Disusun oleh :
Riwayat al-Hadits ialah peristiwa transformasi informasi profetik melalui proses pembelajaran
yang dilakukan oleh para pencerita hadis dengan menggunakan mekanisme dan simbol-simbol tertentu.
Proses penyampaian hadits oleh para periwayat tersebut dilakukan secara antusias dalam
menjelaskan mekanisme periwayatan dengan menggunakan simbol-simbol yang berlaku dalam
mekanisme periwayatan tersebut. Contohnya metode tahamul “simaa” dengan simbol periwayatannya
“sami’tu, hadatsanaa, akhbaronaa, anba anaa”.
Al-Syahadah adalah penyampaian kesaksian atas suatu peristiwa di dalam atau di luar lembaga
peradilan, diminta maupun tidak diminta.
Adapun keutamaan dalam persaksian ialah saksi yang akan memberikan kesaksiannya sebelum
diminta. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim diterima oleh shahabat Zaid ibn
Khalid al-Juhainiy.
Bahwasanya nabi Muhammad s.a.w bersabda: “Apakah kalian ingin ku beritakan mengenai sebaik-baik
kesaksian? Ia lah yang memberikan kesaksiannya sebelum diminta.” (HR Muslim)
Persamaan:
Riwayat al-Hadits dan al-Syahadah keduanya adalah sama-sama peristiwa penyampaian
informasi.
Sebagaimana riwayat al-Hadits yang merupakan proses penyampaian hadits sebagai informasi
yang memuat berita mengenai segala kisah serta tutur kata Nabi s.a.w. dan al-Syahadah pun
merupakan proses penyampaian informasi apapun yang berhubungan dengan persaksian.
Contohnya “roaytu (aku melihat)”, “sami’tu (aku melihat)” dsb, merupakan bentuk ucapan yang
relevan dinyatakan ketika hendak menyampaikan berita, baik hadits maupun kesaksian.
Adapun al-Syahadah seharusnya islamlah menjadi syarat yang absolut dalam masalah persaksian.
Namun, di negara yang tidak berasaskan islam memiliki peraturan sendiri dalam mekanisme
persaksian, seperti halnya saksi tidak mutlak beragama islam karena disesuaikan dengan kondisi
suatu perkara yang dipersaksikan. Seperti di negara Indonesia yang tidak menjadikan agama
islam suatu prioritas dalam perkara persaksian. Contohnya perhakiman hukum pidana di
Indonesia selalu mengajukan pertanyaan kepada saksi sebelum diminta kesaksian. Yaitu
pertanyaan yang mengenai nama, tempat kelahiran, umur, bangsa, agama, pakarjaan dan apakah
para saksi ada hubungannya dengan terdakwa atau tidak. Kemudian si saksi sambil berdiri,
bersumpah sekalian dengan kata pengantar sesuai dengan agamanya, kemudian diikuti dengan
kata-kata berikut:
“Demi Tuhan saya bersumpah, sebagai saksi saya akan menerangkan dalam perkara ini yang
benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”
Sambil saksi bersumpah salah satu Panitera Pengganti akan mengangkat sebuah Al-Qur’an atau
Kitab Suci lainnya sesuai dengan agama mereka, di atas kepalanya.
Sedangkan orang yang beragama Hindu diberikan dupa yang dipegang sambil bersumpah.Riwayat
al-Hadits maupun al-Syahadah mempersyaratkan pelakunya adalah orang yang berkeadilan (bukan
orang fasik, pendusta, penipu, pengkhianat, dan sifat-sifat, sikap mental serta perbuatan-perbuatan
yang dipandang tidak patut dan buruk oleh nilai-nilai Islam) karena seorang saksi akan diminta
kesaksiannya dalam memaparkan perkara secara objektif. Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an
surat al-Hujurat ayat 6:
“Wahai orang-orang yang beriman ! jika seseorang yang fasiq datang kepadamu membawa suatu
berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan
(kecorobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”
Riwayat al-Hadits dan al-Syahadah memestikan pelakunya telah mencapai usia baligh.
Hal ini sangat perlu diperhatikan karena umur dan kematangan berpikir sangat memiliki
pengaruh yang besar dalam mekanisme penyampaian informasi. Faktor psikologis pelaku yang
telah menginjak taklif atau baligh akan lebih bertanggng jawab atas kesaksiannya dikarenakan
telah sempurna pola pikirnya dan lazimnya telah memahami arah pembicaraan. Begitu pula
dalam mempersyaratkan baligh dalam periwayatan hadits dikarenakan sebagai realisasi dari
hadits Nabi s.a.w yang ditakhrij oleh Ahmad dan yang lainnya:
“Catatan telah diangkat dari tiga golongan: dari orang gila yang kalah atas akalnya sehingga ia
sembuh, dan dari yang tidur sehingga ia bangun, dan dari anak kecil sehingga ia baligh.”
Begitu pula al-asyahadah. Pelaku yang memiliki kapasitas personal dan intelektual yang
memadai merupakan prioritas dalam mekanisme persaksian, dikarenakan kesaksian dengan
intelektual pelaku akan terjamin keabsahan sebuah fakta yang dipersaksikan.
Riwayat al-Hadits maupun al-Syahadah – dalam pada mana pelakunya tunggal – memestikan
pelakunya diambil sumpah.
Seperti dalam sebuah hadits yang diterima dari shahabat Ibnu Abbas r.a. diriwayatkan
oleh Ibnu Adiy dengan sanad yang dhaif dan dishahihkan oleh Hakim:
Bahwasannya Nabi s.a.w bertanya kepada seorang laki-laki, “apakah kau melihat matahari ?”,
jawab laki-laki itu “iya”, Nabi bersabda “atas semisalnya maka bersaksilah atau tinggalkan.”
Meski hadits ini memiliki kedudukan dhaif dalam sanad, namun mengadung pesan penting.
Yakni memiliki pesan bahwa dengan sumpah akan terjamin kejujurannya karena dapat diterima
kesaksiannya.
Perbedaan:
Riwayat Al-Hadits adalah penyampaian informasi yang bersifat profetik (Hadis-hadis Nabi Saw),
Sementara Al-Syahadah adalah penyampaian informasi yang bersifat umum.
Riwayat al-Hadits tidak mempersoalkan status sosial dan asal muasal pencerita hadist,sedangkan
al-Syahadah merpersoalkan dan mempertimbangkan status sosial dan asal-muasal pemberi
kesaksian.
Riwayat al-Hadits tidak mempersoalkan status sosial dan asal muasal pencerita hadist
dari saudara atau keluarga rosululloh maupun bukan, dari kalangan shahabat pria maupun
wanita, orang-orang kaum Muhajirin maupun orang-orang dari kaum Anshar, kaum Arab
Baduy maupun bukan, baik yang merdeka maupun, hamba sahaya, dari para kabilah-
kabilah maupun rakyat jelata
Riwayat al-Hadits mengabaikan jumlah informan untuk semua kasus dan kontennya, sedangkan
Al-Syahadah menetapkan seberapa jumlah orang yang mesti memberikan kesaksian berdasarkan
jenis kasusnya.
Dari Aisyah r.a. ia berkata: “keadaan Rosululloh s.a.w suka mendahulukan yang kanan,
ketika bersandal, ketika bersisir, ketika bersuci, dan pada semua keadaannya.”
(Muttafaqun alayh)
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: telah bersabda rosululloh s.a.w: “Apabila kalian
hendak berwudlu, dahulukanlah anggota tubuh yang kanan.” (HR Imam Empat dan
dishahihkan oleh Ibn Khuzaimah)
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada
(saksi) dua orang laki-laki, haka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan di
antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang
lupa maka yang sorang lagi mengingatkannya.”
Alasan keharusan diangkat dua saksi wanita ialah karena kurangnya akal, sebagaimana
dalam suatu riwayat yang diterima dari Sa’id al-Hudriy r.a. ia berkata:
Rosulullah telah bersabda: “…saya tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya,
yang lebih merasakan (mempengaruhi) hati laki-laki yang teguh pendirian, selain pada
kamu sekalian (perempuan)”, tanya mereka: “ kurang bagaimanakah akal dan agama
kami ya rosulullah?”, jawab Nabi: “bukankah kesaksian kaum wanita seperdua
kesaksian kaum pria?”, kata mereka: “betul!”, jawab Nabi: “itulah salah satu bahwa
akalnya kurang. Bukankah apabila wanita haid itu, tidak shalat dan tidak shaum?”, jawab
mereka: “benar!”, sabda Nabi: “itulah salah satu bukti bahwa agama mereka kurang.”
(HR Bukhory)
Riwayat al-Hadits tidak memberikan otoritas kepada siapa pun untuk memaksa pencerita hadis
menyampaikan informasi yang dimilikinya, ketika berdasarkan pertimbangannya belum dirasa
perlu, sedangkan al-Syahadah mewajibkan saksi untuk menyampaikan kesaksiannya ketika
lembaga peradilan membutuhkan keterangannya.
Dari Umar dan Aisyah r.a. mereka berdua berkata: telah bersabda rosulullsh s.a.w: …
maka makanlah dan minumlah sehingga Ibn Ummi Maktum beradzan, dan keadaaan
laki-laki itu buta, ia tidak dapat menyerukan (adzan) sehingga dikatakanlah padanya:
telah masuk waktu shubuh, telah masuk waktu shubuh!. (Mutaffaq alayh)
As-syahadah memiliki kriteria tersendiri dalam realisasinya. Beberapa bentuk laranganan atau
norma as-syahadah ditinjau dari segi syariat adalah sebagai berikut:
Kesaksian palsu
REFERENSI
Al-Asqalani, Ibn Hajar, Bulughul Maram, tanpa penerbit, Indonesia, tanpa tahun
https://hanifahtejarakhila.wordpress.com/2013/01/12/persamaan-dan-perbedaan-riwayat-al-hadits-dan-
al-syahadah/amp/