajar.
Aktivitas di dalam ruang sumber umumnya berkonsentrasi pada upaya memperbaiki
keterampilan dasar seperti, membaca, menulis dan berhitung. Guru sumber atau guru
remedial dituntut untuk menguasai bidang keahlian yang berkenaan dengan pendidikan bagi
ABK. Guru sumber juga dapat diharapkan sebagai pengganti guru kelas dan menjadi
konsultan bagi guru reguler. Anak belajar di ruang sumber sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan. Guru di ruang sumber biasanya menangani 15 sampai 20 anak tiap hari.

 Ruang Konferensi Kasus

Ruang konferensi kasus adalah ruang dimana digunakan sebagai tempat penanganan terhadap
kasus atau masalah-masalah yang dialami anak berkebutuhan khusus. Di ruang ini kasus-
kasus yang dialami anak berkebutuhan khusus ditangani oleh tenaga profesional agar kasus-
kasus tersebut dapat diatasi dan selanjutnya untuk diberi bimbingan.
Jadi, dengan adanya ketiga ruangan yang telah disebutkan diatas, siswa berkebutuhan khusus
bisa mendapatkan pelayanan lebih mengenai apa saja yang masih mereka anggap sulit atau
belum mereka dapatkan dalam kelas inklusi. Misalnya pada ruang sumber, yakni ruangan
yang disediakan oleh sekolah untuk memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi anak
yang membutuhkan, terutama yang tergolong berkesulitan belajar. Di dalam ruang tersebut
terdapat ruang remedial dan berbagai media belajar.
 
D. Proses Pembelajaran
Dalam pasal 8 permendiknas No.7 tahun 2009 dipaparkan bahwa: pembelajaran pada
pendidikan inklusif mempertimbangkan prinsip-prinsip pembelajaran yang disesuaikan
dengan karakteristik belajar peserta didik. Dalam pelaksanaannya, tenaga pendidik sangat
berperan penting untuk mewujudkan cita-cita dari pendidikan inklusif. Untuk itu, tenaga
pendidik yang memahami pendidikan inklusif sangat diperlukan agar terciptanya kondisi
kelas yang ramah terhadap anak berkebutuhan khusus. Namun masalah yang dihadapi saat ini
masih banyak tenaga pendidik yang belum memahami tentang pendidikan inklusif.
Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu proses membelajarkan peserta didik yang
telah direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi agar peserta didik dapat mencapai tujuan
pembelajaran tersebut secara efektif dan efisien. Pembelajaran dapat dipandang melalui dua
sudut pandang, pertama pembelajaran merupakan suatu sistem. Pembelajaran terdiri dari
beberapa komponen yang terstruktur antara lain: tujuan pembelajaran, media pembelajaran,
strategi, metode pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan tindak lanjut pembelajaran berupa
remedial dan pengayaan.
Kedua, pembelajaran merupakan suatu proses, maka pembelajaran merupakan kegiatan guru
dalam rangka membuat siswa untuk belajar. Proses tersebut meliputi :[11]

1. Persiapan dari mulai merencanakan program pengajaran tahunan, semester, dan


penyusunan perencanaan mengajar dilengkapi dengan persiapan media belajar
dan evaluasi.
2. Pelaksanaan kegiatan dengan mengacu pada persiapan-persiapan pembelajaran
yang telah dipersiapkan sebelumn
3. Menindaklanjuti pembelajaran yang telah dikelola yang berbentuk pengayaan atau
penambahan jam mata pelajaran, dan remedial bagi siswa yang mendapatkan
kesulitan belajar.

Pelaksanaan pembelajaran disekolah inklusif yakni berdasarkan perencanaan adalah suatu


kegiatan dalam merancang sebuah pengajaran dalam rangka mempersiapkan segala sesuatu
yang berhubungan dengan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan program pengajaran adalah kurikulum yang
merupakan seperangkat rencana dan peraturan pelaksanaan pembelajaran yang mencangkup
pengaturan tentang tujuan, isi, proses dan evaluasi. Kurikulum yang digunakan dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya adalah kurikulum standar nasional yang
berlaku disekolah umum.
Namun, karena keberagaman hambatan yang dialami oleh peserta didik berkebutuhan khusus,
mulai dari yang ringan sampai berat, maka dalam implementasinya kurikulum yang sesuai
dengan standar pendidikan nasional perlu dilakukannya modifikasi sehingga sesuai dengan
kebutuhan peserta didik.
Kegiatan pembelajaran pada sekolah inklusi berlangsung dengan pendekatan, bahan ajar dan
media yang sesuai  kebutuhan setiap peserta didik. Dalam proses pembelajarannya, guru
diminta untuk aktif, inovatif, dan kreatif dalam menyajikan pelajaran. Di samping itu guru
juga harus mampu untuk memanajemen kelas agar tercipta kondisi yang efektif.
Dalam proses pembelajaran ada hal-hal yang harus diperhatikan, antara lain:

1. Metode pembelajaran, meliputi: metode ceramah, metode demonstrasi, metode


tanya jawab, dan metode diskusi.
2. Strategi pembelajaran, meliputi:
3. Strategi ekspositori

Adalah bentuk dari pembelajaran yang berorientasi pada guru, dikatakan demikian sebab
dalam strategi ini guru memegang peranan penting.
 
 
 

1. Strategi inkuiri

Merupakan bentuk pendekatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir siswa
secara kritis dan analitis.
1. Strategi pembelajaran Afektif

Berhubungan dengan nilai (value) yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang
yang tumbuh dari dalam siswa dalam batas tertentu, afeksi dapat muncul dalam kejadian
behavioral. Akan tetapi penilaiannya untuk sampai pada kesimpulan yang bisa
dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus.

1. Strategi pembelajaran kooperatif

Adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok
tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.

1. Strategi pembelajaran konstektual

Adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata siswa yang mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, dengan adanya keberagaman peserta didik, maka dalam implementasinya kurikulum
yang sesuai dengan standar pendidikan nasional perlu dilakukannya modifikasi sehingga
sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Kegiatan pembelajaran pada sekolah inklusi
berlangsung dengan pendekatan, bahan ajar dan media yang sesuai  kebutuhan setiap peserta
didik. Dalam proses pembelajarannya, guru diminta untuk aktif, inovatif, dan kreatif dalam
menyajikan pelajaran. Di samping itu guru juga harus mampu untuk memanajemen kelas
agar tercipta kondisi yang efektif.
E. Prinsip–Prinsip Pembelajar dalam Pendidikan Inklusi
Dalam tataran praktis pembelajaran, inklusi merupakan suatu perubahan yang dapat
menguntungkan tidak hanya anak berkebutuhan khusus akan tetapi juga anak pada umumnya
dalam kelas. Prinsip paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar
peserta didik dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama.
Johnsen dan Miriam Skojen menjabarkan dalam tiga prinsip, yaitu: (1) bahwa setiap anak
termasuk dalam komunitas setempat dan dalam suatu kelas atau kelompok, (2) bahwa hari
sekolah diatur penuh dengan tugas-tugas pembelajaran koopertif dengan perbedaan
pendidikan dan fleksibilitas dalam memilih dengan sepuas hati, dan (3) guru bekerja bersama
dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta
keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman dan
perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas.
Sementara itu, Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati mengidentifikasikan prinsip
pendidikan inklusif ke dalam sembilan elemen  dasar yang memungkinkan pendidikan
inklusif dapat dilaksanakan:

1. Sikap guru yang positif terhadap kebhinekaan

Elemen paling penting dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru terhadap siswa yang
membutuhkan layanan pendidikan khusus. Sikap guru tidak hanya berpengaruh
terhadap classroom setting tetapi juga dalam pemilihan strategi pembelajaran. Sikap positif
guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat ditingkatkan dengan cara memberikan
informasi yang akurat tentang siswa dan cara penanganannya.

2. Interaksi promotif

Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut adanya interaksi promotif antara siswa. Yang
dimaksud interaksi promotif adalah upaya untuk saling menolong dan saling memberi
motivasi dalam belajar. Interaksi promotif hanya dimungkinkan jika terdapat rasa saling
menghargai dan saling memberikan urunan dalam meraih keberhasilan belajar bersama.
Interaksi promotif pada hakikatnya sama dengan interaksi transpersonal, yaitu interaksi yang
didasarkan atas rasa saling menghormati, tidak hanya terhadap sesama manusia tetapi juga
sesama makluk ciptaan Tuhan. Interaksi promotif hanya dimungkinkan jika guru
menciptakan suasana belajar kooperatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam suasana
belajar kooperatif, siswa cenderung memperoleh prestasi belajar matematika lebih tinggi dari
pada dalam suasana belajar kompetitif.
Dalam pendidikan inklusif, suasana belajar kooperatif harus dominan sedangkan suasana
belajar kompetitif hanya untuk bersenang-senang atau untuk selingan atau untuk materi
belajar yang membosankan.

