Anda di halaman 1dari 9

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN

RIWAYAT AL-HADITS DAN AL-SYAHADAH

Disusun oleh :

Ahmad Sodikin 20.03.2722

Aldi ramdani 20.03.2671

Ajeng Irma Silvi Febriani 20.03.2724

Amirah Balqis Hasanah 20.03.2819

Ghazalah Fadilah Siddiqah 20.03.2670

Pendidikan Agama Islam Semester II


STAI PERSIS BANDUNG

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN

RIWAYAT AL-HADITS DAN AL-SYAHADAH

Riwayat al-Hadits ialah peristiwa transformasi informasi profetik melalui proses pembelajaran
yang dilakukan oleh para pencerita hadis dengan menggunakan mekanisme dan simbol-simbol tertentu.

Proses penyampaian hadits oleh para periwayat tersebut dilakukan secara antusias dalam
menjelaskan mekanisme periwayatan dengan menggunakan simbol-simbol yang berlaku dalam
mekanisme periwayatan tersebut. Contohnya metode tahamul “simaa” dengan simbol periwayatannya
“sami’tu, hadatsanaa, akhbaronaa, anba anaa”.

Al-Syahadah adalah penyampaian kesaksian atas suatu peristiwa di dalam atau di luar lembaga
peradilan, diminta maupun tidak diminta.

Adapun keutamaan dalam persaksian ialah saksi yang akan memberikan kesaksiannya sebelum
diminta. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim diterima oleh shahabat Zaid ibn
Khalid al-Juhainiy.

Bahwasanya nabi Muhammad s.a.w bersabda: “Apakah kalian ingin ku beritakan mengenai sebaik-baik
kesaksian? Ia lah yang memberikan kesaksiannya sebelum diminta.” (HR Muslim)

Persamaan dan perbedaan keduanya dapat dilihat berikut ini:

Persamaan:
 Riwayat al-Hadits dan al-Syahadah keduanya adalah sama-sama peristiwa penyampaian
informasi.

Sebagaimana riwayat al-Hadits yang merupakan proses penyampaian hadits sebagai informasi
yang memuat berita mengenai segala kisah serta tutur kata Nabi s.a.w. dan al-Syahadah pun
merupakan proses penyampaian informasi apapun yang berhubungan dengan persaksian.
Contohnya “roaytu (aku melihat)”, “sami’tu (aku melihat)” dsb, merupakan bentuk ucapan yang
relevan dinyatakan ketika hendak menyampaikan berita, baik hadits maupun kesaksian.

 Riwayat al-Hadits dan al-Syahadah keduanya mempersyaratkan pelakunya adalah seorang


muslim dan beriman.
Karena sebenar-benar saksi adalah orang yang bertaqwa serta benar-benar beriman
kepada Alloh s.w.t. Maka dari itu, islam menjadi syarat utama dalam mekanisme riwayat al-
Hadits dikarenakan telah terbukti kevaliditasannya dalam penyampaian suatu perkara yang sangat
vital serta berpengaruh besar terhadap kesucian agama.

Riwayat al-hadits mempersyaratkan pelakunya beragama islam dan melarang


periwayatan dari seorang kafir karena dikhawatirkan kedustaanya dengan alasan hadits haruslah
terjaga dari pemberlakuan ucapan orang kafir bagi kepentingan umat muslim.

Adapun al-Syahadah seharusnya islamlah menjadi syarat yang absolut dalam masalah persaksian.
Namun, di negara yang tidak berasaskan islam memiliki peraturan sendiri dalam mekanisme
persaksian, seperti halnya saksi tidak mutlak beragama islam karena disesuaikan dengan kondisi
suatu perkara yang dipersaksikan. Seperti di negara Indonesia yang tidak menjadikan agama
islam suatu prioritas dalam perkara persaksian. Contohnya perhakiman hukum pidana di
Indonesia selalu mengajukan pertanyaan kepada saksi sebelum diminta kesaksian. Yaitu
pertanyaan yang mengenai nama, tempat kelahiran, umur, bangsa, agama, pakarjaan dan apakah
para saksi ada hubungannya dengan terdakwa atau tidak. Kemudian si saksi sambil berdiri,
bersumpah sekalian dengan kata pengantar sesuai dengan agamanya, kemudian diikuti dengan
kata-kata berikut:

“Demi Tuhan saya bersumpah, sebagai saksi saya akan menerangkan dalam perkara ini yang
benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”

Sambil saksi bersumpah salah satu Panitera Pengganti akan mengangkat sebuah Al-Qur’an atau
Kitab Suci lainnya sesuai dengan agama mereka, di atas kepalanya.

