Sebagai dokumen perencanaan lima tahunan, Renstra Direktorat Kepatuhan Intern membahas
antara lain: (i) Reviu kondisi umum, potensi, dan permasalahan kepatuhan intern serta manajemen
risiko dalam lingkungan internal dan eksternal; (ii) Tujuan, dan sasaran Direktorat Kepatuhan
Intern; (iii) Arah kebijakan, strategi, kerangka regulasi, dan kerangka 2020-2024; dan (iv) Target
kinerja, serta rancangan kerangka pendanaannya.
Dokumen ini diharapkan menjadi acuan bagi pelaksanaan tugas Direktorat Kepatuhan Intern
selama 5 tahun ke depan, dan dapat bermanfaat bagi pemangku kepentingan dan pihak- pihak
terkait lainnya.
KATA PENGANTAR 4
DAFTAR ISI 6
01 | Pendahuluan
Kondisi Umum 10
Potensi dan Permasalahan 14
Implementasi Sistem Pengendalian Internal 14
Pemerintah
Penyusunan Kerangka Kerja Manajemen 23
Risiko
Kerangka Regulasi 47
Target Kinerja 52
Kerangka Pendanaan 55
05 | Penutup
Penutup 60
Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu agenda besar dari Pemerintah Indonesia dalam
upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam rangka mewujudkan Indonesia
negara berdaulat, maju, adil dan makmur pada tahun 2045. Presiden menetapkan 5 (lima) arahan
utama sebagai strategi dalam pelaksanaan misi Nawacita dan pencapaian sasaran Visi Indonesia
2045. Kelima arahan tersebut mencakup Pembangunan Sumber Daya Manusia, Pembangunan
Infrastruktur, Penyederhanaan Regulasi, Penyederhanaan Birokrasi, dan Transformasi Ekonomi.
Kementerian PUPR bertugas memberikan kontribusi nyata dalam pencapaian target di bidang
pembangunan Infrastruktur. Pembangunan infrastruktur pada RPJMN diarahkan untuk
menghubungkan kawasan produksi dengan kawasan distribusi, mempermudah akses ke
kawasan wisata, mendongkrak lapangan kerja baru, dan mempercepat peningkatan nilai tambah
perekonomian rakyat.
Mengacu kepada kinerja 2015-2019, kinerja yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Cipta
Karya selama kurun waktu tersebut diantaranya; peningkatan kualitas permukiman kumuh seluas
32.222 Ha dari target 38.431 Ha (83,84%), akses air minum layak tercapai 25.229,5 l/detik dari target
26.928 l/detik dan akses sanitasi layak tercapai 10.232.149 KK dari target 10.737.054 KK.
Pada RPJMN 2020-2024, beberapa target terkait pembangunan infrastruktur permukiman adalah
(i) Rumah tangga yang menempati hunian dengan 100% akses air minum layak dengan 15%
akses air aman (%); (ii) Rumah tangga dengan akses air minum jaringan perpipaan sebesar 30%;
(iii) Rumah tangga yang menempati hunian dengan akses sanitasi (air limbah domestik) 90%
layak dengan 15% aman; (iv) 3 Juta sambungan rumah yang terlayani SPALD-T skala permukiman/
kota/regional; (v) Jumlah rumah tangga yang terlayani instalasi pengolahan lumpur tinja (Rumah
Tangga); (vi) Rumah Tangga yang masih mempraktikkan buang air besar sembarangan (BABS) di
tempat terbuka sebesar 0 %; (vi) Rumah Tangga yang menempati hunian dengan akses sampah
yang terkelola dengan baik di perkotaan sebesar 80% penanganan dan 20% pengurangan; dan
(vii) penanganan infrastruktur layanan dasar di 10 KSPN. Sebagaimana diamanatkan dalam RPJMN
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, dalam RPJMN disebutkan proyek prioritas mendukung
penyediaan akses air minum dan sanitasi yang layak dan aman di antaranya: i) Pengembangan
Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Layak dan Aman; ii) Pembinaan
Penyelenggaraan Air Minum dan Sanitasi Layak dan Aman; iii) Pengaturan Penyelenggaraan Air
Minum dan Sanitasi Layak dan Aman; iv) Pengawasan Kualitas Air Minum dan Sanitasi; v) Akses
Sanitasi (Air Limbah) Layak dan Aman (90 persen RT) (Major Project); vi) Akses Air Minum Perpipaan
(10 Juta Sambungan Rumah) (Major Project).