3. Pencapaian kompetensi akademik dan sosial

Pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pencapaian tujuan dalam bentuk kompetensi
akademik tetapi juga kompetensi sosial. Oleh sebab itu, perencanaan pembelajaran harus
melibatkan tidak hanya pencapaian tujuan akademik (academic objectives) tetapi juga tujuan
keterampilan bekerjasama (collaborative skills objectives).
Tujuan keterampilan bekerjasama mencakup keterampilan memimpin, memahami perasaan
orang lain, menghargai pikiran orang lain, dan tenggang rasa. Dalam upaya mencapai tujuan
ini, guru hendaknya mampu membimbing seluruh peserta didiknya untuk mampu menghargai
sesama tanpa memedulikan perbedaan yang ada.

4. Pembelajaran adaptif

Ciri khas dari pendidikan inklusif adalah tersedianya program pembelajaran yang adaftif atau
program pembelajaran individual (individualized instructional programs). Program
pembelajaran adaptif tidak hanya ditujukan kepada peserta didik dengan problema belajar
tetapi juga untuk peserta didik yang dikaruniai keunggulan.
Penyusunan program pembelajaran adaptif menuntut keterlibatan tidak hanya guru kelas atau
guru bidang studi tetapi juga guru PLB, orangtua, guru BK, dan ahli-ahli lain yang terkait.

5. Konsultasi kolaboratif

Konsultasi kolaboratif (collaborative consultation) adalah saling tukar informasi antar


profesional dari semua disiplin yang terkait untuk memperoleh keputusan legal dan
instruksional yang berhubungan dengan siswa yang membutuhkan layanan pendidikan
khusus.
Yang dimaksud dengan profesional dalam hal ini adalah guru PLB, guru kelas atau guru
bidang studi, konselor, psikolog, dan atau ahli-ahli lain yang terkait. Beberapa ahli telah
mengembangkan model konsultasi kolaboratif untuk melakukan tindakan pencegahan dan
rahabilitasi siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus di kelas reguler.
Berdasarkan model yang mereka buat, guru PLB dan guru reguler bersama anggota tim
lainnya melakukan diskusi untuk menentukan sifat dan ukuran-ukuran yang dipergunakan
untuk menentukan masalah siswa, memilih dan merekomendasikan tindakan, merencanakan
dan mengimplementasikan program pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil intervensi
serta melakukan perencanaan ulang jika diperlukan.

6. Hidup dan belajar dalam masyarakat

Dalam pendidikan inklusif kelas harus merupakan bentuk mini dari suatu kehidupan
masyarakat yang diidealkan. Di dalam kelas diciptakan suasana yang silih asah, silih asih,
dan silih asuh. Dengan kata lain, suasana belajar yang kooperatif harus diciptakan sehingga di
antara siswa terjalin hubungan yang saling menghargai. Semua siswa tidak peduli betapapun
perbedaannya, harus dipandang sebagai individu unik yang memiliki potensi kemanusiaan
yang harus dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan.

7. Hubungan kemitraan antara sekolah dengan keluarga.

Keluarga merupakan fondasi tempat anak-anak belajar dan berkembang. Begitu pula dengan
sekolah, juga tempat anak belajar dan berkembang. Keduanya memiliki fungsi yang sama.
Perbedaannya, pendidikan dalam keluarga tidak terprogram dan terukur sedangkan di sekolah
pendidikan lebih banyak dilakukan secara terprogram dan terukur atau yang biasa disebut
dengan pembelajaran.
Karena kedua lembaga tersebut hakikatnya mempunyai fungsi yang sama, maka keduanya
harus menjalin hubungan kemitraan yang erat dalam upaya memberdayakan semua potensi
kemanusiaan siswa agar dapat berkembang optimal dan terintegrasi. Keluarga memiliki
informasi yang lebih akurat mengenai keunikan, kekuatan, dan minat anak, sedangkan
sekolah memiliki informasi yang lebih akurat mengenai prestasi akademik siswa. Informasi
mengenai anak yang dimiliki oleh keluarga merupakan landasan penting bagi
penyelenggaraan pendidikan inklusif.