 Sedangkan orang yang beragama Hindu diberikan dupa yang dipegang sambil bersumpah.Riwayat
al-Hadits maupun al-Syahadah mempersyaratkan pelakunya adalah orang yang berkeadilan (bukan
orang fasik, pendusta, penipu, pengkhianat, dan sifat-sifat, sikap mental serta perbuatan-perbuatan
yang dipandang tidak patut dan buruk oleh nilai-nilai Islam) karena seorang saksi akan diminta
kesaksiannya dalam memaparkan perkara secara objektif. Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an
surat al-Hujurat ayat 6:

“Wahai orang-orang yang beriman ! jika seseorang yang fasiq datang kepadamu membawa suatu
berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan
(kecorobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”

 Riwayat al-Hadits dan al-Syahadah memestikan pelakunya telah mencapai usia baligh.

Hal ini sangat perlu diperhatikan karena umur dan kematangan berpikir sangat memiliki
pengaruh yang besar dalam mekanisme penyampaian informasi. Faktor psikologis pelaku yang
telah menginjak taklif atau baligh akan lebih bertanggng jawab atas kesaksiannya dikarenakan
telah sempurna pola pikirnya dan lazimnya telah memahami arah pembicaraan. Begitu pula
dalam mempersyaratkan baligh dalam periwayatan hadits dikarenakan sebagai realisasi dari
hadits Nabi s.a.w yang ditakhrij oleh Ahmad dan yang lainnya:

“Catatan telah diangkat dari tiga golongan: dari orang gila yang kalah atas akalnya sehingga ia
sembuh, dan dari yang tidur sehingga ia bangun, dan dari anak kecil sehingga ia baligh.”

 Riwayat al-Hadits dan al-Syahadah keduanya mempersyaratkan pelakunya seorang yang


memiliki kapasitas personal dan intelektual yang memadai, sehingga dinyatakan akseptabel.

Seperti dalam mekanisme riwayat al-hadits, mempersyaratkan pelaku dalam proses


penyampaian hadits haruslah orang yang kuat hafalannya sehingga terjauh dari kesalahan yang
fatal. Maka itu, hadits yang terdapat cacat pada rawinya disebabkan lemah hafalannya atau
mudah lupa dikategorikan sebagai hadits dhaif.

Begitu pula al-asyahadah. Pelaku yang memiliki kapasitas personal dan intelektual yang
memadai merupakan prioritas dalam mekanisme persaksian, dikarenakan kesaksian dengan
intelektual pelaku akan terjamin keabsahan sebuah fakta yang dipersaksikan.

 Riwayat al-Hadits maupun al-Syahadah – dalam pada mana pelakunya tunggal – memestikan
pelakunya diambil sumpah.

Seperti dalam sebuah hadits yang diterima dari shahabat Ibnu Abbas r.a. diriwayatkan
oleh Ibnu Adiy dengan sanad yang dhaif dan dishahihkan oleh Hakim:

Bahwasannya Nabi s.a.w bertanya kepada seorang laki-laki, “apakah kau melihat matahari ?”,
jawab laki-laki itu “iya”, Nabi bersabda “atas semisalnya maka bersaksilah atau tinggalkan.”

Meski hadits ini memiliki kedudukan dhaif dalam sanad, namun mengadung pesan penting.
Yakni memiliki pesan bahwa dengan sumpah akan terjamin kejujurannya karena dapat diterima
kesaksiannya.
Perbedaan:
 Riwayat Al-Hadits adalah penyampaian informasi yang bersifat profetik (Hadis-hadis Nabi Saw),
Sementara Al-Syahadah adalah penyampaian informasi yang bersifat umum.

 Riwayat Al-Hadits adalah penyampaian informasi yang bersifat profetik (Hadis-hadis


Nabi Saw),yaitu informasi yang berkenaan dengan kenabian yang mengandung unsur
kisah perjalanan hidup, pola perilakunya, lingkungan dan keadaannya, serta memuat
informasi apa yang diucapkannya sehingga menjadi landasan hukum bagi para
pengikutnya. Dengan simbol “qaala rosululloh”, “khathatba rosululloh”, “rosululloh
hadza wa hadza”,”amaranaa rosululloh”, “nahaa rosululloh”, “yaf’alu kadza wa kadza”
dan lain sebagainya, mengisyaratkan bahwa hadits adalah informasi yang disandarkan
kepada Nabi s.aw.

 Sementara al-Syahadah adalah penyampaian informasi yang bersifat umum. Apapun


bentuk informasi yang disampaikan harus terdiri dari unsur tragedi dan saksi, sehingga
timbulah kesaksian. Contohnya saksi hidup dalam suatu momentum yang bersejarah,
sehingga saksi tersebut dapat memaparkan suatu kejadian yang tengah dialaminya saat
itu.

 Al-Syahadah – untuk kasus-kasus muamalah – tidak mempersyaratkan keislaman pemberi


kesaksian. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa dalam mekanisme al-syahadah, islam tidak
menjadi syarat pokok dalam mekanisme ini dikarenakan pelaku kesaksian tidak semua beragama
islam.

 Riwayat al-Hadits tidak mempersoalkan koneksitas penyampai informasi dengan penerimanya,


sedangkan al-Syahadah mempersoalkan hubungan antara pemberi kesaksian dengan orang yang
dipersaksikan perkaranya.

 Riwayat al-Hadits tidak mempersoalkan koneksitas penyampai informasi dengan


penerimanya, ada atau tidak adanya hubungan dengan rosululloh dari segi nasab maupun
pergaulan sosial di lingkungan rosululloh. Dalam proses riwayat al-hadits tidak menjadi
persoalan sebagaimana

 al-Syahadah mempersoalkan hubungan antara pemberi kesaksian dengan orang yang


dipersaksikan perkaranya. Seperti dalam kesaksian hukum pidana. Sebelum saksi
memaparkan kesaksiannya, maka saksi hendaklah menyebutkan hubungannya dengan
terdakwa.

 Riwayat al-Hadits tidak mempersoalkan status sosial dan asal muasal pencerita hadist,sedangkan
al-Syahadah merpersoalkan dan mempertimbangkan status sosial dan asal-muasal pemberi
kesaksian.
 Riwayat al-Hadits tidak mempersoalkan status sosial dan asal muasal pencerita hadist
dari saudara atau keluarga rosululloh maupun bukan, dari kalangan shahabat pria maupun
wanita, orang-orang kaum Muhajirin maupun orang-orang dari kaum Anshar, kaum Arab
Baduy maupun bukan, baik yang merdeka maupun, hamba sahaya, dari para kabilah-
kabilah maupun rakyat jelata

 Al-Syahadah merpersoalkan dan mempertimbangkan status sosial dan asal-muasal


pemberi kesaksian. Contohnya dalam kesaksian pidana. Sebelum saksi memaparkan
bukti kesaksiannya, ia diberi beberapa pertanyaan mengenai nama pemberi kesaksian,
tempat kelahiran, umur bangsa agama, pekerjaan, dan hubungannya dengan terdakwa.

 Riwayat al-Hadits mengabaikan jumlah informan untuk semua kasus dan kontennya, sedangkan
Al-Syahadah menetapkan seberapa jumlah orang yang mesti memberikan kesaksian berdasarkan
jenis kasusnya.

 Riwayat al-Hadits mengabaikan jumlah informan untuk semua kasus dan


kontennya,karena dalam periwayatan hadits mengandung metode pengajaran yang di
mana memiliki ruang lingkup interaksi antara guru dengan muridnya, ataupun
sebaliknya, sehingga tidak menutup kemungkinan jumlah murid yang lebih dari satu
orang baik laki-laki maupun wanita. Dengan adanya pengklarifikasian simbol, maka
menunjukan bahwa penyampaian hadits itu direalisasikan dengan metoda pembelajaran.
Contohnya: sami’na, hadatsanaa, hadatsanii, akhbaranaa, akhbaranii, ‘an, qara’tu ‘alaa
fulan, akhbaranaa fulanun ijaazatan, dan lain sebagainya.

 Al-Syahadah menetapkan seberapa jumlah orang yang mesti memberikan kesaksian


berdasarkan jenis kasusnya. Jika ditinjau berdasarkan syariat islam, dibutuhkannya
sekurang-kurangnya dua orang saksi laki-laki, atau seorang laki-laki dengan dua orang
wanita. Namun sedikit berbeda dengan kesaksian dalam perhakiman negara yang tidak
berdiri dangan aturan islam. Dalam mekanisme kesaksian peradilan Indonesia tidak
memiliki batas ketentuan yang signifikan dalam menentukan kuantitas saksi yang
ditinjau baik laki-laki maupun wanita. Contohnya dalam suatu kasus dapat
mendatangkan banyak saksi jika kasus tersebut lebih berat atau rumit sehingga
penyelesaian suatu perkara akan berlanjut hingga beberapa hari.

 Riwayat al-Hadits sama sekali tidak mempertimbangkan gender.sedangkan Al-Syahadah sangat


mempertimbangkan gender.

 Riwayat al-Hadits sama sekali tidak mempertimbangkan gender. Dengan demikian,


hadist dapat diriwayatkan dan diterima oleh siapa saja baik laki-laki maupun wanita.

Dari Aisyah r.a. ia berkata: “keadaan Rosululloh s.a.w suka mendahulukan yang kanan,
ketika bersandal, ketika bersisir, ketika bersuci, dan pada semua keadaannya.”
(Muttafaqun alayh)
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: telah bersabda rosululloh s.a.w: “Apabila kalian
hendak berwudlu, dahulukanlah anggota tubuh yang kanan.” (HR Imam Empat dan
dishahihkan oleh Ibn Khuzaimah)

 Al-Syahadah sangat mempertimbangkan gender. Syarat sah dalam kesaksian islam


sekurang-kurangnya didatangkan dua saksi laki-laki atau sekurang-kurangnya seorang
laki-laki dengan dua orang wanita yang adil dan terpercaya. Sebagaiman telah
difirmankan oleh Alloh SWT dalam Qur’an surat al-Baqarah ayat 282:

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada
(saksi) dua orang laki-laki, haka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan di
antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang
lupa maka yang sorang lagi mengingatkannya.”

Alasan keharusan diangkat dua saksi wanita ialah karena kurangnya akal, sebagaimana
dalam suatu riwayat yang diterima dari Sa’id al-Hudriy r.a. ia berkata:

Rosulullah telah bersabda: “…saya tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya,
yang lebih merasakan (mempengaruhi) hati laki-laki yang teguh pendirian, selain pada
kamu sekalian (perempuan)”, tanya mereka: “ kurang bagaimanakah akal dan agama
kami ya rosulullah?”, jawab Nabi: “bukankah kesaksian kaum wanita seperdua
kesaksian kaum pria?”, kata mereka: “betul!”, jawab Nabi: “itulah salah satu bahwa
akalnya kurang. Bukankah apabila wanita haid itu, tidak shalat dan tidak shaum?”, jawab
mereka: “benar!”, sabda Nabi: “itulah salah satu bukti bahwa agama mereka kurang.”
(HR Bukhory)

 Riwayat al-Hadits tidak memberikan otoritas kepada siapa pun untuk memaksa pencerita hadis
menyampaikan informasi yang dimilikinya, ketika berdasarkan pertimbangannya belum dirasa
perlu, sedangkan al-Syahadah mewajibkan saksi untuk menyampaikan kesaksiannya ketika
lembaga peradilan membutuhkan keterangannya.

 al-Syahadah mewajibkan saksi untuk menyampaikan kesaksiannya ketika lembaga


peradilan membutuhkan keterangannya. Berdasarkan teori pembuktian undang-undang,
kepuusan para hakim dalam suatu perkara harus didasarkan keyakinan hakim sendiri
serta dua dari lima alat bukti. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut: “Hakim tidak
boleh menjatuhakan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”. Dan yang
menjadi lima kategori alat buktinya adalah: Pertama, keterangan saksi; kedua,
keterangan ahli; ketiga, surat; keempat, petunjuk; dan yang kelima, keterangan terdakwa.
Adapun hadits yang menjadi landasan pemberi kesaksian, diantaranya:
 Riwayat al-Hadits mengabaikan ketunanetraan penyampai informasinya. Sedangkan Al-Syahadah
mempertimbangkan faktor keawasan mata informannya.

 Riwayat al-Hadits mengabaikan ketunanetraan penyampai informasinya Sebagaimana


dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Ummi Maktum. Ia layak menerima dan
menyampaikan hadits Nabi s.a.w meski keadaannya buta.

Dari Umar dan Aisyah r.a. mereka berdua berkata: telah bersabda rosulullsh s.a.w: …
maka makanlah dan minumlah sehingga Ibn Ummi Maktum beradzan, dan keadaaan
laki-laki itu buta, ia tidak dapat menyerukan (adzan) sehingga dikatakanlah padanya:
telah masuk waktu shubuh, telah masuk waktu shubuh!. (Mutaffaq alayh)

 Al-Syahadah mempertimbangkan faktor keawasan mata informannya. Karena panca


indera menjadi suatu prioritas dalam menyampaikan kesaksian agar lebih jelas dalam
memaparkan suatu kasus.

Spesialisasi larangan dalam as-syahadah perspektif syarat

As-syahadah memiliki kriteria tersendiri dalam realisasinya. Beberapa bentuk laranganan atau
norma as-syahadah ditinjau dari segi syariat adalah sebagai berikut:

Kesaksian yang dilarang

Kesaksian palsu
REFERENSI

Al-Quranul Karim Al-Hikmah, Diponegoro, Bandung, 2011

Al-Asqalani, Ibn Hajar, Bulughul Maram, tanpa penerbit, Indonesia, tanpa tahun

Romli, Muhammad, Ulumul Hadits, tanpa penerbit, tanpa tahun

Zakaria, Aceng, Tarbiyah An-Nisa, Ibnazka Press, Garut, 2002

Azmi, M.M., Memahami Ilmu Hadits, Penerbit Lentera, Jakarta, 2003

Artikel Pak Sukardi S. Ud

https://hanifahtejarakhila.wordpress.com/2013/01/12/persamaan-dan-perbedaan-riwayat-al-hadits-dan-
al-syahadah/amp/

Anda mungkin juga menyukai