Sejak tahun 2015, Direktorat Jenderal Cipta Karya mengelola anggaran rata-rata di atas Rp. 19
Triliun dengan jumlah paket lebih dari 1000 paket per tahun. Mengacu pada kinerja keuangan
Direktorat Jenderal Cipta Karya sejak tahun 2015, rerata tingkat penyerapan keuangan
adalah sebesar 84% dengan jumlah realisasi Rp. 16,5 Triliun. Secara kelembagaan pengelola
proyek, Direktorat Jenderal mengalami kurang lebih 3 kali penggantian yang diakhiri dengan
pembentukan Balai PPW dan penyederhanaan Satker Pelaksanaan.
Pagu (Rp.000)
Realisasi (Rp.000) 66
56.8
3.3
69 0 2
9 8.0 3.41 0 9 .19
0
8
1 9 . 7 4 8
71 8.7 . 515 34 6.13 1.6
12
18. 17. 3 873 68 18 . 6
. 2 5 75
.62 16. 7.4 17 16.
9 13
14
.16 15.
Gambar 2. Pagu dan Tingkat Penyerapan Keuangan Direktorat Jenderal Cipta Karya
Tahun 2015-20192
1,2
Sumber: Integrated E-Monitoring, 2020
Kondisi ini kemudian menyebabkan pengendalian risiko menjadi sangat penting di luar
pengendalian keuangan dan progres proyek semata. Direktorat Jenderal Cipta Karya memerlukan
peningkatan kualitas pelaksanaan Manajemen Risiko yang komprehensif hingga tingkat Satker
agar tujuan organisasi tercapai dengan kondisi optimal serta memperhatikan aspek akuntabilitas
dan kepatuhan terhadap peraturan perundangan.
Direktorat Jenderal Cipta Karya menyadari bahwa dalam melaksanakan tugasnya selalu
berhadapan dengan risiko yang melekat pada kegiatan bisnisnya maupun operasional
pembangunan. Dalam rangka mengendalikan risiko tersebut, Direktorat Jenderal Cipta Karya
menerapkan sistem manajemen risiko terintegrasi yang mencakup seluruh aspek risiko yang
dihadapi oleh Unit Kerja, Balai Prasarana Permukiman Wilayah dan Balai Teknik.
Direktorat Jenderal Cipta Karya akan mengimplementasikan suatu Kerangka Manajemen Risiko
(Risk Management Framework) yang bertujuan untuk memastikan risiko-risiko yang dihadapi
unit kompetensi maupun Balai Prasarana Permukiman Wilayah dapat diidentifikasi, diukur,
dikendalikan, dan dilaporkan dengan baik. Dalam pelaksanaan manajemen risiko yang efektif,
Direktorat Jenderal Cipta Karya melakukan pengembangan infrastruktur manajemen risiko
dengan mengacu pada Peraturan Menteri PUPR No. 20/PRT/M/2018 dan peraturan lainnya serta
Standar Internasional yang berlaku.
Sistem Pengendalian Intern menurut PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP adalah: “Proses yang
integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan
seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi
melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset
negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.”
Keempat tujuan tersebut di atas tidak perlu dicapai secara khusus atau terpisah-pisah. Dengan
kata lain, instansi pemerintah tidak harus merancang secara khusus pengendalian untuk mencapai
satu tujuan. Suatu kebijakan atau prosedur dapat saja dikembangkan untuk dapat mencapai
lebih dari satu tujuan pengendalian. Sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2008, SPIP terdiri dari
lima unsur, yaitu: (1) Lingkungan pengendalian; (2) Penilaian risiko; (3) Kegiatan pengendalian; (4)
Informasi dan komunikasi; dan (5) Pemantauan pengendalian intern.
Proses pengendalian menyatu pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus
oleh pimpinan dan seluruh pegawai. Oleh karena itu, yang menjadi pondasi dari pengendalian
adalah orang-orang (SDM) di dalam organisasi yang membentuk lingkungan pengendalian yang
baik dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ingin dicapai instansi pemerintah3.
Penyelenggaraan unsur lingkungan pengendalian (delapan sub unsur) yang baik akan
meningkatkan suasana lingkungan yang nyaman yang akan menimbulkan kepedulian dan
keikutsertaan seluruh pegawai. Untuk mewujudkan lingkungan pengendalian yang demikian
diperlukan komitmen bersama dalam melaksanakannya. Komitmen ini juga merupakan hal yang
amat penting bagi terselenggaranya unsur-unsur SPIP lainnya.
3
Sumber: www.bpkp.go.id
Kerangka maturitas SPIP terpola dalam enam tingkatan yaitu: “Belum Ada”, “Rintisan”,
“Berkembang”, “Terdefinisi”, “Terkelola dan Terukur”, “Optimum”. Tingkatan dimaksud setara
masing-masing dengan level 0, 1, 2, 3, 4 dan 5.
4
Peraturan Kepala BPKP Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Penilaian dan
Strategi Peningkatan Maturitas Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
Hal ini menunjukkan bahwa Unit Pelaksana atau Satuan Kerja belum seluruhnya menyusun
Manajemen Risiko (MR) di unit kerjanya sehingga pengendalian internal belum dilakukan secara
optimal. Rekomendasi yang diberikan oleh BPKP atas penilaian maturitas SPIP Kementerian
PUPR, di antaranya:
1. Finalisasi penyusunan kebijakan Standar Kompetensi SDM, Indikator Kinerja Utama (IKU),
dan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP).
2. Menginstruksikan kepada seluruh pegawai Kementerian PUPR menandatangani Pakta
Integritas sesuai Permen PANRB Nomor 49 Tahun 2011.
3. Menyusun Daftar Risiko, Peta Risiko, dan Rencana Tindak perbaikan (RTP) seluruh kegiatan
yang menjadi Tugas Pokok dan Fungsi masing-masing Unit Organisasi.
4. Melakukan evaluasi mandiri secara berkala atas Efektivitas Prosedur Pengendalian untuk
seluruh kegiatan pokok pada seluruh Unit Organisasi Eselon 1 dan mendokumentasikannya.
5. Melakukan pemantauan yang berkelanjutan dan terintegrasi dalam pelaksanaan seluruh
kegiatan pokok pada seluruh Unit Organisasi Eselon 1 yang didukung dengan pemantauan
secara otomatis dengan menggunakan aplikasi komputer
Maturitas penyelenggaraan SPIP terkait dengan peran atau keandalan atau reliabilitas
penyelenggaraan SPIP dalam mendukung pencapaian tujuan instansi pemerintah. Reliabilitas
penyelenggaraan SPIP tersebut ditandai bukan hanya oleh eksistensi control design yang pada
umumnya bersifat hard control tetapi juga oleh pelaksanaan atas soft control pengendalian
itu sendiri Mengacu pada hasil QA yang dilakukan BPKP, tingkat maturitas SPIP dari Direktorat
Jenderal Cipta Karya adalah 3,2170. Kondisi ini relatif di atas rata-rata UNOR di Kementerian PUPR,
walau masih ada beberapa rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti oleh Ditjen Cipta Karya.
9 BPIW 3,1955
10 Balitbang 3,2523
11 BPSDM 3,0500
Di Indonesia standar dalam Manajemen Risiko yang paling banyak digunakan adalah ISO
31000:2018 dibandingkan dengan standar lainnya. ISO 31000:2018 adalah suatu standar
implementasi manajemen risiko yang diterbitkan oleh International Organization for
Standardization pada tanggal 13 November 2009. Menurut hasil survey nasional manajemen
risiko tahun 2018, sebanyak 67,5% masyarakat menggunakan ISO 31000: 2018 baik pada sektor
pemerintahan maupun swasta5.
ISO 31000:2018 memberikan prinsip dan pedoman umum tentang manajemen risiko, serta dapat
digunakan oleh perusahaan publik, swasta atau komunitas, asosiasi, kelompok atau individu. ISO
31000:2018 tidak spesifik untuk industri atau sektor apa pun. Standar ini ditujukan untuk dapat
diterapkan dan disesuaikan untuk semua jenis organisasi dengan memberikan struktur dan
pedoman yang berlaku generik terhadap semua operasi yang terkait dengan manajemen risiko.
Meskipun ISO 31000:2018 tidak memberikan pedoman umum, itu tidak dimaksudkan untuk
mempromosikan keseragaman manajemen risiko di seluruh organisasi. Desain dan implementasi
rencana dan kerangka kerja manajemen risiko perlu memperhitungkan beragam kebutuhan
organisasi tertentu, tujuan, konteks, struktur, operasi, proses, fungsi, proyek, produk, layanan,
atau aset tertentu dan praktik khusus yang digunakan.
Dalam ISO 31000:2018 penerapan Manajemen Risiko dibagi menjadi tiga langkah yaitu prinsip,
kerangka, dan proses. Prinsip manajemen risiko terdiri dari 1) Menambah dan melindungi nilai,
2) Bagian terpadu dari seluruh proses organisasi, 3) Bagian dari pengambilan keputusan, 4)
Menangani ketidakpastian, 5) Bersifat sistematis, terstruktur dan tepat waktu, 6) Berdasarkan
informasi terbaik, 7) Disesuaikan dengan organisasi, 8) Mempertimbangkan faktor manusia
dan budaya, 9) Bersifat transparan dan inklusif, 10) Dinamis, berulang, dan responsif terhadap
perubahan, dan 11) Membantu peningkatan mutu organisasi. Kerangka Manajemen Risiko
terdiri dari lima komponen dasar yang akan menjadi acuan dalam proses penerapan Manajemen
Risiko, kelima komponen itu adalah 1) Mandat dan komitmen, 2) Desain kerangka Manajemen
Risiko, 3) Penerapan Manajemen Risiko, 4) Monitoring dan reviu kerangka Manajemen Risiko,
dan 5) Peningkatan kerangka kerja secara terus menerus. Sedangkan dalam proses penerapan
Manajemen Risiko terdiri dari beberapa tahap, di antaranya 1) Komunikasi dan konsultasi, 2)
Menetapkan konteks, 3) Penilaian risiko yang terdiri dari identifikasi, analisis, dan evaluasi risiko, 4)
Penindakan risiko, 5) Pengawasan dan peninjauan, dan 6) Pencatatan proses Manajemen Risiko.
5
Centre for Risk Management Studies. 2008. Survei Nasional Manajemen Risiko 2018. Laporan lengkap dapat diunduh pada link
http://crmsindonesia.org/wp-content/uploads/2018/11/CRMS-Indonesia-Survei-Nasional-Manajemen-Risiko-2018.pdf
Budaya sadar Risiko dikembangkan sesuai dengan nilai-nilai Direktorat Jenderal Cipta Karya dalam
pelaksanaan kegiatan untuk mencapai sasaran di seluruh jajaran. Budaya sadar Risiko tersebut
diwujudkan melalui pemahaman dan pengelolaan Risiko sebagai bagian dari setiap proses
pengambilan keputusan di seluruh tingkatan organisasi. Bentuk pemahaman dan pengelolaan
Risiko tersebut menjadi bagian dari setiap proses pengambilan keputusan di seluruh tingkatan
organisasi, yang berupa:
Berdasarkan prinsip utama manajemen risiko, proses pengelolaan manajemen risiko menjadi
tanggung jawab bersama seluruh karyawan dan kesadaran akan risiko menjadi tanggung jawab
bersama seluruh karyawan dan kesadaran akan risiko sudah menjadi bagian tak terpisahkan
dari budaya organisasi Direktorat Jenderal Cipta Karya. Dengan menggunakan pendekatan
Three Lines of Defense, fungsi pengelolaan risiko dilakukan secara komprehensif oleh semua lini
organisasi.
Sejak terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2007-2009, desain dan implementasi
pengendalian internal telah menarik perhatian pihak akademisi dan profesional. Banyak penelitian
mengenai efektivitas fungsi internal audit telah dilakukan dan disponsori oleh The Institute of
Internal Auditors Research Foundation (IIARF). Hal ini akhirnya mendorong dipublikasikannya
sistem Three Lines of Defense pada tahun 2013, yang dapat diterapkan pada proses pengendalian
internal dalam berbagai organisasi.
Berdasarkan IIA Paper pada tahun 2013, secara umum lini pertahanan pengendalian internal
terdiri dari 3 lapis. Ketiga fungsi tersebut memainkan peran yang berbeda dalam menunjang
penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik.
Ketika suatu organisasi menerapkan konsep Three lines of Defense dengan tepat, maka
operasionalisasi dapat berjalan secara efektif, tidak terdapat gap untuk memastikan pengendalian
internal telah dijalankan, tidak terdapat duplikasi pekerjaan yang tidak diperlukan, intinya secara
umum pengelolaan risiko dan pengendalian internal dapat dikelola secara efektif sehingga tujuan
organisasi dapat tercapai. Keuntungan lainnya adalah Pimpinan bisa mendapatkan informasi
yang tidak bias mengenai risiko utama yang signifikan bagi organisasi termasuk bagaimana Lini
Pertama menangani hal tersebut.
• Lini pertama: fungsi yang memiliki dan mengelola risiko, yaitu manajer operasional.
• Lini kedua: fungsi yang mengawasi risiko, yaitu seperti fungsi manajemen risiko, fungsi
kepatuhan dan fungsi controllership.
• Lini ketiga: fungsi yang memberi penilaian independen, yaitu fungsi audit intern.
Pada tahun 2019, Menteri PUPR menerbitkan 9 strategi pencegahan penyimpangan pengadaan
barang dan jasa. 9 Strategi tersebut merupakan upaya Kementerian PUPR meningkatkan
kepercayaan publik atas kinerja Kementerian PUPR dalam menyediakan layanan infrastruktur
yang prima. 9 Strategi tersebut antara lain:
7
Pembentukan Unit Kepatuhan Internal
2 Perkuatan Sumber Daya Manusia (SDM) (Second Life of Defense) di Unor dan Balai
3
Perbaikan Mekanisme Penyusunan Harga Membentuk Inspektorat Bidang Investigasi
Perkiraan Sendiri (IBI) dan Penguatan Kompetensi dan 8
Independensi Auditor Inspektorat Jenderal
4
Pembinaan Penyedia Jasa
(Kontrakstor dan Konsultan)
Continous Monitoring atas Perangkat
Pencegahan Penyimpangan (Fraud) PBJ 9
5
Pemeriksaan Hasil Pekerjaan (System
dengan IT Based (PUPR 4.0)
Delivery) oleh Kementerian PUPR dan BPKP
Konsep pengendalian pada gambar di atas, kemudian didetailkan dalam pembagian peran
antara 1st Line yaitu Balai dan Satker, 2nd Line oleh Direktur Kepatuhan Intern dan 3rd Line oleh
Inspektorat Jenderal. Pembagian peran ini penting sebagai embrio awal penyusunan kerangka
kerja kepatuhan intern baik di tingkat Unor maupun Kementerian.
Pernyataan Komitmen U P P
Komunikasi Pesan U P P
PELAKSANAAN PENGENDALIAN
Pengujian Kepatuhan U UB
- Pengendalian Gratifikasi U P
6
Hasil Workshop Manajemen Risiko di Kementerian PUPR, Juli 2020
PEMANTAUAN
U = Tanggung jawab Utama ada unit ini; P = Sebagai Pendukung pelaksanaan tanggung jawab ini; UB = tanggung jawab Utama,
tetapi dilaksanakan Berkala (setelah transaksi (After fact)
Tabel di atas menjadi referensi dalam penetapan arahan dan kebijakan kepatuhan intern di
lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya. Persoalan yang kerap dihadapi adalah pembagian
kerja yang seragam antar 1st, 2nd dan 3rd Line pada beberapa kasus yang serupa. Untuk itu,
maka dibutuhkan penyusunan kerangka kerja kepatuhan intern baik untuk tingkat Kementerian
maupun tingkat UNOR.
Pada tahun 2019, sebagai bagian dari upaya peningkatan maturitas SPIP, maka telah dilakukan
penyusunan peta risiko dan analisis risiko yang dilengkapi dengan langkah mitigasi dan rencana
tindak pemantauan untuk seluruh unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya.
Pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan peta risiko ini adalah melalui proses diskusi
dan konsinyasi untuk menentukan risiko awal, penanganan risiko, mekanisme komunikasi dan
konsultasi, dan monitoring serta reviu terhadap manajemen risiko. Pertemuan dilakukan dengan
partisipasi proaktif oleh para pemilik risiko di unit kompetensi Direktorat Jenderal Cipta Karya
dalam menyusun manajemen risiko. Kerangka kerja risiko dilakukan antara lain melalui:
Skor Total
Pernyataan Pemilik Dampak pada Skor
No Penyebab Kemungkinan Skor Rangking
Risiko Risiko Capaian Tujuan Dampak
terjadi (6x7)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Dokumen serah
Sebagian Dit. PKP, terima aset tidak -Aset Tidak dapat
Aset Cipta BPB, lengkap Dimanfaatkan
1 Karya Tidak PSPAM, 3,13 3,50 10,94 5
Kualitas -Tidak memenuhi Penilaian
dapat diserah PPLP,
konstruksi Kinerja (PK) Cipta Karya
terimakan PPSPPOP
kurang memadai
Dit. PKP,
Tidak semua BPB,
kegiatan yang PSPAM, Readiness
Tidak tercapainya target
2 direncanakan PPLP, Criteria tidak 3,25 3,63 11,78 3
kinerja Ditjen Cipta Karya
dapat PPSPPOP, lengkap
Diprogramkan KIP, dan
Pemda
Resiko Awal
4.
Sangat 0 0 0 0
besar
3. Besar 0 0 9 2
Impact
2. Kecil 0 0 0 0
1.
Sangat 0 0 0 0
kecil
1. Sangat 4. Sangat
2. Jarang 3. Sering
Jarang Sering
Kemungkinan
Tujuan Direktorat Jenderal Cipta Karya merupakan suatu pernyataan tentang keadaan yang
diinginkan dan direalisasikan di akhir periode perencanaan. Tujuan ini merupakan penjabaran
visi-misi Presiden, isu strategis pembangunan infrastruktur serta arah kebijakan Prioritas Nasional
(PN) yang tertuang dalam RPJMN tahun 2020-2024, Visium Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, dan sasaran strategis yang diturunkan dari Rencana Strategis Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun 2020-2024.
“Terselenggaranya pemenuhan
infrastruktur permukiman
yang layak dan aman menuju
terwujudnya smart living,
dengan pemanfaatan dan
pengelolaan yang partisipatif
dan berkelanjutan untuk
meningkatkan kualitas hidup
masyarakat.”
Untuk melaksanakan tugas tersebut, maka Direktorat Kepatuhan Intern memiliki beberapa fungsi
di antaranya:
Sasaran Strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya merupakan outcome pada level stakeholders
yang ingin dicapai di akhir tahun 2024. Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian PUPR Tahun
2020-2024, Direktorat Jenderal Cipta Karya mendukung pencapaian Sasaran Strategis 3 (SS 3)
yaitu meningkatnya penyediaan akses perumahan dan infrastruktur permukiman yang layak,
aman, dan terjangkau.
Untuk menjamin terlaksananya proses internal yang efektif dan efisien guna memenuhi harapan
stakeholders dan customers tersebut di atas maka diperlukan upaya-upaya pengelolaan sumber
daya organisasi melalui proses learning and growth Direktorat Kepatuhan Intern mendukung
sasaran kegiatan 10 yaitu meningkatnya kepatuhan intern dalam penyelenggaraan infrastruktur
permukiman, dengan indikator kinerja: persentase peningkatan kepatuhan intern dalam
penyelenggaraan infrastruktur permukiman.
03
STRATEGI,
KERANGKA
REGULASI, DAN
KERANGKA
KELEMBAGAAN
Untuk menjawab tantangan pembangunan infrastruktur periode 2020-2024, terdapat tujuh (7)
poin yang menjadi arahan kebijakan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, antara
lain:
Dalam menjalankan program/kegiatan Kementerian PUPR tentu tidak semua usulan dapat
dilaksanakan mengingat keterbatasan dalam sumber daya organisasi baik penganggaran,
SDM, dan kewenangan. Maka dari itu, Menteri PUPR mengarahkan untuk melakukan 3 (tiga)
Pendekatan Pembangunan Infrastruktur PUPR tahun 2020-2024 sebagai berikut:
1. Optimalisasi Pemanfaatan Infrastruktur yang Telah Tuntas Hingga 2019. Contoh: SPAM
Regional dan Perkotaan selesai dibangun, dilanjutkan dengan jaringan perpipaan hingga
sambungan rumah;
2. Penyelesaian Pembangunan Infrastruktur On-Going (Belum Tuntas Hingga 2019). Contoh: 3
PLBN akan diselesaikan; Infrastruktur pendukung PON PAPUA akan diselesaikan;
3. New Initiatives. Contoh: Pembangunan Ibukota Pemerintahan yang baru; Pembangunan
SPAM, IPAL, TPA, Sekolah dan Pasar, serta PLBN baru.
Arah kebijakan umum Direktorat Jenderal Cipta Karya memperhatikan pula lingkup pelaksanaan
dan kewenangan Direktorat Jenderal Cipta Karya sesuai Pasal 57 UU No.1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman yaitu penyelenggaraan kawasan permukiman mencakup
Arah kebijakan dan strategi pembangunan infrastruktur permukiman dijabarkan ke dalam arah
kebijakan dan strategi setiap sektor di lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya yaitu mencakup
sektor penataan kawasan permukiman, pemrograman dan evaluasi, air minum, sekretariat
BPPSPAM, sanitasi, bina penataan bangunan, prasarana strategis (sarana pendidikan, olahraga,
dan pasar), manajemen bidang permukiman, bina teknik, dan unit kepatuhan intern.
1. Membangun budaya sadar Risiko yang terbuka melalui pembinaan kepatuhan intern
dan manajemen risiko kepada seluruh pegawai Direktorat Jenderal Cipta Karya.
Budaya risiko (risk culture) merupakan perilaku semua personil berinteraksi dan persepsi
terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan risiko. Langkah yang dilakukan dalam
membangun budaya risiko, antara lain; (1) komitmen pimpinan menciptakan irama yang
sama (tone at the top) (2) edukasi kepada seluruh stakeholders mengenai pentingnya
melakukan manajemen risiko; (3), lakukan kegiatan-kegiatan bersifat knowledge sharing
mengenai manajemen risiko, di mana karyawan dapat saling berbagi pengetahuan dan
pengalaman mengenai manajemen risiko; (4) jika dilakukan secara terus menerus dan
konsisten dalam jangka waktu yang panjang. ; (5) diciptakan suatu pendekatan yang jelas
terhadap manajemen risiko. Prosedur harus didokumentasikan, disosialisasikan, untuk
kemudian diimplementasikan dalam keseharian pengambilan keputusan.
Gambar 12. Rancangan Pengembangan Sistem Informasi KIMR Direktorat Jenderal Cipta Karya
1. Mendorong penerapan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik melalui (i)
Penyusunan kerangka kerja kepatuhan intern di lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya;
dan (ii) Internalisasi kepatuhan intern kepada first line (lini pertama pertahanan) melalui
pembinaan dan sosialisasi secara berkala dan berkesinambungan.
Kerangka Regulasi
Kerangka regulasi dibutuhkan untuk melaksanakan Kebijakan serta Strategi Kepatuhan Intern
dan Manajemen Risiko dalam mencapai sasaran strategis, sasaran program dan tujuan Direktorat
Kepatuhan Intern. Kerangka Regulasi terdiri dari kebutuhan Peraturan Perundang-undangan dan
NSPK dari unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya.
Pada periode 2020-2024, terdapat usulan kerangka regulasi terkait Kepatuhan Intern di
lingkungan Ditjen Cipta Karya yang terdiri dari:
Direktorat Kepatuhan Intern terdiri dari 2 (dua) sub direktorat, yaitu Sub Direktorat Pembinaan
dan Pengembangan Kepatuhan Intern dan Manajemen Risiko dan Sub Direktorat Pengendalian
Kepatuhan Intern dan Manajemen Risiko dengan pembagian tugas sebagai berikut:
04 KINERJA DAN
KERANGKA
PENDANAAN
1. Pembinaan Teknis Kepatuhan Intern dan Manajemen Risiko dengan indikator 5 laporan
pembinaan teknis kepatuhan intern dan manajemen risiko penyelenggaraan infrastruktur
permukiman;
2. Pengendalian Kepatuhan Intern dan Manajemen Risiko Penyelenggaraan Infrastruktur
Permukiman dengan indikator 5 laporan pengendalian kepatuhan intern dan manajemen
risiko penyelenggaraan infrastruktur permukiman;
3. Layanan Sarana dan Prasarana Internal dengan indikator 5 layanan sarana dan prasarana internal;
4. Layanan Dukungan Manajemen Satker dengan indikator 5 layanan dukungan manajemen satker;
5. Layanan Perkantoran dengan indikator 5 layanan perkantoran.
Kerangka Pendanaan
Dokumen rencana strategi Direktorat Kepatuhan Intern merupakan arahan bagi pelaksanaan
pembinaan, pengembangan dan pengendalian Kepatuhan intern serta Manajemen Risiko untuk
mendukung Direktorat Jenderal Cipta Karya dalam pencapaian tujuan Organisasi. Rencana
Strategis ini merepresentasikan dukungan dalam mencapai SK 10: yaitu meningkatnya kepatuhan
intern dalam penyelenggaraan infrastruktur permukiman, dengan indikator kinerja.
Renstra Direktorat Kepatuhan Intern ini patut digunakan sebagai pedoman dan arah dalam
meningkatkan kualitas penerapan manajemen risiko dan peningkatan yang hendak dicapai pada
periode 2020-2024 baik bagi Direktorat Kepatuhan Intern ataupun sebagai pedoman bagi Unit
Kerja/ Balai/UPT/ Satuan kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya.
Hasil akhirnya yang diharapkan dari pelaksanaan Dokumen Renstra ini adalah tercapainya budaya
risiko di lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya sehingga pencapaian tujuan organisasi dapat
terwujud dengan memperhatikan aspek akuntabilitas dan kepatuhan peraturan perundangan
yang ada.