8. Belajar dan berfikir independen.

Dalam pendidikan inklusif guru mendorong agar siswa mencapai perkembangan kognitif
taraf tinggi dan kreatif agar mampu berfikir independen. Berkenaan dengan semakin majunya
ilmu dan teknologi, pendidikan inklusif sangat menekankan agar siswa memiliki
keterampilan belajar dan berpikir.
Guru hendaknya juga mengetahui bahwa hasil-hasil penelitian mengenai anak-anak kesulitan
belajar (students with learning difficulties) menunjukkan bahwa mereka umumnya pasif
dalam belajar, kurang mampu melakukan kontrol diri, cenderung bergantung (dependent),
dan kurang memiliki strategi untuk belajar.
Sehubungan dengan karakteristik siswa berkesulitan belajar semacam itu, maka guru perlu
memiliki kemampuan untuk memberikan dorongan atau motivasi dengan menerapkan
berbagai teknik, terutama yang berkenaan dengan manajemen perilaku atau memodifikasi
perilaku
9. Belajar sepanjang hayat

Pendidikan inklusif memandang pendidikan di sekolah sebagai bagian dari perjalanan


panjang hidup seorang manusia dan manusia belajar sepanjang hidupnya (life¬long
learning). Belajar sepanjang hayat memiliki makna yang melampaui sekedar menguasai
berbagai kompetensi yang menjadi tuntutan kurikulum dan upaya untuk naik kelas. Belajar
sepanjang hayat pada hakikatnya adalah belajar untuk berfikir kritis dan belajar untuk
menyelesaikan berbagai masalah kehidupan.
Oleh karena itu, pendidikan inklusif menekankan pada pengalaman belajar yang bermanfaat
bagi kelangsungan proses belajar peserta didik dalam kehidupan masyarakat.[12]
Jadi, prinsip penting seorang pendidik dalam pendidikan inklusi adalah mampu memahami
peserta didiknya melalui keberagaman yang dimilikinya. Sehubungan dengan karakteristik
siswa berkesulitan belajar, maka guru perlu memiliki kemampuan untuk memberikan
dorongan atau motivasi dengan menerapkan berbagai teknik, terutama yang berkenaan
dengan manajemen perilaku atau memodifikasi perilaku.
 
 
 
 
 
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Desain pembelajaran dirancang yang diperlukan secara bersama-sama untuk siswa ABK dan
non-ABK yang disebut desain pembelajaran yang inklusif. Dalam pelaksanaan desain
tersebut harus memperhatikan empat aspek penting yang disarankan oleh Sternberg & Tylor
yaitu: (1) Pengaturan lingkungan fisik, (2) Prosedur pengajaran, (3) Materi/isi pembelajaran,
dan (4) Penggunaan alat yang adaptif.
Menurut  Badrudin, penempatan peserta didik yaitu kegiatan pengelompokan peserta didik 
yang dilakukan  menggunakan sistem  kelas. Menurut  Prihatin, pengelompokan berdasarkan
karakteristik peserta didik dibagi menjadi tujuh, yaitu: (1) Pengelompokan berdasarkan 
minat, (2) Pengelompokan  berdasarkan  kebutuhan  khusus, (3) Pengelompokan beregu, (4)
Pengelompokan tutorial, (5) Pengelompokan penelitian, (6) Pengelompokan kelas  utuh, dan
(7) Pengelompokan  kombinasi.
Lingkungan fisik kelas yang baik adalah ruangan kelas yang menarik, efektif, serta
mendukung siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Kelas yang tidak ditata dengan baik
akan menjadi penghambat bagi siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Agar proses
pembelajaran berlangsung dengan baik, guru harus menata tempat duduk dan barang-barang
yang ada di ruangan kelas sehingga dapat mendukung dan memperlancar proses
pembelajaran. Beberapa alternatif dalam mendesain tata ruang khususnya desain bangku dan
meja yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik antara lain: (1) Formasi Kelas bentuk
Huruf U, (2) Formasi Meja Pertemuan, (3) Formasi Pengelompokan Terpisah, dan (4)
Formasi Lingkaran.
Pelaksanaan pembelajaran di sekolah inklusif yakni berdasarkan perencanaan adalah suatu
kegiatan dalam merancang sebuah pengajaran dalam rangka mempersiapkan segala sesuatu
yang berhubungan dengan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Hal
yang harus diperhatikan dalam perencanaan program pengajaran adalah kurikulum yang
merupakan seperangkat rencana dan peraturan pelaksanaan pembelajaran yang mencangkup
pengaturan tentang tujuan, isi, proses dan evaluasi. Kurikulum yang digunakan dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya adalah kurikulum standar nasional yang
berlaku disekolah umum. Namun, karena keberagaman hambatan yang dialami oleh peserta
didik berkebutuhan khusus, mulai dari yang ringan sampai berat, maka dalam
implementasinya kurikulum yang sesuai dengan standar pendididkan nasional perlu
dilakukannya modifikasi sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Dalam tataran praktis pembelajaran, inklusi merupakan suatu perubahan yang dapat
menguntungkan tidak hanya anak berkebutuhan khusus akan tetapi juga anak pada umumnya
dalam kelas. Prinsip paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar
peserta didik dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis menyarankan kepada:

1. Guru kelas

Mengingat pentingnya peran seorang guru di dalam kelas inklusif, guru diharapkan mampu
memahami karakteristik setiap peserta didiknya sehingga mampu memberikan pelayanan
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

2. Kepala Sekolah

Dengan adanya pendidikan inklusi, setiap anak berhak mendapatkan pelayan pendidikan
tanpa terkecuali. Oleh sebab itu, setiap kepala sekolah diharapkan untuk bekerja sama dengan
guru dan juga wali murid untuk terus memantau perkembangan anak didiknya. Sebagai
pemegang kebijakan sekolah, kepala sekolah diharapkan mampu memenuhi kebutuhan sarana
dan prasarana pendidikan sehingga pelayanan pendidikan yang baik bisa diberikan.
 
DAFTAR RUJUKAN
Achmad Hufron, dkk., “Manajemen Kesiswaan Pada Sekolah Inklusi”, dalam Jurnal
Pendidikan Humaniora, Vol. 4, No. 2, Juni 2016.
 
Dwi Yanti Flona Putri, “Proses  Pembelajaran Sekolah  Inklusi”,  dalam jurnal ilmiah
pendidikan khusus, vol. 1, No. 3, September 2012.
 
Indah Permata Darma & Binahayati Rusyidi, “Pelaksanaan Sekolah Inklusi di Indonesia”,
dalam Jurnal Penelitian, Vol. 2, No. 2,  Maret 2018.
 
Juang Sunanto dan Hidayat, “Desain Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Kelas
Inklusif”, dalam Jurnal Penelitian, Vol. 17, No. 1, Juni 2016.
 
Rona Fitria, “Proses Pembelajaran dalam Setting Inklusi di Sekolah Dasar”, dalam Jurnal
Ilmiah Pendidikan Khusus, Vol. 1, No. 1, Januari 2012.
 
Aditya W.P, Sarana Khusus dalam Pendidikan Inklusi, dalam https://dunia-
blajar.blogspot.co.id/2015/10/sarana-khusus-dalam-pendidikan-inklusi.html
 
Pengaturan Bangku, dalam https://educatainment.wordpress.com/2012/05/31/b-
pengaturan-bangku/
 
Rinita Rosalia Dewi, Prinsip-prinsip Pembelajaran Inklusif,
dalam http://rinitarosalinda.blogspot.co.id/2015/10/prinsip-prinsip-pembelajaran-
inklusif.html
 
 
 
 
[1] Achmad Hufron, dkk., “Manajemen Kesiswaan Pada Sekolah Inklusi”, dalam Jurnal
Pendidikan Humaniora, Vol. 4, No. 2, Juni 2016, hal. 95-105
[2] Indah Permata Darma & Binahayati Rusyidi, “Pelaksanaan Sekolah Inklusi di Indonesia”,
dalam Jurnal Penelitian, Vol. 2, No. 2,  Maret 2018, hal. 223
[3] Juang Sunanto dan Hidayat, “Desain Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam
Kelas Inklusif”, dalam Jurnal Penelitian, Vol. 17, No. 1, Juni 2016, hal. 52
[4] Ibid., hal. 54
[5] Juang Sunanto dan Hidayat, Desain Pembelajaran…, hal. 54
[6] Hufron, dkk., Manajemen Kesiswaan…, hal. 98
[7] Ibid., hal. 98
[8] Rona Fitria, “Proses Pembelajaran dalam Setting Inklusi di Sekolah Dasar”, dalam
Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, Vol. 1, No. 1, Januari 2012, hal. 98
[9] Pengaturan Bangku, dalam https://educatainment.wordpress.com/2012/05/31/b-
pengaturan-bangku/, diakses pada 07 Februari Pukul 05.46
[10] Aditya W.P, Sarana Khusus dalam Pendidikan Inklusi, dalam https://dunia-
blajar.blogspot.co.id/2015/10/sarana-khusus-dalam-pendidikan-inklusi.html, diakses
pada 07 Maret Pukul 10.42 WIB
[11] Dwi Yanti Flona Putri, “Proses  Pembelajaran Sekolah  Inklusi”,  dalam jurnal ilmiah
pendidikan khusus, vol. 1, No. 3, September 2012, hal. 174
[12] Rinita Rosalia Dewi, Prinsip-prinsip Pembelajaran Inklusif,
dalam http://rinitarosalinda.blogspot.co.id/2015/10/prinsip-prinsip-pembelajaran-
inklusif.html, diakses pada tanggal 6 Maret 2018, pukul 14.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai